Está en la página 1de 19

Pernikahan Beda Agama

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, dari segi suku, agama,
dan ras, terdapat berbagai macam masalah yang timbul di dalamnya. Seperti misalnya
masalah di dalam pembagian harta warisan dalam keluarga, masalah mengenai jenis
adat apa yang berlaku dalam suatu aturan keluarga.
Salah satu masalah yang menjadi sorotan dalam konflik-konflik yang timbul dalam
masyarakat sekarang ini ialah, dimana sering kita jumpai terjadinya pelangsungan
Pernikahan
Beda
Agama.
Negara Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang luas dan terbentuk
dari ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke.Dalam wilayah yang luas dan banyak
terpisahkan oleh lautan itu, hidup golongan-golongan masyarat yang berbeda latar
belakang satu sama lain.Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam
tersebut, baik dari segi budaya, suku, ras, agama, kontak antar satu golongan
masyarakat satu dengan yang lain sudah tentu tidak dapat dihindarkan. Kontak antar
masyarakat yang berbeda latar belakang ini pada kemudian hari menimbulkan adanya
suatu fenomena dalam masyarakt yaitu berupa perkawinan campuran.
Salah satu perkawinan campuran yang paling banyak mengundang perdebatan
adalah perkawinan campuran antara pasangan yang memiliki agama yang berbeda.
Masalahnya, dengan perkawinan beda agama akan terjadi suatu perbedaan prinsipil
dalam perkawinan itu sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah
yang rumit untuk diselesaikan di kemudian hari. Ole karena itu kemudian hal ini
banyak mendapat tentangan dari masyarakat luas, tetapi juga oleh hukum positif di
negara kita serta hukum agama yang mereka anut. Walau tidak dapat dipungkiri ada
saja pihak yang pro terhadap keberadaan perkawinan beda agama ini.
Islam sendiri sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk di Indonesia
sebenarnya juga menentang keras mengenai keberadaan perkawinan antar agama di
dalam masyarakat Indonesia saat ini. Sangat dilarang bagi umat Islam untuk menikahi
pasangan yang non muslim. Larangan ini dapat kita jumpai dalam sumber-sumber
hukum Islam yang menyebutkannya secara implisit maupun eksplisit.
Namun ada
juga pertentangan dalam Islam sendiri mengenai penafsiran sumber-sumber hukum
Islam tersebut yang menyangkut perkawinan beda agama. Ada mazhab yang
memberikan sedikit kelonggaran dalam pelaksanaan perkawinan beda agama dengan
kondisi-kondisi yang sudah ditentukan sebelumnya. Sementara mazhab yang lain
secara tegas menentang segala bentuk perkawinan antara muslim dengan non-

muslim.
Dengan adanya berbagai perbedaan pandangan mengenai perkawinan beda agama ini,
maka tim penyusun makalah ini tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai
perkawinan beda agama di Indonesia, terutama dilihat dari perspektif hukum Islam.
Hal ini dikarenakan tidak dapat kita pungkiri, sebagian besar masyarakat Indonesia
menganut agama Islam sehingga sudah barang tentu hukum Islam diperhitungkan
sebagai salah satu sistem hukum yang banyak hidup di tengah masyarakat
Indonesia.Dengan begitu hukum Islam dapat menjadi salah satu tolak ukur dalam
menilai masalah perkawinan beda agama ini.
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai
penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu
keluarga atau rumah tangga.
Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang
kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-undang Perkawinan
No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat
dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan
hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh
tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama.Hal ini berarti juga bahwa
hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut
hukum negara.Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya
tergantung pada ketentuan agama.
Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan
hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berarti menyebabkan
tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat- syarat dan tata cara
pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing.
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbedaagama itu
terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri.Berdasarkanketentuan perundangundangan yang berlaku secara positif di Indonesia,telah jelas dan tegas menyatakan
bahwa sebenarnya perkawinan antaragama tidak diinginkan, karena bertentangan
dengan hukum yang berlaku diIndonesia. Tetapi ternyata perkawinan antar agama
masih sajaterjadi danakan terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial diantara
seluruh warganegara Indonesia yang pluralis agamanya. Banyak kasus-kasus yang
terjadididalam masyarakat, seperti perkawinan antara artis Jamal Mirdad denganLydia
Kandau, Katon Bagaskara dengan Ira Wibowo, Yuni Shara denganHenri Siahaan, Adi
Subono dengan Chrisye, Ari Sihasale dengan NiaZulkarnaen, Dedi Kobusher dengan
Kalina, Frans dengan Amara, SonnyLauwany dengan Cornelia Agatha, dan masih
banyak lagi.
B. Permasalahan
Perkawinan
antar
agama
yang
terjadi
dalam
kehidupan
masyarakat,seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini negara atau pemerintah
secarategas melarangnya dan menghilangkan sikap mendua dalam mengatur

C.
1.
2.
3.
4.
D.

E.

F.

G.

danmelaksanakan suatu perkawinan bagi rakyatnya. Sikap ambivalensipemerintah


dalam perkawinan beda agama ini terlihat dalam praktek bilatidak dapat diterima
oleh Kantor Urusan Agama, dapat dilakukan di KantorCatatan Sipil dan menganggap
sah perkawinan berbeda agama yangdilakukan diluar negeri.
Rumusan Masalah
Apa konsep dan pengertian dari pengertian beda agama?
Apa permasalahan yang dapat timbul apabila dilangsungkannya suatu perkawinan
beda agama?
Apa saja sumber-sumber hukum yang mengatur tentang perkawinan beda agama?
Bagaimana pandangan agama dan masyarakat terhadap perkawinan beda agama?
Batasan Masalah
Dari sekian ulasan masalah yang telah penulis uraikan dalam rumusan masalah
bahwa masalah perkawinan beda agama di Indonesia masih menjadi masalah
berkelanjutan. Penulis akan membatasi masalah yang berkaitan dengan judul makalah
yaitu Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk melatih keterampilan, kecermatan,
ketelitian dan kerja sama kita dalam memecahkan suatu masalah sosial yaitu
perkawinan beda agama di Indonesia yang berkaitan dengan ilmu agama islam dan
guna menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Pendidikan Agama
Islam yaitu Bapak Miftah Ahmad Fathoni. Selain itu, penulisan ini juga bertujuan untuk
melatih softskill kita dalam memperhatikan masalah sosial yang terjadi di
masyarakat, Untuk mengerti mengenai konsep dan pengertian dari pengertian beda
agama, Mengetahui sumber-sumber hukum yang mengatur tentang perkawinan beda
agama, Mengetahui pandangan agama dan masyarakat terhadap perkawinan beda
agama. Makalah ini juga dapat memberikan manfaat, yaitu untuk menambah
pengetahuan kita mengenai Agama khususnya tentang masalah perkawinan beda
agama di Indonesia, sehingga kita dapat mengetahui mengapa kasus perkawinan beda
agama bisa menjadi masalah sosial umumnya di Indonesia.
Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini yaitu dengan studi
kepustakaan.browsing di internet dan dengan melalui metode penjelasan dari dosen
Pendidikan Agama Islam.
Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan mengkaji
masalah perkawinana beda agama dengan segala kompleksitasnya dengan berbagai
pendekatan.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Arti Perkawinan
Perkawinan menurut istilah ilmu Fiqh dipakai perkataan nikah dan
perkataan ziwaj. (Kamal Mukhtar, 1974 : 1)

B.

1.
2.
3.
4.

C.

D.
1.

Nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) dan arti


kiasan (majaaz). Arti yang sebenarnya dari nikah, ialah dham, yang berarti
menghimpit, menindih atau berkumpul, sedang arti kiasannya ialah watha
yang berarti setubuh atau aqad yang berarti mengadakan perjanjian
pernikahan. Dalam pernikahan bahasa sehari-hari perkataan nikah lebih banyak
dipakai dalam arti kiasan daripada arti yang sebenarnya, bahkan nikah dalam arti
yang sebenarnya jarang sekali dipakai pada saat ini. (Kamal Mukhtar, Loc. Cit)
Tujuan Perkawianan
Sedikitnya ada empat macam yang tujuan perkawinan.Keempat macam
tujuan perkawinan itu hendaknya benar-benar dapat dipahami oleh calon suami atau
isteri,supaya terhindar dari keretan dalam rumah tangga yang biasanya berakhir
dengan perceraianyang sangat dibenci oleh Allah.
Menentramkan Jiwa
Mewujudkan (Melestarikan)Turunan
Memenuhi Kebutuhan Biologis
Latihan Memiliki Tanggung Jawab
Keempat faktor yang terpenting (menentramkan jiwa,melestarikan turunan,memenuhi
kebutuhan biologis dan latihan bertanggung jawab),dari tujuan perkawinan perlu
mendapat perhatian dan direnungkan matang- matang ,agar kelangsungan hidup
berumah tangga dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Perkawinan Menurut Hukum Agama
Perkawinan hanya sah jika dilakukan menurut hukum agama yangdianut oleh
calon pasangan yang akan melaksanakan pernikahan. Keduapasangan suami isteri
tersebut menganut agama yang sama. Jika antarakeduanya menganut agama yang
berlainan, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya
menganut agama calon lainnya tersebut.
Perkawinan Menurut Hukum Nasional
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam konsepsi hukum perdata Barat, perkawinan hanya dipandang sebagai
hubungankeperdataan saja.Artinya, tidak ada campur tangan dari Undang-undang
terhadap upacara-upacara keagamaan yang melangsungkan perkawinan. Undangundang hanya mengenal perkawinan perdata, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di
hadapan seorang pegawai catatan sipil.

Demikian juga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang


berlaku di Indonesia. Untuk melangsungkan sebuah perkawinan, hanya dibutuhkan dua
macam syarat, yaitu:
1.
Syarat materil, yang merupakan inti dalam melangsungkan perkawinan pada
umumnya. Syarat ini meliputi:
A.
Syarat materil mutlak yang merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi
seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya.
Syarat itu meliputi:
1.
Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang
wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 KUHPerdata).
2.Persetujuan dari calon suami dan istri (Pasal 28 KUHPerdata).
3.
Interval 300 hari bagi seorang wanita yang pernah kawin dan ingin kawin kembali
(Pasal 34 KUHPerdata).
4.
Harus ada izin dari orangtua atau wali bagi anak-anak yang belum dewasa dan
belum pernah kawin (Pasal 35 Pasal 49 KUHPerdata.
B.
Syarat materil relatif, yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang
untuk kawin dengan orang tertentu, yang terdiri atas 2 macam:
1.
Larangan kawin dengan keluarga sedarah.
2.
Larangan kawin karena zinah
3.
Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian, jika
belum lewat waktunya satu tahun.
Syarat formal, yaitu syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan
mencakup pemberitahuan ke pegawai Catatan Sipil (Pasal 50 51 KUHperdata).
2. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (UU
Perkawinan) maka semua perundang-undangan perkawinan Hindia Belanda dinyatakan
tidak berlaku lagi. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 66 UU Perkawinan.
Menurut Pasal 1 UU Perkawinan, perkawinan adalah sebuah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Dari pasal ini, tersirat bahwa perkawinan yang berlaku di Indonesia
adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita saja. Selanjutnya, dalam Pasal 2
Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa perkawinan dianggap sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak. Setelah
perkawinan dilakukan, perkawinan tersebut pun harus dicatatkan, dalam hal ini
pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Catatan Sipil.
Pasal 6 UU Perkawinan menetapkan beberapa persyaratan untuk melakukan
perkawinan, yaitu:
1.
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2.
Bila calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, maka ia harus mendapat
izin kedua orangtua atau salah satunya bila salah satu orangtua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya. Apabila keduanya
telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan

kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
3.
Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut di atas
atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin melakukan
perkawinan.
4.
Ketentuan di atas tidak bertentangan atau tidak diatur lain oleh hukum rnasingmasing agamanya dan kepercayaannya yang bersangkutan.
Sementara, untuk larangan kawin, UU Perkawinan (Pasal 8) prinsipnya hanya
melarang terjadinya perkawinan yang keduanya memiliki hubungan tertentu, baik
hubungan sedarah, semenda, susuan atau hubungan-hubungan yang dilarang oleh
agamanya atau peraturan lain.
UU Perkawinan memandang perkawinan tidak hanya dilihat dari aspek formal
semata-mata, melainkan juga dari aspek agama. Aspek agama menetapkan tentang
keabsahan suatu perkawinan, sedangkan aspek formalnya menyangkut aspek
administratif, yaitu pencatatan perkawinan. Menurut UU Perkawinan, kedua aspek ini
harus terpenuhi keduanya. Bila perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan
Undang-undang negara, tanpa memperhatikan unsur agama, perkawinan dianggap
tidak sah. Sebaliknya, apabila perkawinan dilakukan hanya memperhatikan unsur
hukum agama saja, tanpa memperhatikan atau mengabaikan Undang-undang (hukum
negara), maka perkawinan dianggap tidak sah.
Sahnya suatu perkawinan berdasarkan ketentuan dalam pasal 2 UUP adalah :
1. Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya. Dalam
penjelasan pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum
agamanya dan kepercayaanya itu.
2. Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 (PP No.
9/1975). Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan
oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama. Sedangkan, bagi
mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaanya di luar
agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (pasal 2 PP No.
9/1975).

E. Status Perkawinan Beda-Agama Dalam Hukum Nasional


UU Perkawinan tidak memberi larangan yang tegas mengenai perkawinan yang
dilakukan oleh pasangan yang memiliki agama/keyakinan yang berbeda.Hal ini
menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di kalangan masyarakat.Sebagian
berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak sah karena tidak memenuhi baik

1.
2.
3.
4.

F.

ketentuan yang berdasarkan agama, maupun berdasarkan Undang-undang


negara.Sementara, di sisi lain, ada pihak yang berpendapat berbeda.Perkawinan
antara pasangan yang berbeda-agama sah sepanjang dilakukan berdasarkan
agama/keyakinan salah satu pihak.
Prof. Wahyono Darmabrata menyebutkan ada 4 cara yang populer ditempuh oleh
pasangan beda-agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu:
Perkawinan dilakukan dengan meminta penetapan pengadilan.
Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama.
Penundukan sementara pada salah satu hukum agama
Perkawinan dilakukan di luar negeri.
Untuk cara yang keempat, UU Perkawinan memberikan ruang yang dapat
digunakan sebagai sarana untuk melegalkan perkawinan tersebut. Pasal 56 UU
Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia
antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan
warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di
negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan, bagi warganegara Indonesia tidak
melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. Selanjutnya disebutkan bahwaa
dalam waktu 1 tahun setelah suami dan isteri tersebut kembali ke wilayah Indonesia,
surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan
tempat tinggal mereka.
Namun, menurut Prof. Wahyono Darmabrata, perkawinan yang demikian tetap saja
tidak sah sepanjang belum memenuhi ketentuan yang diatur oleh agama.Artinya,
tetap perkawinan yang berlaku bagi warga negara Indonesia harus memperhatikan
kedua aspek, yaitu aspek Undang-undang dan aspek hukum agama.
Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama
Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yangmenyatakan
bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara duaorang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karenaperbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraanIndonesia.
Berdasarkan pada pasal 57 UU No. 1/1974, maka perkawinan bedaagama di
Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehinggasemestinya pengajuan
permohonan perkawinan beda agama baik di KUAdan Kantor Catatan Sipil dapat
ditolak.
Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atauperkawinan beda
agama belum diatur dalam undang-undang secara tuntasdan tegas. Oleh karenanya,
ada Kantor Catatan Sipil yang tidak maumencatatkan perkawinan beda agama dengan
alasan perkawinan tersebutbertentangan dengan pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula
Kantor CatatanSipil yang mau mencatatkan berdasarkan GHR, bahwa perkawinan
dilakukanmenurut hukum suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami.
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinantentang
perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan menuruthukum masingmasing agama atau kepercayaannya. Artinya jika perkawinankedua calon suami-isteri
adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukumagama atau kepercayaannya

berbeda, maka dalam hal adanya perbedaankedua hukum agama atau kepercayaan itu
harus dipenuhi semua, berartisatu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon
dan satu kali lagimenurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya.
Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan denganmenganut
salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suamiatau si calon isteri.
Artinya salah calon yang lain mengikuti ataumenundukkan diri kepada salah satu
hukum agama atau kepercayaanpasangannya.
Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidaksecara
tegas mengatur tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agungsudah pernah
memberikan putusan tentang perkawinan antar agama padatanggal 20 Januari 1989
Nomor: 1400 K/Pdt/1986.
Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak memuat
suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri
merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945pasal 27 yang
menyatakan bahwa segala warga negara bersamaankedudukannya di dalam hukum,
tercakup di dalamnya kesamaan hak asasiuntuk kawin dengan sesama warga negara
sekalipun berlainan agama danselama oleh undang-undang tidak ditentukan bahwa
perbedaan agamamerupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan
denganjiwa pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan
bagisetiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing.
Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No. 1/1974dan dalam
GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaanprinsip maupun falsafah
yang sangat lebar antara UU No. 1/1974 dengankedua ordonansi tersebut. Sehingga
dalam perkawinan antar agama terjadikekosongan hukum.
Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup diIndonesia yang
masyarakatnya bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikitterjadi perkawinan antar
agama.Maka MA berpendat bahwa tidak dapatdibenarkan terjadinya kekosongan
hukum tersebut, sehingga perkawinanantar agama jika dibiarkan dan tidak diberiakan
solusi secara hukum, akanmenimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan
bermasyarakat maupunberagama berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai
sosial maupun hukumnya.
Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan
antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterimapermohonannya di
Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yangberwenang untuk
melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteritidak beragama Islam untuk
wajib menerima permohonan perkawinan antaragama.
Dari putusan MA tentang perkawinan antar agama sangat kontroversi,namun
putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisikekosongan hukum
karena tidak secara tegas dinyatakan dalam UU No.1/1974.
Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikansebagai
yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinanantar agama dapat
menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu darisumber-sumber hukum yang
berlaku di Indonesia.

Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untukmelangsungkan


perkawinan antar agama dapat diajukan kepada KantorCatatan Sipil. Dan bagi orang
Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salahsatu pasangan tersebut berkehendak untuk
melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan
bahwa denganmengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi
menghiraukanstatus agamanya.Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak
lagimerupakan halangan untuk dilangsungkan perkawinan, dengan anggapanbahwa
kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam.Dengan demikianKantor Catatan
Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebutbukan karena kedua calon
pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yangberbeda agama, tetapi dalam status
hukum agama atau kepercayaan salahsatu calon pasangannya.
Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukandengan
cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agamatersebut di luar
negeri. Berdasarkan pada pasal 56 UU No. 1/1974 yangmengatur perkawinan di luar
negeri, dapat dilakukan oleh sesama warganegara Indonesia, dan perkawinan antar
pasangan yang berbeda agamatersebut adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang
berlaku di negara dimana perkawinan itu berlangsung.
Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidakdalam jangka
waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan dikantor pencatatan
perkawinan tempat tinggal mereka.Artinya perkawinanantar agama yang dilakukan
oleh pasangan suami isteri yang berbedaagama tersebut adalah sah karena dapat
diberikan akta perkawinan.
G. Pandangan Agama-agama Tentang Perkawinan Beda Agama
a. Pandangan Agama Islam
Pandangan Agama Islam terhadap perkawinan antar agama, pada prinsipnya
tidak memperkenankannya. Dalam Alquran dengan tegas dilarang perkawinan antara
orang Islam dengan orang musrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang
berbunyi :Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka
beriman.Sesungguh nya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walupun dia menarik hati.Dan janganlah kamu menikahkah orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.(Al-Baqarah
[2]:221)
Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi lakilaki maupun wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan orang-orang yang tidak
beragama Islam. (O.S. Eoh, 1996 : 117)
a. Pandangan Agama Katolik
Salah satu halangan yang dapat mengakibatkan perkawinan tidak sah, yaitu
perbedaan agama. Bagi Gereja Katholik menganggap bahwa perkawinan antar
seseorang yang beragama katholik dengan orang yang bukan katholik, dan tidak
dilakukan menurut hukum agama Katholik dianggap tidak sah

Disamping itu, perkawinan antara seseorang yang beragama Katholik dengan


orang yang bukan Katholik bukanlah merupakan perkawinan yang ideal.
Hal ini dapat dimengerti karena agama Katholik memandang perkawinan
sebagai sakramen sedangkan agama lainnya (kecuali Hindu) tidak demikian karena itu
Katholik menganjurkan agar pengahutnya kawin dengan orang yang beragama
katholik.(Ibid. , h. 118-119).
b. Pandangan Agama Protestan
Pada prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya kawin dengan
orang yang seagama, karena tujuan utama perkawinan untuk mencapai kebahagiaan
sehingga akan sulit tercapai kalau suami istri tidak seiman.
Dalam hal terjadi perkawinan antara seseorang yang beragma Protestan dengan
pihak yang menganut agama lain, menurut Pdt. Dr. Fridolin Ukur (1987:2),
maka:Mereka dianjurkan untuk menikah secara sipil di mana kedua belah pihak tetap
menganut agama masing-masing.Kepada mereka diadakan pengembalaan khusus.Pada
umumnya gereja tidak memberkati perkawinan mereka.
Ada gereja-gereja tertentu yang memberkati perkawinan campur ini beda
agama ini, setelah pihak yang bukan protestan membuat pernyataan bahwa ia
bersedia ikut agama Protestan.
Keterbukaan ini dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa pasangan yang tidak
seiman itu dikuduskan oleh suami atau isteri yang beriman.
Ada pula gereja tertentu yang bukan hanya tidak memberkati, malah anggota
gereja yang kawin dengan orang yang tidak seagama itu dikeluarkan dari gereja.
(Ibid. , h. 122-123).

c.

Pandangan Agama Hindu


Perkawinan orang yang beragama Hindu yang tidak memenuhi syarat dapat
dibatalkan. Menurut Dde Pudja, MA (1975:53), suatu perkawinan batal karena tidak
memenuhi syarat bila perkawinan itu dilakukan menurut Hukum Hindu tetapi tidak
memenuhi syarat untuk pengesahannya, misalnya mereka tidak menganut agama yang
sama pada saat upacara perkawinan itu dilakukan, atau dalam hal perkawinan antar
agama tidak dapat dilakukan menurut hukum agama Hindu.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk mensahkan suatu perkawinan
menurut agama Hindu, harus dilakukan oleh Pedande/Pendeta yang memenuhi syarat
untuk itu. Di samping itu tampak bahwa dalam hukum perkawinan Hindu tidak
dibenarkan adanya perkawinan antar penganut agama Hindu dan bukan Hindu yang
disahkan oleh Pedande.
Dalam agama Hindu tidakdikenal adanya perkawinan antar agama.Hal ini
terjadi karena sebelum perkawinan harus dilakukan terlebih dahulu upacara
keagamaan. Apabila salah seorang calon mempelai tidak beragama Hindu, maka dia
diwajibkan sebagai penganut agama Hindu, karena kalau calon mempelai yang bukan
Hindu tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian dilaksanakan perkawinan, hal ini
melanggar ketentuan dalam Seloka V89 kitab Manawadharmasastra, yang berbunyi:

Air pensucian tidak bisa diberikan kepada mereka yang tidak menghiraukan
upacara-upacara yang telah ditentukan, sehingga dapat dianggap kelahiran mereka itu
sia-sia belaka, tidak pula dapat diberikan kepada mereka yang lahir dari perkawinan
campuran kasta secara tidak resmi, kepada mereka yang menjadi petapa dari
golongan murtad dan pada mereka yang meninggaal bunuh diri.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan antar agama dimana
salah satu calon mempelai beragama Hindu tidak boleh dan pendande/Pendeta akan
menolak untuk mengesahkan perkawinan tersebut. (Ibid. , h. 124-125).
d. Pandangan Agama Budha
Perkawinan antar agama di mana salah seorang calon mempelai tidak
beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan, asal
pengesahan perkawinannya dilakukan menurut cara agama Budha. Dalam hal ini calon
mempelai yang tidak bergama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha
terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan, kedua mempelai
diwajidkan mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka yang
merupakan dewa-dewa umat Budha.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama Budha tidak melarang
umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi kalau
penganut agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama Budha.
Di samping itu, dalam upacara perkawinan itu kedua mempelai diwajibkan
untuk mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak
langsug berarti bahwa calon mempelai yang tidak beragama Budha menjadi penganut
agama Budha, walaupun sebenarnya ia hanya menundukkan diri pada kaidah agama
Budha pada saat perkawinan itu dilangsungkan. Untuk menghadapi praktek
perkawinan yang demikian mungkin bagi calon mempelai yang tidak beragama Budha
akan merasa keberatan. (Ibid. ,h. 125).
H. Macam Pernikahan Beda Agama
Dalam agama Islam ada 2 macam pernikahan beda agama
1. Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam.
2. Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam.
2.1. Lelaki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab.
2.2. Lelaki Muslim dengan perempuan non Ahli Kitab.
2.2.1. Perkawinan dengan wanita musyrik.
2.2.2. Perkawinan dengan wanita majusi.
2.2.3. Perkawinan dengan wanita shabiah.
2.2.4. Perkawinan dengan wanita penyembah berhala.
a. Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam.
Hukum mengenai perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki nonIslam adalah jelas-jelas dilarang (haram). Dalil yg digunakan untuk larangan
menikahnya
muslimah
dengan
laki-laki
non
Islam
adalah
Surat
AlBaqarah(2):221,“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnyawanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Dan janganlah kamumenikahkan orang-orang

musyrik
(dengan
wanita-wanita
mukmin)
sebelum
mereka
beriman.Sesungguhnyabudak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintahperintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran & Idquo; Jadi, wanita
musliman dilarangatau diharamkan menikah dengan non muslim, apapun alasannya.
Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Alquran diatas. Bisa dikatakan, jika seorang
muslimah memaksakan dirinya menikah dengan laki-laki non Islam, maka akan
dianggap berzina. Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam
Sayid Sabiq (Fiqh As-Sunnah, jilid II:95) mengatakan bahwa ulama fikih
sepakat mengharamkan perkawinan perempuan Muslim dengan pria non-Muslim dari
golongan mana pun sebagaimana dilansir dalam Q.S. Al-Baqarah/2:221. Menurut Ali
Ash-Shabuni (Rawai Al-Bayan -tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Quran, Juz I:289) Q.S. AlMumtahanah/60:10 mengandung kemutlakan yang mencakup juga ahlulkitab dan nonMuslim lainnya termasuk murtad dari Islam.
Maulana Muhammad Ali (Quran Suci: Teks Arab Terjemah dan Tafsir,
terjemahan, 1993:119) mengatakan bahwa Alquran sebenarnya tidak menyebutkan
secara tegas larangan perkawinan wanita Muslim dengan pria non-Muslim.Namun
dalam praktiknya mayoritas umat Islam sejak dulu memang menolak model
perkawinan tersebut. Ketidaksetujuan itu semata-mata didasari atas ijtihad bahwa
seorang wanita Muslim yang menikah dengan pria non-Muslim akan menemukan
banyak problem jika tinggal dalam keluarga non-Muslim.
Mahmoud Muhammad Toha sebagaimana dikutip oleh muridnya Abdullahi
Ahmed An-Naim (Dekonstruksi Syari'ah/2001:345-346) berpendapat bahwa larangan
pengharaman perkawinan model ini karena dependensi wanita kepada pria terutama
dalam bidang ekonomi dan keamanan. Namun untuk konteks sekarang di mana wanita
dan pria memiliki kebebasan dan kemampuan tanggung jawab yang sama di depan
hukum, larangan ini sudah tidak berlaku lagi.
Sejalan dengan itu, penelitian sosial yang dilakukan Noryamin Aini mengenai
praktik perkawinan beda agama di Yogyakarta mendapatkan hasil mengejutkan. Di
mana figur ibu secara konsisten sangat dominan membawa anak-anaknya memeluk
agama yang dianutnya.Data ini meruntuhkan asumsi dan mitos klasik seperti yang
dikutip Maulana Muhammad Ali. Untuk itu, tidak ada lagi alasan empiris yang dapat
dijadikan dasar melarang perkawinan beda agama. (Gatra: 21 Juni 2003). Zainun
Kamal berpendapat bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan pria non-Muslim
mana pun selain pria kafir musyrik Quraisy. Menurutnya, Q.S. Al-Mumtahanah/60:10
bermaksud melarang perkawinan wanita Muslim dengan pria kafir musyrik Quraisy,
bukan lainnya. Pendapat ini diambil dari Ibnu Katsir, Tafsir Alquran Al-Adzim, Jilid 4
hal 19, Al- Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, Jilid 4 hal 92 dan Al-Fakhruddin Al-Razi, Tafsir AlKabir, Jilid 29 hal 305.
b. Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam.
b.1. Laki-laki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum perkawinan pria muslim dengan
wanita ahli kitab.
1. Menurut pendapat Jumhur Ulama Baik Hanafi,Maliki,Syafii maupun Hambali,seorang
pria muslim diperbolehkan kawin dengan wanita ahli kitab yang berada dalam
lindungan (kekuasaan) negara Islam(ahli Dzimmah).
2. Golongan Syiah Imamiah dan syiah Zaidiyah berpendapat,bahwa pria muslim tidak
boleh kawin dengan wanita ahli kitab.
Golongan pertama (Jumhr Ulama) mendasarkan pendapat mereka kepada beberapa
dalil Firman Allah dalam surah al-maidah ayat 5

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.Makanan (sembelihan) orang-orang


yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin
mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat
termasuk orang-orang merugi.(Al-Maaidah Ayat 5)
Golongan kedua (Syiah)melandaskan pendapatnya pada beberapa dalil, Firman
Allah: Dan jangan lah kamu nikahi wanits-wanita musyrik,sebelim mereka
beriman...(al-Baqarah:221)
Firman Allah:
Artinya: Dan janganlah kamu berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuanperempuan kafir,(al-Muntahanah:10)
Kalau kita perhatikan pendapat Syiah (Imamiyah dan Zaidiyah) maka mereka
menganggap bahwa ahli kitab itu musyrik.Akan tetapi didalam Al-quran sendiri
dinyatakan bahwa ahli kitab dan musyik itu tidak sama,sebagaimana firman Allah:
Artinya: Sesungguhnya oramg-orang kafir,yakni ahli kitab dan orang-orang
musyrik(akan masuk)keneraka jahanam ,mereka kekal didalamnya.Mereka itu adalah
seburuk-buruk makhluk (al-Bayinah:6)
Dalam ayat diatas cukup jelas,bahwa ahli kitab dan musyrik itu berbeda.Kemudian
dikalangan Jumhur Ulama membolehkan kawin dengan ahli kitab,juga berbeda
pendapat

1. Sebagian mazhab Hanafi,Maliki,Syafii dan Hambali mengatakan bahwa perkawinan


itumakruh.
2. Menurut pendapat sebagian mazhab Maliki,Ibnul Qosim,Khalil bahwa perkawinan itu
diperbolehkan secara mutlak dan ini merupakan pendapat Malik.
3. Az-Zarkasyi(mazhab Syafii)mengatakan bahwa pernikahan itu disunatkan apabila
wanita ahli kitab itu diharapkan dapat masuk Islam,Sebagai contohnya adalah
perkawinan Usman bin Affan dengan Nailah,sebagaimana telah dikemukakan sebelum
ini.sebagian mazhab Syafii pun ada yang berpendapat demikian.
Kendatipun Jumhur Ulama membolehkan kawin dengan wanita-wanita ahli
kitab,akan tetapi perlu direnungkan lebih mendalam tentang dampak negatip dari
perkawinan itu.Tujuan berumah tangga (perkawinan) itu adalah untuk memperoleh
ketentraman dan ketenangan jiwa serta mendapatkan turunan yang baikbaik(saleh).Apakah mungkin ketenangan jiwa diperoleh dalam suatu rumah tangga
yang berlainan akidahdan apakah mungkin mendidik anak-anak yang saleh dalam satu
keluarrga yang beragam keyakinan?
Yang lebih aman adalah menghindar dari persoalan-persoalan yang banyak
mengandung teka-teki dan memilih jalan yang sudah jelas arahnya,yaitu kawin
dengan sesama muslim.Dengan demikian resiko yang dihadapi lebih kecil dalam
membina rumah tangga .Dalam agama Islam ada suatu prinsip,yaitu suatu tindakan
preventip(pencegahan) Ibaratnya menjaga kesehatan lebih utama atau lebih baik
daripada mengobatinya setelah dibiarkan sakit terlebih dahulu.Membenarkan kawin
dengan
wanita
non
muslim
berarti
mengundang
penyakit,yaitu
penyakitkufur(murtad)memghindari kawin dengan mereka berarti telah mengadakan
tindakan preventif.Kaidah fiqh mengatakan: Menghindar dari kemudaratan harus
didahulukan atasmencari/menarik maslahat (kebaikan)
Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam,pasal 40 ayat
(c),dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria beragama Islam dengan
wanita yang tidak beragama Islam.Sebaliknya pasal 44 disebutkan dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang wanita yang beragama Islam dengan pria
yang bukan beragama Islam.Apa yang telah ditetapkan dalam Kompilasi hukum Islam
itu telah tepat dan keputusan yang amat bijaksana bagi bangsa kita yang mayoritas
memeluk agama Islam.
b.2. Lelaki Muslim dengan perempuan non Ahli Kitab.
b.2.1. Perkawinan dengan wanita musyrik

Agama Islam tidak memperkenankan pria muslim


musyrik,sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:

kawin

dengan

wanita

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka


beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu.Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya.Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran. (Surat Al-Baqarah Ayat 221)
Nash diatas dengan jelas melarang mengawini wanita musyrik.Demikian juga pendapat
para ulama menegaskan demikian.
b.2.2. Perkawinan dengan wanita majusi
Pria muslim juga tidak diperbolehkan mengawini wanita majusi(penyembah
api),sebab mereka tidak termasuk ahli kitab.Demikian pendapat Jumhur Ulama,dan
yang dimaksud dengan ahli kitab adalah yahudi dan nashara.
Sedangkan golongan Zhahariyah memperbolehkan pria muslim kawin drngan
wanita majusi karena orang-orang majusi dimasukkan kedalam kelompok ahli
kitab.yang dianggap paling tepat adalah pendapat Jumhur Ulama,yaitu pria muslim
tidak diperbolehkan kawin dengan wanita majusi,sebab mereka tidak termasuk ahli
kitab,sebagaimana ditegaskan dalam fiirman Allah:
yang artinya:
(Kami turunkan Al-quran itu)agar kamu(tidak)menyatakan:Bahwa Kitab itu hanya
diturunkan kepada dua golongan(Yahudi dan Nasrani) saja sebelum kami dan
sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca QS al-Anaam:156
Sekiranya orang-orang majusi dianggap sebagai ahli kitab,makadalam ayat tersebut
seharusnya disebut tiga golongan bukan dua golangan.
b.2.3. Perkawinan dengan Wanita Shabiah

Shabiah adalah satu golongan dalam agama Nasrani,Shabiah dinisbatkan


kepada Shab paman Nabi Nuh as.ada pula yang berpendapat dinamakan Shabiah
karena berpindah dari satu agama kepada agama yang lain.
Ibnul Hamman mengatakan,bahwa orang-orang Shabiahadalah golongan yang
memadukan antara agama yahudi dan Nasrani.Mereka menyembah bintangbintang,dalam berbagai buku hadis disebutkan,bahwa mereka termasuk golongan ahli
kitab.
Menurut riwayat Umar,bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat mengagungkan
hari Sabtu.Sedangkan Mujahidmenganggap,mereka berada diantara agama yahudi dan
Nasrani.
Imam Syafii mengambil jalan tengah,yaitu apabila mereka lebih mendekati keyakinan
mereka kepada salah satu agama(Yahudi atau Nasrani),Maka orang tersebut termasuk
Para ulama ber beda pendapat yang mengatakan termasuk ahli kitab dan ada pula
yang mengatakan tidak.Demikian pula maka hukum perkawinan dengan wanita
shabiahjuga berbeda pendapat.Abu Hanifah berpendapat boleh kawin dengan wanita
shabiah.sedang Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan asy Syaibani tidak
membolehkannya,karena mereka menyembah patung-patung dan bintangbintang.Pendapat Maliki juga sejalan dengan pendapat iniMazhab Syafii dan mazhab
Hambali membuat garis pembatas dalam maslah ini,jika mereka menyerupai orangorang yahudi atau nasrani dalam prinsip-prinsip agamanya,maka wanita shabiah itu
boleh dikawini.Tetapi bila berbeda dalam hal-hal prinsip berarti mereka tidak
termasuk golongan yahudi atau nasrani dan berarti pula bahwa wanita shabiah itu
tidak boleh dikawini oleh pria muslim.
b.2.4. Perkawinan dengan Wanita Penyembah Berhala
Para ulama telah sepakat bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanit a
penyem bah berhala,dan penyembah benda benda lainya,karena mereka termasuk
orang-orang kafir,sebagaimana firman Allah :
Artinya: Dan janganlah kamu berpegang pada tali(perkawinan) dengan perempuanperempuan kafir...(al-Muntahanah:10)
Pada ayat lain Allah berfirman:
Artinya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka
beriman (al-Baraqarah:221)
Secara ringkas hukum nikah beda agama bisa kita bagi menjadi demikian :
1. Suami Islam, istri ahli kitab = boleh
2. Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram
3. Suami ahli kitab, istri Islam = haram
4. Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram
Dibolehkannya laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab namun tidak
sebaliknya karena laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa atas isterinya,
dan bertanggung jawab terhadap dirinya. Islam menjamin kebebasan aqidah bagi
isterinya, serta mlindungi hak-hak dan kehormatannnya dengan syariat dan

bimbingannya. Akan tetapi, agama lain seperti nasrani dan yahudi tidak pernah
memberikan jaminan kepada isteri yang berlainan agama.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Hukum perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab menurut pendapat
Jumhur Ulama diperbolehkan asalkan berada didalam kekuasaan negara islam.
b. Menurut Golongan Syiah dan Zaidiyah tidak membolehkan perkawinan laki-laki
muslim dengan wanita ahli kitab karena mereka disamakan dengan wanita wanita
musyik atau wanita yang tidak beriman kepada Allah
c. problem yang mungkin akan dihadapi seandainya laki-laki muslim kawin dengan
wanita ahli kitab adalah tidak adanya ketentraman dan ketenangan jiwa serta tidak
akan mendapatkan keturunan yang saleh karna tidak mungkin anak yang saleh
terdidikdari orang tua yang berlainan agama
d.

Penolakan terhadap perkawinan beda agama, baik dari segi pelaksanaannya maupun
pencatatannya jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh HAM
terutama hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang.

2. Saran

a. Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, maka hal tersebut juga merupakan bagian
dari hak warga negara yang mesti dilindungi dan dipenuhi haknya. Asumsi dasar dari
pencatatan perkawinan adalah bahwa pernikahan, disamping sebagai bagian aktifitas
ritual dalam semua agama, juga harus ditempatkan sebagai perikatan yang berdimensi
yuridis dan sosiologis sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan aspek
legalitas yang bersifat yuridis-formal. Maka, materi-materi di dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 dan KHI perlu diperbaharui untuk tujuan penyempurnaan, sehingga
mampu memberikan solusi terhadap persoalan yang muncul di masyarakat, baik dalam
aturan formil maupun materil.
b. Penolakan atas perkawinan beda-agama merupakan tindakan yang diskriminatif
berdasarkan agama.Negara perlu segera melakukan harmonisasi dari seluruh
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hak-hak dasar sebagai wujud
konkrit dari pengakuan atas HAM dan untuk menjaga kepastian hukum sehingga tidak
ada lagi warga negara yang melakukan perkawinan dengan memanfaatkan celah-celah
dalam peraturan perundang-undangan.Pengakuan terhadap perkawinan beda-agama
juga dapat meminimalisir ekses-ekses negatif yang mungkin timbul dalam
masyarakatsekaligus menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk dapat menjiwai
hak-hak asasi manusia yang sudah seharusnya melekat dalam setiap manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul,Muaal M.al-Jabri. 1994. Perkawinan antar Agama Tinjauan Islam,(terjemahan)Risalah
Gusti. Surabaya
Departemen Agama. 1989. Al-Quran dan terjemahannya. Surabaya: Mahkota
Undang-undang Perkawinan No.1/1974
Soimin,Soedharyo SH. 2002. Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Jakara: CV Haji Masaung,

También podría gustarte