Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, dari segi suku, agama,
dan ras, terdapat berbagai macam masalah yang timbul di dalamnya. Seperti misalnya
masalah di dalam pembagian harta warisan dalam keluarga, masalah mengenai jenis
adat apa yang berlaku dalam suatu aturan keluarga.
Salah satu masalah yang menjadi sorotan dalam konflik-konflik yang timbul dalam
masyarakat sekarang ini ialah, dimana sering kita jumpai terjadinya pelangsungan
Pernikahan
Beda
Agama.
Negara Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang luas dan terbentuk
dari ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke.Dalam wilayah yang luas dan banyak
terpisahkan oleh lautan itu, hidup golongan-golongan masyarat yang berbeda latar
belakang satu sama lain.Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam
tersebut, baik dari segi budaya, suku, ras, agama, kontak antar satu golongan
masyarakat satu dengan yang lain sudah tentu tidak dapat dihindarkan. Kontak antar
masyarakat yang berbeda latar belakang ini pada kemudian hari menimbulkan adanya
suatu fenomena dalam masyarakt yaitu berupa perkawinan campuran.
Salah satu perkawinan campuran yang paling banyak mengundang perdebatan
adalah perkawinan campuran antara pasangan yang memiliki agama yang berbeda.
Masalahnya, dengan perkawinan beda agama akan terjadi suatu perbedaan prinsipil
dalam perkawinan itu sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah
yang rumit untuk diselesaikan di kemudian hari. Ole karena itu kemudian hal ini
banyak mendapat tentangan dari masyarakat luas, tetapi juga oleh hukum positif di
negara kita serta hukum agama yang mereka anut. Walau tidak dapat dipungkiri ada
saja pihak yang pro terhadap keberadaan perkawinan beda agama ini.
Islam sendiri sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk di Indonesia
sebenarnya juga menentang keras mengenai keberadaan perkawinan antar agama di
dalam masyarakat Indonesia saat ini. Sangat dilarang bagi umat Islam untuk menikahi
pasangan yang non muslim. Larangan ini dapat kita jumpai dalam sumber-sumber
hukum Islam yang menyebutkannya secara implisit maupun eksplisit.
Namun ada
juga pertentangan dalam Islam sendiri mengenai penafsiran sumber-sumber hukum
Islam tersebut yang menyangkut perkawinan beda agama. Ada mazhab yang
memberikan sedikit kelonggaran dalam pelaksanaan perkawinan beda agama dengan
kondisi-kondisi yang sudah ditentukan sebelumnya. Sementara mazhab yang lain
secara tegas menentang segala bentuk perkawinan antara muslim dengan non-
muslim.
Dengan adanya berbagai perbedaan pandangan mengenai perkawinan beda agama ini,
maka tim penyusun makalah ini tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai
perkawinan beda agama di Indonesia, terutama dilihat dari perspektif hukum Islam.
Hal ini dikarenakan tidak dapat kita pungkiri, sebagian besar masyarakat Indonesia
menganut agama Islam sehingga sudah barang tentu hukum Islam diperhitungkan
sebagai salah satu sistem hukum yang banyak hidup di tengah masyarakat
Indonesia.Dengan begitu hukum Islam dapat menjadi salah satu tolak ukur dalam
menilai masalah perkawinan beda agama ini.
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai
penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu
keluarga atau rumah tangga.
Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang
kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-undang Perkawinan
No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat
dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan
hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh
tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama.Hal ini berarti juga bahwa
hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut
hukum negara.Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya
tergantung pada ketentuan agama.
Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan
hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berarti menyebabkan
tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat- syarat dan tata cara
pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing.
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbedaagama itu
terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri.Berdasarkanketentuan perundangundangan yang berlaku secara positif di Indonesia,telah jelas dan tegas menyatakan
bahwa sebenarnya perkawinan antaragama tidak diinginkan, karena bertentangan
dengan hukum yang berlaku diIndonesia. Tetapi ternyata perkawinan antar agama
masih sajaterjadi danakan terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial diantara
seluruh warganegara Indonesia yang pluralis agamanya. Banyak kasus-kasus yang
terjadididalam masyarakat, seperti perkawinan antara artis Jamal Mirdad denganLydia
Kandau, Katon Bagaskara dengan Ira Wibowo, Yuni Shara denganHenri Siahaan, Adi
Subono dengan Chrisye, Ari Sihasale dengan NiaZulkarnaen, Dedi Kobusher dengan
Kalina, Frans dengan Amara, SonnyLauwany dengan Cornelia Agatha, dan masih
banyak lagi.
B. Permasalahan
Perkawinan
antar
agama
yang
terjadi
dalam
kehidupan
masyarakat,seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini negara atau pemerintah
secarategas melarangnya dan menghilangkan sikap mendua dalam mengatur
C.
1.
2.
3.
4.
D.
E.
F.
G.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Arti Perkawinan
Perkawinan menurut istilah ilmu Fiqh dipakai perkataan nikah dan
perkataan ziwaj. (Kamal Mukhtar, 1974 : 1)
B.
1.
2.
3.
4.
C.
D.
1.
kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
3.
Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut di atas
atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin melakukan
perkawinan.
4.
Ketentuan di atas tidak bertentangan atau tidak diatur lain oleh hukum rnasingmasing agamanya dan kepercayaannya yang bersangkutan.
Sementara, untuk larangan kawin, UU Perkawinan (Pasal 8) prinsipnya hanya
melarang terjadinya perkawinan yang keduanya memiliki hubungan tertentu, baik
hubungan sedarah, semenda, susuan atau hubungan-hubungan yang dilarang oleh
agamanya atau peraturan lain.
UU Perkawinan memandang perkawinan tidak hanya dilihat dari aspek formal
semata-mata, melainkan juga dari aspek agama. Aspek agama menetapkan tentang
keabsahan suatu perkawinan, sedangkan aspek formalnya menyangkut aspek
administratif, yaitu pencatatan perkawinan. Menurut UU Perkawinan, kedua aspek ini
harus terpenuhi keduanya. Bila perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan
Undang-undang negara, tanpa memperhatikan unsur agama, perkawinan dianggap
tidak sah. Sebaliknya, apabila perkawinan dilakukan hanya memperhatikan unsur
hukum agama saja, tanpa memperhatikan atau mengabaikan Undang-undang (hukum
negara), maka perkawinan dianggap tidak sah.
Sahnya suatu perkawinan berdasarkan ketentuan dalam pasal 2 UUP adalah :
1. Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya. Dalam
penjelasan pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum
agamanya dan kepercayaanya itu.
2. Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 (PP No.
9/1975). Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan
oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama. Sedangkan, bagi
mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaanya di luar
agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (pasal 2 PP No.
9/1975).
1.
2.
3.
4.
F.
berbeda, maka dalam hal adanya perbedaankedua hukum agama atau kepercayaan itu
harus dipenuhi semua, berartisatu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon
dan satu kali lagimenurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya.
Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan denganmenganut
salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suamiatau si calon isteri.
Artinya salah calon yang lain mengikuti ataumenundukkan diri kepada salah satu
hukum agama atau kepercayaanpasangannya.
Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidaksecara
tegas mengatur tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agungsudah pernah
memberikan putusan tentang perkawinan antar agama padatanggal 20 Januari 1989
Nomor: 1400 K/Pdt/1986.
Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak memuat
suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri
merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945pasal 27 yang
menyatakan bahwa segala warga negara bersamaankedudukannya di dalam hukum,
tercakup di dalamnya kesamaan hak asasiuntuk kawin dengan sesama warga negara
sekalipun berlainan agama danselama oleh undang-undang tidak ditentukan bahwa
perbedaan agamamerupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan
denganjiwa pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan
bagisetiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing.
Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No. 1/1974dan dalam
GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaanprinsip maupun falsafah
yang sangat lebar antara UU No. 1/1974 dengankedua ordonansi tersebut. Sehingga
dalam perkawinan antar agama terjadikekosongan hukum.
Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup diIndonesia yang
masyarakatnya bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikitterjadi perkawinan antar
agama.Maka MA berpendat bahwa tidak dapatdibenarkan terjadinya kekosongan
hukum tersebut, sehingga perkawinanantar agama jika dibiarkan dan tidak diberiakan
solusi secara hukum, akanmenimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan
bermasyarakat maupunberagama berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai
sosial maupun hukumnya.
Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan
antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterimapermohonannya di
Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yangberwenang untuk
melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteritidak beragama Islam untuk
wajib menerima permohonan perkawinan antaragama.
Dari putusan MA tentang perkawinan antar agama sangat kontroversi,namun
putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisikekosongan hukum
karena tidak secara tegas dinyatakan dalam UU No.1/1974.
Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikansebagai
yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinanantar agama dapat
menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu darisumber-sumber hukum yang
berlaku di Indonesia.
c.
Air pensucian tidak bisa diberikan kepada mereka yang tidak menghiraukan
upacara-upacara yang telah ditentukan, sehingga dapat dianggap kelahiran mereka itu
sia-sia belaka, tidak pula dapat diberikan kepada mereka yang lahir dari perkawinan
campuran kasta secara tidak resmi, kepada mereka yang menjadi petapa dari
golongan murtad dan pada mereka yang meninggaal bunuh diri.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan antar agama dimana
salah satu calon mempelai beragama Hindu tidak boleh dan pendande/Pendeta akan
menolak untuk mengesahkan perkawinan tersebut. (Ibid. , h. 124-125).
d. Pandangan Agama Budha
Perkawinan antar agama di mana salah seorang calon mempelai tidak
beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan, asal
pengesahan perkawinannya dilakukan menurut cara agama Budha. Dalam hal ini calon
mempelai yang tidak bergama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha
terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan, kedua mempelai
diwajidkan mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka yang
merupakan dewa-dewa umat Budha.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama Budha tidak melarang
umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi kalau
penganut agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama Budha.
Di samping itu, dalam upacara perkawinan itu kedua mempelai diwajibkan
untuk mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak
langsug berarti bahwa calon mempelai yang tidak beragama Budha menjadi penganut
agama Budha, walaupun sebenarnya ia hanya menundukkan diri pada kaidah agama
Budha pada saat perkawinan itu dilangsungkan. Untuk menghadapi praktek
perkawinan yang demikian mungkin bagi calon mempelai yang tidak beragama Budha
akan merasa keberatan. (Ibid. ,h. 125).
H. Macam Pernikahan Beda Agama
Dalam agama Islam ada 2 macam pernikahan beda agama
1. Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam.
2. Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam.
2.1. Lelaki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab.
2.2. Lelaki Muslim dengan perempuan non Ahli Kitab.
2.2.1. Perkawinan dengan wanita musyrik.
2.2.2. Perkawinan dengan wanita majusi.
2.2.3. Perkawinan dengan wanita shabiah.
2.2.4. Perkawinan dengan wanita penyembah berhala.
a. Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam.
Hukum mengenai perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki nonIslam adalah jelas-jelas dilarang (haram). Dalil yg digunakan untuk larangan
menikahnya
muslimah
dengan
laki-laki
non
Islam
adalah
Surat
AlBaqarah(2):221,“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnyawanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Dan janganlah kamumenikahkan orang-orang
musyrik
(dengan
wanita-wanita
mukmin)
sebelum
mereka
beriman.Sesungguhnyabudak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintahperintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran & Idquo; Jadi, wanita
musliman dilarangatau diharamkan menikah dengan non muslim, apapun alasannya.
Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Alquran diatas. Bisa dikatakan, jika seorang
muslimah memaksakan dirinya menikah dengan laki-laki non Islam, maka akan
dianggap berzina. Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam
Sayid Sabiq (Fiqh As-Sunnah, jilid II:95) mengatakan bahwa ulama fikih
sepakat mengharamkan perkawinan perempuan Muslim dengan pria non-Muslim dari
golongan mana pun sebagaimana dilansir dalam Q.S. Al-Baqarah/2:221. Menurut Ali
Ash-Shabuni (Rawai Al-Bayan -tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Quran, Juz I:289) Q.S. AlMumtahanah/60:10 mengandung kemutlakan yang mencakup juga ahlulkitab dan nonMuslim lainnya termasuk murtad dari Islam.
Maulana Muhammad Ali (Quran Suci: Teks Arab Terjemah dan Tafsir,
terjemahan, 1993:119) mengatakan bahwa Alquran sebenarnya tidak menyebutkan
secara tegas larangan perkawinan wanita Muslim dengan pria non-Muslim.Namun
dalam praktiknya mayoritas umat Islam sejak dulu memang menolak model
perkawinan tersebut. Ketidaksetujuan itu semata-mata didasari atas ijtihad bahwa
seorang wanita Muslim yang menikah dengan pria non-Muslim akan menemukan
banyak problem jika tinggal dalam keluarga non-Muslim.
Mahmoud Muhammad Toha sebagaimana dikutip oleh muridnya Abdullahi
Ahmed An-Naim (Dekonstruksi Syari'ah/2001:345-346) berpendapat bahwa larangan
pengharaman perkawinan model ini karena dependensi wanita kepada pria terutama
dalam bidang ekonomi dan keamanan. Namun untuk konteks sekarang di mana wanita
dan pria memiliki kebebasan dan kemampuan tanggung jawab yang sama di depan
hukum, larangan ini sudah tidak berlaku lagi.
Sejalan dengan itu, penelitian sosial yang dilakukan Noryamin Aini mengenai
praktik perkawinan beda agama di Yogyakarta mendapatkan hasil mengejutkan. Di
mana figur ibu secara konsisten sangat dominan membawa anak-anaknya memeluk
agama yang dianutnya.Data ini meruntuhkan asumsi dan mitos klasik seperti yang
dikutip Maulana Muhammad Ali. Untuk itu, tidak ada lagi alasan empiris yang dapat
dijadikan dasar melarang perkawinan beda agama. (Gatra: 21 Juni 2003). Zainun
Kamal berpendapat bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan pria non-Muslim
mana pun selain pria kafir musyrik Quraisy. Menurutnya, Q.S. Al-Mumtahanah/60:10
bermaksud melarang perkawinan wanita Muslim dengan pria kafir musyrik Quraisy,
bukan lainnya. Pendapat ini diambil dari Ibnu Katsir, Tafsir Alquran Al-Adzim, Jilid 4
hal 19, Al- Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, Jilid 4 hal 92 dan Al-Fakhruddin Al-Razi, Tafsir AlKabir, Jilid 29 hal 305.
b. Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam.
b.1. Laki-laki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum perkawinan pria muslim dengan
wanita ahli kitab.
1. Menurut pendapat Jumhur Ulama Baik Hanafi,Maliki,Syafii maupun Hambali,seorang
pria muslim diperbolehkan kawin dengan wanita ahli kitab yang berada dalam
lindungan (kekuasaan) negara Islam(ahli Dzimmah).
2. Golongan Syiah Imamiah dan syiah Zaidiyah berpendapat,bahwa pria muslim tidak
boleh kawin dengan wanita ahli kitab.
Golongan pertama (Jumhr Ulama) mendasarkan pendapat mereka kepada beberapa
dalil Firman Allah dalam surah al-maidah ayat 5
kawin
dengan
wanita
bimbingannya. Akan tetapi, agama lain seperti nasrani dan yahudi tidak pernah
memberikan jaminan kepada isteri yang berlainan agama.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Hukum perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab menurut pendapat
Jumhur Ulama diperbolehkan asalkan berada didalam kekuasaan negara islam.
b. Menurut Golongan Syiah dan Zaidiyah tidak membolehkan perkawinan laki-laki
muslim dengan wanita ahli kitab karena mereka disamakan dengan wanita wanita
musyik atau wanita yang tidak beriman kepada Allah
c. problem yang mungkin akan dihadapi seandainya laki-laki muslim kawin dengan
wanita ahli kitab adalah tidak adanya ketentraman dan ketenangan jiwa serta tidak
akan mendapatkan keturunan yang saleh karna tidak mungkin anak yang saleh
terdidikdari orang tua yang berlainan agama
d.
Penolakan terhadap perkawinan beda agama, baik dari segi pelaksanaannya maupun
pencatatannya jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh HAM
terutama hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang.
2. Saran
a. Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, maka hal tersebut juga merupakan bagian
dari hak warga negara yang mesti dilindungi dan dipenuhi haknya. Asumsi dasar dari
pencatatan perkawinan adalah bahwa pernikahan, disamping sebagai bagian aktifitas
ritual dalam semua agama, juga harus ditempatkan sebagai perikatan yang berdimensi
yuridis dan sosiologis sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan aspek
legalitas yang bersifat yuridis-formal. Maka, materi-materi di dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 dan KHI perlu diperbaharui untuk tujuan penyempurnaan, sehingga
mampu memberikan solusi terhadap persoalan yang muncul di masyarakat, baik dalam
aturan formil maupun materil.
b. Penolakan atas perkawinan beda-agama merupakan tindakan yang diskriminatif
berdasarkan agama.Negara perlu segera melakukan harmonisasi dari seluruh
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hak-hak dasar sebagai wujud
konkrit dari pengakuan atas HAM dan untuk menjaga kepastian hukum sehingga tidak
ada lagi warga negara yang melakukan perkawinan dengan memanfaatkan celah-celah
dalam peraturan perundang-undangan.Pengakuan terhadap perkawinan beda-agama
juga dapat meminimalisir ekses-ekses negatif yang mungkin timbul dalam
masyarakatsekaligus menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk dapat menjiwai
hak-hak asasi manusia yang sudah seharusnya melekat dalam setiap manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul,Muaal M.al-Jabri. 1994. Perkawinan antar Agama Tinjauan Islam,(terjemahan)Risalah
Gusti. Surabaya
Departemen Agama. 1989. Al-Quran dan terjemahannya. Surabaya: Mahkota
Undang-undang Perkawinan No.1/1974
Soimin,Soedharyo SH. 2002. Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Jakara: CV Haji Masaung,