Está en la página 1de 13

HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point)

Assalamuallaikum, kawan-kawan semua. Pernah mendengar kata HACCP? Pada postingan kali
ini, saya akan sharing apa itu HACCP. Pada semester ke-4 saya kuliah, saya dan teman-teman
saya (thanks to them) menyusun makalah tentang HACCP dari berbagai sumber (umumnya dari
bapak F.G. Winarno) dan baru-baru ini saya kembali membacanya lagi karena ada tuntutan tugas
di semester 7 dan alangkah sayangnya jikalau saya tidak berbagi. Baiklah, tanpa panjang lebar
lagi, selamat membaca!

A. PENGERTIAN, KONSEP, DAN PRINSIP HACCP


HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) adalah suatu sistem jaminan mutu
yang berdasarkan kepada kesadaran bahwa hazard (bahaya) dapat timbul pada berbagai titik atau
tahap produksi tertentu, tetapi dapat dilakukan pengendaliannya untuk mengontrol bahaya
bahaya tersebut. Kunci utama HACCP adalah antisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan
yang mengutamakan kepada tindakan pencegahan, daripada mengandalkan kepada pengujian
produk akhir (Winarno, 2004). HACCP adalah suatu sistem dengan pendekatan sistematik untuk
mengidentifikasi dan mengakses bahaya-bahaya dan risiko-risiko yang berkaitan dengan
pembuatan, distribusi dan penggunaan produk pangan. Sistem ini bertanggung jawab untuk
menentukan aspek-aspek kritis dalam memperoleh keamanan makanan selama proses di pabrik.
HACCP memberikan kesempatan pada pabrik makanan untuk meningkatkan efisiensi
pengontrolan dengan menciptakan kedisiplinan pendekatan sistematik terhadap prosedur untuk
keamanan pangan (Mortimore dan Wallace, 1995). HACCP (Hazard Analysis and Critical
Control Point) merupakan suatu sistem yang mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengontrol
setiap tahapan proses yang rawan terhadap risiko bahaya signifikan yang terkait dengan
ketidakamanan pangan (Codex Alimentarius Commission, 2001). Sistem HACCP ini
dikembangkan atas dasar identifikasi titik pengendalian kritis (Critical Control Point) dalam
tahap pengolahan dimana kegagalan dapat menyebabkan risiko bahaya (Wiryanti dan
Witjaksono, 2001).
Sistem HACCP bukan merupakan sistem jaminan keamanan pangan yang zero-risk atau
tanpa risiko, tetapi dirancang untuk meminimumkan risiko bahaya keamanan pangan. Sistem
HACCP juga dianggap sebagai alat manajemen yang digunakan untuk memproteksi rantai
pasokan pangan dan proses produksi terhadap kontaminasi bahaya-bahaya mikrobiologis, kimia

dan fisik. Para pakar ilmu pangan berpendapat bahwa HACCP memberikan elemen-elemen
penting dalam sistem manajemen keamanan maupun GMP (Good Manufacturing Process) secara
sistematis dan mudah diterapkan (Winarno, 2004). HACCP melihat mulai dari proses
produksi/produk dari awal hingga akhir; menetapkan dimana bahaya mungkin dapat timbul;
pengendalian dan monitoring; tuliskan hal tersebut dengan melakukan rekaman kegiatan, serta
usahakan berjalan secara kontinyu dan efektif.

Karakteristik khas HACCP sebagai manajemen keamanan pangan, yaitu (Winarno,


2004):

Pendekatan Sistematik

Pendekatan Sistematik

Proaktif

Team Effort

Teknik common sense

Sistem hidup dan dinamik


Ada tiga pendekatan penting dalam pengawasan mutu pangan (Winarno, 2004):

Food Safety/Keamanan Pangan

Aspek-aspek dalam proses produksi yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit atau bahkan
kematian. Masalah ini umumnya dihubungkan dengan masalah biologi, kimia dan fisika.

Wholesomeness/Kebersihan

Merupakan karakteristik-karakteristik produk atau proses dalam kaitannya dengan kontaminasi


produk atau fasilitas sanitasi dan higiene.

Economic Fraud/Pemalsuan

Adalah tindakan-tindakan yang illegal atau penyelewengan yang dapat merugikan pembeli.
Tindakan ini mencakup diantaranya pemalsuan species (bahan baku), penggunaan bahan
tambahan yang berlebihan, berat tidak sesuai dengan label, overglazing dan jumlah komponen
yang kurang seperti yang tertera dalam kemasan.
B. 7 PRINSIP HACCP
Prinsip 1: Mengidentifikasi potensi bahaya yang berhubungan dengan produksi pangan pada
semua tahapan, mulai dari usaha tani, penanganan, pengolahan di pabrik dan distribusi, sampai
kepada titik produk pangan dikonsumsi.

Peningkatan kemungkinan terjadinya bahaya dan

menentukan tindakan pencegahan, untuk pengendaliannya.


Prinsip 2: Menentukan titik atau tahap prosedur operasional yang dapat dikendalikan untuk
menghilangkan bahaya atau mengurangi kemungkinan terjadi bahaya tersebut. CCP (Critical
Control Point) berarti setiap tahapan di dalan produksi pangan dan /atau pabrik yang meliputi
sejak bahan baku yang diterima, dan/atau diproduksi, panen, diangkut, formulasi, diolah,
disimpan dan lain sebagainya.
Prinsip 3: Menetapkan batas kritis yang harus dicapai untuk menjamin bahwa CCP berada
dalam kendali.
Prinsip 4: Menetapkan sistem pemantauan pengendalian (monitoring) dari CCP dengan cara
pengujian atau pengamatan.
Prinsip 5: Menetapkan tindakan perbaikan yang dilaksanakan jika hasil pemantauan
menunjukkan bahwa CCP tertentu tidak terkendali.
Prinsip 6: Menetapkan prosedur verifikasi yang mencakup dari pengujian tambahan dan
prosedur penyesuaian yang menyatakan bahwa sistem HACCP berjalan efektif.
Prinsip 7: Mengembangkan dokumentasi mengenai semua prosedur dan pencatatan yang tepat
untuk prinsip-prinsip ini dan penerapannya.
Konsep HACCP menurut CAC terdiri dari 12 langkah, dimana 7 prinsip HACCP
tercakup pula di dalamnya. CAC sendiri merupakan organisasi yang dibentuk oleh FAO/WHO
untuk menangani standar bidang pangan dan dibentuk dengan tujuan untuk melindungi
kesehatan konsumen serta menjamin perdagangan pangan yang adil dan jujur.
Indonesia mengadopsi sistem HACCP versi CAC tersebut dan menuangkannya dalam
acuan SNI 01-4852-1998 tentang Sistem Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik-Titik Kritis
(HACCP) serta pedoman penerapannya yaitu Pedoman BSN 1004/1999.

Prinsip HACCP

C. GOOD MANUFACTURING PRACTICES


GMP (Good Manufacturing Practices) merupakan suatu pedoman bagi industry pangan,
bagaimana cara berproduksi makanan dan minuman yang baik. GMP merupakan prasyarat utama
sebelum suatu institusi pangan dapat memperoleh sertifikat sistem HACCP (Hazard Analysis
and Critical Control Points).

GMP sudah menjadi pedoman yang dikenal baik oleh sebagian besar negara di dunia,
khususnya bagi industry-institusi pangan di Indonesia, melalui keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 23/Men.Kes/SK 1978. GMP telah dijadikan pedoman penuntun bagi produsen makanan
dan minuman dengan tujuan untuk meningkatkan mutu hasil produksinya, dan dengan demikian
masyarakat dapat dilindungi keselamatan dan kesehatannya terhadap produksi dan peredaran
makanan yang telah memenuhi syarat.
D. KAITAN GMP DENGAN SISTEM HACCP DAN SSOP
Agar sistem HACCP dapat berfungsi dengan baik dan efektif, perlu diawali dengan
pemenuhan program Pre-requisite (persyaratan dasar), yang berfungsi melandasi kondisi
lingkungan dan pelaksanaan tugas serta kegiatan lain dalam institusi pangan. Peran GMP dalam
menjaga keamanan pangan selaras dengan Pre-requisite penerapan HACCP. Pre-requisite
merupakan prosedur umum yang berkaitandengan persyaratan dasar suatu operasi bisnis pangan
untuk mencegah kontaminasi akibat suatu operasi produksi atau penanganan pangan. Deskripsi
dari pre-requisite ini sangat mirip dengan diskripsi GMP yang menyangkut hal-hal yang
berkaitan dengan operasi sanitasi dan higiene pangan suatu proses produksi atau penanganan
pangan.
Secara umum perbedaan antara GMP dan SSOP (Standard Sanitation Operating
Prosedure) adalah GMP secara luas terfokus dan pada aspek operasi pelaksanaantugas dalam
pabriknya sendiri serta operasi personel. Sedang SSOP merupakanprosedur yang digunakan oleh
institusi untuk membantu mencapai tujuan atau sasarankeseluruhan yang diharapkan GMP dalam
memproduksi pangan yang bermutu tinggi, aman, dan tertib.
E. ANALISIS BAHAYA
Bahaya dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu bahaya biologis (bakteri, fungi,
virus, parasit, protozoa, cacing, dan ganggang) yang dapat dipengaruhi oleh faktor intrinsik,
seperti pH, kadar air/aktivitas air (aw), nutrient, senyawa antimikroba, struktur biologis, dll.
Kedua adalah faktor ekstrinsik, seperti suhu, kelembaban, gas (karbon dioksida, ozon, sulfur
dioksida), dan lain-lain. Bahaya kimia (deterjen, residu pestisida, allergen, logam beracun, nitrit,
nitrat, senyawa N-nitroso, PCBs, migrasi bahan pengemas, residu antibiotika dan hormone, aditif

kimia, filotoksi-sianida, estrogen, zootoksin). Dan yang terakhir adalah bahaya fisik (serangga,
beling, logam, batu, ranting, daun, perhiasan).
Untuk pencantuman di dalam daftar, bahaya harus bersifat jelas sehingga untuk
menghilangkan atau menguranginya sampai pada tingkat yang dapat diterima adalah penting
dalam produksi pangan yang aman. Selama analisis bahaya terhadap rangkaian operasi di dalam
rancangan penerapan sistem HACCP, perhatian harus diberikan kepada pengaruh bahan baku,
bahan tambahan, pedoman pengolahan pangan, peranan proses dalam pabrik untuk
mengendalikan bahaya, kemungkinan penggunaan dari produk akhir, risiko pada masyarakat
konsumen dan konsumen dan bukti wabah dalam kaitannya dengan keamanan pangan.
Dalam analisis bahaya seharusnya mencakup:

Kemungkinan terjadinya bahaya dan tingkat pengaruhnya terhadap kesehatan,


Evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif dari bahaya,
Ketahanan hidup atau perkembangan bahaya potensial mikroorganisme,
Produksi atau keberadaan toksin, bahan kimia atau fisik dalam makanan,
Kondisi yang mempunyai tendensi menuju terjadinya bahaya.
Tingkat risiko (risk) juga dikelompokkan menjadi 3 tingkatan berdasarkan pengaruh
bahaya yang terjadi terhadap kesehatan konsumen, yaitu:

1. Low risk, yaitu jika kasus dapat terjadi kurang dari 3 kali dalam kurun waktu setahun.
2. Medium risk, yaitu jika bahaya dapat terjadi 3 5 kali dalam kurun waktu setahun,
3. High risk, yaitu jika bahaya dapat terjadi lebih dari 5 kali dalam kurun waktu setahun atau
kemungkinan terjadinya setiap bulan.
Selain itu, tingkat risiko juga dapat dikategorikan seperti berikut:
Produk-produk kategori I (risiko tinggi)
Produk-produk yang mengandung ikan, telur, sayur, serealia, dan/atau
i
berkomposisi susu yang perlu direfrigerasi
ii Daging segar, ikan mentah, dan produk-produk olahan susu
Produk-produk dengan nilai ph 4,6 atau lebih yang disterilisasi dalam
iii
wadah yang ditutup secara hermetic
Produk-produk kategori II (risiko sedang)
Produk-produk kering atau beku yang mengandung ikan, daging, telur,
i

sayuran, atau serealia atau yang berkomposisi/penggantinya dan produk

ii

lain yang tidak termasuk dalam regulasi higiene pangan


Sandwich dan kue pie daging untuk konsumsi segar
Produk-produk berbasis lemak misalnya coklat, margarin, spreads,

iii

mayones, dan dressing

Poduk-produk kategori III (risiko rendah)


Produk asam (nilai ph <4 acar="" asam="" buah-buahan="" buah=""
i
dan="" konsentrat="" minuman="" sari="" seperti="" span="">
ii Sayuran mentah yang tidak diolah dan tidak dikemas
iii Selai, marinade, dan conserves
iv Produk-produk konfeksionari berbasis gula
v Minyak dan lemak makan

Tingkat keparahan (severity) juga dikelompokkan menjadi 3 tingkatan berdasarkan


pengaruh bahaya yang terjadi terhadap kesehatan konsumen, yaitu:
1. Low severity, yaitu jika bahaya mengakibatkan gangguan kesehatan yang ringan atau dapat
ditangani sendiri hingga pulih.
2. Medium severity, yaitu jika bahaya mengakibatkan gangguan kesehatan yang cukup berat
sehingga membutuhkan penanganan khusus (rawat inap) di rumah sakit.
3. High severity, yaitu jika bahaya mengancam jiwa manusia atau mengakibatkan kematian setelah
mengkonsumsi produk.

Keakutan tinggi

Keakutan sedang

Keakutan rendah

Salmonella enteritidis

Listeria monocytogenes

Bacillus cereus

Eschericia coli

Salmonella spp, Shigella spp

Taenia saginata

Salmonella typhi: paratyphi


A, B

Campylobacter jejuni

Clostridium
perfringens

Trichinella spiralis

Enterovirulen Escherichia coli


(EEC)

Stapphylococcus
aureus

Brucella melitensis, B. suis

Streptococcus pyogenes

Vibrio cholerae 01

Rotavirus. Norwalk
group, SRV

Vibrio vulnificus

Yersinia enterocolitica

Taenia solium

Entamoeba histolytica

Clostridium botulinum tipe


A, B, E dan F

Diphyllobothrium latum

Shigella dysenteriae

Ascaris lumbricoides
Cryptosporidium parvum

virus

Hepatitis A dan E. Aeromonas


spp.
Brucella
lamblia

abortus.

Giardia

Plesiomonas shigelloides
Vibrio parahaemolyticus
Untuk menentukan tingkat signifikansi bahaya, dapat menggunakan matriks analisis signifikansi
bahaya atau tabel penentuan signifikansi bahaya.

Risiko tinggi (1.000)


Keakutan rendah (10)
RxK = (10.000)
Signifikansi sedang (S)

Risiko tinggi (1.000)


Keakutan sedang (100)
RxK = (100.000)
Signifikansi tinggi (S)

Risiko tinggi (1.000)


Keakutan tinggi (1.000)
RxK = 1.000.000
Signifikansi tinggi (S)

Risiko Sedang (100)


Keakutan rendah (10)
RxK = 1.000
Signifikansi rendah

Risiko Sedang (100)


Keakutan sedang (100)
RxK = 10.000
Signifikansi sedang (S)

Risiko Sedang (100)


Keakutan tinggi (1.000)
RxK = 100.000
Signifikansi tinggi (S)

Risiko Rendah (10)


Keakutan rendah (10)
RxK = 100
Signifikansi rendah

Risiko Rendah (10)


Keakutan sedang (100)
RxK = 1.000
Signifikansi rendah

Risiko Rendah (10)


Keakutan tinggi (1.000)
RxK = 10.000
Signifikansi sedang (S)

(TS)

(TS)

(TS)

Jenis potensi bahaya : Fisik (F), Biologi (B), Kimia (K)


Risiko : Low (L), Medium (M), High (H)
Tingkat keparahan : Low (L), Medium (M), High (H)
Signifikan : Tidak signifikan (TS), Signifikan (S)
Keterangan: bahaya yang termasuk signifikansi tinggi bisa langsung digunakan untuk
penerapannya pada penetapan CCP pada diagram pohon keputusan titik kritis.
Penerapan program kelayakan dasar di perusahaan/unit pengolahan sering mengalami kendalakendala teknis, sehingga melahirkan berbagai penyimpangan, baik terhadap operasi sanitasi,
keamanan pangan, keutuhan dan keterpaduan ekonomi, maupun penyimpangan lainnya. Bentukbentuk penyimpangan dalam kelayakan dasar menurut Ditjen Perikanan (1999) meliputi:
a. Penyimpangan minor (minor deficiency)
Kegagalan sebagian dari sistem HACCP dalam hal operasi sanitasi tetapi persyaratan sanitasi
masih dapat dipenuhi.

b. Penyimpangan mayor (major deficiency)


Penyimpangan yang mencolok dari seharusnya, misalnya dalam hal keamanan pangan, keutuhan
dan keterpaduan ekonomis.
c. Penyimpangan serius (serious deficiency)
Penyimpangan yang sangat mencolok dari yang diharuskan misalnya tentang keamanan produk,
keutuhan dan keterpaduan ekonomi dan jika ini berlangsung terus akan menghasilkan produk
yang tidak aman, tidak utuh dan salah label.
d. Penyimpangan kritis (critical deficiency)
Suatu penyimpangan dari yang diharuskan seperti tidak adanya keamanan pangan, keutuhan dan
keterpaduan ekonomi sehingga menghasilkan ketidakutuhan dan kekeliruan label produk.
Untuk menentukan tingkat (rating) kelayakan unit pengolahan berdasarkan penyimpangan yang
ada digunakan daftar seperti Tabel berikut:

A. CRITICAL CONTROL POINT


CCP adalah kunci untuk mengeliminasi hazards yang sudah diidentifikasi. CCP (Critical
Control Point) atau titik-titik kritis pengawasan didefinisikan sebagai setiap tahap di dalam
proses dimana apabila tidak terawasi dengan baik, kemungkinan dapat menimbulkan tidak
amannya pangan, kerusakan dan risiko kerugian ekonomi. CCP ini dideterminasikan setelah
diagram alir yang sudah teridentifikasi potensi hazard pada setiap tahap produksi dan tindakan
pencegahannya (Winarno, 2004).
CCP dapat diidentifikasi dengan menggunakan pengetahuan tentang proses produksi dan
semua potensi bahaya dan signifikasi bahaya dari analisis bahaya serta tindakan pencegahan

yang ditetapkan. Namun, penetapan lokasi CCP hanya dengan keputusan dari analisis
signifikansi bahaya dapat menghasilkan CCP yang lebih banyak dari yang seharusnya
diperlukan. Sebaliknya juga sering terjadi negosiasi deviasi yang menyebabkan terlalu sedikitnya
CCP yang justru dapat membahayakan keamanan pangan (Winarno, 2004).
Untuk membantu menemukan dimana seharusnya CCP yang benar, Codex Alimentarius
Commission GL/32 1998, telah memberikan pedoman berupa Diagram Pohon Keputusan CCP.
Diagram pohon keputusan adalah seri pertanyaan logis yang menanyakan setiap bahaya.
Jawaban dari setiap pertanyaan akan memfasilitasi dan membawa tim HACCP secara logis
memutuskan apakah CCP atau bukan (Winarno, 2004).

Pohon Keputusan CCP

P1 : Apakah ada tindakan pencegahan?


P2 : Apakah tahapan dirancang spesifik untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yang
mungkin terjadi sampai level yang dapat diterima?
P3: Dapatkah kontaminasi dengan bahaya yang diidentifikasi terjadi melebihi tingkatan yang
dapat diterima atau dapatkah ini meningkat sampai tingkatan yang tidak dapat diterima?
P4: Akankah tahapan berikutnya menghilangkan atau mengurangi bahaya yang teridentifikasi
sampai level yang dapat diterima?
A. CRITICAL LIMIT
CL (Critical Limit) merupakan batas-batas kritis pada CCP yang ditetapkan berdasarkan
referensi dan standar teknis serta obesrvasi unit produksi. Batas kritis ini tidak boleh terlampaui,
karena batas-batas kritis ini sudah merupakan toleransi yang menjamin bahwa bahaya dapat
dikontrol (Winarno, 2004).
Batas kritis harus ditentukan untuk setiap CCP, dalam beberapa kasus lebih dari satu
batas kritis akan diperinci pada suatu tahap tertentu. Batas kritis menunjukkan perbedaan antara
produk yang aman dan tidak aman sehingga proses produksi dapat dikelola dalam tingkat yang
aman. Batas kritis ini harus tidak boleh dilanggar untuk menjamin bahwa CCP secara efektif
mengendalikan bahaya mikrobiologis, kimia dan fisik (Winarno, 2004).
Batas kritis harus mudah diidentifikasi dan dijaga oleh operator proses produksi, sehingga
perlu diusahakan dalam bentuk batas-batas kritis fisik, dan jika tidak memungkinkan baru
mengarah pada kimia atau mikrobiologi (Winarno, 2004).
B. MONITORING CRITICAL CONTROL POINT
Monitoring CCP merupakn kegiatan pengujian dan pengamatan terencana dan terjadwal
terhadap efektivitas proses pengendalian CCP dan critical limit. Monitoring ditujukan untuk
memeriksa apakah prosedur pengolahan dan penanganan pada CCP terkendali, efektf dan
terencana untuk memperhtahankan keamanan produk. Monitoring dapat dilakukan dengan cara

observasi atau dengan pengukuran pada contoh yang diambil berdasarkan statistik pengambilan
contoh. Terdapat lima cara monitoring CCP, yaitu observasi visual, evaluasi sensorik, pengujian
fisik, pengujian kimia dan pengujian mikrobiologi.
C. TINDAKAN KOREKSI
Tindakan koreksi merupakan tindakan yang dilakukan jika terjadi penyimpangan
terhadap batas kritis suatu CCP. Tindakan koreksi bergantung kepada CCP itu sendiri, yang
paling parah mungkin dapat berupa penghentian produksi sebelum semua penyimpangan
dikoreksi.
D. VERIFIKASI
Verifikasi merupakan suatu metode atau uji yang digunakan untuk menentukan bahwa
sistem HACCP yang dibuat telah sesuai, semua bahaya telah teridentifikasi, semua CCP telah
memiliki critical limit dan juga memiliki tindakan koreksi yang tepat.
E. DOKUMENTASI
Pendataan secara tertulis seluruh program HACCP sehingga program tersebut dapat
diperiksa ulang atua dimodifikasi sesuai dengan perkembangan. Dokumen berupa CCP, critical
limit, tindakan koreksi, verifikasi, dan lainnya.
F. CARA MEMPEROLEH SERTIFIKASI HACCP
Prasyarat untuk dapat mengajukan sertifikasi HACCP adalah:
Memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
Memiliki SKP hasil pembinaan tentang HACCP
Sudah memiliki sistem HACCP dan menerapkannya secara konsisten
Setelah memenuhi prasyarat, maka institusi dapat mendapatkan sertifikasi HACCP
dengan prosedur sebagai berikut:

DAFTAR PUSTAKA
BSN. 2008. http://www.bsn.or.id/news_detail.php?news_id=434 diakses tanggal 13 Mei 2013
FAO. 2001. Manual On The Application Of The HACCP System.
Mortimore, Sara and Carol Wallace. 1995. HACCP: A Practical Approach. USA: Blackwell.
S., Susiwi. 2009. "GMP (Good Manufacturing Practices): Cara Pengolahan Pangan yang Baik."
file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND.../SUSIWI-29)._GMP.pdf diakses tanggal 1 Juni
2013
Schmidt, Ronald H. and Rodrick, Gary E. 2003. Food Safety Book. New Jersey: John Wiley and Sons.
Winarno, F.G. 2004. HACCP dan Penerapannya dalam Industri Pangan. Bogor: M-Brio Press.

También podría gustarte