Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
ii
Lembar Pengesahan
Promotor,
Kopromotor I,
Kopromotor II,
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
iii
Ketua
Anggota
:
1. Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MM.
2. Dr. Nyoman Mahaendra Yasa, SE., M.Si.
3. Prof. Dr. Nyoman Djinar Setiawina, SE., MS.
4. Prof. Dr. Made Sukarsa, SE., MS.
5. Dr. Ni Nyoman Yuliarmi, SE., MP.
6. Dr. Siti Komariyah, SE., M.Si.
iv
NIM
: 1090671010
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Disertasi
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah disertasi ini bebas plagiat.
Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
vi
vii
viii
ABSTRAK
Pulau Bali di Indonesia terkenal selain industri pariwisatanya adalah
industri kecil kerajinan ukiran kayu yang berada di Kabupaten Gianyar, satu dari
sembilan kabupaten yang memiliki potensi strategis dalam menopang pendapatan
asli daerah tersebut. Semenjak tahun 2010 industri mengalami penurunan dalam
perolehan nilai exsport dari tahun ke tahun menurun kurang lebih 2 % secara
signifikan.
Studi ini bertujuan untuk : a) menganalisis rantai nilai industri kerajinan
ukiran kayu di kabupaten gianyar, b) menganalisis posisi strategis industri
kerajinan ukiran kayu di kabupaten Gianyar, c) menganalisis strategi
pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu di kabupaten Gianyar.
Data yang dipergunakan mencakup data primer yang diperoleh melalui
survei lapangan daan wawancara dengan 151 responden perajin ukiran kayu yg
ada di kabupaten Gianyar, serta data sekunder dari berbagai lembaga pemerintah.
Dari hasil penelitian diperoleh premis integrasi VSA (Value Chain,
SWOT, dan Analitical Hierarchy Process) yang memberikan hasil maksimal
untuk pemberdayaan kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar, sebagai berikut
: a) Rantai nilai kerajinan ukiran kayu terdiri dari ; Pemasok , Produsen produk
ukiran kayu, Trader dan Konsumen akhir. Kekurangan pasokan bahan baku kayu
yang berasal dari pulau Bali dan modal. Sedangkan di hilir kurangnya dukungan
Pemerintah dalam pemasaran produk hasil kerajinan ukiran kayu di Provinsi Bali
dan tingkat Nasional, b) Dari hasil analisis SWOT, diperoleh hasil pemetaan
posisi strategis industri kerajinan ukiran kayu ada pada kuadran II yang ditunjukan
dengan nilai faktor internal adalah 0,31 dan faktor eksternal - 0,23. Menandakan
industri cukup kuat namun menghadapi tantangan yang besar, hasil ini
mengindikasikan pada strategi peningkatan ketrampilan dan investasi untuk
meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi untuk mencapai efisiensi, c) Hasil
perhitugan AHP diperoleh hasil bahwa strategi pemasaran menjadi faktor
prioritas yang menentukan prospek kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar .
Rekomendasi dari studi ini antara lain: a) Pengembangan program One
Village One Product dan tempat setral ajang pamer produk ukiran kayu, b)
Pengembangan klaster industri kerajinan ukiran kayu, c) Pengembangan
Kewirausahaan melalui kurikulum di sekolah sejak SD sampai perguruan tinggi,
maupun melalui organisasi pemuda dan masyarakat, d) Pemerintah lebih
komunikatif dan sebagai mediator antara lembaga keuangan dengan para perajin
ukiran kayu melalui kegiatan sosialisasi program seperti adanya regulasi kredit
dan Jamkrida (Jaminan Kredit Daerah) yang di salurkan melalui Bank
Pembangunan Daerah Bali (BPD), e) Membentuk lembaga keuangan dan asuransi
untuk menunjang permodalan industri kecil, f) Melibatkan perajin secara intensif
dalam kegiatan penjualan melalui promosi dan pameran melalui roadshow, emarketing, website dan kerjasama pemerintah.
Kata Kunci :
ix
ABSTRACT
The island of Bali in Indonesia, besides being well known for its tourism
industry, it is also well known for its wood carving handicraft small industry,
which is located in Gianyar Regency. Gianyar regency is one of the nine districts,
which has a strategic potential in supporting the original local revenue. Since
2010, this small industry has experienced a decline in export value from year to
year, a significant decrease of approximately 2 %.
This study aims to: a) analyze the chain value of wood carving industry in
Gianyar district, b) analyze the strategic position of wood carving industry in
Gianyar regency, and c) analyze the strategies of the empowerment of wood
carving industry in Gianyar regency.
The data used for this study includes primary data which were obtained through
field surveys and interviews with 151 respondents of wood carvings craftsmen in
the district of Gianyar, and secondary data from various government agencies.
The results obtained the VSA premise integration (Value Chain, SWOT,
and Analytical Hierarchy Process) which gives the maximal results for the
empowerment of wood carving handicraft in Gianyar regency, as follows: a) The
value chain of wood carving handicraft consists of: Supplier, Manufacturer of
wood carving products, traders and final consumers. Supply shortage of wood raw
materials originating from the island of Bali and the capital. Meanwhile, in the
downstream, there was a lack of government support in the marketing of
handicraft products of wood carving in the provincial and national levels, b) From
the results of the SWOT analysis, it was found that the mapping of the strategic
position of the wood carving handicraft industry was in quadrant II, as indicated
by the value of the internal factor 0.31 and the value of external factor being 0.23, signaling that the industry is quite strong, but facing a major challenge, these
results indicate the strategy of improving the skill and investment to increase
quality and capacity for production to achieve efficiency, c) Results of the AHP
calculation, it was found that the marketing strategy becomes a priority factor that
determines the prospect of wood carving handicraft in Gianyar regency.
Recommendations from this study include: a) The development of One
Village One Product program and a central place for the exhibition of wood
carving products, b) The development of the clusters of industry for wood carving
handicraft, c) The development of entrepreneurship through school curriculum
from primary school to university levels, d) The Government should be more
communicative and should act as a mediator between financial institutions and the
wood carving craftsmen through socialization activity programs such as the
regulation of credit and Jamkrida (Regional credit Guarantee) which is channeled
through the Bali Regional Development Bank (BPD), e) Establishing financial
institutions and insurance to support the capitalization of small industries, f)
Involving craftsmen intensively in sales and promotional activities through road
shows and exhibitions, e-marketing, websites, and government cooperation.
Keywords: Empowerment of small industries, wood carving handicraft, Gianyar
Regency of Bali Province.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL DEPAN .....................................................................
i
HALAMAN PRASYARAT GELAR DOKTOR.............................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................
iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI ..........................................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT.................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ...........................................................................
vi
ABSTRAK ......................................................................................................
ix
ABSTRACT ....................................................................................................
x
DAFTAR ISI ..................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xxiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xxvi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xxvii
BAB I
PENDAHULUAN ...........................................................................
1.1 Latar Belakang .......................................................................
1.2 Rumusan Masalah .................................................................
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................
.1
1
24
26
27
BAB II
28
28
28
35
38
39
41
43
46
58
60
64
65
xi
66
68
71
74
80
82
88
88
90
93
93
93
94
94
94
95
97
97
98
99
99
99
101
102
102
BAB V
121
121
121
123
125
xii
103
104
104
107
111
129
131
132
133
138
146
153
239
239
250
267
267
268
271
LAMPIRAN ....................................................................................................
279
xiii
253
262
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Pertumbuhan Penjualan Berdasarkan Ukuran Perusahaan
Periode 1997 1999 ......................................................................
Tabel 1.2 Jumlah Unit Usaha dan Tenaga Kerja UMKM dan Usaha Besar
di Indonesia Tahun 2005 2012 ...................................................
Tabel 1.3 Sepuluh Besar Ekspor Manufaktur dari UMKM Indonesia 20092010 ...............................................................................................
Tabel 1.4 PDRB Bali Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan
Usaha Tahun 2008-2012 (dalam Jutaan Rp) .................................
Tabel 1.5 Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Bali Atas Dasar Harga
Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006-2010
(persen) ..........................................................................................
10
Tabel 1.6 Perkembangan Jumlah Sentra, Unit usaha, Tenaga kerja, Nilai
Investasi dan Nilai Produksi Industri Kecil dan Menengah di
Tahun 2004 s/d 2011 .....................................................................
13
Tabel 1.7 Realisasi Ekspor Non Migas Daerah Bali Tahun 2003-2011 ......
14
16
18
19
34
71
xiv
106
109
110
113
149
150
155
161
xv
164
166
167
170
172
Tabel 5.30 Bobot Global Sub Faktor Strategi Pelayanan Publik ..................
173
xvi
177
178
181
xvii
Tabel 5.51 Bobot Global Alternatif dari Sub Faktor Pemasaran Lokal ........
184
185
186
187
188
Tabel 5.60 Bobot Global Alternatif dari Sub Faktor Layout Produksi ............
188
189
191
xviii
192
193
194
Tabel 5.75 Bobot Global Alternatif dari Sub Faktor Penelitian Pasar .........
195
196
Tabel 5.78 Bobot Global Alternatif dari Sub Faktor Pembinaan ..................
196
xix
209
Tabel 5.98 Bobot Global Level Kedua Untuk Faktor Pemasaran ................
210
212
Tabel 5.104 Bobot Global Level Kedua Untuk Faktor Pelayanan Publik .....
213
213
xx
xxi
xxii
232
Tabel 5.143 Matrik Priority Vector Alternatif Faktor Pelayanan Publik dan
Peran Pemerintah ......................................................................... 232
Tabel 5.144 Bobot Global Alternatif Untuk Faktor Pelayanan Publik dan
Peran Pemerintah ......................................................................... 233
Tabel 5.145 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif Untuk Faktor
Pelayanan Publik dan Peran Asosiasi .......................................... 233
Tabel 5.146 Matrik Priority Vector Alternatif Faktor Pelayanan Publik dan
Peran Asosiasi ............................................................................. 234
Tabel 5.147 Bobot Global Alternatif Untuk Faktor Pengelolaan Keuangan
dan Peran Pemerintah .................................................................. 234
Tabel 5.148 Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif Untuk Faktor
Pelayanan Publik dan Peran Lembaga Keuangan ....................... 234
Tabel 5.149 Matrik Priority Vector Alternatif Faktor Pelayanan Publik dan
Peran Lembaga Keuangan ........................................................... 235
Tabel 5.150 Bobot Global Alternatif Untuk Faktor Pelayanan Publik dan
Peran Lembaga Keuangan ........................................................... 235
Tabel 5.151 Bobot Global Alternatif Strategi Pengembangan Industri
Kerajinan Ukiran Kayu .............................................................. 236
xxiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1
15
17
Gambar 2.1
69
Gambar 2.2
70
Gambar 2.3
74
Gambar 2.4
77
Gambar 3.1
90
Gambar 3.2
91
Gambar 4.1
101
Gambar 4.2
110
Gambar 4.3
114
Gambar 4.4
Gambar 4.5
Gambar 5.1
122
Gambar 5.2
128
Gambar 1.2
Gambar 1.3
Gambar 1.4
Gambar 1.5
xxiv
Gambar 5.3
Gambar 5.4
Gambar 5.5
Gambar 5.6
Gambar 5.7
Gambar 5.8
Gambar 5.9
Gambar 5.10
Gambar 5.11
Gambar 5.12
Gambar 5.13
Gambar 5.14
Gambar 5.15
Gambar 5.16
Gambar 5.17
xxv
132
138
DAFTAR LAMPIRAN
Lampian 1
Kuisioner Penelitian
Lampian 2
Lampian 3
xxvi
DAFTAR SINGKATAN
UKM
ISK
ISM
GDP
PDRB
BPS
Disperindag
SWOT
SDM
IPTEK
VCA
AHP
FGD
UKE
SEM
SK
: Surat Keputusan
xxvii
BAB I
PENDAHULUAN
1997
12.358
2.899
7.045
341.526
Sales (Rp)
1998
12.639
3.911
4.131
323.154
1999
12.605
3.901
5.116
322.844
Growth (% p.a)
1998/1997 1999/1998
2,3
-0,3
34,9
-0,3
-27,2
-0,3
-5,4
-0,1
Asean
sebagaimana
disajikan
pada
Gambar
1.1
yang
menggambarkan
Gambar 1.1
Peranan Industri Kecil Menengah dalam Ekspor di Beberapa Negara Asia
Tahun 1996 (dalam persentase)
Sumber: Tambunan, 1999
Berdasarkan pengalaman saat terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 dimana
industri kecil menengah di Indonesia mampu bertahan dan berkembang
dibandingkan industri dengan skala yang lebih besar, maka pembinaan dan
pengembangan UMKM di Indonesia pada era reformasi semakin mendapat
perhatian yang besar dari pemerintah. Perhatian tersebut cukup beralasan mengingat
peranan para pelaku UMKM dalam pengembangan perekonomian kerakyatan
semakin besar yang dapat dilihat dari karakteristik yang melekat pada pelaku usaha,
proses produksi yang cenderung padat karya mampu menyerap banyak tenaga kerja
dan sekaligus dapat memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan
dan mampu bertahan pada masa krisis ekonomi (Hill, 1997). Bila dibandingkan
dengan jumlah usaha besar, pada periode pasca krisis yaitu tahun 2005 hingga 2009,
2005
2006
2007
2008
2009
2011
55.206.444
Tahun
4.952
2.891.224
2012
56.534.592
4.968
107.657.509
Sumber : Kementerian Koperasi dan UMKM, 2013
3.150.645
Gambar 1.2
Ekspor Indonesia Berdasarkan Jenis Produk
Tahun 1999 (dalam %)
Sumber: Departemen Koperasi dan PPK dan Menengah, 1999
Namun, sampai pada tahun 2011 telah terjadi pergeseran ekspor Indonesia
berdasarkan jenis produk, dimana telah terjadi pergeseran urutan yakni kontribusi
ekspor terbesar adalah pengolahan kelapa/kelapa sawit yang pada tahun 1999 tidak
masuk dalam urutan 10 besar, sementara itu kontribusi pengolahan produk dari kayu
memberikan kontribusi paling kecil dibandingkan tahun 1999 yang mampu
memberikan kontribusi terbesar kedua. Dalam waktu 12 (dua belas) tahun orientasi
ekspor Indonesia telah mengalami perubahan yang besar, hal ini bisa disebabkan
karena berbagai kebijakan Pemerintah terhadap orientasi ekspor, kemajuan
tehnologi maupun perubahan permintaan pasar dunia terhadap produk Indonesia.
Secara lebih rinci ekspor Indonesia berdasarkan jenis produk disajikan pada Gambar
1.3.
Gambar 1.3
Ekspor Indonesia Berdasarkan Jenis Produk
Tahun 2011 (dalam %)
Sumber: Kementrian Perindustrian, 2012
faktor produksi tersebut lebih besar daripada perusahaan yang hanya melayani pasar
domestik (Tambunan, 2012).
Data 2007 dan target 2008 dari BPS dan Departemen perdagangan
menunjukkan bahwa daftar ekspor penting dari UMKM kurang lebih masih
konsisten, seperti makanan olahan, perhiasan dan kerajinan. Berdasarkan data dari
Departemen Perindustrian yang disajikan pada Tabel 1.3 memperlihatkan sepuluh
besar produk ekspor UMKM Indonesia di industri manufaktur untuk periode 20092010.
Tabel 1.3
Sepuluh Besar Ekspor Manufaktur dari UMKM Indonesia 2009-2010
No
Produk
Kelapa
sawit
olahan/minyak
kelapa sawit
TPT (teksil dan produk tekstil)
Besi baja, mesin dan otomotif
Produk-produk berbasis karet
Elektronika
Produk-produk dari tembaga,
timah dan lain-lain
Bubuk kertas dan kertas
Produk-produk dari kayu
Logam dasar
Makanan dan Minuman
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2009
Volume
Nilai
(US $)
20.737,9
12.924,9
2010
Volume
Nilai
(US $)
8.068,0
6.124,2
1.757,4
2.829,3
2.506,8
339,8
508,1
9.245,1
8.701,1
5.020,2
7.899,6
5.241,5
963,0
1.504,7
1.404,2
179,6
262,7
5.295,7
5.242,4
4.415,3
4.320,9
3.002,8
6.539,9
3.184,2
4.003,7
1.612,8
4.272,4
3.441,0
3.168,3
2.569,8
3.318,2
2.250,0
2.305,7
789,8
2.718,4
2.262,7
2.245,7
1.463,0
dibanyak Negara lainnya. Selain tiga penyebab utama, yaitu keterbatasan modal,
kurang penguasaan teknologi dan kualitas SDM faktor orientasi pasar terutama dari
produk UMI yang dihasilkan hampir seluruhnya untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri/lokal.
Ada beberapa ciri UMKM Indonesia yang melakukan ekspor. Ciri pertama,
sebagian besar tidak melakukan ekspor secara langsung melainkan melalui
kemitraan atau perusahaan-perusahaan eksportir besar, atau menjual secara lokal
kepada turis asing Urata ( 2000); kedua, tidak semua UMKM Indonesia yang terlibat
dalam kegiatan ekspor sepenuhnya berorientasi ekspor, karena banyak yang hanya
mengekspor sebagian kecil dari jumlah output mereka. Namun demikian UMKM
memberi kontribusi tidak kecil terhadap pertumbuhan ekspor manufaktur bahkan
selama orde baru tumbuh cukup besar dengan menemukan peluang-peluang pasar
dan kemampuannya melakukan penyesuaian-penyesuaian biaya dan kualitas produk
terhadap perubahan-perubahan permintaan pasar di dunia (Hill, 2001 dalam
Tambunan, 2012); ketiga, umumnya UMKM yang terlibat dalam kegiatan ekspor
terkonsentrasi di lokasi yang sama untuk produk yang sama yang merupakan salah
satu karakteristik UMKM di Indonesia yang membentuk klaster-klaster; keempat,
ekspor UMKM sebagian besar dari kategori barang-barang berteknologi menengah
ke bawah; dan kelima, ekspor UMKM terkonsentrasi dimana upah adalah sumber
utama penentu daya saing global.
Secara spasial, konstelasi perkembangan UMKM di Indonesia yang semakin
meningkat dan tersebar di seluruh Indonesia baik yang formal dan informal secara
langsung memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi rakyat. Salah satu
daerah yang menyumbang perkembangan UMKM di Indonesia adalah Provinsi Bali.
Sebagai salah satu daerah wisata terkenal di Indonesia dan bahkan dunia, Provinsi
Bali menjadi episentrum bukan hanya wisata namun juga bisnis ekonomi. Kondisi
ini yang secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan multiplier effect
bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Tingkat pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bali
dapat dilihat melalui besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laju
pertumbuhan PDRB berdasarkan atas dasar harga kontan 2000 sebagaimana di
sajikan pada Tabel 1.4 dan Tabel 1.5.
Tabel 1.4
PDRB Bali Atas Dasar Harga Konstan 2000
Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2012 (dalam Jutaan Rp)
Lapangan Usaha
2008
2009
2010
2011
2012
4,898,453.32
5,645,784
5,745,585.79
5,873,098.00
6,070,983.49
141,657.45
157,971.73
188,664.53
208,488.02
240,277.855
2,289,788.43
2,768,110.35
2,936,448.09
3,027,992.41
3,210,844.00
356,044.27
410,371.98
438,590.34
470,830.61
513,572.99
909,435.80
1,067,443.02
1,146,121.48
1,236,386..67
1,467,171.65
Perdagangan, Hotel,
dan Restoran (PHR)
Pengangkutan dan
Komunikasi
Keuangan, Persewaan
dan Jasa Perusahaan
Jasa-jasa
7,348,126.09
8,656,017.41
9,209,066.19
10,009,394.65
10,574,602.89
2,575,564.36
3,016,617.21
3,190,613.09
3,381,200.32
3,636,776.49
1,734,273.10
1,899,187.64
2,041,019.60
2,167,882.16
2,366,826.86
3,243,703.65
3,669,441.42
3,986,384.79
4,382,502.64
4,723,315.13
PDRB
23,497,047.07
27,290,945.61
28,882,493.90
30,757,776.28
32,804,381.36
Pertanian
Pertambangan dan
Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas, dan Air
Bersih
Bangunan
pengangkutan dan
komunikasi sebesar 7,33 persen; perdagangan, hotel dan restoran (PHR) sebesar
6,79 persen; Industri pengolahan sebesar 6,62 persen dan jasa-jasa sebesar 5,72
10
persen. Selama lima tahun terakhir terlihat bahwa struktur PDRB Provinsi Bali di
dominasi oleh sektor listrik, gas dan air bersih serta pengangkutan dan komunikasi
kondisi ini menjadi konsekuensi sebagai tujuan wisata dunia, kebutuhan akan
penggunaan sektor listrik, gas dan air bersih untuk mendukung seluruh aktifitas
perekonomian di Bali.
Tabel 1.5
Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Bali
Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha
Tahun 2006-2012 (persen)
Lapangan Usaha
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Pertanian
Pertambangan
dan Penggalian
Industri
Pengolahan
Listrik, Gas, dan
Air Bersih
Bangunan
Perdagangan,
Hotel, dan
Restoran (PHR)
Pengangkutan dan
Komunikasi
Keuangan,
Persewaan dan
Jasa Perusahaan
Jasa-jasa
PDRB
4,10
2,54
2,49
2,97
1,01
3,52
5,26
5,27
1,73
10,73
2,22
10,51
3,37
15,25
Ratarata
2,92
5,01
4,36
9,15
8,17
5,39
6,04
3,12
6,04
6,62
6,57
7,89
8,98
4,71
8,70
7,35
9,08
7,37
4,51
5,11
6,09
7,58
6,71
8,36
0,91
6,50
7,33
6,40
7,88
8,69
18,67
5,65
5,11
6,79
6,06
10,86
8,92
5,09
5,74
5,97
7,56
7,33
6,72
3,61
4,28
2,63
7,43
6,22
9,18
4,93
6,95
5,28
2,80
5,92
4,66
5,97
5,64
5,33
8,55
5,83
9,94
6,49
7,78
6,65
5,72
5.67
peningkatan
di
subsektor
komunikasi
cenderung
disebabkan
karena
11
yang menyatakan
bahwa hal penentu yang terkait dengan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
antara lain : 1) penentu produktivitas ( determinants of productivity ), 2) modal
manusia ( Human Capital ), 3) sumber daya alam ( natural resources ), 4) teknologi
( technology) dan 5) lingkungan ( environment ).
Sementara sektor yang lain yang terdiri dari sektor pertanian, pertambangan
dan penggalian, bangunan dan Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
mengalami laju pertumbuhan di bawah laju pertumbuhan rata-rata Provinsi,
terutama sektor pertanian yang memiliki laju pertumbuhan rata-rata sebesar 2,92
persen pertahun. Rendahnya pertumbuhan pada sektor pertanian ini terutama
disebabkan oleh kondisi cuaca ekstrem yang memicu penurunan produksi produk
pertanian dalam arti luas. Tidak itu saja, adanya serangan hama tikus, wereng, dan
12
bekicot serta virus, alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan berakibat pada
turunnya produksi pada sejumlah komoditas pertanian di beberapa sentra produksi
pertanian.
Perekonomian Bali memang tidak terbantahkan sangat tergantung pada
pariwisata. Bukan hanya pemerintah daerah yang banyak berharap dari sektor jasa
ini untuk menggerakkan roda pembangunan, tetapi juga sebagian besar masyarakat
hidupnya tergantung pada sektor jasa ini. Jadi dapat dikatakan bahwa pariwisata Bali
telah menjadi mesin penggerak perekonomian rakyat di Bali, bahkan ikut
menggerakkan perekonomian provinsi berdekatan melalui permintaan produk
produk kebutuhan masyarakat Bali dan wisatawan yang diproduksikan di Provinsi
tersebut; misalnya, bahan pangan dari Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Usaha kecil sektor pariwisata adalah usaha-usaha kecil pada setiap sektor
yang mendukung langsung kegiatan kepariwisataan atau perjalanan wisatawan,
yaitu: (1) sektor restoran, rumah makan dan warung, (2) hotel non bintang, angkutan
wisatawan, (4) travel biro, (5) money changer, (6) atraksi budaya dan hiburan
lainnya, dan (7) jasa perorangan, rumah tangga lainnya dan pramuwisata. Sedangkan
sektor hotel bintang walaupun pendukung utama sektor pariwisata, karena usahausaha pada sektor ini tidak memenuhi ketentuan usaha kecil BI, maka tidak
termasuk usaha kecil sektor pariwisata.
Jadi, melalui efek pengganda (multiplier effects) dan efek menyebar (spread
effects), pengeluaran wisatawan yang ditangkap oleh usaha-usaha kecil pada sektorsektor pendukung kelancaran pariwisata telah memberikan kontribusi terhadap
pendapatan daerah (nilai tambah bruto) Bali, menciptakan efek keterkaitan ke
belakang dan ke depan, dan menimbulkan efek pengganda terhadap sektor-sektor
13
ekonomi lainnya dalam perekonomian Bali. Lewis (1954) dalam Arsyad (2010)
menekankan perlunya
sektor pertanian dan sektor industri serta antara sektor dalam dan luar negeri, yang
akan memberikan keuntungan.
Melalui berbagai upaya yang dilakukan seperti pelatihan, bimbingan,
bantuan peralatan maupun permodalan,
iklim usaha, maka bidang industri mampu menumbuh kembangkan usaha industri
dengan berbagai bidang dan sub bidang pendukungnya, sebagai indikator dalam
pencapaian hasil kegiatan, sebagaimana disajikan pada Tabel 1.6.
Tabel 1.6
Perkembangan Jumlah Sentra, Unit usaha, Tenaga kerja,
Nilai Investasi dan Nilai Produksi Industri Kecil dan Menengah
di Tahun 2004 s/d 2011
No
Tahun
Sentra
(buah)
Unit
Usaha
1
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
766
918
905
937
934
985
989
625
73.829
70.878
73.754
74.899
72.070
73.383
74.938
75.148
Nilai Investasi
(Jutaan Rp)
388.981
432.005
388.433
416.828
1.406.416
1.459.684
1.934.048
4.470.887
Nilai Produksi
(Jutaan Rp)
3.800.457
2.959.194
3.781.571
4.340.134
4.145.679
4.761.036
6.663.090
8.625.584
Tng kerja
(orang)
208.287
224.326
219.483
221.563
220.973
226.420
238.255
138.630
14
Realisasi ekspor non migas daerah Bali dari tahun ketahun mengalami
peningkatan, dan dalam kurun waktu 7 (tujuh) tahun yaitu tahun 2004 sampai
dengan tahun 2011 meningkat rata-rata 2,73% pertahun. Adapun perkembangan
realisasi ekspor Non Migas daerah Bali dari Tahun 2004-2011 sebagaimana
disajikan pada Tabel 1.7 dan Gambar 1.4.
Tabel 1.7
Realisasi Ekspor Non Migas Daerah Bali
Tahun 2004-2011
No.
Tahun
Realisasi Ekspor(US.$)
1
2004
498.969.473,16
2
2005
458.410.714,67
3
2006
458,789.262,74
4
2007
504.066.358,22
5
2008
553.832.364,47
6
2009
502.541371,61
7
2010
519.912.506,91
8
2011
497.864.362,07
Sumber: Dinas Perindag Prov. Bali, 2012
Perubahan (%)
(8,13)
0,08
9,87
9,87
-9,26
4,46
-4,2
Gambar 1.4
Perkembangan Realisasi Ekspor Non Migas Daerah Bali
Tahun 2004-2011
Sumber: Dinas Perindag Prov. Bali, 2009
15
Hasil
Kerajinan
201.022.383,17
(40,29%)
227.604.660,14
(49,65%)
235.882.292,99
(51,41%)
247.282.261,85
(49,06%)
266.205.490,20
(48,07%)
224.098.539,63
(44,6%)
215.288.407,35
(41,41%)
197.455.924,79
(39,66%)
Hasil Industri
239.216.314,31
(47,94%)
170.820.808,77
(37,26%)
162.249.204,65
(35,36%)
180.254.250,24
(35,76%)
188.931.305,50
(34,11%)
170.473.759.00
(33,92%)
180.215.610,68
(34,66%)
192.131.341,98
(38,59%)
Hasil
Pertanian
48.321.236,08
(9,68%)
52.518.522,18
(11,46%)
52.461.279,78
(11,43%)
71.857.777,62
(14,26%)
96.174.429,47
(17,37%)
104.542.168,10
(20,80%)
119.769.734,32
(23,07)
102.555.224,13
(20,60%)
Hasil
Perkebunan
8.355.397,52
(1,67%)
2.328.455,34
(0,51%)
1.529.327,43
(0,33%)
1.809.919,04
(0,36%)
640.064,71
(0,12%)
916.739,85
(0,18%)
887.631,00
(0,17%)
903.530,72
(0,18%)
Lain-Lain
Jumlah
2.054.142,08
(0,41%)
5.138.268,24
(1,12%)
6.667.157,89
(1,45%)
2.862.149,47
(0,57%)
1.881.056,59
(0,34%)
2.465.619,51
(0,05%)
3.751.123,56
(0,72%)
4.818.340,45
(0,97%)
498.969.473,16
(100%)
458.410.714,67
(100%)
458.789.262,74
(100%)
504.066.358,22
(100%)
553.832.346,47
(100%)
502.541.826,09
(100%)
519.912.506,91
(100%)
497.864.362,07
(100%)
16
Berdasarkan Tabel 1.8 dapat diketahui bahwa realisasi ekspor menurut kelompok
komoditi Tahun 2004-2011 bahwa hasil kerajinan rata-rata menempati posisi
tertinggi dari 5 (lima) komoditas yang lain walaupun dari tahun ke tahun mengalami
penurunan. Kondisi ini juga dialami oleh komoditas yang lain kecuali komoditas
hasil pertanian yang terus meningkat.
Salah satu Kabupaten di Provinsi Bali yang yang memiliki sentra industri
penghasil kerajinan terutama kerajinan kayu adalah Kabupaten Gianyar. Sebagai
Daerah pusat budaya ukiran di Bali, Kabupaten Gianyar memiliki potensi dalam
menyumbang pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bali. Jika ditinjau dari besarnya
kontribusi PDRB kabupaten/kota di Provinsi Bali pada Tahun 2012 sebagaimana
disajikan pada Gambar 1.5 yang menunjukkan bahwa Gianyar (12,13 persen)
menempatai urutan ketiga setelah Kabupaten Badung (25,36 persen) dan Denpasar
(21,19 persen).
Badung
Tabanan
12,13
25,36
4,55
3,88
6,71
Jbrn
Denpasar
Buleleng
Karangasem
8,31
11,96
21,19
5,92
Bangli
Klungkung
Gianyar
Gambar 1.5
Kontribusi PDRB Kabupaten/Kota Terhadap PDRB Provinsi Bali
Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2012 (%)
Sumber: BPS Prov. Bali (2012)
Jika ditinjau dari hasil pemetaan UMKM di Provinsi Bali sebagaimana
disajikan pada Tabel 1.9, terlihat bahwa secara keseluruhan Kabupaten Gianyar
17
80 , 989
= 33,8
239 , 357
Buleleng
Jembrana
Tabanan
Badung
Denpar
Gianyar
Bangli
Klungkung
Karangasem
PERDAGAN INDUST
INDT NON
GAN
PERTANIAN PERTANIAN
6.715
11.111
10.341
11.391
7.524
20.527
24.336
1.109
12.290
2.684
5.195
1.881
1.073
966
17.206
2.392
6.795
20.573
2.441
1.162
4.190
2.057
611
29.875
1.600
1.413
2.036
1.988
3.028
1.877
1.527
2.040
13.381
2.569
376
3.078
13.829
20.495
18.289
16.049
11.141
80.989
30.897
9.692
37.977
58.765
57.590
45.385
42.470
29.865 239.357
26.663 223.395
Jumlah 2012
2011
105.342
96.672
18
Jumlah
Perusahaan (unit)
Nilai
Investasi (Rp
000,-)
Nilai
Produksi
(Rp)
248
Jumlah
Tenaga
Kerja
(org)
4.725
338.057.218
100.608.319
66,3
106
1.572
602.216.625
519.031.989
56,1
45
611
239.250.066
54.733.600
56,2
32
627
4.690.518
6.187.150
47,6
8
6
270
448.158
40.792
2.910.000
3.900.000
56
28,3
6
5
4
81
34
59
339.988
25.194.537
632.082
992.500
4.500.000
194.200
61,7
30
65
73
678.698
1.925.000
58,8
28
Rata-rata
Ekspor
(%)
19
20
21
22
Namun demikian ada beberapa hal menarik yang perlu dicermati sebagai
bentuk dari keunggulan UMKM yaitu UMKM memiliki potensi yang tidak dimiliki
oleh usaha besar antara lain: 1) sebagian besar menggunakan bahan baku lokal yang
tidak dipengaruhi oleh gejolak perekonomian dunia; 2) keperluan modal UMKM
khususnya UMK relatif kecil. Tenggang waktu produksi (time lag) UMKM relatif
singkat, serta pada beberapa jenis kegiatan UMKM memiliki nilai komparatif yang
sangat tinggi: 3) potensi berikutnya yang dapat dijadikan keunggulan komparatif
UMKM adalah bahwa pada kegiatan-kegiatan usaha tertentu UMKM lebih efisien
dan produktif, daripada usaha besar. Dengan demikian dalam kegiatan usaha
tersebut usaha kecil dan menengah akan memiliki tingkat kompetisi yang baik.
Wiryono (1998) mengemukakan teori yang menarik untuk mengetahui
tingkat kompetisi, efisiensi dan produktivitas yang diukur dari trend pangsa output
dalam satu kurun waktu tertentu. Jika pangsa dari satu skala industri tertentu
menurun, berarti industri pada skala tersebut tidak efisien, demikian pula sebaliknya.
Beberapa kondisi realistis di atas seharusnya menjadi bahan pemikiran sekaligus
perenungan untuk tidak terus menerus menganggap UMKM sebagai kelompok
bisnis yang harus selalu dan diberikan bantuan seperti subsidi bunga. Kebijakan
yang selalu memposisikan UMKM sebagai kelompok yang perlu dibantu didasarkan
pada anggapan bahwa UMKM adalah kelompok usaha yang lemah dalam segala hal
dan tidak mampu bersaing dengan usaha besar. Sayangnya kebijakan tersebut
cenderung berlanjut terus hingga saat ini. Bahkan tantangan pasar global yang akan
segera datang direspon dengan anggapan UMKM akan habis terlindas dan tidak
mampu bersaing. Globalisasi dan pasar bebas (melalui WTO, APEC, AFTA)
menjadi momok yang menyeramkan bagi UMKM tanpa memberikan alternatif dan
23
strategi bagaimana seharusnya UMKM menghadapi pasar bebas. Dari realita potensi
unggulan UMKM seperti disebutkan di atas, maka selayaknya kalangan lembaga
perkeditan formal tidak lagi memandang UMKM sebagai kelompok usaha marginal,
tetapi berbagai dogma dan mitos disekitar kelemahan UMKM ternyata masih sulit
untuk dipatahkan. Kesulitan inilah yang seharusnya menjadi tantangan dan dorongan
bagi UMKM untuk mencari strategi yang paling efektif untuk menembus kendala
struktural dalam membangun akses terhadap permodalan yang berasal dari lembaga
perkreditan formal khususnya bank-bank komersial
Selain penentuan strategi yang tepat dalam upaya pengembangan UMKM di
Kabupaten Gianyar perlu juga dilakukan analisis rantai nilai (value-chain) yang
merupakan alat analisis stratejik yang digunakan untuk memahami secara lebih baik
terhadap keunggulan kompetitif, untuk mengidentifikasi dimana value pelanggan
dapat ditingkatkan atau penurunan biaya, dan untuk memahami secara lebih baik
hubungan perusahaan dengan pemasok/supplier, pelanggan dan perusahaan lain
dalam industri Pratyush et al.( 2012 ) Chang, Jhany C. et al.( 2002). Dengan value
chain perusahaan dapat meningkatkan value untuk pelanggan atau untuk
menurunkan biaya. Penurunan biaya atau peningkatan nilai tambah (value added)
dapat membuat perusahaan lebih kompetitif. Disamping itu diselaraskan dengan
pendapat para ahli ( ekspert ) dibidang kerajinan ukiran kayu seperti ; 1) pengusaha
2) pelaku ekspor, 3) asosiasi kerajinan dan ekspor, 4) departemen perindustrian.
Selanjutnya untuk menjaga dan meningkatkan perkembangan industri
terutama industri kecil, dukungan dan peran pemerintah sangat dibutuhkan melalui
berbagai kebijakan yang mampu melindungi dan memberikan ruang yang lebih luas
bagi industri kecil untuk tumbuh dan berkembang dalam persaingan yang semakin
24
ketat. Dengan mengetahui kondisi riil industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten
Gianyar, diharapkan akan dapat membantu menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi oleh industri dan menjadikan produk kerajinan ukir sebagai produk
unggulan Kabupaten Gianyar pada khususnya dan Indonesia pada umumnya yang
mampu bersaing secara kompetitif di pasar internasional.
25
profesi menjadi pedagang atau profesi yang lain yang lebih cepat mendatangkan
uang terutama di kalangan generasi muda.
Selain masalah internal, industri kecil kerajinan kayu juga menghadapai
permasalahan yang berasal dari eksternal industri yang berupa ketatnya iklim
persaingan usaha, terbatasnya sarana prasarana, implikasi otonomi daerah yang
meningkatkan biaya produksi, implikasi perdagangan bebas yang menuntut agar
industri bekerja dengan skala produksi yang efisien dan terbatasnya akses pasar
yang membuat industri kecil kerajinan
Kondisi ini memerlukan upaya serius dari pemerintah daerah untuk terus
mengembangkan industri kerajinan ukiran kayu mulai dari hulu hingga hilir.
Berdasarkan potensi yang sangat besar atas keberadaan industri kerajinan
ukiran kayu di Kabupaten Gianyar sebagai sektor penting dalam menyediakan
lapangan kerja yang berarti sebagai salah satu penopang ketersediaan lapangan kerja
dan sekaligus keberadaannya sebagai sumber kesejahteraan masyarakat baik secara
langsung maupun tidak langsung. Dilain pihak permasalahan yang dihadapi oleh
industri kerajinan ukiran kayu juga dapat mengancam keberlangsungan hidup
industri kecil yang secara otomatis menjadi ancaman bagi perusahaan hulu hilirnya,
maka sangat layak sekali dilakukan studi lebih mendalam melalui penelitian tentang
posisi strategis industri kerajinan ukiran kayu dalam memberikan backward dan
forward linkage bagi perkembangan sektor lainnya. Keterkaitan hulu hingga hilir
melalui analisis rantai nilai (value chain) menjaga keberlangsungan industri
kerajinan ukiran kayu, sehingga upaya untuk mendukung pemberdayaan industri
kerajinan kayu ukir menjadi lebih integratif dan komprehensif.
26
Secara rinci rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1)
bagaimanakah
Kabupaten Gianyar ?
2)
3)
Kabupaten Gianyar?
kayu di Kabupaten
Gianyar;
3) menganalisis strategi pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu yang di
Kabupaten Gianyar.
27
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
28
29
Pembangunan ekonomi diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh suatu
Negara dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf hidup
masyarakatnya. Atau dapat dikatakan sebagai proses yang menyebabkan kenaikan
pendapatan riil per kapita penduduk suatu Negara dalam kurun waktu lama ( jangka
panjang) disertai perbaikan sistem kelembagaan (Arsyad, 2010). Paham pembangunan
ekonomi menekankan produk per kapita dan pendapatan per kapita. Produk per kapita
dan pendapatan per kapita inilah yang dijadikan ukuran tingkat hidup dalam
mayarakat. Karena itu era tahun lima puluhan pengertian pembangunan ini terbatas
pada proses kenaikan pendapatan nasional dan pendapatan per kapita, atau proses
pembangunan itu terbatas pada bidang ekonomi atau titik beratnya pada bidang
ekonomi. Oleh karena itu, dalam proses pembangunan setiap negara, pertumbuhan
pendapatan dan pendapatan per kapita ini selalu dimonitor. Kemudian istilah
pembangunan dewasa ini semakin berkembang laksana mukjizat. Pembangunan
mengandung begitu banyak makna, mempunyai fungsi ganda, menimbulkan banyak
harapan, tapi juga membawa perdebatan yang tak habis-habisnya di kalangan
masyarakat yang semakin meluas.
Meier dan Baldwin dalam Siagian (1982) lebih tegas lagi mengatakan
bahwa: Economic development is a process where by an economy's real national
income increases on along period of time. And, if the rate of development is greater
than the rate of population growth,then per capita real income will increase".
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses, dengan proses di mana pendapatan
nasional riil suatu perekonomian bertambah selama suatu periode waktu yang
panjang.
30
produk
31
32
pengertian luas. Dalam arti sempit pembangunan sering dilihat dalam pandangan
historis monumental, yakni pembangunan yang menitikberatkan segi ekonomi tanpa
melihat kaitan antara aspek ekonomi dan politik, sosial budaya dan sebagainya. Dewasa
ini tampaknya pembangunan lebih banyak dilihat dalam pengertian sempit, seperti
tampak dalam praktek pembangunan yang berorientasi kepada GNP.
Pembangunan diartikan secara luas, yaitu dari dimensi historis. Dalam
pandangan ini, maka pengertian pembanguan jelas tidak dapat diartikan sebagai
pertumbuhan ekonomi semata-mata. Proses pembangunan dalam pengertian yang luas,
Indonesia seperti halnya banyak negara lain yang sedang berkembang, seringkali
dihadapkan pada dilema yakni pilihan kepada keperluan dan kemungkinan untuk
memberikan banyak perhatian kepada unsur tetap dalam masyarakat mencakup : (a)
keamanan, ketertiban (faktor statis), (b) perkembangan sosial ekonomi (faktor
dinamis); (c) keadilan-kebebasan (faktor etis).
GNP per kapita dari suatu negara seringkali merupakan ukuran dari kesuksesan
negara dalam menciptakan pembangunan ekonomi. Dari GNP per kapita dapat
ditentukan apakah negara itu diklasifikasikan negara maju atau negara berkembang.
Akan tetapi dengan lajunya pertumbuhan GNP tidaklah mutlak merupakan ukuran
keberhasilan pembangunan ekonomi negara sedang berkembang.
Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai proses peningkatan riil Produk
Domestik Bruto (PDB) perkapita dari waktu ke waktu yang dikatakan berhasil kalau
secara obyektif menunjukkan peningkatan per kapita dari meningkatnya upah riil
serta pendapatan yang mengarah ke standar hidup yang lebih baik atau tinggi
(Bishop, dkk; 2011). Menurut menurut Perkins, dkk (2010), pertumbuhan ekonomi
yaitu : peningkatan nyata atau riil dalam pendapatan per kapita dan lembaga
33
lembaga sosial serta politik yang diperlukan untuk mendukung ekspansi ekonomi
nasional. Perubahan ini ditandai oleh tumbuhnya sektor industri dengan pangsa
pasar pertanian menurun dari PDB dan perubahan signifikan dalam pertumbuhan
penduduk, migrasi pedesaan ke perkotaan serta memberikan kesempatan kerja.
Pertumbuhan ekonomi didifinisikan sebagai pertumbuhan jangka panjang non
inflasi dengan peningkatan out put
(2011)
34
yaitu
Mazhab
Klasik
Mazhab Keynesian
dan Neoklasik
diwakili oleh
1
Frederich List
Bruno Hildebrand
Karl Bucher, dan
Walt
Whitman
Rostow
Werner Sombart
diwakili oleh
2
Adam Smith
David
Ricardo
Von
Neuman
diwakili oleh
3
Harrod Domar
(1939&1948)
Solow Swan
(1956)
Ramsey (1928)
Teori
Ketergantungan
(dependencia
theory)
Teori
kekayaan
Kognitif
(Cognitive
Capitalisme)
diwakili oleh
7
Heiner
Rindermann
&
James
Thompson
Teori Pertumbuhan
Terpadu
diwakili oleh
6
diwakili oleh
8
Galor Oded
Teori Meta
Teori
Pertumbuhan
Ekonomi Baru
(Endogenous
Growth Theory)
diwakili oleh
4
Paul romer
Robert Lucas
John Joseph
Pothenkalam
Teori Inovasi
Schumpeter
Teori
Pertumbuhan
Transformasion
al
Teori
Pertumbuhan
Pekerjaan yang
Berguna
diwakili oleh
9
Edward
J.
Nell
diwakili oleh
10
Ayres Warr
IIAS
dan
ANSEAD
(Badan
energi
Internasional
diwakili oleh
5
Scumpeter
35
didominasi
sektor
non
primer,
khususnya
industri
manufaktur
dengan increasing return to scale (relasi positif antara pertumbuhan output dan
pertumbuhan produktivitas) yang dinamis sebagai mesin utama pertumbuhan
ekonomi.
Meminjam istilah Kuznets, perubahan struktur ekonomi umum disebut
transformasi struktural dan dapat didefinisikan sebagai rangkaian perubahan yang
saling terkait satu dengan lainnya dalam komposisi permintan agregat, perdagangan
luar negeri (ekspor dan impor), dan penawaran agregat (produksi dan penggunaan
factor-faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal) yang diperlukan guna
mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
Chenery ( 1979). Teori perubahan struktural menitikberatkan pembahasan pada
mekanisme transformasi ekonomi yang dialami oleh negara-negara sedang
berkembang,
yang
semula
bersifat
subsisten
(pertanian
tradisional)
dan
36
2.
1)
2)
3)
4)
karakteristik industrialisasi
5)
keberadaan SDA
6)
kebijakan perdagangan LN
struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi, industri dan struktur institusi dari
perkonomian negara sedang berkembang, yang mengalami transformasi dari
pertanian tradisional beralih ke sektor industri sebagai roda utama penggerak
ekonomi. Penelitian yang dilakukan Hollis Chenery tentang transformasi struktur
37
38
Menurut Kuznets,
perubahan
struktur ekonomi
atau disebut
juga
yang
39
rumah tangga, pribadi, perusahaan swasta, pemerintah dan ataupun pelaku ekonomi
lainnya.
Keterlibatan publik sebagai pelaku ekonomi dengan perkembangan
pengetahuan (knowledge) sebagai komoditas merupakan jaminan mutlak dalam
sistem pertumbuhan perekonomian di mana ketergantungan pasar saja tidak
menghasilkan yang baik dan memuaskan. De long (1996). Dari bahasan banyak para
peneliti ekonomi dapat dirangkumkan bahasannya : perilaku ekonomi yang
konstruktif baik dari perorangan, rumah tangga, perusahaan swasta, pemerintah atau
pelaku ekonomi lainnya akan memberikan peran terhadap pertumbuhan ekonomi
pada hal hal berikut:
1)
2)
peningkatan produktivitas secara efisien dan lebih tinggi dari kedua input modal
dan pasokan tenaga kerja;
3)
4)
5)
mendukung dan berperan aktif sebagai bagian dari modal sosial budaya.
40
diukur dengan output riil per orang. Sementara negara-negara miskin berpenduduk
padat dan banyak hidup pada taraf batas hidup dan mengalami kesulitan
menaikkannya, beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada, negaranegara Eropa Barat, Australia, Selandia Baru, dan Jepang menikmati taraf hidup
tinggi dan terus bertambah.Pertambahan penduduk berarti pertambahan tenaga kerja
serta berlakunya hukum Pertambahan Hasil yang Berkurang mengakibatkan
kenaikan output semakin kecil, penurunan produk rata-rata serta penurunan taraf
hidup. Sebaliknya kenaikan jumlah barang-barang kapital, kemajuan teknologi, serta
kenaikan kualitas dan keterampilan tenaga kerja cenderung mengimbangi
berlakunya hukum Pertambahan Hasil yang Berkurang. Penyebab rendahnya
pendapatan di negara-negara sedang berkembang adalah berlakunya hukum
penambahan hasil yang semakin berkurang akibat pertambahan penduduk sangat
cepat, sementara tak ada kekuatan yang mendorong pertumbuhan ekonomi berupa
pertambahan kuantitas dan kualitas sumber alam, kapital, dan kemajuan teknologi.
Sumber-sumber Alam
Elemen ini meliputi luasnya tanah, sumber mineral dan tambang, iklim, dan
lain-lain. Beberapa negara sedang berkembang sangat miskin akan sumbersumber alam, sedikitnya sumber-sumber alam yang dimiliki merupakan kendala
cukup serius. Dibandingkan dengan sedikitnya kuantitas serta rendahnya
persediaan kapital dan sumber tenaga manusia maka kendala sumber alam lebih
serius.
41
2.
3.
4.
Akumulasi Kapital
Akumulasi kapital sering kali dipandang sebagai elemen terpenting dalam
pertumbuhan ekonomi. Usaha-usaha untuk mendorong laju pertumbuhan
ekonomi dilakukan dengan memusatkan pada akumulasi kapital. Hal ini karena,
pertama, hampir semua negara-negara berkembang mengalami kelangkaan
barang-barang kapital berupa mesin-mesin dan peralatan produksi, bangunan
pabrik, dll. Kedua, penambahan dan perbaikan kualitas barang-barang modal
sangat penting karena keterbatasan tersedianya tanah yang bisa ditanami.
42
1)
2)
3)
Pemerintah
dapat
menciptakan
semangat
atau
spirit
untuk
dan secara relatif menggunakan sedikit kapital, meskipun dalam investasi pada
pembuatan jalan, saluran dan fasilitas pengairan, dan pengembangan teknologinya.
Kenaikan produktivitas sektor pertanian memungkinkan perekonomian dengan
43
2.
3.
Perlunya Disertivikasi
Usaha mengadakan disertivikasi bagi negara-negara pengekspor utama
44
mesti atau tidak boleh disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima
sebagai buah dari tindakan yang dilakukannya.
North (1990) mengatakan bahwa reformasi yang dilakukan tidak akan
memberikan hasil yang nyata hanya dengan memperbaiki kebijakan ekonomi makro
belaka. Agar reformasi berhasil, dibutuhkan dukungan seperangkat institusi yang
mampu memberikan insentif yang tepat kepada setiap pelaku ekonomi. Beberapa
contoh institusi yang mampu memberikan insentif tersebut adalah hukum paten dan
hak cipta, hukum kontrak dan pemilikan tanah. Bagi North institusi adalah peraturan
perundang-undangan berikut sifat-sifat pemaksaan dari peraturan-peraturan tersebut
serta norma-norma perilaku yang membentuk interaksi antara manusia secara
berulang-ulang.
Pada titik ini ekonomi kelembagaan masuk untuk mewartakan bahwa
kegiatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh tata letak antar pelaku ekonomi (teori
ekonomi politik), desain aturan main (teori ekonomi biaya transaksi), norma dan
keyakinan suatu individu/komunitas (teori modal sosial), insentif untuk melakukan
kolaborasi (teori tindakan kolektif), model kesepakatan yang dibikin (teori kontrak),
pilihan atas kepemilikan asset fisik maupun non fisik (teori hak kepemilikan) dan
lain-lain. Intinya, selalu ada intensif bagi individu untuk berperilaku menyimpang
sehingga sistem ekonomi tidak bisa hanya dipandu oleh pasar. Dalam hal ini
diperlukan kelembagaan non pasar (non- market institution) untuk melindungi agar
pasar tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak berujung, yakni dengan mendesain
aturan main / kelembagaan (institusion) (Yustika, 2013).
Para
penganut
ekonomi
kelembagaan
percaya
bahwa
pendekatan
45
aspek sosial, hukum, politik, budaya dan yang lain sebagai satu kesatuan analitis.
Oleh karena itu, untuk mendekati gejala ekonomi maka, pendekatan ekonomi
kelembagaan menggunakan metode kualitatif yang dibangun dari tiga premis
penting yaitu: partikular, subyektif dan non prediktif.
Pertama, partikular dimaknai sebagai heterogenitas karakteristik dalam
masyarakat. Artinya setiap fenomena sosial selalu spesifik merujuk pada kondisi
sosial tertentu (dan tidak berlaku untuk kondisi sosial yang lain). Lewat premis
partikularitas tersebut, sebetulnya penelitian kualitatif langsung berbicara dua hal: 1)
keyakinan bahwa fenomena sosial tidaklah tunggal: dan 2) penelitian kualitatif
secara rendah hati telah memproklamasikan keterbatasannya (Yustika, 2013).
Kedua, yang dimaksud dengan subyektif di sini sesungguhnya bukan berarti
peneliti melakukan penelitian secara subyektif tetapi realitas atau fenomena sosial.
Karena itu lebih mendekatkan diripada situasi dan kondisi yang ada pada sumber
data, dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir dari sudut pandang orang
dalam dalam antropologi disebut emic.
Ketiga, non prediktif ialah bahwa dalam paradigma penelitian kualitatif sama
sekali tidak masuk ke wilayah prediksi ke depan, tetapi yang ditekankan di sini ialah
bagaimana pemaknaan, konsep, definisi, karakteristik, metafora, symbol dan
deskripsi atas sesuatu. Jadi titik tekannya adalah menjelaskan secara utuh proses
dibalik sebuah fenomena.
46
adalah
terjemahan
dari
empowerment,
sedang
Perekonomian
yang
diselenggarakan
oleh
rakyat
adalah
47
48
menggunakan
dan
mempengaruhi
lembaga-lembaga
masyarakat seperti; lembaga pendidikan, kesehatan, keuangan serta lembagalembaga pemenuh kebutuhan hidup lainnya;
5) power over resources, kekuasaan atas sumber daya, kemampuan
memobilisasi sumber daya formal dan informal serta kemasyarakatan dalam
memenuhi kebutuhan hidup;
49
50
mezzo,
pemberdayaan
dilakukan
terhadap
kelompok
51
52
UKM
melalui
pengembangan
lembaga
pemasaran,
skim-skim
pembiayaan
alternatif
untuk
usaha;
(b)
53
54
2. Dukungan pemerintah atas UMKM dalam pasal 10, aspek informasi usaha
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf b ditujukan untuk:
a) jaringan informasi bisnis;
b) mengadakan dan menyebarluaskan informasi mengenai pasar, sumber
pembiayaan, komoditas, penjaminan, desain dan teknologi, dan mutu; dan
55
c) memberikan jaminan transparansi dan akses yang sama bagi semua pelaku
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah atas segala informasi usaha.
3. Kemitraan, dukungan pemerintah atas UMKM dalam pasal 11, aspek kemitraan
sebagaimana dimkasud dalam pasal 7 ayat (1) huruf b ditujukan untuk:
a) mewujudkan kemitraan antar-Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
b) mewujudkan kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Usaha
Besar;
c) mendorong terjadinya hubungan yang saling menguntungkan dalam
pelaksanaan transaksi usaha antarUsaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
d) mendorong terjadinya hubungan yang saling menguntungkan dalam
pelaksanaan transaksi usaha antara Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan
Usaha Besar;
e) mengembangkan kerjasama untuk meningkatkan posisi tawar Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah;
f) mendorong terbentuknya struktur pasar yang menjamin tumbuhnya
persaingan usaha yang sehat dan melindungi konsumen; dan
g) mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang
perorangan atau kelompok tertentu yang merugikan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah.
Tujuan adanya pemberdayaan UMKM ini adalah:
1. mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang,
dan berkeadilan;
2. menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan UMKM menjadi usaha
yang tangguh dan mandiri; dan
56
kemitraan sebagai suatu strategis bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih
dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip
saling membutuhkan dan saling membesarkan. Jika ditinjau berdasarkan perundangundangan,
Undang-Undang
Nomor
Tahun
1995
tentang
usaha
kecil
mendefinisikan kemitraan usaha sebagai kerja sama usaha antara usaha kecil dengan
menengah atau dengan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling
memperkuat, saling memerlukan dan saling menguntungkan. Menurut Jafar (2000)
tujuan kemitraan usaha yaitu :
1. meningkatkan pendapatan usaha kecil dan masyarakat;
2. meningkatkan perolehan nilai tambah tinggi bagi pelaku kemitraan;
3. meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil;
4. meningkatkan pertambahan ekonomi desa;
5. memperluas kesempatan kerja;
6. meningkatkan ketahanan nasional.
Sedangkan manfaat kemitraan usaha yaitu:
1. produktifitas,
dengan
adanya
kemitraan
usaha
diharapkan
adanya
57
lemah dalam hal kemampuan teknologi dan sarana produksi dengan bermitra
akan menghemat waktu produksi melalui teknologi dan sarana produksi yang
dimiliki oleh perusahaan besar;
3. jaminan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas pada kegiatan kemitraan. Proses
produksi biasanya tidak dikuasai oleh satu pihak saja, maka pihak-pihak
yang terlibat perlu menerapkan suatu standar mutu yang disepakati sehingga
pada akhir produksi dapat diperoleh jaminan mutu yang berkesinambungan;
4. Resiko, setiap kegiatan bisnis/usaha selalu memiliki resiko, bahkan satu
norma yang dianut oleh dunia usaha bahwa keuntungan/kesuksesan yang
besar biasanya mengandung konsekwensi resiko yang besar pula. Dengan
kemitraan diharapkan resiko yang besar dapat ditanggung bersama. Tentunya
pihak-pihak yang bermitra akan menanggung resiko yang proposional sesuai
dengan besarnya modal dan keuntungn yang diperoleh;
5. Sosial, kemitraan usaha bukan hanya memberikan dampak positif secara
ekonomi. Di samping itu, kemitraan dapat memberikan dampak sosial yang
tinggi, dengan mengantisipasi kecemburuan sosial yang bisa menjadi gejolak
sosial akibat ketimpangan.
Berkembangnya suatu kemitraan tidak terlepas dari adanya dukungan iklim
yang kondusif untuk berkembangnya investasi dan usaha daerah. Dukungan
fasilitas, kemudahan perizinan, perangkat kebijakan perkreditan, tingkat suku bunga,
peraturan daerah, dan iklim kondusif lainnya sangat membantu proses kemitraan.
Dalam perwujudan hal tersebut sangat diperlukan adanya koordinasi dan persamaan
persepsi antar lembaga terkait mulai dari tingkat pusat (nasional) sampai tingkat
daerah.
58
59
60
61
rumah tangga maupun suatu badan bertujuan untuk memproduksi barang atau jasa
untuk diperniagakan secara komersial dan mempunyai omzet penjualan sebesar 1
(satu) miliar rupiah atau kurang. Sementara Usaha Menengah didefinisikan sebagai
kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun
suatu badan bertujuan untuk memproduksi barang atau jasa untuk diperniagakan
secara komersial dan mempunyai omzet penjualan lebih dari 1 (satu) miliar. Ciri-ciri
perusahaan kecil dan menengah di Indonesia, secara umum adalah:
1. manajemen berdiri sendiri, dengan kata lain tidak ada pemisahan yang tegas
antara pemilik dengan pengelola perusahaan. Pemilik adalah sekaligus pengelola
dalam UKM;
2. modal disediakan oleh seorang pemilik atau sekelompok kecil pemilik modal;
3. daerah operasinya umumnya lokal, walaupun terdapat juga UKM yang memiliki
orientasi luar negeri, berupa ekspor ke negara-negara mitra perdagangan;
4. ukuran perusahaan, baik dari segi total aset, jumlah karyawan, dan sarana
prasarana yang kecil.
Secara definitif, banyak konsep mengenai industri kecil dan menengah, di
bawah ini dijelaskan beberapa definisi tersebut antara lain:
1. Batasan normatif menurut SK Menperindag No. 254 tahun 1997, industri kecil
diartikan sebagai suatu kegiatan usaha industri yang memiliki nilai investasi
sampai dengan Rp 200,- juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
2. Menurut UU No. 5 tahun 1999, memberikan batasan pada UKM yaitu untuk
usaha kecil adalah usaha yang memiliki:
a) kekayaan bersih Rp 200,- juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha;
62
pengembangan
UKM
melalui
pemberdayaan
usaha
yang
63
5. Bank Indonesia mendefinisikan usaha kecil berdasarkan pada nilai aset yang
dimiliki oleh usaha ini. Yang dimaksud dengan usaha kecil adalah usaha yang
asetnya (tidak termasuk tanah dan bangunan) bernilai kurang dari Rp.600 juta.
6. Kamar Dagang dan Industri (KADIN) mendefinisikan usaha kecil adalah usaha
yang memiliki modal kerja kurang dari Rp.600 juta untuk kelompok usaha yang
bergerak dibidang perdagangan, pertanian dan industri. Dan usaha dengan modal
kerja kurang dari Rp.250 juta dan memiliki nilai usaha kurang dari Rp. 1 milyar.
7. Riyanti (2003), kriteria usaha kecil adalah berbadan hukum dengan kriteriakriteria:
a) dikelola sendiri oleh pemiliknya;
b) memiliki setidak-tidaknya dua atau lebih karyawan;
c) memiliki lokasi dan sarana yang bisa diamati;
d) omzet pertahun diatas Rp.10 juta dan tidak lebih dari Rp. 1 miliar.
8. Menurut Departemen Keuangan, Usaha kecil adalah usaha produksi milik
keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia yang memiliki asset
penjualan paling banyak Rp 1 Milyar/tahun.
9. Menurut Menteri Negara Koperasi dan UKM, Usaha Kecil adalah milik Warga
Negara Indonesia baik perorangan maupun berbadan hukum yang memiliki
kekayaan bersih wsebanyak-banyaknya Rp 200.000.000 dan mempunyai omzet
atau nilai output penjualan paling banyak Rp 1.000.000.000 dan usaha tersebut
berdiri sendiri.
10. Menurut Komite Penanggulangan Kemiskinan, usaha Kecil adalah pemilik atau
pelaku kegiatan usaha skala mikro di semua sektor ekonomi dengan kekayaan di
luar tanah dan bangunan maksimal Rp 25.000.000.
64
11. Menurut Asian Development Bank (ADB), Usaha Kecil adalah usaha-usaha non
pertanian yang mempekerjakan kurang dai 10 orang termasuk pemilik usaha dan
anggota keluarga.
12. Menurut Bank Dunia (World Bank), Usaha Kecil merupakan usaha gabungan
atau usaha keluarga dengan tenaga kerja kurang dari 100 orang, termasuk di
dalamnya usaha yang hanya dikerjakan oleh satu orang yang sekaligus bertindak
sebagai pemilik. Usaha Kecil merupakan usaha untuk mempertahankan hidup
(survival activities) yang kebutuhan keuangannya dipenuhi oleh tabungan dan
pinjaman berskala kecil.
13. Menurut ILO (International Labour Organization), Usaha Kecil adalah usaha
yang mempekerjakan maksimal 10 orang dan menggunakanteknologi sederhana,
asset minim dan kemampuan manajerial rendah serta tidak membayar pajak.
Pengertian UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dari berbagai literatur
memiliki beberapa persamaan, sehingga dari pendapat-pendapat tersebut dapat
diambil satu kesimpulan bahwa UKM adalah sebuah perusahaan baik berbadan
hukum maupun tidak, yang memiliki tenaga kerja 1-100 orang lebih, milik Warga
Negara Indonesia dengan total penjualan maksimal 1 Milyar/tahun.
sebagai berikut:
a.
65
b.
c.
d.
berdiri sendiri, bukan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki
atau dikuasai perusahaan besar;
e.
bentuk usaha orang perorang, badan usaha berbadan hukum/ tidak berbadan
hukum, termasuk koperasi;
f.
g.
Padat karya, dengan sifatnya yang padat karya sehingga industri kecil dapat
menyerap banyak tenaga kerja, kghususnya tenaga kerja daerah, sehingga dapat
mengurangi tingkat pengangguran dalam kondisi pertambahan penduduk yang
cukup tinggi sedangkan lapangan kerja terbatas sekali, maka kegiatankegiatan
yang mampu menyerap tenaga kerja mempunyai peran penting;
2.
Modal kecil. mayoritas usaha kecil memiliki modal yang relatif kecil. Faktor
yang menyebabkan kecilnya modal yang dimiliki oleh sektor usaha kecil adalah
karena modalnya bersumber dari keuangan pribadi. Faktor yang kedua adalah
banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi apabila mengajukan permohonan
kepada pihak Bank;
66
3.
konvensional.
Penggunaan
teknologi
konvensional
ini
selain
disebabkan oleh minimnya dana, tapi juga karena proses produksinya tidak
membutuhkan teknologi tinggi;
4.
Pemerataan, sifatnya sesuai dengan kondisi daerah maka Industri Kecil dapat
dikembangkan di daerah.
Faktor internal
Faktor-faktor dari dalam yang berpengaruh terhadap industri kecil dan
67
68
69
pendekatan logis dan kontemporer melalui dua langkah simultan yang bersinergi
yaitu:
1) memperkuat daya tarik faktor-faktor pada sisi permintaan pada produkproduk industri (demand pull industri) melalui berbagai upaya yang
sesuai dengan keadaan dan kebutuhan;
2) memperkuat daya dukung faktor-faktor pendorong pada sisi kemampuan
daya pasok (supply push strategy) untuk memperlancar kegiatan produksi
secara berdaya saing sesuai kondisi dan kebutuhan.
- Iklim Usaha
- Penerapan HaKi
- Peningkatan Kemitraan
Instansi terkait :
- Meneg Kimpraswil
- Dep. Perindag
- Dep. Keuangan
- Dep. Pertanian
- Dep. Perhubungan
- Menekop & UKM
PROGRAM :
Industri Kecil Penggerak Perekonomian
- Industri kecil
- Industri Kecil berorientasi ekspor
- Industri Kecil Inisiatif Baru
Tujuan :
- Pasar
- BUMN/usaha
besar
2.
70
Tinggi
Konvensasi
kelemahan dari
pengalaman
dengan
dukungan,
inovasi, motifasi
Tingkat
Penguasaan
Teknologi
Inovasi baru,
Peningkatan manajemen peningkatan lanjut
dan pemasaran,
Mengatasi krisis produktivitas, adapbilitas
4. Inovasi
dan tantangan
3. Pengembangan
2. Survival
1. Inspirasi
4. Kematangan
3. Pengembangan
2. Pertumbuhan
Rendah
1. Pendirian
Kebutuhan Dasar
Waktu
Gambar 2.2
Pemberdayaan Industri Kecil
Sumber: Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2002
2.
3.
4.
71
5.
6.
7.
Fase Pertumbuhan
1. Sertifikasi
standar
2. Pengembangan
teknologi
3. Teknologi tepat
guna
4. Perpajakan
5. Promosi
Fase Pengembangan
1. Peningkatan
kemampuan
teknologi
A. Peningkatan
kemampuan
manajemen
B. Peningkatan
penerapan ICT
C. Bantuan
kepemilikan
merek tersendiri
5. Peningkatan akses
kelembagaan
6. Pengembangan
saluran distribusi
Fase Kematangan
1. Pengembangan
desain
2. Promosi merk
3. Peningkatan
kemampuan
lanjut usaha
4. Penjajakan
investasi baru
72
yang dapat memberikan peluang dan ancaman bagi perusahaan. Untuk keperluan itu,
maka kerangka kerja yang dikembangkan oleh Michael E. Porter dapat membantu
manajer dalam membuat analisis yang disebut dengan Model Lima Kekuatan (The
Five Forces Model) sebagaimana disajikan pada Gambar 2.3 yang meliputi:
1) persaingan antar unit-unit di dalam industri (Rivalry Among Existing Firms)
Persaingan
di
kalangan
pesaing
yang
ada
berbentuk
perlombaan
introduksi
produk
dan meningkatkan
pelayanan
atau jaminan kepada pelanggan. Persaingan terjadi karena satu atau lebih
pesaing merasakan adanya tekanan atau melihat peluang untuk memperbaiki
posisi;
2) resiko masuknya pesaing baru (Threat of New Entrants)
Pesaing baru memiliki hambatan-hambatan dalam memasuki pasar karena dalam
memasuki pasar, suatu produk memerlukan diferensiasi dari produk pesaing,
juga dibutuhkan modal yang besar, biaya untuk berpindah supllier,
pendistribusian yang tepat dan memperhatikan aspek kebijakan pemerintah.
Dalam industri hambatan pendatang baru untuk memasuki pasar adalah pesaing
lama yang telah menjadi market leader. Pesaing lama selalu memonitor pesaing
baru dengan memanfaatkan kelemahan dari produk pesaing, sehingga pendatang
baru tidak dapat berkembang dan merebut pasar;
3) kemampuan tawar menawar dari pembeli (Bargaining Power of Buyers)
Pembeli akan selalu berusaha untuk mencari produk yang memiliki harga lebih
murah namun tetap memiliki kualitas produk dan pelayanan yang tinggi. Hal ini
73
74
Risk of Entry
By Potential
Competitors
Bargaining
Power of
Supplier
Rivalry Among
Established
Firm
Bargaining
Power of
Buyers
Threat of
Substitute
Product
Gambar 2.3
The Five Forces Model
Sumber : Hill & Jones, 1998
daya saing mencakup aspek yang lebih luas dari sekadar produktivitas atau
efisiensi pada level mikro. Hal ini memungkinkan kita lebih memilih
mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan suatu perekonomian daripada
kemampuan sektor swasta atau perusahaan;
75
2)
pelaku ekonomi atau economic agent bukan hanya perusahaan, akan tetapi juga
rumah tangga, pemerintah, dan lain-lain. Semuanya berpadu dalam suatu sistem
ekonomi yang sinergis. Tanpa memungkiri peran besar sektor swasta
perusahaan dalam perekonomian, fokus perhatian akan diperluas, tidak hanya
terbatas akan hal itu saja dalam rangka menjaga luasnya cakupan konsep daya
saing;
3)
tujuan dan hasil akhir dari meningkatnya daya saing suatu perekonomian tak
lain adalah meningkatnya tingkat
kesejahteraan penduduk di
dalam
masyarakat.
4)
kata kunci dari konsep daya saing adalah kompetisi. Disinilah peran
keterbukaan terhadap kompetisi dengan para kompetitor menjadi relevan. Kata
daya saing menjadi kehilangan maknanya pada suatu perekonomian yang
tertutup.
Menurut Michael Porter (Dalam Hill & Jones, 1998), pada dasarnya ada 4 (empat)
faktor yang mempengaruhi daya saing suatu negara, yaitu:
1)
strategi, Struktur, dan Tingkat Persaingan Perusahaan, yaitu bagaimana unitunit usaha di dalam suatu negara terbentuk, diorganisasikan, dan dikelola, serta
bagaimana tingkat persaingan dalam negerinya;
2)
76
4)
memiliki
keunggulan
kompetitif,
maka
industri-industri
77
Strategy,
Structure
and Rivalry
Factor
Endowment
National
Competitive
Advantage
Demand
Condition
Related and
supporting
industries
Gambar 2.4
The Determinants of National Competitive Advantage
Sumber : Hill & Jones, 1998
Keempat komponen yang disebut sebagai model Porters Diamond tersebut
mengkondisikan lingkungan di mana perusahaan-perusahaan berkompetisi dan
mempengaruhi keunggulan daya saing suatu bangsa. Analisis tersebut menyatakan
bahwa pemerintahan suatu negara memiliki peran penting dalam membentuk
ekstensifikasi faktor-faktor yang menentukan tingkat keunggulan kompetitif industri
suatu negara. Hal ini diperjelas dengan adanya 2 (dua) variabel tambahan yang
mempengaruhi daya saing, yaitu:
1)
kesempatan, yaitu perkembangan yang berada di luar kendali perusahaanperusahaan (dan biasanya juga di luar kendali pemerintah suatu bangsa), seperti
misalnya penemuan baru, terobosan teknologi dasar, perkembangan politik
eksternal, dan perubahan besar dalam permintaan pasar asing;
2)
78
dalam
Diamond
mempengaruhi persaingan
Porter.
nasional.
Misalnya,
Regulasi
kebijakan
dapat
anti-trust
mengubah
faktor
79
bagaimana
perusahaan
diciptakan,
distur,
dan
dikelola,
80
perekonomian yang lemah. Suatu kesalahan konsep yang lain adalah mengukur daya
saing internasional sebuah Negara dengan pangsa pasar dunianya. Suatu negara
mungkin dengan mudah meningkatkan pangsa pasarnya dengan menurunkan harga
ekspor di bawah biaya produksi, kadang-kadang melalui subsidi pemerintah, tetapi
daya saing internasionalnya tidak selalu menguat. Rekening perdagangan adalah
indicator yang tidak tepat untuk kekuatan industri, paling tidak dalam jangka
pendek.
Suatu kesalahan konsep yang tersebar luas adalah membagi daya saing
internasional menjadi dua golongan: (1) daya saing harga, seperti upah nominal,
tingkat kurs dan produktivitas tenaga kerja; dan (2) daya saing bukan harga, seperti
kualitas, pemasaran, jasa dan diferensiasi pasar. Strategi bersaing diukur dengan 3
indikator yaitu: (1) Kinerja Pemasaran, (2) Kemampuan berpartner bisnis Global
dan (3) Kemampuan memuaskan konsumen.
dilakukan, mulai dari bahan baku sampai ke tangan konsumen, termasuk juga
pelayanan purna jual. Selanjutnya Porter (1985) menjelaskan bahwa Analisis value-
81
chain merupakan alat analisis stratejik yang digunakan untuk memahami secara
lebih baik terhadap keunggulan kompetitif, untuk mengidentifikasi dimana value
pelanggan dapat ditingkatkan atau penurunan biaya, dan untuk memahami secara
lebih baik hubungan perusahaan dengan pemasok/supplier, pelanggan, dan
perusahaan
lain
dalam
industri.
Value
Chain
mengidentifikasikan
dan
82
lebih di mata konsumen. Perusahaan dapat mengenakan harga jual yang lebih tinggi,
karena konsumen mau membayar lebih untuk hal yang unik tersebut.
Strategi diferensiasi biasanya menekankan pada kualitas yang unggul.
Beberapa perusahaan yang sukses melakukan hal ini antara lain: Aepico dari
Thailand yang bergerak di bidang otomotif berhasil menempatkan produknya
mempunyai nilai unggul, dalam hal kualitas dan presisi mesin yang sangat baik,
sehingga seperti: Mercy dan BMW mau menggunakan jasanya dibandingkan
pesaing yang menawarkan harga murah. Harley Davidson yang berhasil
menanamkan image-nya, sehingga mempunyai pelanggan yang fanatik, begitu juga
dengan BMW.
industri sabut kelapa nasional dengan memetakan daerah-daerah sumber bahan baku
yang potensial; 2) mengkaji skala ekonomis; 3) menganalisa kelayakan finansial dan
ekonomi; 4) menghitung dan menganalisa biaya sumberdaya domestik dan tingkat
proteksi efektif industri; 5) mengkaji faktor-faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi pengembangan industri sabut kelapa serta implikasinya terhadap
kekuatan, kelemahan, peluang dan ancamannya; dan 6) merumuskan strategi
pengembangan industri pengolahan sabut kelapa, serta pola pengembangan yang
tepat dalam upaya membangun industri pengolahan sabut kelapa yang tangguh,
berbasis pada industri kecil dan berorientasi ekspor. Berdasarkan hasil perhitungan
skala ekonomis menunjukkan bahwa skala usaha yang paling optimal ditingkat
83
usaha pengolahan sabut kelapa (UPSK) adalah kapasitas olah bahan baku 4000 butir
perhari. Berdasarkan hasil analisis nilai tambah menunjukkan bahwa setiap butir
sabut kelapa yang diolah mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 135,65
dengan rasio nilai tambah pada proses pengolahan mencapai 75,35 persen, bagian
tenaga kerja mencapai 17,70 persen dan bagian manajemen mencapai 62,01 persen.
Berdasarkan hasil analisis sumber bahan baku melalui pendekatan satuan wilayah
produksi (SWP) dimana didirikan unit usaha finishing yang mampu menyerap 20
UPSK, terdapat 11 Dati II di Indonesia yang mampu secara mandiri mendukung satu
SWP. Berdasarkan hasil analisis finansial pada tingkat UPSK pada delapan skala
usaha, menunjukkan bahwa kapasitas olah bahan baku 4000 butir per hari yang
paling layak diusahakan dengan nilai NPV, IRR, B/C dan MPI terbaik. Berdasarkan
hasil analisis financial dan ekonomi pada tingkat industri menunjukkan bahwa
industri pengolahan sabut kelapa nasional layak untuk dikembangkan. Sedangkan
hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa posisi industri berada pada kuadran kedua
dengan strategi pertumbuhan cepat atau skenario optimis.
Ningtias (2005) dengan judul Strategi Pengembangan Usaha Kecil Waroeng
Cokelat (Kasus Usaha Kecil dan Menengah di Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor,
Jawa Barat) bertujuan untuk mengidentifikasi faktor internal dan eksternal dari
usaha Waroeng Cokelat. Dengan menggunakan alat analisis SWOT dan QSPM,
maka diperoleh kesimpulan bahwa: faktor strategis eksternal peluang diperoleh dari
dukungan Disperindagkop dalam hal pelatihan dan pengembangan UKM di Kota
Bogor. Faktor ancaman terbesar adalah hambatan masuk dalam usaha makanan.
Faktor internal kekuatan adalah keuletan pemilik usaha dan kelemahan terbesar
adalah belum optimalnya promosi. Strategi yang digunakan adalah penetrasi pasar
84
85
86
87
faktor kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman dalam analisis SWOT
serta dapat membantu perusahaan dalam membuat perencanaan strategi dan
perusahaan lebih fleksibel dalam menjalankan operasional organisasi yang kompleks
dalam lingkungan dimana perusahaan beroperasi.
Berdasarkan beberapa hasil studi sebelumnya, dapat dijelaskan perbedaan
studi ini dengan studi-studi sebelumnya sebagaimana disajikan pada Tabel 2.1, yang
secara jelas menunjukkan originalitas studi. Adapun originalitas studi ini adalah
sebagai berikut:
1) Studi ini dikembangkan berdasarkan pendekatan beberapa
alat analisis
secara komprehensif (analisis rantai nilai, analisis SWOT dan AHP) dalam
menyusun kebijakan dalam pegembangan industri kecil yang berdaya saing
tinggi. Kajian secara komprehensif ini belum pernah dilakukan oleh peneliti
terdahulu.
2) Studi yang berhubungan dengan penyusunan kebijakan terkait dengan
pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar Provinsi
Bali berdasarkan analisis ranta nilai, SWOT, AHP belum pernah dilakukan,
sehingga dapat dikatakan bahwa studi ini belum pernah dilakukan untuk
Disertasi.
BAB III
KERANGKA BERPIKIR PENELITIAN
ditinjau dari keterkaitan dari hulu dan hilir; mengkaji faktor-faktor internal dan
eksternal yang mempengaruhi perkembangan industri kerajinan ukiran kayu serta
implikasi terhadap kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman; dan merumuskan
strategi pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu yang tepat dalam membangun
UMKM berorientasi ekspor.
Sebelum menyusun kerangka konseptual, studi ini di mulai dari kajian teori
yang di mulai dari teori pembangunan ekonomi yang mengulas proses transisi multi
dimensi yang mencerminkan hubungan antar berbagai proses perubahan dalam suatu
wilayah,
yang
88
89
90
Kajian Teori
1. Teori Pembangunan ( Todaro 2006,
Arsyad 2010 )
2. Teori Pertumbuhan (Riley,2006)
3. Teori Pemberdayaan (Kartasasmita,
1996)
4. Teori Rantai Nilai (Michael E.Porter)
5. Teori Strategi Pemberdayaan melalui
analisis SWOT (Michael E.Porter)
6. Analisis AHP (Saaty, 2006)
Kajian Empiris
1. Strategi Pemberdayaan UMKM
(Widianto, 2010; Sriyana, 2010;
Niode, 2008; Ida Bagus, 2003)
2. Analisis SWOT (Munizu, 2010;
Heather C., 2010; Dickson et
al.,2010; Houben et al.)
3. Analisis Rantai Nilai (Pratyush et
al.,, 2012: Chang et al., 2002
4. Analisis AHP (A. Fera, 2010
Solusi
Disertasi
Gambar 3.1
Kerangka Proses Berpikir
Sumber: Olahan Peneliti, 2012
kayu, (3)
mengidentifikasi peta rantai nilai industri kerajinan ukiran kayu, (4) merumuskan
strategi pengembangan industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar.
91
Identifikasi
Faktor Internal
(Kekuatan dan Kelemahan)
Identifikasi
Faktor Eksternal
(Peluang dan Hambatan)
Produksi
Analisis SWOT
Distribusi
Komersialisasi
Arah Pengembangan
Analytical Hierarchy
Process (AHP)
Rekomendasi Kebijakan dan
rancangan program strategis
Gambar 3.2
Kerangka Konseptual Penelitian
Sumber: Kerangka Proses Berpikir, 2012
Keberhasilan pemberdayaan UMKM dipengaruhi oleh potensi sumberdaya
yang dimiliki dan didukung dengan rencana strategis pengembangan yang tepat.
Kerangka konseptual penelitian berangkat dari deskripsi umum industri kerajinan
ukir kayu di Kabupaten Gianyar Provinsi Bali. Deskripsi industri kerajinan ukiran
kayu mencakup beberapa aspek antara lain mulai dari penyebaran usaha, jumlah unit
usaha, penyerapan tenaga kerja, nilai investasi, produksi hingga pemasaran.
Deskripsi umum industri kerajinan ukiran kayu memberikan gambaran mengenai
peluang atau potensi industri kerajinan ukir kayu baik secara domestik maupun
internasional serta kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah.
92
BAB IV
METODE PENELITIAN
penelitian
adalah
suatu
rencana,
kerangka
untuk
93
94
telah
dipaparkan di atas, maka variabel dalam penelitian ini dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
1)
95
2)
3)
2)
96
97
produk di dalam dan luar negeri, sosialisasi dan standarisasi hak paten
produk;
d. hierarki level 4 yaitu skenario proyeksi pengembangan UMKM yang terdiri
dari skenario optimis, skenario status quo dan skenario pesimis;
4)
Analisis rantai nilai adalah analisis yang diperoleh dari tanggapan responden
terkait dengan tahapan aktifitas produksi mulai dari input hingga pemasaran
produk sampai ke tangan konsumen melalui pengisian pertanyaan terstruktur
dan wawancara mendalam pada sampel perajin ukiran kayu di Kabupaten
Gianyar;
5)
6)
AHP adalah suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur untuk
memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif) yang memerlukan pendapat
(judgement) responden yang expert pada permasalahan industri kecil kerajinan
ukiran kayu di Kabupaten Gianyar. Responden dalam analisis ini adalah
Kepala/Pegawai Deperindag, Ketua/Anggota Koperasi, Pegawai Lembaga
Perbankan, Kepala/Pegawai Pemkab Gianyar.
98
1)
Data Primer. Data ini diperoleh melalui survei lapangan (face to face interview).
2)
Data Sekunder. Pengumpulan data yang berupa existing statistic data dilakukan
dengan mengumpulkan data-data statistik daerah yang berasal dari berbagai
laporan yang diberikan oleh lembaga pemerintah seperti BPS, Disperindag,
Dinas Koperasi dan UMKM, Disnaker, Pemerintah Kabupaten.
industry kecil kerajinan kayu di Kabupaten Gianyar Propinsi Bali. FGD bersifat
lebih lebar dari wawancara, karena FGD tidak hanya mengajukan pertanyaan secara
spesifik tetapi lebih pada upaya mendengarkan keterangan dari berbagai sumber
yang kemudian dirumuskan menjadi suatu data tertentu. Adapun pihak-pihak yang
akan dilibatkan dalam FGD ini adalah perwakilan dari: Bank Indonesia, pelaku
industri kecil, Departemen Perindustrian dan perwakilan dari Pemerintah daerah.
99
sebagai berikut
100
n
1
Ne
243
1
243 ( 0 , 05 )
= 151
Jadi jumlah sampel yang diambil adalah 151 unit industri dengan toleransi kesalahan
5%.
Pengambilan sampel untuk rumusan rekomendasi kebijakan pengembangan
dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dipilih secara langsung pada
orang yang ahli atau expertise pada pengembangan industri kerajinan ukiran kayu
yaitu asosiasi pengusaha dan institusi pemerintah terkait. Metode AHP tidak
menekankan jumlah minimum responden, namun metode ini menekankan pada
responden yang expert terhadap pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu. AHP
adalah suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur, biasanya
ditetapkan untuk memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif), masalah yang
memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks atau tidak
terkerangka, pada situasi dimana data, informasi statistik sangat minim atau tidak
ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi,
pengalaman ataupun intuisi.
4.6.3 Teknik Pengambilan Sampel Penelitian
Metode pemilihan sampel untuk analisis rantai nilai ( value chaine ) dan
analisis SWOT, digunakan dalam penelitian ini adalah metode probabilitas secara
stratified random sampling. Cara ini digunakan jika populasinya heterogen. Dalam
populasi yang heterogen tersebut ternyata terdiri dari strata atau lapisan yang
homogen. Karena jumlah unit dalam tiap strata tidak sama maka digunakan
101
x Jumlah Sampel
Jumlah Industri Keseluruhan
Hasil perhitungan besar sampel, secara rinci disajikan pada Gambar 4.1.
Industri Kerajinan
243 unit
Industri Mikro
11 unit
Industri Kecil
178 unit
Sampel
7 unit
Sampel
110 unit
Industri Menengah
54 unit
Sampel
34 unit
Gambar 4.1
Teknik Pengambilan Sampel Penelitian
Sumber: Olahan Peneliti, 2012
Berdasarkan Gambar 4.1 dapat disusun banyaknya populasi berdasarkan Kecamatan
di Kabupaten Gianyar sebagaimana disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1
Pengambilan Sampel Berdasarkan Kecamatan di Kabupaten Gianyar
Tahun 2012 (Orang)
No
1
2
3
4
5
6
7
Kecamatan
Sukawati
Tegallalang
Gianyar
Ubud
Blah Batuh
Tampak Siring
Payangan
Kab. Gianyar
Mikro
Populasi
Sampel
2
1
2
6
11
1
1
1
4
Jenis Industri
Kecil
Populasi
Sampel
53
33
31
19
11
7
70
44
4
2
7
4
2
1
178
110
Menengah
Populasi
Sampel
9
6
3
1
10
6
26
16
3
1
2
1
54
34
102
2)
Pemilihan surveyor
3)
4)
Mekanisme Coaching
5)
6)
Waktu survei
7)
103
8)
Produktivitas (berapa banyak wawancara yang dapat diselesaikan per hari oleh
surveyor)
104
untuk
memahami
secara
lebih
baik
keunggulan
kompetitif,
dan
memahami
secara
lebih
baik
hubungan
perusahaan
dengan
105
Struktur rantai nilai mencakup semua perusahaan dalam rantai tersebut yang
dibedakan berdasarkan lima unsur sebagai berikut:
1) End Markets (Pasar Akhir)
End Markets (pasar akhir) adalah masyarakat dan bukan terfokus pada suatu
lokasi. Pasar akhir menentukan karakteristik; termasuk harga, kualitas, kuantitas,
dan waktu suatu barang atau jasa yang sukses. Pembeli pasar akhir adalah
merupakan suara berpengaruh dan insentif bagi suatu perubahan. Mereka merupakan
sumber penting dalam penyampaian informasi permintaan, yang menyebarluaskan
pembelajaran dan dalam kasus tertentu bersedia berinvestasi dalam perusahaan
berurutan lebih bawah pada rantai nilai. Pendekatan rantai nilai mengkaji semua
peluang terkini dan berpotensial di semua pasar, mempertimbangkan kecenderungan, calon pesaing dan faktor-faktor dinamis lainnya.
2)
106
3) Hubungan Vertikal
Hubungan antar perusahaan di seluruh tingkatan rantai nilai penting untuk
memindahkan produk atau jasa ke pasar akhir. Transaksi yang bersifat lebih efisien
antara perusahaan terkait secara vertikal dalam rantai nilai, akan memberikan
dampak meningkatkan daya saing keseluruhan dari industri tersebut. Hubungan
vertikal juga mempermudah penyerahan manfaat dan layanan terkait, pengalihan
ketrampilan dan informasi antar perusahaan baik ke atas dan bawah dalam urutan
rantai nilai. Hubungan vertikal menguntungkan antar perusahaan terkait dapat meningkatkan akses UMKM terhadap pasar, ketrampilan baru dan berbagai layanan, dan
mengurangi risiko pasar dengan menjamin penjualan di masa mendatang.
4) Hubungan Horizontal
Ada tegangan yang diperlukan antara kerjasama dan persaingan antar
perusahaan yang menjalankan fungsi serupa dalam suatu rantai nilai. Hubungan
antar perusahaan, baik formal maupun informal akan mengurangi biaya transaksi
bagi pembeli yang berurusan dengan pemasok kecil. Dengan menunjang pembelian
bahan baku dalam jumlah besar, memungkinkan terpenuhinya pesanan besar dan
hubungan horizontal akan membantu perusahaan kecil untuk menghasilkan
pendapatan besar. Asosiasi industri memungkinkan penciptaan standar-standar
industri dan pelaksanaan strategi pemasaran.
107
irigasi atau jasa perancangan kerajinan tangan. Apabila dibutuhkan untuk waktu
yang lama, jasa tersebut harus disediakan secara komersial atau melalui pasar
(Cooper & Lybrand, 1996; Cooper & Slagmulder, 1999; Dekker & Van Goor, 2000;
Bazan & Navas-Alan, 2001).
Dari identifikasi
SWOT, dibuat matrik atau diagram SWOT untuk menentukan posisi strategis
industry (Lee, S. F., & Ko, K. O., 2000; Ip, Y. K., & Koo, L. C., 2004; Rauch, P.,
2007; Nikolaou, I. E., 2010; Manteghi & Zohrabi, 2011; ).
Analisis SWOT adalah indentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk
merumuskan
strategi.
Analisis
ini
didasarkan
pada
logika
yang
dapat
108
Matrik
BCG
Evaluasi Faktor
Internal
Matrik
Internal
Matrik
Space
Eksternal
Matrik Profil
Matrik
Grand
Strategy
109
Skor
Nilai
Rating
Bobot
atau Eksternal
Faktor Kunci sukses
Tertimbang
Sangat kuat, kuat,
lemah, paling lemah.
TOTAL
4 sampai 1
Persentase
Rating x bobot
tersetujui
Skor total
Aspek internal (SW) pada sumbu horizontal dan aspek eksternal (OT) pada
sumbu vertikal, sehingga dapat diketahui letak dari obyek yang dikaji di dalam peta
tersebut.
110
Berbagai Peluang
3.
Mendukung Strategi
Turn Around
1.
Mendukung Strategi
Agresif
Kekuatan
Internal
Kelemahan Internal
4.
2.
Mendukung Strategi
Diversifikasi
Berbagai Ancaman
Gambar 4.2
Diagram Analisis SWOT
Sumber: Rangkuti, 2000
Strategi yang digunakan untuk mengoptimalisasikan sektor-sektor unggulan
dipergunakan matrik TOWS atau SWOT yang dapat menggambarkan secara jelas
bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi organisasi dapat
disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, berdasarkan hasil
perhitungan dalam diagram analisis SWOT. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4
Matrik SWOT
IFAS
Kekuatan (S)
Kelemahan (W)
Peluang (O)
Strategi S-O
Gunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang
Ancaman (T)
Strategi S-T
Gunakan kekuatan untuk
menghindari ancaman
Strategi W-O
Atasi kelemahan
dengan memanfaatkan
peluang
Strategi W-T
Atasi kelemahan
mencegah ancaman
EFAS
111
112
113
Tabel 4.5
Skala Banding Secara Bersamaan
Tingkat
Kepentingan
1
3
7
9
2,4,6,8
Kebalikan
Definisi
Kedua elemen sama penting
Elemen yang satu sedikit lebih
penting daripada elemen yang
lain
Elemen yang satu lebih penting
daripada elemen yang lain
Satu elemen jelas lebih penting
dari elemen lainnya
Satu elemen mutlak lebih penting
daripada elemen yang lainnya
Penjelasan
Dua elemen mempunyai pengaruh
yang sama besar terhadap tujuan
Pengalaman dan penilaian sedikit
mendukung satu elemen dibanding
elemen yang lainnya
Pengalaman dan penilaian sangat kuat
mendukung satu elemen dibanding
elemen yang lainnya
Satu elemen dengan kuat didukung
dan dominan terlihat dalam praktek
Bukti yang mendukung elemen yang
satu terhadap elemen lain memiliki
tingkat penegasan tertinggi yang
mungkin menguatkan
Nilai ini diberikan bila ada dua
kompromi diantara dua pilihan
114
2)
3)
berpasangan
yang
digunakan
dalam
AHP
berdasarkan
judgement atau pendapat dari para responden yang dianggap sebagai key
person. Mereka dapat terdiri atas: 1) pengambil keputusan; 2) para pakar; 3)
orang yang terlibat dan memahami permasalahan yang dihadapi. 4. Matriks
pendapat individu, formulasinya dapat disajikan sebagai berikut:
C1
C2
. .
Cn
.
C1
a12
. .
A1n
C2
1/a12
A2n
Cn
1/a1n
.1/a2n
. .
a ij
115
Dalam hal ini C1, C2, ..... Cn adalah set elemen pada satu tingkat dalam hierarki.
Kuantifikasi pendapat dari hasil perbandingan berpasangan membentuk matriks
n x n. Nilai aij merupakan nilai matriks pendapat hasil perbandingan yang
mencerminkan nilai kepentingan Ci terhadap Cj.
4)
5)
6)
diperoleh dengan menggunakan software Excel dan AHP Expert Choice Versi 11.
Struktur hierarki AHP dalam penelitian ini meliputi dua hal yaitu hierarki
proyeksi pengembangan dan strategi pengembangan usaha kecil menengah di
116
Kebijakan
Pengelolaan
Keuangan
Pengembangan
SDM
Strategi
Pemasaran
Pemasaran lokal
Pengelolaan
Pendidikan &
Pelatihan
Sistem
Penggajian
Harga pokok
produksi
Kredit
Perbankan
Manajemen
Produksi
Penelitian
Pasar
Lay out
produksi
Saleable
Masterplan
Teknologi
produksi
Pembinaan
E-marketing
Formula
Bahan Baku
Fasilitas
Pameran dan
Kontak
Dagang di
Dalam dan
Luar Negeri
Design &
inovasi
produk
Standarisasi
Produk
Optimis
Pelayanan
Publik
Status Quo
Sosialisasi
dan Fasilitasi
Proses Hak
Paten Produk
Pesimis
Gambar 4.4
Proyeksi Pengembangan Usaha Kecil Menengah di Kabupaten Gianyar
Sumber: Hasil Penelitian, 2012
117
Keterangan:
Hierarki level 1: Tujuan yaitu proyeksi pengembangan usaha kecil menengah di
Kabupaten Gianyar
Hierarki level 2: Faktor-faktor yang mempengaruhi proyeksi pengembangan
UKM yang terdiri dari:
1)
2)
3)
4)
Manajemen Produksi: yakni sistem, lay-out dan pola produksi yang diterapkan
usaha kecil menengah
5)
Hierarki Level 3: Beberapa indikator atau sub kriteria faktor penentu pengembangan
antara lain:
1. Pengelolaan keuangan
2. Harga pokok produksi
3. Kredit Perbankan
4. Pendidikan dan pelatihan
5. Sistem penggajian
6. Reward dan punishment
7. Pemasaran lokal
8. Saleable masterplan
118
9. E-marketing
10. Lay-out produksi
11. Teknologi produksi
12. Bahan Baku
13. Desain dan inovasi
14. Standarisasi produk
15. Penelitian pasar
16. Pembinaan
17. Fasilitas pameran produk di dalam dan luar negeri
18. Sosialisasi dan standarisasi hak paten produk
Hierarki level 5: Skenario proyeksi pengembangan usaha kecil menengah
meliputi:
1)
yang tinggi
karena
kekuatan
yang dimiliki
dan
peluang
3)
Skenario pesimis yaitu perkembangan industri dibiarkan negatif dan tidak ada
upaya untuk menciptakan daya dorong pengembangan daya saing.
119
Kebijakan
Pengelolaan
Keuangan
Strategi
Pengembangan
SDM
Pemerintah
Implementasi Penuh
Strategi
Pemasaran
Asosiasi
Implementasi Selektif
Strategi
Manajemen
Produksi
Strategi
KebijakanPublik
Lembaga Keuaangan
Gambar 4.5
Hierarki Kebijakan Strategi Pengembangan Usaha Kecil Menengah
Sumber: Hasil Penelitian, 2013
Keterangan:
Hierarki level 1 adalah strategi kebijakan pengembangan usaha kecil menengah
Hierarki level 2 adalah strategi atau rencana tindak lanjut dari pengembangan
usaha kecil menengah yang terdiri dari:
1)
2)
3)
120
5)
Hierarki level 3 adalah pelaku yang terlibat atau berperan penting dalam rencana
tindak lanjut pengembangan terdiri dari:
1)
2)
3)
4)
2)
3)
BAB V
HASIL PENELITIAN
Pada bab ini akan dijelaskan tentang gambaran umum Kabupaten Gianyar,
karakteristik responden penelitian serta hasil penelitian dari data primer yang
berhasil dikumpulkan. Di samping itu pula dibahas analisis data yang terkumpul
secara deskriptif maupun statistik.
121
122
123
dapat dijadikan sebagai produk unggulan Kabupaten Ginyar dari sektor industri
olahan.
Rencana kegiatan tersebut dapat terwujud dengan adanya dukungan berbagai
pihak, serta dukungan kebijakan Pemerintah dengan meningkatkan kualitas perajin
ukiran kayu, dalam pemberdayaan motif dan model ukir untuk menciptakan daya
saing dan ciri khas dari setiap produk ukir. Dalam rangka pemberdayaan komoditas
ukiran kayu, pemerintah daerah melalui dinas dan pihak-pihak terkait dapat
membantu menyediakan sarana dan prasarana peralatan pendukung untuk
optimalisasi produksi dan promosi hasil kerajinan ukiran kayu.
5.1.2
Kondisi Demografis
Berdasarkan data statistik, jumlah penduduk di Kabupaten Gianyar menurut
jenis kelamin pada tahun 2012 dari jumlah keseluruhan yaitu 484.600 jiwa,
komposisinya adalah 244.600 jiwa adalah laki-laki dan 240.000 jiwa adalah
perempuan, apabila diperhitungkan dari rasio jenis kelamin sebesar 101,92. Angka
tersebut menunjukkan bahwa di Kabupaten Gianyar penduduk laki-laki lebih banyak
dibanding penduduk perempuan.
Persebaran penduduk di Kabupaten Gianyar cukup merata, karena perbedaan
jumlah persebaran penduduk dibeberapa lokasi masih tidak begitu jauh populasinya.
Persebaran penduduk terbesar berada di dua kecamatan yakni Kecamatan Sukawati
dengan kepadatan penduduk 2.099 jiwa/km2dan Kecamatan Gianyar 1.775
jiwa/km2. Sedangkan persebaran penduduk terkecil berada di Kecamatan Payangan
dengan penduduk 556 jiwa/km2 dan Kecamatan Tegallalang 837 jiwa/km2. Dengan
kondisi demografi yang demikian menunjukkan bahwa sumberdaya manusia yang
124
dimiliki Kabupaten Gianyar harus didorong kearah pelatihan softskill yang mereka
miliki, sehingga dapat lebih produktif menciptakan peluang kerja di bandingkan
harus menjadi pemasok tenaga kerja, karena jumlah penduduknya yang tergolong
sedikit.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2012,
jumlah usia kerja di Kabupaten Gianyar sebanyak 274.661 jiwa, dengan tingkat
partisipasi angkatan kerja 74,50 persen. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK)
ini menunjukkan jumlah tenaga kerja pada setiap 100 penduduk usia kerja. TPAK
ini menunjukkan kenaikan yang signifikan dibandingkan tahun 2011, dimana pada
tahun 2011 TPAK sebesar 73,73 persen, sedangkan tahun 2012 mencapai 98,28
persen. Ini berarti bahwa pertumbuhan tenaga kerja selama tahun 2012 diimbangi
dengan ketersediaan lapangan pekerjaan, sehingga tingkat kesempatan kerja bagi
masyarakat masih sangat baik (SUSENAS, 2012).
Kabupaten Gianyar menjadi potensial sebagai sentra industri ukiran kayu
karena menjadi salah satu tujuan wisata yang sering didatangi oleh wisatawan asing
maupun domestik, sehingga permintaan akan produk ukiran semakin meningkat dan
dapat di tampung pada pertokoan atau pedagang-pedagang souvenir besar yang ada
di Bali. Hal ini ditunjang dari penduduk Kabupaten Gianyar yang sebagian besar
yakni 96.920 atau 19,97 persen penduduknya bekerja di sektor industri pengolahan,
salah satunya adalah industri olahan ukiran kayu yang memegang pengaruh cukup
besar di sektor industri olahan. Hal ini karena ukiran menjadi salah satu aksesoris
dan souvenir unggulan yang diminati oleh wisatawan di Provinsi Bali, bahkan
ukiran Bali sudah memiliki motif atau ciri yang menjadikan hasil karya ukirannya
berbeda dari daerah lain. Kondisi ini juga didukung dengan 164.764 atau 33,38
125
persen penduduk Gianyar bekerja di sektor perdagangan besar, eceran dan rumah
makan yang juga berpengaruh cukup besar pada permintaan ukiran kayu,
dikarenakan ukiran Bali sudah banyak digunakan sebagai aksesoris dirumah makan,
hotel atau bangunan-bangunan tradisional di Bali baik dalam bentuk jendela, pintu
maupun meja. Pedagang besar yang bergerak di penjualan souvenir Bali juga
menjadi tempat pemasaran yang baik bagi perajin ukiran kayu (GDA, 2013).
Sektor industri pengolahan menjadi sektor kedua yang paling banyak
menyerap tenaga kerja dibandingkan sektor-sektor yang lain. Komoditas industri
olahan memang masih menjadi produk unggulan dari Kabupaten Giayar, karena
Giayar memiliki banyak sumber daya manusia (SDM) yang mendukung
perkembangan sektor industri olahan, khususnya subsektor industri ukiran kayu.
5.1.3
penyusunan PDRB
Kabupaten Gianyar tahun 2013. Perubahan tahun dasar dari tahun 1993 ke tahun
2000, telah menyebabkan beberapa sektor tertentu melaju dengan cepat, sedang
sektor lainnya relatif lambat. Hal ini disebabkan adanya dinamika penawaran dan
permintaan yang berbeda antar sektor dalam jangka waktu yang panjang, maka
sumbangan antar sektor akan berbeda secara nyata (BPS Kabupaten Gianyar, 2013).
126
Tahun
2009
2010
2011
2012
7.336.540
8.118.673
9.180.199
3.380.513
3.609.056
3.854.011
6,04
6,76
6,79
15.570.403
16.931.644
18.817.050
7.174.491
7.526.754
7.899.732
127
Potensi modal dasar yang kuat yaitu SDM dan pasar domestik yang luas
menjadikan PDRB Kabupaten Gianyar terus mengalami peningkatan. Kekuatan
sumber daya manusia yang rentan dengan pengaruh cuaca dan kekuatan fisik
mengakibatkan industri pengolahan dan subsektor ukiran yang merupakan sektor
dominan ketiga di Kabupaten Gianyar membawa pengaruh yang signifikan tehadap
besar kecilnya PDRB Kabupaten Gianyar.
Sektor pemberi kontribusi ekonomi di Kabupaten Gianyar masih bertumpu
pada sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 28,77 persen. Sektor jasa 19,39
persen dan sektor industri pengolahan mencapai 18,47 persen. Tabel 5.2
menunjukkan bahwa kenaikan yang ditunjukkan oleh sektor industri pengolahan
menyumbang PDRB sebesar Rp. 1.695.202,19 juta pada tahun 2012, nilai itu
meningkat dibanding tahun 2010 dan 2011 yang hanya mencapai 1.397.096,37 dan
1.507.235,45.
Tabel 5.2.
PDRB Sektoral atas Dasar Harga Berlaku
Kabupaten Gianyar Tahun 2009 2012 (dalam Jutaan Rupiah)
Tahun
Sektor
2009
2010
2011
2012
Pertanian
1.153.306,22 1.245.359,81 1.311.256,60 1.455.092,04
Pertambangan dan
37.912,63
41,289.47
47,187.72
54,222.63
Penggalian
Industri Pengolahan
1.208.579,11 1.397.096,37 1.507.235,45 1.695.202,19
Listrik, Gas dan Air
66.126,26
77.201,45
89.508,32 107.978,87
Bersih
Bangunan
329.727,04
394.457,89
446.853,73 556.224,75
Perdagangan, Hotel
1.819.217,07 2.114.529,36 2.373.595,79 2.641.089,19
dan Restoran
Pengangkutan dan
294.912,51
328.935,22
352.142,27 391.786,05
Komunikasi
Keuangan,
Persewaan dan Jasa
347.602,11
396.623,24
430.210,93 498.626,54
Perusahaan
Jasa-jasa
1.165.072,88 1.341.047,58 1.560.681,85 1.779.976,77
11.9121.885.00 7.295.250,92 8.071.484,94 9.125.976,40
PDRB
128
Gambar 5.2
Distribusi PDRB Sektoral Kabupaten Gianyar Tahun 2012
Sumber: BPS Kabupaten Gianyar, 2013
129
5.1.4
130
Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali membidik pangsa pasar UMKM di Gianyar
naik 5 persen dari saat ini sebesar 2,81 persen atau 2.088 UMKM. Wayan Sudja,
Direktur Utama BPD Bali mengatakan dari 74.356 pelaku UMKM di Kabupaten
Gianyar, sebanyak 2.088 UMKM atau sekitar 2,81 persen saat ini sudah dibiayai
BPD Bali. Tahun ini ditargetkan pertumbuhan baik nasabah dan debitur dari UMKM
Gianyar naik sebesar 5 persen. Angka tersebut akan terus kami tingkatkan tentunya
dengan dukungan dari pemda untuk bersama-sama melakukan pembinaan dan
pemberdayaan sektor UMKM, karena Kabupaten Gianyar yang pertumbuhan
perekonomiannya masih didominasi oleh sektor perdagangan serta hotel dan
restoran (PHR) tidak terlepas dari peran UMKM, terutama produsen hasil kerajinan
sebagai pendukung industri pariwisata sebutnya (swararakyatbali.com).
Dari catatan BPD Bali, total dana penghimpunan pihak ketiga (DPK) di
Gianyar dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, dimana tahun 2012 dana
yang terhimpun oleh perbankan di Gianyar sebesar Rp 3,9 triliun dengan share dari
BPD Bali adalah Rp 934 miliar atau sekitar 23 persen. Sedangkan kucuran kredit
perbankan di Kabupaten Gianyar tahun 2012 mencapai Rp3,6 triliun, dimana BPD
Bali memperoleh share 23 persen atau dengan nominal sekitar Rp 870 miliar.
Sementara itu, Bupati Gianyar Tjokorda Artha Ardhana Sukawati
mengungkapkan selama ini pertumbuhan perekonomian mengalami perkembangan
yang signifikan. Hal ini diindikasikan dari pencapaian pertumbuhan daerah dari 5,7
persen pada tahun 2007 naik dalam kurun waktu 5 tahun menjadi 6,8 persen.
Sedangkan pendapatan asli daerah juga mengalami peningkatan dari tahun 2007 lalu
sebesar Rp57 miliar menjadi Rp261 miliar pada tahun 2012. Hal itu tidak terlepas
dari peran perbankan dalam pembiayaan untuk menggerakkan perekonomian
131
Gianyar, termasuk kepada pengusaha UMKM. Diharapkan dengan peran dan fungsi
BPD Bali sebagai bank yang bervisi membangun daerah mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat secara merata.
Kondisi ini menjadikan kerajinan ukiran sangat berpotensi untuk melakukan
pemberdayaan disektor industri. Pertumbuhan UMKM di Kabupaten Gianyar
menjadikan pemberdayaan komoditas kerajinan ukiran kayu ke depannya menjadi
sangat baik, karena dari hasil kerajinan ukir dan bahkan limbah ukiran kayu bisa
dijadikan sumber penghasilan bagi masyarakat sekitar. Pada jangka panjang, hasil
produksi industri olahan yang berupa kerajinan dari ukiran kayu akan dapat
dijadikan sebagai produk unggulan Kabupaten Gianyar dari sektor Industri olahan.
untuk
menjaga eksistensi industri kerajinan ukiran kayu agar memiliki nilai tambah dan
nilai jual yang lebih tinggi serta berdaya saing global.
132
dengan tahun
pengamatan 2013 yang mencakup 68 perajin dalam kategori mikro, 28 usaha kecil
dan 56 perajin dalam skala menengah. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara
purposive sampling.
Gambar 5.3
Komposisi Tingkat Pendidikan Responden
Sumber : Hasil Penelitian Diolah, 2013
Potensi demografis perajin pada usia produktif juga didukung dengan tingkat
pendidikan yang rata-rata adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) 48 persen, dan
133
27,7 persen telah menempuh perguruan tinggi. Sementara untuk jenjang pendidikan
Sekolah Dasar (SD) adalah 7,9 persen, Sekolah Menengah Pertama (SMP) 16,4
persen. Secara rata-rata, perajin dengan kemampuan akademik yang cukup menjadi
modal utama dalam mengembangkan kemampuan keahlian usaha bukan hanya pada
proses produksi namun juga pasca produksi. Melalui potensi ini diharapkan produk
kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar memiliki kualitas tinggi dan mampu
berdaya saing bukan hanya lokal namun juga internasional.
134
135
perajin yang menggunakan bantuan tenaga ahli. Maka peran pemerintah daerah
untuk meningkatkan kualitas produk kerajinan melalui berbagai pendidikan dan
pelatihan bagi perajin maupun mendatangkan tenaga ahli yang kompeten pada
industri kerajinan ukiran kayu.
Prospek usaha dalam industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar
dapat dilihat dari rata-rata omset harian yang diperoleh perajin yang sebagian besar
berkisar antara Rp. 70.000,- hingga Rp.1.000.000,- yaitu 72,7 persen dan berkisar
antara Rp. 1.000.000,- hingga Rp.30.000.000,- yaitu 27,3 persen. Sementara dari sisi
aset yang dimiliki hingga mencapai Rp. 250.000.000,-. Dan modal usaha hingga Rp.
10.000.000,- yaitu 85,9 persen. Maka dilihat dari komposisi aset dan omset yang
diperoleh perajin menunjukkan bahwa industri kerajinan ukiran kayu cukup
menjanjikan keuntungan sebagai penggerak ekonomi masyarakat di Kabupaten
Gianyar.
Proses produksi menjadi tahapan penting yang menentukan kontinuitas
industri kerajinan ukiran kayu. Berdasarkan data dari survey pada 152 perajin di
Kabupaten Gianyar pada tahun 2013 terdiri dari 68 usaha mikro, 28 usaha kecil dan
56 skala usaha menengah diketahui bahwa, sekitar 93 persen pasokan bahan baku
ukiran di Kabupaten Gianyar masih didatangkan dari luar Provinsi Bali. Angka itu
menunjukkan bahwa perajin Kabupaten Gianyar sangat tergantung pada
ketersediaan bahan baku dari luar. Kondisi itu menjadikan biaya produksi menjadi
meningkat, karena perajin harus mengalokasikan biaya jasa transportasi yang tidak
sedikit untuk mendatangkan bahan baku dari luar daerah.
136
137
Gambar 5.4
Perkembangan Usaha Kerajinan Ukiran Kayu Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
138
sedangkan 22.80 dipasarkan melui media internet, dan 0.55 melalui media lainnya.
Pemilihan media promosi yang tepat dan intensitas promosi akan mampu
memperbaiki tingkat penjualan ukiran di Kabupaten Gianyar.
Gambar 5.5
Jangkauan Pemasaran dan Media Promosi Produk Ukiran
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
5.3 Analisis Rantai Nilai Industri Kerajinan Ukiran Kayu
Nilai jual tinggi produk kerajinan ukiran kayu ditentukan oleh nilai tambah
yang didapatkan dalam setiap mata rantai produksi produk kerajinan. Nilai
ekonomis produk akhir di pasar sangat bergantung pada tahapan produksi mulai dari
penyediaan input produksi, proses produksi hingga penangangan pasca produksi.
Rantai nilai produk merupakan aktifitas yang berawal dari bahan baku hingga
penanganan purna jual dan mencakup aktifitas yang saling terkait hubungan dengan
pemasok (supplier linkage) dan hubungan dengan konsumen (consumer linkage).
Ketersediaan bahan baku yang didapatkan dari keterlimpahan sumberdaya
alam setidaknya harus diikuti dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia
sebagai komponen penggerak dalam mengolah dan memanfaatkan sumberdaya
dalam menciptakan suatu produk yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi serta
139
140
Pemasok Input
1. Penyediaan Bahan
Baku Kayu
2. Penyediaan cat
untuk finishing
produk
Produsen Produk
Ukiran Kayu
1. Pengolahan
Bahan Kayu
2. Pembuatan
desain ukiran
3. Pemahatan
4. Pewarnaan
5. Packaging
Trader atau
Eksportir
1. Penjualan
2. Distributor
3. Promosi
Konsumen Akhir
Pengguna akhir
Perusahaan
Penjual Kayu
Penjual
Cat/Vernish
untuk Finishing
Perajin Ukiran
kayu
Agen/Pengece
r/Eksportir
Konsumen
Akhir
Pengepul
1. Teknologi
2. Anomali Klima
1. Kelangkaan Bahan
Baku
2. Kebutuhan tenaga
ahli
3. Permodalan
1. Fluktuasi Perekonomian
2. Fasilitasi Kontak
Dagang
Peluang ekspor
Gambar 5.6
Pemetaan Rantai Nilai Industri Kerajinan Ukiran Kayu Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Berikut adalah peran dan fungsi dari masing-masing pelaku usaha dalam
rantai nilai kerajinan ukiran kayu.
141
1.
Industri Inti
Industri inti atau utama adalah perusahaan pembuat produk jadi
kerajinan ukiran yaitu perajin yang siap untuk dipasarkan. Perusahaanperusahaan ini dapat memasarkan produknya secara langsung kepada pembeli
di luar negeri dan dalam negeri (merangkap sebagai pedagang/eksportir) atau
hanya produsen murni. Skala perusahaan yang berada dalam kelompok industri
ini terdiri dari perusahaan kecil, mikro dan menengah.
Dalam upaya untuk memenuhi permintaan pasar, perajin melakukan
spesialisasi terhadap produk ukiran yang dapat berasal dari bahan baku kayu
atau jenis kayu, desain dan kualitas. Segmentasi pasar bagi produk ukiran
dilakukan untuk menjaga daya saing industri terhadap pesaing baik dari dalam
dan luar negeri. Oleh karena itu dibutuhkan keahlian yang memadai dari perajin
untuk selalu mengembangkan inovasi produk baik terhadap model dan kualitas
bahan baku.
Kendala yang dihadapi perajin dalam proses produksi adalah
kekurangan pasokan bahan baku kayu yang berasal dari Kabupaten Gianyar
sehingga kayu sebagai bahan baku utama hampir seluruhnya di peroleh dari
daerah diluar Bali, seperti pulau Jawa, Kalimantan dan Sulawesi dengan proses
pengiriman melalui melalui moda angkutan laut dan darat sehingga harga bahan
baku menjadi lebih mahal dengan tingginya biaya transportasi.
Kendala permodalan juga masih dihadapi oleh perajin dalam
mengembangkan usaha. Masih minimnya aksessibilitas pembiayaan usaha
melalui lembaga keuangan khususnya perbankan menjadi permasalahan klasik
142
dalam disintermediasi perbankan dan sektor riil. Beban bunga dan prosedur
pengajuan kredit yang dirasakan masih sulit dijangkau oleh sebagian perajin
terutama skala mikro.
Dari sisi kelembagaan, masih kurangnya dukungan Dinas Perindustrian
dan Perdagangan dalam proses pendampingan dan pembinaan perajin ukiran
untuk pemberdayaan usahanya, baik melalui pelatihan sumberdaya manusia
maupun pemanfaatan tekhnologi tepat guna. Kurangnya dukungan Dinas
Pariwisata dalam proses promosi hasil kerajinan ukir, sehingga perajin
melakukan promosi secara individu untuk meningkatkan hasil penjualannya
Kurangnya dukungan Dinas Koperasi khususnya dalam pembinaan koperasi
atau kelompok-kelompok perajin ukiran agar dapat mengembangkan usahanya
melalui menajemen kelompok.
2.
Industri Pendukung
a. Industri Kayu Primer. Industri kayu primer merupakan sumber bahan baku
dari industri kerajinan ukiran kayu. Keberadaan Industri primer ini tidak
berada dalam suatu wilayah yang sama dengan lokasi industri kerajinan
ukiran, meskipun demikian yang penting adalah terdapatnya suatu yang tak
terputus. Perusahaan penyedia bahan baku merupakan bagian dari industri
pendukung. Bahan baku kayu merupakan salah satu faktor yang menentukan
keunggulan komparatif dari industri kerajinan ukiran dan memberikan
kontribusi utama dalam menentukan biaya produksi kerajinan ukiran.
Umumnya produk- produk ukiran kayu dari berbagai negara dicirikan oleh
bahan baku kayu yang berasal dari negara produsen kerajinan ukiran kayu.
Hambatan ketersediaan bahan baku kayu disebabkan masih rendahnya
143
144
pelabuhan
atau
kepabeanan
menjadi
sangat
penting
agar
dapat
145
nasional.
Kebijakan
fiskal
meliputi
penetapan
pajak
(pajak
146
5.4
Analisis
Gianyar
147
sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang
dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun
secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman
(threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan
pengambilan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan (Rangkuti, 2000).
Pemetaan posisi strategis industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten
Gianyar mencakup 48 faktor
internal, dan 23 (dua puluh tiga) faktor eksternal. Berikut adalah identifikasi faktorfaktor posisi strategis industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar.
Faktor kekuatan dalam matrik SWOT mencakup beberapa komponen yang
menjadi kekuatan internal industri kerajinan ukiran kayu yaitu antara lain
keberadaan dalam kluster, ketersediaan tenaga kerja, stabilitas harga produk, adanya
pola kemitraan, keterampilan dan proses produksi yang sederhana, potensi pasar,
kualitas bahan baku dan fleksibilitas diversifikasi usaha. Di sisi lain industri
kerajinan ukiran memiliki beberapa kendala internal antara lain keterbatasan
aksesibilitas modal, penguasaan teknologi yang rendah dan kualitas manajerial
rendah, terbatasnya pasar dan masih rendahnya inovasi produk.
Sementara dari sisi eksternal, industri kerajinan ukiran kayu memiliki
beberapa peluang yaitu membaiknya kondisi perekonomian sehingga permintaan
semakin meningkat, adanya dukungan pemerintah dan peluang pasar internasional.
Di sisi lain ancaman juga akan dihadapi industri antara lain dinamika bisnis dan
perekonomian dan dinamika pasar global yang semakin cepat dan tanpa ada batas
antar negara.
148
Tabel 5.3
Diagram Matriks SWOT Posisi Strategis Industri Kerajinan Ukiran Kayu
Faktor Internal
STRENGHTS (S)
Faktor kekuatan internal:
1. Tergabung dalam klaster
2. Tenaga kerja melimpah &
murah
3. Pola kemitraan sudah ada
4. Ketrampilan kerja yang sudah
ada
5. Proses, sistem dan aliran
produksi sederhana
6. Potensi pemberdayaan pasar
7. Kualitas bahan baku
8. Lebih fleksibel dalam
mengganti jenis usaha
Faktor Eksternal
OPPORTUNITIES (O)
Faktor peluang eksternal:
1. Perekonomian nasional semakin
membaik
2. Pendapatan masyarakat membaik
3. Infrastruktur komunikasi dan
informasi mudah dijangkau
4. Jumlah penduduk meningkat
5. Subsidi pemerintah bagi UKM
6. Dukungan pemerintah pada
UKM cukup tinggi
7. Permasaran Global
THREATS (T)
Faktor tantangan eksternal:
1. Dinamika lingkungan bisnis
2. Jumlah pesaing meningkat
3. Harga fluktuatif
4. Susah masuk pasar
5. Kekuatan pemasok
6. Produk pesaing
7. Perubahan selera konsumen
8. Akses pasar terbatas
9. Perubahan tingkat bunga
10. Inflasi
11. Rendahnya mobilitas vertikal
12. Kondisi pasar tidak menentu
13. Berkembangnya industrialisasi
14. Pasar mendekati persaingan
sempurna
15. Persaingan global
Strategi S-O
Strategi yang menggunakan
kekuatan untuk memanfaatkan
peluang, yaitu:
Strategi Meningkatkan Kualitas
dan Kapasitas Produksi Untuk
Perluasan Pasar
WEAKNESS (W)
Faktor kelemahan internal:
1. Kurangnya akses modal usaha
2. Penguasaan tekhnologi yang
rendah
3. Produksi tidak kontinyu
4. Kualitas SDM rendah
5. Akses informasi pasar kurang
6. Keterbatasan jangkauan pasar
7. Mutu produk sensitif terhadap
pasar
8. Kurangnya sistim informasi dan
dukungan litbang
9. Media Informasi belum maksimal
10. Produktifitas rendah
11. Etos kerja rendah
12. Profesional kerja rendah
13. Kemampuan manajerial yang
rendah
14. Non banking financing
15. Spesialisasi produk ketat
9. Rendahnya inovasi
16. Harga produk relatif berfluktuasi
Strategi W-O
Strategi yang minimalisir kelemahan
untuk memanfaatkan peluang:
Strategi S-T
Strategi yang menggunakan
kekuatan untuk mengatasi ancaman
Strategi W-T
Strategi yang meminimalisir
kelemahan untuk mengatasi ancaman
Strategi Peningkatan
ketrampilan dan Investasi Guna
Meningkatkan Kualitas dan
Kapasitas Produksi Untuk
Mencapai Effisiensi
149
Melihat kondisi internal dan eksternal yang dihadapi industri kerajinan ukiran
kayu, maka dibutuhkan strategi pemberdayaan industri secara terpadu dan
komprehensif dalam upaya menjaga eksistensi potensi industri. Beberapa strategi
terpadu tersebut adalah (1) Strategi meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi
untuk perluasan pasar, (2) Strategi peningkatan intensitas pelatihan untuk
spesialisasi produk dan dukungan permodalan, (3) Strategi peningkatan ketrampilan
dan investasi untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi untuk mencapai
efisiensi, (4) Strategi penggunaan tekhnologi tepat guna dan meningkatkan daya
tarik investasi.
Tabel 5.4
Hasil Analisis Faktor Internal
Komponen Faktor Internal
Kekuatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kelemahan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Bobot
Skor
Nilai
0,06
0,05
0,06
0,05
0,04
0,04
0,06
0,06
0,04
0,47
2,83
2,33
2,99
2,37
1,99
2,01
2,71
2,87
2,13
0,17
0,11
0,19
0,12
0,08
0,08
0,15
0,17
0,09
1,17
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
0.04
0.04
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
0.04
0.03
0.53
1.65
1.54
1.53
1.48
1.50
1.63
2.10
1.90
1.50
1.48
1.44
1.53
1.59
1.46
1.84
1.40
0.06
0.05
0.05
0.05
0.05
0.06
0.09
0.08
0.05
0.05
0.04
0.05
0.05
0.04
0.07
0.04
0.87
0.31
150
Tabel 5.5
Hasil Analisis Faktor Eksternal
Peluang
1
2
3
4
5
6
7
Ancaman
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Jumlah
Bobot
Skor
Nilai
0,06
0,06
0,06
0,05
0,05
0,05
0,05
0,38
3,42
3,29
3,08
2,58
2,96
2,92
3,05
0,21
0,19
0,17
0,12
0,16
0,15
0,17
1,16
0,05
0,04
0,04
0,03
0,05
0,05
0,04
0,03
0,03
0,03
0,03
0,03
0,04
0,05
0,03
0,04
0,62
2,60
2,48
2,34
1,78
2,61
2,57
2,48
1,90
1,92
1,73
1,58
1,63
2,52
2,61
1,67
2,37
0,12
0,11
0,10
0,06
0,12
0,12
0,11
0,06
0,07
0,05
0,04
0,05
0,11
0,12
0,05
0,10
1,39
-0,23
151
152
Maka strategi diversifikasi dapat diberlakukan dalam merespon posisi masa depan
industri kerajinan ukiran kayu. Industri dalam kondisi mantap namun menghadapi
sejumlah tantangan berat sehingga diperkirakan roda usaha akan mengalami
tantangan untuk terus berputar apabila hanya bertumpu pada strategi yang
sebelumnya. Oleh karena itu industri perlu memperbanyak ragam strategi taktis.
Faktor Internal
Kuat
Lemah
Skor IFAS = 0,31
Tinggi
1,00
1,00
-1,00
Strategi Meningkatkan
Kualitas dan Kapasitas
Produksi Untuk Perluasan
Pasar
(Kuadran I)
Strategi Peningkatan
Intensitas Pelatihan Untuk
Spesialisasi Produk dan
Dukungan Modal Guna
Meningkatkan Kapasitas
Produksi
(Kuadran IV)
Faktor Eksternal
Skor EFAS = -0,23
-1,00
Strategi Peningkatan
Ketrampilan dan Investasi
Guna Meningkatkan
Kualitas dan Kapasitas
Produksi Untuk Mencapai
Effisiensi
(Kuadran II)
Strategi Penggunaan
Tekhnologi Tepat Guna dan
Mendatangkan Investor
(Kuadran III)
Gambar 5.7
Model Strategi Pemberdayaan Industri Ukir di Kabupaten Gianyar
Sumber: Hasil Penelitian diolah, 2013
Gambar 5.7 menunjukkan hasil analisis faktor internal dan eksternal masingmasing menunjukkan nilai 0,31 dan -0,23, yang mengindikasikan pada strategi
peningkatan ketrampilan dan investasi untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas
produksi untuk mencapai effisiensi. Peningkatan kualitas dan kapasitas produksi
dapat dicapai dengan dukungan pemerintah melalui pendampingan, pelatihan dan
bantuan pinjaman modal. Hal ini juga membutuhkan dukungan perbankan untuk
meningkatkan jumlah investasi melalui pinjaman dengan bunga ringan atau
menghubungkan perajin dengan investor dari luar daerah, seperti kerjasama
153
154
Kebijakan
Pengelolaan
Keuangan
Pemberdayaan
SDM
Strategi
Pemasaran
Penelitian
Pasar
Saleable
Masterplan
Teknologi
produksi
Pembinaan
E-marketing
Formula
Bahan Baku
Fasilitas
Pameran dan
Kontak
Dagang di
Dalam dan
Luar Negeri
Pendidikan &
Pelatihan
Harga pokok
produksi
Sistem
Penggajian
Kredit
Perbankan
Pelayanan
Publik
Lay out
produksi
Pemasaran lokal
Pengelolaan
Manajemen
Produksi
Sistem Reward
& Punishment
Design &
inovasi
produk
Standarisasi
Produk
Optimis
Status Quo
Sosialisasi
dan Fasilitasi
Proses Hak
Paten Produk
Pesimis
Gambar 5.8
Struktur Hirarki Proyeksi Pemberdayaan
Industri Kecil Kerajinan Ukiran kayu di Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Proyeksi pemberdayaan kerajinan ukiran kayu menggunakan metode
Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan responden sejumlah tujuh orang yang
dianggap expert dalam pemberdayaan industri kerajinan. Berikut adalah nama
responden sebagai sampel dalam analisis AHP.
155
Tabel 5.6
Daftar Responden Sampel dalam Analisis AHP
No.
Nama
1.
I Nyoman Tekek
2.
3.
4.
I Made Sudarta
5.
Instansi
Jabatan
Eksportir
Kadin Kabupaten
Gianyar
I Wayan Ardana, SH
Perajin/Direktur
Kepala Dinas
Klaim dan
Subrogasi
Ketua Kadin
Kabupaten
Gianyar
Kepala Dinas
Kepala Bidang
Industri Agro
156
Tabel 5.7
Tabulasi Matrik Perbandingan Berpasangan
Proyeksi Pemberdayaan Kerajinan Ukiran Kayu
Tujuan
Pengelolaan
Keuangan
Pemberdayaan
SDM
Pemasaran
Manajemen
Produksi
Pelayanan
Publik
Jumlah
Pengelolaan Pemberdayaan
Keuangan
SDM
Pemasaran
Manajemen Pelayanan
Produksi
Publik
1,0000
0,3895
0,1979
0,7226
2,4468
2,5673
1,0000
0,6963
1,0378
2,7921
5,0524
1,4361
1,0000
1,7876
4,6400
1,3839
0,9636
0,5594
1,0000
2,6320
0,4087
0,3581
0,2155
0,3799
1,0000
10,4122
4,1474
2,6692
4,9279
13,5109
157
Tabel 5.8
Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan Level Pertama
Proyeksi Pemberdayaan Kerajinan Ukiran Kayu
Tujuan
Pengelolaan
Keuangan
Pemberdayaan
SDM
Pemasaran
Manajemen
Produksi
Pelayanan
Publik
Jumlah
Pengelolaan Pemberdayaan
Keuangan
SDM
Pemasaran
Manajemen Pelayanan
Produksi
Publik
0,0960
0,0939
0,0742
0,1466
0,1811
0,2466
0,2411
0,2609
0,2106
0,2067
0,4852
0,3463
0,3746
0,3628
0,3434
0,1329
0,2323
0,2096
0,2029
0,1948
0,0393
0,0864
0,0807
0,0771
0,0740
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
Pengelolaan
Pemberdayaan
Keuangan
SDM
Pemasaran
Manajemen Pelayanan
Produksi
Publik
Jumlah
0,0960
0,0939
0,0742
0,1466
0,1811
0.5918
0,2466
0,2411
0,2609
0,2106
0,2067
1.1658
0,4852
0,3463
0,3746
0,3628
0,3434
1.9123
0,1329
0,2323
0,2096
0,2029
0,1948
0.9726
0,0393
0,0864
0,0807
0,0771
0,0740
0.3575
158
Tabel 5.10
Bobot Gobal Level Pertama
Proyeksi Pemberdayaan Kerajinan Ukiran Kayu
Faktor
Bobot
Pemasaran
Pemberdayaan SDM
Manajemen Produksi
Pengelolaan Keuangan
Pelayanan Publik
Keterangan : Rasio konsistensi 0,0246
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Ranking
0,3825
0,2332
0,1945
0,1184
0,0715
1
2
3
4
5
0,383
0,4
0,35
0,3
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0,233
0,195
0,118
0,018
Gambar 5.9
Strategi Pemberdayaan Industri Kerajinan Ukiran Kayu
di Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
159
Pengelolaan
Harga Pokok
Kredit
Penjualan
perbankan
1,0000
1,0505
2,2186
0,9520
1,0000
1,8964
0,4507
0,5273
1,0000
2,4027
2,5778
5,1150
160
Pengelolaan
Harga Pokok
Kredit
Penjualan
perbankan
Pengelolaan
0,4162
0,4075
0,4337
0,3962
0,3879
0,3707
Kredit Perbankan
0,1876
0,2046
0,1955
1,0000
1,0000
1,0000
Jumlah
Tabel 5.13.
Matrik Priority Vector Sub Faktor Strategi Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan
Harga Pokok
Kredit
Penjualan
perbankan
Jumlah
Pengelolaan
0,4162
0,4075
0,4337
1,2575
0,3962
0,3879
0,3707
1,1549
Kredit Perbankan
0,1876
0,2046
0,1955
0,5877
161
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Pengelolaan
0,4192
0,0496
0,3850
0,0456
Kredit Perbankan
0,1959
0,0232
25%
39%
Manejemn Keuangan
Harga Pokok Produksi
Akses Kredit Perbankan
36%
Gambar 5.10
Strategi Pengelolaan Keuangan Industri Kerajinan Ukiran Kayu
di Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
162
Tabel 5.15
Matrik Perbandingan Berpasangan
Sub Faktor Strategi Pemberdayaan SDM
Pemberdayaan
Pendidikan dan
SDM
Pelatihan
Pendidikan dan
Pelatihan
Sistem Penggajian
Sistem Reward dan
Punishment
Jumlah
Sistem Penggajian
Sistem Reward
dan Punishment
1,0000
3,0367
0,7573
0,3293
1,0000
1,8734
1,3205
0,5338
1,0000
2,6498
4,5705
3,6308
163
Pemberdayaan SDM
Pendidikan
dan Pelatihan
Sistem Reward
dan
Punishment
Sistem
Penggajian
Pendidikan dan
0,3774
Pelatihan
Sistem Penggajian
0,1243
Sistem Reward dan
0,4983
Punishment
Jumlah
1,0000
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
0,6644
0,2086
0,2188
0,5160
0,1168
0,2754
1,0000
1,0000
Langkah berikutnya untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-rata
baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari tiap sub faktor.
Tabel 5.17
Matrik Priority Vector Sub Faktor Strategi Pemberdayaan SDM
Pemberdayaan SDM
Pendidikan
dan Pelatihan
Pendidikan dan
0,3774
Pelatihan
Sistem Penggajian
0,1243
Sistem Reward dan
0,4983
Punishment
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Sistem
Penggajian
Sistem
Reward dan
Punishment
0,6644
0,2086
1,2504
0,2188
0,5160
0,8591
0,1168
0,2754
0,8905
Jumlah
164
ini adalah strategi pemberdayaan SDM yaitu 0,2332. Berikut adalah hasil
perhitungan bobot global untuk sub faktor pemberdayaan SDM.
Tabel 5.18
Bobot Global Sub Faktor Strategi Pemberdayaan SDM
Faktor
Bobot Lokal
Pendidikan dan
0.4168
Pelatihan
Sistem Reward dan
0.2968
Punishment
Sistem Penggajian
0.2864
Keterangan : Rasio konsistensi 0,4069
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Bobot Global
Ranking
0.0972
0.0692
0.0668
Berdasarkan hasil perhitungan bobot global tiap sub faktor, diperoleh hasil
bahwa pendidikan dan pelatihan menjadi faktor prioritas dalam strategi
pemberdayaan SDM yang menentukan prospek kerajinan ukiran kayu di Kabupaten
Gianyar dengan bobot 0,0972 dan diikuti oleh sistem reward dan punishment
0,0692, dan sistem penggajian 0,0668. Seperti gambar berikut ini.
Gambar 5.11
Strategi Pemberdayaan Sumberdaya Manusia
Industri Kerajinan Ukiran Kayu di Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
165
Pemasaran
Pemasaran Lokal
Saleable
Masterplan
E-Marketing
Jumlah
Pemasaran
Saleable
Lokal
Masterplan
E-Marketing
1,0000
1,6097
0,6991
0,6212
1,0000
0,4219
1,4304
2,3700
1,0000
3,0516
4,9797
2,1211
166
Tabel 5.20
Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan
Strategi Pemasaran
Pemasaran
Pemasaran
Saleable
Lokal
Masterplan
E-Marketing
Pemasaran Lokal
0,3277
0,3232
0,3296
Saleable Masterplan
0,2036
0,2008
0,1989
E-Marketing
0,4687
0,4759
0,4715
1,0000
1,0000
1,0000
Jumlah
Pemasaran
Saleable
Lokal
Masterplan
E-Marketing
Jumlah
Pemasaran Lokal
0,3277
0,3232
0,3296
0,9806
Saleable Masterplan
0,2036
0,2008
0,1989
0,6033
E-Marketing
0,4687
0,4759
0,4715
1,4161
167
Tabel 5.22
Bobot Global Sub Faktor Strategi Pemasaran
Faktor
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
E-Marketing
0,4720
0,1805
Pemasaran Lokal
0,3269
0,1250
Saleable Masterplan
0,2011
0,0769
20%
47%
E.Marketing
Pemasaran Lokal
33%
Gambar 5.12
Strategi Pemasaran Industri Kerajinan Ukiran Kayu
di Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
168
Manajemen
Produksi
Layout
Produksi
Teknologi
Produksi
Formula
Bahan
Baku
Desain
dan
Inovasi
Produk
Standarisasi
Produk
Layout Produksi
Teknologi Produksi
Formula Bahan
Baku
Desain dan Inovasi
Produk
Standarisasi Produk
1,0000
2,6642
0,3753
1,0000
0,8246
1,2724
0,1464
0,2742
0,2776
1,5341
1,2127
0,7859
1,0000
0,3019
0,3665
6,8317
3,6466
3,3124
1,0000
1,7897
3,6025
0,6518
2,7282
0,5588
1,0000
Jumlah
15,3112
6,4597
9,1376
2,2813
4,9679
169
Tabel 5.24
Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan
Strategi Manajemen Produksi
Formula Desain dan
Standarisasi
Bahan
Inovasi
Produk
Baku
Produk
0,0581 0,0902
0,0642
0,0559
0,1548 0,1392
0,1202
0,3088
0,1217 0,1094
0,1323
0,0738
Layout Teknologi
Manajemen Produksi
Produksi Produksi
Layout Produksi
0,0653
Teknologi Produksi
0,1740
Formula Bahan Baku
0,0792
Desain dan Inovasi
0,4462
0,5645
Produk
Standarisasi Produk
0,2353
0,1009
Jumlah
1,0000
1,0000
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
0,3625
0,4384
0,3602
0,2986
1,0000
0,2449
1,0000
0,2013
1,0000
Langkah berikutnya untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-rata
baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari tiap sub faktor.
Tabel 5.25
Matrik Priority Vector Sub Faktor Strategi Manajemen Produksi
Manajemen Layout Teknologi
Produksi Produksi Produksi
Layout
0,0653
0,0581
Produksi
Teknologi
0,1740
0,1548
Produksi
Formula
0,0792
0,1217
Bahan Baku
Desain dan
Inovasi
0,4462
0,5645
Produk
Standarisasi
0,2353
0,1009
Produk
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Formula
Bahan
Baku
Desain
dan
Standarisasi
Jumlah
Inovasi
Produk
Produk
0,0902
0,0642
0,0559
0,3337
0,1392
0,1202
0,3088
0,8971
0,1094
0,1323
0,0738
0,5164
0,3625
0,4384
0,3602
2,1718
0,2986
0,2449
0,2013
1,0810
170
ini adalah strategi pemasaran yaitu 0,1945. Berikut adalah hasil perhitungan bobot
global untuk sub faktor strategi manajemen produksi.
Tabel 5.26
Bobot Global Sub Faktor Strategi Manajemen Produksi
Faktor
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
0.4344
0.0845
Teknologi Produksi
0.1794
0.0349
0.1033
0.0201
Standarisasi Produk
0.2162
0.0155
Layout Produksi
0.0667
0.0130
171
Gambar 5.13
Strategi Manajemen Produksi Industri Kerajinan Ukiran Kayu
di Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
172
Fasilitas
Pameran dan
Kontak Dagang
0,0599
0,1636
0,1654
0,1347
Sosialisasi
dan Fasilitasi
Hak Paten
0,0367
0,2906
0,5749
0,5511
0,1268
0,1216
1,0000
1,0000
Penelitian
Pembinaan
Pasar
Penelitian Pasar
0,0944
Pembinaan
0,2607
Fasilitas Pameran
0,3318
0,7056
dan Kontak Dagang
Sosialisasi dan
0,3131
0,0692
Fasilitasi Hak Paten
Jumlah
1,0000
1,0000
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah berikutnya untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-rata
baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari tiap sub faktor.
Tabel 5.29
Matrik Priority Vector Sub Faktor Strategi Pelayanan Publik
Pelayanan Publik
Fasilitas Sosialisasi
Penelitian
Pameran dan
dan
Pembinaan
Jumlah
Pasar
Kontak
Fasilitasi
Dagang
Hak Paten
0,0944
0,0599
0,1636
0,0367 0,3546
0,2607
0,1654
0,1347
0,2906 0,8515
Penelitian Pasar
Pembinaan
Fasilitas Pameran dan
0,3318
0,7056
Kontak Dagang
Sosialisasi dan
0,3131
0,0692
Fasilitasi Hak Paten
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
0,5749
0,5511 2,1633
0,1268
0,1216 0,6306
173
Bobot Global
Ranking
0,0387
0,0152
0,0113
0,0063
Gambar 5.14
Strategi Pelayanan Publik Industri Kerajinan Ukiran Kayu
di Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
Seperti
174
Optimis
Status Quo
Pesimis
Optimis
1,0000
5,9143
6,2056
Status Quo
0,1691
1,0000
4,1062
Pesimis
0,1611
0,2435
1,0000
1,3302
7,1579
11,3118
Jumlah
Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-rata baris
dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari alternatif.
175
Tabel 5.32
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Strategi Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan
Optimis
Status Quo
Pesimis
Jumlah
Keuangan
Optimis
0,7518
0,8263
0,5486
2,1266
Status Quo
0,1271
0,1397
0,3630
0,6298
Pesimis
0,1211
0,0340
0,0884
0,2436
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Optimis
0,7089
0,0352
Status Quo
0,2099
0,0104
Pesimis
0,0812
0,0040
176
Tabel 5.34
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Harga Pokok Produksi
Harga Pokok
Produksi
Optimis
Status Quo
Pesimis
Optimis
1,0000
4,7515
5,1112
Status Quo
0,2105
1,0000
3,0000
Pesimis
0,1957
0,3333
1,0000
1,4061
6,0848
9,1112
Jumlah
Optimis
Status
Quo
Pesimis
Jumlah
Optimis
0,7112
0,7809
0,5610
2,0530
Status Quo
0,1497
0,1643
0,3293
0,6433
Pesimis
0,1391
0,0548
0,1098
0,3037
177
Tabel 5.36
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Harga Pokok Produksi
Faktor
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Optimis
0,6843
0,0312
Status Quo
0,2144
0,0098
Pesimis
0,1012
0,0046
Optimis
Status Quo
Pesimis
Optimis
1,0000
4,1062
4,4171
Status Quo
0,2435
1,0000
2,1918
Pesimis
0,2264
0,4562
1,0000
1,4699
5,5625
7,6089
Jumlah
Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-rata baris
dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari alternatif.
178
Tabel 5.38
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Kredit Perbankan
Kredit Perbankan
Optimis
Status Quo
Pesimis
Jumlah
Optimis
0,6803
0,7382
0,5805
1,9990
Status Quo
0,1657
0,1798
0,2881
0,6335
Pesimis
0,1540
0,0820
0,1314
0,3675
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Optimis
0,6663
0,0155
Status Quo
0,2112
0,0049
Pesimis
0,1225
0,0028
179
Tabel 5.40
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan dan
Optimis
Status Quo
Pesimis
Pelatihan
Optimis
1,0000
51112
5,3256
Status Quo
0,1957
1,0000
2,1918
Pesimis
0,1878
0,4562
1,0000
1,3834
6,5674
8,5174
Jumlah
Status Quo
Pesimis
Pelatihan
Jumlah
Optimis
0,7228
0,7783
0,6253
2,1264
Status Quo
0,1414
0,1523
0,2573
0,5510
Pesimis
0,1357
0,0695
0,1174
0,3226
180
Tabel 5.42
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Penelitian dan Pelatihan
Faktor
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Optimis
0,7088
0,0689
Status Quo
0,1837
0,0178
Pesimis
0,1075
0,0105
pertama
adalah
membentuk
matrik
perbandingan
matrik
Optimis
Status Quo
Pesimis
Optimis
1,0000
4,1062
4,4171
Status Quo
0,2435
1,0000
2,1918
Pesimis
0,2264
0,4562
1,0000
1,4699
5,5625
7,6089
Jumlah
181
Tabel 5.44
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Sistem Penggajian
Optimis
Status Quo
Pesimis
Jumlah
Optimis
0,6803
0,7382
0,5805
1,9990
Status Quo
0,1657
0,1798
0,2881
0,6335
Pesimis
0,1540
0,0820
0,1314
0,3675
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Optimis
0,6663
0,0445
Status Quo
0,2112
0,0141
Pesimis
0,1225
0,0082
182
Tabel 5.46
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Sistem Reward dan Punishment
Sistem Reward dan
Punishment
Optimis
Status Quo
Pesimis
Optimis
1,0000
5,1112
4,4171
Status Quo
0,1957
1,0000
1,8734
Pesimis
0,2264
0,5338
1,0000
1,4220
6,6449
7,2905
Jumlah
Optimis
Status Quo
Pesimis
Jumlah
Optimis
0,7032
0,7692
0,6059
2,0783
Status Quo
0,1376
0,1505
0,2570
0,5450
Pesimis
0,1592
0,0803
0,1372
0,3767
183
Tabel 5.48
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Sistem Reward dan Punishment
Faktor
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Optimis
0,6928
0,0479
Status Quo
0,1817
0,0126
Pesimis
0,1256
0,0087
Optimis
Status Quo
Pesimis
Optimis
1,0000
5,9143
5,9143
Status Quo
0,1691
1,0000
2,1918
Pesimis
0,1691
0,4562
1,0000
1,3382
7,3706
9,1061
Jumlah
184
Tabel 5.50
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Pemasaran Lokal
Pemasaran Lokal
Optimis
Status Quo
Pesimis
Optimis
Status Quo
0,7473
0,1264
0,1264
Pesimis
0,8024
0,1357
0,0619
Jumlah
0,6495
0,2407
0,1098
2,1992
0,5027
0,2981
Bobot Lokal
Optimis
Status Quo
Pesimis
0,7331
0,1676
0,0994
Bobot Global
Ranking
0,0916
0,0209
0,0124
1
2
3
Optimis
Status Quo
Pesimis
1,0000
0,1777
0,1575
5,6269
1,0000
0,4562
6,3509
2,1918
1,0000
1,3352
7,0832
9,5427
185
Optimis
Status Quo
Pesimis
Jumlah
Optimis
0,7490
0,7944
0,6655
2,2089
Status Quo
0,1331
0,1412
0,2297
0,5040
Pesimis
0,1179
0,0644
0,1048
0,2871
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Optimis
0,7363
0,0566
Status Quo
0,1680
0,0129
Pesimis
0,0957
0,0074
C.9 E-Marketing
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor e-marketing.
186
Tabel 5.55
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor E-Marketing
Optimis
Status Quo
Pesimis
Optimis
1,0000
5,2309
5,3628
Status Quo
0,1912
1,0000
2,3577
Pesimis
0,1865
0,4241
1,0000
1,3776
6,6551
8,7206
Jumlah
Optimis
Status Quo
Pesimis
Jumlah
Optimis
0,7259
0,7860
0,6150
2,1269
Status Quo
0,1388
0,1503
0,2704
0,5594
Pesimis
0,1354
0,0637
0,1147
0,3138
187
Tabel 5.57
Bobot Global Sub Faktor Strategi Pemasaran
Faktor
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Optimis
0.7090
0.1280
Status Quo
0.1865
0.0337
Pesimis
0.1046
0.0189
Optimis
Status Quo
Pesimis
Optimis
1,0000
4,2613
4,7515
Status Quo
0,2347
1,0000
2,1918
Pesimis
0,2105
0,4562
1,0000
1,4451
5,7175
7,9433
Jumlah
188
Tabel 5.59
Matrik Priority Vector Alternatif
Sub Faktor Layout Produksi
Layout Produksi
Optimis
Status Quo
Pesimis
Optimis
Status Quo
0,6920
0,1624
0,1456
Pesimis
0,7453
0,1749
0,0798
Jumlah
0,5982
0,2759
0,1259
2,0355
0,6132
0,3513
Bobot Lokal
Optimis
Status Quo
Pesimis
Bobot Global
0.6785
0.2044
0.1171
Ranking
0.0088
0.0027
0.0015
1
2
3
Optimis
Status Quo
Pesimis
Optimis
1,0000
5,3042
5,3628
Status Quo
Pesimis
0,1885
0,1865
1,0000
0,4241
2,3577
1,0000
1,3750
6,7283
8,7206
Jumlah
189
Optimis
Status Quo
Pesimis
Jumlah
Optimis
0,7273
0,7883
0,6150
2,1306
Status Quo
0,1371
0,1486
0,2704
0,5561
Pesimis
0,1356
0,0630
0,1147
0,3133
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Optimis
0,7102
0,0248
Status Quo
0,1854
0,0065
Pesimis
0,1044
0,0036
190
Tabel 5.64
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Formula Bahan Baku
Formula Bahan
Baku
Optimis
Status Quo
Pesimis
Optimis
1,0000
4,3688
4,8096
Status Quo
0,2289
1,0000
2,3577
Pesimis
0,2079
0,4241
1,0000
1,4368
5,7929
8,1673
Jumlah
Optimis
Status Quo
Pesimis
Jumlah
Optimis
0,6960
0,7542
0,5889
2,0390
Status Quo
0,1593
0,1726
0,2887
0,6206
Pesimis
0,1447
0,0732
0,1224
0,3404
191
Tabel 5.66
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Formula Bahan Baku
Faktor
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Optimis
0,6797
0,0137
Status Quo
0,2069
0,0042
Pesimis
0,1135
0,0023
Optimis
Status Quo
Pesimis
Optimis
1,0000
5,9143
5,7688
Status Quo
0,1691
1,0000
2,3577
Pesimis
0,1733
0,4241
1,0000
1,3424
7,3385
9,1266
Jumlah
192
Tabel 5.68
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Desain dan Inovasi Produk
Desain dan Inovasi
Optimis
Status Quo
Produk
Optimis
0,7449
0,8059
Status Quo
0,1260
0,1363
Pesimis
0,1291
0,0578
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Pesimis
Jumlah
0,6321
0,2583
0,1096
2,1829
0,5206
0,2965
0,0615
0,0147
0,0084
Ranking
1
2
3
193
Optimis
Status Quo
Pesimis
Jumlah
Optimis
0,7344
0,7967
0,6269
2,1579
Status Quo
0,1287
0,1396
0,2562
0,5245
Pesimis
0,1369
0,0637
0,1169
0,3175
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Optimis
0,7193
0,0111
Status Quo
0,1748
0,0027
Pesimis
0,1058
0,0016
194
Optimis
Status Quo
Pesimis
Optimis
1,0000
4,2613
4,7515
Status Quo
0,2347
1,0000
2,3577
Pesimis
0,2105
0,4241
1,0000
1,4451
5,6854
8,1092
Jumlah
Optimis
Status Quo
Pesimis
Jumlah
Optimis
0,6920
0,7495
0,5859
2,0274
Status Quo
0,1624
0,1759
0,2907
0,6290
Pesimis
0,1456
0,0746
0,1233
0,3436
195
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Optimis
0,6758
0,0043
Status Quo
0,2097
0,0013
Pesimis
0,1145
0,0007
C.16 Pembinaan
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor pembinaan.
Tabel 5.76
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Pembinaan
Pembinaan
Optimis
Status Quo
Pesimis
Optimis
1,0000
3,4335
3,3490
Status Quo
0,2913
1,0000
1,6013
Pesimis
0,2986
0,6245
1,0000
1,5898
5,0579
5,9503
Jumlah
196
rata-rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari
alternatif.
Tabel 5.77
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Pembinaan
Pembinaan
Optimis
Status Quo
Pesimis
Jumlah
Optimis
0,6290
0,6788
0,5628
1,8706
Status Quo
0,1832
0,1977
0,2691
0,6500
Pesimis
0,1878
0,1235
0,1681
0,4793
Faktor
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Optimis
0,6235
0,0095
Status Quo
0,2167
0,0033
Pesimis
0,1598
0,0024
197
Tabel 5.79
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Fasilitas Pameran dan Kontak Dagang
Fasilitas Pameran
dan Kontak
Optimis
Status Quo
Pesimis
Dagang
Optimis
1,0000
4,0169
3,9181
Status Quo
0,2489
1,0000
2,8942
Pesimis
0,2552
0,3455
1,0000
1,5042
5,3624
7,8123
Jumlah
Optimis
Status Quo
Pesimis
Jumlah
Optimis
0,6648
0,7491
0,5015
1,9154
Status Quo
01655
0,1865
0,3705
0,7225
Pesimis
0,1697
0,0644
0,1280
0,3621
198
Tabel 5.81
Bobot Global Alternatif
Sub Faktor Fasilitas Pameran dan Kontak Dagang
Faktor
Bobot Lokal
Ranking
Bobot Global
Optimis
0,6385
0,0247
Status Quo
0,2408
0,0093
Pesimis
0,1207
0,0047
Status Quo
Pesimis
Optimis
1,0000
4,9309
5,1112
Status Quo
0,2028
1,0000
2,3577
Pesimis
0,1957
0,4241
1,0000
1,3985
6,3551
8,4689
Jumlah
199
Tabel 5.83
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Sosialisasi dan Fasilitasi Hak Paten
Sosialisasi dan
Optimis
Status Quo
Pesimis
Jumlah
0,7151
0,7759
0,6035
2,0945
Status Quo
0,1450
0,1574
0,2784
0,5808
Pesimis
0,1399
0,0667
0,1181
0,3247
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Optimis
0,6982
0,0079
Status Quo
0,1936
0,0022
Pesimis
0,1082
0,0012
200
Tabel 5.85
Bobot Global Alternatif
Proyeksi Pemberdayaan Industri Kerajinan Ukiran kayu
Sub Faktor
A. Pengelolaan Keuangan
1. Pengelolaan
2. Harga Pokok Produksi
3. Kredit Perbankan
B. Pemberdayaan SDM
1. Pendidikan dan Pelatihan
2. Sistem Penggajian
3. Reward dan Punishment
C. Pemasaran
1. Pemasaran Lokal
2. Saleable Masterplan
3. E-Marketing
D. Manajemen Produksi
1. Layout Produksi
2. Teknologi Produksi
3. Formula Bahan Baku
4. Desain dan Inovasi Produk
5. Standarisasi Produk
E. Pelayanan Publik
1. Penelitian Pasar
2. Pembinaan
3. Pameran dan Kontak Dagang
4. Sosialisasi dan Fasilitas Hak Paten
Rata Rata
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Alternatif Kebijakan
Optimis
Status Quo
Pesimis
0,7089
0,6843
0,6663
0,2099
0,2144
0,2112
0,0812
0,1012
0,1225
0,7088
0,6663
0,6928
0,1837
0,2112
0,1817
0,1075
0,1225
0,1256
0,7331
0,7363
0,7090
0,1676
0,1680
0,1865
0,0994
0,0957
0,1046
0,6785
0,7102
0,6797
0,7276
0,7193
0,2044
0,1854
0,2069
0,1735
0,1748
0,1171
0,1044
0,1135
0,0988
0,1058
0,6758
0,6235
0,6385
0,6982
0,6921
0,2097
0,2167
0,2408
0,1936
0,1967
0,1145
0,1598
0,1207
0,1082
0,1113
201
20%
47%
Optimis
Quo
33%
Pesimis
Gambar 5.15
Alternatif Proyeksi Masa Depan Industri Kerajinan Ukiuran Kayu
Di Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
ukiran kayu
202
Kebijakan
Pengelolaan
Keuangan
Strategi
Pemberdayaan
SDM
Pemerintah
Implementasi Penuh
Strategi
Pemasaran
Asosiasi
Implementasi Selektif
Strategi
Manajemen
Produksi
Strategi
Kebijakan
Publik
Lembaga Keuaangan
Gambar 5.16
Struktur Hirarki Strategi Pemberdayaan
Industri Kecil Kerajinan Ukiran Kayu di Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
203
Pengelolaan Pemberdayaan
Keuangan
SDM
1,0000
0,2459
4,0661
Pemasaran
Manajemen Pelayanan
Produksi
Publik
0,2179
0,2521
2,3319
1,0000
0,3986
3,0035
2,1944
4,5893
2,5085
1,0000
4,0707
2,6244
3,9660
0,3329
0,2457
1,0000
3,0455
0,4288
0,4557
0,3810
0,3284
1,0000
14,0502
4,5431
2,2432
8,6547
11,1962
204
dengan membagi setiap elemen vektor dengan jumlah vektor sehingga diperoleh
nilai 1 (satu).
Tabel 5.87
Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan Level Pertama
Strategi Pemberdayaan Kerajinan Ukiran Kayu
Pengelolaan Pemberdayaan
Manajemen Pelayanan
Tujuan
Pemasaran
Keuangan
SDM
Produksi
Publik
Pengelolaan
0,0712
0,0541
0,0971
0,0291
0,2083
Keuangan
Pemberdayaan
0,2894
0,2201
0,1777
0,3470
0,1960
SDM
Pemasaran
0,3266
0,5522
0,4458
0,4703
0,2344
Manajemen
0,2823
0,0733
0,1095
0,1155
0,2720
Produksi
Pelayanan
0,0305
0,1003
0,1699
0,0379
0,0893
Publik
Jumlah
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah berikutnya untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang menjadi bobot global dari tiap vektor.
Tabel 5.88
Matrik Priority Vector Level Pertama
Strategi Pemberdayaan Kerajinan Ukiran Kayu
Tujuan
Pengelolaan
Keuangan
Pemberdayaan
SDM
Pemasaran
Manajemen
Produksi
Pelayanan
Publik
Pengelolaan Pemberdayaan
Keuangan
SDM
Pemasaran
Manajemen Pelayanan
Produksi
Publik
Jumlah
0,0712
0,0541
0,0971
0,0291
0,2083
0,4599
0,2894
0,2201
0,1777
0,3470
0,1960
1,2303
0,3266
0,5522
0,4458
0,4703
0,2344
2,0293
0,2823
0,0733
0,1095
0,1155
0,2720
0,8526
0,0305
0,1003
0,1699
0,0379
0,0893
0,4279
205
Sehingga nilai eigen vector atau bobot global tiap kriteria adalah.
Tabel 5.89
Bobot Gobal Level Pertama
Strategi Pemberdayaan Kerajinan Ukiran Kayu
Faktor
Bobot
Ranking
Pemasaran
0,4059
Pemberdayaan SDM
0,2461
Manajemen Produksi
0,1705
Pengelolaan Keuangan
0,0920
Pelayanan Publik
0,0856
206
Tabel 5.90
Matrik Perbandingan Berpasangan Level Kedua
Untuk Faktor Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan
Keuangan
Pemerintah
Lembaga
Asosiasi
Keuangan
Pemerintah
1,0000
2,3577
0,2982
Asosiasi
0,4241
1,0000
0,1753
Lembaga Keuangan
3,3529
5,7058
1,0000
Jumlah
4,7771
9,0635
1,4735
Pemerintah
Asosiasi
Lembaga
Keuangan
Jumlah
Pemerintah
0,2093
0,2601
0,2024
0,6719
Asosiasi
0,0888
0,1103
0,1189
0,3181
Lembaga Keuangan
0,7019
0,6295
0,6787
2,0101
207
Tabel 5.92
Bobot Global Level Kedua
Untuk Faktor Pengelolaan Keuangan
Faktor
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Lembaga Keuangan
0,6700
0,0616
Pemerintah
0,2240
0,0206
Asosiasi
0,1060
0,0098
Pemerintah
Asosiasi
Lembaga
Keuangan
Pemerintah
1,0000
2,8626
2,8626
Asosiasi
0,3493
1,0000
1,0889
Lembaga Keuangan
0,3493
0,9184
1,0000
Jumlah
1,6987
4,7809
4,9514
208
Tabel 5.94
Matrik Priority Vector Level Kedua
Faktor Pemberdayaan SDM
Pemberdayaan SDM
Pemerintah
Asosiasi
Lembaga
Keuangan
Jumlah
Pemerintah
0,5887
0,5987
0,5781
1,7656
Asosiasi
0,2057
0,2092
0,2199
0,6347
Lembaga Keuangan
0,2057
0,1921
0,2020
0,5997
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Pemerintah
0,5885
0,1448
Asosiasi
0,2116
0,0521
Lembaga Keuangan
0,1999
0,0492
209
Tabel 5.96
Matrik Perbandingan Berpasangan Level Kedua
Untuk Faktor Pemasaran
Pemasaran
Pemerintah
Lembaga
Asosiasi
Keuangan
Pemerintah
1,0000
2,3319
2,9672
Asosiasi
0,4288
1,0000
1,4904
Lembaga Keuangan
0,3370
0,6710
1,0000
Jumlah
1,7658
4,0029
5,4576
Pemerintah
Asosiasi
Lembaga
Keuangan
Jumlah
Pemerintah
0,5663
0,5826
0,5437
1,6925
Asosiasi
0,2428
0,2498
0,2731
0,7657
Lembaga Keuangan
0,1909
0,1676
0,1832
0,5417
210
Tabel 5.98
Bobot Global Level Kedua
Untuk Faktor Pemasaran
Faktor
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Pemerintah
0,5642
0,2290
Asosiasi
0,2552
0,1036
Lembaga Keuangan
0,1806
0,0733
Pemerintah
Asosiasi
Lembaga
Keuangan
Pemerintah
1,0000
1,9442
3,1133
Asosiasi
0,5143
1,0000
1,2739
Lembaga Keuangan
0,3212
0,7850
1,0000
Jumlah
1,8356
3,7292
5,3872
211
Tabel 5.100
Matrik Priority Vector Level Kedua
Faktor Manajemen Produksi
Manajemen Produksi
Pemerintah
Lembaga
Asosiasi
Keuangan
Jumlah
Pemerintah
0,5448
0,5213
0,5779
1,6440
Asosiasi
0,2802
0,2682
0,2365
0,7848
Lembaga Keuangan
0,1750
0,2105
0,1856
0,5711
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Pemerintah
0,5480
0,0935
Asosiasi
0,2616
0,0446
Lembaga Keuangan
0,1904
0,0325
212
Tabel 5.102
Matrik Perbandingan Berpasangan Level Kedua
Untuk Faktor Pelayanan Publik
Pelayanan Publik
Pemerintah
Lembaga
Asosiasi
Keuangan
Pemerintah
1,0000
3,0000
0,3333
Asosiasi
0,3333
1,0000
3,0000
Lembaga Keuangan
3,0000
0,3333
1,0000
Jumlah
4,3333
4,3333
4,3333
Pemerintah
Asosiasi
Lembaga
Keuangan
Jumlah
Pemerintah
0,2308
0,6923
0,0769
1,0000
Asosiasi
0,0769
0,2308
0,6923
1,0000
Lembaga Keuangan
0,6923
0,0769
0,2308
1,0000
213
Tabel 5.104
Bobot Global Level Kedua
Untuk Faktor Pelayanan Publik
Faktor
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Pemerintah
0,3333
0,0285
Asosiasi
0,3333
0,0285
Lembaga Keuangan
0,3333
0,0285
Pemerintah
Asosiasi
Lembaga
Keuangan
A. Pengelolaan Keuangan
0,0206
0,0098
0,0616
B. Pemberdayaan SDM
0,1448
0,0521
0,0492
C. Pemasaran
0,2290
0,1036
0,0733
D. Manajemen Produksi
0,0935
0,0446
0,0325
E. Pelayanan Publik
0,0285
0,0285
0,0285
Rata - Rata
0,1033
0,0477
0,0490
214
Implementasi
Implementasi
Tidak Ada
Penuh
Selektif
Implementasi
Implementasi Penuh
1,0000
1,1028
5,3042
Implementasi Selektif
0,9068
1,0000
2,7584
0,1885
0,3625
1,0000
2,0953
2,4654
9,0626
Tidak Ada
Implementasi
Jumlah
Implementasi Implementasi
Penuh
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Jumlah
0,4773
0,4473
0,5853
1,5099
0,4328
0,4056
0,3044
1,1427
0,0900
0,1470
0,1103
0,3474
215
Bobot Lokal
Ranking
Bobot Global
Implementasi Penuh
0,5033
0,0104
Implementasi Selektif
0,3809
0,0078
0,1158
0,0024
Tidak Ada
Implementasi
Implementasi
Implementasi
Tidak Ada
Penuh
Selektif
Implementasi
Implementasi Penuh
1,0000
0,8057
4,2147
Implementasi Selektif
1,2411
1,0000
2,7584
0,2373
0,3625
1,0000
2,4784
2,1683
7,9731
Tidak Ada
Implementasi
Jumlah
216
Implementasi Implementasi
Implementasi Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Penuh
Selektif
Tidak Ada
Jumlah
Implementasi
0,4035
0,3716
0,5286
1,3037
0,5008
0,4612
0,3460
1,3079
0,0957
0,1672
0,1254
0,3884
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Implementasi Selektif
0,4360
0,0043
Implementasi Penuh
0,4346
0,0042
0,1295
0,0013
217
Tabel 5.112
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Untuk Faktor Pengelolaan Keuangan dan Peran Lembaga Keuangan
Peran Lembaga
Implementasi
Implementasi
Tidak Ada
Keuangan
Penuh
Selektif
Implementasi
Implementasi Penuh
1,0000
1,0757
4,8096
0,9296
1,0000
2,7584
0,2079
0,3625
1,0000
2,1375
2,4382
8,5680
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Jumlah
Implementasi
Implementasi
Tidak Ada
Keuangan
Penuh
Selektif
Implementasi
Implementasi Penuh
0,4678
0,4412
0,5613
1,4704
0,4349
0,4101
0,3219
1,1670
0,0973
0,1487
0,1167
0,3627
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Jumlah
218
Tabel 5.114
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Pengelolaan Keuangan dan Peran Lembaga Keuangan
Faktor
Bobot Lokal
Ranking
Bobot Global
Implementasi Penuh
0,4901
0,0302
Implementasi Selektif
0,3890
0,0240
0,1209
0,0074
Tidak Ada
Implementasi
Implementasi
Implementasi
Tidak Ada
Penuh
Selektif
Implementasi
1,0000
0,9891
4,5839
1,0111
1,0000
4,0613
0,2182
0,2462
1,0000
2,2292
2,2353
9,6452
219
Tabel 1.116
Matrik Priority Vector Alternatif
Untuk Faktor Pemberdayaan SDM dan Peran Pemerintah
Peran Pemerintah
Implementasi Implementasi
Penuh
Selektif
Tidak Ada
Jumlah
Implementasi
Implementasi Penuh
0,4486
0,4425
0,4753
1,3663
Implementasi Selektif
0,4535
0,4474
0,4211
1,3220
0,0979
0,1102
0,1037
0,3117
Tidak Ada
Implementasi
Ranking
Bobot Lokal
Bobot Global
Implementasi Penuh
0,4554
0,0660
Implementasi Selektif
0,4407
0,0638
0,1039
0,0150
220
Tabel 5.118
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Untuk Faktor Pemberdayaan SDM dan Peran Asosiasi
Peran Asosiasi
Implementasi
Implementasi
Tidak Ada
Penuh
Selektif
Implementasi
Implementasi Penuh
1,0000
1,0252
4,5839
Implementasi Selektif
0,9754
1,0000
3,0035
0,2182
0,3329
1,0000
Jumlah
2,1936
2,3582
8,5874
Implementasi Implementasi
Tidak Ada
Jumlah
Penuh
Selektif
Implementasi
Implementasi Penuh
0,4559
0,4348
0,5338
1,4244
Implementasi Selektif
0,4447
0,4241
0,3498
1,2185
0,0995
0,1412
0,1164
0,3571
221
Tabel 5.120
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Pemberdayaan SDM dan Peran Asosiasi
Faktor
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Implementasi Penuh
Implementasi Selektif
0,4748
0,4062
0,0247
0,0211
1
2
0,1190
0,0062
Implementasi
Implementasi
Tidak Ada
Keuangan
Penuh
Selektif
Implementasi
Implementasi Penuh
1,0000
0,9531
4,5839
Implementasi Selektif
1,0492
1,0000
3,4714
0,2182
0,2881
1,0000
Jumlah
2,2674
2,2411
9,0553
222
Tabel 5.122
Matrik Priority Vector Alternatif
Faktor Pemberdayaan SDM dan Peran Lembaga Keuangan
Peran Lembaga
Implementasi Implementasi
Keuangan
Penuh
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Jumlah
Implementasi Penuh
0,4410
0,4253
0,5062
1,3725
Implementasi Selektif
0,4628
0,4462
0,3834
1,2923
0,0962
0,1285
0,1104
0,3352
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Implementasi Penuh
0,4575
0,0225
Implementasi Selektif
0,4308
0,0212
0,1117
0,0055
Tidak Ada
Implementasi
223
Tabel 5.124
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Untuk Faktor Pemasaran dan Peran Pemerintah
Peran Pemerintah
Implementasi
Implementasi
Tidak Ada
Penuh
Selektif
Implementasi
Implementasi Penuh
1,0000
1,1028
4,5839
Implementasi Selektif
0,9068
1,0000
4,2613
0,2182
0,2347
1,0000
2,1249
2,3375
9,8452
Jumlah
Implementasi Implementasi
Penuh
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Jumlah
Implementasi Penuh
0,4706
0,4718
0,4656
1,4080
Implementasi Selektif
0,4267
0,4278
0,4328
1,2874
0,1027
0,1004
0,1016
0,3046
224
Tabel 5.126
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Pemasaran dan Peran Pemerintah
Faktor
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Implementasi Penuh
0,4693
0,1075
Implementasi Selektif
0,4291
0,0983
0,1015
0,0233
Tidak Ada
Implementasi
Implementasi
Implementasi
Tidak Ada
Penuh
Selektif
Implementasi
Implementasi Penuh
1,0000
0,9531
4,2613
Implementasi Selektif
1,0492
1,0000
4,5839
0,2347
0,2182
1,0000
Jumlah
2,2839
2,1712
9,8452
225
Tabel 5.128
Matrik Priority Vector Alternatif
Faktor Pemasaran dan Peran Asosiasi
Peran Asosiasi
Implementasi Penuh
Implementasi
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Implementasi Implementasi
Penuh
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Jumlah
0,4378
0,4390
0,4328
1,3096
0,4594
0,4606
0,4656
1,3856
0,1027
0,1005
0,1016
0,3048
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Implementasi Selektif
0,4619
0,0478
Implementasi Penuh
0,4365
0,0452
0,1016
0,0105
Tidak Ada
Implementasi
226
Tabel 5.130
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Untuk Faktor Pemasaran dan Lembaga Keuangan
Peran Lembaga
Implementasi
Implementasi
Tidak Ada
Keuangan
Penuh
Selektif
Implementasi
Implementasi Penuh
1,0000
2,3319
2,9672
Implementasi Selektif
0,4288
1,0000
1,4904
0,3370
0,6710
1,0000
Jumlah
1,7658
4,0029
5,4576
Implementasi Implementasi
Penuh
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Jumlah
Implementasi Penuh
0,5663
0,5826
0,5437
1,6925
Implementasi Selektif
0,2428
0,2498
0,2731
0,7657
0,1909
0,1676
0,1832
0,5417
227
Tabel 5.132
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Pemasaran dan Lembaga Keuangan
Faktor
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Implementasi Penuh
0,5642
0,2290
Implementasi Selektif
0,2552
0,1036
0,1806
0,0733
Implementasi
Implementasi
Tidak Ada
Penuh
Selektif
Implementasi
Implementasi Penuh
1,0000
0,6018
2,8942
Implementasi Selektif
1,6618
1,0000
3,1918
0,3455
0,3133
1,0000
3,0073
1,9151
7,0860
Jumlah
228
Tabel 5.134
Matrik Priority Vector Alternatif
Faktor Manajemen Produksi dan Peran Pemerintah
Implementasi Implementasi
Tidak Ada
Peran Pemerintah
Jumlah
Penuh
Selektif
Implementasi
Implementasi Penuh
0,3325
0,3142
0,4084
1,0552
Implementasi Selektif
0,5526
0,5222
0,4504
1,5252
0,1149
0,1636
0,1411
0,4196
Tabel 5.135
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Manajemen Produksi dan Peran Pemerintah
Faktor
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Implementasi Selektif
0,5084
0,0475
Implementasi Penuh
0,3517
0,0329
0,1399
0,0131
Tidak Ada
Implementasi
229
Tabel 5.136
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Untuk Faktor Manajemen Produksi dan Peran Asosiasi
Peran Asosiasi
Implementasi
Implementasi
Tidak Ada
Penuh
Selektif
Implementasi
Implementasi Penuh
1,0000
1,0252
4,5839
Implementasi Selektif
0,9754
1,0000
3,1133
0,2182
0,3212
1,0000
2,1936
2,3464
8,6972
Jumlah
Implementasi Implementasi
Penuh
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Jumlah
0,4559
0,4369
0,5271
1,4199
0,4447
0,4262
0,3580
1,2288
0,0995
0,1369
0,1150
0,3513
230
Tabel 5.138
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Manajemen Produksi dan Peran Asosiasi
Faktor
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Implementasi Penuh
0,4733
0,0211
Implementasi Selektif
0,4096
0,0183
0,1171
0,0052
Tidak Ada
Implementasi
Implementasi
Implementasi
Tidak Ada
Keuangan
Penuh
Selektif
Implementasi
Implementasi Penuh
1,0000
0,9531
4,5839
Implementasi Selektif
1,0492
1,0000
4,1110
0,2182
0,2432
1,0000
Jumlah
2,2674
2,1963
9,6949
231
Tabel 5.140
Matrik Priority Vector Alternatif
Faktor Manajemen Produksi dan Peran Lembaga Keuangan
Peran Lembaga
Keuangan
Implementasi Implementasi
Penuh
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Jumlah
Implementasi Penuh
0,4410
0,4339
0,4728
1,3478
Implementasi Selektif
0,4628
0,4553
0,4240
1,3421
0,0962
0,1108
0,1031
0,3101
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Implementasi Penuh
0,4493
0,0146
Implementasi Selektif
0,4474
0,0145
0,1034
0,0034
232
Tabel 5.142
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif
Untuk Faktor Pelayanan Publik dan Peran Pemerintah
Peran Pemerintah
Implementasi
Implementasi
Tidak Ada
Penuh
Selektif
Implementasi
Implementasi Penuh
1,0000
0,8860
4,2613
Implementasi Selektif
1,1287
1,0000
2,2746
0,2347
0,4396
1,0000
Jumlah
2,3633
2,3256
7,5359
Implementasi Implementasi
Penuh
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Jumlah
Implementasi Penuh
0,4231
0,3810
0,5655
1,3696
Implementasi Selektif
0,4776
0,4300
0,3018
1,2094
0,0993
0,1890
0,1327
0,4210
233
Tabel 5.144
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Pelayanan Publik dan Peran Pemerintah
Faktor
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Implementasi Penuh
0,4565
0,0130
Implementasi Selektif
0,4031
0,0115
0,1403
0,0040
Implementasi
Implementasi
Tidak Ada
Penuh
Selektif
Implementasi
Implementasi Penuh
1,0000
0,9531
4,2613
Implementasi Selektif
1,0492
1,0000
2,6611
0,2347
0,3758
1,0000
2,2839
2,3289
7,9224
Jumlah
234
Tabel 5.146
Matrik Priority Vector Alternatif
Faktor Pelayanan Publik dan Peran Asosiasi
Implementasi Implementasi Tidak Ada
Peran Asosiasi
Jumlah
Penuh
Selektif
Implementasi
Implementasi Penuh
0,4378
0,4092
0,5379
1,3850
Implementasi Selektif
0,4594
0,4294
0,3359
1,2247
Tidak Ada Implementasi
0,1027
0,1614
0,1262
0,3903
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global faktor peran pemerintah yaitu 0,0285.
Tabel 5.147
Bobot Global Alternatif
Untuk Faktor Pengelolaan Keuangan dan Peran Pemerintah
Faktor
Bobot Lokal
Implementasi Penuh
0,4617
Implementasi Selektif
0,4082
Tidak Ada Implementasi
0,1301
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2013
Bobot Global
Ranking
0,0132
0,0116
0,0037
1
2
3
235
Implementasi Implementasi
Keuangan
Penuh
Selektif
Tidak Ada
Implementasi
Jumlah
Implementasi Penuh
0,4231
0,3810
0,5655
1,3696
Implementasi Selektif
0,4776
0,4300
0,3018
1,2094
0,0993
0,1890
0,1327
0,4210
Bobot Lokal
Bobot Global
Ranking
Implementasi Penuh
0,4565
0,0130
Implementasi Selektif
0,4031
0,0115
0,1403
0,0040
236
Tabel 5.151
Bobot Global Alternatif
Strategi Pemberdayaan Industri Kerajinan Ukiran Kayu
Sub Faktor
Alternatif Kebijakan
Implementasi Implementasi
Tidak Ada
Penuh
Selektif
Implementasi
A. Pengelolaan Keuangan
1. Pemerintah
0,5033
0,3809
0,1158
2. Asosiasi
0,4346
0,4360
0,1295
3. Lembaga Keuangan
0,4901
0,3890
0,1209
1. Pemerintah
0,4554
0,4407
0,1039
2. Asosiasi
0,4748
0,4062
0,1190
3. Lembaga Keuangan
0,4575
0,4308
0,1117
1. Pemerintah
0,4693
0,4291
0,1015
2. Asosiasi
0,4365
0,4619
0,1016
3. Lembaga Keuangan
0,4900
0,3865
0,1235
1. Pemerintah
0,3517
0,5084
0,1399
2. Asosiasi
0,4733
0,4096
0,1171
3. Lembaga Keuangan
0,4493
0,4474
0,1034
1. Pemerintah
0,4565
0,4031
0,1403
2. Asosiasi
0,4617
0,4082
0,1301
3. Lembaga Keuangan
0,4565
0,4031
0,1403
Rata - Rata
0,4574
0,4227
0,1199
B. Pemberdayaan SDM
C. Pemasaran
D. Manajemen Produksi
E. Pelayanan Publik
237
strategi selektif bukan pertumbuhan cepat. Sedangkan skenario terakhir tidak ada
implementasi dalam pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu dan dibiarkan
tumbuh stagnan dan bahkan negatif.
Implementasi strategi kebijakan pemberdayaan industri kerajinan ukiran
kayu tidak terlepas dari dukungan beberapa pihak yaitu pemerintah yang terlibat
langsung dalam pemberdayaan industri kerajinan seperti Dinas Perindustrian,
Perdagangan dan Koperasi, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah serta dinas
terkait lainnya, asosiasi usaha sebagai media komunikasi para pelaku usaha industri
kerajinan serta peran serta lembaga keuangan. Dalam menjalankan strategi
pengelolaan keuangan peran lembaga keuangan sebagai penyedia pembiayaan usaha
paling prioritas dibandingkan dengan pemerintah dan asosiasi yaitu 0,671.
Kebijakan pemberdayaan sumberdaya manusia perlu mendapatkan dukungan dari
pemerintah 0,589, asosiasi 0,212 dan lembaga keuangan 0,200. Kebijakan dalam
strategi pemasaran dengan dukungan pemerintah 0,564, asosiasi 0,255 dan lembaga
keuangan 0,180 begitu halnya dalam menjalankan strategi manajemen produksi dan
kebijakan publik, peranan pemerintah menjadi prioritas utama.
Gambar 5.17
Alternatif Skenario Masa Depan Industri Kerajinan Ukiran kayu
di Kabupaten Gianyar
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
Pada analisis balik posisi masa depan industri kerajinan ukiran kayu di
Kabupaten Gianyar dikembangkan tiga skenario implementasi yaitu implementasi
238
penuh, selektif dan tidak ada implementasi. Berdasarkan hasil analisis, implementasi
penuh menjadi prioritas utama yang dijalankan dalam pemberdayaan industri
kerajinan ukiran kayu yaitu 0,4574, implementasi selektif 0,4227 dan tidak ada
implementasi 0,1199. Skenario aksi implementasi penuh adalah melaksanakan
semua skenario optimis dan strategi pemasaran. Skenario aksi implementasi selektif
adalah melaksanakan secara selektif skenario optimis, karena kurang optimis untuk
berhasil untuk mengembangkan industri kerajinan kayu ukir. Strategi yang
digunakan strategi selektif bukan pertumbuhan cepat. Sedangkan skenario terakhir
tidak ada implementasi dalam pemberdayaan industri kerajinan ukiran kayu dan
dibiarkan tumbuh stagnan dan bahkan negatif.
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada bagian ini akan dibahas; analisis terhadap hasil studi yang dijelaskan
pada bab sebelumnya, temuan teoritis dan empiris serta keterbatasan studi.
Pembahasan dilakukan berdasarkan pada temuan teoritis maupun empiris dan
penelitian sebelumnya yang relevan dengan studi yang dilakukan.
239
240
sebesar
US$
6.758.308,96
dan 5) Japan sebesar US$ 5.513.211,29, dimana eksport Bali banyak dipasok dari
Kabupaten Gianyar (Dinas Perindustrian dan perdagangan Provinsi Bali, 2012).
Keunikan hasil ukiran seharusnya memberikan nilai tambah yang tinggi
bagi para perajin, namun pada kenyataannya tidak demikian karena keterbatasan
pelaku pada industri kecil ukiran kayu dalam menembus akses pasar internasional,
hal ini membuat para exportir dan perajin skala besar saja yang mampu
mendapatkan nilai tambah produksi yang sangat tinggi, karena harga produk
ukiran seperti ukiran patung garuda wisnu atau pintu ukiran Bali serta ukiran
tokoh-tokoh Ramayana dan mahabarata yang harganya bisa mencapai puluhan
hingga ratusan juta rupiah (sumber, perajin Bapak I Made Ade perajin dan pelaku
eksport ukiran kayu garuda wisnu dari Desa Pakuduwi Tegalalang dan Bapak
241
ketut Pradnya perajin eksportir ukiran kayu tradisional Bali seperti pintu style Bali
dan patung-patung tokoh cerita pewayangan sekaligus pemilik museum ukiran
kayu Wiswa Karma di Batu Bulan). Harga yang tinggi dari produksi ukiran kayu
ditentukan oleh tingkat keunikan dan kerumitan desain ukirannya. Kondisi ini
menunjukkan bahwa peran kemampuan mengukir perajin menjadi faktor penentu
tinggi rendahnya nilai produk ukiran kayu yang berarti bahwa dengan bahan baku
kayu yang sama dapat memberikan nilai yang berbeda-beda tergantung
kemampuan perajin ukiran dalam memberikan sentuhan ukirannya. Berdasarkan
hasil wawancara dengan perajin yang bernama I Wayan Tekek perajin dan
pemilik Galeri Manis dari Desa Mas Ubud mengatakan sebuah realita bahwa saat
ini para generasi muda di Kabupaten Gianyar mulai tidak tertarik menekuni
pekerjaan dibidang ukiran kayu. Generasi muda lebih tertarik untuk bekerja pada
sektor jasa yang banyak tersedia diKabupaten Gianyar pada khususnya dan
Provinsi Bali pada umumnya karena akan lebih cepat memperoleh uang dan tidak
perlu bekerja lebih keras untuk memahat kayu. Selain berat, pekerjaan memahat
membutuhkan konsentrasi dan inovasi yang tinggi untuk dapat menghasilkan
produk yang bernilai seni tinggi. Untuk menghasilkan satu produk tertentu
dibutuhkan waktu yang relatif lama dan setelah itu produk yang telah diselesaikan
dalam waktu lama tersebut tidak selalu bisa langsung laku terjual. Kondisi
tersebut yang membuat para generasi muda tidak tertarik untuk menekuni
pekerjaan sebagai perajin ukiran kayu ditambah dengan semakin banyaknya art
shop ukiran kayu di Kabupaten gianyar yang beralih fungsi menjadi rumah makan
semakin memperkuat keputusan para generasi muda untuk beralih ke pekerjaan
yang lain yang dapat memberikan penghasilan jauh lebih besar dan lebih cepat.
242
permodalan
juga
masih
dihadapi
oleh
perajin
dalam
243
b.
dgn
b.
Penguatan permodalan;
c.
Pembinaan manajemen;
d.
Bimbingan teknis;
e.
Pemasaran produk
3) Membantu akses
244
a.
f.
245
lembaga
layanan
pengembangan
usaha,
konsultan
dan
ketakutan perajin jika mereka tidak mampu membayar hutang maka jaminan
hutang yang berupa sertifikat rumah atau tanah akan dilelang. Kondisi ini
membuat perajin lebih memilih untuk meminjam modal secara perorangan dengan
proses yang lebih mudah walaupun ongkos berupa bunga pinjaman yang harus
246
dibayar jauh lebih tinggi dibanding yang ditetapkan lembaga keuangan bank
maupun non bank. Menurut Hafsah (2004), permodalan merupakan faktor utama
yang diperlukan untuk mengembangkan suatu unit usaha. Permasalahan
permodalan yang dihadapi UKM pada umumnya adalah usaha perorangan atau
perusahaan yang mengandalkan pada modal pemilik yang jumlahnya sangat
terbatas, sedangkan modal pinjaman yang berasal dari bank atau lembaga
keuangan lain sulit diperoleh karena persyaratan atau prosedur teknis tidak dapat
dipenuhi oleh pengusaha.
Dari sisi kelembagaan, masih kurangnya dukungan Dinas Perindustrian
dan Perdagangan dalam proses pendampingan dan pembinaan perajin ukiran
untuk pengembangan usahanya, baik melalui pelatihan sumberdaya manusia
maupun pemanfaatan tekhnologi tepat guna. Kurangnya dukungan Dinas
Pariwisata dalam proses promosi hasil kerajinan ukiran, sehingga perajin
melakukan promosi secara individu untuk meningkatkan hasil penjualannya
Kurangnya dukungan Dinas Koperasi khususnya dalam pembinaan koperasi atau
kelompok-kelompok perajin ukiran agar dapat mengembangkan usahanya melalui
menajemen kelompok. Usaha kecil yang umumnya merupakan unit usaha
keluarga memiliki jaringan usaha yang masih terbatas dan kemampuan penetrasi
pasar yang masih rendah sehingga produk yang dihasilkan relatif terbatas dan
mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Hafsah (2004).
Hasil FGD menggambarkan bahwa Pemerintah Provinsi Bali telah
membuat regulasi yang telah diterbitkan yaitu:
1. Perda No. 2 tahun 2012 tentang kepariwisataan; dan
247
248
ukiran kayu dari Kabupaten Gianyar menjadi salah satu produk unggulan yang
mengandung unsur lokalitas dan budaya yang sangat tinggi, sehingga produk ini
dapat dijadikan sebagai produk yang memiliki daya saing tinggi di pasar global
dan ini menjadi tanggungjawab seluruh komponen masyarakat.
Hasil studi ini bila dirujukkan dengan teori yang ada dan beberapa hasil
studi sebelumnya seperti yang dikemukakan oleh Michael Porter (Dalam Hill &
Jones, 1998), pada dasarnya ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi daya saing
suatu negara, yaitu:
5)
Strategi, Struktur, dan Tingkat Persaingan Perusahaan, yaitu bagaimana unitunit usaha di dalam suatu negara terbentuk, diorganisasikan, dan dikelola,
serta bagaimana tingkat persaingan dalam negerinya;
6)
7)
249
8)
daya saing internasional didasarkan pada gagasan bahwa daya saing internasional
tergantung pada pasokan tenaga kerja, modal dan sumber daya alam yang banyak
dengan harga yang murah. Teori ilmu ekonomi ini secara keliru menghubungkan
daya saing internasional sebuah Negara dengan panganugerahan faktornya.
Sumber daya yang dianugerahkan hanyalah bagian dari banyak faktor penentu.
Terdapat Negara-negara yang memiliki banyak sumber daya tetapi memiliki suatu
perekonomian yang lemah. Suatu kesalahan konsep yang lain adalah mengukur
daya saing internasional sebuah Negara dengan pangsa pasar dunianya. Suatu
negara mungkin dengan mudah meningkatkan pangsa pasarnya dengan
menurunkan harga ekspor di bawah biaya produksi, kadang-kadang melalui
subsidi pemerintah, tetapi daya saing internasionalnya tidak selalu menguat. Jadi
untuk meningkatkan kemampuan daya saing produk suatu Negara adalah dengan
selalui menjaga rantai nilai industri , membutuhkan peran aktif seluruh komponen
yang berada dalam lingkungan industri baik dari lingkungan internal maupun dari
eksternal industri.
250
memiliki
skor
lebih
besar
dibandingkan
peluang.
Kondisi
ini
251
ukiran kayu yang membuat para perajin bisa saling bekerjasama dalam
mendapatkan pasokan bahan baku, proses produksi dan pemasaran produk
dilakukan dengan saling mendukung satu dengan yang lain. Dengan kekuatan
tersebut, perajin yang tergabung dalam industri kecil akan dapat mengatasi
ancaman yang dihadapi terutama terkait dengan semakin berkurangnya pasokan
bahan baku kayu yang sebenarnya bisa diatasi melalui peran serta Pemerintah
dalam bentuk kebijakan lahan hutan ditanami dengan tanaman kayu jati yang
memiliki masa panen dengan waktu yang lebih pendek seperti jati emas, sehingga
diharapkan dalam jangka waktu panjang ketersediaan bahan baku kayu akan
selalu terjaga. Dinamika lingkungan bisnis yang terus berfluktuasi menjadi faktor
penting bagi keberlangsungan pasar ukiran kayu, terutama untuk produk ukiran
yang di ekspor. Ketergantungan ekspor pada satu atau beberapa Negara dapat
membahayakan pasar ukiran kayu, sehingga melalui pemerintah
yang
252
253
254
dan mengadakan kerjasama dengan travel agent yang ada di luar negeri. Bidang
pemasaran bagi UKM dilakukan secara tidak langsung melalui penyediaan
anggaran yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) dan
anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) provinsi yaitu melalui
penyelenggaraan pameran dalam upaya meraih pasar, memberikan bantuan
perkuatan
kepada
kelompok/sentra
kerajinan
yang
berorientasi
ekspor,
dengan
Badan
pengembangan
Ekspor
Nasional
Departemen
255
256
257
b.
Pemberian
sistem
insentif
pajak
dan
kemudahan
untuk
2.
258
masa lalunya;
(c).
259
3.
berinovasi
dan
menciptakan
lapangan
kerja
serta
c.
berorientasi
ekspor;
dan
dukungan
penelitian
dan
kelompok
industri
melalui
wadah
koperasi
dengan
260
f.
4.
akses
pasar,
dan
pengembangan
sistem
informasi
serta
infrastruktur.
Strategi kebijakan tersebut selanjutnya diwujudkan dalam berbagai program
diantaranya:
a.
261
lembaga-lembaga
pendukung
pengembangan
industri
kewirausahaan
dan
kewirakoperasian
serta
ditempuh
melalui
pelatihan
perencanaan
dan
strategi
262
263
Kalimantan. Sulitnya bahan baku ini menimbulkan harga kayu dan biaya
transportasi yang mahal. Sebagaimana diungkapkan dalam teori rantai nilai
Porter, bahwa semakin panjang rantai hulu hilir yang dibangun dalam suatu
industri, maka akan menimbulkan biaya yang tinggi (Hill & Jones, 1998),
namun berbeda dengan rantai hulu hilir pada industri kerajinan ukiran kayu
yang terdiri dari pemasok, perajin dan konsumen akhir, tetapi biaya produksi
juga tinggi yang disebabkan oleh kondisi daya tawar tawar pemasok yang
lebih kuat mengakibatkan nilai tambah yang dinikmati oleh perajin relatif
lebih kecil dibandingkan dengan nilai tambah yang dinikmati oleh pemasok.
2) Hasil temuan melalui analisis SWOT menunjukkan bahwa faktor kekuatan
yang dimiliki industri kerajinan ukiran kayu lebih besar dibandingkan dengan
kelemahannya. Namun pada kenyataan, industri kerajinan ukiran kayu banyak
menghadapi kelemahan seperti akses informasi pasar yang masih kurang
sehingga penjualan produk untuk pasar yang lebih luas maupun pasar ekspor
hanya bisa diakses oleh perajin tertentu (skala besar), selain itu
berkembangnya teknologi informasi sebagai pendukung aktivitas promosi dan
penjualan juga tidak mampu diakses oleh sebagian besar perajin.
3) Hasil temuan yang terkait dengan strategi pemberdayaan menunjukkan bahwa
industri kerajinan ukiran kayu di Kabupaten Gianyar mengalami banyak
keterbatasan mulai dari ketidaktahuan dan ketidakmampuan perajin dalam
mengakses
modal
yang
disediakan
oleh
pemerintah,
terbatasnya
264
berbeda dengan rantai hulu hilir pada industri kerajinan ukiran kayu yang
relative pendek tetapi biaya produksi juga tinggi dan nilai tambah yang
dinikmati oleh produsen atau perajin menjadi kecil. Jadi bukan panjang
pendeknya mata rantai, tetapi sangat ditentukan oleh seberapa besar
ketergantungan perajin terhadap input. Disamping itu juga ditentukan oleh
seberapa besar informasi pasar yang diketahui oleh perajin. Kalau terjadi
distorsi informasi pasar, maka teori rantai nilai dari Porter tidak bisa berlaku
sepenuhnya. b) Teori migrasi yang dikemukakan oleh Lewis, bahwa akan
terjadi perpindahan tenaga kerja dari desa ke
265
266
research,
sehingga
dapat
diketahui
secara
mendalam
tentang
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1
Simpulan
Dari integrasi tiga model analisis yang di gunakan dalam penelitian
(Pemerintah)
kuat
namun
menghadapi
tantangan
yang
besar,
hasil
ini
267
268
7.2
Saran
dapat
mengambil
beberapa
kebijakan
terkait
dengan
269
jiwa
kewirausahaan
sejak
dini
melalui
kurikulum
270
dan pemerintah
DAFTAR PUSTAKA
Aaker A., Kumar V. and Day G. S. 2001. Marketing Research. Seventh Edition.
New York: John Wiley & Sons. Inc.
Abimanyu, A. 1994. Orientasi Usaha dan Kinerja Bisnis Konglomerat. Makalah
dalam Seminar Nasional Mencari Keseimbangan Antara Konglomerat dan
Pengusaha Kecil-Menengah di Indonesia: Permasalahan dan Strategi,
Dies Natalis STIE Widya Wiwaha, Yogyakarta, 30 April.
Aleke-Dondo, C. 1997. Evolution and Experience of Credit Programs for SmallScale Enterprices. In Cleaner Production and Small Enterprise
development in Kenya, ed. Frijns, J. & Malombe, J. M., p. 61 66
Antara, M. 2003. UKM Motor Penggerak Perekonomian di Era Otonomi
Daerah. Makalah
Atmojo, W.T., dkk. 2007. Pariwisata dan Kerajinan Kayu di Gianyar Bali
Kelangsungan dan Perubahannya. Artikel. Universitas Negeri Medan.
Pp. 1-11
Arsyad, Lincolin. 2004. Ekonomi Pembangunan, cetakan ke-2, Yogyakarta:
Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.
Arsyad, Lincolin. 2010. Pembangunan Ekonomi, Unit Penerbit STIM YPKN
Yogyakarta , Edisi 5
Azis, I. J. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Badan Perencanaan Pembangunan Propinsi Bali 2001. Program Pembangunan
Daerah Propinsi Bali Tahun 2001-2005.
Badan Pusat Statistik Propinsi Bali .2001. Tabel Input-Output Pariwisata Bali
2000. Kerjasama Bappeda Bali dengan Badan Pusat Statistik Propinsi
Bali.
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 20012006, Survey Industri Besar dan
Menengah tahunan.
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2004, Laporan perekonomian indonesia.
Bazan, L. & Navas-Aleman, L. 2001. Comparing in Chain Governance and
Upgrading Patterns in the Sinos Valley, Brazil. Unpublished paper presented
271
272
Bernroider, Edward, 2002, Factors in SWOT Analysis Applied to Micro, Smallto-Medium, and Large Software Enterprises: An Austrian Study, Journal of
European Management Journal Vol. 20, No. 5, pp. 562573,
Berry, A., et al. 2001. Small and Medium Enterprises Dynamics in Indonesia.
Bulletin of Indonesia Economic Studies. Vol 37. No.3 Dec 2001.
Brata, A. G. 2003. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Tahun II No 8, Nopember.
Bishop, Sangeta, and Parrott, Christine
Macroeconomic/Microeconomic; Publisher
York.
Cooper, Donald R., and Emory, William. 1995. Business Research Methods. Fifth
Edition, USA: Irwin R.D.,Inc.
Carillo, Maria Rosario,2002 : Human capital formation in the new growth theory :
the role of social factors. http://growth book2.ec.unipi.it/papers
Libro/Carillo.pdf.
, and Lybrand. 1996. European Value Chain Analysis Study.
Europe: ECR Europe
, and Slagmulder. 1999. Supply Chain Development for the Lean
Enterprise, Productivity. Portland: OR
David, F. R. 1997. Strategic Management, 6th Edition. New Jersey: Prentice Hall
Englewood Cliffs.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Bali. 2009. Rencana Strategi
Propinsi Bali Tahun 2009-2013. Bali.
2011. Realisasi Ekspor Daerah Bali Periode 2009-2011. Bali.
Dekker, H. C., & Van Goor, A. R. 2000. Supply Chain Management and
Management Accounting: A Case Study of Activity-Based Costing.
International J. Logist: Res. Appl. 3, 41 52
273
Bapenas.
274
275
276
277
Siagian. 1982. Pembangunan ekonomi dalam cita-cita dan realita. Digital Library
of
State
University
of
Malang
http://library.um.ac.id/freecontents/printbook1.php/koleksi-digital-perpustakaan-21103.html
Soebagiyo, D. dan Wahyudi, M. 2008. Analisis Kompetensi Produk Unggulan
Daerah Pada Batik Tulis dan Cap Solo di Dati II Kota Surakarta. Jurnal
Ekonomi Pembangunan. Vol. 9. No. 2. Desember. p 184-197.
Suarja, Wayan AR., 2007. Prospek Pengembangan Kredit Usaha Rakyat dalam
Mendukung Pemberdayaan UMKM dan Koperasi. Jakarta: Harian Media
Indonesia tanggal 23 Nopember 2007.
Sueyoshi, T., Shang, J., & Chiang, W. 2009. A Decision Support Framework for
Internal Audit Prioritization in Rental Car Company: Combined Use
between DEA and AHP. European Journal of Operational Research, 199
(1), p. 219 231.
Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung:
Refika Aditana.
Syarif, Umar, 1983. Metode Statistik. Edisi Keenam. Bandung: Penerbit Tarsito.
Slovins Formula Sampling Techniques, www.eHow.com, Education- Tembolok
diunduh 6 Juni 2012.
Tambunan, T. 1999. Perkembangan Industri Skala Kecil di Indonesia. Jakarta:
PT. Mutiara Sumber Widya.
. 2003. Strategi Industrialisasi Berbasis Usaha Kecil Menengah. Media
Mahardhika, Vol. 1 Nomor 2 Januari: 1 - 9.
. 2012. Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Indonesia (Isu-isu
Penting). Jakarta: LP3ES.
Todaro, Michael P. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Jilid II,
diterjemahkan oleh Burhanudin Abdullah. Jakarta: Erlangga.
Thoha, M. 2000. Pengembangan Ekonomi Kerakyatan : Kekuatan, Kelemahan,
Tantangan dan Peluang dalam Indonesia Menapak Abad 21, Kajian
Ekonomi Politik, Jakarta: IPSK-LIPI.
Thompson Jr, Arthur A. and Strickland III, A.J. 2003. Strategic Management,
Concept and Case. New York: Mc. Graw Hill Comapanies Inc.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha
Mikro, Kecil, Dan Menengah.
278