Está en la página 1de 38

Sintesis Senyawa Bis (1,2 Difenilfosfino) Etana dalam Pelarut Dietileter Kering

(Saur Lumban Raja)

SINTESIS SENYAWA BIS (1,2 DIFENILFOSFINO) ETANA


DALAM PELARUT DIETILETER KERING
Saur Lumban Raja
Departemen Kimia FMIPA
Universitas Sumatera Utara
Jln.Bioteknologi No.1 Kampus USU Medan
Abstrak
Senyawa bis (1,2- difenilfosfino) etana (DFFE) telah disintesis dari reaksi litiasi kloro difenilfosfina dengan 1,2dibromo etana dalam pelarut dietileter kering pada suhu (dry ice acetone) yaitu -20oC . Hasilnya direkristalisasi
dengan etanol kering yang menghasilkan padatan putih. Titik leburnya 1390C. Hasil dikarakterisasi dengan
spektrofotometer FT-IR dan 1H-NMR. Semua reaksi dilakukan dalam kondisi gas nitrogen.
Kata kunci: Litiasi , Pelarut Kering, Dry Ice Acetone

PENDAHULUAN

Hampir semua reaksi-reaksi yang


penting dalam industri, terutama dalam
bidang petrokimia, dilakukan dengan
bantuan katalis di mana katalis tersebut
biasanya adalah logam-logam transisi
ataupun senyawa- senyawanya.
Indonesia memiliki sumber gas alam
dan minyak bumi yang cukup besar, tetapi
masih memiliki nilai ekonomis yang
rendah, sehingga perlu dikonversi untuk
meningkatkan nilai ekonomisnya, di mana
dalam prosesnya diperlukan suatu katalis
untuk meningkatkan suatu produk lain
yang bernilai guna. Seperti etilena, yang
dapatdiubah menjadi -olefin linier yang
lebih tinggi melalui Shell Higher Olefin
Process (SHOP) yang berguna dalam
pembuatan detergen , minyak pelumas, dan
berbagai produk lainnya (Peuckert, M. dan
Keim, W., 1983).
Dalam beberapa dekade belakangan
ini, banyak penelitian telah dilakukan
untuk memanfaatkan logam transisi
golongan VIII sebagai katalis dalam proses
transformasi senyawa kimia di industri dan
biasanya katalis yang paling aktif adalah
deret pertama dan kedua.

Selain itu pemakaian senyawa fosfina,


baik sebagai zat pereaksi maupun sebagai
katalis dalam berbagai reaksi kimia
organik serta sebagai ligan pada komplekskompleks anorganik telah lama dipelajari
(Wada, M. dan Higashizaki, S., 1984.
Senyawa fosfina, PR3, banyak digunakan
sebagai katalis dalam berbagai reaksi
kimia, karena gugus R pada senyawa
tersebut sangat mempengaruhi produk
reaksi, baik dari segi hasil maupun
keselektifan reaksinya, sehingga dengan
memvariasikan gugus R akan dapat
membentuk senyawa fosfina yang berbedabeda (Sembiring, S.B., 1994).
Kompleks logam transisi dengan
fosfina tersier dapat mengkatalisis berbagai
reaksi kima, seperti kompleks [PdCl2
DFFM] yang telah lama dipakai sebagai
katalis untuk oksidasi stirena yaitu
pembentukan senyawa olefin (Bull, 1995).
Ligan bis (1,2-difenilfosfino) etana
telah berhasil disintesis dengan melitiasi
klorodifenilfosfina, PPh2Cl, dalam THF
kering dengan 1,2 dibromoetana di mana
dibromoetana ini dihasilkan dari reaksi
antara etilena glikol, fosfor merah, dan
bromin (Hutapea, E., 2001).

58

Jurnal Sains Kimia


Vol. 10, No.2, 2006: 5861

Liganbis (2,5-dimetoksi fenilfosfina)


juga telah disintesis dari reaksi litiasi
butilbromida dengan 2,5 dimetoksi fenil
dan dilanjutkan dengan penambahan
diklorofenilfosfina dalam pelarut dietileter
kering (Lumban Raja, S., 1998).
BAHAN DAN METODA
Pembuatan Bis (1,2-Difenilfosfino) Etana
Bis (1,2-difenilfosfino) etana disintesis
dari reaksi klorodifenilfosfina dilanjutkan
dengan penambahan 1,2 dibromo etana
dalam pelarut dietileter kering pada suhu
(dry ice acetone) sekitar -20oC, lalu
dikristalisasi dengan etanol kering dan
diuji titik leburnya.
Seluruh reaksi dijaga dalam kondisi
gas nitrogen Ultra High Pure (UHP)
dengan menggunakan peralatan Schlenk
melibatkan
pembentukan
Linekarena
senyawa-senyawa yang sifatnya pyrophoric.
Hasil yang terbentuk dikarakterisasi
dengan menggunakan spektrofotometer
FT-IR dan 1H-NMR.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Bis (1,2-Difenilfosfino) Etana
Sintesis senyawa bis (1,2-difenilfosfino)
etana dapat dilakukan dengan cara
melitiasi klorodifenilfosfina (PPh2Cl)
dalam pelarut THF kering pada suhu 0oC,
kemudian direfluks pada suhu 70 80oC
menghasilkan senyawa litium difenilfosfina
(LiPPh2). Senyawa ini kemudian direaksikan
dengan 1,2-dibromoetana (Hutapea, E.,
2001).
Pada sintesis bis (1,2-difenilfosfino)
etana dalam penelitian ini, telah diadopsi
metode yang dilakukan oleh Hutapea, E.,
(2001) dengan mengganti THF kering
menjadi dietileter kering. Mula-mula

59

klorodifenilfosfina (PPh2Cl) dilitiasi dalam


suhu dry ice acetone yaitu pada suhu
-20oC. Hasil yang diperoleh berupa larutan
kuning yang selanjutnya disaring dan
diambil filtratnya. Filtrat yang diperoleh
direaksikan dengan 1,2-dibromoetana dan
distirer terus menerus selama 8 jam di
bawah pengaruh gas nitrogen. Endapan
putih yang terbentuk kemudian direkristalisasi
dalam atanol dan memiliki titik lebur
139oC .
Ada hal yang kontras diperoleh, yaitu
penggantian pelarut THF kering menjadi
dietieter kering ternyata tidak menghasilkan
larutan berwarna merah melainkan larutan
berwarna kuning dari senyawa litium
difenilfosfino (PPh2Li). Walaupun warna
ini berbeda dengan yang menggunakan
THF kering, namun reaksinya dengan
senyawa 1,2-dibromoetana tetap menghasilkan
bis (1,2-difenilfosfino) etana.
Reaksi:
Eter kering
2Li + PPh2Cl

LiPPh2 +
dry ice-acetone
LiCl

Eter kering
2LiPPh2 + Br-CH2-CH2-Br
-

20o C

2LiBr + Ph2P-CH2-CH2-PPh2
Bis (1,2-difenilfosfino) etana
Ligan ini telah dikarakterisasi dengan
spektrofotometer FT-IR dan 1H-NMR.
Spektrumnya ada dalam gambar berikut:

Sintesis Senyawa Bis (1,2 Difenilfosfino) Etana dalam Pelarut Dietileter Kering
(Saur Lumban Raja)

Gambar 1 Spektrum FT-IR dari Bis (1,2-Difenilfosfino) Etana

Gambar 2 Spektrum 1H-NMR- dari Bis (1,2-Difenilfosfino) Etana

Dari spektrum inframerah (Gambar 1)


terlihat adanya pita-pita serapan pada
bilangan gelombang 3078,2 cm-1; 3057,0 cm-1;
1637,5 cm-1; 1593,1 cm-1; 1465,8 cm-1;
1485,1 cm-1, dan 694 cm-1 didukung oleh
spektrum 1H-NMR (Gambar 2) adanya
pergeseran kimia pada 0,9 ppm; 1,4
ppm; 2,6 ppm; 4,0 ppm; 4,6 ppm;
6,0 ppm; 7,3 ppm, dan 7,9 ppm.
Pita serapan infra merah pada bilangan
gelombang 3078,2 cm-1 dan 30,57 cm-1
merupakan serapan khas vibrasi streching
simetris dan asimetris gugus C-H aromatik
dan ini didukung pita serapan pada
bilangan gelombang 694,3 cm-1 (Silverstein,
1986). Pita serapan pada bilangan
gelombang 1637,5 cm-1 dan 1593,1 cm-1
merupakan serapan khas dari vibrasi
streching gugus C=C aromatik (Pavia,
1979 dan Silverstein, 1986). Pita serapan
pada bilangan gelombang 1465,8 cm-1
1485,1 cm-1 menunjukkan adanya serapan

inframerah P-C aromatik (Silverstein,


1986).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa serapan yang dihasilkan
jelas mengandung gugus-gugus C-H
aromatik, P-CH2 dan P-C aromatik. Semua
gugus-gugus tersebut ternyata sesuai
dengan gugus-gugus yang terdapat dalam
bis (1,2-difenilfosfino) etana.
Kemudian dari data spektrum 1H-NMR
diketahui bahwa pergeseran kimia pada
daerah 7,9 ppm; 7,3 ppm, dan 6,0 ppm
menunjukkan proton-proton dari fenil. Hal
ini didukung dengan puncak-puncak yang
menunjukkan puncak yang multiplet
(Kemp, W., 1987). Pergeseran kimia pada
daerah 7,9 ppm disebabkan oleh proton
aromatik tersubstitusi H3,4,5. Sedangkan
pergeseran kimia pada daerah 7,3 ppm
dan 6,0 ppm disebabkan oleh proton
aromatik H2,4 (Silverstein, 1986). Namun,
puncak spektrum dari proton CH2 tersebut
60

Jurnal Sains Kimia


Vol. 10, No.2, 2006: 5861

seharusnya memberikan puncak doublet,


pada data ini hanya terlihat puncak
spektrum singlet yang relatif lebar. Hal ini
kemungkinan
disebabkan
tumpang
tindihnya puncak spektrum dari protonproton sejenis dan resolusi produk yang
kurang sempurna. Kemudian pergeseran
kimia pada 0,9 ppm menunjukkan proton
dari CH3 (Pavia, 1979). Pergeseran kimia
pada daerah 2,6 ppm dan 4,6 ppm
menunjukkan proton dari CH2-OH yang
berasal dari pelarut alkohol dan dietileter
yang digunakan.
Dari keseluruhan uraian di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa bis (1,2difenilfosfino) etana telah terbentuk,
walaupun hasil yang diperoleh belum
begitu murni. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh pengeringan produk akhir
yang kurang sempurna.
KESIMPULAN

Senyawa bis (1,2-difenilfosfino) etana


dapat disintesis melalui reaksi litiasi
klorodifenilfosfina, PPh2Cl , diikuti dengan
penambahan 1,2-dibromoetana, (CH2)Br2
dalam pelarut dietileter kering pada suhu
(dry ice-acetone) sekitar -20oC.
DAFTAR PUSTAKA
Bull and Korem (1995). Catalytic Activities of Pd
(II), Pd (i) and Pd (0) diphophine Complexes
for Styrene Oxidation; J.Chem. Soc, 76,
201.
Clark, P. W., (1979) Preparation of Tertiary
Phosphine Using a Comnenient form Lithium
Diphenylphosphine; Organic Prep. And
Pocedures, Inc., 11. 105.
Hutapea, E. B., (2001), Sintesis Senyawa Bis (1,2Difenilfosfino) etana Skripsi S-1, FMIPAUSU.
Kemp, W., (1987), Organic Spectroscopy second
Edition, Mac Millan Publisher Ltd, London.
Lumban Raja, S., (1998) Sintesis Kompleks
Paladium (II) dengan Ligan bis (2,5Dimetoksifenil) Fenilfosfina, Tesis Pasca
Sarjana, PPS-USU.

61

Pavia, D. L., Lampman, G. M. and Kriz, G. S.,


Introduction to Spectroscopy: A Guide for
Students of Organic Chemistry Sanders
College, Philadelpia.
Pekert,
M.
and
Keim,
W.,
(1983),
Orgonometallic,
Mc
Graw
Hill
Publishers, Co., New York.
Sembiring, S. B., (1994), Sintesis Kompleks
Dimetoksi Toluil Difenil Fosfina dengan
Paladium (II) dan Platinium (II), Lembaga
Penelitian USU, Volume 4, Medan, 30.
Silverstein, R. M. Basser, G. C. and Masrill, T. C.,
(1991), Spectrometric Identification of
Organic Compound, Fifth Edition, Jhon
Wiley & Sons, Inc, New York.
Wada, M. and Higashizaki, S., (1994), A Highly
Basic Triphenyl Phosphine, [2,4,6
(MeO)3C6H2]3P; J.Chem, Soc.
Chem,
Com., 182, 482.

Studi Pembuatan Briket Arang dari Cangkang Kemiri dengan Variasi Ukuran Partikel
(Junifa Layla Sihombing)

STUDI PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI CANGKANG


KEMIRI DENGAN VARIASI UKURAN PARTIKEL
ARANG DAN KONSENTRASI PEREKAT
Junifa Layla Sihombing
Jurusan Kimia FMIPA
Universitas Negeri Medan
Jl. Willem Iskandar, Pasar V, Medan Estate, Medan 20221
Abstrak
Briket arang dari cangkang Kemiri dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif. Briket arang dibuat melalui
beberapa tahapan yaitu: pengarangan, penggilingan, pengayakan, pencampuran dengan perekat, pencetakan dan
pengeringan. Pada pembuatan briket arang dari cangkang kemiri digunakan perekat kanji dengan variasi
konsentrasi 10%, 20%, dan 30% dengan ukuran partikel arang: 20, 40, dan 60 mesh. Karakteristik mutu briket
arang yang diamati meliputi nilai kalor dan juga kuat tekan.
Kata kunci: Briket Arang, Bahan Bakar, Cangkang Kemiri

PENDAHULUAN

Di Indonesia, tempurung kemiri


(Aleurites moluccana Wild), merupakan
hasil samping pengolahan biji kemiri.
Limbah pangan ini belum dimanfaatkan
secara optimal. Melihat kesamaanya
terhadap tempurung kelapa, tempurung
kemiri diperkirakan dapat dipergunakan
sebagai bahan baku pembuatan arang dan
arang aktif. Dalam hal ini sifat kimianya
menyerupai tempurung kelapa, teksturnya
keras dan diduga memiliki kandungan
bahan kayu seperti lignin, selulosa dan
hemiselulosa yang tinggi. Tempurung
kemiri dapat terbakar pada udara terbuka
sebagaimana
tempurung
kelapa.
(Reksowardjo, 1999)
Adanya limbah menimbulkan masalah
penanganannya yang selama ini dibiarkan
memburuk, ditumpuk dan dibakar yang
dampaknya berakibat buruk terhadap
lingkungan hidup sehingga penanggulangannya
perlu dipikirkan. Salah satu jalan yang
dapat ditempuh adalah memanfaatkannya
menjadi produk yang bernilai tambah
dengan teknologi aplikatif dan kerakyatan

sehingga hasilnya mudah disosialisasikan


kepada rakyat (Pari, G., 2003).
Arang briket merupakan arang yang
berbentuk padat yang terbuat dari arang
atau serbuk arang yang direkatkan
kemudian dimampatkan sambil dipanaskan
baru selanjutnya diarangkan. Arang yang
berbentuk pasat, sifat fisiknya meningkat
misalnya kerapatan, oleh konsumen yang
menginginkan arang dengan kualitas yang
tinggi dan sesuai dengan standar ekspor.
Prospek pengembangan industri arang
briket di Indonesia sebenarnya cukup baik
karena bahan baku banyak tersedia, baik
berupa limbah serbuk kayu dari industri
penggergajian dan kayu lapis serta
ketersediaan kayu dari limbah hasil
pertanian terutama kelapa dan kelapa
sawit. (Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, 1994).
BAHAN DAN METODE
Alat
Alat yang digunakan gelas beaker,
cawan, batang pengaduk, lumpang dan alu,
ayakan 20, 40, dan 60 mesh, hot plate,
neraca analitis, oven, tungku pembakaran,

62

Jurnal Sains Kimia


Vol. 10, No.2, 2006: 6266

mesin penekan, alat uji nilai kalor type:


tecquipment MS-61-015, dan alat untuk uji
kuat tekan type: MFG SC-2DE.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah
cangkang kemiri, kanji, dan air.
Metode
Pembuatan Arang
1. Cangkang kemiri yang sudah dikeringkan,
dibakar ditungku pembakaran selama
8 jam.
2. Arang cangkang kemiri kemudian
digiling dan diayak dengan ukuran
paritikel 20, 40, dan 60 mesh.
Pembuatan Perekat Kanji
1. Pembuatan perekat kanji dengan
konsentrasi (10%, 20% dan 30%)
didasarkan pada jumlah keseluruhan
dari berat campuran yang akan dicetak
yaitu 80 g.
2. Untuk konsentrasi kanji 10% yaitu
10% dari 80 g sama dengan 8 g
sementara berat arang yang dipergunakan
adalah 80 g dikurang dengan 8 g jadi
sekitar 72 g.
3. Kemudian kanji tersebut dilarutkan
dalam air secukupnya lalu dipanaskan
sambil diaduk sampai terbentuk gel.
4. Dilakukan hal yang sama untuk
membuat perekat dengan konsentrasi
20% dan 30%.
Pembuatan Briket Arang
1. Arang cangkang kemiri yang sudah
digiling dengan ukuran partikel 20, 40,
60 mesh ditimbang .
2. Kemudian arang dicampur dengan
perekat kanji dengan konsentrasi 10%
kemudian diaduk sampai homogen.
3. Campuran tersebut dimasukkan ke
dalam alat cetak dan dipampatkan
(ditekan) dengan mesin penekan
dengan kekuatan 100 kg.

63

4. Briket
arang
yang
diperoleh
dikeringkan di bawah sinar matahari.
5. Dilakukan hal yang sama untuk
pembuatan briket arang dengan
konsentrasi perekat 20% dan 30%.
Pengukuran Nilai Kalor
1. Ditimbang contoh uji briket arang
sebanyak 0,15 g dan dimasukkan ke
dalam cawan silika.
2. kemudian disiapkan kawat untuk
penyala dengan menggulungnya, kedua
ujungnya dihubungkan dengan batangbatang yang terdapat pada bom dan
bagian kawat spiral disentuhkan pada
bagian briket arang yang akan diuji.
3. Kemudian bom ditutup rapat, bom diisi
dengan oksigen perlahan-lahan sampai
tekanan 30 atmosfer.
4. Kemudian bom dimasukkan ke dalam
kalorimeter yang telah diisi air
sebanyak 1350 ml.
5. Kemudian ditutup kalorimeter dengan
penutupnya.
6. Dihidupkan pengaduk air pendingin
selama 5 menit sebelum penyala
dilakukan, lalu dicatat temperatur air
pendingin.
7. Kemudian kawat dinyalakan dengan
menekan tombol yang paling kanan.
8. Air pendingin terus diaduk selama 5
menit setelah penyalaan berlangsung,
kemudian dicatat temperatur akhir
pendingin.
9. Dari hasil pengukuran perubahan
temperatur air pendingin, maka nilai
kalor dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut:

Nilai Kalor (kal/g) = (T2 T1 0,05) x


Cv x 0,239 kal
Keterangan:
T2 = Temperatur air pendingin setelah
penyalaan (oC)
T1 = Temperatur air pendingin sebelum
penyalaan (oC)

Studi Pembuatan Briket Arang dari Cangkang Kemiri dengan Variasi Ukuran Partikel
(Junifa Layla Sihombing)

beban 100 kg dengan kecepatan 10


mm/menit.
3. Dicatat data yang tertera pada layar
monitor (Display).
4. Dari nilai beban patah yang diperoleh,
maka kuat tekan ditentukan dengan
rumus sebagai berikut:

Cv = Panas jenis bom Kalorimeter


(73529,6 J / g oC)
Kenaikan temperatur akibat kawat penyala:
0,05 oC
Pengujian Kuat Tekan (SNI 03 0580
1989)
1. Disiapkan benda uji dengan ukuran 5
cm x 2 cm x 2 cm (panjang x lebar x
tinggi).
2. Kemudian diletakkan pada penyangga
dengan jarak tumpu 5 cm dan diberi

Kuat tekan =

3PL
2
2 (kg/cm )
2bd

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
Data hasil pengaruh dan kondisi optimum ditunjukkan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Pengaruh Ukuran Partikel Arang dan Persen Perekat terhadap Nilai Kalor dan Kuat Tekan Briket
Arang dari Cangkang Kemiri
Persen Perekat %
Ukuran
Partikel
(mesh)

10

20

30

Nilai
Kalor
(kal/g)
7908
7908
8059

Kuat
Tekan
(kg/cm2)
43,15
18,03
28,75

Nilai
Kalor
(kal/g)
7908
7908
7205

Kuat
Tekan
(kg/cm2)
46,,07
46,08
45,80

Nilai
Kalor
(kal/g)
6854
6677
6677

Kuat
Tekan
(kg/cm2)
53,46
48,79
43,05

Jumlah
Rataan

23 875
7958,33

89,33
29,98

23.021
7673,67

137,95
45,98

20,208
6736

145,30
48,43

40

8075
8075
8259

31,91
31,32
37,68

6502
6502
6853

69,40
58,75
60,10

7205
7205
7205

53,85
42,79
45,96

Jumlah
Rataan

22309
7436,33

100,91
33,64

19857
6618

188,25
62,75

20615
7205

142,6
47,53

60

6502
6677
6677
19856
6618,67

25,43
60,89
30,09
116,41
38,80

5799
5799
6150
17748
5916

60,02
23,39
49,12
132,53
44,18

6150
6556
5259
17965
5988,30

54,72
29,85
65,17
149.74
49,91

20

Jumlah
Rataan

64

Jurnal Sains Kimia


Vol. 10, No.2, 2006: 6266
Tabel 2. Kondisi Optimum Briket Arang dari Cangkang Kemiri
Uji
Nilai Kalor
Kuat Tekan

Nilai

Ukuran Partikel

Variasi Perekat

7958,33 kal / g

20 mesh

10 %

62,75 kal/ g

40 mesh

20 %

Pembahasan
Dari data pada Tabel 1, maka diperoleh
hasil analisis sifat fisika dan kimia briket
arang dari cangkang kemiri dengan ukuran
partikel tertentu (20, 40, dan 60 mesh)
dengan bahan perekat kanji yang
konsentrasinya ditentukan (10, 20, dan
30%).
Nilai kalor briket arang semakin
meningkat dengan berkurangnya konsentrasi
perekat dan nilai kalor tertinggi terdapat
pada briket arang dengan konsentrasi 10%
dengan ukuran partikel 20 mesh. Hal ini
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tingginya nilai kalor berhubungan
dengan persen perekat partikel. Semakin
rendah persen perekat akan menyebabkan
naiknya nilai kalor hal ini disebabkan
kadar abu yang terkandung dalam perekat
kanji mempengaruhi nilai kalor briket
arang. Semakin rendah konsentrasi
perekat, maka semakin rendah pula kadar
abu yang terkandung dalam perekat
tersebut. Selain itu dengan adanya
tambahan zat yang mudah menguap dari
perekat
kanji
akan
mempengaruhi
tinnginya nilai kalor. Semakin besar
konsentrasi perekat yang digunakan, maka
zat mudah menguap cenderung semakin
besar sehingga nilai kalor briket arang
akan berkurang.
Ukuran partikel juga mempunyai
pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai
kalor briket arang, di mana semakin besar
ukuran partikel (20 mesh) maka nilai kalor
briket arang juga semakin tinggi,
sebaliknya ukuran partikel yang terlalu
halus (60 mesh) menyebabkan nilai kalor
semakin rendah. Hal ini disebabkan karena

65

ukuran partikel arang yang terlalu halus


menyebabkan pori-pori briket arang
semakin kecil sehingga air yang terdapat di
dalamnya sukar menguap selama proses
pengeringan. Menurut Tala, Lusi F. (2003)
bahwa kerapatan briket arang sangat
berpengaruh pada kadar air, semakin tinggi
kerapatan makin tinggi pula kadar airnya.
Menurut Balitbang Kehutanan (1994)
nilai kalor briket arang menurut standar
Jepang yaitu sebesar 6000 7000 kal/g,
untuk standar USA yaitu sebesar 6230 kal/g
dan standar Inggris yaitu sebesar 7289 kal/g
sedangkan menurut SNI briket batubara
terkarbonisasi (SNI-13-4931-1998) yaitu
sebesar 5500 kal/g.
Kuat tekan briket arang terbesar
terdapat pada briket arang dengan
konsentrasi perekat 20% dengan ukuran
partikel 40 mesh.
Proses pencampuran arang dengan
perekat berpengaruh terhadap kuat tekan
briket arang yang dihasilkan. Semakin
merata pencampuran semain tinggi pula
kaut tekannya. Kuat tekan briket arang
yang dihasilkan juga tergantung pada saat
pemampatan. Di mana pada saat
pemampatan perekat telah bercampur
secara merata dengan arang yang akan
lebih mudah menyebar ke seluruh pori-pori
dan permukaan briket arang sehingga akan
membantu ikatan-ikatan antara partikel dan
akan menghasilkan briket arang yang lebih
padat dan tidak mudah pecah. Menurut
Tala, Lusi F. (2003) pemampatan pada
briket arang berfungsi untuk membantu
memudahkan penyebaran perekat ke
seluruh pori-pori arang, peningkatan
tekanan pemampatan pada batas-batas

Studi Pembuatan Briket Arang dari Cangkang Kemiri dengan Variasi Ukuran Partikel
(Junifa Layla Sihombing)

tertentu cenderung meningkatkan keteguhan


tekan pada briket arang yang dihasilkan.
Penetapan kuat tekan briket arang
sangat penting untuk mengetahui seberapa
besar daya tahan briket arang yang
berpengaruh pada saat pengemasan,
pengangkutan dan pemasarannya. Briket
arang yang mempunyai kuat tekan yang
tinggi akan menandakan briket arang
tersebut tidak mudah pecah.
Apabila dibandingkan dengan hasil
penelitian, maka kuat tekan briket arang
dari cangkang kemiri sesuai dengan
standar Inggris dan SNI tetapi masih di
bawah standar Jepang dan USA.
KESIMPULAN

Dari hasil pembuatan briket arang dari


cangkang kemiri dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Semakin besar ukuran partikel, maka
semakin tinggi nilai kalor briket arang,
tetapi tidak menghasilkan nilai kuat
tekan briket arang yang besar.
2. Semakin besar persen perekat yang
digunakan, maka nilai kalor semakin
menurun tetapi menghasilkan nilai kuat
tekan yang besar.
3. Nilai kalor dan kuat tekan dipengaruhi
oleh persen perekat kanji dan ukuran
partikel.
4. Konsisi optimum dari briket arang
yang dihasilkan adalah pada ukuran
partikel 20 mesh dengan persen perekat
10%. Pada kondisi ini diperoleh briket
arang dengan nilai kalor 7958,33 kal/g
dengan kuat tekan 29,98kg/cm2.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan,
1994, Pedomam Pembautan Briket Arang,
Departemen Kehutanan No. 3.
Dellolis, G., 1982, Adhesion Theory and Review,
in Charles V. Cangle. Ed., Handbook of
Adhesive Bonding, Mc. Grow-Hill Book
Company, New York.
Gani, Ulum. A., 1995, Pengaruh Pembuatan Rang
Ganda terhadap Kualitas Briket Batubara,
Puslitbang
Geoteknologi

LIPI,
Yogyakarta.
Grover, P. D. dan Misra, 1996, Biomass
Briquetting Technology and Practicers,
Food and Agriculture Organization of
United Natuions, Bangkok.
Pari, G, 2003, Teknologi Alternatif Pemampaatan
Limbah Industri Pengolahan Kayu,
Makalah Falsapah Sains, Jakarta.
Reksowardoyo, 1999, Menunju Perwujudan Industri
Proses dengan Industri Bersih, Prosiding
Seminar Teknik Kimia, ITB, Bandung.
Rudi Harsono, A., Hartono, A. J. dan Hardjanto, D.,
1996, Memahami Polimer dan Perekat,
Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.
Sembiring, M. T. dan Tuti, S.S., 1998, Arang Aktif
Pengenalan dan Proses Pembuatannya,
karya tulis Jurusan Teknik Industri, Fakultas
Teknik USU, Medan.
Sunanto, H, 1993, Budidaya Kemiri, Komoditas
Exoport, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Surya I., dan Sembiring, M., 1990, Pengaruh Jenis
dan Kadar Bahan Pengikat terhadap Kuat
Tekan Arang Cetak, Laporan Penelitian,
Fakultas Teknik USU, Medan.
Suganal dan Yuyun, B, 1992, Briket Batubara
Ombilien, Pertambangan dan Energi, No. 2
, Jakarta.
Tala, Lusi, F., 2003, Pengaruh Persen Perekat
Kanji dan Ukuran Partikel terhadap Mutu
Briket Arang dari Cangkang Kelapa Sawit,
Laporan Penelitian FMIPA, USU, Medan.
Tono, E, 1997, Pedoman Membuat Perekat
Sintesis, Cetakan Pertama, Penerbit
Rieneka Cipta, Jakarta.

SARAN

Berdasarkan apa yang telah dilakukan


dalam penelitian ini maka perlu disarankan
untuk mempertimbanghkan berbagai faktor
lain yang mempengaruhi kuat tekan briket
arang agar diperoleh briket arang dengan
kualitas yang lebih baik.
66

Jurnal Sains Kimia


Vol. 10, No.2, 2006: 6772

PENGARUH PENAMBAHAN KITIN PROTEIN SEBAGAI ZAT


ADITIF PADA MAKANAN TERNAK UNTUK MENINGKATKAN
PERTUMBUHAN AYAM BROILER
Hendri Faisal, Harry Agusnar
Departemen Kimia FMIPA
Universitas Sumatera Utara
Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Medan 20155
Abstrak
Penelitian tentang pengaruh penambahan kitin protein sebagai zat aditif pada pakan ternak telah dilakukan. Kitin
protein dibuat melalui proses demineralisasi dengan larutan HCl 2M. Penambahan kitin protein pada pakan
ternak dalam batas 0.5 1.5% (b/b) menunjukkan perubahan pada berat badan ayam broiler. Data yang diperoleh
dianalisis secara statistik dengan analisa variansi (ANAVA). Hasil penelitian menunjukkan persentase kenaikan
pada penambahan kitin protein 1.0% (b/b) dan 1.5% (b/b) adalah sebesar 7.2% dan 29%. Pada penambahan kitin
protein 0.5% (b/b) tidak terjadi kenaikan.
Kata kunci: Kitin Protein, Zat Aditif, Pakan Ternak, Ayam Broiler

PENDAHULUAN

Prinsip daur ulang adalah pemanfaatan


limbah suatu industri menjadi bahan baku
oleh industri lain dan menghasilkan suatu
produk baru. Timbulnya kesadaran dalam
mengelola sumber daya alam yang
berkelanjutan menimbulkan minat untuk
memanfaatkan bahan-bahan alam yang
dapat
diaplikasi
secara
komersial.
Sebaiknya bahan-bahan alam ataupun
proses daur ulang tersebut tidak bersifat
racun, mampu terdegradasi secara alami
sehingga merupakan produk yang ramah
lingkungan. Bahan-bahan polimer alam
banyak didapati pada fungi, insekta, kulit
udang, kulit kepiting, kulit blangkas, dan
berbagai jenis hewan berangka luar
(Oguntimein, et al., 2002).
Di Propinsi Sumatera Utara pada
umumnya dan Kota Medan khususnya,
limbah kulit udang belum dimanfaatkan
secara maksimal, hanya sebahagian saja
yang diolah menjadi berbagai produk
seperti campuran terasi, kerupuk, dan
pakan ternak (Yunizal, et al., 2001).

67

Proses ekstraksi kulit udang menjadi


kitin merupakan proses yang sangat
sederhana (Alimuniar dan Zainuddin,
1992). Kitin adalah ikatan 1,4 dari polimer
N-asetil D-glukosamin, dan kitosan
adalah N-deasetilasi dari kitin. Keduanya
adalah polisakarida yang dihidrolisis dari
Crustacea, serangga, moluska, jamur,
diperkirakan mencapai ratusan juta ton per
tahun di bumi (Hirano, et al., 1993).
Kitin protein diperoleh dengan pemberian
asam klorida encer pada kulit udang
selama satu hari dan kemudian dicuci
dengan air hingga bersih.
Menurut penelitian Mohammad Amban
Yarmo et al. (2000) telah menggunakan
kitin protein sebagai zat aditif pada
makanan ternak untuk pertumbuhan ayam
dengan konsentrasi penambahan kitin
protein antara 0,25 0,75% di mana penelitian
tersebut tidak memberikan perubahan yang
signifikan terhadap pertumbuhan berat
badan ayam.
Berdasarkan uraian di atas peneliti
ingin melihat pengaruh penambahan kitin
protein pada pakan ternak ayam broiler
untuk meningkatkan pertumbuhannya.

Pengaruh Penambahan Kitin Protein sebagai Zat Aditif pada Makanan Ternak
(Hendri Faisal, Harry Agusnar)

BAHAN DAN METODA

Bahan
Bahan
yang
digunakan
dalam
penelitian adalah HCl pekat, akuades, kulit
udang, pakan ternak, Selenium, H2SO4
pekat, NaOH solid, H3BO3 solid, Indikator
metil merah, indikator metil biru, dan anak
ayam broiler berumur 1 hari.

Metode
Kitin protein diperoleh dengan
menggunakan metode Hackman, 1954.
Kandungan kalsium karbonat dibuang dengan
penambahan HCl 2M ke dalam kulit udang.
Biarkan selama 24 jam dengan pengadukan
sekali-sekali. Kemudian dicuci beberapa kali
dengan air bersih sampai pH netral dan
dikeringkan. Kitin protein dianalisis gugus
fungsinya dengan spektroskopi FT-infra
merah dan dianalisa kandungan proteinnya
dengan metode Kjeldahl. Pencampuran
makanan ayam dan kitin protein dilakukan
dengan metode fisik dengan menggunakan
blender yang kering yaitu dengan
mencampurkan 100 gram pakan ternak
dengan kitin protein 0,5% (b/b), 1,0% (b/b),
1,5% (b/b).
Pembuatan Kitin Protein (Hackman,
1954)

Sampel kulit udang dicuci lalu


dikeringkan.
Direndam dalam larutan HCl 2 M
selama 24 jam dengan pengadukan
berkali-kali.
Dicuci dengan air bersih sampai pH
netral.
Dikeringkan pada suhu kamar.
Kitin protein yang dihasilkan dianalisa
gugus fungsinya dengan instrumentasi
spektrofotometri infra merah dan
dianalisa kadar proteinnya.

Analisa Kadar Protein


- Ditimbang 0,1 g sampel dan dimasukkan
ke dalam labu Kjeldahl.

Setelah itu ditambahkan 0,3 g selenium


dan 2,5 mL H2SO4 pekat.
Sampel didekstruksi dalam tabung
reaksi menggunakan Kjeldahl term
pada suhu 400oC sehingga larutan yang
ada di dalam tabung menjadi jernih.
Ditambahkan 50 mL akuades,
dipindahkan sampel tersebut ke dalam
tabung destilasi, ditambahkan 3 tetes
indikator fenolftalein dan juga 5 mL
NaOH 40%.
Disediakan penampung hasil destilat
berupa labu erlenmeyer yang berisi 5
mL H3BO3 3% yang telah dicampur
indikator tashiro dan ditambah 30 mL
akuades.
Dipasang tabung destilasi pada alat
destilasi,
kemudian
diletakkan
penampung destilat pada tempatnya.
Lalu dilakukan destilasi sampai
diperoleh destilat berwarna hijau muda.
Destilat dititrasi dengan HCl 0,01 N
sampai terbentuk warna merah
lembayung.
Dicatat volume titran dan ditentukan %
N.

Penyediaan Pakan
- Untuk pakan bercampur 0,5% (b/b) kitin
protein: Ditimbang pakan sebanyak
100 g dan ditambahkan dengan 0,5 g
kitin protein lalu dicampurkan sampai
homogen.
- Untuk pakan bercampur 1,0% (b/b) kitin
protein: Ditimbang pakan sebanyak
100 g dan ditambahkan dengan 1 g kitin
protein lalu dicampurkan sampai homogen.
- Untuk pakan bercampur 1,5% (b/b) kitin
protein: Ditimbang pakan sebanyak
100 g dan dicampurkan dengan 1,5 g
kitin protein lalu dicampurkan sampai
homogen.
Penimbangan Berat Badan Ayam
- Ayam broiler berumur 1 hari ditimbang
berat awal.
- Diberi pakan yang ditambah kitin
protein 0,5% (b/b).

68

Jurnal Sains Kimia


Vol. 10, No.2, 2006: 6772

- Ditimbang beratnya 3 hari sekali selama


30 hari.
- Lakukan hal yang sama untuk ayam
yang diberi pakan + kitin protein 1,0%
(b/b), pakan + kitin protein 1,5% (b/b),
dan pakan 100% (blanko).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Data hasil pengukuran dan pengaruh
penambahan zat aditif ditunjukkan pada
Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Data Hasil Pengukuran Kadar Protein (%)
pada Kitin Protein, Pakan, dan Pakan
Ditambah Kitin Protein
Kadar Protein (%)
Sampel
Rata-rata
(%)
I
II
III
A
53,50
52,50
53,00
B
20,55
20,45
20,57
C
20,65
20,65
20,75
D
20,85
20,85
20,86
E
21,24
21,10
20,99
Keterangan:
A = Kitin protein
B = Pakan ternak
C = Pakan + kitin protein 0,5% (b/b)
D = Pakan + kitin protein 1,0% (b/b)
E = Pakan + kitin protein 1,5% (b/b)

53,00
20,52
20,70
20,86
21,11

Penyediaan Kitin Protein


Penyediaan kitin protein dalam
penelitian
ini
berdasarkan
metode
Hackman (1954). Kulit udang yang bersih
dan kering direndam dengan larutan HCl
2M selama 24 jam. Perendaman dengan
HCl 2M bertujuan untuk menghilangkan
kandungan kalsium karbonat, kitin protein
basah yang diperoleh segera dilakukan
pencucian dengan air bersih sampai pH
netral dan dikeringkan pada suhu kamar.
Sedangkan penambahan NaOH tidak
dilakukan karena penambahan NaOH akan
menyebabkan terjadinya proses deproteinasi
yang mengakibatkan hilangnya kandungan
protein pada kitin tersebut.

69

Analisis Spektrum FT IR dari Kitin


Protein
Hasil analisis spektrofotometri infra
merah kitin protein diperoleh puncak
sebagai berikut:
Serapan yang berada di daerah
3406,60 cm - 1 menunjukkan adanya gugus
hidroksil (-OH). Adanya puncak di daerah
2924,35 cm-1 menunjukkan adanya ikatan
CH alifatis. Serapan yang terdapat di
daerah 1643,50 cm-1 menunjukkan pita
serapan gugus C=O suatu amida (-NHCO).
Adanya pita yang terdapat di daerah
1383,09 cm-1 menunjukkan adanya ikatan
metil (-CH3) bending dan pita serapan di
daerah 1074,45 cm-1 menunjukkan adanya
ikatan metilen (-CH2). Berdasarkan hasil
spektrofotometri ini adanya gugus (-OH),
(-CH2), (-CH3), dan (-C=O) menunjukkan
adanya kitin dalam sampel kitin protein
tersebut

Gambar 1. Spektrum FTIR Kitin Protein

Pengaruh Penambahan Kitin Protein


sebagai Zat Aditif pada Pakan Ternak
terhadap Pertumbuhan Berat Badan
Ayam Boiler
Pengujian pengaruh penambahan kitin
protein sebagai zat aditif dalam makanan
ternak untuk meningkatkan berat badan ayam
broiler dilakukan dengan mencampurkan
pakan (standar) dengan kitin protein dalam
batas 0,5% - 1,5% (b/b).

Pengaruh Penambahan Kitin Protein sebagai Zat Aditif pada Makanan Ternak
(Hendri Faisal, Harry Agusnar)

sama, pertumbuhan berat badan ayam


yang diberi pakan dengan penambahan
kitin protein menunjukkan kenaikan berat
badan yang signifikan
dibandingkan
dengan pertumbuhan berat badan ayam
yang
mengkonsumsi
pakan
tanpa
penambahan kitin protein, khususnya pada
penambahan kitin protein 1,0% (b/b).
1000
960
920
880
840
800
760
720
680

B e ra t b a d a n (g )

Dari hasil penelitian yang dilakukan


terjadi peningkatan pertumbuhan berat
badan ayam boiler yang diberi makan
dengan pakan ditambahkan kitin protein
khususnya yang ditambahkan kitin protein
1,0% dan 1,5% (b/b) jika dibandingkan
dengan yang diberi pakan tanpa penambahan
kitin protein. Berat badan ayam yang
mengkonsumsi pakan tanpa penambahan
kitin protein adalah 736,67 g (sebagai
standar), sedangkan berat badan ayam
yang mengkonsumsi pakan ditambahkan
kitin protein 1,0% dan 1,5% (b/b) adalah
950 g (terjadi kenaikan sebesar 29%) dan
790 g (terjadi kenaikan sebesar 7,2%).
Sedangkan pada ayam yang diberi pakan
ditambahkan kitin protein 0,5% (b/b) tidak
terjadi peningkatan berat badan. Mohammad
A. Yarmo, et al. (2000) melaporkan dalam
penelitiannya penambahan kitin protein
dalam makanan ternak komersial pada
batas 0,25 0,75% (b/b) sebagai zat aditif
bahwa tidak menunjukkan perubahan yang
signifikan pada berat badan, jumlah telur,
angka kematian, dan konsumsi makanan.
Kenaikan terbesar adalah pada
pertumbuhan ayam yang diberi pakan
ditambahkan kitin protein 1,0% (b/b). Hal
ini disebabkan karena persentase protein
pada pakan tersebut telah terpenuhi dan
juga kitin merupakan polimer rantai
panjang dari N-asetil D-glukosamin yang
dapat
berfungsi
sebagai
pemacu
pertumbuhan dan dapat meningkatkan
daya cerna. Kitin juga dapat membantu
dalam mencerna pakan sehingga menjadi
nutrien yang mudah diserap oleh ayam.
Dari kurva pertumbuhan berat badan
ayam broiler yang diberi makanan dengan
pakan tanpa ditambahkan kitin protein,
pakan ditambahkan kitin protein 0,5%
(b/b), pakan ditambahkan kitin protein
1,0% (b/b), dan pakan ditambahkan kitin
protein 1,5% (b/b) yang terdapat pada
Kurva 1 terlihat bahwa pada hari yang
sama dan jumlah konsumsi pakan yang

640
600
560

0,5% K

520
480

1,5% K
1,0% K

440

Blanko

400
360
320
280
240
200
160
120
80
40
0
0

12

15

18

21

24

27

30

Hari

Kurva.1. Pertumbuhan Berat Badan Ayam Broiler


dengan Variasi Pakan Ternak terhadap
Waktu (Hari)

Hasil Analisis Variansi (ANAVA)


Dari daftar ANAVA dapat dilihat
bahwa:
Fhitung sebesar 203,10 adalah lebih besar
dari Ftabel 0,05 sebesar 2,16 sehingga Ho
ditolak dan Ha diterima. Hal ini menunjukkan
adanya pengaruh penambahan kitin protein
sebagai zat aditif pada pakan ternak untuk
meningkatkan pertumbuhan berat badan
ayam broiler.

70

Jurnal Sains Kimia


Vol. 10, No.2, 2006: 6772
Tabel 2. Rancangan Acak Kelompok Pengaruh Penambahan Kitin Protein sebagai Zat Aditif pada Pakan Ternak
Hari

1
4
7
10
13
16
19
22
25
28
30
Jumlah

Pakan
100%
41.67
63.33
105
168.33
233.33
323.33
413.33
486.67
573.33
666.33
736.67
3811.66

Pakan+kitin
protein 0.5%
40
65
125
188.33
268.33
368.33
466.67
536.67
640
673.33
730
4101.66

Kelompok
Pakan+kitin
protein 1.0%
41.67
71,67
150
226.67
333.33
423.33
526.67
616.67
766.67
900
950
5006.68

Pakan+kitin
protein 1.5%
43.33
68,33
98.33
175
258.33
348.33
470
560
646.67
710
790
4168.32

Jumlah
(TPj)

Rerata
(YPj)

166.67
268.33
478.33
758.33
1093.32
1463.32
1876.67
2200.01
2626.67
2950
3206.67
17088.32

41.67
67.08
119.58
189.58
273.33
365.83
469.17
550.01
656.67
737.50
801.67
388.37

F Hitung

F Tabel 5%

16,31
203,10**
-

2,16

Tabel 3. Daftar Anava


Sumber
Keragaman
Kelompok
Perlakuan
Galat
Total

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

3
10
30
43

71948,45
2986021,01
44105,77

Kuadrat
Tengah
23982,82
298602,10
1470,19

Ket : **) = nyata

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang dilakukan


dapat diperoleh kesimpulan bahwa berat
badan ayam yang diberi pakan ternak tanpa
penambahan kitin protein adalah 736,67 g,
sedangkan berat badan ayam yang diberi
pakan ternak ditambahkan kitin protein
0,5% (b/b), 1,0% (b/b), dan 1,5% (b/b)
adalah 730 g, 950 g, dan 790 g.
Penambahan kitin protein sebagai zat aditif
pada pakan ternak memberikan pengaruh
terhadap pertumbuhan berat badan ayam
broiler dengan kenaikan sebesar 29%.
DAFTAR PUSTAKA
Alimuniar, A. dan Zainuddin. 1992. An Econimical
Technique for Producing Kitosan Advances
Integration Chitin and Chitosan. London:
Elseiver.

71

Charles, J. B. 1973. Introduction Chitin a


Complishment
and
Pharmacaotical
Products. New Jersey: Division.
Cho Kyun Rha. 1973. Chitosan as a Biomaterial
Biotechnology Integrasi The Marine
Science. Massachussets: Massachussets
Institute of Technology.
Hackman, R. H. 1954. Enzyme Degradation of
Chitin and Chitosan. Ester J. Biology
Science.
Hirano, S., Inui, H. Kosaki, H. Uno, Y. dan Toda,
T. 1993. Biotecnology and Bioactive
Polymers, Dalam Gebelin C. G. and
Cavraher, C. E. Jr. (eds.) hal. 43 54. New
York: Plenum Press.
Muzzarelli, R. A. A. 1973. Chitin. Oxford: Pergamon
Press.
Milton L., Scott, Malden C. Nesheim and Robert J.
Young. 1976. Nutrition of the Chicken.
Ithaca. New York:M.L. Scott & Associates.
Oguntimein, G., B. Aladejana.Vand Payne. G.
2002. Potential application of chitosan in
waste
water
treatment.
Agricultural
Biotechnology. http://www.Aiche.org/confrences/
techprogram/paperdetail.asp.Diakses tanggal
12-06-2006.

Pengaruh Penambahan Kitin Protein sebagai Zat Aditif pada Makanan Ternak
(Hendri Faisal, Harry Agusnar)
Robert, G. A. F. 1992. Chitin Chemistry. London:
The MacMillan Press.
Rudall, K M., and Kenchington. 1973. The Chitin
System Biology.Review.
Yarmo, Mohammad Ambar et al. 2000. Study on
the Effect of Protein Chitin as a Chicken
Feed
Additive.Malaysia:
University
Kebangsaan Malaysia.
Yumizal, N. Indriati. Murdinah, T. Wikana. 2001.
Pemanfaatan Kulit Udang sebagai Bahan
Baku Makanan. J. Agritech.Vol 21:3.
Zikakis, J. P. 1984. Chitin Chitosan and Related
Enzymes. New York: Academic Press.

72

Jurnal Sains Kimia


Vol. 10, No.2, 2006: 7375

ISOLATION OF ANVERENE FROM THE ANTARCTIC PENINSULA


RED ALGAE (Plocamium cartilaginium)
Albert Pasaribu
Departemen Kimia
Universitas Sumatera Utara
Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Medan 20155
Abstract
An Anverene (1) was isolated from the chloroform extract of the Antarctic red algae Plocamium cartilagium.
Structural studies of this compound were conducted using contemporary NMR and mass spectral techniques. In
this paper, the contribution of compound 1 to pharmacological effect will be discussed.
Keywords: Anverene, Plocamium cartilagium, NMR, Pharmacological

INTRODUCTION

Trainor described algae as photosynthetic,


nonvascular plants that contain chlorophyll
a and have simple reproductive structures
(Trainor, 1978).
Marine macroalgae, commonly referred
to as seaweed. Seaweeds are the largest
forms of algae and live to solid substrata
between below tide marks. They are
primarily found in three major habitats:
rocky intertidal zones, tropical reefs, and
kelp forests. Together with phytoplankton,
seaweeds are the primary producers in
oceans.
Macroalgae are organized in three
divisions: Chlorophyta (green algae, 13%
marine), Rhodophyta (red algae, 98%
marine), and Phaeophyta (brown algae,
99% marine) (Dawes, 1998). Within these
divisions, there are approximately 10,000
species of seaweed. Compounds from
macroalgae are characteristic of their
biological origin: red algae (Rhodophyceae)
produce largely polyhalogenated monoterpenes,
sesquiterpenes, and acetogenins (Faulkner,
2001). As with green and brown algae,
metabolite diversity in red algae may
provide protection against a wider range of
consumers than if a single metabolite were
73

produced; perhaps as partial compensation


for the high metabolic cost involved, some
plants appear not to be chemically defended.
Recent work on the fimbrolides has led to
the unraveling of their antifouling role
which stems from their interference with
bacterial signaling processes involving
acylated homoserine lactones (De Nys et
al., 1995).
Investigations of macroalgae from
polar waters surrounding Antarctica have
focused largely on red algae but include
several studies of brown algae (Amsler et
al., 2001).
Macroalgae are the dominant biomass
in shallow waters along the western side of
the Antarctic Peninsula, including at sites
near Palmer Station (64o 46 S, 64o 03 W)
and therefore play a key role in local
benthic ecology (Quartino et al., 2001).
Our interest in studying Antarctic
Peninsula area macroalgae was to ascertain
the role of chemical ecology in structuring
the near-shore Antarctic benthos. We have
conducted chemical investigations of red
algae that displayed bioactivity and report
herein the major chemical components and
pharmacological activity.

Isolation of Anverene from The Antarctic Peninsula Red Algae (Plocamium cartilaginium)
(Albert Pasaribu)

EXPERIMENTAL SECTION
General Experimental Procedures
A Rudolf Instruments Autopol IV
polarimeter was used to acquire optical
rotations using a sodium lamp at 25 oC. A
Hewlet-Packard 8452A diode array UVVIS spectrometer was used to measure
ultraviolet/visible spectra. Infrared spectra
were recorded as KBr pellets using a
Nicolet Avatar 320 FT-IR. 1H and 13C
NMR, HMQC, HMBC, and 1H-1H COSY
spectra were obtained on either a Varian
Inova 500 instrument operating at 500
MHz for 1H NMR and 125 MHz for 13C or
a Bruker Avance 250 instrument operating
at 250 MHz for 1H and 62.5 MHz for 13C,
using residual protonated solvent as 1H
internal standard or 13C absorption lines of
solvent for 13C internal standard. 2D NMR
techniques were optimized as followed:
HMQC, J = 120 Hz HMBC, J = 7 Hz;
COSY, J = 7 Hz. Low and High resolution
EI and CI mass measurements were taken
on a Micromass 70-VSE spectrometer.
QTOF mass measurements were made on a
Micromass
Q-ToF
Ultima
Flash
chromatography utilized EM Science silica
gel 60, 230-400 mesh, and TLC was
carried out on Whatman Partisil K6F silica
gel 60 plates with 0.25 mm thickness or
KC18F silica gel 60 plates with 0.20 mm
thickness. HPLC analyses were conducted
with either a Shimadzu SPD-10A UV-VIS
absorbance detector and/or an Alltech
ELSD 2000 evaporative light-scattering
detector, or a Waters 6000 pump interfaced
to a Waters 486 UV detector. Separations
were achieved with either a YMC-Pack
ODS-AQ (10 mm x 25 cm) or a Waters
Delta-Pak C18 (25 mm x 30 cm) for
reversed-phase or Phenomenex Sphereclone
(10 mm x 25 cm) for normal-phase.

scuba diving during the year 2000 and


2001, and kept frozen until workup.
Extraction and Isolation
Plocamiun cartilagineum. Freshly thawed
alga (1.3 kg wet weight) was extracted
sequentially with CHCL3 and CH3-OH
(three times each). The combined CHCl3
extracts were filtered and concentrated to
yield 6.3 g of liphophilic extract, which
was fractionated by silica gel flash
chromatography to generate six fractions
of increasing polarity. The second fraction,
eluting with 9:1 hexanes /EtOAc (610 mg),
was subjected to additional silica gel flash
column chromatography using hexanes
with traces of ethyl acetate. A terpeneenriched fraction (131.7 mg) was then
subjected to repeated reversed-phase
HPLC using 2:8 H2O/CH3CN to yield
anverene (36 mg, 0.0028%).
RESULTS AND DISCUSSION
Anverene (1): colorless crystals: []25D
12 (c 0.25, CHCl3); IR max 2912, 2840 cm1
; UV max 198 nm (log 4.74); 1H NMR
(500 MHz, CDCl3) (integration, J (Hz),
assignment) 6.58 (1H, d, 13.5, H-1), 6.40
(1H, d, 13.5, H-2), 4.39 (1H, dd, 10.7, 1.7,
H-4), 4.33 (1H, dd, 10.7, 1.7, H-6), 2.62
(2H, m, H2-5), 1.92 (3H, s, H3-9), 1.81
(3H,s,H3-8), 1.81 (3H, s, H3-8), 1.81 (3H,
s, H3-10); 13C NMR (62.5 MHz), CDCl3
(multiplicity, assignment) 139.9 (CH,C-2),
109.7 (CH,C-1), 71.9 (C, C-3), 69.2 (CH,
C-6), 66.3 (C, C-7), 59.8 (CH, C-4, 39.2
(CH2, C-5), 33.4 (CH3, C-9), 28.8 (CH3, CLRCIMS m/z
8), 25.5 (CH3, C-10);
407/409/411/413/415 (13:42:50:24:4) [MHCl]+; 327/329/331 (1:2:1) [M-2HClHBr]+; HRCIMS 410.8 [M-HCl]+.

Plant Material
Algal biomass was collected from
among the islands in the vicinity of Palmer
Station, Antarctic (64o 46 S, 64o 03 W) by

74

Jurnal Sains Kimia


Vol. 10, No.2, 2006: 7375
8

CH3

H3C

Cl

1
H3C
Br

3
Cl

Br

Br

Anverene (1)
Two
mutually
coupled
transdisubstituted olefenic protons were at
observed in the low-field portion of the 1H
NMR spectrum of anverene (1) 6.58 and
6.40 (J1,2 = 13.5 Hz). Two additional
methines, bearing heteroatom based on
their chemical shift, were observed at
4.39 and 4.33. The high-field region of the
1
H NMR spectrum displayed a methylene
group ( 2.62, m), a singlet indicative of
coincident methyl groups at 1.81. The
low-field shift of all three methyl groups
suggested they were attached to a carbon
bearing a heteroatom. Broadband and
DEPT 13C NMR data identified 10 carbon
signals for anverene (1). Connectivity in
anverene (1) was established by 2D NMR
techniques, including COSY, HMQC, and
HMBC (Figure 1). Mutually coupled
olefenic methines described above
established a terminus from which to
elaborate the remaining connectivity.
Thus, the olefenic methane at 6.40 (H-2)
could be shown by HMBC (Figure 1) to be
adjacent to the heteroatom-bearing
quaternary center at 71.9 (C-3). Further
connectivity from C-4 could be achieved
from COSY correlations of the two
heteroatom-bearing methines at 4.39 (H4) and 4.33 (H-6) to the methylene protons
at 2.62 (H2-5), which established the
central portion of the molecule (Figure 1).
CH3

H3C

Cl

CH2

H3C
Br

Br

Cl

Br

Figure 1. Key HMBC () and COSY ()


correlations for anverene (1).

75

We have noted evidence of bioactivity


in Plocamium terpenes. Anverene (1) has
modest but selective antibiotic activity
toward VREF (8 mm zone of inhibition; no
activity against MRSA, MSSA, E.coli nor
C.albicans). In field studies, anverene was
significantly deterrent (57 % anverenetreated pellets eaten vs 73 % of controls
eaten; p = 0.013) toward feeding by the
amphipod Gondogeneia Antarctica at three
times the concentration it was isolated
from the alga; given the imprecision of
chemical isolation, this level of bioactivity
is likely to be ecologically relevant.
CONCLUSION

Anverene, isolated as colorless crystals


(36 mg), gave rise to a mass spectrum
(CIMS)
indicative
of
the
dehydrochlorination product ([M-HCl]+],
displaying a five-line pattern beginning at
m/z 407 and with relative intensities
suggestive of three bromine atoms and one
chlorine atom, thus securing a molecular
formula of C10H15Br3Cl2 for anverene. The
halogenated monoterpenes have become
characteristic of red algae, and some have
displayed significant bioactivity.
REFERENCES
Amsler, C. D., Iken, K. B., McClintock, J. B.,
Baker, B. J., 2001, In Marine Chemical
Ecology, Mcclintock, J.B., Baker, J. B., Eds.
CRC Press Boca Raton, Fl, pp. 195-226.
Dawes, C. J., 1998, Marine Botany, 2nd edition,
John Wiley & Sons, New York, pp. 1-5.
De Nys, R., Steinberg, P. D., Willemsen, P.,
Dworjanyn, S. A., Gabelish, C. L., and King,
R. J., 1995, Broad spectrum effects of
secondary metabolites from the red alga
Delisea pulchra in antifouling assays,
Bifouling. 8: 259.
Faulkner, D. J., 2001, Nat. Prod. Rep.18: 1-49.
Quartino, M. L., Kloser, H., Schloss, I. R.,
Wiencke, C., 2001, Polar Biol. 24: 349-355.
Trainor, F. R., 1978, Introductory Phycology, John
Wiley & Sons, New York, pp. 1-12.

Sintesis Senyawa N-Ftaloyl Kitosan Melalui Reaksi Amidasi Antara Kitosan dengan Ftalat Anhidrida
(Misdawati)

SINTESIS SENYAWA N-FTALOYL KITOSAN MELALUI REAKSI


AMIDASI ANTARA KITOSAN DENGAN FTALAT ANHIDRIDA
Misdawati
Staf Pengajar Fak Teknik UNIVA
Abstrak
Reaksi amidasi antara kitosan dengan ftalat anhidrat dapat mengasilkan N-Ftaloyl kitosan. Amidasi dilakukan
dalam pelarut DMF melalui pemanasan selama 10 jam pada suhu 130 oC. Proses penghilangan pelarut dilakukan
melalui destilasi vakum pada suhu 60 oC tekanan 20 mmHg diikuti pencucian dengan dietil eter untuk
mendapatkan N-Ftaloyl kitosan. Hasil reaksi senyawa N-Ftaloyl kitosan selanjutnya dilakukan pengujian melalui
analisis spektroskopi FT-IR.
Kata kunci: N-Ftaloyl Kitosan, Amidasi

PENDAHULUAN

Kitin adalah sejenis polisakarida


turunan selulosa yang memiliki gugus Nasetil pada posisi atom C-2 mempunyai
rumus umum (C8 H13 NO5 ) n dengan nama
4)-2-asetamido-2kimia Poli [-(1
deoksi-D-glukopiranosa]. Senyawa ini
banyak terdapat pada kulit luar hewan
invertebrata seperti antropoda, moluska,
dan annelida. Kitin juga terdapat pada
dinding sel tumbuhan kelas rendah
terutama pada sel fungi. Kulit-kulit
crustaceae
seperti
kulit
udang
mengandung 20 30% kitin dan kulit
kepiting mengandung 15 20% kitin dan
juga kulit cumi-cumi 100% (Alimuniar, A.
dan Zainuddin, R., 1992).
Kitosan adalah jenis polimer alami
yang mempunyai rantai bercabang dan
mempunyai rumus umum (C6H11NO4)n
4)-2atau disebut sebagai Poli [-(1
amino-2-deoksi-D-glukopiranosa]. Kitosan
merupakan turunan utama dari kitin, di
mana untuk mendapatkan kitosan yang
baik tergantung dari kitin yang diperoleh
dan kelarutannya dalam suatu alkali serta
waktu yang digunakan dalam deasetilasi
(Mat, B. Z., 1995).
Kitosan memiliki gugus NH2 bebas
yang terdapat pada atom C nomor 2, di

mana gugus NH2 yang bebas tersebut dapat


dibuat
suatu
percabangan
dengan
menambahkan suatu ligan untuk menambah
suatu gugus fungsi yang baru sehingga
dapat mengubah porositas dari kitosan.
Pada tahun 1986, Kurita telah
berhasil mereaksikan antara kitosan
dengan nikotinat anhidrat dalam pelarut
asam asetat dan metanol menghasilkan
senyawa N-nikotinoyl kitosan.
Kemudian di tahun 1993, Kurita
berhasil mendeasetilasi kitin dengan
menggunakan NaOH 40% pada suhu 60oC
menghasilkan kitin dan kitosan. Selanjutnya
hasil yang diperolehnya tersebut direaksikan
kembali di tahun 1994 dengan melakukan
N-asetilasi dengan menggunakan asetat
anhidrat dalam pelarut metanol pada suhu
40oC menghasilkan kitin murni.
Di tahun yang sama kembali dia
berhasil melakukan tosilasi terhadap kitin
dengan menggunakan tosiloyl klorida
(TsCl) dalam pelarut piridine menghasilkan
tosiloyl kitin dan kitin.
Selain melakukan reaksi di atas di
tahun itu dia juga kembali berhasil
melakukan tritilasi terhadap kitin dengan
menggunakan tritiloyl klorida (TrCl)
dalam pelarut piridin menghasilkan
tritiloyl kitin dan kitin.

76

Jurnal Sains Kimia


Vol. 10, No.2, 2006: 7679

Dari reaksi yang telah berhasil


dilakukan Kurita terhadap kitin dan
kitosan, juga peneliti tertarik untuk
membuat membran N-Ftaloyl kitosan
dengan mereaksikan senyawa kitosan
dengan ftalat anhidrida dalam pelarut DMF
di mana diharapkan dengan penambahan
ligan ftalat yang mempunyai gugus C=O,
n-bond dan -bond dapat membuat suatu
percabangan pada gugus NH2 bebas dari
kitosan
yang
diharapkan
nantinya
mengubah porositas dari kitosan dengan
bantuan pelarut aprotik DMF di mana
senyawa yang terbentuk diharapkan dapat
digunakan sebagai membran dan pembuluh
darah buatan yang memiliki fungsi antara
lain menarik ion logam.
BAHAN DAN METODA
Alat-Alat
Alat-alat yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah gelas ukur, labu alas,
pengaduk magnet, pendingin bola, tabung
cacl2, pemanas, termometer, oven, statif
dan klem, neraca analitis, corong saring,
desikator, spatula, dan alat spektroskopi
FT-IR Shimadzu 8201 DC.

tekanan 20 mmHg sampai pelarut DMF


yang digunakan habis menguap. Residu
yang diperoleh dicuci dengan dietil eter
kemudian dimasukkan dalam oven pada
suhu 40oC selama 2 jam. Kristal yang
diperoleh dikeringkan dalam desikator dan
ditimbang, kemudian dilakukan pengujian
melalui analisis spektroskopi FT-IR.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kitosan
Kitosan yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan produk dari hasil
isolasi yang diperoleh dari kulit kepiting.
Dari 0,5 g kitosan yang digunakan untuk
reaksi amidasi dengan ftalat anhidrida
diperoleh 0,37 g membran N-Ftaloyl
kitosan. Dari data spektroskopi FT-IR
kitosan
memberikan
puncak-puncak
spektrum dengan serapan pada daerah
bilangan gelombang (cm-1) 3439,39;
2918,56; 2851,05; 1558,62; 1398,52, dan
1111,10.

Bahan-Bahan
Bahan-bahan yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah kitosan, kertas saring
Whatman, DMF, dietil eter, natrium sulfat
anhidrat, ftalat anhidrat berderajat p.a dari
EMerck.
Metoda Pembuatan Membran NFtaloyl Kitosan
Sebanyak 0,5 g kitosan dimasukkan
ke dalam labu alas bulat volume 250
ml. Labu dihubungkan dengan pengaduk
magnetik dan pendingin bola yang
ujungnya dilengkapi tabung CaCl2. Ke
dalam labu ditambahkan sebanyak 0,444 g
ftalat anhidrat dan 25 ml DMF. Campuran
kemudian direfluks selama 10 jam pada
suhu 130oC. Hasil reaksi diuapkan melalui
destilasi vakum pada suhu 60oC dengan

77

Ftalat Anhidrida
Ftalat anhidrida yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan produk EMerck.
Spektrum FT-IR ftalat anhidrida memberikan
puncak-puncak serapan kimia pada daerah
bilangan gelombang (cm-1) 3090,24;
2654,29; 2364,94; 2013,87; 1851,83;
1763,10; 1695,58; 1170,90; 1109,17;
1070,59; 1006,93.

Sintesis Senyawa N-Ftaloyl Kitosan Melalui Reaksi Amidasi Antara Kitosan dengan Ftalat Anhidrida
(Misdawati)

Pembahasan
Reaksi antara Kitosan dengan Ftalat
Anhidrida
Reaksi kitosan dengan ftalat anhidrida
menghasilkan membran amida yang
merupakan Membran N-Ftaloyl kitosan.
Reaksi diperkirakan adalah sebagai
berikut:
H OH
O

Hasil Reaksi Amidasi dari Kitosan


dengan Ftalat Anhidrida
Membran N-Ftaloyl kitosan merupakan
membran amida yang dibuat dengan
mereaksikan 0,5 g kitosan dengan 0,444 g
ftalat anhidrida dalam 25 ml pelarut DMF
direfluks selama 12 jam pada suhu 130oC
di mana selanjutnya hasil refluks yang
diperoleh setelah dilakukan didestilasi
vakum untuk menghilangkan pelarut yang
diikuti pencucian dengan dietil eter dan
dikeringkan di mana hasil kristal amida.
Membran N-Ftaloyl kitosan yang
diperoleh setelah ditimbang sebesar 0,37 g
yang selanjutnya dianalisa secara spektroskopi
FT-IR.
Hasil analisis secara spektroskopi FTIR memberikan spektrum dengan puncakpuncak serapan pada daerah bilangan
gelombang (cm-1) 3301,9; 2927,7; 2862,2;
2503,4; 2326,0; 2272,0; 1674,1; 1504,4;
1438,8; 1388,7; 1091,6; 906,5.

OH
H

NH2

H OH

HO
+

O
n

DMF
130oC

HO

H
NH

OH
H

O C

C OH

Ftalat Anhidrida

Kitosan

N-Ftaloyl Kitosan

Membran N-Ftaloyl Kitosan yang


diperoleh merupakan hasil dari reaksi
amidasi antara kitosan dengan ftalat
anhidrida dalam pelarut DMF dengan
kondisi refluks.
Berdasarkan HSAB, amidasi kitosan
dengan ftalat anhidrida dapat menghasilkan
N-Ftaloyl kitosan di mana H+ dari gugus
NH2 pada kitosan merupakan asam keras
(hard acid) yang mudah berikatan dengan
O dari ftalat anhidrida yang merupakan
basa keras (hard base) dan NH- dari
kitosan merupakan basa lunak (soft base)
yang selanjutnya akan bereaksi dengan
gugus asil R-C+-O dari ftalat yang
merupakan asam lunak (soft acid).
Berdasarkan dukungan teori ini maka
mekanisme reaksi amidasi antara kitosan
dengan ftalat anhidrat dapat digambarkan
sebagai berikut:
H OH
O

H
- NH
+H

OH
H

H OH

H O

DMF
130oC
O-

H O

+
+

O
n

OH
H

NH

O
O

O
C

Kitosan

Ftalat Anhidrat

O
n

OH

N-Ftaloyl Kitosan

78

Jurnal Sains Kimia


Vol. 10, No.2, 2006: 7679

Dari hasil analisis spektroskopi FT-IR


memberikan spektrum dengan puncakpuncak serapan pada daerah bilangan
gelombang (cm-1) 3301,9; 2927,7; 2862,2;
2503,4; 2326,0; 2272,0; 1674,1; 1504,4;
1438,8; 1388,7; 1091,6; 906,5. Puncak
serapan pada daerah bilangan gelombang
3301,9 cm-1 menunjukkan adanya gugus
N-H dan gugus OH, hal ini didukung
dengan munculnya serapan pada daerah
bilangan gelombang 1674,1 cm-1. Bilangan
gelombang 2927,7 dan 2862,2
cm-1
merupakan serapan khas dari vibrasi
stretching C-H sp3 yang didukung dengan
vibrasi bending C-H sp3 pada daerah
bilangan gelombang 1438,8 cm-1 yang
menunjukkan adanya vibrasi bending C-H
sp3. Spektrum yang menunjukkan puncak
vibrasi pada daerah bilangan gelombang
2503,4; 2326,0; 2272,0 cm-1 adalah daerah
sidik jari dari senyawa aromatis. Vibrasi
gugus C=O (karbonil) muncul pada daerah
bilangan gelombang 1674,1 cm-1 yang
merupakan gugus khas dari C=O amida.
KESIMPULAN

Berdasarkan
hasil
penelitian
yang
dilakukan dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Kitosan 0,5 g yang direaksikan dengan
ftalat anhidrida 0,444 g (0,003 mol)
dalam pelarut DMF pada suhu 130oC
selama 10 jam dapat menghasilkan
0,37 g membran N-Ftaloyl kitosan
yang merupakan membran amida.
2. Membran amida yang dihasilkan
merupakan senyawa N-Ftaloyl kitosan
yang belum dilakukan pengujiannya
apakah merupakan membran yang
dapat digunakan sebagai pembuluh
darah buatan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, (1976), The Merck Index, Merck
and Co.Inc , New Jersey , USA.

79

Billenstein, S; Blaschke, G., (1984), Industrial


Production of Fatty Amine and Their
Derivaties, J. Am. Oil. Chem. Soc., 74,
847.
Brahmana, H. R., (1994), Sintesis Alkil Ester
dari Ester Selulosa Turunan Asam Lemak
Kelapa Sawit (CPO) dan Inti Kelapa Sawit
(CPKO) dengan Natrium Selulosa Pinus
Merkusi Laporan Penelitian Hibah Bersaing,
Medan.
Fessenden, R. J. Fessenden, J. S., (1986), Kimia
Organik, Edisi Ketiga. Jilid II. Jakarta:
Erlangga.
Fieser, L. F., Williamson, K. L., (1978), Organic
Experiments, Sixth Edition, D.C. Heath
and Company, USA.
Harold H., (1990), Kimia Organik, Cetakan
Kedua, Erlangga, Jakarta.
Manskaya, S. M., Drodzora, T. V., (1968), Geochemistry
of Organic Substance, Pergamon Press,
Oxford.
Mat, B. Z., (1995), Chitin and Chitosan,
University Kebangsaan Malaysia.
Miranda, K. S., (2003), Sintesis N-Steroyl
Glutamida Melalaui A midasi Asam Stearat
dengan
Asam
Glutamat,
Skripsi,
Departemen Kimia FMIPA USU, Medan.
Morrison, T. R., (1992), Organic Chemistry,
Sixth Edition, New York University,
Prentice Hall, USA.
Muzzarelli, R. A. A., (1997), Chitin, Pergamon,
Oxford.
Muzzarelli, R. A. A., Jeuniaux, C., and Gooday, G. W.,
(1986),
Chitin
in
Nature
and
Technology, Plenum Press, New York.
Reck, R. A., (1984), Marketing and Economics
of Oleochemicals to the Plastic Industry, J.
Am. Oil Chem. Soc.
Riawan, S., (1990), Kimia Organik, Cetakan
Pertama, Binarupa Aksara, Jakarta.
Rismana, E., (2000), Langsing dan Sehat Lewat
Limbah Perikanan, Peneliti di P3
Teknologi Farmasi dan Medika Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi,
Jakarta.
Robert, G. A. F., (1992), The Aplication of
Chitin and Chitosan, Merck and Co.Inc,
New Jersey, USA.
Smith, M. B., (1994), Organic Chemistry, Sixth
Edition, Jhon Wiley & Sons, New York.
Streitwieser, A., C. H. Heathcock., E. M. Kosower.,
(1992), Intoduction to Organic Chemistry,
Fourth Edition, Macmillan Publishing
Company, New York.

Penggunaan Membran Kitin dan Turunannya dari Tulang Rawan Cumi-Cumi


(Harry Agusnar)

PENGGUNAAN MEMBRAN KITIN DAN TURUNANNYA DARI


TULANG RAWAN CUMI-CUMI UNTUK MENURUNKAN
KADAR LOGAM Co
Harry Agusnar
Departemen Kimia FMIPA
Universitas Sumatera Utara
Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Medan 20155
Abstrak
Kitin yang digunakan untuk menghasilkan kitosan dalam penelitian ini diperoleh dari pengolahan kimia basah.
Kitosan disediakan dengan cara deasetilasi kitin dan menghasilkan 70,8%. Kitosan dicampur dengan LiCl 10%
untuk meningkatkan harga konduktivitas film dari membran sedangkan (NH4)2CO3 10% sebagai pemplastis dan
pelarut untuk imersi adalah NaOH, kemudian diimersikan kembali dengan akuades sehingga diperoleh membran
yang transparan pada plat kaca. Proses pengeringan membran dilakukan pada suhu kamar dan ketebalan diukur
dengan mikrometer dan dianalisis dengan menggunakan spektroskopi FTIR. Jumlah penyerapan ion logam
kobalt 0.6 ppm sebesar 100%.
Kata kunci: Membran , Kitin, Kitosan

PENDAHULUAN
Kitin adalah sejenis polisakarida yang
memiliki gugus N-asetil pada atom C-2
dan jika diasetilasi akan menghasilkan
turunan utama yaitu kitosan. Kitosan
adalah polimer alam yang mempunyai
rantai bercabang dengan rumus umum
(C6H11NO4)n. Penambahan garam-garam
anorganik seperti litium klorida pada
membran kitin tersebut akan meningkatkan
sifat-sifat konduktivitas.
Konduktivitas
membran
dapat
ditingkatkan dengan menambahkan sejumlah
logam tertentu ke dalam kitin atau kitosan.
Ada dua cara yang dilakukan untuk
menambah kekuatan pada membran yaitu
dengan cara didop langsung dan cara
perendaman. Membran kitosan lebih mudah
diperoleh dibandingkan dengan membuat
membran kitin karena sifat kelarutannya yang
tinggi terhadap asam asetat. Kekuatan
membran tidak begitu nyata dan perlu
penambahan sedikit sifat pemplastik agar
mudah dibentuk. Adanya penambahan pada
membran dapat mempengaruhi sifat-sifat
maupun daya serapan.

Kitin tersebar luas di alam dan


merupakan turunan selulosa kedua yang
sangat melimpah di bumi. Senyawa ini
banyak terdapat pada kulit luar hewan
golongan invertebrata, beberapa jenis
serangga dan jamur, seperti: antropoda,
moluska, dan anneleida. Kitin juga terdapat
pada dinding sel tumbuhan kelas rendah
terutama pada sel fungi. Kulit-kulit crustaceae
seperti kulit udang mengandung 20 40%
kitin, cangkang kepiting mengandung 15
35% kitin, dan tulang rawan cumi-cumi
mengandung 97,20% kitin.
Struktur kitin hampir sama dengan
selulosa hanya berbeda pada gugus yang
terikat pada atom karbon nomor-2 dan hal
ini menyebabkan sifat kimia kitin berbeda
dengan selulosa di mana secara umum
kitin kurang reaktif dibandingkan dengan
selulosa (Muzarelli, R. A. A., 1977).
Kegunaan
kitin
lebih
terbatas
dibandingkan dengan kitosan maupun
selulosa, akan tetapi kitin sangat berpotensi
digunakan dalam pembuatan membran
yang dibuat dengan cara melarutkan kitin
dalam sistem pelarut tertentu. Walaupun
80

Jurnal Sains Kimia


Vol. 10, No.2, 2006: 8085

kitin di berbagai bidang sudah semakin


banyak digunakan seperti di bidang
industri, khususnya bidang kesehatan
terutama sebagai bahan untuk mempercepat
penyembuhan luka dan sudah banyak
digunakan sebagai membran. Untuk
melarutkan kitin tidak mudah, sehingga
perlu disesuaikan kedua pelarut dan perlu
hati-hati dalam pencampurannya karena
homogen pelarut sangat menentukan untuk
melarutkan kitin (Robert G., 1992).
Turunan utama kitin adalah kitosan
yang mempunyai struktur kimia yang
mengandung pasangan elektron d-orbital
pada ion logam. Kitosan sebagai biopolimer
mempunyai berbagai keistimewaan yaitu
bersifat ramah lingkungan, dapat terdegradasi
dan tidak bersifat racun. Efektivitas kitosan
dalam mengikat logam dalam mengikat
logam berat dipengaruhi oleh ukuran
partikel, pH larutan, konsentrasi ion logam,
reaksi, temperatur, dan jumlah kitosan
yang digunakan (Schmuchl, et al., 2001).
Pada kitosan didapati mempunyai satu
gugus amina linear untuk setiap unit
glukosa. Pada gugus amina ini mempunyai
sepasang elektron yang mampu berkoordinasi
atau membentuk ikatan dengan kation
logam.
Kompleks
polielektrolit
dibentuk
melalui reaksi suatu polielektrolit dengan
polielektrolit lain yang berbeda muatannya
dalam suatu larutan Cane (1998).
BAHAN DAN METODA
Bahan
Tulang rawan cumi-cumi, asam sulfat,
asam asetat, asam nitrat, asam klorida,
isopropanol, metanol, aseton, NaOH, asam
glioksilat, natrium borohidrat, asam
monokloroasetat, asam trikloroasetat, dan
1,2-dikloroetana.
Metoda
Penyediaan Kitin
Tulang rawan cumi-cumi dicuci bersihbersih dan direndam dengan larutan NaOH
2M selama 1 hari. Kemudian dicuci

81

dengan aquadest. Kemudian direndam


kembali dengan HCl 2M selama 1 hari,
setelah itu dicuci dengan air hingga bersih.
Jemur hingga kering pada suhu kamar
(Alimuniar, A. dan R. Zainuddin, 1992).
Penyediaan Kitosan
Timbang serbuk kitin sebanyak 500 g
dan tambahkan NaOH 40% dan dibiarkan
selama 4 hari dan cuci bersih. Jemur
hingga kering pada suhu kamar
(Alimuniar, A. dan R. Zainuddin., 1992).
Pembuatan membran kitosan:
1. Timbang 3 g kitosan dan larutkan
dalam asam asetat 1%
2. Ditambahkan litium klorida 10% dan
3. 0,5 g (NH4)2CO3 dan diaduk sampai
larut sempurna
4. Diimersikan dengan air selama 15 30
menit dan dikeringkan pada suhu
kamar
5. Lapisan tipis yang terbentuk dituangkan
ke plat kaca dan keringkan sampai
terbentuk menbran tipis
6. Membran tipis tersebut diimersikan
dengan NaOH dan air suling
7. Dikeringkan pada suhu kamar dan
dikarakterisasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyediaan Kitin dan Kitosan
Penyediaan kitin dan kitosan dilakukan
berdasarkan metoda Alimuniar dan Zainuddin
(1992). Kitin yang diproses dari kulit
udang didapat dengan hasil 30,60%.
Kitosan dihasilkan melalui proses
deasetilasi kitin dengan menggunakan
larutan alkali. Hasil kitin dan kitosan
selengkapnya dapat ditunjukkan pada
Tabel 1.
Pada kitin didapati hasilnya lebih baik
jika dibandingkan dengan hasil yang
diperoleh Hackman (1954) yaitu sebesar
17%. Ini menunjukkan bahwa proses
penyediaan kitin dengan metode Alimuniar
dan Zainuddin (1992) sudah sesuai dengan
prosedur. Kitosan yang diperoleh sekitar
71,35%.

Penggunaan Membran Kitin dan Turunannya dari Tulang Rawan Cumi-Cumi


(Harry Agusnar)
Tabel 1. Hasil Kitin dan Kitosan
No
1
2

Sampel (g)
Kulit Udang
Kitin

Berat Sampel (g)


5000
1200

Berat Hasil (g)


1530
850

Hasil (%)
Kitin 30,6
Kitosan 70,8

Tabel 2. Kadar Abu dan Kadar Air pada Kitin dan Kitosan
No.

Sampel

Kadar Abu (%)

Kadar Air (%)

1
2

Kitin
Kitosan

0,30
0,20

12,20
10,20

Tabel 3. Analisis Unsur (C, H, N) Kitin dan Kitosan


No
1
2

Sampel (g)
Kitin
Kitosan

C (%)
46,6
40,3

Penentuan Kadar Abu dan Kadar Air


Penentuan kadar abu pada kitosan
didapati masih tinggi, ini disebabkan pada
proses pengeringan dilakukan pada udara
terbuka tetapi data yang diperoleh 0,30
tidak jauh berbeda seperti yang dilaporkan
Muzzarelli (1977).
Kadar air didapati juga masih tinggi
karena proses pengeringan dilakukan pada
udara terbuka di dalam ruangan. Hasil
selengkapnya dapat ditunjukkan pada
Tabel 2.

H (%)
6,8
5,2

N (%)
6,5
7,4

Analisis Unsur (C, H, N) Kitin dan


Kitosan
Hasil analisis unsur (karbon, hidrogen
dan nitrogen) didapati tidak jauh berbeda
seperti yang dilaporkan oleh Muzzarelli
(1977), seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 3.
Penentuan Derajat Deasetilasi Kitosan
Derajat deasetilasi kitosan diukur
berdasarkan Hukum Lambert-Beer dari
hasil spektrum FT IR (Gambar 1) pada
bilangan gelombang 1654,8 cm-1 dan
3386,8 cm-1 dengan perhitungan sebagai
berikut:

Gambar 1. Spektrum FTIR Kitosan

82

Jurnal Sains Kimia


Vol. 10, No.2, 2006: 8085

A 1654,8
A3386,8

Po
P
Po
= log
P
= log

N-deasetilasi

=1=1-

7,9
= 0,1734
5,3
9,4
= 0,8269
= log
1,4
= log

A1596,9
A3386,8

1
x 100%
1,33

0,1734

0,8269 x0,75 x 100%

= 1 - [0,209 x0,75] x 100% = 1 0,1573 x 100%


= 84,27%
Jadi hasil derajat deasetilasi kitosan
adalah 84,27% dan menurut Numazaki &
Kito (1975) derajat deasetilasi yang
diperoleh masih berada pada range
(8095%).
Penyediaan Membran Kitosan
Pembuatan membran kitosan dilakukan
dengan melarutkan kitosan dalam pelarut
campuran asam tasetat dan air suling
dengan konsentrasi 1,0% dan didapati
menghasilkan membran/film yang sangat
baik. Menurut Tokura (1994) membran
yang baik didapati merupakan film tipis
yang trasnparan dan tidak mudah koyak ini
didapati pada konsentrasi 1,0%, di mana
membran yang dihasilkan sesuai dengan
laporan Tokura (1994). Hasil membran
tipis dianalisa dengan FTIR dan merupakan
bandingan
untuk
membran
basa
polielektrolit.
Pembuatan Membran Kitosan sebagai
Basa pada Elektrolit
Pembuatan membran kitosan dilakukan
dengan melarutkan kitosan dengan asam
asetat 1% dan amonium karbonat 0,5 g dan
diaduk sampai melarut seluruhnya.

83

Penambahan litium klorida 1% adalah


untuk meningkatkan konduktivitas.
Menurut Brime dan Austin (1994)
adanya litium klorida akan dapat bersifat
sebagai penghantar listrik jika berikatan
dengan logam. Sifat pemplastik dari
membran
kitosan
didapati
dari
penambahan ammonium karbonat agar
elestisitas dapat terpenuhi. Setelah
terbentuk membran yang tipis kemudian
diinversikan dengan NaOH agar membran
tersebut membran basa yang bersifat
polielektrolit. Membran kitosan yang
terbentuk dikeringkan di dalam ruang agar
pada membran tidak terdegradasi dari
pengaruh suhu. Analisis dengan FTIR
ditunjukkan pada Gambar 2.
Pengujian Membran Kitosan sebagai
Basa Polielektrolit untuk Menurunkan
Kadar Logam Co
Membaran kitosan yang terbentuk
dimasukkan ke dalam kolom dan dilalui
larutan logam Co dengan konsentrasi
divariasi 2 ppm hingga 10 ppm. Hasil
pengukuran dilakukan pengujian dengan
spektrofotometer serapan atom (AAS)
dan data hasil pengujian ditunjukkan
pada Tabel 4.

Penggunaan Membran Kitin dan Turunannya dari Tulang Rawan Cumi-Cumi


(Harry Agusnar)

Gambar 2. Spektrum FT IR Membran Kitosan


Tabel 4. Hasil Pengujian Kadar Co. dengan Menggunakan Spektrofotomter Serapan Atom
Sampel
Membran Kitosan

Konsentrasi Co2+
(ppm)
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0

Konsentrasi Akhir Penyerapan


(ppm)
0,20 0,00
0,40 0,00
0,60 0,00
0,78 0,02
0,89 0,07

Dari Tabel 4 pada konsentrasi larutan


Co 0,2 0,6 ppm didapati hasil penyerapan
100%, ini menunjukkan proses penyerapan
pada membran kitosan sebagai basa
elektrolit berjalan dengan baik, untuk
konsentrasi larutan Co 0,8 1,0 ppm
didapati hasil penyerapan 97,50% dan
89,00%. Ini berarti semua proses penyerapan
dengan menggunakan membran kitosan
berjalan dengan baik. Menurut Millot
(1998) penggunaan larutan kitosan dengan
pengaturan pH akan dapat menyerap logam
hampir 100% dan menurut Brime dan
Austin (1994) membran kitosan selalu
dipengaruhi pada bentuk ketebalannya. Ini
menunjukkan membran yang dihasilkan
perlu ditentukan ketebalan agar mudah
menyerap larutan ion logam. Memban
kitosan sebagai basa polielektrolit sudah

Penyerapan
(%)
100
100
100
97.50
89.00

mampu menunjukkan penyerapan yang


baik.
KESIMPULAN

Penyediaan kitin dari cangkang


kepiting dengan menggunakan metoda
kimia basah dapat menghasilkan kitin
sebesar 30,6%. Kitosan disediakan dengan
cara deasetilasi kitin dan menghasilkan
kitosan sebesar 70,8. Kitosan yang
disediakan telah dikarakterisasi seperti
derajat deasetilasi 84,27 %, analisis unsur
C sebesar 40,3%, H sebesar 5,2% dan N
sebesar 7,4% ini menunjukkan bahwa
kitosan yang digunakan sudah memenuhi
standar dan dapat dibuat untuk pengujian
dan membran yang baik. Membran kitosan
dibuat dengan melarutkan kitosan dalam
asam asetat dan penambahan LiCl 10%
84

Jurnal Sains Kimia


Vol. 10, No.2, 2006: 8085

dan (NH4)2CO3 10% pada membran adalah


untuk menghasilkan membran kitosan
yang merupakan basa polimer elektrolit
dan didapati mampu menyerap logam Co
dengan konsentrasi 0,6% sebesar 100%.
DAFTAR PUSTAKA
Alimuniar, A. dan R. Zainuddin. 1992. An
Economical
Technique
for
Product
Chitosan. In: Advances in Chitin and
Chitosan. Brine, C.J., P.A. Sanford, J.P.
Zikakis (Eds). Elsevier Applied Sciences,
London, PP. 627 638.
Caner, C. P., Vergano. J. and Wiles L. 1998.
Chitosan film mechanichal and permeation
properties as affected by Acid, Plasticizer
and Storage. J. Food Science. Vol 63: 6. pp.
1049 1053.
Muzzarelli, R. A. A., 1997. Chitin. Pergamon press
Ltd. Oxford, England.
Roberts, G. A. F. 1992. Chitin Chemistry. The
Macmillan Press Ltd., London.
Chang, K. L. B., J. Lee, W. R. Fu. 2000. HPLC
Analysis of N-acetyl-chito-oligosaccharides
during the acid hydrolysis of chitin. J. Food
and Drug Analysis. Vol 8: 2. pp. 75 83.
Peberdy, J. F. 1999. Biotechnologycal approaches
to the total utilisation of crustacean shellfish
and shellfish waste. biologycal science.
University of Nottingham. http:/www.Agricta.
org/pubs/std/vol.2/pdf/343.pdf. Tanggal 1210-2004.
Shahidi, F., J. K. V. Arachcho and Y. Jeon. 1999.
Food Applications of chitin and shitosan. In:
Trends in Food Science and Technology.
Vol. 10. pp. 37 51.

85

Pengaruh Ukuran Partikel dan Berat Abu Sekam Padi sebagai Bahan Pengisi terhadap Sifat Kuat Sobek
(Darwin Yunus Nasution)

PENGARUH UKURAN PARTIKEL DAN BERAT ABU SEKAM PADI


SEBAGAI BAHAN PENGISI TERHADAP SIFAT KUAT SOBEK,
KEKERASAN DAN KETAHANAN ABRASI KOMPON
Darwin Yunus Nasution
Departemen Kimia FMIPA
Universitas Sumatera Utara
Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Medan 20155
Abstrak
Abu sekam padi yang mengandung silika sekitar 8090% dapat digunakan sebagai bahan pengisi dalam
pembuatan kompon karet. Abu sekam padi diperoleh dengan pirolisa sekam padi pada temperatur 350oC selama
24 jam, kemudian dipanaskan selama 48 jam pada temperatur 700oC. Abu sekam padi dihaluskan dan diayak
dengan ukuran bervariasi. Kemudian abu sekam padi dicampur dengan kompon (merupakan campuran : karet
SIR-20 100 g, seng oksida 5 g, asam stearat 2 g, CBS (N-Sikloheksil-2-benzthiazol sulphenamida) 1,1 g, dutrex
A-737 4 g, dan sulfur 2 gram) dan digiling sampai homogen dan dimasak pada suhu 170oC. Selanjutnya
dilakukan pengukuran kuat sobek kompon karet dengan menggunakan alat tensometer yang mengacu pada
standar ASTM D 624-00, pengukuran kekerasan menggunakan alat durometer berdasarkan acuan ASTM D-1415
dan pengukuran ketahanan abrasi dengan menggunakan alat akron abrasion. Hasil menunjukkan bahwa ukuran
partikel dan berat abu sekam padi sangat berpengaruh terhadap nilai kekerasan, ketahanan abrasi, dan nilai kuat
sobek kompon karet. Lisis dengan menggunakan spektroskopi FTIR. Jumlah penyerapan ion logam kobalt
0.6 ppm sebesar 100%.
Kata kunci: Abu Sekam Padi, Bahan Pengisi, dan Kompon Karet

PENDAHULUAN

Beras yang merupakan salah satu


bahan pangan pokok dihasilkan dari proses
penggilingan padi. Dalam proses
penggilingan padi, selain dihasilkan beras
juga dihasilkan hasil samping berupa
sekam padi yang jumlahnya cukup besar.
Disebutkan bahwa sekitar 78% dari berat
padi adalah beras dan sisanya 22% adalah
sekam. Berdasarkan hasil penelitian dan
literatur disebutkan bahwa abu mengandung
sekitar 85% - 90% senyawa silika (SiO2)
bentuk amorf (www.ricehuskash.com).
Pada proses pembuatan kompon karet
ditambahkan bahan pengisi untuk meningkatkan
kuat sobek, kekerasan, ketahanan gesek
dan sifat-sifat lainnya. Salah satu bahan
pengisi yang digunakan secara komersial
adalah jenis bahan pengisi semi-aktif
seperti clay, kaolin, silika, dan kalsium
karbonat.

Produksi beras di Indonesia cukup


besar sekitar 30,95 juta ton per tahun
(www.tempointeraktif.com) tentu saja akan
menghasilkan hasil samping berupa sekam
padi sebanyak 6.677 ton. Sekam padi ini
adalah merupakan sumber silika yang
potensial untuk digunakan sebagai bahan
pengisi dalam pembuatan kompon. Atas
dasar inilah, dilakukan penelitian penggunaan
abu sekam padi yang kaya akan silika
sebagai bahan pengisi dalam kompon yang
diharapkan dapat menggantikan bahan
pengisi seperti clay, kaolin, dan silika.
BAHAN DAN METODA
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian adalah SIR 20, sekam padi,
zinc oksida, dutrex oil A-737, asam stearat,
sulfur, dan N-Sikloheksil-2-benzthiazol
sulphenamida (CBS).

86

Jurnal Sains Kimia


Vol. 10, No.2, 2006: 8691

Pengabuan Sekam Padi


Sekam padi dicuci dengan air dan
dikeringkan. Ditimbang 500 g sekam padi
dalam cawan, lalu dibakar pada suhu
350oC dalam tanur selama 24 jam.
Kemudian, dilanjutkan pengabuan pada
suhu 700oC selama 48 jam. Abu sekam
padi yang diperoleh didinginkan dalam
desikator.
Penggilingan dan Pengayakan Abu
Sekam Padi
Abu sekam padi yang diperoleh,
digiling (dihancurkan). Kemudian diayak
dengan ayakan ukuran 50 mesh, 100 mesh,
150 mesh, dan 200 mesh. Hasil ayakan
pada tiap mesh disimpan.
Pembuatan Kompon
Ditimbang karet SIR-20 sebanyak 100 g,
lalu digiling dengan gilingan open mill
sambil dibolak-balik sampai permukaan rol
gilingan tertutup rata oleh karet. Setelah
rata, ditambahkan seng oksida sebanyak 5 g
dan asam stearat sebanyak 2 g ke dalam
adonan SIR-20 tersebut. Kemudian
digiling sambil dibolak-balik sampai
homogen atau rata. Setelah itu dimasukkan
abu sekam padi ukuran 50 mesh sebanyak
30 g ke dalam adonan karet dan digiling
sambil dibolak-balik sampai homogen
dengan menambahkan sedikit demi sedikit
dutrex oil yang telah ditimbang sebanyak
4 g. Setelah campuran homogen, dimasukkan
CBS sebanyak 1,1 g dan sulfur sebanyak
2 g ke dalam adonan kompon tadi, dan
digiling sambil dibolak-balik sampai
homogen. Setelah homogen, kompon digulung
dan digiling kembali lalu digulung kembali
(dilakukan sebanyak 3 kali). Kemudian
kompon dibentuk menjadi lembaran (sheet)
dengan tebal 23 mm. Dilakukan prosedur
pencampuran yang sama dengan variasi
berat abu sekam padi 40 g; 50 g dan 60 g
untuk setiap ukuran partikel abu sekam
padi.

87

Pengukuran Kuat Sobek


Kompon yang telah selesai dicampur
dipotong dengan ukuran panjang 14 cm
dan lebar 14 cm, kemudian dimasukkan ke
dalam cetakan (mold) slab standard. Lalu
dimasak selama 10 menit dengan suhu
170oC. Setelah masak, slab didinginkan
pada temperatur kamar. Kemudian slab
dipotong dengan shapper yang sesuai
standar uji tipe Dumb-Bell menjadi bentuk
spesimen uji. Setelah itu, ditentukan nilai
kuat sobek dari spesimen itu dengan
menggunakan Tensometer INSTRON 5565.
Dilakukan prosedur pengujian yang sama
untuk variasi berat abu sekam padi 40 g;
50 g dan 60 g untuk setiap ukuran partikel
abu sekam padi.
Pengukuran Kekerasan
Slab kompon yang telah dimasak untuk
pengujian kuat sobek diambil sebagian
untuk diukur nilai kekerasan. Pengukuran
dengan menggunakan alat durometer yaitu
dengan menekan alat durometer pada
permukaan slab yang rata dan dibaca
nilainya pada saat jarum skala alat tersebut
berhenti. Dilakukan prosedur pengujian
yang sama untuk variasi berat abu sekam
padi 40 g; 50 g dan 60 g untuk setiap
ukuran partikel abu sekam padi.
Pengukuran Ketahanan Gesek
Kompon yang telah selesai dicampur
dipotong dan dibentuk menjadi gulungan
dengan panjang 4 cm, lebar 5 cm, dan tebal
2,5 cm. Kemudian dimasukkan ke dalam
cetakan roda standar dan dimasak selama
18 menit dengan temperatur 170oC.
Setelah masak, roda didinginkan pada
temperatur kamar. Setelah dingin, roda
tersebut dipasang ke alat Akron Abrasion
Tester yang telah diberi beban 1000 g dan
diset kemiringannya 15o dengan putaran
yang telah diset ke-0, lalu diuji abrasinya
sampai tercapai 500 putaran. Setelah
selesai, roda kompon itu digosok sampai
permukaannya halus dan ditimbang
beratnya dan dicatat sebagai berat awalnya.

Pengaruh Ukuran Partikel dan Berat Abu Sekam Padi sebagai Bahan Pengisi terhadap Sifat Kuat Sobek
(Darwin Yunus Nasution)

Kemudian dilanjutkan pengujian abrasinya


sampai tercapai 1000 putaran di mana
sebelumnya skalanya telah diset ke-0
kembali. Setelah selesai, roda kompon itu
digosok lagi sampai permukaannya halus
dan ditimbang. Kemudian dilanjutkan
pengujian abrasi sampai tercapai 3000
putaran. Setelah selesai, roda tersebut
digosok sampai permukaannya halus dan
ditimbang. Selisih berat dari masingmasing tahapan pengujian 1000 putaran
dan 3000 putaran dibagi dengan berat jenis
kompon itu dan hasilnya merupakan nilai
ketahanan abrasi kompon tersebut.
Dilakukan prosedur pengujian yang sama
untuk variasi berat abu sekam padi 40 g;
50 g dan 60 g untuk setiap ukuran partikel
abu sekam padi.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil pengukuran kuat sobek,


kekerasan, dan ketahanan abrasi dari karet
alam tervulkanisasi dengan penggunaan
abu sekam padi sebagai bahan pengisi
menunjukkan nilai yang lebih bagus
dibandingkan hasil vulkanisasi karet alam
tanpa penggunaan bahan pengisi. Hasil
pengukuran kuat sobek dengan bahan
pengisi abu sekam padi diperoleh minimum
36,11 N/mm dan maksimum 42.61 N/mm,
sedangkan pengukuran kuat sobek tanpa
bahan pengisi adalah 25.86 N/mm. Untuk
pengukuran kekerasan dengan bahan
pengisi diperoleh hasil minimum sebesar
43 shore A dan maksimum sebesar 74 shore
A, sedangkan pengukuran kekerasan tanpa
bahan pengisi adalah sebesar 35 shore A.
Kemudian untuk pengukuran ketahanan
abrasi dengan bahan pengisi abu sekam
padi diperoleh hasil minimum sebesar
2.45 cm3/3000x dan hasil maksimum sebesar
2.28 cm3/3000x, sedangkan pengukuran
ketahanan abrasi tanpa bahan pengisi
adalah 3.55 cm 3 /3000x. Untuk hasil
selengkapnya dapat dilihat dari tabel di
bawah ini.

Tabel 1. Data Pengukuran Kuat Sobek Kompon


dengan Bahan Pengisi Abu Sekam Padi
Berat
(g)
30
40
50

50
mesh
(N/mm)
40.72
41.35
42.61

60

41.97

Kuat Sobek
100
150
mesh
mesh
(N/mm) (N/mm)
38.07
37.10
39.37
39.01
41.09
40.21
40.55

200
mesh
(N/mm)
36.11
37.99
39.78

39.17

38.98

Tabel 2. Data Pengukuran Kekerasan Kompon


dengan Bahan Pengisi Abu Sekam Padi

Berat
(g)

50 mesh
(Shore
A)

30
40
50
60

43
51
60
67

Kekerasan
100
150
mesh
mesh
(Shore
(Shore
A)
A)
47
49
53
55
62
65
69
71

200
mesh
(Shore
A)
52
59
70
74

Tabel 3. Data Pengukuran Ketahanan Abrasi


Kompon dengan Bahan Pengisi Abu
Sekam Padi
Berat
(g)
30
40
50
60

Ketahanan Abrasi (cm3/3000x)


50
100
150
200
mesh
mesh
mesh
mesh
2.45
2.40
2.37
2.31
2.42
2.38
2.34
2.30
2.41
2.36
2.33
2.28
2.44
2.38
2.35
2.31

Tabel 4. Data Pengukuran Kuat Sobek, Kekerasan,


dan Ketahanan Abrasi Bahan Elastomer
Karet Alam Tervulkanisasi Tanpa Penggunaan
Bahan Pengisi
Uji
Kuat
Sobek
(N/mm)
25.86

Kekerasan
(Shore)

Ketahanan Abrasi
(cm3/3000x)

35

3.55

Untuk
pengukuran
kuat
sobek
diperoleh bahwa nilai kuat sobek
bertambah tinggi sebanding dengan
pertambahan berat abu sekam padi sampai
pada berat 50 gram. Kemudian mengalami
penurunan mulai pada saat penambahan
88

Jurnal Sains Kimia


Vol. 10, No.2, 2006: 8691

abu sekam padi sebesar 60 gram. Dari data


pengukuran kuat sobek yang terdapat pada
Tabel 1 dapat terlihat bahwa nilai kuat
sobek berbanding lurus dengan ukuran
partikel abu sekam padi. Nilai kuat sobek
maksimum diperoleh pada penggunaan abu
sekam padi sebesar 50 gram dengan ukuran
partikel 50 mesh yaitu 42.61 N/mm.
Kemudian hasil pengukuran kuat sobek
tanpa bahan pengisi diperoleh 25.86 N/mm.
Gambar 1. Grafik Kuat Sobek-Vs-Berat
45
40

Kuat Sobek (N/mm)

35
30

Abu sekam padi


50 mesh (N/mm)

25

Abu sekam padi


100 mesh (N/mm)

20

Abu sekam padi


150 mesh (N/mm)

15

Abu sekam padi


200 mesh (N/mm)

10

dikarenakan interaksi silika-silika dalam


campuran
cenderung
meningkatkan
kekakuan campuran. Dari data pengukuran
kekerasan yang terdapat pada Tabel 2
dapat terlihat bahwa nilai kekerasan
bertambah besar dengan semakin kecilnya
ukuran partikel abu sekam padi yang
digunakan. Nilai kekerasan maksimum
diperoleh pada penggunaan abu sekam
padi sebesar 60 gram dengan ukuran
partikel 200 mesh yaitu 74 shore A dan ini
cocok digunakan dalam pembuatan sol
sepatu dan conveyor belt yang umumnya
memerlukan kekerasan sekitar 60 sampai
70 shore A. Kemudian hasil pengukuran
kekerasan tanpa bahan pengisi diperoleh
35 shore A.
Gambar 3. Grafik Kekerasan-Vs-Berat

80

5
70

0
0

30

40

50

60
Kekerasan (Shore A)

Berat (g)

60

Kekerasan 50
mesh (Shore A)

50

Kekerasan 100
mesh (Shore A)

40

Kekerasan 150
mesh (Shore A)

30

Kekerasan 200
mesh (Shore A)

20

Gambar 2. Grafik Kuat Sobek-Vs-Ukuran


Partikel

10
0

44

Kuat Sobek (N/mm)

42

50

60

Abu Sekam Padi


Berat 40 gram

38

Abu Sekam Padi


Berat 50 gram

36

Gambar 4. Grafik Kekerasan-Vs-Ukuran


Partikel

Abu Sekam Padi


Berat 60 gram

34
32
50

100

150

80

200

70

Untuk pengukuran kekerasan diperoleh


bahwa nilai kekerasan semakin bertambah
sebanding dengan pertambahan berat abu
sekam padi walaupun data pengukuran kuat
sobek dan ketahanan Abrasi menunjukkan
penurunan pada saat penambahan abu
sekam padi sebesar 60 gram. Hal ini

Kekerasan (Shore A)

Ukuran Partikel (Mesh)

89

40
Berat (g)

Abu Sekam Padi


Berat 30 gram

40

30

60

Abu Sekam Padi


Berat 30 gram

50

Abu Sekam Padi


Berat 40 gram

40
30

Abu Sekam Padi


Berat 50 gram

20

Abu Sekam Padi


Berat 60 gram

10
0
50

100

150

200

Ukuran Partikel (Mesh)

Pengaruh Ukuran Partikel dan Berat Abu Sekam Padi sebagai Bahan Pengisi terhadap Sifat Kuat Sobek
(Darwin Yunus Nasution)

Untuk bertambah baik sebanding


dengan penambahan berat abu sekam padi
sampai pada berat 50 gram pengukuran
ketahanan abrasi diperoleh bahwa sifat
ketahanan abrasi. Lalu juga mengalami
penurunan mulai pada saat penambahan
abu sekam padi sebesar 60 gram. Dari data
pengukuran ketahanan abrasi yang terdapat
pada Tabel 3 sampai Tabel 6 dapat terlihat
bahwa sifat ketahanan abrasi semakin baik
dengan semakin kecilnya ukuran partikel
abu sekam padi yang digunakan. Sifat
ketahanan abrasi paling bagus diperoleh
pada penggunaan abu sekam padi sebesar
50 gram dengan ukuran partikel 200 mesh
yaitu 2.28 cm3/3000x. Kemudian hasil
pengukuran ketahanan abrasi tanpa
penggunaan bahan pengisi diperoleh hasil
3.55 cm3/3000x.
Gambar 5. Grafik Ketahanan Abrasi-Vs-Berat
4

Ketahanan Abrasi (cc/3000x)

3.5
Ketahanan Abrasi
50 mesh (Shore
A)

3
2.5

Ketahanan Abrasi
100 mesh (Shore
A)

Ketahanan Abrasi
150 mesh (Shore
A)

1.5

Ketahanan Abrasi
200 mesh (Shore
A)

1
0.5
0
0

30

40

50

60

Berat (g)

Ketahaaan Abrasi
(cc/3000x)

Gambar 6. Grafik Ketahanan Abrasi-Vs-Ukuran Partikel


2.5
2.45
2.4
2.35
2.3
2.25
2.2
2.15

Abu Sekam Padi


Berat 30 gram
Abu Sekam Padi
Berat 40 gram
Abu Sekam Padi
Berat 50 gram
50

100

150

Ukuran Partikel (mesh)

200

Abu Sekam Padi


Berat 60 gram

Dari semua data pengukuran baik kuat


sobek, kekerasan, dan ketahanan abrasi
menunjukkan penurunan sifat atau kualitas

mulai saat penggunaan abu sekam padi


sebesar 60 gram. Hal ini dikarenakan
perbandingan jumlah bagian abu sekam
padi lebih besar dari total keseluruhan
komposisi campuran, sehingga interaksi
(gaya Van der Waals dan gaya adsorpsi)
yang terjadi antara partikel karet dengan
abu sekam padi tidak seimbang lagi,
didominasi oleh partikel abu sekam padi di
mana umumnya didominasi oleh partikel
karet (Hofmann, W., 1989). Sedangkan
pemakaian ukuran partikel semakin kecil
akan menyebabkan dispersi dan homogenitas
partikel abu sekam padi lebih merata
dalam matriks karet sehingga sifat kuat
fisika dan mekanis bahan elastomer karet
alam tervulkanisasi juga lebih bagus
(Stern, H. J., 1967).
Walaupun, hasil uji kuat sobek,
kekerasan, dan ketahanan gesek pemakaian
abu sekam lebih rendah bila dibandingkan
dengan penggunaan carbon black, akan
tetapi abu sekam padi ini dapat digunakan
sebagai bahan pengisi dalam pembuatan
conveyor belt dan sol sepatu.
KESIMPULAN

Semakin kecil ukuran partikel abu


sekam padi maka semakin besar nilai
kekerasan dan ketahanan abrasi. Sebaliknya,
semakin kecil ukuran partikel abu sekam
padi, semakin kecil nilai kuat sobek
kompon karet. Selanjutnya berat abu
sekam padi yang digunakan berbanding
lurus dengan sifat kuat sobek, kekerasan
dan ketahanan abrasi. Akan tetapi mengalami
penurunan sifat mulai pada saat penggunaam
abu sekam padi sebesar 60 gram.
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro D. D. 2005. Aktivitas dan Pemodelan
Katalis Silikat dari Abu Sekam Padi untuk
Konversi Heksana. www.tekim.ft.undip.ac.
id/jreaktor. Diakses tanggal 29 November
2006.
Ascroft, K. dan Robinson, K. J. 1969. A Comparison
Study of Vulcanization of Natural Rubber
with Various Sulphur-Donor Systems. New
Delhi. India Rubber Institute Corp.

90

Jurnal Sains Kimia


Vol. 10, No.2, 2006: 8691
Bhowmick, A. K. 1982. The Effect of Carbon
Black-Vulcanization System Interction on
Natural Rubber Network Structures and
Properties. New York. RCT Corp.
Dispersible Silica Particulates and Reinforcement
of Elastomer-Rubber Matrices Therewith.
http://freepatentsonline.com/55475502.html.
Diakses tanggal 5 Desember 2006.
Dispergum 24. 1980. A High Effisient Mastication
Agent. Hamburg. DOC Publisher.
Faizal, M. Ade Ilham. 2002. Penghasilan Abu
Sekam Menggunakan Tanur Termodifikasi.
http://pkukmweb.ukm.my/jurutera/reading/j
urnal/j14-2002.html. Diakses tanggal 30
November 2006.
Hepburn, C. dan Reynold, R. J. W. 1979. Elastromers:
Criteria for Engineering Design. England.
Applied Science Publishers Limited.
Harry, L. 1985. Basic Compounding and Processing
of Rubber. New Jersey. Rubber Division
Ltd.
Hofmann, W. 1985. New Highly-Efficient Non
Blooming Accelerator Systems for Sulphur
Cure of EPDM. Kyoto. IRC Corp.
Hofmann, W. 1989. Rubber Technology Book. New
York. Hanser Publisher.
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2006/11
/14/brk.20061114-87650.id.html. Diakses tanggal
16 Desember 2006.
India Rubber Institute. 1998. Rubber Engineering.
New Delhi. Tata McGraw-Hill Limited.
Lewis, P. M. 1984. High Temperature Resistance of
Natural Rubber. Birmingham. RCT Corp.
Lindsay, P. B. 1982. Fatique Resistence of Natural
Rubber in Compression. New York. RCT
Corp.
Ludwig, L. E. 1944. Plasticizers, Stabilizers and
Fillers. New Delhi. India Rubber World.
Method of Producing Avtive Rice Husk Ash..
www.freepatentsonline.com/5329867.html.
Diakses tanggal 30 November 2006.
Morrison, N. J. 1983. The Thermal Stability of
Monosulfide Crosslinking in Natural Rubber.
New York. RCT Corp.
Philiple, K. 1985. Rubber Processing and Production
Engineering. New York. Plenum Press.
Prasetyoko, D. 2001. Pengoptimuman Sintesa
Zeolit Beta Daripada Silika Sekam Padi.
Tesis. Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Teknologi Malaysia.
Rice Husk Ash. www.ricehuskash.com/detail.html.
Diakses tanggal 30 November 2006.
Rodrigues, C. D. S. 2006. Effects of Rice Husk Ash
on Properties of Bamboo Pulp Reinforced
Cement
Composites.
http://biblioteca.
universia.net. Diakses tanggal 29 November
2006.

91

Sopyan, I. 2000. Kimia Polimer. Kebalen. Pradnya


Paramita.
Spillane, J. J. 1989. Komoditi Karet dan Perannya
dalam Perekonomian Indonesia. Cetakan
pertama. Yogyakarta. Kanisius.
Stern, H. J. 1967. Rubber Natural and Synthetic.
Second edition. New York. Palmerton
Publishing Corp.
Thomas, A. G. 1982. Measurement of Tensile
Strength of Natural Rubber Vulcanization at
Elevated Temperature. New York. RCT
Corp.
Tim Penulis PS. 1999. Karet Strategi Pemasaran
Tahun 2000 Budidaya dan Pengolahan.
Bogor. Penebar Swadaya.
Vulcanization. http://en.wikipedia.org/wiki/vulcanization.
Diakses tanggal 5 Desember 2006.

JURNAL

SAINS KIMIA
(JOURNAL OF CHEMICAL SCIENCE)
Volume: 10, 2006

ISSN: 1410 5152

AUTHORS-CO AUTHOR INDEX

Agusnar, Harry, 35, 67, 80


Alfian, Zul, 46
Bangun, Hakim, 10
Barus, Diana, 4
Christiani S., Evi, 4
Daniel, 10
Dawolo, Asteria K., 10
Faisal, Hendri, 67
Ginting, Mimpin, 51
Kaban, Jamaran, 10
Lumban Raja, Saur, 58
Misdawati, 78

Nasution, Darwin Yunus, 27, 86


Nasution, Emma Zaidar, 17, 40
Pasaribu, Albert, 73
Sebayang, Firman, 20
Sembiring, Manis, 4
Siregar, Irman Marzuki, 35
Sitepu, Mimpin, 4
Sihotang, Herlince, 51
Sihombing, Junifa Layla, 62
Sudiati, 4
Suryanto, Dwi, 31
Zuhra, Cut Fatimah, 1

JURNAL

SAINS KIMIA
(JOURNAL OF CHEMICAL SCIENCE)
Volume: 10, 2006

ISSN: 1410 5152

INDEX OF SUBJECT

Abu Sekam Padi, 86


Adsorpsi, 35
Alginat, 10
Amidasi, 76
Analisis, 46
Anverene, 73
Asam Benzoat, 27
Asam Lemak, 1
Asam Lemak Bebas, 46
Ayam Broiler, 67
Bahan Bakar, 62
Bahan Pengisi, 86
Briket Arang, 62
Bromelin, 20
Cangkang Kemiri, 62
Crude Palm Olein, 46
Degradasi, 27
Difusi, 10
Dry Ice Acetone, 58
Ekstraksi, 1, 51
Etanolisis, 1
Fotokatalitik, 27
Ganoderma, 31
Gliserolisis, 51
Growth Inhibition, 31
Hidrolisa, 40
Imobilisasi, 20
Isolasi, 20

Kappa Karagenan, 20
Kitin, 80
Kitin Protein, 67
Kitosan, 10, 35, 80
Koefisien Serapan, 4
Kompon Karet, 86
Kromatografi Kolom, 51
Kromatografi FT-IR, 51
Limbah Padat, 17
Litiasi, 58
Membran, 10, 80
Minyak Sawit Mentah, 17
N-Ftaloyl Kitosan, 76
NMR, 73
Pakan Ikan, 40
Pakan Ternak, 67
Papan Komposit, 4
Pelarut Kering, 58
Pelet, 40
Pemucatan, 17
Perisai Radiasi, 4
Pharmacological, 73
Plocamium cartilagium, 73
Serat Ijuk, 4
Spektrofotometri Serapan Atom, 35
TiO2, 27
Zat Aditif, 67

JURNAL

SAINS KIMIA
(JOURNAL OF CHEMICAL SCIENCE)
Volume: 10, 2006

ISSN: 1410 5152

Daftar Isi
Volume 10 Nomor 1

Etanolisis Minyak Dedak Padi yang Diekstraksi Secara Perendaman


Cut Fatimah Zuhra ..................................................................................

13

Modifikasi Serat Ijuk dengan Radiasi Sinar- Suatu Studi untuk Perisai Radiasi
Nuklir
Mimpin Sitepu ..........................................................................................

49

Pembuatan Membran Kompleks Polielektrolit Alginat Kitosan


Jamaran Kaban ........................................................................................

1016

Studi Minyak Sawit Mentah yang Terdapat pada Limbah Padat sebagai Akibat
Proses Pemucatan
Emma Zaidar Nasution ...........................................................................

1719

Pengujian Stabilitas Enzim Bromelin yang Diisolasi dari Bonggol Nanas Serta
Imobilisasi Menggunakan Kappa Karagenan
Firman Sebayang......................................................................................

2026

Pengaruh Waktu Irradiasi dan Laju Alir terhadap Degradasi Fotokatalitik Larutan
Asam Benzoat dengan Titanium Dioksida (TiO2) sebagai Katalis
Darwin Yunus Nasution...........................................................................

2730

Uji Bioaktivitas Penghambatan Ekstrak Metanol Ganoderma spp. terhadap


Pertumbuhan Bakteri dan Jamur
Dwi Suryanto ............................................................................................

3134

Kegunaan Kitosan sebagai Penyerap terhadap Unsur Kobalt (Co2+) Menggunakan


Metode Spektrofotometri Serapan Atom
Harry Agusnar..........................................................................................

3539

Studi Pembuatan Pakan Ikan dari Campuran Ampas Tahu, Ampas Ikan, Darah Sapi
Potong, dan Daun Keladi yang Disesuaikan dengan Standar Mutu Pakan Ikan
Emma Zaidar Nasution ...........................................................................

4045

Volume 10 Nomor 2

Perbandingan Hasil Analisis Beberapa Parameter Mutu pada Crude Palm Olein
yang Diperoleh dari Pencampuran CPO dan RBD Palm Olein terhadap Teoretis
Zul Alfian ..................................................................................................

4650

Pembuatan Monogliserida Melalui Gliserolisis Minyak Inti Sawit Menggunakan


Katalis Natrium Metoksida
Herlince Sihotang .....................................................................................

5157

Sintesis Senyawa Bis (1,2 Difenilfosfino) Etana dalam Pelarut Dietileter Kering
Saur Lumban Raja...................................................................................

5861

Studi Pembuatan Briket Arang dari Cangkang Kemiri dengan Variasi Ukuran
Partikel Arang dan Konsentrasi Perekat
Junifa Layla Sihombing...........................................................................

6266

Pengaruh Penambahan Kitin Protein sebagai Zat Aditif pada Makanan Ternak
untuk Meningkatkan Pertumbuhan Ayam Broiler
Hendri Faisal ............................................................................................

6772

Isolation of Anverene from The Antarctic Peninsula Red Algae (Plocamium


cartilaginium)
Albert Pasaribu ........................................................................................

7375

Sintesis Senyawa N-Ftaloyl Kitosan Melalui Reaksi Amidasi antara Kitosan


dengan Ftalat Anhidrida
Misdawati ..................................................................................................

7679

Penggunaan Membran Kitin dan Turunannya dari Tulang Rawan Cumi-Cumi untuk
Menurunkan Kadar Logam Co
Harry Agusnar..........................................................................................

8085

Pengaruh Ukuran Partikel dan Berat Abu Sekam Padi sebagai Bahan Pengisi
terhadap Sifat Kuat Sobek, Kekerasan dan Ketahanan Abrasi Kompon
Darwin Yunus Nasution...........................................................................

8691

También podría gustarte