Está en la página 1de 9

AGAMAWAN HUMANIS

Setiap agama menginginkan kedamaian. Kedamaian bukan hanya dalam tataran


penghayatan iman tetapi dalam relasi dengan agama yang lain. Kedamaian itu hanya akan
menjadi mungkin ketika setiap penganut agama apapun menghayati kehidupan sebagai
seorang agamawan humanis. Agamawan humanis adalah agamawan yang mengedepankan
cinta sesama di atas segalanya. Sesama adalah saudara bagi seorang agamawan. Tak mungkin
menjadi agamawan tanpa menjadi seorang yang humanis.
Esai reflektif ini akan membahas tentang agamawan humanis dengan menggunakan
metodologi fenomenologis. Dengan metode fenomenologis dimaksudkan sumber infromasi
dan pengetahuan itu diasalkan dari sebuah perjumpaan. Perjumpaan kami bersama Pak
Syamsul Arifin menjadi sumber inspirasi yang meneguhkan dan sekaligus sebagai teladan
dalam hidup beragama. Darinya kami belajar tentang bagaimana hidup di tengah masyarakat
pluralistik.
Perjumpaan
Sore itu 23 September, saya dan Tulus memutuskan untuk mengunjungi salah satu
pengurus masjid di sekitar Juwet. Keputusan ini kami tempuh karena Juwet adalah tetangga
dekat kami. Bermodalkan semangat kami pun berangkat. Sesampai di Juwet, ternyata
pengurus masjid tidak bisa kami jumpai karena beliau sedang keluar kota. Di sela
kevakuman itu, kami tak kehilangan akal. Kami berusaha meminta bantuan Mas Bambang
salah seorang karyawan kami untuk menghubungkan kami dengan sahabat atau kenalannya
untuk bisa kami temui. Beberapa saat setelah menelpon, kami diberitahu kalau ada
sahabatnya di daerah sekitar Pisang Agung yang bisa kami jumpai. Mendengar jawaban
positif dari Mas Bambang, kami pun berkeputusan untuk berjalan kaki ke sana.
Setelah 10 menit berjalan, kami akhirnya tiba di tempat yang kami tuju. Kami
diterima dengan sambutan hangat, senyum ramah, dan suguhan kopi nescafe. Kami pun
berkenalan satu sama lain dan memberitahu tujuan kedatangan kami.
Pak Syamsul Arifin adalah salah seorang Pengurus Masjid di daerah Pisang
Agung.Wajahnya tampak energik dan mudah tersenyum bagi setiap orang termasuk kepada
kami yang baru berjumpa untuk pertama kalinya. Beliau adalah seorang Guru pada
Madrasah Ibtidaiyah Yaspuri Malang. Ketika ngobrol santai sambil minum kopi hangat, saya
bertanya: Pak Syamsul pasti mengamati kekerasan di tanah air yang kerap meresahkan sebut
saja kekerasan yang dilakukan oleh FPI. Bagaimana pandangan Bapak terhadap kekerasan
yang meresahkan itu?
Saya cuman berpendapat. Setiap agama entah Islam, Katolik atau agama
apapun itu selalu mengutamakan kedamaian. Andai dalam kenyataan yang
terjadi adalah kekerasan kelompok terrtentu semisal FPI, hemat saya itu hanya
merupakan tafsiran yang berlebihan atas ajaran agama yang dianutnya.

Saya pun bertanya lebih lanjut: Menurut Pak Syamsul, langkah apa yang sekiranya
ditempuh utamanya bagi generasi-generasi muda untuk tak mudah tersulut dalam aksi
kekerasan?
Pertanyaan tersebut rupanya mengundang Pak Syamsul untuk bersharing.
Di Pesantren tempat saya belajar, kami disuguhi delapan jalan kebenaran
((Thoriqoh Shiddiqiyah) yang menjadi penuntun bagi kami untuk melangkah.
Delapan jalan kebenaran itu adalah: Sanggup berbakti kepada Allah, sanggup
berbakti kepada Rasullulah, sanggup berbakti kepada ibu bapak, cinta sesama
manusia, cinta NKRI, sanggup cinta kepada tanah air Indonesia, sanggup
mengamalkan Thoriqoh Shiddiqiyah, dan sanggup menghargai waktu. Selain
menjalankan delapan jalan kebenaran ini, dalam setiap kesempatan khotbah,
kami selalu diajar bukan hanya menyangkut hal-hal agama, tetapi cinta akan
sesama dan kebangsaan.

Kami ngobrol bersama Pak Syamsul kurang lebih satu setengah jam. Setelah waktu
sudah menunjukkan jam setengah tujuh malam, kami akhirnya berpamitan dan sebelum
beranjak dari tempat itu saya berkata:Pak lain waktu kami ke rumah Bapak lagi ya?
Mangga-Mangga, Mas datang saja, jawabnya sambil tersenyum ramah. Kami
meninggalkan rumah sekitar jam setengah tujuh.
Egoisme Kelompok
Setiap agama berziarah. Kisah peziarahan masing-masing agama unik. Dalam
peziarahan, masing-masing agama bernarasi tentang cinta, harapan, kedamaian. Namun, pada
saat yang sama, agama juga bernarasi tentang kebrutalan,kebengisan,kekerasan,dan arogansi.
Kisah tentang cinta, harapan, dan kedamaian bisa kita simak dalam perjalanan bangsa
kita yang telah sekian abad hidup dalam keanekaragaman. Kisah tentang kebrutalan dan
kekerasan bisa kita temukan misalnya dalam tragedi yang dialami oleh Jamaah Ahmadiyah di
Cikeusik, Pandeglang pada tanggal 6 Februari 2011. Tragedi kemanusiaan yang memilukan
yang memakan korban delapan orang dan tiga diantaranya tewas mengenaskan. 1Kisah lain,
yaitu mengenai kasus penusukan dan penganiayaan terhadap pemimpin agama HKBP di
Bekasi oleh anggota FPI. Baru-baru ini juga di Yogyakarta, FPI menyerang rumah Julius
Felicianus yang sedang melaksannakan doa rosario.
Kalau kita menyimak tindakan-tindakan radikalisme di atas, kita tentu akan bertanya apa
sesungguhnya yang menjadi pemicu dari tindakan radikal tersebut? Syamsul Arifin, pengurus
masjid di wilayah Pisang Agung dan Guru pada Madrasah Ibtidaiyah Yaspuri Malang menilai
bahwa motif di balik tindakan kekerasan yang ditimbulkan oleh kelompok-kelompok
ekslusif semisal FPI lebih merupakan tafsir berlebihan atas ajaran agama yang dianutnya.
Untuk afirmasi pernyataan Pak Syamsul di atas, kita ambil contoh yang kurang lebih
sama yaitu tentang motivasi religius para teroris. Motivasi religius mereka berisikan
semacam instruksi yang memprovokasi mereka sebelum menabrakkan pesawat ke gedung
World Trade Center pada 11 September 2001. Intruksi mereka berbunyi demikian: Waktu
bersenang-senang dan kesia-siaan telah berlalu. Dan kini saatnya hari pembalasan telah
tiba. Engkau akan masuk ke dalam surga. Engkau akan memasuki kehidupan yang paling
bahagia, kehidupan yang abadi.2Dan saat para pembajak akan memasuki pesawat, mereka
diminta untuk berdoa: Ya Allah bukakan semua pintu untukku. Ya Allah, aku menyerahkan
diriku di tangan-Mu. Tiada Tuhan selain Allah, aku seorang yang berdosa. Kami berasal
dari Allah dan kepada Allah kami kembali.3
Instruksi bunuh diri yang dilakukan oleh para pembajak pesawat dipandang sebagai misi
religius.4 Meskipun begitu, lagi-lagi misi religius ini lebih merupakan tafsir berlebihan atas
ajaran agama yang dianutnya. Selain itu, aksi terorisme merupakan produk dari aksi
propaganda.5Aksi-aksi propaganda yang dilakukan oleh teroris itu berupa ketakutan,
kecemasan, ketidakpastian, kekacauan dalam societas.6
1 Ester Falaurine, Problematika Kebebasan Beragama Di Indonesia Refleksi Kritis
Atas Kasus Jamaah Ahmadiyah , dalam Perpesktif Jurnal Agama dan
Kebudayaan Vol. 6 No. 2, Malang: Aditya Wacana, 2011, hlm. 106.
2 Roland Watson, Terror Manual For Hijackers Moment of Glory, The Times
(London), 29 September 2001.
3Ibid.,
2

Para teroris merasa memiliki kebenaran, tetapi kebenaran yang digenggam oleh
mereka kerap merupakan kebenaran yang sifatnya artifisial. Mereka dalam arti tertentu
terjebak dalam ideologi manusia massa.7
Terlepas dari
seputar pembahasan di atas, studi-studi agama kontemporer
menyebutkan bahwa kekerasan dalam bentuk apapun itu lebih merupakan ungkapan egoisme
komunitas agama. Egoisme komunitas agama mengacu pada egoisme pada level komunitas
agama di mana kepentingan komunal merupakan penggerak utama kelompok, sedangkan
kepentingan orang lain tidak dipertimbangkan.Varian kelompok ini antara lain kelompok
radikal yang tidak menolak menggunakan kekerasan dan teror dalam rangka mencapai tujuan
politisnya.8 Egoisme komunitas agama adalah nama lain dari fanatisme agama, anarkisme
agama, terorisme, dan radikalisme agama.
Agama Sumber Kedamaian
Pak Syamsul Arifin mengatakan bahwa: setiap agama hadir untuk menciptakan
kedamaian. Kalau sepintas menganalisis apa yang diakatakan Pak Syamsul Arifin, kita akan
menyimpulkan bahwa agama pada intinya menjadi pusat kedamaian dari semua bangsa
manusia. Tak ada satu dari agama di dunia ini yang tidak merasa terpanggil untuk tidak
memancarkan kedamaian.
Realitas bahwa manusia dari kodratnya rindu akan kedamaian, nyata dalam diri semua
penganut agama apapun.9 Agama dari dirinya sendiri anti-kekerasan, karena yang bergumul
dengan kekerasan adalah subyek-subyek manusianya yang beragama. 10Agama tidak
menuntun pada sesuatu yang tidak baik. Sifat manusialah yang menuntun pada keburukan.
4 David G. Kibble, Terorisme dan Benturan Antaragama dalam Agama dan
Terorisme ( terj. Ahmad Norma Permata), Surakarta: Muhamadiyyah University
Press, 2005, hlm. 97-98.
5 Prof. Dr. E. Armada Riyanto, CM, Berfilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2011,
hlm.159.
6Ibid., hlm. 160.
7 Istilah manusia massa ini berasal dari Prof. Armada Riyanto. Prof. Armada
Riyanto mengartikan manusia masasebagai manusia yang larut dalam
kerumunan masa. Konsekuensi praktis dari manusia masa ini adalah bahwa
kebenaran itu dikendalikan oleh kekang ideologi sebuah kelompok yang sifatnya
artifisial. Tambahan pula, dalam manusia massa apa yang sebenarnya artifisial
dianggap sebagai hal yang eksistensial. Singkatnya, manusia masa tidak
merepresentasikan kebenaran.
8DarwisKhudori, Maraknya Gerakan Politik Berbasis Agama, Yogyakarta: UniversitasSanata
Dharma, 2009, hlm. 32.
9Ibid., hlm. 118.
10Ibid., hlm. 119.
3

Oleh sebab itu, agama sebaiknya tidak dipandang terpisah dari keseharian hidup.
Agama hadir bukan sebagai penindas tetapi sebagai penganyom dalam praktik hidup seharihari. Andai agama itu menindas, maka agama perlu dikoreksi.11
Agama harus berpihak pada cinta akan kemanusiaan.Sebab, dimana ada cinta akan
kemanusiaan di situ Tuhan hadir.12 Dengan kata lain, Tuhan itu hadir dalam tindakan dan
keberpihakan mengangkat harkat dan martabat manusia. Dan sebaliknya,Tuhan justru tak
hadir dalam realitas kekerasan, teror, intimidasi, dan tindakan anarkis yang merugikan
apalagi menindas.
Kita sepakat bahwa agama sesungguhnya tidak mengajarkan kekerasan. Segala apa
yang jahat, seperti tindakan membunuh, meneror, membakar, memusnahkan sesama manusia
itu tidak berasal dari agama.13 Sebab itu, Joseph Ratzinger berpendapat bahwa kekerasan atas
nama agama perlu disikapi dengan amat bijak, tidak hanya dengan menggunakan macammacam pendekatan, tetapi juga dengan kesadaran penuh bahwa kedamaian tidak akan
tercapai lewat pemusnahan pihak lain dari muka bumi ini.14
Salah satu upaya konkret yang bisa dilakukan untuk menghindari kekerasan
sebagaimana yang diusulkan oleh Will Kymlicka adalah dengan memberlakukan prinsip
kesamaan di hadapan hukum terkait dengan ide keadilan karena hanya dengan demikian,
semua warga negara diperlakukan sama tanpa diskriminasi.15Setiap tindakan untuk
memusnahkan pihak lain dari muka bumi ini entah dengan cara apapun itu dapat melahirkan
lingkaran kekerasan dan sebagai akibat lebih lanjut, kedamaian yang didambakan tak akan
pernah tercapai.
Cinta Sesama
Sub judul ini menyimpulkan sebuah kalimat penting yang tercetus dari ucapan Pak Syamsul
sendiri yaitu:setiap manusia yang beragama harus mampu mencintai sesamanya.
Ungkapan Pak Syamsul ini cukup mendalam. Mendalam karena ungkapan tersebut
menyentuh keluhuran tertinggi manusia yang beragama. Keluhuran tertinggi manusia yang
beragama terletak pada cinta akan sesama.Tak mungkin beragama tetapi pada saat yang sama
membenci sesama.

11 Drs. Donatus Sermada, SVD, MA, Pengantar Ilmu Perbandingan Agama,


Malang: Pusat Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2011, hlm. 97.
12 Armada Riyanto, CM, Katolisitas Dialogal Ajaran Sosial Katolik, Yogyakarta:
Kanisius, 2014, hlm. 133.
13 Armada Riyanto, CM, Op. Cit., hlm.132.
14 Giancarlo Bosetti, Pemikiran Untuk Mencari Titik Temu Dalam Zaman
Pascasekular, dalam Giancarlo Bosetti (ed) , Iman Melawan Nalar: Perdebatan
Yoseph Ratzinger Melawan Jurgen Habermas ( terj. Hary Susanto), Yogyakarta:
Kanisius, 2009, hlm. 9.
15 F Budi Hardiman Pengantar: Belajar dari Politik Multikuturalisme, dalam Will
Kymlicka, Kewargaan Multikutural Teori Liberal Mengenai Hak-Hak Minoritas( terj.
Edlina Hafmini Eddin), Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2011, hlm. xix.
4

Mencintai sesama selalu mengandaikan persahabatan. Persahabatan menurut Armada


Riyanto sejatinya mentransendensi kesetiaan peraturan religius, agama, atau aneka peraturan
sakral yang lain. Artinya segala tindakan ketaatan kepada ajaran agama, apabila tidak
diterjemahkan dalam sikap bersahabat dan rukun, tidak ada artinya apa-apa. 16 Persahabatan
mencakup segala keutamaan.
Dalam usaha menjalin cinta akan sesama manusia dalam persahabatan, kita bisa
merujuk pada mendiang Yohanes Paulus II.17Yohanes Paulus II dalam seluruh hidupnya, ia
abdikan untuk berdialog dengan agama-agama di dunia.Ia juga dikenal sebagai orang yang
tampil dengan berani untuk membongkar kelekatan ekslusif agama-agama dengan sapaannya
yang merangkul. Beliau adalah seorang yang humanis dan sekaligus tampil mengagumkan
bagi semua pemeluk agama di dunia. Bahkan di saat ia meninggal bukan hanya Gereja
katolik yang meratap sedih, tetapi dunia pun ikut meratap karena kehilangan seorang tokoh
hebat itu. Dunia sepi dan tanpa kata menyaksikan kepergian orang yang mengubah wajah
dunia dengan cinta damai itu.
Gambaran teladan Paus Yohanes Paulus II yang penulis lukiskan di atas merupakan
jawaban atas teladan persahabatan. Sesungguhnya ketika setiap agama mengupayakan nilainilai kehidupan yang humanis sebagaimana yang diteladankan oleh Paus Yohanes Paulus II,
maka yakinlah suatu saat orang akan berkata atau pun dunia akan bersorak gempita
mengenang perjuangan masing-masing kita yang menjadi manusia yang melampaui sekatsekat ekslusivisme. Apakah hati kita ini tidak bergetar bangga di kala damai dan kebencian
itu sama-sama bernaung di bawah pondok yang telah kita bangun bersama dengan bahan
dasarnya adalah cinta yang merangkul?18
Cinta NKRI
Cinta akan NKRI menurut Syamsul Arifin adalah panggilan khas setiap orang beragama. Tak
mungkin kita mengakui bahwa kita ini beragama sementara pada saat yang sama menyangkal
nasionalitas kita sebagai anak bangsa. Antara hidup beragama yang baik dan menjadi warga
negara yang baik merupakan perpaduan yang sinergis dan saling mengandaikan.
Tambahan lagi, Syamsul Arifin mengatakan bahwa dasar yang menjadi perekat dalam
hidup bersama sebagai bangsa adalah Pancasila. Dengan dasar pancasila, kita yang berbeda
baik secara ras, agama, bahasa, budaya, dan asal disatukan. Dalam cara pandang yang kurang
lebih sejalan, Yudi Latif dalam bukunya, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila menulis demikian:
Pancasilaadalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun
( Leistar) yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya.
Dalam posisinya seperti itu,Pancasila merupakan jati diri, kepribadian,
moralitas, dan haluan keselamatan bangsa.19

16 Armada Riyanto, CM., Op.,Cit., hlm. 125-126.


17 Untuk bacaan yang lebih komprehensif mengenai Yohanes Paulus II. Simak.,
Prof.Dr. E. Armada Riyanto., CM, Dialog Interreligius Hitorisitas, Tesis,
Pergumulan, Wajah, Yogyakrata: Kanisius, 2010, hlm 307-326.
18Yanuarius Berek Fransiskus, Dialog Antar Agama: Beralih Dari Sekadar Pola
Ke Gaya Hidup ( Sebuah Upaya Menggagas Pluralisme Keagamaan Di Indonesia)
dalam FORUM Jurnal Ilmiah Filsafat dan Teologi, No.1 Thn. XL 2012, Malang:
STFT Widya Sasana, 2012, hlm. 71-72.
5

Mengacu pada argumen Yudi Latif, penulis berpendapat bahwa Pancasila dari
sendirinya merupakan daya perekat bersama di negeri tercinta ini. Pancasila perlu disadari
sebagai jembatan yang menghubungkan kita satu sama lain yang kerap menolak keragaman.
Pancasila dihidupi sebagai moralitas dan kompas yang membimbing pada pengakuan akan
pluralitas di Negara kita ini. Sebab itu, cinta akan Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah mutlak bagi setiap penganut agama apapun. Beragama dan nasionalis adalah dua hal
yang saling mengandaikan satu sama lain.
Silaturahmi
Setelah lama tak bertemu, akhirnya pada tanggal 31 Oktober, saya dan Tulus pergi
untuk kedua kalinya ke rumah Pak Syamsul. Sore itu sedikit berbeda dari perjumpaan
sebelumnya. Saya dan Tulus disambut hangat dan kami berbicara dari hati ke hati. Kesan
saya pada perjumpaan pertama, diskusi kami terasa sangat ilmiah. Pada perjumpaan kedua
ini, suasana lebih hidup dan tanpa bertanya-tanya lebih banyak, saya dan Tulus cukup hanya
mendengarkan apa komentar tambahan dari Pak Syamsul atas perbincangan kami
sebelumnya.
Pak Syamsul memulai perbincangan dengan mengatakan bahwa dalam Islam, kami
mengenal silaturahmi, sadako, dan santun.Pak Syamsul menyingkatnya dengan 3 S. Pak
Syamsul berujar: Siltaturahmi itu bukan hanya sekadar memberi ucapan selamat. Dengan
silaturahmi, kita boleh dengan hati yang bebas menjalin persahabatan dengan penganut
agama yang lain tanpa dihalangi oleh sekat suku, ras, atau golongan. Kita semua adalah
saudara.
Saya akhirnya tersadar dengan makna terdalam dari siltaturahmi. Selama ini saya
memahaminya hanya sebatas memberi ucapan selamat kepada umat agama tertentu yang
sedang merayakan hari raya keagamaannya. Ternyata silaturahmi dalam Islam itu melampaui
makna sekadar memberi ucapan selamat. Tujuan terdalam dari silaturahmi adalah untuk
membina keakraban satu sama lain di antara umat beragama lain. Dengan silaturahmi, kita
belajar untuk menyeberangi egoisme keagaaman. Dengan silaturahmi juga kita belajar untuk
menjalin persahabatan satu sama lain.
Satu hal yang menarik dari ucapan Pak Syamsul adalah kita semua saudara.
Ungkapan kita semua saudara itu bukan hanya berlaku bagi saudara seagama, tetapi
mengandaikan saudara dalam lintas agama. Bersaudara dalam lintas agama adalah cetusan
dari manusia-manusia yang bersaudara dan bersolider. Sebab perlu kita akui bahwa
kepenuhan manusia ada justru dalam hubungannya dengan yang lain, relasi aku-engkau.20
Dalam relasi antara aku dan engkau, tak ada lagi relasi yang saling mengucilkan,
mengobjekkan, apalagi menganggap yang lain itu marginal. Dalam relasi aku-engkau dicakup
persaudaraan satu sama lain. Ketika setiap orang adalah saudara, maka kekerasan, tindakan
anarkis, pembunuhan, penindasan dari sendirinya merupakan tindakan melukai saudara.
Apakah kita ingin membiarkan saudara-saudara kita terluka?
Sadako

19 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas


Pancasila, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm. 41.
20 Prof.Dr. Armada Riyanto, Aku dan Liyan Kata Filsafat dan Sayap, dalam ( Prof.
Dr. Armada Riyanto , eds), Malang: Widya Sasana Publication, 2011, hlm. 20.
6

Menurut Pak Syamsul Arifin, sadako itu adalah tindakan amal. Namun, tindakan amal
bukan hanya dibatasi pada derma, tetapi pada kebaikan dan cinta akan sesama. Andai
seseorang itu giat dalam beramal kepada anak-anak yatim-piatu dan anak-anak terlantar tetapi
pada saat yang sama menyulut kegiatan anarkis, itu sama sekali tak mencerminkan tindakan
sadako.
Sadako hanya bisa terjadi ketika individu-individu setiap agama mengembangkan
dirinya dalam koridor kesadaran cinta akan sesama.Kesadaran cinta akan sesama
memungkinkan setiap individu yang beragama terikat dengan tanggung jawab yang sifatnya
kolektif. Sebab, tindakan anarkis dalam bentuk apapun itu menimbulkan kerugian yang
bukan sifatnya pribadi tetapi kolektif. Oleh karena itu, tepat apa yang dikatakan Jean Paul
Sartre dalam kuliahnya tentang eksistensialisme adalah humanisme di tahun 1946: And,
when we say that man is responsible for himself, we do not mean that he is responsible for his
own individuality, but that he is responsible for all men.21
Dengan pernyataan Sartre di atas, kita disadarkan bahwa segala bentuk tindakan
anarkis dalam level apapun tak pernah dibenarkan. Sebab tindakan anarkis selalu bersentuhan
dengan kepentingan kolektif. Setiap penganut agama apapun dipanggil untuk bertanggung
jawab atas penghargaan harkat dan martabat manusia. Maka, sadako tak lain merupakan
tanggung jawab bersama setiap agama apapun menghargai harkat dan martabat manusia.
Santun
Santun menurut Pak Syamsul adalah penghormatan tulus kepada sesama. Artinya
setiap orang harus dihormati bukan karena jabatan atau status sosialnya tetapi karena dia
berhak untuk diperlakukan demikian.Santun hemat saya mengandaikan belas kasih
(compassion).
Apakah belas kasih? Ribuan orang dari seluruh dunia dan dari enam tradisi iman
(Yudaisme, Kristen, Islam, Hindu, Buddha, dan Konghucu) berkumpul di Swiss pada
Februari 2009 untuk mengonsep tentang makna belas kasih. Kita kutipkan sebagian: Prinsip
belas kasih yang bersemayam di dalam jantung seluruh agama, etika dan tradisi spiritual,
mengimbau kita untuk selalu memperlakukan semua orang sebagaimana kita sendiri ingin
diperlakukan.Belas kasih mendorong kita untuk bekerja tanpa lelah menghapuskan
penderitaan sesama manusia, melengsengkan diri dari pusat dunia kita dan meletakkan orang
lain di sana, serta menghormati kesucian setiap manusia lain, memperlakukan setiap orang,
tanpa kecuali, dengan keadilan, kesetaraan, dan kehormatan mutlak. 22
Sepintas kalau kita perhatikan kutipan di atas, kita akan menemukan bahwa belas
kasih dalam setiap agama itu menuntut kita memperlakukan sesama entah berasal dari agama
atau tradisi apapun sebagaimana kita sendiri ingin diperlakukan. Dengan belas kasih juga,
kita didorong untuk menghapuskan penderitaan dan memperlakukan setiap orang itu dengan
keadilan dan penghormatan yang sepantasnya.
Karen Armstrong telah memberikan sumbangan yang besar bagi perkembangan
kemanusiaan kita saat ini. Armstrong mengedepankan belas kasih sebagai landasan etika,
dengan demikian belas kasih itu perlu menjadi titik tolak dan puncak dalam segala bentuk
interaksi kita bersama yang lain. Dengan mengusung belas kasih di pundak kita, maka
21Jean Paul Sartre, Existensialism is A Humanism dalam Existentialism From
Dostoevsky To Sartre ( Edited by Walter Kaufmann), Cleveland and New York: The
World Publishing Company, hlm. 291.
22 Karen Armstrong, Compassion 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih ( terj.
Yuliani Liputo), Bandung: Mizan, 2012, hlm. 12.
7

keprihatinan untuk memerdekakan mereka yang tidak diorangkanakan selalu mengawal


kita untuk mengutamakan kebaikan dan persaudaraan. Dan dengan demikian kita akan
menemukan dasar yang menjadi daya perekat yakni berjuang bersama menjawabi tantangan
dan masalah-masalah kemanusiaan yang melukai wajah societas kita.
Kata Akhir
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan beberapa hal pokok sebagai konklusi
dalam tulisan ini. Pertama, dengan mendalami isu seputar radikalisme agama, setiap penganut
agama akan secara lebih sadar menjalani keseharian hidup sebagai orang beragama yang
humanis. Seorang agamawan yang humanis berarti seorang yang tidak hanya taat dengan
agamanya sebatas di ruang ibadat, tetapi menghidupi rasa keagamaannya dalam keseharian
hidupnya dengan penuh kesadaran sambil menjunjung tinggi penghargaan akan martabat
manusia.
Kedua, agama adalah institusi formal yang mendekatkan manusia-manusia pada
Allahnya.Namun,dalam kenyataan kerap mereka yang mengaku beragama justru melakonkan
kekerasan, tindakan anarkis. Ini sebuah tindakan yang paradoks. Oleh sebab itu, orang yang
beragama harus berhenti belajar untuk melukai sesamanya.Sebab dengan tidak melukai, kita
belajar untuk menaruh hormat dan penghargaan pada sesama.23
Ketiga, intisari dari silaturahmi, sadako, dan santun adalah belas kasih. Dengan kesadaran ini,
setiap agama dan penganutnya didorong untuk memancarkan belas kasih kepada siapa pun
tanpa memandang tradisi atau agamanya. Belas kasih mengatasi sekat-sekat kekerasan,
tindakan anarkis, dan kebrutalan.
Keempat, kita semua telah belajar banyak hal dari Pak Syamsul Arifin tentang
bagaimana hidup beragama di tengah pluralitas agama. Salah satu kunci penting untuk
meredam kekerasan adalah dengan menjadi sahabat bagi sesama.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
23 Armada Riyanto, CM., Op.,Cit., hlm. 145.
8

Armstrong, Karen.Compassion 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih ( terj. Yuliani


Liputo).Bandung: Mizan. 2012.
Bosetti, Giancarlo. Pemikiran Untuk Mencari Titik Temu Dalam Zaman Pascasekular,
dalam Giancarlo Bosetti (ed) Iman Melawan Nalar: Perdebatan Yoseph Ratzinger
Melawan Jurgen Habermas ( terj. Hary Susanto).Yogyakarta: Kanisius.2009.
Hardiman F Budi. Pengantar: Belajar dari Politik Multikuturalisme, dalam Will Kymlicka,
Kewargaan Multikutural Teori Liberal Mengenai Hak-Hak Minoritas ( terj. Edlina
Hafmini Eddin). Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. 2011.
Khudori, Darwis. Maraknya Gerakan politik Berbasis Agama.Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma. 2009.
Kibble, David G. Terorisme dan Benturan Antaragamadalam Agama dan Terorisme ( terj.
Ahmad Norma Permata). Surakarta: Muhamadiyyah University Press. 2005.
Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.2011.
Riyanto, Armada,E, Prof. Dr, CM. Dialog Interreligius Historisitas, Tesis, Pergumulan,
Wajah, Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Riyanto, Armada, E. Prof. Dr, CM. Berfilsafat Politik. Yogyakarta: Kanisius. 2011.
Riyanto, Armada Prof.Dr.Aku dan Liyan Kata Filsafat dan Sayap, dalam ( Prof. Dr. Armada
Riyanto , eds), Malang: Widya Sasana Publication. 2011.
Riyanto, Armada CM.Katolisitas Dialogal Ajaran Sosial Katolik.Yogyakarta: Kanisius. 2014.
Sermada, Donatus Drs. SVD, MA. Pengantar Ilmu Perbandingan Agama. Malang: Pusat
Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana. 2011.
Jurnal
Falaurine, Ester Problematika Kebebasan Beragama Di Indonesia Refleksi Kritis Atas Kasus
Jamaah Ahmadiyah , dalam Perpesktif Jurnal Agama dan KebudayaanVol. 6 No. 2.
Malang: Aditya Wacana. 2011.
Fransiskus, Berek Yanuarius. Dialog Antar Agama: Beralih Dari Sekadar Pola Ke Gaya
Hidup ( Sebuah Upaya Menggagas Pluralisme Keagamaan Di Indonesia) dalam
FORUM Jurnal Ilmiah Filsafat dan Teologi, No.1 Thn. XL 2012. Malang: STFT Widya
Sasana. 2012.
Watson, Roland.Terror Manual For Hijackers Moment of Glory, The Times (London), 29
September 2001.

También podría gustarte