Está en la página 1de 24

LAPORAN PENDAHULUAN

ELIMINASI URINE DAN FEKAL

A.

Definisi
Eliminasi merupakan suatu proses pengeluaran zat-zat sisa yang tidak
diperlukan oleh tubuh. Eliminasi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu : eliminasi urine
dan eliminasi fekal.
Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh.
Pembuangan dapat melalui urine dan bowel (tarwoto, wartonah, 2006).
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa
urine atau alvi (buang air besar). Kebutuhan eliminasi terdiri dari atas dua, yakni
eliminasi urine (kebutuhan buang air kecil) dan eliminasi alvi (kebutuhan buang air
besar).
Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh.
Pembuangan tersebut dapat melalui urin ataupun bowel.
Eliminasi materi sampah merupakan salah satu dari proses metabolic tubuh.
Produk sampah dikeluarkan melalui paru-paru, kulit, ginjal dan pencernaan.
Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh baik
yan berupa urin maupun fekal.
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa
urin atau bowel (feses).

1. Eliminasi urine
Sistem yang berperan dalam eliminasi urine adalah sistem perkemihan.
Dimana sistem ini terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemoh, dan uretra. Proses
pembentukan urine di ginjal terdiri dari 3 proses yaitu : filtrasi , reabsorpsi dan
sekresi .
Proses filtrasi berlangsung di glomelurus. Proses ini terjadi karena
permukaan aferen lebih besar dari permukaan eferen.

Proses reabsorpsi terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa,


sodium, klorida, fosfat, dan beberapa ion karbonat. Proses sekresi ini sisa reabsorpsi
diteruskan keluar.
2. Eliminasi fekal
Eliminasi fekal sangat erat kaitannya dengan saluran pencernaan. Saluran
pencernaan merupakan saluran yang menerima makanan dari luar dan
mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan proses penernaan
(pengunyahan, penelanan, dan pencampuran) dengan enzim dan zat cair dari mulut
sampai anus. Organ utama yang berperan dalam eliminasi fekal adla usus besar. Usus
besar memiliki beberapa fungsi utama yaitu mengabsorpsi cairan dan elektrolit,
proteksi atau perlindungan dengan mensekresikan mukus yang akan melindungi
dinding usus dari trauma oleh feses dan aktivitas bakteri, mengantarkan sisa makanan
sampai ke anus dengan berkontraksi.
Proses eliminasi fekal adalah suatu upaya pengosongan intestin. Pusat refleks
ini terdapat pada medula dan spinal cord. Refleks defekasi timbul karena adanya
feses dalam rektum.

B.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Eliminasi


1. Eliminasi Urine
a. Diet dan intake
Jumlah dan tipe makanana mempengaruhi output urine, seperti protein
dan sodium mempengaruhi jumlah urine yang keluar.
b. Respon keinginan awal untuk berkemih
Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan yang mengabaikan respon
awal untuk berkemih dan hanya pada akhir keinginan berkemih menjadi
lebih kuat. Akibatnya urine banyak tertahan dalam kandung kemih.
Masyarakat ini mempunyai kapasitas kamdung kemih yang lebih dari
normal.
c. Gaya hidup
Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal eliminasi
urine. Tersedianya fasilitas toilet atau kamar mandi dapat mempengaruhi
frekuensi eliminasi. Praktek eliminasi keluarga dapat mempengaruhi
tingkah laku.

d. Stress psikologi
Meningkatnya stres seseorang dapat meningkatkan frekuensi keinginan
berkemih. Hal ini karena meningkatnya sensitif untuk keinginan
berkemih dan atau meningkatnya jumlah urine yang diproduksi.
e. Tingkat aktivitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot. Eliminasi
urine membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik untuk tonus
spingter internal dan eksternal.
f.

Tingkat perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga akan mempengaruhi pola
berkemih. Pada wanita hamil kapasitas kandung kemihnya menurun
karena adanya tekanan dari fetus atau adanya

g. Kondisi patologis
Saat seseorang dalam keadaan sakit,produksi urinnya sedikit hal ini
disebabkan oleh keinginan untuk minum sedikit.

2. Eliminasi Fekal
a. Tingkat perkembangan
Pada bayi sistem pencernaannya belum sempurna. Sedangkan pada
lansia proses mekaniknya berkurang karena berkurangnya kemampuan
fisiologis sejumlah organ.
b. Diet
Ini bergantung pada kualitas, frekuensi, dan jumlah makanan yang
dikonsumsi. Sebagai contoh, makanan berserat akan mempercepat
produksi feses. Secara fisiologis, banyaknya makanan yang masuk
kedalam tubuh juga berpengaruh terhadap keinginan defekasi.
c. Asupan Cairan
Asupan cairan yang kurang akan menyebabkan feses lebih keras. Ini
karena jumlah absorpsi cairan dikolon meningkat.

d. Tonus Otot
Tonus otot terutama abdomen yang ditunjang dengan aktivitas yang
cukup akan membantu defekasi. Gerakan peristaltik akan memudahkan
materi feses bergerak disepanjang kolon.
e. Faktor psikologis
Perasaan cemas atau takut akan mempengaruhi peristaltik atau motilitas
usus sehingga dapat menyebabkan diare.
f.

Pengobatan
Beberapa jenis obat dapat menimbulkan efek konstipasi. Laksatif dan
katartik dapat melunakkan feses dan meningkatkan peristaltik. Akan
tetapi, jika digunakan dalam waktu lama, kedua obat tersebut dapat
menurunkan tonus usus sehingga usus menjadi kurang responsif terhadap
stimulus laksatif. Obat-obat lain yang dapat mengganggu pola defekasi
antara lain: analgesik narkotik,opiat, dan anti kolinergik.

g. Penyakit
Beberapa penyakit pencernaan dapat menyebabkan diare atau konstipasi.
h. Gaya hidup
Aktivitas harian yang biasa dilakukan, bowel training pada saat kanakkanak, atau kebiasaan menahan buang air besar.
i.

Aktivitas fisik
Orang yang banyakn bergerak akan mempengaruhi mortilitas usus.

j.

Posisi selama defekasi


Posisi jongkok merupakan posisi paling sesuai untuk defekasi. Posisi
tersebut memungkinkan individu mengerahkan tekanan yang terabdomen
dan mengerutkan otot pahanya sehingga memudahkan proses defekasi.

k. Kehamilan
Konstipasi adalah masalah umum ditemui pada trimester akhir
kehamilan . seiring bertambahnya usia kehamilan , ukuran janin dapat
menyebabkan obstruksi yang akan menghambat pengeluaran feses .
Akibatnya , ibu hamil sering kali mengalami hemoroid permanen karena
seringnya mengedan saat defekasi .

C.

KLASIFIKASI
1. Eleminasi urine
a. Retensi urine
Retensi urine adalah akumulasi urine yang nyata didalam kandung kemih
akibat ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih .
b. Dysuria
Adanya rasa setidaksakit atau kesulitan dalam berkemih .
c. Polyuria
Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal , seperti 2500 ml /
hari , tanpa adanya intake cairan .
d. Inkontinensi urine
Ketidaksanggupan sementara atau permanen otot spingter eksternal untuk
mengontrol keluarnya urine dari kantong kemih .
e. Urinari suppresi
Adalah berhenti mendadak produksi urine.

2.

Fekal
a. Konstipasi
Konstipasi adalah penurunan frekuensi defekasi , yang diikuti oleh
pengeluaran feses yang lama atau keras dan kering .

b. Impaksi

Imfaksi feses merupakan akibat dari konstipasi yang tidak diatasi . Imfaksi
adalah kumpulan feses yang mengeras , mengendap di dalam rektum , yang
tidak dapat dikeluarkan.

c. Diare
Diare adalah peningkatan jumlah feses dan peningkatan pengeluaran feses
yang cair dan tidak berbentuk . Diare adalah gejala gangguan yang
mempengaruhi proses pencernaan , absorpsi , dan sekresi di dalam saluran
GI .
d. Inkontinensia
Inkontinensia feses adalah ketidakmampuan mengontrol keluarnya feses dan
gas dari anus .
e. Flatulen
Flatulen adalah penyebab umum abdomen menjadi penuh , terasa nyeri , dan
kram.
f.

Hemoroid adalah vena vena yang berdilatasi , membengkak dilapisan


rektum .

D.

GEJALA KLINIS
1. Eleminasi urine
Retensi urine

Ketidaknyamanan daerah pubis.


Distensi kandung kemih.
Ketidaksanggupan untuk berkemih.
Sering berkemih dalam kandung kemih yang sedikit ( 25 50 ml ).

2. Eleminasi Fekal
Diare

Nyeri atau kejang abdomen.


Kadang disertai darah atau mukus.
Kadang vomitus atau nausea.
Bila berlangsung lama dapat mengakibatkan terjadinya kelemahan dan kurus.

E.

PATOFISIOLOGI
1. Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan di
atas. Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang berbeda. Pada
pasien dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera medulla spinal, akan
menyebabkan gangguan dalam mengkontrol urin/ inkontinensia urin. Gangguan
traumatik pada tulang belakang bisa mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis.
Lesi traumatik pada medulla spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan
adanya fraktur atau dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang,
efek traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang nyata di medulla spinallis. Cedera
medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf
termasuk pada persyarafan berkemih dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik dikaitkan
dengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai syok spinal. Syok
spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla spinalis (areflexia)
di bawah tingkat cedera. Dalam kondisi ini, otot-otot yang dipersyarafi oleh bagian
segmen medulla yang ada di bawah tingkat lesi menjadi paralisis komplet dan
fleksid, dan refleks-refleksnya tidak ada. Hal ini mempengaruhi refleks yang
merangsang fungsi berkemih dan defekasi. Distensi usus dan ileus paralitik
disebabkan oleh depresi refleks yang dapat diatasi dengan dekompresi usus (Brunner
& Suddarth, 2002). Hal senada disampaikan Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi
syok spinal terdapat tanda gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena tidak
berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan
gangguan defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan
penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling berlawanan dan
bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal penyimpanan
dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase
pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi
bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin
dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor
yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan
proksimal uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan
otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf
parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen
kolinergik. Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris

pada ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang
otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih
sakral spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran
parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada
otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk
merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya
urine dengan resistensi saluran yang minimal. Pasien post operasi dan post partum
merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini
terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan
pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau
trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal,
khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver
Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan
drainase kandung kemih yang adekuat.
2. Gangguan Eliminasi Fekal
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut
bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari
beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga
bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam
kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu
menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi
instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum
memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai
gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum.
Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati
anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka
feses keluar.
Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam rektum
dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 4) dan kemudian kembali ke
kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal sinyal parasimpatis ini
meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan
meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau
bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.

Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang
akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada
dasar panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal
dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi
duduk yang meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi
diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan
muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat
menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan feses. Cairan feses di
absorpsi sehingga feses menjadi keras dan terjadi konstipasi.

F.

PEMERIKSAAN FISIK
1. Eleminasi urine
a. Abdomen, kaji dengan cermat adanya pembesaran , distensi kandung kemih ,
pembesaran ginjal , nyeri tekan pada kandung kemih .
b. Genitalia. Kaji kebersihan daerah genetalia . Amati adanya bengkak , rabas ,
atau radang pada meatus uretra .
c. Urine, kaji karakteristik urine klien bandingkan dengan karakteristik urine
normal.
2. Eleminasi fekal
a. Abdomen, pemeriksaan dilakukan pada posisi terlentang , hanya pada bagian
yang tampak saja
Inspeksi. Amati abdomen untuk melihat bentuknya , simetrisitas , adanya

distensi atau gerak peristaltik .


Auskultasi , dengarkan bising usus , lalu perhatikan intensitas , frekuensi

dan kualitasnya.
Perkusi , lakukan perkusi pada abdomen untuk mengetahui adanya
distensi berupa cairan , massa , atau udara . mulailah pada bagian kanan

atas dan seterusnya .


Palpasi , lakukan palpasi untuk mengetahui konstitensi abdomen serta
adanya nyeri tekan atau massa di permukaan abdomen .

b. Rektum dan anus , pemeriksaan dilakukan pada posisi litotomi atau sims.
a. Feses , amati feses klien dan catat konstitensi, bentuk , bau , warna , dan
jumlahnnya.
Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan USG
2) Pemeriksaan foto rontgen
3) Pemeriksaan laboratorium urin dan feses

G. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian keperawatan
1.

Pola defekasidan keluhan selama defekasi

Pengkajian ini antara lain : bagaimana pola defekasi dan keluhannya selama defekasi,
secara normal, frekuensi buang air besar pada bayi sebanyak 4-6 kali/hari, sedangkan
orang dewasa adalah 2-3 kali/hari dengan jumlah rata-rata pembuangan per hari adalah
150 g.
2.

Keadan feses, meliputi:

No Keadaan

Normal

Abnormal

Penyebab

1.

Bayi, kuning.

Putih, hitam/tar,
atau merah

Kurang kadar empedu,


perdarahan saluaran saluaran
cerna bagian atas, atau
peradangan saluran cerna
bagian bawah

Dewasa: coklat

Pucat berlemak

Malabsorpsi lemak

warna

2.

Bau

Khas feses dan


dipengaruhi oleh
makanan

Amis dan
perubahan bau

Darah dan infeksi

3.

konsistensi

Lunak dan
berbentuk.

cair

Diare dan absorpsi kurang.

4.

bentuk

Sesuai diameter
rektum

5.

konsituen

Makanan yang
Darah, pus, benda Internal belding, infeksi,
dicerna, bakteri
asing, mukus, atau trtelan bendam iritasi, atau
yang maati, lemak, cacing.
inflamasi.
pigmen, empedu,
mukosa usus, air

3.

Kecil, bentuknya Obstruksi dan peristaltik yang


sesperti pensil.
cepat

Faktor yang mempengaruhi eliminasi fekal:

Faktor yang meningkatkan Eliminasi :


1.

Lingkungan yang bebas

2.

Kemampuan untuk mengikuti pola defekasi pribadi, privasi.

3.

Diet tinggi serat

4.

Asupan cairan normal (jus buah, cairan hangat)

5.

Olahraga

6.

Kemampuan untuk mengambil posisi jongkok

7.

Laksatif atau katartik secara tepat

Faktor yang merusak eliminasi :


1.

Stress emosional

2.

Gagal mencetuskan refleks defekasi, kurang waktu atau kurang privasi

3.

Diet tinggi lemak, tinggi KH

4.

Asupan cairan berkurang

5.

Imobilitas atau tidak aktif

6.

Tidak mampu jongkok, mis : usila, deformitas muskulo, nyeri defekasi

4.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaaan fisik yang meliputi keadaan abdomen seperti ada atau tidaknya distensi,
simetris atau tidak, gerakan peristaltik, adanya massa pada perut, dan tenderness.
B. Diagnosa Keperawatan

1.

Konstipasi berhubungan dengan:

Tidak adekuatnya diet berserat


Immobilisasi/ tidak adekuatnya aktifitas fisik
Tidak adekuatnya intake cairan
Nyeri saat defekasi
Perubahan kebiasaan rutin (pemasukan diet)
Penyalahgunaan laksatif
Menunda defekasi
Penggunaan obat yang menyebabkan konstipasi (anti analgesic, antacid dan
antikolinergal)
2.

Diare sehubungan dengan:

Stress emosinal, cemas


Tidak toleransi terhadap makanan (makanan busuk, beracun)
Gangguan diet
Inflamasi (radang) bowel
Efek samping obat
Alergi
Tindakan huknah
3.

Inkontinensia bowel sehubungan dengan:

Gangguan system syaraf sentral


Injuri spinal cord
Ketidakmampuan menahan defekasi
Diare
Impaktion fekal
Gangguan proses fakir/persepsi

Kelemahan
4.

Potensial kekurangan volume cairan sehubungan dengan diare

C. Perencanaan Keperawatan
Tujuan:
a.

Mengenal eliminasi normal.

b.

Kembali kekebiasaan defekasi yang regular

c.

Cairan dan makanan yang sesuai

d.

Olah raga teratur

e.

Rasa nyaman terpenuhi

f.

Integritas kulit dapat dipertahankan

g.

Konsep diri baik

Rencana tindakan:
1.

Kaji perubahan fakor yang memengaruhi maslah eliminasi fekal.

2.

Kurang faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah seperti:

a.

Konstipasi secara umum

Membiasakan pasien untuk buang air secara teratur, misalnya pergi ke kamar
mandi satu jam setelah makan pagi dan tinggal di sana sampai ada keinginan untuk buang
air.
-

Meningkatkan asupan cairan dengan banyak minum.

Diet yang seimbang dan makan bahan makanan yang banyak mengandung serat.

Melakukan latihan fisik, misalnya melatih otot perut.

Mengaturposisi yang baik untuk buang air besar, sebaiknya posisi duduk dengan
lutut melentur agar otot punggung dan perut dapat membantu prosesnya.
-

Anjurkan untuk tidak memaksakan diri dalam buang air besar.

Berikan obat laksanatif, misalnya dulcolaxTM atau jenis obat supositoria.

b.

Lakukan enema (huknah)


Konstipasi akibat nyeri

Tingkatkan asupan cairan.

Diet tingkat serat

Tingkatkan latihan setiap hari

Berikan pelumas disekitar anus untuk mengurangi nyeri

Kompres dingin sekitar anus mengurangi rasa gatal.

Rendamduduk atau mandi di bak dengan air hangat (43-46 derjat celcius, selama
15 menit) jika nyeri hebat.
-

Berikan pelunak feses.

Cegah duduk lama apabila hemoroid, dengan cara berdiri tiap 1 jam kurang lebih
5-10 menit untuk menurunkan tekanan.
c.

Konstipasi kolonik akibat perubahan gaya hidup

Berikan stimulus untuk defekasi, seperti minum kopi atau jus

Bantu pasien untuk menggunakan pispot bila memungkinkan.

Gunakan kamar mandi daripada pispot bila memungkinkan.

Ajarkan latihan fisik dengan memberikan ambulasi, latihan rentang gerak, dan
lain-lain.
d.

Tingkatkan diet tinggi serat buah dan sayuran.


Inkontinensia usus

Pada waktu tertentu setiap 2 atau 3 jam, letakkan pot di bawah pasien.

Berikan latihan buang air besar dan anjurkan pasien untuk selalu berusaha latihan.

Kalau inkon tinensia hebat, diperlukan adanya pakaian dalam yang tahan lembab,
supaya pasien dan sprei tidak begitu kotor.
-

Pakai laken yang dapat dibuang dan menyenangkan untuk dipakai.

Untuk mengurangi rasa malu pasien, perlu didukung semangat pengertian


perawatan khusus.
3.

Jelaskan mengenai eliminasi yang normal kepada pasien.

4.

Pertahankan asupan makanan dan minuman.

5.

Bantu defekasi secara manual.

6.

Bantu latihan buang air besar, dengan cara:

Kaji pola eliminasi normal dan cacatwaktu ketika inkontinensia terjadi.

Pilih waktu defekasi untuk mengukur kontrolnya.

Berikan pelunak feses (oral) setiap hari atau katartik supostoria setengah jam
sebelum waktu defekasi ditentukan.
Anjurkan pasien untuk minum air hangat atau jus buah ( minuman yang
merangsang peristaltik) sebelum waktu defekasi.
Bantu pasien ke toilet (program ini kurang efektif jika pasien mengggunakan
pispot).
-

Jaga privasi pasien dan batasi waktu defekasi (15-20 menit).

Instruksikan pasien untuk duduk di toilet, gunakan tangan untuk menekan perut
terus ke bawah dan jangan mengendan untuk merangsang pengeluaran feses.
D. Pelaksanaan Keperawatan
Menyiapkan Fases Untuk Bahan Pemeriksaan
Menyiapkan feses untuk bahan pemeriksaan merupakan cara yang dilakukan untuk
mengambil fases sebagai bahan pemeriksaan, yaitu pemeriksaan lengkap dan
pemeriksaan kultur (pembiakan)
1.
Pemeriksaan fases lengkap merupakaan pemeriksaan fases yang terdiriatas
pemeriksaan warna, bau konsistensi, lendir, darah, dan lain-lain.
2.
Pemeriksaaan fases kultur merupakan pemeriksaan fases melalui biakan dengna
cara taoucher (prosedur pengambilan fases melalui tangan).
Alat:

Tempat penampung atau botol penambung beserta penutup.

Etiket khusus.

Dua batang lidi kapas sebagai alat untuk mengambil fases.

Prosedur kerja:
1.

Cuci tangan.

2.

Jelas prosedur yang dilakukan.

3.
Anjurkan pasien untuk buang air besar lalau ambil fases melalui lidi kapas yang
elah di keluarkan, setelah selesai anjurkan pasien untuk membersihkan daerah sekitar
anusnya.
4.

Masukkan bahan pemeriksaan kedalam botolyang telah disediakan..

5.

Catat nama pasien dan tanggal pengambilan bahan pemeriksaan.

6.

Cuci tangan.

E. Evaluasi keperawatan
Evaluasi terhadap masalah kebutuhan eliminasi fekal dapat dinilai dengan adanya
kemampuan dalam.
1.

Memahami cara eliminasi yang normal.

2.
Melakukan latihan secara teratur, seperti rentang gerak atau lain (jalan, berdiri, dan
lain-lain).
3.
Mempertahankan defekasi secara normal yang ditunjukkan ddenga keampuan
pasien dalam pengontrol pasien dalam mengontrol defekasi tanpa bantuan obat/enema,
berpatisipasi dalam program latihansecara teratur,defekasi tanpa harus mengedan.
4.
Mempertahankan rasa nyaman yang ditunjukkan dengan kenyamanan dalam
kemampuan defekasi, tidak terjadi bleeding,tidak terjadi imflamasi, dan lain-lain.
5.
Mempertahankan integrasi kulit yang ditunjukkan keringnya area perianal, tidak
adainflamasi atau ekskoriasi, keringnya kulit sekitar stoma, dan lain-lain.

1. Pengkajian
a. Kebiasaan berkemih

Pengkajian ini meliputi bagaimana kebisaan berkemih serta hambatannya. Frekuensi


berkemih tergatung pada kebiasaan dan kesempatan. Banyak orang berkemih setiap hari pada
waktu bangun tidur dan tidak memerlukan waktu untuk berkemih pada waktu malam hari.
b. Pola berkemih
Frekuensi berkemih : frekuesi berkemih menentukan berapa kali individu berkemih dalam
waktu 24 jam
Urgensi : Perasaan seseorang untuk berkemih seperti seseorang ke toilet karena takut
megalami inkotinensia jika tidak berkemih
Disuria : Keadaan rasa sakit atau kesulitan saat berkemih. Keadaan ini ditemukan pada
striktur uretra, infeksi saluran kemih, trauma pada vesika urinaria.
Poliuria : Keadaan produksi urine yang abnormal yang jumlahnya lebih besar tanpa adanya
peingkata asupa caira. Keadaan ini dapat terjadi pada penyekit diabetes, defisiensi ADH, da
pen yakit kronis ginjal.
Urinaria supresi : Keadaan produksi urine yang berhenti secara medadak. Bila produksi
urine kurag dari 100 ml/hari dapat dikataka anuria, tetapi bila produksiya atara 100 500
ml/hari dapat dikataka sebagai oliguria.
c. Volume urine
Volume urine menentukan berapa jumlah urine yang dikeluarka dalam waktu 24 jam.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan pola eliminasi urine berdasarkan :
Ketidakmampuan salurab kemih akibat anomali saluran urinaria
Penurunan kapsitas atau iritasi kandung kemih akibat penyakit
Kerusakan pada saluran kemih
Efek pembedahan pada saluran kemih
b. Inkontinensia fungsional berdasarkan :
Penurunan isyarat kandung kemih dan kerusakan kemampuan untuk mengenl isyarat akibat
cedera atau kerusakan k. Kemih
Kerusakan mobilitas
Kehilangan kemampuan motoris dan sensoris

c. Inkontinensia refleks berdasarkan gagalnya fungsi rangsang di atas tingkatan arkus refleks
akibat cedera pada m. spinalis
d. Inkontinensia stress berdasarkan :
Tingginya tek. Intraabdimibal dan lemahnya otor peviks akibat kehamilan
Penurunan tonus otot
e. Inkontinensia total berdasarkan defisit komnikasi atau persepsi
f. Inkontinensia dorongan berdasarkan penurunan kapasitas k. Kemih akibat penyakit infeksi,
trauma, tindakan pembedahan, faktor penuaan
g. Retesi urine berdasarkan adanya hambatan pada sfingter akibat penyakit struktur, BHP
h. Perubahan body image berdasarkan inkontinensia dan enuresis
i. Resiko terjadinya infeksi salura kemih berdasarkan pemasangan kateter, kebersihan
perineum yang kurang
j. Resiko perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d gangguan drainase ureterostomi.

3. Perencanaan Keperawatan
Tujuan :
a. Memahami arti eliminasi urine
b. Membantu mengosongkan kandung kemih secara penuh
c. Mencegah infeksi
d. Mempertahankan integritas kulit
e. Memberikan rasa nyaman
f. Mengembalikan fungsi kandung kemih
g. Memberikan asupan secara tepat
h. Mencegah kerusakan kulit
i. Memulihkan self sistem atau mencegah tekanan emosional
Rencanakan Tindakan :
a. Monitor/obervasi perubahan faktor, tanda dan gejala terhadap masalah perubahan eliminasi
urine, retensi dan urgensia

b. Kurangi faktor yang mempengaruhi/penyebab masalah


c. Monitor terus perubahan retensi urine
d. Lakukan kateterisasi urine
Inkontinensia dorongan
a. Pertahankan hidrasi secara optimal
b. Ajarkan untuk meningkatkan kapasitas kandung kemih dengan cara
c. Ajarkan pola berkemih terencana (untuk mengatasi kontraksi kandung kemih yang tidak
biasa)
d. Anjurkan berkemih pada saat terjaga seperti setelah makan, latihan fisik, mandi
e. Anjurkan untuk menahan sampai waktu berkemih
f. lakukan kolaborasi dengan tim dokter dalam mengatasi iritasi kandung kemih
Inkontinensia total
a. Pertahankan jumlah cairan dan berkemih
b. Rencanakan program kateterisasi intermiten apabila ada indikasi
c. Apabila terjadi kegagalan pada latihan kandung kemih pertimbangan untuk pemasangan
kateter indweeling
Inkontinensia stress, kurangi faktor penyebab seperti :
a. ehilangan jaringan atau tonus otot, dengan cara :
Ajarkan untuk mengidentifikasi otot dasar pelviks dan kekuatan dan kelemahannya saat
melakukan latihan
Untuk otot dasar pelviks anterior bayangkan anda mencoba menghentikan aliran urine,
kencangkan otot-otot belakang dan depan dalam waktu 10 detik, kemudian lepaskan atau
rileks, ulangi hingga 10 kalidan lakukan 4 kali sehari
b. Meningkatkan tekanan abdomen dengan cara :
Latih untuk menghindari duduk lama
Latih untk sering berkemih sedikitnya tiap 2 jam.
Inkontinensia fungsional, Ajarkan teknik merangsang refleks berkemih, dengan berkemih
seperti : mekanisme supra pubis kutaneus
a. Ketuk supra pubis secara dalam, tajam dan berulang

b. Anjurkan pasien untuk


Posisi setengah duduk
Mengetuk kandung kemih secara langsug denga rata-rata 7-8 kali / detik
Gunakan sarung tangan
Pindahkan sisi rangsangan di atas kandung kemih untuk menentukan posisi saling berhasil
Lakukan hingga aliran baik
Tunggu kurang lebih 1 menit dan ulangi hingga kandung kemih kosong
Apabila rangsangan dua kali lebih dan tidak ada respon, berarti sudah tidak ada lagi yang
dikeluarkan.
c. Apabila belum berhasil, lakukan hal berikut ini selama 2- 3 menit dan berikan jeda waktu 1
menit di antara setiap kegiatan
Tekan gland penis
Pukul perut di atas ligamen inguinalis
Tekan paha bagian dalam
d. Catat jumlah asupan dan pengeluaran
e. Jadwalkan program kateterisasi pada saat tertentu

4. Tindakan Keperawatan
Pengumpulan Urine untuk bahan pemeriksaan
Mengingat tujuan pemeriksaan berbeda-beda, maka pengambilan sampel urine juga dibedabedakan sesuai dengan tujuannya. Cara pengambilan urine tersebut atara lain : pegambilan
urine biasa, pegambila urine steril dan pengumpulan selama 24 jam.
a. Pengambilan urine biasa merupaka pengambilan urine dengan cara mengeluarkan urine
seperti biasa, yaitu buang air kecil. Biasanya untuk memeriksa gula atau kehamilan.
b. Pengambilan urine steril merupakan pengambilan urine dengan cara dengan menggunakan
alat steril, dilakukan dengan menggunakan alat steril, dilakukan dengan keteterisasi atau
pungsi supra pubis. Pengambilan urine steril bertujuan mengetahui adanya infeksi pada
uretra, ginjal atau saluran kemih lainnya.
c. Pengambilan urine selama 24 jam merupakan pengambilan urine yang dikumpulkan dalam
24 jam, bertujuan untuk mengeetahui jumlah urine selama 24 jam dan mnegukur berat jenis
urine, asupan dan pengeluaran serta mengetahui fungsi ginjal.

Menolong untuk buang air kecil dengan menggunakan urinal


Menolong BAK dengan menggunakan urinal merupakan tindakan keperawatan dengan
membantu pasien yang tidak mampu BAK sendiri dikamar kecil dengan menggunakan alat
penampung dengan tujuan menampung urine dan mengetahui kelainan urine (warna dan
jumlah)
Melakukan kateterisasi
Indikasi :
a. Tipe Intermitten
Tidak mampu berkemih 8 12 jam setelah operasi
Retensi akut setelah trauma uretra
Tidak mampu berkemih akibat obat sedatif atau analgesic
Cedera pada tulang belakang
Degenerasi neuromuskular secara progresif
Pengeluaran urine residual
b. Tipe Indwelling
Obstruksi aliran urine
Pasca operasi saluran uretra dan struktur disekitarnya
Obstruksi uretra
Inkontinensia dan disorientasi berat
Menggunakan kondom kateter
Menggunakan kondom kateter merupakan tindakan keperawata dengan cara memeberikan
kondom kateter pada pasine yang tidak mampu mengontrol berkemih. Cara ini bertujuan agar
pasine dapat berkemih dan mempertahankannya.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan terhadap gangguan kebutuhan eliminasi urine secara umum dapat
dinilai dari adanya kemampuan dalam :
a. Miksi dengan normal, ditunjukkan dengan kemampuan berkemih sesuai dengan asupan
cairan dan pasien mampu berkemih tanpa menggunakan obat, kompresi pada kandung kemih
atau kateter.

b. Mengosongkan kandung kemih, ditunjukkan dengan berkurannya distensi, volume urine


residu, dan lancarnya kepatenan drainase
c. Mencegah infeksi/ bebas dari infeksi, ditunjukkan dengan tidak adanya infeksi, tidak
ditemukan adanya disuria, urgensi, frekuensi, dan rasa terbakar
d. Mempertahankan intergritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal kering tanpa
inflamasi an kulit di sekitar uterostomi kering.
e. Memberikan pasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria, tidak ditemukan
adanya distensi kandung kemih dan adanya ekspresi senang.
f. Melakukan Bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya frekuensi inkontinensia dan
mampu berkemih di saat ingin berkemih.

DAFTAR PUSTAKA

Harnawatiaj. 2010. Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Fekal. Terdapat


pada:
http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/14/konsep-dasar-pemenuhan-kebutuhaneliminasi-fecal/

Hidayat Alimul, Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba

Medika.
http://xsumertax.blogspot.com/2011/09/laporan-pendahuluan-kebutuhan-

eliminasi.html
Perry, Potter. 2005. Fundamental keperawatan, edisi 4, volume 1. Jakarta : EGC
Septiawan, Catur E. 2008. Perubahan Pada Pola Urinarius. Terdapat pada:

www.kiva.org
Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Medikal Bedah. Penerbit Kedokteran EGC: Jakarta.
Supratman. 2000. askep Klien Dengan Sistem Perkemihan
Tarwoto & Wartonah. 2004. Kebutuhan Dasar manusia dan Proses Keperawatan.
Jakarta: salemba medika

También podría gustarte