Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
BAB X
TAX PLANNING PADA WITHHOLDING TAX (PPH POTONG
PUNGUT) SELAIN PPH PASAL 21
Kelompok 3:
Ni Luh Nyoman Sherina Devi
(1506315016)
(1506315017)
Jefri Antonius
(1506315018)
1.1.Pengantar
Cara mudah yang dilakukan oleh pemerintah (Ditjen Pajak) untuk memungut pajak
adalah dengan cara mewajibkan wajib pajak melakukan pemungutan dan pemotongan atas
pajaknya, dari pihak lain (pihak ketiga), sesuai dengan kewajiban pajak untuk melakukan
pemotongan atau pemungutan pajak, dan selanjutnya menyetorkan dan melaporkannya ke
kantor pajak setiap bulan berdasarkan ketentuan perpajakan.
Cara seperti ini dikenal dengan nama sistem withholding tax. Dengan cara ini,
pemerintah akan lebih mudah dan hemat mengumpulkan pajak tanpa upaya dan biaya besar.
Berbeda dengan self assessment, yang memberi kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk
menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajaknnya sendiri.
Dalam praktiknya, masih saja kita temukan banyak wajib pajak yang tidak memiliki
informasi lengkap mengenai pajak apa saja yang harus dipotong atau dipungut. Sehingga
ketika wajib pajak melaksanakan transaksi pembayaran dan tidak melakukan pemotongan
atau pemungutan PPh, maka konsekuensi yang harus dihadapinya adalah, wajib pajak
tersebut akan dikenai tagihan atas pajak yang tidak/kurang dipungut/dipotong, ditambah
dengan sanksi administrasi.
1.2.Jenis-Jenis PPh Potong Pungut
1.2.1. PPh Pasal 22
Objek PPh Pasal 22
Kegiatan usaha di bidang impor dan kegiatan usaha di bidang lain yang memeperoleh
pembayaran atas barang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah yang dilakukan dengan atau melalui pemungutpemungut yang ditunjuk itu saja yang dapat dipungut Pajak Penghasilan.
Pemungut Pajak
1) Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan cukai, atas impor barang
2) Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendahara Pemerintah baik di tingkat pusat
maupun di tingkat Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang.
3) Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dengan
mekanisme uang persediaan (UP).
4) Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar
yang diberi delegasi oleh KPA berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang
kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS).
5) Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan
pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau
belanja daerah (APBD).
6) Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan
Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik
Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau steel, PT Pertamnina,
dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber
dari APBN maupun non-APBN.
7) Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok,
industri kertas, Industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya didalam negeri.
8) Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan
bakar minyak, gas, dan pelumas.
9) Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian,
dan perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas pembelian bahanbahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
Tarif Pungutan dan Dasar Pengenaan PPh Pasal 22
1) PPh Pasal 22 Impor
Besarnya PPh Pasal 22 Impor adalah:
1. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API):
Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir, dikenai tarif
pajak sebesar 0,5% dari nilai impor.
Selain impor gandum dan tepung terigu oleh importir yang memiliki API
tetap dikenai 2,5% dari nilai impor.
Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan atau jasa yang atas
imbalannya semata-mata dikenakan PPh final, tidak dikenai PPh Pasal 22
impor.
Jika kemudian diketahui bahwa atas impor tersebut tidka digunakan untuk
kegiatan yang tidak dikenakan PPh fibal, maka PPh Pasal 22 yang terutang
akan ditagih beserta dengan sanksi bunganya.
Objek Pajak
1.
2.
3.
e.
4.
Premium
Solar
Premix/Super TT
Minyak Tanah
Pelumas
Penjualan Barang yang Tergolong
Sangat Mewah
Tarif
Dasar Pengenaan
Pajak (DPP)
1,5%
Harga Pembelian
0,25%
Harga Pembelian
2,5%
0,5%
Nilai Impor
Nilai Impor
7,5%
Nilai Impor
7,5%
Nilai Lelang
0,25%
0,10%
0,30%
0,45%
SPBU
Swastanisasi
0,3%
0,3%
0,3%
-
DPP PPN
DPP PPN
DPP PPN
DPP PPN
5%
Penjualan
Penjualan
Penjualan
Penjualan
Penjualan
Penjualan
Harga Jual Tidak
Termasuk PPN & PPnBM
Sifat
Dasar
Hukum
KEP-401/01
KEP-69/95
KEP-01/96
KEP-32/95
KEP-417/01
Final
Final
Final
Final
Final
Final
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Objek Pajak
Dividen:
Yang diterima oleh badan dengan
kepemilikan kurang dari 25%
Yang diterima oleh orang pribadi (pasal 17
ayat 2c)
Bunga
Royalti
Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya
yang telah dipotong PPh pasal 21
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan
lain sehubungan dengan penggunaan harta yang
telah dikenai PPh Final.
Imbalan bruto sehubungan dengan jasa teknik,
jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultasi,
selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Imbalan sehubungan dengan jasa lain (PMK No.
244/PMK.03/2008)
Tarif
DPP
15%
Penghasilan bruto
10%
Penghasilan bruto
15%
15%
Penghasilan bruto
Penghasilan bruto
15%
Penghasilan bruto
2%
2%
2%
a. Objek PPh yang dipotong sebesar 20% dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib
membayarkan.
b. Objek PPh yang dipotong PPh pasal 26 yang dipotong pajak 20% dari perkiraan
penghasilan neto, yaitu: objek PPh yang dipotong pajak sebesar 20% dari penghasilan
kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, atau
yang biasa disebut Branch Profit Tax.
Pemungut Pajak
Berdasarkan Peraturan Dirjen Nomor PER 52/PJ/2009 tentang tata cara
pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak penghasilan pasal 26 atas penghasilan
dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam pasal 4
(2) UU PPh yang diterima atau diperoleh WPLN selain BUT di Indonesia, yang
ditunjuk sebagai pemotong PPh pasal 26 adalah:
a. Badan Pemerintah,
b. Subjek pajak badan dalam negeri
c. Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan dalam negeri
d. Orang pribadi sebagai WPDN yang ditunjuk oleh DJP yaitu:
a) Akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT (kecuali camat), pengacara, konsultan
yang melakukan kerja bebas.
b) Orang pribadi yang menjalankan usaha dan yang menyelenggarakan
pembukuan.
Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Objek Pajak
Dividen
Bunga, termasuk premium, diskonto,
premi swap, dan imbalan sehubungan
dengan pengembalian utang.
Royalti, sewa, dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta.
Hadiah dan penghargaan.
Pensiunan dan pembayaran berkala
lainnya.
Penghasilan dari penjualan harta di
Indonesia yang diterima WPLN, selain
BUT di Indonesia.
Dibayarkan
tertanggung
kepada
perusahaan asuransi di luar negeri baik
secara langsung maupun melalu pialang
Dibayarkan perusahaan asuransi di
Indonesia kepada perusahaan asuransi di
luar negeri
Tarif
20% atau tarif P3B
DPP
Penghasilan Bruto
Penghasilan Bruto
Penghasilan Bruto
Penghasilan Bruto
Penghasilan Bruto
Penghasilan Bruto
Penghasilan Bruto
Penghasilan Bruto
8.
9.
Penghasilan Bruto
5%
Harga Jual
Objek Pajak
Bunga dan diskonto obligasi yang
diperdagangkan dan atau dilaporkan
perdagangannya di bursa efek
2.
3.
4.
5.
Pemungut Pajak
Penerbit obligasi atau custodian selaku agen
pembayaran yang ditunjuk
Perusahaan efek, dealer, atau bank, sekalu pedagang
perantara dan atau pembeli, atas bunga dan diskonto
yang diterima penjual obligasi pada saat transaksi
Penyelenggara bursa efek
Bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indoneisa dan
Bank Indonesia
Penyelenggara undian
6.
Penghasilan
konstruksi
dari
usaha
jasa
7.
8.
9.
Objek Pajak
Tarif
DPP
15%
Keterangan
dari
obligasi
dengan
20%
dari
obligasi
tanpa
15%
20%
15%
20%
0%
5%
15%
0.10%
3
4
5
6
0.50%
20%
20%
25%
10%
2%
4%
3%
2
Pemilik saham pendiri dikenakan
tambahan Pajak Penghasilan
WPDN
Dalam
hal
saham
perusahaan diperdagangkan
di bursa efek setelah 1
Januari 1997, maka nilai
saham ditetapkan sebesar
harga saham pada saat
penawaran umum perdana
WPDN
WPDN selain BUT
Jumlah
pembayaran
atau
jumlah
penerimaan
pembayaran atau jumlah yang
merupakan
bagian
dari
(huruf a dan b)
Perancanaan Konstruksi
Pengawasan Konstruksi
Perancanaan Konstruksi
Pengawasan Konstruksi
dan besar
atau
atau
4%
6%
5%
Bunga
simpanan
yang
dibayarkan
oleh
koperasi
kepada anggota koperasi orang
pribadi
1%
10%
penghasilan
0%
Jumlah bruto bunga
10%
brupa
dilakukan pembayaran
Atas pembelian hasil produksi PPh Pasal 22 terutang dan dipungut saat penjualan
Atas penjualan hasil produksi atau pengolahan barang, PPh Pasal 22 terutang dan
dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (delivery order)
1) Penyetoran PPh potong pungut dilakukan ke kas paling lambat tanggal 10 bulan
berikut dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP)
2) Pelaporan PPh dilakukan ke KKP tempat pemotong atau pemungut terdaftar paling
lambat tanggal 20 bulan berikutnya dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa
(SPM)
1.5.Sanksi-sanksi Pajak Terkait
Sanksi pajak yang terkait dengan pelaksanaan kewajiban PPh potong pungut antara
lain adalah:
Bagi pihak yang dipotong juga terdapat sanksi pajak, antara lain:
Sanksi 100% dari pajak terutang jika pihak yang dipotong tidak memiliki NPWP
Sanksi pajak yang telah dipotong tidak dapat dikreditkan jika tidak memenuhi
persyaratan-persyaratan pengkreditan
Sanksi Pidana:
Pasal 39 ayat (1) UU KUP menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja tidak
menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut. sehingga dapat menimbulkan kerugian
pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar.
Pasal 39 ayat (2) UU KUP menyatakan bahwa Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan
lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak
selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
1.6.Perencanaan Pajak pada PPh Potong Pungut
Karena system withholding tax (dalam hal ini PPh potong pungut) melibatkan dua
pihak yaitu:
1) Pihak pemberi penghasilan sebagai pihak pemotong atau pemungut
2) Perlakuan pajak jika WPLN bukan resident negara treaty partner (non treaty partner)
Untuk passive income yang diterima WPLN non treaty partner, pihak pembayar di
Indonesia wajib memotong PPh pasal 26 dengan menggunakan tarif UU PPh yaitu
20% dari jumlah bruto jika WPLN tersebut tidak memiliki BUT di Indonesia. Dalam
hal WPLN memiliki BUT di Indonesia, pihak pembayar di Indonesia wajib
memotong PPh pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto.
Untuk active income yang diterima WPLN non treaty partner, pihak pembayar di
Indonesia wajib memotong PPh pasal 26 sebesar 20% dari jumlah bruto jika WPLN
tersebut tidak memiliki BUT di Indonesia. Dalam hal WPLN tersebut memiliki BUT
di Indonesia, maka pihak pembayar di Indonesia wajib memotong PPh Pasal 23
sebesar 2% dari jumlah bruto.
1.6.5. Rekonsiliasi Obyek Pemotongan PPh Pot-Put
1) Rekonsiliasi obyek PPh pot-put bagi perusahaan selaku pemotong
Salah satu upaya manajemen pajak yang terukur bagi perusahaan selaku pemotong
pajak adalah melakukan rekonsiliasi/ekualisasi atas kewajiban pemotongan PPh potput. Caranya adalah dengan membandingkan obyek pemotongan PPh pot-put
berdasarkan angka yang tertera dalam laporan keuangan dengan dasar pengenaan
pajak yang telah dilaporkan perusahaan dalam SPT Masa PPh pot-put yang bervariasi,
mulai dari pemotongan PPh pasal 4 ayat (2), 15, 21/26, 22, dan 23/26.
2) Rekonsiliasi obyek PPh pot-put bagi perusahaan selaku pihak yang dipotong.
Selaku penerima penghasilan yang merupakan obyek PPh pot-put, perusahaan akan
dipotong pajaknya oleh pelanggan. Untuk kepentingan perpajakan, perusahaan dapat
melakukan rekonsiliasi objek PPh pot-put berdasarkan bukti potong yang diterima
dari pelanggan dengan penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan
atau audit report laporan keuangannya. Perbedaan atau selisih angka rekonsiliasi akan
berakibat adanya eksposure atas kewajiban PPh badan perusahaan dan/atau
berkonsekuensi pada penetapan PPN apabila penghasilan tersebut adalah juga
merupakan objek PPN.
Catatan: selisih perbedaan akibat rekonsiliasi harus dapat dijelaskan dan didukung oleh buktibukti yang memadai untuk menghindari koreksi fiskus jika terjadi pemeriksaan pajak.
1.6.6. Mengelola Perbedaan Interpretasi Mengenai Objek Pajak pada Suatu Transaksi
Dalam praktik di lapangan, sering terjadi perbedaan interpretasi antara wajib pajak
dengan fiskus atas objek PPh pot-put dalam suatu transaksi. Contohnya: pembayaran
sehubungan dengan informasi berkenaan dengan pengalaman di bidang ilmu pengetahuan,
perdagangan, dan industri. Dalam praktik sering terjadi dispute antara royalti dengan imbalan
jasa teknik terkait pembayaran tersebut. Padahal perlakuan pajak antara keduanya berbeda.
Untuk menghindari timbulnya koreksi akibat adanya perbedaan interpretasi tersebut, wajib
pajak harus memahami benar substansi dari transaksi tersebut dan memahami ciri-ciri yang
membedakan kedua objek pajak tersebut.