Está en la página 1de 6

A.

MANIFESTASI KLINIS
PPOK memberikan gambaran manifestasi klinis dari aspek anamnesis dan
pemeriksaan fisis, yaitu (PDPI, 2003):
1. Anamnesis
a. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan.
b. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.
c. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
d. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara.
e. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak.
f. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.
2. Pemeriksaan fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan.
a. Inspeksi
1.) Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu).
2.) Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding).
3.) Penggunaan otot bantu napas.
4.) Hipertropi otot bantu napas.
5.) Pelebaran sela iga.
6.) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai.
7.) Penampilan pink puffer atau blue bloater.
b. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
c. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah.
d. Auskultasi
1.) Suara napas vesikuler normal, atau melemah.
2.) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa.
3.) Ekspirasi memanjang.
4.) Bunyi jantung terdengar jauh.
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed-lips breathing.
Blue bloater

Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.
Pursed-lips breathing
Sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan
retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi
CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Faal paru
a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
1.) Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%). Obstruksi: % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80%
VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %.
2.) VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
3.) Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
b. Uji bronkodilator
1.) Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
2.) Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan
VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml.
3.) Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.
2. Darah rutin: Hb, Ht, leukosit.
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain,
seperti:
Pada emfisema terlihat gambaran:
a. Hiperinflasi
b. Hiperlusen
c. Ruang retrosternal melebar
d. Diafragma mendatar
e. Jantung menggantung (jantung pendulum/ tear drop/ eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik terlihat gambaran:
a. Normal
b. Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

(PDPI, 2003)
C. DIAGNOSIS
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan
tanda inflasi paru. Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak
nafas, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, serta adanya riwayat faktor
resiko. Sedangkan PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala (PDPI, 2003).
Diagnosa dapat ditegakkan yang pertama yakni dengan anamnesa.
Meliputi keluhan utama dan keluhan tambahan. Biasanya keluhan pasien adalah
batuk maupun sesak napas yang kronis dan berulang. Tipe emfisema paru seharihari cenderung memiliki keluhan sesak napas yang biasanya diekspresikan berupa
pola napas yang terengah-engah. Pada tipe bronkitis kronis gejala batuk sebagai
keluhan yang menonjol, batuk disertai dahak yang banyak kadang kental dan
kalau berwarna kekuningan pertanda adanya super infeksi bakteriel. Gangguan
pernapasan kronik, PPOK secara progresif memperburuk fungsi paru dan
keterbatasan aliran udara khususnya saat ekspirasi, dan komplikasi dapat terjadi
gangguan

pernapasan

dan

jantung.

Perburukan

penyakit

menyebabkan

menurunnya kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, bahkan sampai


kehilangan kualitas hidup (Suradi, 2007).
Adanya Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja juga sering
ditemukan. Kemudian adanya riwayat penyakit emfisema pada keluarga dan
terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang dan lingkungan asap rokok dan polusi
udara. Kemudian adanya Batuk berulang dengan atau tanpa dahak dan sesak
dengan atau tanpa bunyi mengi (PDPI, 2003).
Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik, pada inspeksi didapati pursed-lips
breathing atau sering dikatakan mulut setengah terkatup atau mulut mencucu. Lalu
adanya barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding). Pada
saat bernapas dapat ditemukan penggunaan otot bantu napas dan hipertropi otot
bantu napas. Pelebaran sela iga dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat
denyut vena jugularis leher dan edema tungkai. Dan adanya Penampilan pink
puffer atau blue bloater. Pada saat palpasi didapati stem fremitus yang lemah pada

penderita emfisema dan adanya pelebaran iga. Dan saat perkusi pada penderita
emfisema akan didapati hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah. Auskultasi berguna untuk mendengar apakah
suara napas vesikuler normal, atau melemah, apakah terdapat ronki dan atau
mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang
dan bunyi jantung terdengar jauh (PDPI, 2003).
Pemeriksaan penunjang yang rutin

dilakukan

untuk

membantu

menegakkan diagnosa adalah Faal paru, dengan menggunakan Spirometri (VEP1,


VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP) Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak
mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, namun dapat dipakai
sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore. Lalu uji faal
paru lainnya dapat dilakukan Uji bronkodilator biasa untuk PPOK stabil. Selain
faal paru, yang rutin dilakukan adalah darah rutin (melihat leukosit, Hb dan
hematokrit). Dan pemeriksaan radiologi yakni foto toraks posisi PA untuk melihat
apakah ada gambaran emfisema atau bronkitis kronis.
Adapun pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah pemeriksaan faal
paru dengan pengukuran Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional
(KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, dll. Lalu lainnya adalah uji latih
kardiopulmoner, uji provokasi bronkus, uji coba kortikosteroid, analisis gas darah,
CT Scan resolusi tinggi, elektrokardiografi, ekokardiografi, bakteriologi dan kadar
alfa-1 antitripsin (PDPI, 2003).
D. KLASIFIKASI
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) 2008, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) dibagi atas 4 derajat
berdasarkan tingkat keparahannya, yaitu:
1. Derajat 1 (PPOK ringan)
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan
aliran udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat
ini, orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.
2. Derajat 2 (PPOK sedang)
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP 1 / KVP < 70%;
50% < VEP1 < 80% prediksi), disertai dengan adanya pemendekan dalam
bernafas. Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh
karena sesak nafas yang dialaminya.
3. Derajat 3 (PPOK berat)

Ditandai dengan keterbatasan / hambatan6y aliran udara yang semakin


memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% <VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak
nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi
yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.
4. Derajat 4 (PPOK sangat berat)
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%;
VEP1 < 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya
gagal nafas kronik dan gagal jantung kanan (GOLD, 2008).
I.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis PPOK harus didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang karena berbagai penyakit dapat memiliki gejala
dan tanda menyerupai PPOK.
Tabel 3. Diagnosis banding PPOK
Diagnosis

Gejala

PPOK

Onset pada pertengahan


Gejala progresif lambat
Lamanya riwayat merokok
Sesak saat aktivitas
Sebagian besar hambatan aliran udara
Irreversibel

Asma

Onset awal sering pada anak


Gejala bervariasi dari hari ke hari
Gejala pada malam / menjelang pagi
Disertai atopi, rhinitis, atau eksim
Riwayat keluarga asma
Sebagian besar keterbatasan aliran udara
Reversibel

Gagal jantung kongestif

Auskultasi terdengar ronki halus di bagian


basal.
Foto thoraks tampak jantung membesar, edema
paru
Uji faal paru menunjukkan restriksi bukan
obstruksi

Bronkiektasis

Sputum produktif dan purulen


Umumnya terkait dengan infeksi bakteri.
Auskultasi terdengar ronki kasar
Foto thoraks / CT Scan thoraks menunjukkan

pelebaran dan penebalan bronkus.


Tuberkulosis

Onset segala usia


Foto thoraks menunjukkan infiltart.
Konfirmasi mikrobiologi (sputum BTA)
Prevalensi tuberkulosis tinggi di daerah
endemis.

Bronkiolitis obliterans

Onset pada usia muda, bukan perokok.


Mungkin memiliki riwayat rheumatoid arthritis
atau pajanan asap.
CT Scan thoraks pada ekspirasi menunjukkan
daerah hipodens.

Panbronkiolitis difus

Lebih banyak pada laki-laki bukan perokok.


Hampir semua menderita sinusitis kronik
Foto thoraks dan HRCT thoraks menunjukkan
nodul opak menyebar kecil di centrilobular dan
gambaran hiperinflansi.

(GOLD, 2010)

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Gloal strategy for
the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary
disease. National Institutes of Health. National Heart, Lung and Blood
Institute, Update 2010.
Perhimpunan

Dokter

Paru

Indonesia

(2003).

Pedoman

Diagnosis

dan

Penatalaksanaan di Indonesia Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).


Suradi (2007). Pengaruh Rokok pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK):
Tinjauan Patogenesis, Klinis dan Sosial. Solo: UNS Press.

También podría gustarte