Está en la página 1de 15

Pengertian Masyarakat Majemuk Masyarakat

Multikultural serta ke mana Indonesia Termasuk


OLEH:

SETA BASRI13 KOMENTAR

SISTEM SOSIAL
Share:

DAN BUDAYA INDONESIA

Pengertian masyarakat majemuk masyarakat multikultural serta ke mana Indonesia termasuk


merupakan suatu topik yang menarik untuk disampaikan. Bhinneka Tunggal Ika,

demikian slogan yang dicengkeram oleh Garuda, burung lambang negara


kesatuan Republik Indonesia. Ironisnya, atas dasar tersebut, asumsi yang
kini terus bertahan adalah Indonesia selalu dianggap majemuk bukan
multikultur. Asumsi ini harus mulai dipertanyakan karena pola masyarakat
majemuk sarat bias kolonial Belanda. Sejumlah ahli kemasyarakatan
Indonesia, semisal Parsudi Suparlan, berupaya mendekonstruksi asumsi
majemuk masyarakat Indonesia menjadi multikultural. Asumsi majemuk
dianggap tidak sehat dalam menciptakan harmoni dan integrasi Indonesia
yang ditengarai berbagai kerusuhan berbias etnis maupun agama. Pada
kesempatan ini perlu dinyatakan kaum intelektual Indonesia pun dianggap
bertanggung jawab karena turut mempertahankan konsepsi masyarakat
majemuk Indonesia ke dalam wacana publik.
Terdapat kehendak kuat mengganti asumsi beragamnya primordial
Indonesia dengan tidak lagi menggunakan denotasi majemuk melainkan
multikultural. Dalam multikultural, etnis-etnis yang berbeda setara
posisinya dalam proses hidup dan berpolitik di dalam negara kesatuan
Republik
Indonesia.
Sebaliknya
konsepsi
masyarakat
majemuk
menyiratkan bias konsep dominasi salah satu etnis atau ras dalam
kehidupan sosial dan politik Indonesia.
Untuk itu, akan ditelusuri sejumlah teori sosial berkenaan dengan konsep
majemuk dan multikultur masyarakat. Ini guna mencari pijakan teoretis
dalam melakukan counter theory terhadap hegemoni konsep masyarakat
majemuk dalam studi-studi sosial dan politik Indonesia. Tentunya, kita
berharap yang baik, bahwa integrasi antar elemen masyarakat Indonesia
tercipta tidak berdasarkan paksaan melainkan melalui proses negosiasi
secara alamiah dan penuh kedamaian.

Masyarakat Majemuk Indonesia


John Sydenham Furnivall termasuk orang yang pertama kali menyebut
Indonesia masuk ke dalam kategori masyarakat majemuk (plural society).
Masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat di mana sistem nilai yang
dianut berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya membuat
mereka kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai
keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan
kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.[1]

Studi Furnivall saat itu dikhususkan pada masyarakat yang mengalami


tindak kolonial barat seperti Burma, India, ataupun Indonesia. Mengenai
fakta plural society ini, Furnivall menulis dalam salah satu studinya
mengenai Burma:
In Burma, as in Java, probably the first thing that strikes the
visitor is the medley of peoples ---European, Chinese, Indian, and
native. It is in the strictest sense a medley, for they mix but do
not combine. Each group holds by its own religion, its own culture
and language, its own ideas and ways. As individuals they meet,
but only in the market-place, in buying and selling. There is a
plural society, with different sections of the community living side
by side but separately, within the same political unit. Even in the
economic sphere there is a division of labour along racial lines.[2]
Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri atas kelompokkelompok, yang tinggal bersama dalam suatu wilayah, tetapi terpisah
menurut garis budaya masing-masing. Kemajemukan suatu masyarakat
patut dilihat dari dua variabel yaitu kemajemukan budaya dan
kemajemukan sosial. Kemajemukan budaya ditentukan oleh indikatorindikator genetik-sosial (ras, etnis, suku), budaya (kultur, nilai, kebiasaan),
bahasa, agama, kasta, ataupun wilayah. Kemajemukan sosial ditentukan
indikator-indikator seperti kelas, status, lembaga, ataupun power. Skema
dalam Gambar 12 dapat digunakan untuk mempermudah peta
pembicaraan masyarakat majemuk.[3]
Di dalam kenyataan, kedua variabel kerap berhimpitan sehingga
menambah kompleksitas masalah. Dalam masyarakat India misalnya,
kemajemukan budaya terbentuk dari anutan penduduk atas sejumlah
agama besar yaitu Hindu, Islam, Kristen, dan Sikh. Kendati kini mulai
memudar, dalam masyarakat Hindu, berlaku kasta dan ini merupakan
konsekuensi logis dari ajaran agama. Di dalam masyarakat yang
menganut agama Islam, kasta tidak berlaku dan situasi masyarakat lebih
egaliter. Kemajemukan budaya tersebut merambah pada kemajemukan
sosial. Kasta di dalam masyarakat Hindu menciptakan kelas-kelas dan
status-status sosial, sementara pelapisan kelas dan status tersebut
berjalan secara berbeda di dalam masyarakat India yang Islam. Terjadi
perbedaan penafsiran tajam antara kedua elemen masyarakat India
tersebut. Masing-masing masyarakat memerlukan space atau wilayah
untuk mengimplementasikan keyakinan budaya dan sosial yang berbeda.
Friksi tajam ini berkulminasi dalam pemisahanan India (Hindu), Pakistan
(Islam, di barat India), dan Bangladesh (Islam, di timur India) sejak 1948
lewat fasilitasi Inggris.
Pengamatannya atas Burma yang ia samakan dengan Jawa, Furnivall
menyatakan masyarakat majemuk terpisah menurut garis budaya yang
spesifik, di mana kelompok-kelompok di dalam unit politik menganut
budaya yang berbeda. Kelompok yang satu berbaur dengan kelompok

lainnya tetapi masing-masing tidak saling mengkombinasikan budayanya.


Kelompok-kelompok masyarakat berbeda tersebut saling bertemu dalam
kegiatan sehari-hari (semisal di pasar), tetapi masing-masing
mempraktekkan budayanya masing-masing. Di pasar-pasar tradisional,
para pedagang berasal dari etnis berbeda, sehingga kerap
memperdengarkan percakapan dalam aneka bahasa: Jawa, Batak,
Padang, Madura, Sunda, dan lain-lain. Pedagang pun terkotak berdasarkan
komoditas yang didagangkan misalnya pedagang Minang di bagian
pakaian, pedagang Batak di kelontong/grosir, pedagang Jawa di sayurmayur dan bahan mentah, pedagang Madura di lapak ikan, pedagang
Banten di los daging, dan seterusnya.
Parsudi Suparlan memberi catatan tentang masyarakat majemuk ini.
Dalam tulisannya Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam
Masyarakat Majemuk Indonesia, Suparlan menulis:
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk. Yang mencolok
dari ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekanan
pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam bentuk
komuniti-komuniti
sukubangsa,
dan
digunakannya
kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi jatidiri.
Berdasarkan ciri-ciri fisik atau tubuh yang dipunyai oleh
seseorang, gerakan-gerakan tubuh yang dibarengi dengan
bahasa yang digunakan dan logat yang diucapkan, dan berbagai
simbol-simbol yang digunakan [...] dia akan diidentifikasi sebagai
tergolong dalam sesuatu sukubangsa dari sesuatu daerah
tertentu oleh seseorang lainnya. Bila ciri-ciri tersebut tidak dapat
dipergunakan [...] maka seseorang tersebut akan menanyakan
dari mana asalnya [...][4]
---------------> gambar peta masyarakat majemuk <------------------------Lebih lanjut Suparlan menyatakan:
Masyarakat majemuk atau plural society adalah sebuah
masyarakat yang terwujud karena komuniti-komuniti sukubangsa
yang ada telah secara langsung atau tidak langsung dipaksa
untuk bersatu di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional [...]
Dalam masyarakat majemuk Hindia Belanda, tidak ada tatanan
demokrasi. Dalam tatanan itu, dengan jelas dibedakan antara tuan yang
penguasa dan hamba yang pribumi. Pembedaan antara tuan dan hamba
dilakukan berdasarkan atas ciri-ciri fisik atau rasial, kesukubangsaan,

keyakinan keagamaan, dan jenjang sosial menurut patokan feodalisme


yang secara tradisional berlaku.[5]
Faktor suku (juga agama) menjadi perhatian serius bagi negara yang
terbangun lewat gejala masyarakat majemuk. Faktor etnis dan agama
menjadi persoalan sensitif yang mampu memicu kekerasan dan konflik,
seperti kerap terjadi di Indonesia. Ini akibat proses integrasi nasional yang
belum selesai. Integrasi semu sempat terjadi di Indonesia selama Orde
Baru, di mana Soeharto berupaya mensubordinasi tiap-tiap budaya etnis
ke bawah jargon budaya nasional. Ia mengembangkan tabu SARA (Suku,
Agama, Ras, dan Antargolongan) sebagai terlarang untuk dipertentangkan
di muka publik. Kemayaan ini tampak jelas setelah Soeharto turun dari
kekuasaan, konflik-konflik berlatar belakang suku, agama, ras, dan
antargolongan jadi meruyak.
Memang selama pemerintahan Soeharto kondisi terkesan harmonis
meskipun sekadar berupa api dalam sekam. Kondisi harmonis karena
negara sangat strong dengan alat pengaman negara (militer, intelijen)
yang padu. Terbukti, saat politik kekuasaan Soeharto melemah, banyak
konflik yang dilatari etnis, agama, ras, dan antargolongan justru terjadi
dengan mudahnya, bahkan berlarut-larut. Malah setelah terpojok
Soeharto justru menggunakan tabu SARA-nya sendiri untuk membangun
kuda-kuda politik barunya di era 1990-an: Merangkul kalangan Islam
modernis dan merenggangkan jarak dengan kelompok nasionalis dan non
Muslim yang selama ini menjadi sekutu dekatnya.
Mengenai hubungan antarkelompok dalam masyarakat majemuk, Leo
Kuper memberi catatan berikut: [6]

1.

Societies composed of status groups or estates that are


phenotypically distinguished, have different positions in the economic
order and are differentially incorporated into the political structure, are to
be called plural societies and distinguished from class societies. In plural
societies political relations influence relations to the means of production
more than any influence int the reverse direction.

2.

When conflicts develop in plural societyes ther follow the lines of


racial cleavage more closely tahan those of class.

3.

Racial categories in plural societies are historically conditioned; they


are shaped by inter-group competition and conflict.
Bagi seorang ahli Indonesia lain, Clifford Geertz, masyarakat majemuk
adalah masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang
kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam mana masing-masing subsistem
terikat ke dalam ikatan-ikatan yang bersifat primordial.[7] Hal yang
menarik kemudian dinyatakan Pierre L. van den Berghe seputar ciri dasar
dari masyarakat majemuk ini, yaitu: [8]

1.

Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang


seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda-beda satu sama lain;

2.

Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembagalembaga yang bersifat nonkomplementer;

3.

Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya


terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar;

4.

Secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik


kelompok yang satu dengan kelompok yang lain;

5.

Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan


saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi; serta

6.

Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompokkelompok yang lain.

di

antara

Melalui paparan di atas, diketahui bahwa teori masyarakat majemuk


(plural society) awalnya lahir dari pengamatan J.S. Furnivall atas negaranegara kolonial dan postcolonial. Di negara-negara tersebut, masyarakat
terkotak ke dalam sekat-sekat asal usul (suku, ras, agama, golongan) di
mana satu suku atau agama mendominasi lainnya. Masyarakat tersebut
dipaksa untuk bersatu oleh sebuah kuasa kolonial. Namun, kendati
disatukan mereka dipecah di dalamnya agar tidak bersatu. Mereka
disatukan hanya agar mudah dieksploitasi. Masyarakat majemuk mudah
terbelah akibat tiadanya common will (kehendak bersama). Akibatnya,
individu dalam masyarakat hanya loyal kepada kelompok basis primordial
mereka. Common will yang bersifat nasional kendatipun ada hanyalah
sebatas jargon. Ini merupakan hasil sukses politik Divide et Impera kaum
kolonial. Kondisi masyarakat majemuk, bagi Sammy Shooha, [...] created
by Western imperialism, and maintained through political coercion for
economic exploitation of nonwhite populations. They consist of a medley
of peoples who share little more than the imposed economy and policy.[9]
Konflik-konflik akibat struktur masyarakat majemuk juga terjadi antara
masyarakat eks penjajahan bangsa-bangsa barat yang secara tajam
dipisahkan kemajemukan seperti Hindu dan Muslim di India (diikuti
pemisahan Pakistan), Burma (etnis Karen), Aljazair (masalah agama,
bahasa Berber, Arab, Perancis), Zanzibar (etnis Watumbatu, Wahadimu,
dan Wapemba), Rwanda (Hutu dan Tutsi), Burundi (Hutu dan Tutsi), Kongo
(Hutu dan Tutsi), Angola (Ambundu, Bakongo, dan Ovimbundu), Mozambik
(Frelimo, Renamo), Afrika Selatan (warisan Aparteid), Nigeria (suku Ibo
versus Hausa versus Yoruba), Uganda (Acholi dan Baganda), Sudan (Arab
dan nonarab), Ethiopia (Ethiopia dan Eritrea), Siprus (Yunani dan Turki),
Irlandia Utara (Protestan dan Katolik), Israel (Palestina-Yahudi, Yahudi

Relijius-Yahudi Sekuler, Yahudi Oriental-Yahudi Ashkenazi), Vietnam,


Bangladesh, Lebanon (Kristen Maronit versus Kristen Druze versus Islam
Sunni versus Islam Syiah), Malaysia (India versus Cina versus Melayu),
Srilangka (etnis Sinhala versus Tamil), dan Indonesia (lewat serangkaian
kerusuhan bermuatan etnis dan agama di Sampit, Poso, dan Ambon).
Sebagai negara yang pernah mengalami kolonialisasi Belanda, Indonesia
menderita ekses negatif masyarakat majemuk. Selama penjajahan,
masyarakat dibelah berdasarkan unsur primordial suku, agama, ras dan
golongan. Pembelahan dilakukan secara sistematis, terstruktur,
menggunakan agen-agen khusus Belanda seperti Hendrikus Colijn.
Pembelahan terus bertahan bahkan hingga pasca Indonesia merdeka. Isuisu Islam versus Non Islam, Jawa versus Luar Jawa, Luar versus Pribumi,
masih laku sebagai komoditas politik maupun amunisi pemicu konflik
kekerasan. Terlebih, Pancasila sebagai konsensus nasional mulai dianggap
sepi masing-masing komunitas politik dan budaya Indonesia. Ruang
kosong ideologi semakin memperlemah kohesi masyarakat multikultur
Indonesia.
Simbol, bahasa, nilai, dan norma nasional kendati ada penggunaan
bahasa Indonesia, simbol negara seperti bendera dan lagu kebangsaan,
nilai seperti Pancasila, dan norma seperti aturan hukum dan perundangundangan belum sepenuhnya mampu memadamkan kekuatan politik
etnis dan sektarian. Pertikaian sepanjang garis etnis, agama, dan
golongan mewarnai peta kehidupan bermasyarakat dan bernegara
Indonesia.
Sulit diprediksi apakah Indonesia masih relevan untuk disebut masyarakat
majemuk atau tidak, tetapi fakta menunjukkan jawabannya adalah ya.
Namun, jika pertanyaan susulan diajukan adalah apakah paham
kemajemukan dapat disaingi maka jawabannya adalah ya. Persoalan
mendesak adalah bagaimana membelokkan dominasi paradigma
masyarakat majemuk menjadi paradigma lain yang lebih toleran dan
mungkin menciptakan integrasi nasional yang lebih baik bagi Indonesia.
Seperti Indonesia yang awalnya sebuah gagasan, masyarakat
multikultural juga sebuah gagasan, layaknya masyarakat majemuk.
Sebagai gagasan, paradigma multikultural sesungguhnya dapat
diupayakan di Indonesia.

Masyarakat Multikultural Indonesia


Tidak dipungkiri, Indonesia negara dengan kultur beraneka ragam.
Bahkan, Indonesia oleh Parsudi Suparlan tegas dimasukkan ke dalam
kategori plural society atau masyarakat majemuk dengan sejumlah
dimensi negatifnya. Kultur yang beraneka ragam (multikultur) oleh
kolonial Belanda direkayasa sedemikian rupa (ironisnya dilanjutkan oleh
elit-elit politik lokal dan nasional) guna menjamin posisi kekuasaan.
Masyarakat dibelah menurut kategori suku, agama, ras, dan golongan:
Jadilah masyarakat majemuk. Pembelahan dilakukan dengan cara

melakukan permanensi atas perbedaan lalu membenturkan satu sama


lain. Hingga kini, efek pembelahan masih terasa bahkan banyak meledak
dalam rentetan panjang konflik horisontal di Indonesia.
Sejumlah ilmuwan sosial menawarkan gagasan lebih bijaksana dalam
mengatasi perbedaan tajam antar komunitas dalam masyarakat. Gagasan
baru tersebut guna menggantikan gagasan usang masyarakat majemuk
yaitu multiculturalism. Multikulturalisme dapat disebut paradigma sebab
merupakan cara berpikir tandingan dalam metode hubungan antarsuku,
agama, ras, dan antargolongan dalam sebuah kesatuan politik.
Multikulturalisme adalah gagasan politik yang hendak mengubah gagasan
masyarakat majemuk yang konfliktual ke arah gagasan masyarakat
multikultural yang konsensual.
Untuk menyamakan sudut pandang, baiklah kami sertakan terlebih dahulu
dua definisi multikulturalisme. Definisi pertama kami ambil dari Tariq
Modood sementara yang kedua dari Steven Bochner. Tariq Modood
mendefinisikan multikulturalisme sebagai gagasan politik, yaitu:
[...] the recognition of group difference within the public sphere
of laws, policies, democratic discourses and the terms of a shared
citizenship and national identity --- while sharing something in
common with the political movements [...][10]
Modood berpendapat keragaman primordial harus tetap diakui
eksistensinya.
Namun,
perbedaan
tersebut
hendaklah
jangan
diterjemahkan ke dalam bentuk dominasi satu terhadap lain juga bukan
dalam bentuk separatisme politik. Keragaman lewat prosedur politik
diakui dalam kehidupan publik. Ia terjelma dalam struktur hukum,
kebijakan, dan wacana politik. Titik tekan yang mempertemukan semua
keragaman adalah kewarganegaraan dan identitas nasional suatu negara.
Indonesia memiliki Pancasila sebagai konsensus tatacara hubungan antar
komunitas budaya dalam bingkai komunitas politik Indonesia.
Selain dari Modood, definisi multikulturalisme lainnya diajukan Steven
Bochner yang menekankan keunikan hubungan dalam sebuah masyarakat
multikultural:
[...] refers to social arrangement characterized by cultural
diversity. In practice, this mean non-trivial interpersonal contact
between individuals and groups who differ in their ethnicity. In
multicultural societies, such contact occurs within a climate of
tolerance and mutual respect. A distinction is drawn between the
process of multicultural contact, which include the behaviors,
attitudes, perceptions and feelings of the participants; and the
institutional structures which characterize and either support of

hinder benign intercultural contact, which included legislation,


government policy, and employment practices.[11]
Bochner lebih menekankan pendekatan interaksi-simbolik dalam lingkup
sosial psikologis tinimbang politik. Baginya, multikulturalisme merupakan
kesepakatan sosial yang dikarakteristikkan keragaman kultural. Masingmasing entitas yang berbeda dimensi kulturalnya melakukan kontak satu
sama lain berdasarkan sikap toleransi dan saling hormat-menghormati.
Dasar aturan setiap kontak dijamin dalam undang-undang, kebijakan
pemerintah, bahkan di dalam praktek keseharian dunia pekerjaan
(peraturan-peraturan organisasi).
Konsep masyarakat majemuk, seiring perkembangan demokratisasi pada
konteks global, semakin kehilangan signifikansinya karena efek dominasi
mayoritas atas minoritas atau etnis dominan atas kurang dominan di
dalam konsep usang tersebut. Konsep warisan kolonial ini perlu
didekonstruksi untuk kemudian digantikan konsep multikulturalisme.
Mengenai multikulturalisme, Baogang He and Will Kymlicka memberi
catatan bahwa aneka bangsa dan negara di dunia kini harus menyadari
bahwa keragaman adalah realitas yang tidak bisa ditolak. Keragaman
elemen yang membentuk masyarakat politik (negara) tidak bisa
dihomogenisasi, apalagi jika dilakukan lewat metode pemaksaan (koersif).
Baogang He dan Will Kymlicka lalu melancarkan pernyataan seputar
perlunya cara pandang baru dalam mengatasi masalah perpecahan
masyarakat karena garis etnis dan agama sebagai berikut:
In the first few decades following decolonization, talk of
multiculturalism and pluralism was often discouraged, as states
attempted
to
consolidate
themselves
as
unitary
and
homogenizing nation-states. Today, however, it is widely
recognized that states in the region must come to terms with the
enduring reality of ethnic and religious cleavages, and find new
ways of accommodating and respecting diversity.[12]
Bagi He and Kymlicka, upaya homogenisasi budaya di suatu negara sudah
kehilangan justifikasinya. Ini akibat adanya kenyataan bahwa dalam
homogenisasi budaya di negara berkategori plural society (masyarakat
majemuk) yang justru terjadi adalah dominasi budaya satu atas budaya
lain. He and Kymlicka memandang perbedaan adalah kodrat dan patutnya
diterima saja. Hal penting yang perlu dicari solusinya bagaimana jalinan
hubungan antar komunitas berbeda dapat berjalan secara harmonis.
He and Kymlicka melanjutkan, upaya homogenisasi nasional selama ini
kerap memancing perlawanan kaum minoritas etnis (juga agama) yang
termanifestasi lewat keputusan pemisahan diri, kekerasan, bahkan perang
sipil seperti yang terjadi di Filipina, Papua New Guinea, Cina, Burma,
Indonesia, Srilanka, India, ataupun Pakistan. Konflik kekerasan merupakan

salah satu ekses negatif dari pembelahan masyarakat yang berlangsung


selama periode kolonial masing-masing negara. Aneka konflik tersebut
memanfaatkan kemultikulturalan masyarakat jajahan. Selama periode
kolonial, penjajah bekerja sama dengan satu etnis dalam masyarakat
untuk menindas etnis lain. Ketika penjajah hengkang, yang tersisa
hanyalah amunisi melimpah untuk perang saudara.
Kata multikulturalisme pertama kali digunakan di Kanada tahun 1960-an.
Perdana Menteri Kanada, Pierre Trudeau, menggunakannya untuk
melawan konsep biculturalism.[13] Di masa sebelumnya, Kanada dikenal
hanya terdiri atas dua etnis yang saling bersaing: Inggris dan Perancis.
Semenjak Trudeau, dinyatakan bahwa Kanada multikultural, karena terdiri
atas etnis dan ras berbeda seperti Inggris, Perancis, Indian, Inuit, serta
kaum imigran dari mancanegara seperti Cina, India, Jerman, Arab, dan
sebagainya.
Studi multikulturalisme kemudian disistematisasi serta dipopulerkan Will
Kymlicka lewat dua karyanya Liberalism, Community and Culture yang
terbit tahun 1989 serta Multicultural Citizenship yang terbit tahun 1995.
Bagi Kymlicka, pemberian ruang bagi kalangan minoritas suatu negara
tidak bisa dicapai hanya lewat jaminan hak-hak individual dalam undangundang. Minoritas yang dimaksud Kymlicka adalah minoritas budaya,
yang secara praktek sosial sehari-hari harus diperhatikan keunikan
identitasnya.[14] Kymlicka bicara dalam konteks multikultural dalam satu
komunitas politik (negara), yang mungkin saja terdiri atas komunitaskomunitas budaya yang berbeda.
Studi multikulturalisme condong pada studi kewarganegaran, karena
khusus mengulas sejumlah perbedaan budaya di tengah komunitas politik
(negara). Kymlicka menentang pendapat individu yang hidup dalam
komunitas politik otomatis merupakan bagian komunitas budaya yang
sama. Secara politik, individu adalah bagian dari satu komunitas politik,
tetapi dalam hal budaya, ia merupakan komunitas budaya spesifik. Dalam
masalah multikulturalisme ini, Kymlicka membedakan komunitas politik
dengan komunitas budaya sebagai:
On the one hand, there is the political community, within which
individuals exercise the right and responsibilities entailed by the
framework of liberal justice. People who reside within the same
political community are fellow citizens. On the other hand, there
is the cultureal community, within which individuals form and
revise their aims and ambitions. People within the same cultural
community share a culture, a language and history which defines
their cultural membership.[15]
Komunitas politik biasa disebut negara merupakan tempat setiap
anggota masyarakat secara legal menjadi warganegara. Hak serta
kewajiban mereka sama, tanpa memandang budaya, suku, agama, ras,

dan golongan. Komunitas budaya adalah individu mempraktekkan


keunikan budaya masing-masing. Mereka menciptakan komunitaskomunitas
kebudayaan,
tempat
dimana
mereka
menemukan
individualitasnya.
Selama ini hubungan antara komunitas politik dengan komunitas budaya
tidak selalu harmonis. Komunitas politik kerap memaksakan sebuah
komunitas budaya nasional atas aneka komunitas budaya spesifik yang
ada di wilayah yuridiksi suatu negara. Dapat diingat kewajiban asimilasi
nama Indonesia atas etnis Cina di masa Orde Baru atau pelarangan
demonstrasi kebudayaan Cina secara publik? Pemerintah Indonesia atas
nama komunitas politik menekan komunitas budaya Cina dalam mengexercise kebudayaannya. Kasus serupa terjadi di Amerika Serikat, sebagai
komunitas politik yang tidak memberikan hak pilih dan hak sosial setara
kepada komunitas budaya Afro-American sekurangnya hingga tahun 1964.
Agar analisis mengenai multikulturalisme mendapat porsi yang tepat,
Kymlicka mengingatkan bahwa pola hubungan minoritas-mayoritas di
suatu negara tidak dilepaskan dari sejarah terbentuknya sebuah
masyarakat:
Modern societies are increasingly confronted with minority
groups
demanding
recognition
of
their
identity,
and
accommodation of their cultural difference. This is often phrased
as the challenge of multiculturalism [...] There are a variety of
ways in which minorities incorporated into political communities,
from the conquest and colonization of previously self-governing
societies to the voluntary immigration of individuals and families.
These differences in the mode of incorporation affect the nature
of minority groups, and the sort of relationship they desire with
larger society.[16]
Menurut Kymlicka, masyarakat modern kini banyak menghadapi tuntutan
dari kalangan minoritas atas keunikan budaya mereka. Dalam menyikapi
tuntutan ini, komunitas politik (negara) hendaknya tidak melupakan
sejarah masuknya aneka kelompok minoritas budaya ke dalam komunitas
politik. Secara sejarah ada di antara mereka yang masuk karena
penaklukan ataupun kolonialisasi atas wilayah yang dahulunya otonom
maupun migrasi (perpindahan) sukarela suatu kelompok budaya ke dalam
wilayah-wilayah yang masuk yuridiksi sebuah negara moderen. Asal-usul
elemen yang mengikatkan diri di dalam sebuah komunitas politik moderen
(negara) menandai kerumitas pola hubungan yang ada sekaligus mampu
memberi jalan keluar bagi terciptanya hubungan antar komunitas budaya
yang lebih manusiawi dan harmonis.
Guna melihat jenis multikultur di suatu komunitas politik, Kymlicka
menganalisisnya lewat pola masuknya suatu komunitas budaya ke dalam
komunitas politik. Variabel penentunya adalah genealogi proses suatu

komunitas budaya menjadi anggota komunitas politik. Genealogi ini dibagi


ke dalam dua pola, yang menurut Kymlicka (dikutip agak panjang saja):
In the first case, cultural diversity arises from the incorporation
of previously self-governing, territorially concentrated cultures
into a larger state. The incorporated cultures, which I call
national-minorities, typically wish to maintain themselves as
distict society alongside the majority culture, and demand
various forms of autonomy of self-government to ensure their
survival as distinct societies.
In the second case, cultural diversity arises from individual and
familial immigration. Such immigrants often coalesce into loose
associations which I call ethnic groups. They typically wish to
integrate into larger society, and to be accepted as full member
of it. While they often seek greater recognition of their etnic
identity, their aim is not to become a separate and self-governing
nation alongside the larger society, but to modify the institutions
and laws of the mainstream society to make the more
accomodating of cultural differences.[17]
Kymlicka menyebut pola pertama sebagai pola minoritas nasional dan
yang kedua sebagai pola kelompok etnis. Dalam pola pertama, sebuah
negara terbentuk dari budaya-budaya yang awalnya mandiri secara
politik, bahkan dapat dikategorikan sebagai unit politik atau negara
sendiri. Masyarakat-masyarakat politik dan budaya mandiri tersebut lalu
sepakat membentuk sebuah negara yang lebih besar. Namun, kendati
sudah masuk ke dalam negara yang lebih besar, mereka tetap menuntut
privilese untuk mengatur diri sendiri sejauh tetap berada dalam
kesepakatan politik dengan komunitas politik (negara) yang lebih besar
tadi. Negara yang terbentuk lewat pola minoritas nasional disebut
Kymlicka sebagai memiliki dimensi multinasional.
Dalam pola kedua, keragaman budaya muncul dari arus migrasi atau
perpindahan penduduk, baik yang sifatnya sukarela maupun termobilisasi.
Pendatang yang baru masuk memiliki budaya berbeda dengan budaya
penduduk lokal tempat lokasi tujuan pindah. Berbeda dengan pola
pertama, dalam pola kedua ini komunitas budaya beragam, ada yang
berasal dari wilayah yang dahulunya merupakan komunitas politik politik
otonom sebelum bergabung ke dalam negara maupun berasal dari luar
wilayah yuridiksi negara yang bersangkutan. Konsep awam dalam
menyebut mereka ini adalah keturuan dan pendatang. Mereka disebut
keturunan jika berasal dari luar negara misalnya orang Arab, Cina, dan
India. Masalah utama yang menghadapi mereka adalah kewarganegaraan
dan identitas, yaitu antara loyal kepada pemerintah di mana kini mereka
tinggal ataukan kepada masyarakat dan negara asal atau leluhur mereka.

Mereka disebut pendatang jika berasal dari dalam wilayah yuridiksi.


Masalah kewarganegaraan dan identitas seperti dialami jenis pertama
mungkin tidak dialami. Masalah utama bagi mereka justru bagaimana
melakukan integrasi ke dalam masyarakat di mana budaya lokal yang
mainstream bukanlah budaya mereka. Dengan kata lain, masalah pokok
bagi mereka adalah bagaimana melakukan perimbangan antara
melestarikan budaya mereka sendiri dengan tetap menghargai budaya
dan pandangan masyarakat asli. Jumlah para pendatang ini bervariasi.
Ada pendatang yang jumlahnya sedikit di suatu wilayah, tetapi ada pula
yang bahkan merupakan mayoritas di wilayah tinggal non daerah basis
mereka. Dalam pergaulan antar komunitas budaya mereka melakukan
sejumlah asimilasi (bahasa, tatakrama). Namun, keunikan budaya mereka
pun tetap ada dan berhak untuk eksis, bukan dengan tujuan separatisme
politik melainkan agar karakteristik budaya mereka diakui baik oleh
komunitas politik maupun komunitas budaya lain tempatnya tinggal.
Negara yang terbentuk lewat pola kedua ini dinamakan Kymlicka sebagai
polietnis.
Kedua pola pembentukan bangsa versi Kymlicaka hadir sekaligus di
Indonesia. Untuk kategori multinasional, sebelum kolonialisme Belanda
dan terbentuknya Indonesia, hampir setiap daerah dahulunya merupakan
komunitas politik sekaligus komunitas budaya mandiri. Misalnya, Maluku
Utara (kerajaan Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo), Aceh (Samudera Pasai),
Kalimantan (kerajaan Banjar), Sulawesi Selatan (kerajaan Bone, Wajo,
Luwuk), Yogyakarta (Surakarta dan Yogyakarta), Banten (kesultanan
Banten), Cirebon (kesultanan Cirebon), Sumatera bagian Timur (Deli,
Palembang), dan banyak lagi di bagian-bagian lain. Raja, ratu, atau para
sultan di masing-masing komunitas sebelum periode kolonial relatif
mandiri secara politik. Mereka memiliki bahasa, adat, keyakinan, simbol,
dan norma sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain. Dan, hingga kini
pun eksistensi politik mereka relatif masih diakui di wilayah tertentu
Indonesia, yang misalnya terjelma dalam konsep daerah istimewa. Dalam
konteks multinasional ini, kecenderungan revivalisme nativistik sifatnya
laten.
Untuk kategori polietnis Indonesia dibentuk oleh dua pola migrasi yaitu
migrasi luar dan migrasi dalam. Migrasi luar terjadi tatkala etnis Arab,
India, dan Cina datang dan diam di Indonesia. Kebanyakan migrasi ini
sifatnya sukarela. Kendati kecil secara kuantitas, pengaruh mereka di
bidang-bidang tertentu kehidupan publik Indonesia cukup besar. Imigran
Arab memiliki pengaruh di bidang agama (Islam) yang ditunjukkan
dengan aneka majlis talim yang dipimpin seorang imigran Arab
(Hadramaut) ataupun keturunannya. Imigran Cina dan India memiliki
aneka perusahaan besar yang beroperasi dan menggunakan tenaga kerja
masyarakat Indonesia. Untuk itu diperlukan regulasi serius pemerintah
pusat seputar kebebasan para imigran mempraktekkan budayanya.

Migrasi dalam mengemuka dalam hubungan antaretnis dari dalam


Indonesia. Seperti telah disebut, konsep awam untuk melukiskan mereka
adalah pendatang. Satu atau beberapa etnis melakukan transmigrasi ke
wilayah etnis lain. Misalnya etnis Jawa ke pulau-pulau luar Jawa, etnis
Bugis dan Buton bermigrasi ke Halmahera, etnis Betawi bermigrasi ke
Sorong, atau etnis Madura bermigrasi ke Sampit. Motivasi mereka pindah
juga bervariasi, ada yang secara sukarela dan ada pula yang secara
mobilisasi. Akibat migrasi, kerap terjadi social tension yang berkulminasi
pada rentetan konflik (kerusuhan) etnis di Jakarta, Bandung, Solo,
Kalimantan, Poso, Ambon, dan wilayah Maluku Utara. Sebab itu, dampakdampak yang mungkin muncul akibat pola migrasi dalam dalam
masyarakat Indonesia ini pun perlu diakomodasi baik oleh komunitas
politik (pemerintah daerah lewat perda) maupun komunitas budaya
(tokoh-tokoh adat masyarakat setempat).
Kompleksitas sistem sosial dan budaya Indonesia serta upaya kohesinya
seiring kenyataan multinasional dan polietnis masih belum selesai
pembentukannya. Problem inti yang selalu muncul berkisar pada
bagaimana mencapai konsensus nasional sebagai basis perekat
antarkelompok. Pancasila sebagai basis ideologi multikulturalisme
Indonesia, termasuk slogan Bhinneka Tunggal Ika, belumlah cukup tanpa
pemahaman dan exercise yang lebih komprehensif dari seluruh anggota
komunitas politik dan komunitas budaya yang ada. Pemerintah tidak
dapat melulu menggunakan tindakan bercorak coercion guna
menimbulkan pemahaman dan menjamin kohesi. Perlu upaya kreatif dari
pemerintah sebagai wakil komunitas politik dan masyarakat sipil yang
mewakili komunitas-komunitas budaya untuk lebih memahami posisi
Pancasila di dalam konteks kebangsaan Indonesia.
Pasca transisi politik 1998, Indonesia semakin mengarah pada sensitivitas
positif akan dimensi multinasional dan polietnis masyarakatnya. Dalam
konteks polietnis kalangan imigran misalnya, di bawah administrasi Gus
Dur, etnis Tionghoa memperoleh pengakuan atas sekurangnya dua
komponen budayanya yaitu Hari Raya Imlek dan agama Kong Hu Cu
(Konfusianisme). Etnis Arab, biasanya terlembaga ke dalam majlis-majlis
talim yang di masa administrasi Suharto telah beroleh pengakuan. Etnis
India juga diberi hak sama dengan mendirikan gurudwara-gurudwara.
Masalah lain yang belum tersentuh adalah pola hubungan polietnis yang
diakibatkan faktor migrasi dalam. Bagaimana multikultural dapat
berkembang harmonis antara etnis-etnis intra Indonesia.
Dalam konteks multinasional, Undang-undang Otonomi Daerah memberi
keleluasaan setiap daerah untuk melakukan self-governing. Pemilihan
kepala daerah langsung menjamin adanya ruang lebih besar bagi tokohtokoh masyarakat dan politik lokal guna menentukan bagaimana
seharusnya masyarakat mereka kelola. Seperti Kymlicka nyatakan
sebelumnya, genealogi fitur multinasional biasanya mengharapkan
kemandirian politik relatif vis a vis pemerintah pusat. Untuk itu, Aceh
diperkenankan menggunakan Qanun dan berganti nama menjadi

Nanggroe Aceh Darussalam, Yogyakarta terus menikmati status sebagai


daerah istimewa, dan wilayah-wilayah lain diperkenankan melembagakan
pengajaran bahasa daerah dalam kurikulum pendidikannya. Atas dasar
fakta-fakta ini, dapat dikatakan bahwa Indonesia tengah mengarah (atau
diarahkan) kepada masyarakat multikultur.
Patologi yang biasa muncul dalam masyarakat multinasional dan polietnis
adalah etnophobia atau kecurigaan yang berlebihan terhadap suatu etnis.
Misalnya saja di Indonesia berkembang etnophobia atas etnis Jawa yang
mengendap pada suku-suku luar pulau Jawa. Ini merupakan peninggalan
merusak dari konsep masyarakat majemuk zaman kolonial di mana suatu
etnis disokong oleh penjajah Belanda guna mendominasi etnis lain.
Pemerintah kolonial pun selalu menggunakan Jawa sebagai model
pemerintahan bagi daerah luar Jawa yang mereka kuasai. Memang, secara
kuantitas, Jawa merupakan etnis yang terbesar Indonesia. Namun,
dominasi kuantitatifnya hanya di DKI Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta,
Jawa Timur, dan beberapa provinsi Sumatera. Selain itu, bahasa persatuan
(bahasa Indonesia) bukanlah bahasa Jawa melainkan Melayu yang telah
menyerap unsur-unsur Sanskerta, Arab, dan sejumlah bahasa asing
lainnya (Inggris, Belanda, Portugis, atau Cina).
Masalah yang juga biasa melatarbelakangi konflik etnis dan sektarian
Indonesia adalah ekonomi.[18] Konflik Poso jika hanya dianalisis secara
dangkal adalah kisah perang agama. Padahal, pada esensinya bukan
konflik agama melainkan konflik ketimpangan struktural-ekonomi antara
masyarakat asli yang mayoritas Kristen dengan kaum pendatang yang
mayoritas Islam. Kejadian serupa juga terjadi di Ambon, yang lebih
diakibatkan kegamangan posisi status quo elit dan masyarakat Ambon
Kristen atas peralihan politik nasional di level pusat, berupa peralihan
kuda-kuda kekuasaan Soeharto dari ABRI menuju Islam modernis.
Sebagai ideologi, multikulturalisme tidaklah asing dan masih memiliki
optimismenya di Indonesia. Ini mengandaikan pemerintah pusat lebih
cerdas dalam memetakan karakteristik suku bangsa yang bergabung
dengan Indonesia serta political will untuk melakukan budaya dialog
antarbudaya serta serius melakukan pemerataan pembangunan ekonomi,
yang lebih mengakomodasi komposit polietnis yang kepentingannya
saling berbeda dan kadang saling bersaing. Di sinilah sesungguhnya
peran vital pemerintah pusat selaku regulator politik dan penetrator ayatayat konstitusi ke setiap sub-sub nasional negara. Pembangunan ekonomi
Indonesia tidak bisa diserahkan kepada free fight capitalism. Peran
pemerintah harus mengenyahkan tata politik kolonial yang sekadar
juragan tanpa kehendak baik memperhatikan karakteristik budaya dan
masyarakat daerah layaknya pemerintahan kolonial menyukai konsep
masyarakat majemuk.
--------------------------------

Referensi

[1] Tafsiran Furnivall oleh Nasikun dalam Nasikun, Sistem Sosial


Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2006) h.39-40.
[2] J.S. Furnivall, Colonial Policy and Practice (London: Cambridge
University Press, 1948) pp.303-12.
[3] Ibrahim Saad, Competing Identities in a Plural Society (Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 1981) p. 8.
[4] Parsudi Suparlan, Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam
Masyarakat Majemuk Indonesia, (Antropologi Indonesia, 66, 2001) h.2
[5] Ibid., h.5.
[6] Leo Kuper dikutip oleh Michael Banton, Racial and Ethnic
Competition (New York: Cambridge University Press, 1983) p.95.
[7] Clifford Geertz seperti termuat dalam Nasikun, Sistem ..., op.cit., h.40.
[8] Pierre L. van der Berghe seperti dikutip dalam Ibid, h.40-1.
[9] Sammy Smooha, Israel, Pluralism, and Conflict (London: Routledge &
Kegan Paul Ltd, 1978) p.7.
[10] Tariq Modood, Multiculturalism: A Civic Idea (Cambridge: Polity Press,
2007) p.2
[11] Steven Bochner, Cultural Diversity Within and Between Societies:
Implications for Multicultural Social Systems dalam Paul Pedersen, ed.,
Multiculturalism as a Fourth Force (New York: Taylor & Francis, 1999) p.19
[12] Baogang He and Will Kymlicka, eds., Multiculturalism in Asia (New
York: Oxford University Press, 2005) p.2.
[13] Adam Jamrozik, The Chains of Colonial Inheritance: Searching for
Identity in a Subservient Nation, (Sydney: University of New South Wales
Press Ltd., 2004) p.84-5. Biculturalism Kanada karena Inggris dan Perancis
adalah dua bangsa yang merupakan mayoritas di Kanada. Namun, selain
kedua bangsa tersebut pun terdapat bangsa-bangsa lain layaknya di
Amerika Serikat.
[14] Chandran Kukanthas, Nationalism and Multiculturalism dalam Gerald
F. Gaus and Chandran Kukanthas, Handbook of Political Theory (London:
SAGE Publications Ltd, 2004) pp.251-2.
[15] Will Kymlicka seperti dikutip dalam Colin Farrelly, ed., Contemporary
Political Theory: A Reader (London: SAGE Publications Ltd, 2004) p.263
[16] Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority
Rights (New York: Oxford University Press, 1995) p.10.
[17] Will Kymlicka, Multicultural ..., op.cit., pp.10-1.
[18] John R. Bowen, Normative Pluralism in Indonesia: Regions, Religions,
and Ethnicities dalam Baogang He and Will Kymlicka, Multiculturalism
in
...,
op.cit.,
p.158.
tags:
pengertian masyarakat majemuk indonesia pengertian multikultural
indonesia adalah masyarakat majemuk pengertian masyarakat majemuk
http://setabasri01.blogspot.co.id/2012/04/indonesia-adalah-masyarakatmajemuk.html

También podría gustarte