Está en la página 1de 3

Budaya Politik Minangkabau

Budaya politik partisipan sebenarnya dapat dikaji dari Ranah Minangkabau,


mengapa orang Padang terkenal ulet besilat lidah dan tidak mau mengalah
karena di dalam berpetatah-petitih, mereka sudah sejak dulu mempunyai
pandangan tentang filsafat hidup, termasuk dalam hal kepemimpinan.
Dalam mempertahankan gengsi, kewajiban, dan persamaan derajat, mereka
mengatakan tagak samo tinggi, duduak samo rendah (berdiri/tegak sama
tinggi, duduk sama rendah). Begitu pula dalam mengelola kehidupan mereka
berpedoman :
nak mulia batabua urai, nak tuah tagak di nan manang, nak cadiak sungguah
baguru, nak kayo kuak mancari
(agar menjadi orang yang mulia berlakulah yang baik, ingin maju teladanilah
orang yang telah berhasil, ingin pintar belajar sungguh-sungguh, ingin kaya
harus kuat/ulet berusaha).
Untuk pemanfaatan tenaga kerja, mereka mengatakan bahwa, nan buto
paambuih lasuang, nan pakak palapeh badia, nan lumpuah pauni rumah, nan
binguang disuruah-suruah, nan kuek pambao beban, nan cadak lawan
berundiang (yang buta menembus lesung, yang tuli pelepas badil/menembak,
yang lumpuh penunggu rumah, yang menganggur untuk disuruh-suruh, yang
kuat pembawa beban/barang, yang pintar untuk lawan berunding).
Hal ini sejalan dengan peredaman emosi antusiasme, yaitu
mamanjang sarantang tangan, mamikua sakuek bahu, malampek saayun
langkah, bakato sapanjang aka (memanjang serentang tangan, memikul sekuat
bahu, melompat seayun langkah, berkata sepanjang akal). Bagi penyesuaian diri
mereka berpedoman pada bakato di bawah-bawah,mandi di ilia-ilia
(berkata di bawah-bawah, mandi di hilir-hilir) sehingga tepat dengan usaha
mempertahankan prinsip, yaitu baa di wang baitu pulo di awak, talanjuakluruih
kalingkiang bakaik (bagaimana halnya pada orang begitu pula pada kita,
telunjuk lurus kelingking berkait).
Penggambaran posisi pemimpin pemerintahan diibaratkan pohon beringin, yaitu
daunnyo tampek balinduang, batangnyo tampek basanda, dahannyo tampek
bagantuang, ureknyo tampek baselo (daunnya tempat berlindung, batangnya
tempat bersandar, dahannya tempat bergantung, akarnya tempat bersila).
Namun demikian tetap diperlukan introspeksi diri sebagai berikut : kok kuek
urang indak ka balinduang, kok bagak urang indak kabaparang (jika kaya orang
tidak akan meminta, jika pintar /cerdik orang tidak akan bertanya, jika kuat
orang tidak akan berlindung, jika berani orang tidak akan berkelahi/berperang).
Dalam hubungan dan komunikasi kepemimpinan dengan bawahan mereka
berpedoman duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapanglapang (duduk sendiri bersempit-sempit, duduk bersama berlapang-lapang).
Itulah sebabnya setelah kekalahan dalam peristiwa PRRI orang awak ini sangat
berhati-hati dalam menjalin hubungan antara pemerintah daerah dan
pemerintah pusat.
Filosof

Filosofi politik orang Minang berakar dari kebudayaan Minangkabau yang telah
dikembangkan oleh dua orang tokoh legendaris, yakni Datuk Ketumanggungan
dan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Datuk Ketumanggungan menyusun sistem
adat Koto Piliang yang memiliki filosofi "berjenjang naik bertangga turun"
(bajanjang naiak batanggo turun). Dalam nagari-nagari yang menganut sistem
politik ini dikenal adanya kedudukan penghulu yang bertingkat-tingkat. Dari
penghulu andiko, penghulu suku, sampai penghulu pucuk. Penghulu pucuk juga
disebut sebagai pucuk nagari yang tertuang dalam filosofi adat "berpucuk bulat
berurat tunggang" (bapucuak bulek, baurek tunggang). Dalam sistem ini gelar
pusaka (penghulu) tidak bisa digantikan, sebelum penyandang gelar meninggal.
Tokoh legendaris lainnya Datuk Perpatih Nan Sebatang, menyusun sistem adat
Bodi Caniago dengan filosofinya "membersit dari bawah" (mambasuik dari
bawah). Sistem ini merupakan anti-tesis dari konsep Koto Piliang yang hierarkis.
Konsep Bodi Caniago lebih mengedepankan konsep berdasarkan musyawarah
mufakat. Dalam nagari-nagari yang menerapkan sistem Bodi Caniago,
kedudukan semua penghulu memiliki derajat yang sama. Filosofinya "duduk
sehamparan berdiri sepematang, duduk sama rendah berdiri sama tinggi"
(duduak sahamparan tagak sapamatang, duduak samo randah tagak samo
tinggi).
Karena adanya pertentangan dari dua sistem adat dan politik di Minangkabau
itu, maka timbulah suatu sintesis politik yang mengambil corak kedua-duanya
itu. Sehingga dalam perkembangannya, politik Minangkabau bisa menerapkan
sistem Koto Piliang yang hierarkis beserta sistem Bodi Caniago yang egaliter.
Ketegangan diantara dua kubu sistem politik itu merupakan salah satu dikotomi
yang memelihara keseimbangan di masyarakat.
Untuk konsep kepemimpinan politik, masyarakat Minangkabau tidak
memposisikan pemimpinnya sebagai orang yang dikultuskan. Sehingga ketika
pemimpin itu tidak amanah atas jabatannya ia bisa disanggah ataupun diganti
melalui dewan adat. Hal ini berdasarkan kepada filosofi Minangkabau yang
menempatkan pemimpin itu "ditinggikan seranting didahulukan selangkah"
(ditinggikan sarantiang didahulukan salangkah). Dengan filosofi kepemimpinan
politik seperti ini, Minangkabau kemudian banyak melahirkan pemimpin sejati
yang rendah hati dan penuh pengabdian karena ia memahami bahwa ia hanya
ditinggikan seranting serta didahulukan selangkah oleh masyarakatnya. Atau
juga berdasarkan kepada filosofi "raja adil raja disembah, raja zalim raja
disanggah" (rajo adia rajo disambah, rajo zalim rajo disanggah). Adanya dewan
adat yang terdiri dari para penghulu dan ninik mamak di seluruh nagari,
menciptakan sistem check and balances dalam politik Minangkabau.
Sejak masuknya Islam ke Sumatera, sistem politik Minangkabau diperkuat oleh
tiga unsur (triumvirat) yang disebut Tigo Tungku Sajarangan. Triumvirat ini terdiri
dari tiga unsur masyarakat yang mencakup kaum adat, kaum cerdik pandai, dan
kaum ulama.

Kaum Adat diwakili oleh beberapa orang penghulu dari suku/klan yang ada
dalam sistem adat Minangkabau, seperti suku Koto dan Piliang, Bodi dan
Caniago serta berbagai suku pecahan baru lainnya. Setiap suku/klan
diwakili oleh beberapa orang datuk yang merupakan kepala kaum atau
keluarga besar.
Kaum Ulama diwakili oleh orang-orang yang menguasai ilmu agama Islam,
tapi tidak memegang posisi dalam struktur adat.

Kaum Cerdik Pandai diwakili oleh orang-orang yang dianggap punya


pengetahuan yang luas, pintar dan pandai, tapi juga tidak memegang
posisi dalam struktur adat.

Ketiga unsur ini saling berinteraksi, berdialektika, bahkan juga berkonflik dalam
suatu sistem politik yang diwadahi oleh suatu lembaga Kerapatan Adat Nagari. Di
dalam lembaga inilah dimusyawarahkan segala sesuatu permasalahan yang ada
dalam suatu nagari sehingga dapat ditemukan solusi yang disepakati oleh semua
pihak demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Keputusan
lembaga ini bersifat otonom tanpa harus meminta persetujuan dari otoritas
politik yang lebih tinggi seperti raja atau gubernur.

También podría gustarte