Está en la página 1de 2

Tingginya tingkat kegagalan program perubahan organisasi cukup mengejutkan, mengingat

banyaknya saran-saran dan buku-buku panduan perubahan bersifat how to yang banyak
mewarnai literatur manajemen. Sementara itu, dalam konteks Indonesia bisa dikatakan
materi-materi di bidang ini masih sangat terbatas, kecuali buku-buku terjemahan yang
mengunggulkan satu jenis program tertentu, misalnya buku tentang rekayasa-ulang, TQM,
dll.
Di negara-negara Barat, banyak pengarang di bidang ini menawarkan model-model
manajemen perubahan terencana. Walau masing-masing berbeda dalam sudut pandang,
kesemuanya menganut pendekatan manajemen perubahan langkah-demi-langkah secara
sistematis. Umumnya model-model ini terdiri dari sejumlah fase yang dikenal sebagai model
generik

manajemen

perubahan

organisasi

terencana,

Tersirat di balik model-model manajemen perubahan adalah ekspektasi bahwa manajer


memiliki basis pengetahuan, dan juga keahlian untuk mengelola perubahan secara efektif.
Namun, tingginya tingkat kegagalan program perubahan organisasi mengindikasikan bahwa
sebenarnya kebanyakan manajer tak memenuhi harapan tersebut. Bukti-bukti dalam
literatur manajemen juga menunjukkan adanya sebuah pola yang bisa diprediksi di sebagian
besar

organisasi

yang

gagal

melaksanakan

program

perubahan.

Biasanya, program diawali dengan pengumuman inisiatif perubahan baru oleh manajemen
puncak, lalu segera diikuti dengan rentetan program pelatihan singkat di seluruh
perusahaan agar semua orang siap berlari, pembentukan komite-komite lintas-fungsional
untuk membicarakan langkah maju dan kemudian alokasi ulang dan penataan ulang
sumber-sumber daya. Namun, melewati proses ini, organisasi dan manajemen kehilangan
alasan dan fokus untuk berubah, yang lalu berdampak hilangnya momentum dan sumber
daya. Perubahan kemudian gagal. Walau penyebab kegagalan bisa beragam, namun
kebanyakan

bersumber

dari

dalam

organisasi,

antara

lain:

semua orang memandang perubahan sebagai tujuan ketimbang sebagai sebuah proses
yang memerlukan perencanaan, persiapan, manajemen proyek dan perhatian yang
konsisten,

visi

tentang

tujuan

jangka

pendek

maupun

jangka

panjang

tidak

jelas

peninggalan program perubahan organisasi sebelumnya yang gagal karena penanganan


buruk

menciptakan

budaya

skeptis

dan

cenderung

menghindari

resiko

gagal memberikan dukungan, pelatihan dan ketrampilan yang diperlukan yang


memungkinkan karyawan mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri atas perubahan
organisasi
kurangnya komunikasi menyangkut perubahan termasuk, misalnya, memberi informasi
pada karyawan terlalu bertahap, yang beresiko tumbuh-kembangnya gosip negatif.
Terlalu memfokuskan upaya perubahan secara sempit pada satu aspek organisasi dan
mengabaikan keterkaitannya pada kehidupan organisasi. Misalnya, investasi pada
pelatihan manajemen untuk merubah gaya manajerial namun lalai menyesuaikan sistem
imbalan untuk mendukung perubahan yang diperlukan dalam perilaku manajerial.
Kegagalan-kegagalan tersebut merupakan contoh kelemahan atau omission dalam
penerapan apa yang disebut sebagai pendekatan best practices pada manajemen
perubahan terencana. Kerap kali model-model yang ditawarkan bersifat terlalu simplistis dan
tidak lebih dari sekedar common sense belaka. Dapat juga merupakan dampak dari kurang
ahlinya agen perubahan, termasuk di dalamnya para manajer, instruktur dan konsultan.
Selain itu, kegagalan mungkin disebabkan sebab-sebab yang lebih mendasar atau
kegagalan dalam memfasilitasi dan mengelola perubahan organisasi.

También podría gustarte