Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Respirasi adalah pertukaran gas antara makhluk hidup dengan lingkungannya,
sedangkan peran dan fungsi respirasi adalah menyediakan oksigen (O 2) serta
mengeluarkan gas karbondioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi respirasi merupakan
fungsi yang vital bagi kehidupan, dimana O 2 merupakan sumber tenaga bagi tubuh
yang harus dipasok secara terus-menerus, sedangkan CO 2 merupakan bahan toksik
yang harus dikeluarkan dari tubuh.
Ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan suatu keadaan
pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan
kebutuhan normal akan menyebabkan terjadinya gagal napas. Dimana sistem
pulmoner tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme, yaitu eliminasi CO 2 dan
oksigenasi darah. Gagal napas terjadi bila tekanan parsial oksigen arterial (PaO 2) <
60 mmHg atau tekanan parsial karbondioksida arterial (PCO2) > 45 mmHg.
Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia, dan gagal napas
hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dengan
PaCO2 normal atau rendah. Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO 2 > 45
mmHg. Sedangkan menurut waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut dan
gagal napas kronik.
Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan
neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler.
Gagal napas akut merupakan salah satu kegawatdaruratan, sehingga membutuhkan
penangan yang cepat dan tepat. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas
akut adalah: membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi
jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari
gagal nafas tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. FISIOLOGI PERNAPASAN
Fungsi primer dari sistem pernapasan adalah untuk menyediakan Oksigen (O 2)
bagi jaringan dan membuang karbondioksida. Untuk mencapai tujuan ini,
pernapasan dapat dibagi menjadi empat peristiwa fungsional pertama, yaitu: (1)
ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara antara atmosfir dan alveoli
paru; (2) difusi O2 dan karbon dioksida antara alveoli dan darah; (3) transport O2
dan karbon dioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel dan (4)
pengaturan ventilasi dan hal-hal lain dari pernapasan.
A.1. Ventilasi
2
Ventilasi Paru
Ventilasi merupakan suatu proses perpindahan masa udara dari luar tubuh ke
alveoli dan pemerataan distribusi udara ke dalam alveoli-alveoli. Proses ini terdiri
dari dua tahap yaitu inspirasi dan ekspirasi. Paru-paru dapat dikembang kempiskan
melalui dua cara, yaitu diafragma naik turun untuk memperbesar atau memperkecil
rongga dada, dan (2) depresi dan elevasi tulang iga untuk memperbesar atau
memperkecil diameter anteroposterior rongga dada. Selama inspirasi, kontraksi
diafragma menarik permukaan bawah paru ke arah bawah. Kemudian selama
ekspirasi, diafragma mengadakan relaksasi, dan sifat elastis daya lenting paru
(elastic recoil), dinding dada, dan struktur abdominal akan menekan paru-paru.
Selama inspirasi otot yang paling membantu adalah otot interkostalis eksterna, otot
lain yang membantu adalah otot sternokleidomastoideus yang mengangkat sternum
ke atas, otot serratus anterior yang mengangkat sebagian besar iga, dan otot
skalenus yang mengangkat dua iga pertama. Sedangkan otot-otot yang berperan saat
ekspirasi adalah otot rektus abdominis dan otot interkostalis interna. Kontraksi otot
inspirasi memerlukan energi, jadi inspirasi adalah proses aktif, tetapi ekspirasi
adalah proses pasif pada bernapas tenang karena ekspirasi terjadi melalui penciutan
elastik paru sewaktu otot-otot inspirasi melemas tanpa memerlukan energi.
Inspirasi
Terjadi bila tekanan intrapulmonal (intra alveolar) lebih rendah dari tekanan
udara luar. Pada saat inspirasi biasa, tekanan dapat berkisar antara -1mmHg
sampai dengan -3mmHg. Pada saat inspirasi dalam tekanan intra alveolar
dapat mencapai -30mmHg. Menurunnya tekanan intra pulmonar pada waktu
inspirasi
disebabkan
oleh
mengembangnya
rongga
thorax
karena
Terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih tinggi daripada tekanan udara luar
sehingga udara bergerak keluar paru. Tekanan intrapulmonar meningkat bila
volume rongga paru mengecil yang terjadi saat otot-otot inspirasi
berelaksasi. Pada proses ekspirasi biasa tekanan intraalveolar berkisar antara
+1mmHg sampai +3mmHg
Proses ekspirasi:
Otot inspirasi relaksasi volume thorax mengecil tekanan intrapleura
meningkat volume paru mengecil tekanan intra alveolar meningkat
udara bergerak keluar paru.
Tekanan Intrapleura
Adalah tekanan di dalam rongga pleura (antara pleura parietalis dan pleura
viseralis). Dalam keadaan normal ruang ini hampa udara dan mempunyai
tekanan negatif kurang lebih -4mmHg dibandingkan dengan tekanan
intraalveolar.
Volume Pernapasan semenit
Adalah jumlah total udara baru yang masuk ke dalam saluran pernapasan
tiap menit, dan ini sesuai dengan volume alun napas (volume Tidal/VT)
dikalikan dengan frekuensi pernapasan. VT normal kira-kira 500ml dan
frekuensi pernapasan normal kira-kira 12 kali permenit. Oleh karena itu,
volume pernapasan semenit rata-rata sekitar 6 liter/menit
Ventilasi Alveolar (VA)
Ventilasi alveolar adalah salah satu bagian yang penting karena O2 pada tingkat
alveoli inilah yang mengambil bagian dalam proses difusi. Besarnya ventilasi
alveolar berbanding lurus dengan banyaknya udara yang masuk atau keluar paru,
laju napas, udara dalam jalan napas serta keadaan metabolik. Banyaknya udara
masuk atau keluar paru dalam setiap kali bernapas disebut sebagai Volume Tidal
(VT) yang bervariasi tergantung pada berat badan. Nilai VT normal pada orang
dewasa berkisar 500 700 ml. Volume napas yang berada di jalan napas dan tidak
ikut dalam pertukaran gas disebut sebagai Dead Space (VD) atau Ruang Rugi
dengan nilai normal sekitar 150 180 ml yang terbagi atas tiga yaitu : (1) Anatomic
Dead Space, (2) Alveolar Dead Space, (3) Physiologic Dead Space.
Anatomic Dead Space yaitu volume napas yang berada di dalam mulut, hidung
dan jalan napas yang tidak terlibat dalam pertukaran gas. Alveolar Dead Space
yaitu volume napas yang telah berada di alveoli, akan tetapi tidak terjadi pertukaran
gas yang dapat disebabkan karena di alveoli tersebut tidak ada suplai darah. Dan
atau udara yang ada di alveoli jauh lebih besar jumlahnya dari pada aliran darah
pada alveoli tersebut.
Ventilasi alveolus setiap menit adalah volume total udara yang masuk dalam
alveoli (dan daerah pertukaran gas yang berdekatan lainnya) setiap menit. Ini sama
dengan frekuensi napas dikalikan dengan jumlah udara baru yang memasuki alveoli
setiap kali bernapas:
VA = (VT VD) x RR
VA: Ventilasi Alveolar
VT: Volume Tidal
VD: Volume dead space/ ruang rugi
RR: Respiration Rate
Pada orang sehat tekanan CO2 (PaCO2) normal dipertahankan kurang lebih
40mmHg dengan mengatur VA melalui proses regulasi ventilasi. Hiperventilasi
alveolar adalah VA yang diperlukan untuk kebutuhan metabolisme tubuh dan
direfleksikan dengan PaCO2 kurang dari 40mmHg, sedangkan hipoventilasi alveolar
adalah VA yang diperlukan untuk metabolism tubuh dengan PaCO2 lebih dari
40mmHg.
A.2. Difusi (Pertukaran Gas Paru)
Setelah alveoli diventilasi dengan udara segar, langkah selanjutnya dalam
proses pernapasan adalah difusi O2 dari alveoli ke pembuluh darah paru dan difusi
karbondioksida dari arah sebaliknya melalui membrane tipis antara alveolus dan
kapiler. Pada paru normal kurang lebih dua pertiga udara pernapasan sampai di
alveoli untuk mengadakan pertukaran gas. Kecepatan difusi dipengaruhi oleh 4
faktor utama:
merah memungkinkan darah untuk mengangkut 30-100 kali jumlah O 2 yang dapat
ditranspor dalam bentuk O2 terlarut di dalam cairan darah (plasma). Dalam sel
jaringan, O2 bereaksi dengan berbagai bahan makanan untuk membentuk sejumlah
besar karbondioksida (CO2). CO2 masuk ke dalam kapiler jaringan dan ditranspor
kembali ke paru-paru
Oksigen diangkut ke jaringan dari paru melalui dua jalan, yaitu (1) secara fisik
larut dalam plasma, kira-kira hanya 3% (2) secara kimiawi berikatan dengan
hemoglobin (Hb) sebagai oksihemoglobin, kira-kira sebesar 97% O2 ditranspor
melalui cara ini.
Ikatan kimia O2 dengan Hb ini bersifat reversible, dan jumlah sesungguhnya
yang diangkut dalam bentuk ini mempunyai hubungan nonlinear dengan tekanan
parsial O2 dalam darah arteri (PaO2), yang ditentukan oleh jumlah O2 yang secara
fisik larut dalam plasma darah.
Jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma mempunyai hubungan
langsung dengan tekanan parsial O2 dalam alveolus (PAO2). Jumlah O2 juga
bergantung pada daya larut O2 dalam plasma. Cara transport seperti ini tidak
memadai untuk mempertahankan hidup walaupun dalam keadaan istirahat
sekalipun. Sebagian besar O2 diangkut oleh Hb yang terdapat dalam sel darah
merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya keracunan karbon monoksida atau
hemolisis masif dengan insufisiensi Hb), O2 yang cukup untuk mempertahankan
hidup dapat diangkut dalam bentuk larutan fisik dengan memberikan pasien O 2
bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer (ruang O2 hiperbarik).
Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb ke dalam plasma dan
berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi kebutuhan jaringan
yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan tersebut bervariasi, namun sekitar
75% Hb masih berikatan dengan O2 pada waktu Hb kembali ke paru dalam bentuk
darah vena campuran. Jadi hanya sekitar 25% O2 dalam darah arteri yang digunakan
untuk keperluan jaringan. Hb yang telah melepaskan O 2 pada tingkat jaringan
disebut Hb tereduksi. Hb tereduksi berwarna ungu dan menyebabkan warna
kebiruan pada darah vena, sedangkan HbO2 berwarna merah terang dan
menyebabkan warna kemerah-merahan pada darah arteri.
Transpor CO2 dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan dengan tiga cara.
Sekitar 10% CO2 secara fisik larut dalam plasma, karena tidak seperti O 2, CO2
mudah larut dalam plasma. Sekitar 20% CO2 berikatan dengan gugus amino pada
Hb (karbaminohemoglobin) dalam sel darah merah, dan sekitar 70% diangkut
dalam bentuk bikarbonat plasma (HCO3-). CO2 berikatan dengan air dalam reaksi
berikut ini :
CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3Reaksi ini reversible dan disebut persamaan buffer asam bikarbonat-karbonat.
Keseimbangan asam basa tubuh ini sangat dipengaruhi oleh fungsi paru dan
homeostasis CO2. Pada umumnya hiperventilasi (ventilasi alveolus dalam keadaan
kebutuhan metabolisme yang berlebihan) menyebabkan alkalosis (peningkatan pH
darah melebihi pH normal 7,4) akibat ekskresi CO2 berlebihan dari paru;
hipoventilasi
(ventilasi
alveolus
yang
tidak
dapat
memenuhi
kebutuhan
metabolisme) menyebabkan asidosis akibat retensi CO2 oleh paru. Penurunan PCO2
seperti yang terjadi pada hiperventilasi, akan menyebabkan reaksi bergeser ke kiri
sehingga menyebabkan penurungan konsentrasi H+(kenaikan pH), dan peningkatan
PCO2 menyebabkan reaksi menjurus ke kanan, menimbulkan kenaikan H +
(penurunan pH).
Kurva Dissosiasi Oksi-Hemoglobin
Untuk dapat memahami kapasitas angkut O2 dengan jelas harus diketahui
afinitas Hb terhadap O2 karena suplai O2 untuk jaringan maupun pengambilan O2
oleh paru sangat bergantung pada hubungan tersebut. Jika darah lengkap dipajankan
terhadap berbagai tekanan parsial O2 dan persentase kejenuhan Hb diukur, maka
didapatkan kurva berbentuk huruf S bila kedua pengukuran tersebut digabungkan.
Kurva ini dikenal dengan nama kurva disosiasi oksihemoglobin yang menyatakan
afinitas Hb terhadap O2 pada berbagai tekanan parsial. Pada kurva ini, bagian
atasnya mendatar dan dikenal sebagai arteri, dan bagian yang lebih ke bawah
berbentuk curam dan dikenal sebagai bagian vena. Kurva ini menunjukkan saturasi
O2 akan mencapai 100% saat tekanan parsial O 2 (PO2) 100 mmHg. Hal ini
menunjukkan bahwa tekanan oksigen sangat penting untuk tercapainya saturasi
oksigen yang baik.
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi afinitas oksihemoglobin
dan akan menggeser kurva dissosiasi oksihemoglobin ke kanan dan ke kiri, faktorfaktor tersebut dapat dilihat pada table berikut:
Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi afinitas oksihemoglobin (HbO2)
Kurva disosiasi HbO2
Pergeseran ke kiri
Pergeseran ke kanan
(P50 menurun)
(P50 meningkat)
pH
pH
PCO2
PCO2
Suhu
Suhu
2,3 DPG
2,3 DPG
10
perifer)
yang
menerima
informasi
dan
Central Control
input
Pons,
medulla,
other parts
output
Sensor
Effector
Chemoreceptors,
lung, and other
receptors
Respiratory muscle
11
melalui saraf-saraf lain ke otot-otot pernapasan. Output dari central ini dipengaruhi
oleh sentra yang lebih tinggi di kortikal dan oleh stimulasi mekanik maupun kemis.
Proses autonomic normal dari pernapasan mula-mula berasal dari batang otak.
Korteks bisa mengambil alih kontrol ventilasi jika diperlukan (kontrol volunteer).
Input dari bagian otak yang lain dapat terjadi pada kondisi tertentu.
1. Pusat Pernapasan
Ada tiga kelompok utama neuron pengatur pernapasan di batang otak yaitu:
a. Medullary Respiratory Centre
Pusat ini terletak di reticulum formatio medulla, terdiri dari dua bagian,
yaitu:
- Inspiratory area: sel-sel neuron terletak di region dorsalis medulla yaitu nucleus
ductus solitaries, bertanggung jawab pada pengaturan ritme ventilasi.
- Expiratory area: sel-sel neuron terletak di region anterior medulla (nucleus
ambiguous dan nucleus retroambiguous). Nuclei ini tidak aktif pada pernapasan
normal, karena ventilasi dicapai dengan kontraksi otot-otot inspirasi (terutama
diafragma) diikuti relaksasi pasif sampai terjadi keseimbangan. Pada k ponsondisi
tertentu (misalnya olah raga) ekspirasi akan aktif sebagai aktifitas sel-sel ekspirasi.
- Apneustic centre: terletak di bagian bawah pons. Akibat aktifitas impuls dari bagian
ini, akan berakibat perpanjangan waktu inspirasi. Pada kondisis normal kerja
apneustic centre pada manusia tidak diketahui, namun pada trauma otak yang berat
tipe pernapasan ini akan tampak.
- Pneumotaxic Centre: terletak di atas pons di regio nucleus para brachialis. Aktifitas
sentra ini mengatur volume inspirasi dan rate inspirasi. Beberapa peneliti
mengemukakan bahwa kerja bagian ini adalah sebagai fine tuning dari irama
pernapasan.
12
b.
Cortical Center
Input kortikal pada sentra respirasi
akan menghasilkan
respirasi yang bersifat
kontrol voluntary.
c.
2.
dan ketakutan.
Efektor
Otot-otot efektor
respirasi
termasuk
di
dalamnya
adalah
diafragma,
13
14
15
PAO2. Maka PO2 alveolar (PAO2) menentukan batas atas PO2 arteri. Semua
nilai PO2 berada diantara PVO2 dan PAO2.
Hipoksemia arteri selalu merupakan akibat penurunan PO2 alveolar, atau
peningkatan jumlah darah vena bersaturasi rendah yang bercampur dengan
darah kapiler pulmonal (campuran vena).
Penurunan PO2Alveolar
Tekanan total di ruang alveolar ialah jumlah dari PO2, PCO2, PH2O, dan
PN2. Bila PH2O dan PN2 tidak berubah bermakna, setiap peningkatan pada
PACO2 akan menyebabkan penurunan PaO2. Hipoventilasi alveolar
menyebabkan penurunan PAO2, yang menimbulkan penurunan PaO2 bila
darah arteri dalam keseimbangan dengan gas di ruang alveolus. Persamaan
gas alveolar, bila disederhanakan menunjukkan hubungan antara PO 2 dan
PCO2 alveolar:
PAO2 = FiO2 x PB - PACO2
R
FiO2 adalah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB ialah tekanan
barometric, dan R ialah rasio pertukaran udara pernapasan, menunjukkan
rasio steady-state CO2 memasuki dan O2 meninggalkan ruang alveolar.
Dalam praktek, PCO2 arteri digunakan sebagai nilai perkiraan PCO2 alveolar
(PaCO2). PAO2 berkurang bila PACO2 meningkat. Jadi, hipoventilasi alveolar
menyebabkan hipoksemia (berkurangnya PaO2).
Persamaan gas alveolar juga mengindikasikan bahwa hipoksemia akan
terjadi jika tekanan barometric total berkurang, seperti pada ketinggian, atau
bila FiO2 rendah (seperti saat seseorang menghisap campuran gas dimana
sebagian oksigen digantikan gas lain). Hal ini juga akibat penurunan PO 2.
Pada hipoksemia, yang terjadi hanya karena penurunan PaO 2. Perbedaan PO2
alveolar - arteri adalah normal pada hipoksemia karena hipoventilasi.
Pencampuran Vena (Venous Admixture)
Meningkatnya jumlah darah vena yang mengalami deoksigenasi, yang
mencapai arteri tanpa teroksigenasi lengkap oleh paparan gas alveolar.
Perbedaan PO2 alveolar arterial meningkat dalam keadaan hipoksemia
karena peningkatan pencampuran darah vena. Dalam pernapasan udara
16
17
penyakit paru yang merubah distribusi ventilasi atau aliran darah sehingga
terjadi ketidaksesuaian V/Q adalah: Asma dan penyakit paru obstruktif
kronik lain, dimana variasi pada resistensi jalan napas cenderung
mendistribusikan ventilasi secara tidak rata. Penyakit vascular paru seperti
tromboemboli paru, dimana distribusi perfusi berubah. Petunjuk akan
adanya ketidaksesuaian V/Q adalah PaO2 dapat dinaikkan ke nilai yang dapat
ditoleransi secara mudah dengan pemberian oksigen tambahan.
Keterbatasan Difusi (diffusion limitation)
Keterbatasan difusi O2 merupakan penyebab hipoksemia yang jarang.
Dasar mekanisme ini sering tidak dimengerti. Dalam keadaan normal,
terdapat waktu yang lebih dari cukup bagi darah vena yang melintasi kedua
paru untuk mendapatkan keseimbangan gas dengan alveolus. Walaupun
jarang, dapat terjadi darah kapiler paru mengalir terlalu cepat sehingga tidak
cukup waktu bagi PO2 kapiler paru untuk mengalami kesetimbangan dengan
PO2 alveolus. Keterbatasan difusi akan menyebabkan hipoksemia bila PAO 2
sangat rendah sehingga difusi oksigen melalui membrane alveolar-kapiler
melambat atau jika waktu transit darah kapiler paru sangat pendek. Beberapa
keadaan dimana keterbatasan difusi untuk transfer oksigen dianggap sebagai
penyebab utama hipoksemia ialah: penyakit vaskuler paru; pulmonary
alveolar
18
tetapi juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar membrane mukosa dan
bibir. Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi hemoglobin dan keadaan
perfusi pasien.
Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke
jaringan yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan
pergeseran metabolisme ke arah anaerobik disertai pembentukan asam
laktat. Peningkatan kadar asam laktat di darah selanjutnya akan merangsang
ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat menyebabkan gangguan mental,
terutama untuk pekerjaan kompleks dan berpikir abstrak. Hipoksia yang
lebih berat dapat menyebabkan perubahan status mental yang lebih lanjut,
seperti somnolen, koma, kejang dan kerusakan otak hipoksik permanen.
Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat. Sehingga menyebabkan
terjadinya takikardi, diaphoresis dan vasokonstriksi sistemik, diikuti
hipertensi. Hipoksia yang lebih berat lagi, dapat menyebabkan bradikardia,
vasodilatasi, dan hipotensi, serta menimbulkan iskemia miokard, infark,
aritmia dan gagal jantung.
Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk jika ada gangguan
hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien dengan curah
jantung yang berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi dapat diramalkan
akan mengalami hipoksia jaringan global dan regional pada hipoksemia
yang lebih dini. Misalnya pada pasien syok hipovolemik yang menunjukkan
tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial ringan.
2. GAGAL NAPAS HIPERKAPNIA / GAGAL NAPAS TIPE II / GAGAL
VENTILASI
Berdasarkan definisi, pasien dengan gagal napas hiperkapnia mempunyai
kadar PaCO2 yang abnormal tinggi. Karena CO2 meningkat dalam ruang
alveolus, O2 tersisih di alveolus dan PaO2 menurun. Maka pada pasien biasanya
didapatkan hiperkapnia dan hipoksemia bersama-sama, kecuali bila udara
inspirasi diberi tambahan oksigen. Paru mungkin normal atau tidak pada pasien
dengan gagal napas hiperkapnia, terutama jika penyakit utama mengenai bagian
nonparenkim paru seperti dinding dada, otot pernapasan, atau batang otak.
19
Penyakit paru obstruktif kronis yang parah sering mengakibatkan gagal napas
hiperkapnia. Pasien dengan asma berat, fibrosis paru stadium akhir, dan ARDS
(Acute Respiratory Distres syndrome) berat dapat menunjukkan gagal napas
hiperkapnia.
Patofisiologi gagal napas hiperkapnia
Hipoventilasi alveolar
Dalam keadaan stabil, pasien memproduksi sejumlah CO 2 dari proses
metabolic setiap menit dan harus mengeliminasi sejumlah CO2 tersebut dari
kedua paru setiap menit. Jika keluaran semenit CO 2 (VCO2) menukarkan
CO2 ke ruang pertukaran gas di kedua paru, sedangkan V A adalah volume
udara yang dipertukarkan di alveolus selama semenit (ventilasi alveolar),
didapatkan rumus:
VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) x VA (L/men) x 1__
863
Untuk output CO2 yang konstan, hubungan antara PaCO2 dan VA
menggambarkan hiperbola ventilasi, dimana PaCO2 dan VA berhubungan
terbalik. Jadi hiperkapnia selalu ekuivalen dengan hipoventilasi alveolar, dan
hipokapnia sinonim dengan hiperventilasi alveolar. Karena ventilasi alveolar
tidak dapat diukur, perkiraan ventilasi alveolar hanya dapat dibuat dengan
menggunakan PaCO2 rumus diatas.
Ventilasi Semenit
Pada pasien dengan hipoventilasi alveolar, VA berkurang (dan PaCO2
meningkat). Meskipun VA tidak dapat diukur secara langung, jumlah total
udara yang bergerak masuk dan keluar kedua paru setiap menit dapat diukur
dengan mudah. Ini didefinisikan sebagai minute ventilation (ventilasi
semenit, VE, L/men). Konsep fisiologis menganggap bahwa VE merupakan
penjumlahan dari VA (bagian dari VE yang berpartisipasi dalam pertukaran
gas) dan ventilasi ruang rugi (dead spce ventilation, VD) :
VE = VA + VD VA = VE - VD
VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) x VE (L/men) x (1-VD/VT)
863
VD/VT menunjukkan derajad insufisiensi ventilasi kedua paru. Pada
orang normal yang sedang istirahat sekitar 30% dari ventilasi semenit tidak
20
21
- Polyneuritis, demyelinisasi
- Analgesia spinal tinggi
- Pelumpuh otot
3. Dinding Thoraks dan Diafragma
- Luka tusuk Thoraks
- Ruptur diafragma
4.
5. Paru
22
Asma
Infeksi paru
Benda asing
Pneumothoraks, hemathoraks
Edema Paru
- ARDS
- Aspiras
6. Kardiovaskuler
- Renjatan, Gagal jantung
- Emboli paru
7. Pasca Bedah Thoraks
23
8.
E. DIAGNOSIS GAGAL NAPAS AKUT
9. Tidak mungkin untuk memperkirakan tingkat hipoksemia dan hiperkapnia dengan
mengamati tanda dan gejala pasien. Gambaran klinis gagal napas sangat bervariasi pada
setiap pasien. Hipoksemia dan hiperkapnia yang ringan dapat pergi tanpa disadari
sepenuhnya. Kandungan oksigen dalam darah harus jatuh tajam untuk dapat terjadi
perubahan dalam bernafas dan irama jantung. Untuk itu, cara mendiagnosa gagal napas
adalah dengan mengukur gas darah pada arteri (arterial blood gases, ABG), PaO2 dan
PaCO2. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui
apakah ada anemia, yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan. Pemeriksaan lain dapat
dilakukan untuk menunjang diagnosis underlying disease (penyakit yang mendasarinya).
10.
F. TATALAKSANA GAGAL NAPAS AKUT
11.
Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu,
penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care area) di
rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana segala
perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia. Tujuan
penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat oksigenasi arteri
adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying
disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.
Dasar-dasar fisiologis terapi
12. Gagal napas hiperkapnea
13. Pada hiperkapnea berarti ada hipoventilasi alveolar, tatalaksana suportif bertujuan
memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal, hingga diketahui dan diterapi penyakit
yang mendasari. Kadang-kadang ventilasi alveolar dapat ditingkatkan dengan
mengusahakan tetap terbukanya jalan napas yang efektif, bisa dengan penyedotan sekret,
stimulasi batuk, drainase postural. Atau dengan membuat jalan napas artifisial dengan
selang endotrakeal atau trakeostomi. Alat bantu napas mungkin diperlukan untuk
mencapai dan mempertahankan ventilasi alveolar yang normal sampai masalah primer
diperbaiki. Meskipun secara teoritis ventilator mekanik dapat memperbaiki ventilasi
sesuai yang diinginkan, namun pada pasien dengan hiperkapnea kronik harus hati-hati
dalam menurunkan hiperkapnia, karena koreksi PaCO 2 hingga batas normal pada kasus
tersebut dapat menyebabkan alkalosis yang berat dan mengancam nyawa karena sudah
terjadi kompensasi berupa peningkatan kadar bikarbonat serum.
14. Hipoksemia sering ditemukan pada gagal napas hiperkapnia, terutama yang
didasari oleh penyakit paru, dan pemberian oksigen tambahan seringkali dibutuhkan.
Tetapi pada beberapa pasien dengan hiperkapnia, oksigen tambahan dapat berbahaya bila
tidak dimonitor dan disesuaikan secara hati-hati.
15. Pasien dengan gagal napas hiperkapnik karena overdosis obat sedatif atau
botulisme, dan kebanyakan pasien dengan trauma dada akan membaik seiring dengan
berjalannya waktu, dan penatalaksanaan bersifat suportif. Penyakit primer yang
membutuhkan terapi khusus ialah miastenia gravis, kelainan elektrolit, penyakit paru
obstruktif, obstructive sleep apnea, dan miksedema.
16.
17. Gagal Napas Hipoksemia
18. Suplementasi oksigen ialah terapi terpenting untuk gagal napas hipoksemik. Pada
penyakit berat seperti ARDS, mungkin diperlukan ventilasi mekanik, positive endexpiratory pressure (PEEP) dan terapi respirasi tipe lain. Walaupun umumnya tidak
didapatkan hiperkapnea, tetapi dapat terjadi karena beban kerja pernapasan menyebabkan
kelelahan otot pernapasan. Transportasi oksigen penting untuk diperhatikan, jika ada
anemia berat harus dikoreksi serta curah jantung yang adekuat harus dipertahankan.
Penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas hipoksemik harus diatasi.
19. Pada beberapa pasien dengan penyakit paru yang tidak merata pada semua
bagian paru (tidak mengenai kedua paru), memiringkan pasien pada posisi dimana area
paru yang tidak terlibat atau yang kurang terlibat berada lebih bawah dapat meningkatkan
oksigenasi, hal ini karena adanya gaya gravitasi. Pasien dengan hemoptisis berat atau
sekretnya banyak tidak boleh diposisikan seperti ini karena dapat terjadi aspirasi darah
atau sekret ke area yang belum terlibat.
nonkardiogenik difus, dianjurkan dalam posisi pronasi (tengkurap), paru akan jarang
mengalami kolaps pada bagian yang tergantung. Selain itu lebih sedikit area paru yang
mendapat penekanan oleh jantung atau isi abdomen.
20.
21.
tindakan secara langsung ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas paru, sedangkan
pengobatan spesifik ditujukan untuk mengatasi penyebabnya.
Pengobatan nonspesifik
22.
Pengobatan ini dapat dan harus dilakukan segera untuk mengatasi gejalagejala yang timbul, agar pasien tidak jatuh ke dalam keadaan yang lebih buruk. Sambil
menunggu dilakukan pengobatan spesifik sesuai dengan etiologi penyakitnya.
23. Pengobatan nonspesifik pada gagal napas akut:
1. Atasi hipoksemia: terapi oksigen
2. Atasi hiperkapnia: perbaiki ventilasi
a. Perbaiki jalan napas
b. Ventilasi bantuan: memompa dengan sungkup muka berkantung (bag and mask),
IPPB
3. Ventilasi kendali
4. Fisioterapi dada
24.
25.
26. Terapi Oksigen
27.
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal napas dari penyakit
kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkapnia
sehingga pusat pernapasan tidak terangsang oleh hipercarbic drive melainkan terhadap
hypoxemic drive. Akibat kenaikan PaO2 pasien dapat apnea.
28.
Terapinya dengan menaikkan konsentrasi oksigen fraksi inspirasi (FiO2),
menurunkan konsumsi oksigen dengan hipotermi sampai 34C atau pemberian obat
pelumpuh otot. Ventilasi dilakukan secara bantuan atau terkendali. Cara pemberian
oksigen dapat dilakukan dengan kateter nasal, atau sungkup muka. Sungkup muka tipe
venture dapat mengatur kadar O2 inspirasi secara lebih tepat, bila ventilasi kembali
dengan ventilator maka konsentrasi O2 dapat diatur dari 21-100%.
29.
30. Tabel.2 Cara Pemberian O2, hubungan antara besarnya aliran udara dengan
konsentrasi O2 Inspirasi.
31.
34.
37.
40.
Alat
Kateter nasal
Sungkup muka
Sungkup muka
32.
Aliran
(L/men)
35.
2-6
38.
4-12
tipe 41.
4-8
O2 33.
36.
39.
42.
Konsentrasi O2 (%)
30-50
35-65
24, 28, 35, 40
venturi
43.
Ventilator
46.
Inkubator
49.
50.
44.
47.
Bervariasi
3-8
45.
48.
21-100
30-40
sederhana hingga dengan ventilator. Hiperkapnia berat serta akut akan mengakibatkan
gangguan PH darah atau asidosis respiratorik, hal ini harus diatasi segera dan biasanya
diperlukan ventilasi kendali dengan ventilator. Akan tetapi pada gagal napas dari penyakit
paru kronis yang menjadi akut kembali (acute on chronic), keadaan hiperkapnia kronik
dengan PH darah tidak banyak berubah karena sudah terkompensasi oleh ginjal atau
dikenal sebagai asidosis respiratorik terkompensasi sebagian atau penuh.
52.
darah meningkat menjadi alkalosis, keadaan ini justru dapat membahayakan, dapat
menimbulkan gangguan elektrolit darah terutama kalium menjadi hipokalemia, gangguan
pada jantung seperti aritmia jantung hingga henti jantung. Penurunan tekanan CO 2 harus
secara bertahap dan tidak melebihi 4 mmHg/jam.
a. Perbaiki jalan napas (Air Way)
53.
Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan hipereksistensi
kepala mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan napas, apabila masih
belum menolong maka mulut dibuka dan mandibula didorong ke depan (triple
airway maneuver), biasanya berhasil untuk mengatasi obstruksi jalan nafas bagian
atas. Sambil menunggu dan mempersiapkan pengobatan spesifik, maka
diidentifikasi apakah ada obstruksi oleh benda asing, edema laring atau spasme
bronkus, dan lain-lain. Mungkin juga diperlukan alat pembantu seperti pipa
orofaring, pipa nasofaring atau pipa trakea.
54.
b. Ventilasi Bantu
55.
Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas dapat
dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau mulut ke hidung (mouth to nose).
Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan ventilasi
Fisioterapi Dada
59.
Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal napas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien
diajarkan bernapas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan
menggunakan kedua telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang
baik dan efisien. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada dan punggung, kemudian
perkusi, vibrasi dan drainase postural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan
seperti mukolitik, bronchodilator, atau pernapasan bantuan dengan ventilator.
60.
Pengobatan Spesifik
61. Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga pengobatan
untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Kadang-kadang memerlukan persiapan
yang membutuhkan banyak waktu seperti operasi atau bronkhoskopi. Macam-macam
pengobatan spesifik dapat dilihat pada tabel.
62. Tabel.3 Macam-macam pengobatan spesifik penyebab gagal napas akut
63.
Etiologi
65. Otak
- Neoplasma
- Epilepsi
- Hematoma Subdural
- Keracunan Morfin
- CVA
64.
67.
Pengobatan Spesifik
-
Rawat Operasi
Antikonvulsi
Operasi
Nalokson
Rawat Intensif
66.
68. Susunan Neuro-muskular
- Miastenia Gravis
- Polyneuritis,
demyelinisasi
69.
- Analgesia spinal tinggi
70.
- Pelumpuh otot
71.
-
76. Dinding
Thoraks
dan 77.
Diafragma
- Luka tusuk Thoraks
- Ruptur diafragma
79. Paru
81.
- Asma
- Infeksi paru
- Benda asing
- Pneumothoraks,
hemathoraks
- Edema Paru
- ARDS
- Aspirasi
80.
84. Kardiovaskuler
85.
- Renjatan, Gagal jantung
- Emboli paru
87. Pasca bedah Thoraks
89.
90.
91.
92.
93.
94.
95.
96.
97.
98.
99.
100.
101.
102.
103.
Prostigmin, Piridostigmin
Rawat dan bantuan napas
ventilasi terkendali
72.
73.
74.
75.
Operasi
Operasi
78.
Steroid, Bronkodilator
Antibiotik
Bronkhoskopi
Drainase paru
82.
Diuretika, Ventilasi kendali
83.
Obat-obatan
Terapi cairan
86.
Bantuan napas
88.
104.
105.
106.
107.
108.
109.
110.
111.
112.
113.
114.
115.
116.
117.
118.
119.
120.
121.
BAB III
122.
123.
KESIMPULAN
124.
125.
126.
mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh
yang sesuai dengan kebutuhan normal. Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas
hipoksemia, dan gagal napas hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO 2
< 60 mmHg dengan PaCO2 normal atau rendah. Gagal napas hiperkapnia, ditandai
dengan PaCO2 > 45 mmHg. Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada
otak, susunan neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem
kardiovaskuler. Penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut yang utama adalah
membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta
menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.
127.
128.
129.
130.
131.
132.
133.
134.
135.
136.
137.
138.
139.
140.
141.
142.
143.
144.
145.
146.
147.
148.
149.
150.
151.
152.
153.
156.
154.
BAB IV
155.
DAFTAR PUSTAKA
157.
158.
159. Anonim. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada tanggal 25 Juni 2010 dari
http://www.faqs.org/health/topics
160. Anonim. (2002). Respiratory Failure Fact Book. Diakses pada tanggal 24 Juni 2010
dari http://www.healthnewsflash.com
161. Amin, Zulkifli; Purwoto, Johanes. (2006). Gagal Napas Akut. Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Simandibrata, M., Setiati, S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi Keempat. Jilid 1. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
162.
163. Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2005, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9,
Jakarta: EGC.
164. Kaynar, Ata Murat; Sharma, Sat. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada tanggal 23
Juni 2010 dari http://emedicine.medscape.com/article/167981-overview
165. Latief, A. Said. (2002), Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intesif, Jakarta: FK UI.
166. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., (2006). Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC.
167.
168. Rahardjo, Sri. (2002). Gagal Napas. Modul Anestesi HSC UGM. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada