Está en la página 1de 12

ASKEP DIFTERI PADA ANAK

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang
menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan
faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui
udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin
penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus
difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama
dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak - anak muda.
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh
karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan
kita
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Yaitu, agar Mahasiswa/i memahami tentang penyakit difteri pada anak
2. Tujuan khusus
a. Definisi difteri
b. Etiologi
c. Tanda dan Gejala
d. Patofisiologi
e. Penatalaksanaan Medis
f. Komplikasi
g. Asuhan Keperawatan

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Definisi

Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksik (racun)
Corynebacterium diphteriae. (Iwansain.2008).
Difteri adalah infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae dengan bentuk basil batang gram positif (Jauhari,nurudin. 2008).
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun
Corynebacterium diphteriae. (Fuadi, Hasan. 2008).
Jadi kesimpulannya difteri adalah penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh
kuman Corynebacterium diphteriae
B. Etiologi
Penyebabnya adalah Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini ditularkan melalui percikan
ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi
oleh bakteri. Biasanya bakteri ini berkembangbiak pada atau disekitar selaput lender mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Pewarnaan sediaan langsung dapat dialkuakan
dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari
lesi.
Menurut Staf Ilmu Kesehatan Anak FKUI dalam buku kuliah ilmu kesehatan anak, sifat
bakteri Corynebacterium diphteriae :
1. Gram positif
2. Aerob
3. Polimorf
4. Tidak bergerak
5. Tidak berspora

Disamping itu bakeri ini dapat mati pada pemanasan 60 C selama 10 menit, tahan
beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mengering.Terdapat tiga jenis basil
yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koloni dalam biakan
agar darah yang mengandung kalium telurit. Basil Difteria mempunyai sifat:
1. Mambentuk psedomembran yang sukar dianggkat, mudah berdarah, dan berwarna putih keabuabuan yang meliputi daerah yang terkena.terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan
kuman.
2. Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam
diserap dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung,
ginjal dan jaringan saraf.
Menurut tingkat keparahannya, Staff Ilmu Kesehatan Anak FKUI membagi penyakit ini menjadi
3 tingkat yaitu :

1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya
nyeri menelan.
2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyaring sampai faring (dinding belakang rongga
mulut), sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
3. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti
miokarditis (radang otot jantung), paralysis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang
ginjal).
Menurut bagian ilmu kesehatan anak FKUI, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi
gejala yang dirasakan pasien :
1. Difteri hidung
Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek, kemudian secret yang
keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran
dapat mencapai faring dan laring.
2. Difteri faring dan tonsil ( Difteri Fausial ).
Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat
gagal nafas. Paling sering dijumpai ( 75%). Gejala mungkin ringan tanpa pembentukan
pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita.Pada kondisi
yang lebih berat diawali dengan radang tenggorokan dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak
terlalu tinggi, pseudomembran awalnya hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat
meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau, dan ada pembengkakan regional leher tampak
seperti leher sapi (bulls neck). Dapat terjadi sakit menelan, dan suara serak serta stridor inspirasi
walaupun belum terjadi sumbatan laring.
3. Difteri laring dan trakea
Lebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil, daripada yang primer. Gejala
gangguan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat timbul sesak
nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium. Ada bulls neck, laring
tampak kemerahan dan sembab, banyak sekret, dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran.
Bila anak terlihat sesak dan payah sekali perlu dilakukan trakeostomi sebagai pertolongan
pertama.
4. Difteri kutaneus dan vaginal
Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane
diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi justru
tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula timbul pada daerah konjungtiva dan umbilikus.
5.

Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga

Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun.
Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

C.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
D.

Tanda dan gejala


Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9 derjat Celcius,
Batuk dan pilek yang ringan.
Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan
Mual, muntah , sakit kepala.
Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu abuan kotor.
Kaku leher
Patofisiologi
Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius bagian atas terutama bila terdapat
peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain.Selain itu dapat juga pada vulva, kulit, mata,
walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat tersebut basil membentuk pseudomembran dan
melepaskan eksotoksin.Pseudomembran timbul lokal kemudian menjalar kefaring, tonsil, laring,
dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening sekitarnya akan membengkak dan mengandung
toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan menyebabkan miokarditis toksik atau jika
mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralysis terutama otot-otot pernafasan. Toksin
juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, yang dapat menimbulkan nefritis
interstitialis. Kematian pasien difteria pada umumnya disebabkan oleh terjadinya sumbatan jalan
nafas akibat pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung karena miokardititis, atau
gagal nafas akibat terjadinya bronkopneumonia.
Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (droplet infection), tetapi dapat juga melalui
perantaraan alat atau benda yang terkontaminasi oleh kuman difteria.Penyakit dapat mengenai
bayi tapi kebayakan pada anak usia balita. Penyakit Difteria dapat berat atau ringan bergantung
dari virulensi, banyaknya basil, dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan hanya berupa keluhan
sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan kekebalan pada anak jika daya
tahan tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan pasien datang berobat sering dalam keadaan berat
seperti telah adanya bullneck atau sudah stridor atau dispnea. Pasien difteria selalu dirawat
dirumah sakit karena mempunyai resiko terjadi komplikasi seperti mioarditis atau sumbatan jalan
nafas (Ngastiyah, 1997).

Menurut
Iwansain,2008 dalam http://www.iwansain.wordpress.com secara
sederhana
pathofisiologi difteri yaitu :
1. Kuman difteri masuk dan berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada vulva,
kulit, mata.

2. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul lokal


dan menjalar dari faring, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak
membengkak dan mengandung toksin.
3. Bila eksotoksin mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul
paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.
4. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trakea dan
dapat menyebabkan kondisi yang fatal.

E. Penatalaksanaan
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang
dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya sampai keadaan
EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik.
Pengobatan spesifik untuk difteri :
1. ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya harus
dilakukan uji kulit dan mata.
a. TEST ADS
ADS 0,05 CC murni dioplos dengan aquades 1 CC.
Diberikan 0,05 CC intracutan Tunggu 15 menit indurasi dengan garis tengah 1 cm (+)
b. CARA PEMBERIAN
Test Positif BESREDKA
Test Negatif secara DRIP/IV
c. Drip/IV
200 CC cairan D5% 0,225 salin. Ditambah ADS sesuai kebutuhan. Diberikan selama 4 sampai 6
jam observasi gejala cardinal.
B. Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas demam. Pada
pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.

C. Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat membahayakan,


dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu. Bila terjadi sumbatan jalan
nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi
komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat diberikan strikin mg dan vitamin B1 100 mg tiap
hari selama 10 hari.
F. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebakterium
difteri (Buku kuliah ilmu kesehatan anak, 1999).
b.

Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan


leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin.
Pada urin terdapat albuminuria ringan (Ngastiyah, 1997).

c. Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahnan di

bawah membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood


( Rampengan, 1993 ).
d. Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena hemolisis

sel darah merah (Rampengan, 1993 )


e. Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit peningkatan

protein (Rampengan, 1993 ).


f.Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu

pemeriksaan swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung


antitoksin.
G. Komplikasi
Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun organ
lainnya:
D. Miokarditis bisa menyebabkan gagal jantung
E. Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak terkoordinasi dan
gejala lainnya (timbul dalam waktu 3-7 minggu)
F.
Kerusakan saraf yang berat bisa menyebabkan kelumpuhan
G. Kerusakan ginjal (nefritis).

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN
GANGGUAN PERNAFASAN: DIPTERI
H. Pengkajian
1. Biodata
a. Umur
:Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan
pada bayi berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun
b. Suku bangsa
: Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin
c. Tempat tinggal
: Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat pemukiman yang
rapat-rapat, higine dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang
2. Keluhan Utama
Klien marasakan demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia, lemah
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas atas dan
mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri
6. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia
b. Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
c. Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur
d. Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi kurang
disebabkan oleh anoreksia
7. Pemeriksaan fisik
6.

Pada diptheria tonsil - faring

a.
b.
c.
d.
e.

Malaise
Suhu tubuh < 38,9 c
Pseudomembran ( putih kelabu ) melekat dan menutup tonsil dan
dinding faring
Bulneck
7.

Diptheriae laring

Stridor
Suara parau
Batuk kering
Pada obstruksi laring yang berat terdpt retraksi suprasternal, sub costal dan supraclavicular
8.

Diptheriae hidung

Pilek ringan
Sekret hidung serosanguinus mukopurulen
Lecet pada nares dan bibir atas
Membran putih pada septum nasi.

B. Diagnosa keperawatan
1.
Pola nafas napas tidak efektif b/d edema laring.
2.
Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia.
3. Nyeri akut b/d proses inflamasi.
C. Rencana Keperawatan

NO

DX

TUJUAN

INTERVENSI

RASIONAL

a.
b.

c.
d.
e.
f.

II

a.

b.
c.
d.

Setelah dilakukan 1.
tindakan keperawatan
tentang Oxygen
2.
theraphy selama 1X24
jam diharapkan pola 3.
nafas pasien kembali
normal.
Kriteria hasil :
4.
Frekuensi pernafasan
dbn
Irama nafas sesuai
dengan yang
diharapkan.
Pengeluaran sputum
pada jalan nafas
Tidak ada suara nafas
tambahan
Bernafas mudah
Tidak ada dyspnea

Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 1x24 jam
nutrisi klien dapat
terpenuhi.
Kriteria hasil :
Klien dapat
mengetahui tentang
penyakit yang
dideritanya.
Adanya minat dan
selera makan.
Porsi makan sesuai
kebutuhan
BB meningkat.

Observasi tanda
tanda vital.
Posisikan pasien semi
fowler.
Anjurkan pasien agar
tidak terlalu banyak
bergerak.
Kolaborasi dengan tim
medis dalam pemberian
terapi
Oxygen

1. untuk
mengetahui
keadaan umum
pasien.
2.Agar pasien
merasa lebih
nyaman
3.Agar sesak tidak
bertambah.
4.Mempertahankan
kebutuhan oksigen
yang maksimal
bagi pasien

1. Monitor intake
kalori dan kualitas
konsumsi makanan.
2. Berikan porsi kecil
dan makanan
lunak/lembek.
3. Berikan makan
sesuai dengan selera.
4. Timbang BB tiap
hari

1. Untuk
mengetahui
pemasukan atau
intake makanan.
2. Makanan
dalam porsi kecil
mudah dikonsumsi
oleh klien dan
mencegah
terjadinya
anoreksia.
3. Meningkatkan
intake makanan.

4. Mengetahui
kurangnya BB dan
efektifitas nutrisi
yang diberikan.

III

a.

b.
c.
d.
e.

Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 1x24 jam
diharapkan nyeri
berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
Pasien dapat
mengatakan nyeri
yang dirasakan
Nyeri berkurang
Wajah tidak
meringis.
Skala nyeri
berkurang.( 0-2
TTV normal

1. Lakukan pengkajian
nyeri secara
menyeluruh meliputi
lokasi, durasi,
frekuensi, kualitas,
keparahan nyari dan
factor pencetus nyeri
2.Observasi
ketidaknyamanan non
verbal
3.Ajarkan untuk
menggunakan teknik
non farmakologi misal
relaksasi, guided
imageri, terapi musik
dan distraksi
4.Kendalikan factor
lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon
pasien terhadap
ketidaknyamanan misal
suhu, lingkungan,
cahaya, kegaduhan.
5.Kolaborasi:
pemberian analgetik
sesuai indikasi

1. untuk
mengetahui lokasi
nyeri dan derajat
nyeri, sehingga
dapat dilakukan
pengobatan yang
tepat.
2. Agar dapat
mengetahui tingkat
nyeri pada pasien.
3. Relaksasi
dapat merelaksasi
otot otot
sehingga nyeri
dapat berkurang
dan pasien bisa
rileks.
4. Lingkungan
yang tenang dapat
menjadikan pasien
dapat istirahat.
5.
Agar nyeri
berkurang dan
pasien cepat
sembuh..

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit
ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi
saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/
tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara
yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin
penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus
difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama
dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak - anak muda.
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh
karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan
kita.
B. Saran
untuk pembuatan makalah ini saya menyadari masih banyak kekurangan saya berharap
bagi pembacanya untuk mengkritik guna untuk menyempurnakan makalah ini.terima kasih

DAFTAR PUSTAKA

Stephen S. tetanus edited by.Behrman, dkk. Dalam Ilmu Kesehatan Anak NelsonHal.1004-07.
Edisi 15-Jakarta : EGC, 2000
Merdjani, A., dkk. 2003. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
Dr. Rusepno Hasan, dkk. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
KedokteranUniversitas Indonesia. Jilid II. Hal 568-72.. Cetakan kesebelas Jakarta: 2005

También podría gustarte