Está en la página 1de 23

Pengaruh Competing Accountability Requirements

Terhadap Kinerja Kerja NGO di Indonesia

M. YUDHIKA ELRIFI
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bisnis & Perbankan Yogyakarta
HARDO BASUKI
Universitas Gadjah Mada
Abstract
This research investigated studied the impact of competing accountability
requirement in public setor organization, especially for Non Govermental
Organization (NGO). Its provided empirical evidence on the impact factors
determined the competing accountability requirement of work performance
NGOs accountability actor in Indonesia. The objectives of research is to
identify different types of accountability requirements with quantitative data
and to determine that the competing pressures of accountability affect
NGOs perceived work performance. The results showed that work
performance NGOs accountability actor in Indonesia partly influenced by
a negative perceived work context that is workload and job tension.
Keywords: competing
accountability
requirement,
accountability, NGO, work performance

competing

Abstrak
Penelitian ini menginvestigasi pengaruh competing accountability
requirement di organisasi sektor publik, khususnya Non Govermental
Organization (NGO). Penelitian ini memberikan bukti empiris tentang
pengaruh competing accountability requirement terhadap kinerja kerja aktor
akutabilitas NGO di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi perbedaan tipe keharusan akuntabilitas dengan data
kuantitatif dan untuk menentukan apakah tekanan keharusan akuntabilitas
mempengaruhi kinerja kerja karyawan NGO. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kinerja kerja aktor akuntabilitas di NGO secara sebagian dipengaruhi
oleh konteks kerja persepsian negatif berupa beban kerja dan tekanan kerja.
Kata Kunci:

SNA 17 Mataram, Lombok


Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

competing
accountability
requirement,
akuntabilitas, NGO, kinerja kerja

keharusan

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

1. Latar Belakang Penelitian


Tumbuh dan menjamurnya NGO di Indonesia pada era reformasi merupakan fenomena
yang menarik dan menggembirakan bagi perkembangan organisasi sektor publik di
Indonesia selain organisasi pemerintahan. Dengan terus bertambahnya jumlah NGO,
maka diharapkan organisasi sektor publik dapat berperan dalam meningkatkan kualitas
sumber daya manusia dan kesejahteraan masyarakat.
Namun di sisi lain, berbagai penyelewengan dan penyimpangan sebagian NGO
telah menodai reputasi NGO lainnya. Mereka menilai perilaku miring itu sebagai
ancaman besar terhadap eksistensi NGO yang mengandalkan kepercayaan publik dalam
menjalankan program dan organisasinya. Hasil dari beberapa penelitian melaporkan
adanya berbagai penyelewangan dan skandal yang juga menimpa NGO di Amerika dan
internasional dalam pengelolaan dana masyarakat, kesejahteraan, dan jasa pelayanan
masyarakat (Gibelman dan Gelman, 2001). Dixon dkk. (2006) meneliti akuntabilitas
penyaluran dana bergulir oleh NGO lokal untuk memberdayakan kaum miskin di
Zambia yang awalnya sukses namun karena membuka cabang dan lemah pengawasan
sehingga terjadi manipulasi data atau data fiktif yang merugikan masyarakat.
Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persoalan
tata kelola yang baik (good governance) dalam organisasi NGO merupakan hal yang
sangat penting dan perlu untuk diterapkan. Dengan diimplementasikannnya tata kelola
yang baik, maka diharapkan dapat mewujudkan adanya akuntabilitas dan kinerja NGO
yang juga lebih baik. Tidak hanya lembaga pemerintah dan sektor bisnis saja yang
dituntut agar mampu menerapkan good goverment dan good corporate governance,
organisasi non pemerintah seperti NGO juga perlu menerapkan prinsip good nongovermental organization sebagai wujud dari akuntabilitas dan pelaporan kinerjanya.
Pembahasan mengenai akuntabilitas NGO, telah ditingkatkan secara intensif dalam
beberapa tahun terakhir. NGO berusaha untuk menyeimbangkan kinerja terhadap
berbagai tuntutan dari forum dan sering bertentangan untuk akuntabilitas (Kim dan Lee,
2009). Penekanan akan pentingnya akuntabilitas mungkin memiliki beberapa manfaat
dalam memperkuat kepercayaan lembaga donor dan memastikan keberlanjutan bantuan
pendanaan dari mereka. Namun, adanya competing accountability requirement dan
beragamnya keharusan akuntabilitas tersebut menjadi tantangan manajerial yang
signifikan dalam pencapaian misi organisasi. Selanjutnya, harapan yang beragam antara
berbagai pemangku kepentingan terhadap akuntabilitas NGO dapat menghambat
pendirian standar tunggal dan menyebabkan tekanan dan permasalahan managemen

SNA 17 Mataram, Lombok


Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

(Brown, Moore, & Honan, 2001; Greenlee, 1998; Kanter & Summers, 1987), serta
mempengaruhi outcome kinerja (Dicke, 2002).
Tidak adanya standar efektivitas penting menyisakan pertanyaan sentral terhadap
akuntabilitas: Manakah jenis kebutuhan akuntabilitas yang harus didahulukan dari pada
yang lain? Apa yang dapat atau harus dilakukan oleh pimpinan NGO ketika dihadapkan
dengan arah yang tidak sesuai dengan mandat organisasi atau preferensi publik? (Kim
& Lee, 2009). Competing accountability requirement telah diuji secara intensif di
organisasi sektor publik (misalnya, Fredericksen & Levin, 2004; Johnston & Romzek,
1999; Koppell, 2005; Radin, 2002; Romzek & Dubnick, 1987) dan secara khusus di
NGO (Christensen & Ebrahim, 2006; Ebrahim, 2003; Kearns, 1994; Rubin, 1990).
Studi-studi tersebut menyatakan bahwa tekanan akuntabilitas meninggalkan beberapa
kerapuhan akuntabilitas, yang dapat mengakibatkan kegagalan pencapaian misi
organisasi.
Pada penelitian ini competing accountability requirement didefinisikan sebagai
kualitas kerja atau kinerja tertentu yang diperlukan oleh aktor akuntabilitas untuk
mencapai ekspektasi berbagai tipe forum akuntabilitas (Kim & Lee, 2009). Dalam
konteks organisasi di sektor nirlaba, Kim & Lee (2009) mengemukakan bahwa kinerja
dapat didefinisikan sebagai pemenuhan misi organisasi.

2. Kerangka Teoritis dan Pengembangan Hipotesis


2.1. Akuntabilitas dan Competing Accountability Requirement
Akuntabilitas NGO, menurut Ebrahim (2003), adalah suatu proses di mana NGO
menggangap dirinya bertanggung jawab secara terbuka mengenai apa yang diyakininya,
apa yang dilakukan dan tidak dilakukannya. Secara operasional, akuntabilitas
diwujudkan dalam bentuk pelaporan (reporting), pelibatan (involving) dan cepat
tanggap (responding). NGO bertanggung jawab atas semua nilai-nilai yang dianutnya,
apa yang dilakukan atau tidak dilakukannya, kepada semua stakeholder (individu atau
kelompok sasaran, lembaga donor, sesama NGO, pemerintah dan masyarakat luas).
Yang dipertanggungjawabkan adalah semua program dan kegiatan yang dilakukan dan
diwujudkan dalam bentuk dana yang diperoleh dan dikeluarkan, hasil-hasil yang
dicapai,

keterampilan

dan

keahlian

yang

dikembangkan,

dll.

Cara

mempertanggungjawabkan adalah melalui mekanisme pelaporan yang jujur dan


transparan, mudah diperoleh dan dijangkau oleh masyarakat.

SNA 17 Mataram, Lombok


Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Berdasarkan definisi, maka akuntabilitas melingkupi berbagai tipe hubungan dan


melayani berbagai kepentingan. Institusi publik diharuskan mempertanggungjawabkan
perilaku mereka untuk berbagai tipe forum dalam berbagai cara. Usaha untuk
menyeimbangkan akuntabilitas berdasarkan tipe forum dalam berbagai cara menjadi
permasalahan yang tidak terselesaikan Kim & Lee, 2009). Usaha menyeimbangkan
akuntabilitas menjadi isu kritis karena dapat menyebabkan kerapuhan akuntabilitas yang
mungkin berdampak pada kegagalan pencapaian nilai dan menyebabkan disfungsional
akuntabilitas yang berakibat pada stagnansi pencapaian pelayanan dan perubahan
organisasi (Kim & Lee, 2009). Penelitian-penelitian di atas mengindikasikan keharusan
pencapaiaan berbagai tipe akuntabilitas yang menyebabkan tekanan dan mempengaruhi
kinerja aktor akuntabilitas (Kim & Lee, 2009).
2.2. Akuntabilitas Hirarkikal Persepsian, Beban Kerja Persepsian, dan Tekanan
Kerja Persepsian
Hubungan akuntabilitas adalah berdasarkan pada supervisi ketat individu dengan
otonomi kerja yang rendah dan kontrol internal. Aktor Akuntabilitas dengan derajat
otonomi yang rendah diharuskan mencapai ekspektasi supervisor melalui beragam
aturan organisasi dan regulasi, arahan langsung, dan standar kinerja (Kim & Lee, 2009).
Hubungan yang mendasari adalah supervisor-subordinat, supervisi langsung dan reviu
secara periodik merupakan manifestasi nyata dari akuntabilitas hirarkikal (Romzek &
Ingraham, 2000). Evaluasi kinerja individu cenderung bersifat detail dan standar
evaluasinya adalah apakah individu berkinerja seperti yang diharuskan. Tekanan
akuntabilitas hirarkikal dapat menyebabkan subordinat meluangkan lebih banyak waktu
untuk mencapai ekspektasi supervisor dan meninggalkan tugas utama dalam organisasi
(Kim & Lee, 2009). Selain itu, derajat otonomi yang rendah mengakibatkan subordinat
tidak memiliki kekuatan pengambilan keputusan untuk menentukan prioritas tugasnya
(Hansen & Host, 2012) sehingga berdampak pada pengabaian tugas utamanya. Kondisi
ini telah menimbulkan dilema etis yang menyebabkan tekanan kerja terhadap aktor
akuntabilitas (Kim & Lee, 2009). Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di
atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah:
Hipotesis 1a:

Keharusan akuntabilitas hirarkikal berhubungan secara positif


terhadap tekanan

kerja.
Hipotesis 1b:

Keharusan akuntabilitas hirarkikal berhubungan secara positif


terhadap beban kerja.

SNA 17 Mataram, Lombok


Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

2.3. Akuntabilitas Legal Persepsian, Beban Kerja Persepsian, dan Tekanan Kerja
Persepsian
Akuntabilitas legal tidak mempertimbangkan pengetahuan dan kecakapan aktor
akuntabilitas yang menyebabkan bertambahnya beban kerja persepsian karena aktor
akuntabilitas harus mencapai ekspektasi eksternal yang tidak sesuai dengan kemampuan
aktor akuntabilitas dan kebutuhan institusi (Romzek & Ingraham, 2000).
Tekanan terhadap akuntabilitas legal dapat mempengaruhi kinerja kerja persepsian
dalam dua cara. Pertama, akan meningkatkan beban kerja persepsian karena pemenuhan
kewajiban kontrak selalu menghasilkan dokumen yang cukup banyak dan persyaratan
dokumentasi yang berlebihan. Kedua, akan meningkatkan tekanan kerja karena
karyawan mungkin menganggap bahwa lembaga bergerak menjauh dari misi tradisional
mereka yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakatkepedulian altruistikdan
kepatuhan terhadap standar internal dan lebih mementingkan urusan teknis untuk
mencapai tuntutan regulasi pihak eksternal (Kim & Lee, 2009). Berdasarkan latar
belakang teoretikal dan argumen di atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah:
Hipotesis 2a: Keharusan akuntabilitas legal berhubungan secara positif terhadap
tekanan kerja.
Hipotesis 2b: Keharusan akuntabilitas legal berhubungan secara positif terhadap
beban
kerja.
2.4. Akuntabilitas Profesional Persepsian, Beban Kerja Persepsian, dan Tekanan
Kerja Persepsian
Akuntabilitas profesional terefleksikan dalam tata kelola kerja yang memberi
derajat otonomi tinggi kepada individu yang mendasari pembuatan keputusan mereka
pada norma-norma yang terinternalisasi terhadap praktik yang tepat. Berdasarkan
standar ini individu dihadapkan pada pertanyaan: apakah kinerja kerja mereka adalah
konsisten dengan norma yang diturunkan dari sosialisasi profesional, keyakinan
personal, budaya organisasi dan pengalaman kerja (Romzek, 2000). Derajat otonomi
yang menjadi dasar pembuatan keputusan pada norma internalisasi terhadap praktik
yang tepat menghantarkan mereka pada pengambilan keputusan yang tepat pula
walaupun tanpa arahan dari supervisor dan atau keharusan regulasi (Kim & Lee, 2009).
Akuntabilitas profesional juga dapat mengurangi beban kerja persepsian dan
tekanan kerja persepsian karena aktor yang bersangkutan bekerja untuk pembuatan
keputusan dengan pengakuan kepakaran oleh otoritas yang lebih tinggi (Kim & Lee,

SNA 17 Mataram, Lombok


Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

2009). Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di atas, maka hipotesis yang
dikembangkan adalah:
Hipotesis 3a: Keharusan akuntabilitas profesional berhubungan secara negatif
terhadap tekanan kerja.
Hipotesis 3b: Keharusan akuntabilitas profesional berhubungan secara negatif
terhadap beban kerja.
2.5. Akuntabilitas Politikal Persepsian, Beban Kerja Persepsian, dan Tekanan
Kerja Persepsian
Keharusan akuntabilitas politikal dapat menyebabkan bertambahnya beban kerja
karena pemenuhan ekspektasi lebih dari batas kepakaran dan arahan supervisor
(Romzek & Ingraham, 2000). Selain itu, pemenuhan kebutuhan akuntabilitas politikal
kepada konstituen juga dapat menyebabkan bertambahnya tekanan kerja karena
kebutuhan pemenuhan tanggung jawab yang merefleksikan kebutuhan legitimasi sangat
bergantung pada seberapa baik aktor mengantisipasi dan mencapai ekspektasi forum
dan apakah aktor akuntabilitas dipersepsikan sebagai rekan kerja oleh mereka (Romzek
& Ingraham, 2000). Lebih lanjut, tekanan dari kelompok advokasi dan media lokal juga
dapat mengalihkan perhatian aktor akuntabilitas terhadap pencapaian misi organisasi
dengan menghabiskan sumber daya yang besar untuk menjaga hubungan baik dengan
stakeholders. Dengan kata lain, aktor akuntabilitas dapat mengorbankan misi organisasi
yang sebenarnya untuk mencapai tujuan akuntabilitas politikalnya (Kim & Lee, 2009).
Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di atas, maka hipotesis yang
dikembangkan adalah:
Hipotesis 4a:

Keharusan akuntabilitas politikal berhubungan secara positif


terhadap tekanan kerja.

Hipotesis 4b:

Keharusan akuntabilitas politikal berhubungan secara positif

terhadap beban kerja.


2.6. Beban Kerja Persepsian dan Tekanan Kerja Persepsian
Dampak langsung dari tekanan keharusan akuntabilitas adalah akan meningkatkan
beban kerja persepsian karyawan karena kecukupan dokumen dan persyaratan
pelaporan untuk memenuhi kewajiban kontraktual (Kim & Lee, 2009). Tekanan
persepsian terhadap beban kerja antar karyawan dapat memperburuk tekanan kerja,
misalnya mereka diwajibkan untuk mengurangi waktu pribadi mereka dalam
berinteraksi dengan masyarakat atau kelompok dampingan untuk menyelesaikan
dokumen yang diperlukan. Sebagai contoh, Johnston dan Romzek (1999) menemukan

SNA 17 Mataram, Lombok


Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

kasus bahwa manajer, meskipun mereka memiliki tingkat komitmen yang tinggi untuk
memberikan layanan yang berkualitas akan frustrasi oleh dokumen-dokumen dan
persyaratan pendokumentasian, dan mereka mempersepsikan bahwa kepatuhan terhadap
kewajiban kontrak dapat membahayakan misi lembaga dalam melayani masyarakat
(Kim & Lee, 2009). Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di atas, maka
hipotesis yang dikembangkan adalah:
Hipotesis 5: Beban kerja tinggi karyawan berpengaruh positif terhadap tekanan
kerja.
2.7. Beban Kerja Persepsian, Tekanan Kerja Persepsian, Kinerja Kerja Persepsian
Tekanan karena keharusan akuntabilitas cenderung menyebabkan melemahnya
peran aktor akuntabilitas karena pelaksanaan fungsi administrasi yang berlebihan
sebagai akibat keharusan akuntabilitas yang menyebabkan meningkatnya persepsian
negatif konteks kerja (Kim & Lee, 2009). Sebenarnya konteks kerja dapat dipersepsikan
secara negatif maupun positif. Perbedaan ini berpengaruh terhadap outcome kerja atau
kinerja kerja pada level yang berbeda (Lusch & Serpkenci, 1990). Namun demikian,
dalam penelitian ini konteks kerja dipersepsikan negatif dalam bentuk tekanan kerja dan
beban kerja karena adanya onflik keharusan akuntabilitas (Kim & Lee, 2009).
Karyawan-karyawan NGO semakin menghabiskan sejumlah besar waktu mereka
pada kegiatan pendokumentasian dan menghasilkan pendapatan dengan mengorbankan
pemeliharaan hubungan dengan masyarakat (Kim & Lee, 2009). Tekanan pekerjaan ini
cenderung menciptakan disonansi nilai yang dapat menyakiti panggilan profesional atau
kewajiban etis mereka untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Mereka
cenderung memiliki persepsi bahwa pekerjaan mereka tidak dihargai karena mereka
dipaksa untuk mengalokasikan waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk melayani
masyarakat (Light, 2000; Salamon, 2002). Beban kerja persepsian yang tinggi dan
tekanan kerja secara bersamaan yang dirasakan antar karyawan dapat secara negatif
mempengaruhi persepsi mereka terhadap kinerja. Berdasarkan latar belakang teoretikal
dan argumen di atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah:
Hipotesis 6a: Beban kerja berpengaruh secara negatif terhadap kinerja kerja.
Hipotesis 6b: Tekanan kerja berpengaruh secara negatif terhadap kinerja kerja.
2.8. Model Penelitian

SNA 17 Mataram, Lombok


Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Gambar 2.1
Model Penelitian
Akuntabilitas
Hirarkikal

H1a(+)
H1b(+)

Akuntabilitas
Legal

H2a(+)

Bebankerja
Persepsian

H6a()

H2b(+)

Akuntabilitas
Profesional

KinerjaKerja
Persepsian

H5(+)

H3a()
H3b()

TekananKerja
Persepsian

H4a(+)
Akuntabilitas
Politikal

H6b()

H4b(+)

3. Metode Penelitian
3.1. Populasi dan Sampel
Penelitian dilakukan di 5 provinsi yang meliputi: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur. Objek penelitian yaitu pegawai
pada NGO. Metode pemilihan sampel adalah purposive sampling, yaitu sampel dipilih
berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan dalam pengambilan sampel ini,
yaitu semua pegawai yang pernah terlibat dalam proses pemenuhan akuntabilitas secara
keuangan dan program terhadap para stakeholder (lembaga donor, pemerintah,
perusahaan, individu atau kelompok dampingan, lembaga mitra, masyarakat, dll.),
sehingga responden yang dipilih diyakini telah memahami kondisi di dalam organisasi
tempat mereka bekerja.
3.2. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini meliputi variabel eksogen dan variabel
endogen. Variabel eksogen terdiri dari keharusan akuntabilitas hirarkikal, keharusan
akuntabilitas legal, keharusan akuntabilitas profesional dan keharusan akuntabilitas
politikal, sedangkan variabel eksogen endogen adalah beban kerja dan tekanan kerja.
Variabel endogen dalam penelitian ini adalah kinerja kerja
3.2.1.Variabel Eksogen
Competing Accountability Requirement
Definisi dari competing accountability requirement yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kualitas kerja atau kinerja tertentu yang diperlukan oleh aktor akuntabilitas untuk
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

mencapai ekspektasi berbagai tipe forum akuntabilitas (Kim & Lee, 2009). Pengukuran
terhadap competing accountability requirement dalam penelitian ini menggunakan
instrumen yang dikembangkan oleh Kim & Lee (2009) dengan penyesuaian untuk
konteks NGO di Indonesia. competing accountability requirement dalam penelitian ini
adalah berdasarkan tipe-tipe akuntabilitas yang diajukan Johnston & Romzek (1999,
hal. 387), yang terdiri dari:
a. Akuntabilitas Hirarkikal
Definisi operasional dari keharusan akuntabilitas hirarkikal adalah supervisi yang
ketat dari otoritas yang lebih tinggi, yang menggunakan seperangkat standar kinerja,
peraturan dan aturan internal organisasi, dan instruksi atasan. Pola kerja yang
dibangun adalah hubungan antara supervisor-subordinat (Romzek & Ingraham,
2000) yang dalam penelitian ini adalah hubungan antara aktor akuntabilitas di NGO
dengan atasannya langsung.
b. Akuntabilitas Legal
Definisi operasional dari keharusan akuntabilitas legal adalah kinerja NGO secara
eksternal diaudit kepatuhannya, yaitu berdasarkan hubungan antara kontrol eksternal
dan aktor akuntabilitas. Akuntabilitas legal terjadi antara dua pihak yang otonom
(Romzek & Dubnick, 1987). Dalam penelitian ini akuntabilitas legal adalah bentuk
keharusan akuntabilitas terhadap penyandang dana (lembaga donor, pemerintah,
perusahaan, dll.). Instrumen akuntabilitas legal didasarkan pada instrumen yang
dikembangkan oleh Kim dan Lee (2010).
c. Akuntabilitas Profesional
Keharusan akuntabilitas profesional adalah merujuk pada adanya derajat otonomi
yang tinggi dari aktor akuntabilitas dalam pembuatan keputusan dan perbedaan
keahlian dan standar kinerja didasarkan pada norma profesional dan praktik-praktik
yang berlaku dari rekan kerja atau kelompok kerja. Aktor akuntabilitas harus
bertumpu pada kepakaran dan kecakapan untuk menghasilkan solusi yang tepat
(Romzek & Dubcick, 1987). Dengan demikian, keharusan akuntabilitas profesioanl
dalam penelitian ini adalah tekanan konflik yang berasal dari dalam diri aktor
akuntabilitas itu sendiri.
d. Akuntabilitas Politikal
Akuntabilitas politikal terkait dengan tanggungjawab terhadap konstituen utama
NGO seperti lembaga-lembaga mitra, individu dan kelompok dampingan (petani,
buruh, perempuan, orang cacat, masyarakat desa) dan masyarakat secara luas. Dalam

SNA 17 Mataram, Lombok


Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

penelitian ini keharusan akuntabilitas politikal adalah terhaadap konstituenkonstituen di atas.


3.2.2. Variabel Eksogen Endogen
Beban Kerja
Secara umum definisi beban kerja adalah hubungan manusia dengan tuntutan tugas
yang diemban dalam lingkup operasional. Hart dan Staveland (1988) mengemukakan
bahwa beban kerja merupakan hubungan yang dapat dirasakan antara sejumlah
kemampuan mental dalam berproses dengan sejumlah kemampuan mental dalam
berproses yang dibutuhkan dalam sebuah pekerjaan.
Spector dan Jex (1998) menyatakan bahwa beban kerja (workload) adalah salah
satu faktor penyebab job stressor. Job stressor mewakili situasi dimana pekerjaan
berkaitan dengan faktor-faktor menyimpang karyawan dari fungsi psikologinya ataupun
fungsi fisiknya (Beehr dan Newman, 1978). Instrumen beban kerja didasarkan pada
instrumen pengukuran Index of Organizational Reaction yang dikembangkan oleh
Smith (1976) dalam penelitian Kim & Lee (2009).
Tekanan Kerja
Definisi operasional tekanan kerja adalah merujuk pada kondisi kecemasan psikologi
individu sebagai konsekuensi peran signifikan untuk mencapai kualitas kerja atau
kinerja tertentu (Bedeian & Armenakis, 1981) sebagai dampak dari konflik peran atau
ketidakjelasan peran (Fry dkk., 1986). Tetlock (1985) mengemukakan bahwa tekanan
akuntabilitas persepsian mempengaruhi kognitif individu dan pernyataan emosional
individu. Penelitan Kim & Lee (2009) mendukung dan menunjukan hasil yang sama
bahwa salah satu pengaruh competing accountability requirement adalah meningkatnya
tekanan kerja. Instrumen tekanan kerja persepsian dalam penelitian ini menggunakan
Tension Index yang dikembangkan oleh Lyon (1971) yang terdukung dalam penelitian
Kim & Lee (2009).
3.2.3. Variabel Endogen
Kinerja Kerja
Handoko (1996) menyatakan bahwa kinerja merupakan hasil yang dicapai atau prestasi
yang dicapai karyawan dalam melaksanakan suatu pekerjaan pada suatu organisasi.
Amstrong (2004) mengatakan bahwa kinerja adalah hasil yang dicapai dan atribut
(ketrampilan, pengetahuan dan keahlian) dan kompetensi yag dibutuhkan untuk
mencapai hasil tersebut yang sasarannya adalah memberi kontribusi untuk pencapaian
cita-cita nilai organisasi.

SNA 17 Mataram, Lombok


Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

10

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Bertambahnya persepsian konteks kerja negatif akan berpengaruh terhadap kinerja


kerja aktor akuntabilitas (Kim & Lee, 2009). Kinerja kerja dalam penelitian ini merujuk
pada kecakapan atau kemampuan aktor dalam melaksanakan aktivitas secara formal dan
diakui sebagai bagian dari aktivitas kerja yang berkontribusi secara langsung maupun
tidak langsung melalui proses transformasi bahan mentah ke dalam bentuk barang dan
pelayanan (London & Sminther, 1997). Pengukuran terhadap kinerja kerja
menggunakan item-item pengukuran yang dikembangkan oleh Tsui dkk. (1997).
Pengukuran ini tidak konsisten dengan pengukuran yang digunakan dalam penelitian
Kim & Lee (2009) karena penelitian tersebut hanya menggunakan indikator tunggal.

Tabel 1
Variabel-Variabel Model Penelitian

Variabel Laten
Kode
Akuntabilitas Hirarkikal AHI
Akuntabilitas Legal
ALE
Akuntabilitas Profesional APRO
Akuntabilitas Politikal
APO
Beban Kerja
BKE
Tekanan Kerja
TKE
Kinerja Kerja
KKE

Variabel Manifes*
Item
AHI1-AHI3
3
ALE1, ALE2, ALE3, ALE5
4
APRO1-APRO5
5
APO3, APO4, APO5
3
BKE1-BKE3
3
TKE1-TKE2, TKE4, TKE5
4
KKE2, KKE3, KKE5, KKE6, KKE7,
6
KKE8
* Beberapa variabel telah dihapus karena tidak memenuhi standar skor loading
4. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan alat analisis Partial Least Square (PLS) untuk menguji
hipotesis yang diajukan. PLS adalah teknik Structural Equation Modeling (SEM)
berbasis varian yang secara simultan dapat melakukan pengujian model pengukuran
sekaligus pengujian model struktural (Hartono, 2011). Sebagai lawan dari metode SEM
berbasis kovarian (misalnya AMOS dan LISREL), PLS menempatkan tuntutan yang
minimal pada skala pengukuran, ukuran sampel, distribusi variabel dan distribusi
residual (Chin, Marcolin, dan Newsted, 2003). Kemudian juga menurut Hartono (2011)
PLS juga bertujuan untuk memprediksi model dalam rangka pengembangan teori yang
merupakan alat prediksi kausalitas yang digunakan sebagai pengembangan teori.
PLS sangat cocok digunakan untuk penelitian ini, karena karakteristiknya yang
mempunyai kombinasi dan model yang kompleks dan dapat memakai ukuran sampel
yang relatif kecil untuk mengantisipasi kurangnya tingkat partisipasi (respon rate) dari
sampel di NGO yang dituju. Software yang digunakan untuk mengolah data yang telah

SNA 17 Mataram, Lombok


Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

11

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

terkumpul adalah SmartPLS versi 2.0 yang dikembangkan oleh Ringle, C.M/Wende,
S./Will, S dan dapat diunduh secara gratis di alamat website http://www.smartpls.de.
5. Hasil Penelitian
5.1. Pilot Study
Dalam rangka pengujian validitas dan realibilitas, kuesioner terlebih dahulu
diujicobakan (pilot study) kepada 25 responden pada 20 Oktober 2013. Responden
adalah para pegawai NGO pada Yayasan Dian Desa, Yogyakarta. Instrumen yang telah
diujicobakan kemudian dianalisis dengan menggunakan software PLS. Hasil dari pilot
study (lihat lampiran) menunjukkan bahwa nilai AVE dan Communality

masing-

masing variabel >0,5. Nilai Composite Reliability masing-masing variabel >0,6. Hasil
pilot study juga menunjukan bahwa nilai faktor loading >0,6. Berdasarkan tabel cross
loading, dapat disimpulkan bahwa masing-masing indikator yang ada pada satu variabel
laten (konstruk) mempunyai faktor loading tertinggi pada konstruk yang dituju
dibandingkan dengan nilai yang ada pada konstruk lainnya. Hasil tersebut menunjukan
bahwa pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini adalah valid dan reliabel, sehingga
layak untuk digunakan lebih lanjut.
5.2. Pengumpulan Data Kuantitatif
Pengumpulan data dilakukan secara bertahap dengan menggunakan dua metode, yaitu
pengumpulan data kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner penelitian pada masingmasing NGO yang ada di lima Provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dari 325 responden yang dikirimi
kuesioner, 211 responden yang mengembalikan, artinya response rate-nya adalah
64,9%. Jumlah kuesioner yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah 203
responden, yang artinya usable respon rate-nya adalah 96% dan jumlah kuesioner yang
tidak dapat digunakan adalah sebanyak 122. The usable questionaires kemudian
dianalisis untuk mengetahui profil dari para responden. Tabel 2 menunjukkan profil
responden yang meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan, dan masa kerja di masingmasing NGO.

SNA 17 Mataram, Lombok


Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

12

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Tabel 2
Profil Responden Penelitian

Keterangan
Jenis Kelamin :
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Usia:
<30 tahun
30-40 tahun
40-50 tahun
>50 tahun
Jumlah
Tingkat Pendidikan:
SMA
S1
S2
Jumlah
Masa Kerja:
<5 tahun
5-15 tahun
15-25 tahun
>25 tahun
Jumlah

Jumlah (Orang)

Persentase (%)

114
89
203

56,15
43,85
100

32
121
40
10
203

15,76
59,60
19,70
04,92
100

17
173
13
203

08,37
85,22
06,41
100

30
90
65
20
203

14,63
43,90
31,71
09,76
100

5.3. Analisis Demografi


Analisis demografi merupakan analisis yang dilakukan untuk menguji apakah
perbedaan demografi responden mempengaruhi jawaban yang diberikan. Analisis
demografi dapat memberikan tambahan penjelasan mengenai hasil penelitian.
Ringkasan analisis demografi ditampilkan pada tabel di bawah ini:

Tabel 3
Ringkasan Analisis Demografi

Variabel
Demografi
Jenis Kelamin
Usia
Tingkat Pendidikan
Masa Kerja

SNA 17 Mataram, Lombok


Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

BKE
0.564
0.041
0.544
0.004

13

Sig.
TKE
0.813
0.002
0.473
0.006

KKE
0.697
0.297
0.003
0.010

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Berdasarkan hasil analisis variabel demografi sebagaimana yang ditampilkan di


tabel 3, variabel usia pada konstruk tekanan kerja, variabel tingkat pendidikan pada
konstruk kinerja kerja, variabel masa kerja pada konstruk beban kerja dan variabel masa
kerja pada konstruk tekanan kerja mempunyai nilai yang signifikan (>0,05). Hal ini
mengindikasikan bahwa perbedaan usia mempengaruhi tekanan kerja, perbedaan masa
kerja mempengaruhi kinerja kerja dan perbedaan masa kerja mempengaruhi beban
kerja dan tekanan kerja responden dalam hal persepsian keharusan akuntabilitas.
5.4. Kisaran Data
Berdasarkan hasil pengolahan data dari 203 responden, maka data deskripsi konstruk
berdasarkan 28 item pertanyaan yang valid dengan kisaran teoritis, yaitu Konstruk
Akuntabilitas Legal (ALE), dan Tekanan Kerja (TKE) dengan masing-masing 4 item
pertanyaan valid, berada pada kisaran teoritis di antara nilai minimal 4 dan nilai
maksimal 20. Konstruk Akuntabilitas Profesional (APRO) dengan 5 item pertanyaan
valid, berada pada kisaran minimal 5 dan maksimal 20. Konstruk Akuntabilitas Politikal
(APO), Akuntabilitas Hirarkikal (AHI), dan Beban Kerja (BKE) dengan masing-masing
3 item pertanyaan valid berada pada kisaran teoritis dengan nilai minimal 3 dan
maksimal 15. Selanjutnya, Konstruk Kinerja Kerja (KKE) dengan 6 item pertanyaan
valid, berada pada kisaran minimal 6 dan maksimal 30.
Semua jawaban yang terlihat dalam kisaran aktual berada di dalam kisaran nilai
minimal dan maksimal teoritisnya. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa
jawaban responden terhadap konstruk-konstruk berada pada kisaran teoritisnya. Tabel 4
menunjukkan perbandingan nilai kisaran teoritis dan kisaran aktual secara keseluruhan.
Tabel 4
Perbandingan Nilai Kisaran Teoritis dan Kisaran Aktual
Pertanyaan

Kisaran
Teoritis
3 - 15
4 - 20
5 - 25
3 - 15
3 - 15
4 - 16
6 - 30

AHI
ALE
APRO
APO
BKE
TKE
KKE

Kisaran
Aktual
3 15
4 20
5 25
3 15
4 - 15
4 16
6 30

5.5. Analisis Data dan Pengujian Hipotesis


Model struktural dievaluasi dengan menggunakan R untuk konstruk dependen. Dari
tabel 4.5 terlihat nilai R untuk konstruk beban kerja adalah sebesar 0.185539, konstruk

SNA 17 Mataram, Lombok


Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

14

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

tekanan kerja sebesar 0.304753, dan konstruk kinerja kerja sebesar 0.167056. Hasil nilai
tersebut berarti bahwa model penelitian yang diajukan dapat menjelaskan variabel
konstruk beban kerja sebesar 18,5%, konstruk tekanan kerja sebesar 30,4%, konstruk
kinerja kerja sebesar 16,7%, dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model
yang diajukan. Semakin tinggi nilai R, maka akan semakin baik model prediksi dari
model yang diajukan.

Tabel 6
Overview Iterasi Algoritma PLS
AVE

Composite
Reliability

R
Square*

Cronbachs CommuAlpha
nality

AHI

0.616734

0.827182

0.715282

0.616734

ALE

0.692083

0.899866

0.856790

0.692084

APO

0.719854

0.885152

0.805887

0.719854

APRO

0.599068

0.880770

0.834097

0.599068

BKE

0.500935

0.749648

0.185539

0.504953

0.500934

KKE

0.562971

0.884795

0.167056

0.846184

0.562971

TKE

0.544779

0.826989

0.304753

0.726261

0.544779

Catatan: * 0,67 = substansial, 0,33 = moderate, 0,19 = weak. (Chin dalam


Henseler, 2009).
Parameter uji validitas konvergen dilihat dari skor Average Variance Extracted
(AVE) dan communality. Skor masing-masing bernilai >0,5. Hal ini berarti, probabilitas
indikator di suatu konstruk masuk ke variabel lain lebih rendah (kurang dari 0,5)
sehingga probabilitas indikator tersebut konvergen dan masuk pada konstruk yang
dimaksud lebih besar, yaitu di atas 0,5 atau sebesar 50%. Dari tabel 6 di atas terlihat
skor AVE tertinggi pada konstruk akuntabilitas politikal (0.719854) dan terendah pada
konstruk beban kerja (0.500935). Dalam penelitian ini, skor AVE untuk semua konstruk
adalah >0,5, sehingga konstruk-konstruk tersebut memenuhi syarat skor ideal, namun
skor 0,4 masih diberi toleransi (Lai & Fan, 2008; Vinzi dkk., 2010). Skor communality
tertinggi terdapat pada konstruk akuntabilitas politikal (0.719854) dan terendah pada
konstruk beban kerja (0.500934).
Untuk uji validitas diskriminan, parameter yang diukur adalah dengan melihat
skor cross loading. Pada tabel 7 di bawah ini terlihat bahwa masing-masing indikator di
suatu konstruk di dalam model pengukuran telah memenuhi validitas diskriminan
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

15

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

karena masing-masing indikator di suatu konstruk berbeda dengan indikator di konstruk


lain dan mengumpul pada konstruk dimaksud dengan skor >0,6.

Tabel 7
Cross Loadings
AHI

ALE

APO

APRO

BKE

KKE

TKE

APO3

0.346200 0.399572 0.857456 0.515574 0.090871 0.243489 0.235653

APO4

0.233661 0.333536 0.831385 0.378837 0.080674 0.266450 0.285312

APO5

0.284796 0.516249 0.856230 0.442313 0.111308 0.223236 0.248998

BKE1 -0.051758 0.259110 0.284693 -0.009164 0.704665 -0.002609 0.561317


BKE2 -0.302594 -0.016677 -0.071073 -0.220925 0.771204 -0.500595 0.234306
BKE3 -0.223982 -0.019007 0.003531 -0.212272 0.641479 -0.270937 0.204705
TKE1 -0.019626 0.088007 0.238460 0.003744 0.202979 -0.019398 0.737369
TKE2 -0.116890 0.072588 0.194641 -0.070835 0.319783 -0.124105 0.780502
TKE4

0.010938 0.142433 0.242906 0.028135 0.428675 -0.037959 0.730518

TKE5 -0.071801 0.076882 0.218387 -0.005922 0.412730 0.136666 0.701829


AHI1

0.707240 0.298191 0.371523 0.626571 -0.169877 0.373477 -0.065444

AHI2

0.758774 0.405043 0.168674 0.437762 -0.085665 0.318459 -0.060893

AHI3

0.879929 0.406205 0.241769 0.480501 -0.285992 0.325015 -0.041802

ALE1

0.422330 0.820035 0.533422 0.535653 0.137362 0.158996 0.028436

ALE2

0.539149 0.845791 0.519757 0.517296 0.035405 0.128422 0.096030

ALE3

0.311085 0.809904 0.265609 0.223367 0.105452 0.149507 0.136586

ALE5

0.346372 0.851217 0.401451 0.450108 0.097236 0.101661 0.144568

APRO1 0.473762 0.382490 0.412053 0.817463 -0.109746 0.344253 -0.010907


APRO2 0.540291 0.477673 0.476517 0.831557 -0.112675 0.307523 -0.043039
APRO3 0.428195 0.384600 0.270511 0.741601 -0.141057 0.298483 -0.089968
APRO4 0.372688 0.364400 0.536509 0.620764 -0.114441 0.124538 0.047475
APRO5 0.614033 0.342855 0.391686 0.836832 -0.227162 0.348961 0.031712
KKE2

0.386016 0.210926 0.243427 0.294604 -0.233777 0.770851 0.019848

KKE5

0.257185 0.139656 0.265775 0.333883 -0.167065 0.672012 0.065469

KKE6

0.425083 0.132826 0.214506 0.352571 -0.353180 0.776141 -0.083031

KKE7

0.332609 0.089397 0.110165 0.176694 -0.333653 0.793242 -0.065126

KKE8

0.248371 0.015123 0.306125 0.329299 -0.341253 0.815172 -0.035278

Uji reliabilitas dapat dilihat pada skor composite reliability dengan syarat minimal >
0,6 (Hair dkk., dalam Hartono, 2009) dari tabel 6 di atas terlihat skor composite
reliability tertinggi pada konstruk akuntabilitas legal (0.899866) dan skor terendah pada
konstruk beban kerja (0.749648). Dengan demikian, konstruk penelitian dinyatakan

SNA 17 Mataram, Lombok


Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

16

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

reliabel. Secara umum dapat dinyatakan bahwa instrumen penelitian adalah valid karena
telah memenuhi kriteria validitas konvergen dan diskriminan serta dapat diandalkan
(reliabel) sehingga layak digunakan untuk pengujian hipotesis.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan nilal T-table dengan nilai Tstatistic yang dihasilkan dari proses bootstrapping dalam PLS. Hipotesis diterima
(terdukung) jika nilai T-statistics lebih tinggi daripada nilai T-table dengan tingkat
keyakinan 95% (alpha 5 persen), nilai T-table untuk uji hipotesis satu ekor (one-tailed)
adalah 1,64 (Hair et al., 2006 in Hartono, 2009).
Dari 11 hipotesis yang diuji, 6 hipotesis terdukung secara statistik karena memiliki
nilai T-statistics yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai T-table, yaitu 1.64
(alpha 5 persen). 6 hipotesis tersebut adalah 1a (AHIBKE) dengan nilai T-statistic
sebesar 2,264653, dan nilai koefisien jalur (1) sebesar -0,306482; hipotesis 2a
(ALEBKE) dengan nilai T-statistic sebesar 2.019520, dan nilai koefisien jalur (1)
sebesar 0.278353; hipotesis 3a (APROBKE) dengan nilai T-statistic sebesar
1.774100, dan nilai koefisien jalur (1) sebesar -0.244211; hipotesis 4b (APOTKE)
dengan nilai T-statistic sebesar 2.661294, dan nilai koefisien jalur (1) sebesar
0.309035; hipotesis 5 (BKETKE) dengan nilai T-statistic sebesar 3.715839, dan nilai
koefisien jalur (1) sebesar -0.445746; dan hipotesis 6a (BKETKE) dengan nilai Tstatistic sebesar 3.145243, dan nilai koefisien jalur (1) sebesar -0.484807.Selanjutnya,
5 hipotesis yang tidak terdukung secara statistik karena nilai T-statistics tidak lebih
tinggi dibandingkan dengan nilai T-table, yaitu 1.64 (alpha 5 persen). 5 hipotesis
tersebut adalah 1b (AHITKE) dengan nilai T-statistic sebesar 0.128311, dan nilai
koefisien jalur (1) sebesar 0.017970; hipotesis 2b dengan nilai T-statistic sebesar
0.248222, dan nilai koefisien jalur (1) sebesar -0.041542; hipotesis 3b dengan nilai Tstatistic sebesar 0.435495, dan nilai koefisien jalur (1) sebesar 0.120434; hipotesis 4a
dengan nilai T-statistic sebesar 1.581846, dan nilai koefisien jalur (1) sebesar
0.205240; dan hipotesis 6b dengan nilai T-statistic sebesar 1.510057, dan nilai koefisien
jalur (1) sebesar 0.219860. Ringkasan hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan
PLS dapat dilihat dalam Tabel 8 berikut:

SNA 17 Mataram, Lombok


Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

17

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Tabel 8
Koefisien Jalur (Path Cooficients; Mean, STDEV, T-Values)
Tanda

Original
Sample (O)

Sample
Mean (M)

Standard
Deviation
(STDEV)

Standard
Error
(STERR)

T Statistics
(|O/STERR|)

AHI -> BKE

-0.306482

-0.303255

0.135333

0.135333

2.264653**

AHI -> TKE

0.017970

0.005596

0.140048

0.140048

0.128311

ALE -> BKE

0.278353

0.272168

0.137831

0.137831

2.019520**

ALE -> TKE

-0.041542

-0.036328

0.167358

0.167358

0.248222

APRO -> BKE

-0.244211

-0.240505

0.137653

0.137653

1.774100**

APRO -> TKE

-0.076407

-0.062100

0.175449

0.175449

0.435495

APO -> BKE

0.205240

0.190387

0.129747

0.129747

1.581846

APO -> TKE

0.309035

0.316115

0.116122

0.116122

2.661294***

BKE -> TKE

0.445746

0.439252

0.119958

0.119958

3.715839***

BKE -> KKE

-0.467458

-0.484807

0.148624

0.148624

3.145243***

TKE -> KKE

0.219860

0.192203

0.145597

0.145597

1.510057

Catatan: *** Sangat signifikan, ** signifikan; 1,64 P<0,05; 2,33 P<0,01 (one
tailed)
6. Kesimpulan, Keterbatasan, dan Implikasi Penelitian
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan analisis koefisien jalur, terlihat bahwa
kinerja kerja aktor akuntabilitas di NGO provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, dipengaruhi oleh konteks kerja
dengan persepsian negatif yang berupa beban kerja, namun tidak dipengaruhi tekanan
kerja persepsian negatif. Tekanan kerja dengan persepsian negatif berdasarkan hasil
penelitian dapat meningkatkan kinerja kerja aktor akuntabilitas. Dengan kata lain, ada
hubungan positif antara kinerja aktor akuntabilitas dengan tekanan kerja yang
disebabkan persepsian negatif konflik keharusan akuntabilitas. Persepsian beban kerja
dan tekanan kerja dipengaruhi oleh competing accountability requirement NGO pada
arah dan tingkat yang berbeda-beda bergantung pada persepsian competing
accountability requirement aktor akuntabilitas mereka masing-masing.
Keharusan akuntabilitas hirarkikal, dan akuntabilitas legal menunjukkan
hubungan positif dengan beban kerja, sedangkan akuntabilitas profesional menunjukan
hubungan negatif dengan beban kerja. Lebih lanjut, akuntabilitas politikal menunjukkan
hubungan positif dengan tekanan kerja. Secara umum dapat dijelaskan bahwa konflik
keharusan akuntabilitas yang terjadi karena ketidakmampuan untuk menyeimbangkan
keharusan akuntabilitas tersebut menyebabkan makin tinggi beban kerja aktor

SNA 17 Mataram, Lombok


Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

18

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

akuntabilitas yang bersangkutan. Sedangkan tekanan kerja hanya berhubungan secara


positif dengan keharusan akuntabilitas politikal. Artinya, apabila aktor akuntabilitas
menekankan pada keharusan akuntabilitas politikal lebih dari keharusan akuntabilitas
yang lainnya, maka akan meningkatkan persepsian tekanan kerjanya. Terdukungnya
hipotesis tersebut mungkin saja lebih disebabkan bahwa dalam konteks NGO dengan
karakter organisasi yang kolegial atau kekeluargaan, maka akan membuat aktor
akuntabilitas akan merasakan tekanan persepsian.
6.2. Keterbatasan Penelitian
Penelitian pada competing accountability requirement dan pengaruhnya terhadap
kinerja kerja NGO merupakan penelitian pertama di Indonesia. Penelitian sebelumnya
pernah dilakukan di Amerika atas organisasi non-profit di bidang pelayanan
kemanusian saja, sehingga penelitian ini memiliki keterbatasn yang akan mempengaruhi
hasil penelitian. Adapun keterbatasan-keterbatasan tersebut, antara lain:
1. Instrumen yang digunakan dalam penelitian untuk variabel tekanan kerja dan
kinerja kerja banyak yang dihapus karena cross loading yang rendah.
Penelitian

selanjutnya

dapat

mempertimbangkan

untuk

menggunakan

instrumen yang berbeda yang dianggap paling sesuai dengan konteks


penelitian.
2. Instrumen untuk variabel akuntabilitas hirarkikal beban kerja hanya
menggunakan tiga item pertanyaan. Hal ini menjadi kelemahan apabila dalam
pilot study terdapat item pertanyaan yang harus dihapus, maka instrumen
tersebut menjadi tidak layak digunakan apabila penelitian menggunakan alat
analisis PLS.
3. Data penelitian ini merupakan hasil dari instrumen yang berdasarkan pada
persepsi responden, maka hal ini dapat menimbulkan masalah jika persepsi
responden berbeda dengan keadaan sesungguhnya.
6.3. Implikasi Penelitian
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi NGO di Indonesia
mengenai adanya competing accountability requirement yang terjadi akibat adanya
keharusan terhadap berbagai tipe akuntabilitas dengan tidak mempertimbangkan
heterogenitas NGO maupun individu yang terlibat di dalamnya. Aktor akuntabilitas
dipaksa untuk mencapai ekspektasi berbagai forum akuntabilitas yang mungkin tidak
sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas aktor akuntabilitas. Kondisi ini menyebabkan
tekanan untuk mencapai kualitas kerja tertentu sesuai ekspektasi forum akuntabilitas

SNA 17 Mataram, Lombok


Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

19

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

ataupun akumulasi jumlah pekerjaan karena ekspektasi-ekspektasi yang berbeda


tersebut.
Kinerja kerja aktor akuntabilitas hanya dipengaruhi oleh persepsian negatif
beban kerja yang disebabkan oleh bertambahnya volume pekerjaan dan beragamnya
SOP (standard operating procedure) yang ditetapkan oleh masing-masing lembaga
donor. Secara umum hasil penelitian ini berimplikasi terhadap wacana penentuan tipe
akuntabilitas yang tepat bagi tiap organisasi NGO sesuai dengan ekspektasi masingmasing forum (Romzek & Dubnick, 1987). Peningkatan kinerja adalah dampak utama
yang seharusnya terjadi karena berbagai bentuk keharusan yang dilaksanakan oleh aktor
akuntabilitas (Dubnick, 2005) yang faktanya di organisasi NGO hal tersebut terjadi
karena praktik akuntabilitas dilakukan atas dasar kesadaran sejak awal pendirian
organisasi NGO tersebut.

SNA 17 Mataram, Lombok


Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

20

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Daftar Pustaka
Amstrong, M. (2004). Performance management. Setiawan, T. (alih Bahasa). Tugu
Publisher. Yogyakarta.
Beehr, T.A., & Newman, J. (1978). Job stress, employee health, and organizational
effectiveness: A facet analysis, model and literatur review. Personnel
Psychology, (31), 665-669.
Brown, L. D., Moore, M. H., & Honan, J. (2001). Building strategic accountability
systems for international NGOs. Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 30(3),
569-587.
Chin, W., Mancolin, B. L., & Newsted, P. R. (2003). A partial least square latent
variabel modelling aproach for measuring interaction effects: result from amonte
carlo simulayion and voice mail emotion/adoption study information system
reseach.
Christensen, R. A., & Ebrahim, A. (2006). How does accountability affect mission? The
case of a nonprofit serving immigrants and refugees. Nonprofit Management and
Leadership, 17(2), 195-209.
Dicke, C. (2002). Ensuring accountability in human service contracting. Public
Pruductivity & Management Review, 22: 502-516.
Dixon, Rob, John Ritchie, and Juliana Siwale (2006). Microfinance: accountability from
the grassroots. Accounting, Auditing, and Accountability Journal. Vol.19, No.3.
pp.405-427.
Ebrahim, A. (2003). Making sense of accountability: Conceptual perspectives for
Northern and Southern nonprofits. Nonprofit Management and Leadership,
14(2), 191-212.
Fredericksen, P. J., & Levin, D. (2004). Accountability and the use of volunteer officers
in public safety organizations. Public Performance & Management Review,
27(4), 118-143.
Fry, R. E. (1995). Accountability in organizational life: Problem or opportunity for
nonprofits? Nonprofit Management and Leadership, 6(2), 181-195.
Gibelman, M., dan Gelman, S. R. (2001). Very public scandals: Non
Governmental Organizations in trouble. International Journal of Nonprofit
and Voluntary Sector Quarterly. 12(1), 49 66.
Greenlee, J. S. (1998). Accountability in nonprofit organizations. Nonprofit
Management and Leadership, 9(2), 205-210.
Johnston, J. M., & Romzek, B. S. (1999). Contracting and accountability in state
medical reform: Rhetoric, theories, and realities. Public Administration Review,
59(5), 383-399.
Johnson, R.B., & Onwuegbuzie, A.J. (2004). Mixed methods research: A research
paradigm whose time has come. Educational Researcher, Vol. 33, No. 7. pp. 1126.
Handoko T.H. (1996). Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. BPFE.
Yogyakarta.
Hansen, J. R., & Host, V. (2012). Understanding the relationship between
decentralization organizational decesion structure, job context, and job
satisfaction-a survey of dining public managers. Review of Public Personel
Administration. 132 (2): 288-308.
Hartono, Jogiyanto dan Abdillah Willy. 2009. Konsep dan Aplikasi PLS (Partial Least
Square) untuk Penelitian Empiris. BPFE Yogyakarta
Hartono, Jogiyanto. 2011. Konsep dan Aplikasi Structural Equation Modeling
Berbasiskan Varian dalam Penelitian Bisnis. STIM YKPN Yogyakarta

SNA 17 Mataram, Lombok


Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

21

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Kanter, R. M., & Summers, D. V. (1987). Doing well while doing good: Dilemmas of
performance measurement in nonprofit organizations and the need for multipleconstituency approach. In W. W. Powell (Ed.), The nonprofit sector: A research
handbook (pp. 154-166). New Haven, CT: Yale University Press.
Kearns, K. P. (1994). The strategic management of accountability in nonprofit
organizations: An analytical framework. Public Administration Review, 54(2),
185-192.
Kim, S. E. (2005). Balancing competing accountability requirements: Challenges in
performance improvement of the nonprofit human service agency. Public
Performance and Management Review, 29(2), 145-163.
Kim, S.E., & Lee (2010). Impact of competing accountability requirements on
perceived work performance. The American Review of Public Administration,
49(1), 100-118.
Koppell, J. G. S. (2005). Pathologies of accountability: ICANN and the challenges of
multiple accountabilities disorder. Public Administration Review, 65(1), 94105.
Lai, Ming-Cheng and Fan, Shih-Liang. 2008. Use of Fit Perception in Employee
Behavioral Criteria in Taiwan IT Industry. Business and Information. Volume 5,
Issue
1.
Available
also
at,
http://academicpapers.org/ocs2/session/Papers/A2/234.doc
Light, P. C. (2000). Making nonprofits work: A report on the tides of nonprofit
management reform. Washington, DC: Brookings Institution Press.
Lusch, R. F., & Serpkenci, R.R. (1990). Personal differences, job tension, job outcomes,
and store performance: A study of retail store manager. Journal of Marketing,
85-101.
Lyons, T. F. (1971). Role clarity, need for clarity, satisfaction, tension, and withdrawal.
Organizational Behavior and Human Performance, 6, 99-110.
Radin, B. A. (2002). The accountable juggler: The art of leadership in a federal agency.
Washington, DC: CQ Press.
Romzek, B. S., & Dubnick, M. J. (1987). Accountability in the public sector: Lessons
from the challenger tragedy. Public Administration Review, 47(3), 227-238.
Romzek, B. S., & Ingraham, P. W. (2000). Cross pressures of accountability: Initiative,
command, and failure in the Ron Brown Plane crash. Public Administration
Review, 60(3), 240-253.
Rubin, H. (1990). Dimensions of institutional ethics: A framework for interpreting the
ethical context of the nonprofit sector. In D. Gies, S. Ott, & J. M. Shafritz (Eds.),
The nonprofit sector: Essential readings (pp. 211-216). Pacific Grove, CA:
Brooks/Cole.
Salamon, L. M. (2002). The state of nonprofit america. Washington, D.C.: Brookings
Institution Press.
Smith, S. R., & Lipsky, M. (1993). Nonprofits for Hire: The welfare state in the age of
contracting. Cambridge, MA: Harvard University.
Spector, P. E., & Jex, S. M. (1998). Development of four self-report measures of job
stressor and strains: Interpersonal conflict at work scale, organizational
constraints scale, workload and physical symptoms inventory: Journal of
Occupational Health Pshcology. 3, 356-367.
Vinzi, V. Esposito, Chin, W.W., Henseler, J., Wang, H.2010. Handbook of Partial Least
Squares: Concepts, Methods and Applications. Springer Handbooks of
Computational Statistics

SNA 17 Mataram, Lombok


Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

22

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Wang, Xiahou. 2002. Assesing Performance Measurement Impact: A study of US Local


Government. Public Performance and Management Review. Sage Publications
Vol. 26: 26-43
Wolf, J. (1990). Managing change in nonprofit organizations. In D. L. Gies, J. S. Ott, &
J. M. Shafritz (Eds.), The nonprofit organization: Essential readings (pp. 241257). Pacific Grove, CA: Brooks/Cole.

SNA 17 Mataram, Lombok


Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

23

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

También podría gustarte