Está en la página 1de 4

Pada secondary survey jantung dan paru dalam batas normal serta ditemukan tanda vital

dalam batas normal, kecuali napas ireguler dan ditemukan rinorea berupa darah. Pernapasan
yang tidak teratur dapat disebabkan oleh stress post trauma atau terdapat gangguan pola
pengaturan pernapasan dari SSP. Sedangkan rinorea dapat disebabkan oleh trauma nasal ataupun
trauma pada basis cranii fossa anterior sehingga sekret rinorea dipastikan dengan halo test untuk
memastikan sumber rinorea. Kesadaran pasien dalam saar penuh namun tampak kesakitan karena
paparan luka. Pasien tampak tidak mau membuka mata karena merasa pandangannya gelap saat
membuka mata dan muntah terus menerus. Pada pemeriksaan fisik didapatkan vulnus yang tidak
membatasi Range of Movement (ROM) dari genu dan kubiti.
Kecurigaan awal pasien tetap pada fraktur tulang kengkorak mengingat pasien mengeluh
sakit di kepala dan ditemukan luka di daerah frontalis dan temporalis, sehingga pasien diusulkan
untuk di foto polos skull AP dan lateral. Hasil foto AP dan Lateral memberikan kesan adanya
fraktur linear pada os oksipital yang terlihat pada foto lateral (lihat lampiran sebelumnya).
Berdasarkan GCS dan gejala pasien pukul 13.30, dianosis kerja pada pasien ini adalah
Cedera Kepala RIngan (CKR) dan vulnus-vulnus, dengan diagnosis banding vertigo dan stroke
hemorage dikarenakan post traumatic. Dengan riwayat pingsan >15 menit dan keluhan keluhan
pasien, sehingga diusulkan untuk dilanjutkan pada pemeriksaan CT Scan. Sedangkan terapi awal
meliputi oksigenasi 3 lpm, terapi cairan, analgesik dan anti mual muntah, yang disesuaikan
dengan keluhan pasien. Terapi non medika mentosa meliputi Head Up untuk menurunkan
kemungkinan peningkatan TIK, pembersihan dan penjahitan luka untuk mencegah infeksi
sekunder serta dilakukan observasi dari TTV, tanda gejala fraktur basis cranii dan peningkatan
TIK.
Pada follow up pertama dan kedua ( 2 jam 45 menit setelah terapi awal), pasien masih
muntah-muntah namun sudah berkurang dan pandangan masih gelap saat membuka mata.
Rinorea berhenti dan pasien tidak dapat duduk sendiri. Pasien tampak tenang beristirahat, namun
tetap dilakukan observasi per 1 jam mengingat keluhan muntah yang belum hilang. Observasi
terus dilakukan hingga pada jam ke- 20 dari jam kecelakaan, pasien mengeluhkan pusing berat,
sakit kepala, masih mual, dan pada pemeriksaan fisik ditemukan hipertensi namun nadi relative
lambat dan napas sesak. Hal ini gejala cushing pada peningkatan TIK.

Pada hasil pemeriksaan CT Scan ditemukan adanya fraktur os oksipital sinistra,


perdarahan di cerebellum sinistra, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus ringan,
perdarahan subarachnoid regio oksipitoparietalis bilateral dan hematosinus sphenoidalis.
Fraktur yang terjadi sesuai dengan pemeriksaan awal pada foto polos AP dan Lateral dari
skull yang memberikan kesan fraktur pada os oksipital. Seperti pada apa yang disebutkan dalam
Ott (2015) setiap lesi intracranial akibat trauma pasti menghasilkan lesi coup-countercoup yang
salah satunya dapat terjadi pada kasus kecelakaan berepeda atau sepeda motor. Pada kasus ini
dapat diketahui bahwa fraktur pada os oksipital sinistra akan menyebabkan lesi pada serebelum
sinistra di dalamnya sehingga akan ditemukan pula lesi pada daerah yang berlawanan dengan os
oksiptal sinistra (sekitar temporofrontal) sebagai lesi countercoup pada trauma ini. Hal ini sesuai
dengan keterangan pasien dimana pasien mengaku kepala bagian belakang terbentur badan jalan
saat terjatuh. Fraktur Jefferson dapat disingkirkan pada pasien ini karena pasien masih sadar
penuh dan ROM pada leher masih bebas aktif pasif tanpa ada suatu nyeri. Pada kasus ini dapat
ditentukan bahwa jenis cedera kepala berdasarkan GCS tergolong Cedera Kepala Ringan (CKR),
dan berdasarkan morfologinya ditemukan Fraktur Linear Tengkorak oksipital dan lesi fokal
subarachnoid dan intraserebellar.
Sesuai degan pernyataan Attorney (2015), salah satu komplikasi dari fraktur os oksipital
adalah perdarahan intraserebellar dengan tanda perdarahan yang mengisi rongga infratentorium,
sehingga pada CT Scan akan tampak lesi hiperdens setinggi basis cranii. Pada kasus ini dapat
disingkirkan adanya hematom fossa posterior yang diakibatkan karena trauma secara langsung
karena pada saat kedatangan di UGD, pasien masih sadar dengan GCS 15.
Komplikasi dari fraktur ini juga adalah Traumatic Subarachnoid hemorrhage yang
terlihat pada CT Scan. Pada kasus ini ditemukan pada regio oksipitoparietalis yang terjadi secara
bilateral. Hal ini menunjukkan rupturnya pembuluh darah arteri mauupun vena yang terdapat
pada cavum subarachnoidalis dengan perdarahan yang meluas secara bilateral. Sesuai dengan
pernyataan Brockmann (2006) dinyatakan bahwa lesi ini akan menyebabkan hidrosefalus,
dimana hal ini sesuai dengan temuan CT Scan pada kasus ini yakni terdapat hidrosefalus
walaupun minimal. Perdarahan subarachnoid oksipitoparietal bilateral dan hidrosefalus ini tentu
dapat meningkatkan TIK. Pada pasien ini ditemukan gejala-gejala perdarahan subarachnoid yang
susuai dengan pernyataan Setyopranoto (2012) yang meliputi: nyeri kepala mendadak, pusing
vertigo, mual, muntah dan terdapat riwayat penurunan kesadaran (pingsan) beberapa menit

sampai beberapa jam (pada kasus ini 30 menit). Mengingat kondisi pasien yang memburuk,
sesuai dengan manajemen tatalaksana perdarahan subarachnoid, pasien ini mesti dirawat secara
intensif di ICU.
Perdarahan subarachnoid (PSA) terjadi akibat pembuluh darah disekitar permukaan otak
pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarachnoid lapisan meningen dapat
berlangsung cepat, maka kematian sangat tinggi-sekitar 50% setelah perdarahan. Karena itu,
hipertensi perlu dikendalikan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut setelah trauma. Perdarahan
yang terjadi di ruang supratentorium (di atas tentorium serebeli) memiliki prognosis baik apabila
volume darah sedikit. Namun perdarahan ke dalam ruang infratentorium di daerah pons atau
serebelum memiliki prognosis yang jauh lebih buruk karena cepatnya timbul tekanan pada
struktur-struktur vital di batang otak (Hartwig, 2005).
Komplikasi lanjutan dari cedera kepala ini adalah peningkatan TIK pada 20 jam pertama
setelah kecelakaan, diman sekitar pukul 03.30 dini hari pasien mulai mengeluh pusing berat,
sakit kepala, mual muntah dengan temuan cushing triad pada pemeriksaan fisik. Sehingga terapi
yang diberikan setelah 24 jam setelah kecelakaan dan ditemukan tanda gejala peningkatan TIK
meliputi :
Medikamentosa :
Captopril 25 mg (per sublingual) untuk menurunkan tekanan darah sehingga dapat
mengurangi risiko ruptur vaskuler dan menurnkan tekanan darah ke otak.
Mannitol (Bolus 500 gr dalam waktu 20 menit, dilanjutkan 12,5 gram dalam waktu 6 jam
selama 24-48 jam) (NB: BB 50kg). Pemberian ini bertujuan untuk mengurangi peningkata
TIK melalui mekanisme diuretic osmotik yang dapat meningkakan natriuresis (peningkatan
pengeluaran natrium) dan diuresis (peningkatan pengeluaran H2O). Manitol juga mencegah
tubulus ginjal mereabsorbsi air dan meningkatkan tekanan osmotic di filtrasi glomerulus dan
tubulus. Ketika manitol masuk dalam intravaskuler, ia akan tetap efektif mengurangi
pembengkakan otak. Manitol merupakan cairan hyperosmolar yang digunakan untuk
meningkatkan osmolalitas serum. Dengan meningkatnya osmolalitas plasma dan menarik
cairan normal dalam sel otak yang osmolaritasnya rendah ke intravaskuler yang
osmolaritasnya tinggi, sehingga dapat mengurangi edema otak.

Furosemid 20 mg (1 amp) per IV, furosemide juga diberikan bersamaan dengan manitol
sebagai diuretik yang akan membuang cairan dari kerja manitol dalam bentuk urin. Cara
kerjanya adalah dengan menghambat reabsorbsi natirum oleh sel tubuli ginjal.
Tindakan:
Oksigenasi sungkup 7 lpm, untuk menjaga perfusi jaringan dan otak
Head up 30 , membantu mengurangi peningkatan TIK dengan cara meningkatkan drainase
dari vena yang ada di intrakranial
Observasi Lanjut
Pemasangan Folley Catheter
Pasien disarankan untuk dirujuk ke Rumah Sakit dengan Fasilitas High Care Unit (HCU

Selain itu, pada kasus ini juga ditemukan perdarahan intraventrikuler dan ditemukan
hematom pada sinus sphenoidalis yang akan semakin menambah TIK. TIK yang meningkat akan
terus dikompensasi hingga pada suatu titik tidak lagi terkompensasi dan akan menyebabkan
herniasi intraserebral yang akan merusak jaringan otak.
Tipe herniasi pada kasus ini tidak dapat diidentifikasi, jenis herniasi yang terjadi akan
tampak lebih jelas pada pemeriksaan CT Scan kepala posisi AP. Namun pada kasus ini dapat
dipastikan terjadi herniasi yang kemungkinan besar menekan batang otak, mengingat lesi
intraserebellar sangat dekat dengan batang otak. Herniasi yang mungkin terjadi pada kasus ini
dan menyebankan kematian adalah herniasi infratentorium tipe tonsilar dan/atau herniasi
supratentorium tipe uncal.
Kematian pada pasien ini sangat dipengaruhi disebabkan oleh TIK yang terus meningkat,
kemudian terjadi herniasi ditambah dengan kondisi intracranial menghambat ADO sehingga
mempengaruhi TPO pasien yang menyebabkan kematian otak.

También podría gustarte