Está en la página 1de 4

PESONA KEINDAHAN DAN KEMUAKAN [1]

Yang mulia, yang kami hormati. Sudah sepatutnya kami haturkan salam dan doa
kepadamu. Semoga kemuliaan dan kebesaran senantiasa engkau rengkuh.
Semoga engkau dalam dekapan segala kebajikan. Yang mulia, semoga engkau
baik-baik saja.
Belakangan ini, yang mulia, orang-orang rajin mempersoalkan apa-apa yang di
sekitar mereka. Dan engkau, yang mulia, niscaya juga menjadi bahan omongan
mereka. Sebab, engkau tahu yang mulia, engkau adalah yang dipertuankan.
Tiada kebaikan apapun selain atas namamu. Yang mulia, semoga engkau baikbaik saja. Tiada kekhawatiran dan kecemasan yang mengeraskan hati dan
perasaan, selain adanya pikiran dan prasangka. Yang mulia, semua orang
sebagaimana aku, tidak dapat menghindar darinya, dari yang di dalam diri dan di
sekitar diri kita; aku, engkau dan mereka, orang-orang di sekitar kita.
Yang mulia, pengalaman manusia ditentukan oleh hubungan-hubungan sosial di
sekitarnya. Dan yang kutahu, yang mulia, di sekitarku orang-orang menjalin
hubungan satu sama lain. Erat, seerat engkau mengenang masa lalu. Mereka
saling peduli, seakan diantara mereka tidak ada kebencian, sama sekali. Mereka
bergantian mengulurkan rengkuhannya seraya menatap keindahan dan
kedamaian batin.
Yang mulia, izinkan mereka mengucapkan terima kasih. Sebagaimana diantara
mereka jika satu berterima kasih, yang lain tidak tahu mesti menjawabnya
dengan kata yang tepat. Lalu, mereka saling tersenyum dan menengadah ke
langit, seolah mereka melihat tuhan. Yang mulia, bagi mereka tuhan sangat
dekat. Sangat dekat hingga, ketika melihat mereka, aku tidak melihat tuhan.
Yang mulia, kini yang kugelisahkan adalah aku, diriku yang tidak memperhatikan
orang-orang di sekitarku dengan bening. Sebening waktu yang menyatu dengan
tubuhku. Yang mulia, izinkan aku memohon. Engkau yang mengendalikan
penyesalan dan keangkuhan. Engkau yang menguasai rasa muak dan jijik akan
kebohongan dan kemunafikan. Engkau yang melumatkan air mata dan keakuan,
yang mengetahui segala janji dan kata-kata. Yang mulia, izinkan aku tidak
melupakan segala yang pernah kuperbuat, tidak lari dari kecurangan dan
tanggungjawab. Yang mulia, maafkan aku. Jika aku pernah mengacuhkan

engkau, atau sengaja mengganggap hanya aku yang paling berkehendak,


diantara yang lain, orang-orang di sekitarku.
Tiada kedamaian yang bersemayam di dalam hati jika dibangun dengan
menyumbat keringat orang lain, yang mulia. Maka itulah, kepada engkau yang
mulia, yang sudi mengampuni kelalaian dan ketidaktahuan, leburkanlah segala
hasrat keangkuhanku dan bukakanlah segala nilai yang pernah kupendam. Yang
mulia, engkau mengetahui bahwa aku bukan manusia yang tanpa dosa. Meski,
bagimu tidak pernah ada dosa. Sebab, engkau adalah yang bebas, yang berhak
melakukan apa saja pada sesuatu engkau miliki. Tapi, yang mulia, tidak ada yang
benar-benar memiliki waktu, tidak ada yang benar-benar dapat memotong air
dan udara, selama udara dan air itu ada.
Yang mulia, manusia terlanjur menciptakan peradabannya. Dan peradaban telah
membuat makna manusia bernilai bagi orang lain. Tapi, yang mulia, peradaban
juga telah memproduksi dan mendistribusikan kepatuhan, yang kini aku anggap
sebagai engkau. Benar, yang mulia, engkau adalah kepatuhan yang engkau
abadikan di dalam diriku. Dan aku melarikan diriku ke persembunyian yang aku
nikmati. Dan menikmati kenikmatan-kenikmatan yang kubuat, kuolah, dan
kunikmati sendiri. Tapi, lagi-lagi yang mulia, aku tidak dapat bersembunyi dan
menyembunyikan diriku dari apa-apa yang telah kuperbuat. Yang mulia, aku
telah mencipta hantu di dalam diriku. Hantu yang berdiri di depan pintuku.
Hantu yang selalu hadir, kini dan masa lalu, mengejar. Hantu yang kunamai
orang lain. Hantu yang mengabadikan kegelisahanku. Hantu. Hantu. Hantu.
Hantu yang menjadiku terjaga dan tertidur. Yang mulia, hantu itu juga menjelma
keindahan, dan kata-kata sebagai pekuburannya.
Yang mulia, tunaikanlah segala yang harus engkau tunaikan kepadaku, kepada
segala yang engkau perbuat, agar aku tidak selalu menunggu kebesaranmu dan
engkau tidak menanggung apa yang telah kuperbuat. Yang mulia, aku harus
mengakui. Aku tidak dapat hidup sendiri, tanpa orang lain, tanpa orang-orang di
sekitarku. Yang mulia, engkau paham soal perasaan dan nurani. Ya, engkau
sangat memahami. Maka, yang mulia, izinkan aku bertanya: orang macam apa
yang membiarkan perasaannya menghamba pada ambisi? Manusia macam apa
aku, yang mulia, yang memelihara kecurangan di dalam diriku. Begitu
perasaanku, yang mulia, perasaan yang menyimpan belati dan siap menikam
perasaan orang lain. Meski engkau tahu, yang mulia, ambisi dan survival itu tipis
bedanya. Perasaan dan ambisi manusia membuat segala dunia penuh kebencian
dan kecurigaan. Perasaan dan ambisiku membuat duniaku sesak dengan
2

penaklukan dan kepatuhan, kebencian dan kecurigaan, kemunafikan dan


kebohongan, kelicikan dan manipulasi.
Cukup, yang mulia, mungkin jika dibandingkan engkau lebih terhormat daripada
aku. Engkau tahu itu, yang mulia. Engkau tahu. Engkau adalah yang mulia, yang
terhormat.Tapi, mengapa engkau membiarkan aku menghamba kehormatanku?
Apakah engkau membutuhkan aku, yang tidak memiliki perasaan dan hati yang
bening? Dihadapanku segalanya telah kumanipulasi, kukemas dan kurias seolaholah aku adalah orang mumpuni, adalah yang begitu memahami ambisiku,
menguasai segala arah kemurnian dan keabadian. Ya, yang mulia, aku adalah
keabadian itu sendiri. Yang lain adalah milikku, yang bisa diperlakukan apapun.
Orang lain, perasaan orang lain, diciptakan untuk memenuhi keinginan dan
ambisiku. Inilah aku yang mulia.
Makanya, yang mulia, aku tidak dapat memaafkan diriku sendiri jika engkau
menganggap aku adalah dirimu. Kita berbeda, yang mulia. Kita berbeda. Aku
tidak patut engkau samakan. Dan aku tidak layak menjadi hambamu. Semoga
engkau mengerti apa yang kumaksud, yang mulia.
Kehadiranku sekarang ini, yang mulia, bukan untuk memenuhi undangan atau
permintaanmu. Tapi, ambisiku menghadiri perasaanku sendiri. Demi rencanarencanaku agar orang lain melihat bahwa aku adalah orang yang terhormat,
yang punya kebaikan dan sumbangan demi keabadianku.
Dan satu lagi, yang mulia, kita diciptakan bukan sebab kutukan. Tapi kita
sendirilah yang mengutuk diri kita. Jika engkau menganggap aku dikutuk untuk
melayanimu, maka kutukan dan keinginanku tiada beda dengan kuasamu dan
kepatuhanku. Jika begitu, yang mulia, maka keberadaanku atau ketiadaanku
tiada artinya. Kehadiranku atau sebaliknya adalah sama saja. Yang, mulia, ombak
tidak menggerakkan dirinya sendiri. Ia tidak bisa sendirian ada. Ombak bukan
kebesaran lautan, yang mulia. Meski engkau tahu, engkau bisa saja
melemparkanku ke lautan ambisi, seperti yang kukatakan sebelumnya. Ambisiku
membuat langit kupijak dan tanah di ubun-ubun. Lautan, yang mulia, tidak
mencoba menenangkan diri, sebab begitulah lautan sudah tenang di dalam
dirinya. Ia tidak risau atau cemas sama sekali dengan bulan atau karang. Yang di
atas dan di permukaannyalah yang bergelombang, di dasarnya ia lebih tenang
dari siapapun.

Yang mulia, semoga engkau baik-baik saja. Semoga di dasar kedalaman dirimu
penuh kedamaian. Semoga engkau tidak kehilangan sihirmu. Semoga engkau
tidak putus asa tersenyum, mengakui dan menghadapi kemuakan yang tak
berperi. Semoga engkau bukan lagi tamu asing di dalam dirimu sendiri. Semoga
engkau tidak hanya penghuni mimpi dan diremukkan kenyataan. Tapi, bukankah
kini aku hanyalah engkau?

Pelemkecut, 2 Maret 2014

También podría gustarte