Está en la página 1de 4

Busur Sunda: Produk Geodinamika Regional

Sistem penunjaman Sunda merupakan salah satu contoh yang baik untuk menunjukkan
hubungan geodinamika Indonesia dengan geodinamika regional. Sistem penunjaman Sunda
berawal dari sebelah barat Sumba, ke Bali, Jawa, dan Sumatera sepanjang 3.700 km, serta
berlanjut ke Andaman-Nicobar dan Burma. Busur ini menunjukkan morfologi berupa palung,
punggungan muka busur, cekungan muka busur, dan busur vulkanik. Arah penunjaman
menunjukkan beberapa variasi, yaitu relatif menunjam tegak lurus di Sumba dan Jawa serta
menunjam miring di sepanjang Sumatera, kepulauan Andaman dan Burma. Kemiringan ini
terjadi karena adanya perbedaan arah gerak dengan arah tunjaman yang tidak 900. Sistem
penunjaman Sunda ini merupakan tipe busur tepi kontinen sekaligus busur kepulauan, yang
berlangsung selama Kenozoikum Tengah Akhir (Katili, 1989; Hamilton, 1989) Menurut
Hamilton (1989) Palung Sunda bukan menunjukkan batas litosfer samudera India, tetapi
merupakan salah satu jejak sistem penunjaman busur Sunda. Penunjaman mempunyai
kemiringan sekitar 700.
Punggungan muka busur mengalami migrasi, relatif menuju ke arah kraton. Formasi
bancuh di busur akresi dihasilkan oleh oleh penggerusan yang berhubungan dengan subduksi,
bukan oleh luncuran di lereng punggungan akresi. Cekungan muka busur berada di antara
punggungan muka busur dan garis pantai sistem penunjaman Sunda dengan lebar 150 - 200
km. Bagian dasar cekungan Jawa dan Sumatera mempunyai kecepatan tipikal litosfer
samudera, dengan kecepatan di sektor Sumatera lebih besar dari litosfer samudera. Busur
vulkanik yang sekarang aktif di atas zona Benioff berada pada kedalaman 100 130 km.
Busur magmatik ini berubah dari kecenderungan bersifat kontinen di Sumatera, transisional
di Jawa ke busur kepulauan (oceanic island arc) di Bali dan Lombok. Komposisi vulkanik
muda bervariasi secara sistematis yang berkesesuaian antara karakter litosfer dengan magma
yang dierupsikan.
Berdasarkan karakteristik morfologi, ketebalan endapan palung busur dan arah
penunjaman, busur Sunda dibagi menjadi beberapa propinsi. Dari timur ke barat terdiri dari
propinsi Jawa, Sumatera Selatan dan Tengah, Sumatera Utara Nicobar, Andaman dan
Burma. Diantara Propinsi Jawa dan Sumatera Tengah Selatan terdapat Selat Sunda yang
merupakan batas tenggara lempeng Burma. Provinsi Jawa bermula dari Sumba sampai Selat
Sunda. Di propinsi ini palung Sunda mempunyai kedalaman lebih dari 6.000 m. Saat ini
konvergensi sepanjang propinsi Jawa mencapai 7,5 cm/tahun dengan sudut penunjaman
antara 5o 8o. Sedimen memiliki ketebalan antara 200 900 m. Imbrikasi di bawah
punggungan muka busur mempunyai ketebalan lebih dari 10 km. Palung hanya berisi
sedimen tipis dengan sedikit sedimen pelagis. Kerangka tektonik utama antara Jawa dan
Sumatera secara umum dipotong oleh selat Sunda yang dianggap sebagai zona
diskontinyuitas. Selat Sunda adalah unsur utama pemisah propinsi Jawa dan Sumatera busur
Sunda. Selat ini diasumsikan batas sebagai batas tenggara lempeng Burma. Namun apabila
dicermati dari data geofisika tang ada, batas Jawa dan Sumatera terletak di sekitar Banten dan
Jawa Barat.
Provinsi Sumatera Selatan dan Tengah mempunyai kedalaman palung yang berangsur
menurun dari 6.000 5.000 m. Sedimen dasar palung mempunyai ketebalan sekitar 2 km di
utara dan 1 km di selatan. Penunjaman miring dengan komponen penunjaman menurun ke
utara antara 7,0 5,7 cm/tahun. Komponen pergeseran lateral yang bekerja di lempeng ini
diasumsikan sangat berperan dalam membentuk sistem strike slip fault di Sumatera.
Pada Propinsi Sumatera Utara - Nikobar, di sebelah barat Pulau Simalur sumbu palung
menajam ke barat, dan di barat-laut Pulau Simalur cenderung ke utara barat-laut. Palung
mempunyai kedalaman berkisar antara 3.500 5.000 m. Pertemuan di sepanjang propinsi ini
sangat miring dan kecepatan penunjaman ke arah utara mengalami penurunan 5,6 4,1
cm/tahun.

Di Pulau Andaman palung cenderung berarah utara selatan dengan kedalaman sekitar
3.000 m. Di propinsi ini pertemuan lempeng sangat miring, dengan kisaran kecepatan
penunjaman berkisar antara 0,7 0,2 cm/tahun. Komponen lateral ini dipengaruhi oleh
pemekaran di laut Andaman, dengan lempeng Burma memisah ke arah barat daya dari
lempeng Eurasia.
Palung Burma mempunyai kedalaman kurang dari 3.000 m. Di sini punggungan muka
busur menjadi punggungan Indoburman dan cekungan muka busur menjadi palung sebelah
barat dari Lembah Burma. Sudut penunjaman yang sangat miring. Ketebalan endapan di
propinsi ini sekitar 8.000 10.000 m. Komponen gerak lateral ini mempengaruhi
terbentuknya sesar Sagaing di Burma.
Sesar Sumatra: Produk Geodinamika Busur Sunda Sesar besar Sumatra dan Pulau
Sumatra merupakan contoh rinci yang menarik untuk menunjukkan akibat tektonik regional
pada pola tektonik lokal. Pulau Sumatera tersusun atas dua bagian utama, sebelah barat
didominasi oleh keberadaan lempeng samudera, sedang sebelah timur didominasi oleh
keberadaan lempeng benua. Berdasarkan gaya gravitasi, magnetisme dan seismik ketebalan
lempeng samudera sekitar 20 kilometer, dan ketebalan lempeng benua sekitar 40 kilometer
(Hamilton, 1979).
Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan dimulainya peristiwa
pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta tahun lalu,
yang mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan relatif lempenglempeng disertai dengan perubahan kecepatan relatif antar lempengnya berikut kegiatan
ekstrusi yang terjadi padanya. Gerak lempeng India-Australia yang semula mempunyai
kecepatan 86 milimeter / tahun menurun secara drastis menjadi 40 milimeter/tahun karena
terjadi proses tumbukan tersebut. Penurunan kecepatan terus terjadi sehingga tinggal 30
milimeter/tahun pada awal proses konfigurasi tektonik yang baru (Char-shin Liu et al, 1983
dalam Natawidjaja, 1994). Setelah itu kecepatan mengalami kenaikan yang mencolok sampai
sekitar 76 milimeter/tahun (Sieh, 1993 dalam Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini,
menurut teori indentasi pada akhirnya mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar
geser di bagian sebelah timur India, untuk mengakomodasikan perpindahan massa secara
tektonik (Tapponier dkk, 1982).
Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman, punggungan
busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat proses yang terjadi.
Kenyataan menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-tension) Paleosoikum tektonik
Sumatera menjadikan tatanan tektonik Sumatera menunjukkan adanya tiga bagian pola (Sieh,
2000). Bagian selatan terdiri dari lempeng mikro Sumatera, yang terbentuk sejak 2 juta tahun
lalu dengan bentuk, geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak
beraturan dan bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman. Bagian selatan Pulau
Sumatera memberikan kenampakan pola tektonik: (1) Sesar Sumatera menunjukkan sebuah
pola geser kanan en echelon dan terletak pada 100 ~ 135 kilometer di atas penunjaman, (2)
lokasi gunungapi umumnya sebelah timur-laut atau di dekat sesar, (3) cekungan busur muka
terbentuk sederhana, dengan kedalaman 1 ~ 2 kilometer dan dihancurkan oleh sesar utama,
(4) punggungan busur muka relatif dekat, terdiri dari antiform tunggal dan berbentuk
sederhana, (5) sesar Mentawai dan homoklin, yang dipisahkan oleh punggungan busur muka
dan cekungan busur muka relatif utuh, dan (6) sudut kemiringan tunjaman relatif seragam.
Bagian utara Pulau Sumatera memberikan kenampakan pola tektonik: (1) sesar Sumatera
berbentuk tidak beraturan, berada pada posisi 125 ~ 140 kilometer dari garis penunjaman, (2)
busur vulkanik berada di sebelah utara sesar Sumatera, (3) kedalaman cekungan busur muka
1 ~ 2 kilometer, (4) punggungan busur muka secara struktural dan kedalamannya sangat
beragam, (5) homoklin di belahan selatan sepanjang beberapa kilometer sama dengan struktur

Mentawai yang berada di sebelah selatannya, dan (6) sudut kemiringan penunjaman sangat
tajam.
Bagian tengah Pulau Sumatera memberikan kenampakan tektonik: (1) sepanjang 350
kilometer potongan dari sesar Sumatera menunjukkan posisi memotong arah penunjaman, (2)
busur vulkanik memotong dengan sesar Sumatera, (3) topografi cekungan busur muka
dangkal, sekitar 0.2 ~ 0.6 kilometer, dan terbagi-bagi menjadi berapa blok oleh sesar turun
miring , (4) busur luar terpecah-pecah, (5) homoklin yang terletak antara punggungan busur
muka dan cekungan busur muka tercabik-cabik, dan (6) sudut kemiringan penunjaman
beragam. Proses penunjaman miring di sekitar Pulau Sumatera ini mengakibatkan adanya
pembagian / penyebaran vektor tegasan tektonik, yaitu slip-vector yang hampir tegak lurus
dengan arah zona penunjaman yang diakomodasi oleh mekanisme sistem sesar anjak. Hal ini
terutama berada di prisma akresi dan slip-vector yang searah dengan zona penunjaman yang
diakomodasi oleh mekanisme sistem sesar besar Sumatera. Slip-vector sejajar palung ini
tidak cukup diakomodasi oleh sesar Sumatera tetapi juga oleh sistem sesar geser lainnya di
sepanjang Kepulauan Mentawai, sehingga disebut zona sesar Mentawai (Diament, 1992).
Selanjutnya sebagai respon tektonik akibat dari bentuk melengkung ke dalam dari tepi
lempeng Asia Tenggara terhadap Lempeng Indo-Australia, besarnya slip-vector ini secara
geometri akan mengalami kenaikan ke arah barat-laut sejalan dengan semakin kecilnya sudut
konvergensi antara dua lempeng tersebut. Pertambahan slip-vector ini mengakibatkan
terjadinya proses peregangan di antara sesar Sumatera dan zona penunjaman yang disebut
sebagai lempeng mikro Sumatera (Suparka dkk, 1991). Oleh karena itu slip-vector komponen
sejajar palung harus semakin besar ke arah barat-laut. Sebagai konsekuensi dari kenaikan
slip-vector pada daerah busur-muka ini, maka secara teoritis akan menaikkan slip-rate di
sepanjang sesar Sumatera ke arah barat-laut. Pengukuran offset sesar dan penentuan
radiometrik dari unsur yang terofsetkan di sepanjang sesar Sumatera membuktikan bahwa
kenaikan slip-rate memang benar-benar terjadi (Natawidjaja, Sieh, 1994). Pengukuran sliprate di daerah Danau Toba menunjukkan kecepatan gerak sebesar 27 milimeter / tahun, di
Bukit Tinggi sebesar 12 milimeter / tahun, di Kepahiang sebesar 11 milimeter / tahun
(Natawidjaja, 1994) demikian pula di selat Sunda sebesar 11 milimeter / tahun (Zen dkk,
1991)
Sesar Sumatera sangat tersegmentasi. Segmen-segmen sesar sepanjang 1900 kilometer
tersebut merupakan upaya mengadopsi tekanan miring antara lempeng Eurasia dan India
Australia dengan arah tumbukan 10N ~ 7S. Sedikitnya terdapat 19 bagian dengan panjang
masing-masing segmen 60 ~ 200 kilometer, yaitu segmen Sunda (6.75S ~ 5.9S), segmen
Semangko (5.9S ~ 5.25S), segmen Kumering (5.3S ~ 4.35S), segmen Manna (4.35S ~
3.8S), segmen Musi (3.65S ~ 3.25S), segmen Ketaun (3.35S ~ 2.75S), segmen Dikit
(2.75S ~ 2.3S), segmen Siulak (2.25S ~ 1.7S), segmen Sulii (1.75S ~ 1.0S), segmen
Sumani (1.0S ~ 0.5S), segmen Sianok (0.7S ~ 0.1N), segmen Barumun (0.3N ~ 1.2N),
segmen Angkola (0.3N ~ 1.8N), segmen Toru (1.2N ~ 2.0N), segmen Renun (2.0N ~
3.55N), segmen Tripa (3.2N ~ 4.4N), segmen Aceh (4.4N ~ 5.4N), segmen Seulimeum
(5.0N ~ 5.9N)
Tatanan tektonik regional sangat mempengaruhi perkembangan busur Sunda. Di bagian
barat, pertemuan subduksi antara lempeng benua Eurasia dan lempeng samudra Australia
mengkontruksikan busur Sunda sebagai sistem busur tepi kontinen (epi-continent arc) yang
relatif stabil; sementara di sebelah timur pertemuan subduksi antara lempeng samudra
Australia dan lempeng-lempeng mikro Tersier mengkontruksikan sistem busur Sunda sebagai
busur kepulauan (island arc) kepulauan yang lebih labil. Perbedaan sudut penunjaman antara
propinsi Jawa dan propinsi Sumatera Selatan busur Sunda mendorong pada kesimpulan
bahwa batas busur Sunda yang mewakili sistem busur kepulauan dan busur tepi kontinen
terletak di selat Sunda. Penyimpulan tersebut akan menyisakan pertanyaan, karena pola

kenampakan anomali gaya berat (gambar 2.6) menunjukkan bahwa pola struktur Jawa bagian
barat yang cenderung lebih sesuai dengan pola Sumatera dibanding dengan pola struktur
Jawa bagian Timur. Secara vertikal perkembangan struktur masih menyisakan permasalahan
namun jika dilakukan pembangingan dengan struktur cekungan Sumatra Selatan, strukturstruktur di Pulau Sumatra secara vertikal berkembang sebagai struktur bunga.

Tektonik Indonesia Barat dan Timur


Pembahasan tatanan teknonik Indonesia menggunakan pendekatan tektonik lempeng
telah lama dilakukan. Aplikasi teori ini untuk menerangkan gejala geologi regional di
Indonesia dilakukan oleh Hamilton (1970, 1973, 1978), Dickinson (1971), dan Katili (1975,
1978, 1980). Secara setempat-setempat Audley-Charles (1974) menerapkan teori ini untuk
menjelaskan gejala geologi kawasan Pulau Timor, Rab Sukamto (1975) dan Simanjuntak
(1986) menerapkannya untuk memahami keruwetan Sulawesi. Sartono (1990)
mengemukakan bahwa tatanan tektonik Indoenesia selama Neogen yang dipengaruhi oleh
tatanan geosinklin pasca Larami. Busur-busur geosiklin ini merupakan zona akibat proses
tumbukan kerak benua dan samudra. Kerak benua yang bekerja pada waktu itu terdiri dari
kerak benua Australia, kerak benua Cina bagian selatan, benua mikro Sunda, kerak samudra
Pasifik, dan kerak samudra Sunda. Tumbukan Larami tersebut membentuk busur-busur
geosinklin Sunda, Banda, Kalimantan utara dan Halmahera-Papua. Peta anomali gaya berat
dapat menunjukkan dengan baik pola hasil tektonik ini. Tatanan tektonik Indonesia bagian
barat menunjukkan pola yang relatif lebih sederhana dibanding Indonesia timur.
Kesederhanaan tatanan tektonik tersebut dipengaruhi oleh keberadaan Paparan Sunda yang
relatif stabil. Pergerakan dinamis menyolok hanya terjadi pada perputaran Kalimantan serta
peregangan selat Makassar. Hal ini terlihat pada pola sebaran jalur subduksi Indonesia Barat
(Katili dan Hartono, 1983, dan Katili, 1986; dalam Katili 1989). Sementara keberadaan benua
mikro yang dinamis karena dipisahkan oleh banyak sistem sesar (Katili, 1973 dan Pigram
dkk., 1984 dalam Sartono, 1990) sangat mempengaruhi bentuk kerumitan tektonik Indonesia
bagian timur.

Manfaat dari tatanan lempeng tektonik Indonesia


Penyebaran mineral ekonomis di Indonesia ini tidak merata. Seperti halnya penyebaran
batuan, penyebaran mineral ekonomis sangat dipengaruhi oleh tatanan geologi Indonesia
yang rumit. Berkenaan dengan hal tersebut, maka usaha-usaha penelusuran keberadaan
mineral ekonomis telah dilakukan oleh banyak orang. Mineral ekonomis adalah mineral
bahan galian dan energi yang mempunyai nilai ekonomis. Mineral logam yang termasuk
golongan ini adalah tembaga, besi, emas, perak, timah, nikel dan aluminium. Mineral non
logam yang termasuk golongan ini adalah fosfat, mika, belerang, fluorit, mangan. Mineral
industri adalah mineral bahan baku dan bahan penolong dalam industri, misalnya felspar,
ziolit, diatomea. Mineral energi adalah minyak, gas dan batubara atau bituminus lainnya.
Belakangan panas bumi dan uranium juga masuk dalam golongan ini walaupun cara
pembentukannya berbeda. (Sudradjat, 1999)
Keberadaan Mineral Logam

También podría gustarte