Está en la página 1de 22

Latar Belakang

Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah
penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya
perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu
suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh
darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan
yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui
tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente,
2002).
Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan
untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak
organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau
trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu
dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan
di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang
sangat rendah (Sukmana, 2004).
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus
Indonesia). Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 400
orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras
tertentu seperti bangsa Afrika Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika,
prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per
10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000
(Isenberg and Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika
mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang
ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai
prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000
populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasus
per 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih
(Bartels, 2006). Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui
tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000
orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita
SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan
prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid
artritis, dan low back pain.

Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, penderita SLE pada bulan Januari sampai dengan
Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang meninggal dunia. Setiap tahun ditemukan
lebih dari 100.000 penderita baru. Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang
sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat,
penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita
SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE
dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan
SLE. Oleh karena itu penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang
dampak buruk penyakit SLE terhadap kesehatan serta dampak psikologi dan sosialnya
yang cukup berat untuk penderita maupun keluarganya.
Kurangnya prioritas di bidang penelitian medik untuk menemukan obat-obat penyakit
SLE yang baru, aman dan efektif, dibandingkan dengan penyakit lain juga merupakan
masalah tersendiri (Yayasan Lupus Indonesia).
Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit,
hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan
kematian janin (Hahn, 2005). Penderita SLE dengan manifestasi kulit dan
muskuloskeletal mempunyaisurvival rate yang lebih tinggi daripada dengan manifestasi
klinik renal dan central nervous system (CNS). Meskipun mempunyai survival rateyang
berbeda, penderita dengan SLE mempunyai angka kematian tiga kali lebih
tinggi dibandingkan orang sehat. Saat ini prevalensi penderita yang dapat
mencapai survival rate 10 tahun mendekati 90%, dimana pada tahun 1955 survival
rate penderita yang mencapai 5 tahun kurang dari 50%. Peningkatan angka ini
menunjukkan peningkatan pelayanan terhadap penderita SLE yang berkaitan dengan
deteksi yang lebih dini, perawatan dan terapi yang benar sejalan dengan
perkembangan ilmu kedokteran dan farmasi.
Penyebab mortalitas paling tinggi terjadi pada awal perjalanan penyakit SLE adalah
infeksi yang disebabkan oleh pemakaian imunosupresan. Sedangkan mortalitas pada
penderita SLE dengan komplikasi nefritis paling banyak ditemukan dalam 5 tahun
pertama ketika dimulainya gejala. Penyakit jantung dan kanker yang berkaitan dengan
inflamasi kronik dan terapi sitotoksik juga merupakan penyebab mortalitas. The
Framingham Offspring Study menunjukkan bahwa wanita dengan usia 35 44 tahun
yang menderita SLE mempunyai resiko 50 kali lipat lebih besar untuk terkena infarct
miocard daripada wanita sehat. Penyebab peningkatan penyakit coronary artery
disease (CAD) merupakan multifaktor termasuk disfungsi endotelial, mediator inflamasi,
kortikosteroid yang menginduksi arterogenesis, dan dislipidemia yang berkaitan
dengan penyakit ginjal (salah satu manifestasi klinis dari SLE). Dari suatu hasil

penelitian menunjukkan penyebab mortalitas 144 dari 408 pasien dengan SLE yang
dimonitor lebih dari 11 tahun adalah lupus yang akif (34%), infeksi (22%), penyakit
jantung (16%), dan kanker (6%) (Bartels, 2006).
Penderita dengan SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan
yang tepat dan
benar. Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi
remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit.
Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada
manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum
digunakan pada terapi farmakologis penderita SLE yaitu NSAID (Non-Steroid AntiInflammatory Drugs), obat-obat antimalaria, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker
(imunosupresan) selain itu terdapat obat-obat yang lain seperti terapi hormon,
imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monoklonal antibodi, dan transplantasi
sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para ilmuwan. NSAID dapat digunakan
untuk SLE ringan. Dosis yang digunakan harus memadai untuk menimbulkan efek
antiinflamasi. Aspirin dosis rendah dapat digunakan pada pasien dengan sindrom
antifosfolipid. Penggunaan NSAID dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal, hal ini
dapat memperparah terjadinya lupus nefritis (Delafuente, 2002).
Obat antimalaria seperti klorokuin dan hidroklorokuin dapat digunakan untuk mengatasi
lupus dengan lesi kulit berbentuk cakram. Selain itu obat ini juga dapat digunakan untuk
terapi SLE terutama pada pasien dengan keluhan manifestasi kulit, pleuritis, inflamasi
perikardial ringan, anemia ringan dan leukopenia. Obat ini digunakan umumnya dalam
jangka panjang. Selain NSAID dan antimalaria, kortikosteroid juga digunakan pada
terapi SLE. Penderita SLE tidak selalu memerlukan kortikosteroid, pasien dengan
manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap penggunaan obat
lain baru diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus
eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan
kortikosteroid topikal atau intralesional. Tujuan pemberian kortikosteroid adalah untuk
menekan penyakit yang aktif dan mempertahankannya dengan dosis serendah
mungkin. Terapi kortikosteroid yang diberikan jangka pendek dan dosis tinggi intravena
mempunyai tujuan yaitu untuk menginduksi terjadinya remisi pada penderita SLE yang
mempunyai manifestasi klinik serius. Untuk obat-obat sitotoksik yang digunakan adalah
kategori bahan pengalkilasi seperti siklofosfamid dan antimetabolit azatioprin. Biasanya
obat-obat tersebut dikombinasikan dengan kortikosteroid. Tujuan kombinasi ini adalah
untuk mengurangi dosis steroid dan meningkatkan efektivitas steroid (Delafuente,
2002). Selain obat-obat yang digunakan untuk pengobatan penyakit SLE, perlu juga

diwaspadai obat-obat yang dapat menginduksi terjadinya penyakit SLE antara lain
hidralazin, prokainamid, metildopa, klorpromazin, dll. (Herfindal et al., 2000).
Oleh karena itu sejalan dengan perkembangan ilmu terapi dan perubahan paradigma
kefarmasian ke arah pharmaceutical care, farmasis sebaiknya turut berperan dalam tim
kesehatan dalam hal pemilihan obat, penyediaan produk obat, monitor efek obat,
mengidentifikasi problema obat yang timbul maupun yang berpotensi untuk timbul serta
pengobatan kompleks yang diberikan kepada penderita SLE. Hal ini penting mengingat
SLE adalah penyakit dengan banyaknya manifestasi klinik yang muncul maka
diperlukan penguasaan yang baik mengenai penggunaan obat di lapangan yang datadatanya dapat diperoleh melalui studi penggunaan obat. Berdasarkan latar belakang
tersebut, dilakukan penelitian untuk mempelajari pola penggunaan obat pada penderita
SLE sehingga dapat diketahui bahwa terapi yang diberikan tepat dan adekuat serta
dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Studi Penggunaan Obat (DUS)
Studi penggunaan obat atau Drug Utilization Study (DUS) menurut World Health
Organization (WHO) adalah peresepan dan penggunaan obat yang mencakup
pemasaran dan distribusi pada masyarakat yang dititikberatkan khususnya pada
konsekuensi ekonomis, sosial, dan kesehatan. Dari definisi di atas dapat diketahui
bahwa fokus dari studi pengunaan obat adalah untuk mengetahui faktor yang
berpengaruh dan terlibat dalam peresepan, peracikan, pemberian, dan penggunaan
obat. Tujuan umum dari studi penggunaan obat adalah mengidentifikasi dan
menganalisis masalah yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dalam
pengobatan. Pendekatan ini sebaiknya didasarkan pada tujuan dan kebutuhan
penderita. Studi penggunaan obat dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Studi
kualitatif digunakan untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan obat dengan cara
mencari hubungan antara data peresepan dan alasan pemberian terapi. Sedangkan
secara kuantitatif, dilakukan dengan cara mengumpulkan secara rutin data statistik dari
penggunaan obat yang dapat digunakan untuk memperkirakan penggunaan obat pada
suatu populasi berdasarkan usia, kelas sosial, morbiditas, dan karakteristik
lainnya serta untuk mengidentifikasi adanya kemungkinan overutilization atau
underutilization (Lee & Bergman, 2000).

2.2 Tinjauan Tentang SLE


2.2.1 Definisi
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem
yang
disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh
adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan
produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein
intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar,
2003) melalui mekanisme pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
2.2.2 Epidemiologi
SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 10 : 1.
Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi
oleh obat.
Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif
yaitu 15 64
tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa
membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda
beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1
kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi
terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New
Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per
100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi
(Bartels, 2006).
2.2.3 Etiologi
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan
ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first
degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik
(24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar
non-identik (2-9%). Penelitian
terakhir menunjukkan bahwa banyak gen
yang berperan antara lain haplotip
MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada
fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta
gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV
yang
mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan
sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE
juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan

protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh
membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing
tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang
mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan
B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan
bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme
menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit
nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).
2.2.4 Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic
lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema
yang
meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul
di kulit
kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan
kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya
serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh
banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan
disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi
yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai
macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan
kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein,
1998).
Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat
yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat
banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat
untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing
oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk
menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
Tabel II.1 Obat yang menginduksi SLE (Herfindal et al.,2000).

Definitely
Hidralazin
Prokainamid
Isoniazid
Klorpromazin
Metildopa

Possible
Antikonvulsan
Fenitoin
Karbamazepin
Asam valproat
Etosuksimid
-bloker
Propranolol
Metoprolol
Labetalol
Acebutolol
Kaptropil
Lisinopril
Enalapril
Kontrasepsi oral

Unlikely
Propitiourasil Griseofulvin
Metimazol
Penisilin
Penisilinamin Garam emas
Sulfasalazin
Sulfonamid
Nitrofurantoin
Levodopa
Litium
Simetidin
Takrolimus

Ket : definitely : tinggi, possible : sedang, unlikely : rendah


2.2.5 Patofisiologi
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B,
peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi
autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan
sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar
seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang
berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen
presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B.
Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui
molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin
yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi
antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD
40, CTLA-4 (Epstein, 1998).
Gb.2.1 Patofisiologi SLE (Epstein, 1998)
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi
mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan
membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2
yang berfungsi menekan sel
Th1 sehingga mengganggu cell-mediated immunity.

Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan
hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu
meningkatkan ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003).
Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan
fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan
limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi
menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas
self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1
menurun (Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90
(hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan
sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset
yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan
peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+
membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+
(Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan
berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang
dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya
kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan
sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Ciri khas autoantibodi ini adalah
bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen
integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ
secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya
DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang
menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen
jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan
terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel
pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian
sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan
menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap
kerusakan jaringan (Epstein, 1998).
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun,
gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks
imun pada limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan
berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena
lemahnya ikatan reseptor FcRIIA dan FcRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan
defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan

meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks
imun (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi
komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang
menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi
radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat
yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan
sebagainya (Albar, 2003).
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis
sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis
sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag.
Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi
sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel,
pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan
dengan CRP, TSP, SAP, dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel
fagosit melalui reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor(CR1,
3, 4), reseptor V3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang
menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah
ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcR
yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang
dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang
disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).
Gb.2.2 Mekanisme apoptosis pada patofisiologi SLE (Bijl et al., 2001)
2.2.6 Kriteria SLE
Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru
untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai
selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan
ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :
(1) Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah hidung dan pipi.
(2) Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin
yang
melekat dan sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut.
(3) Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap cahaya matahari.
(4) Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring, umumnya tidak nyeri.
(5) Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri,
bengkak, atau efusi.
(6) Serositis

a. Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura atau
adanya efusi pleura.
b.Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan perikard
atau efusi perikard.
(7) Kelainan ginjal
a. Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+
b.Ditemukan eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran.
(8) Kelainan neurologis : kejang tanpa sebab atau psikosis tanpa sebab.
(9) Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau leukopenia
(kurang dari
400/mm3) atau limfopenia (kurang dari 1500/mm 3),
atau trombositopenia
3
(kurang dari 100.000/mm ) tanpa ada obat penginduksi gejala tersebut.
(10) Kelainan imunologik : anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi
antifosfolipid
(11) Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan
imunofluoresensi atau pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat
dan
tidak ada obat yang menginduksi sindroma lupus (Delafuente, 2002).
2.2.7 Data laboratorium
Anti ds-DNA
Batas normal : 70 200 IU/mL
Negatif
: < 70 IU/mL
Positif
: > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% 80% penderita dengan SLE aktif
dan
jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik
untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita
dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis
bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat
meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya
mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari
antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang
menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA).
Anti ss-DNA kurang sensitif dan
spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodiantigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan
konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan
menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik
lokal
maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).

.
Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah
sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti
dari suatu sel. ANA
cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE,
hasil yang positif terjadi pada
95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga
berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan
dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi
maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes
negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan
juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka
sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien
tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (antiribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).
Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk
monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin,
lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte
Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan
C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis,
serum kreatinin, tes fungsi hepar,
kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
2.2.8 Manifestasi klinis
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah,
malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005).
Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan mialgia umumnya timbul
mendahului gejala yang lain. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal
proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku, dan
pergelangan kaki (Delafuente, 2002).
Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan banyak menolong
dalam mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit berbentuk
kupu-kupu
(butterfly rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi.
Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian
tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena
hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi cakram terjadi pada 10% 20% pasien

SLE. Gejala lain yang timbul adalah vaskulitis eritema periungual, livido retikularis,
alopesia, ulserasi, dan fenomena Raynaud
(Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada jantung sering ditandai adanya perikarditis, miokarditis, gangguan
katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs.
Penyakit jantung pada pasien umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
hipertensi, kegemukan, dan hiperlipidemia. Terapi dengan kortikosteroid dan adanya
penyakit ginjal juga dapat meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE
(Delafuente, 2002).
Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang meliputi
pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan
batuk. Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas yang
tinggi. Nyeri abdomen terjadi pada 25% kasus SLE. Gejala saluran pencernaan
(gastrointestinal) lain yang sering timbul adalah mual, diare, dan dispepsia. Selain itu
dapat pula terjadi vaskulitis, perforasi usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali
(Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer berupa gangguan
sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara (Albar,2003). Gejala lain yang
juga timbul adalah disfungsi kognitif, psikosis, depresi, kejang, dan stroke (Delafuente,
2002).
Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada
sebagian besar pasien saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji Coombs-nya positif
dapat mengalami anemia hemolitik. Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan
tetapi tidak memerlukan terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering
terjadi, sedangkan trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada
5% pasien dan harus diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka
pendek dapat dicapai dengan pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung trombosit
tidak dapat mencapai kadar yang memuaskan dalam 2 minggu, harus dipertimbangkan
tindakan splenektomi (Delafuente, 2002).
Antikoagulan lupus (AL) termasuk dalam golongan
antibodi
antifosfolipid. Antikoagulan ini diketahui berdasarkan perpanjangan waktu tromboplastin
parsial (PTT) dan kegagalan penambahan plasma normal untuk memperbaiki
perpanjangan waktu tersebut. Antibodi terhadap kardiolipin (aCL) dideteksi dengan
pemeriksaan ELISA. Manifestasi klinis AL dan aCL adalah trombositopenia,
pembekuan darah pada vena atau arteri yang berulang, keguguran berulang, dan
penyakit katup jantung. Bila AL disertai dengan hipoprotombinemia
atau
trombositopenia, maka dapat terjadi perdarahan.

Yang lebih jarang timbul adalah antibodi terhadap faktor pembekuan (VIII, IX); adanya
antibodi tersebut tidak dapat menyebabkan pembekuan darah sehingga perdarahan
terjadi terus-menerus (Hahn, 2005).
Pada wanita dengan SLE yang mengalami kehamilan maka dikhawatirkan akan
mempercepat penyebaran penyakit selama kehamilan dan pada periode awal setelah
melahirkan. Selain itu juga dapat terjadi aborsi secara spontan atau kelahiran prematur.
Kemungkinan terjadinya preeklamsia atau hipertensi yang disebabkan kehamilan juga
dapat memperparah penyakitnya (Delafuente, 2002).
Gejala klinik pada
kerusakan ginjal dapat dilihat dari tingginya serum kreatinin atau adanya proteinuria.
Penyakit ginjal pada pasien SLE sering disebut lupus nefritis. Menurut WHO, lupus
nefritis dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan biopsi ginjalnya yaitu
kelas I (normal/minimal mesangial), kelas II (mesangial), kelas III (focal proliferative),
kelas IV (diffuse proliferative), dan kelas V (membranous glomerulonephritis). Selama
perjalanan penyakit pasien dapat mengalami progesivitas dari satu kelas ke kelas yang
lain. Pada pasien dengan lupus nefritis terutama ras Afrika Amerika dapat terjadi
peningkatan serum kreatinin, penurunan respon terhadap obat-obat imunosupresan,
hipertensi, dan sindrom nefrotik yang persisten (Delafuente, 2002).
2.3 Tinjauan Tentang Pengobatan SLE
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah
terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien,
memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari
penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi
dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam
manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat
individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan SLE meliputi
terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000).
2.3.1 Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan
keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan.
Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau
diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak
ada diet yang spesifik untuk penderita SLE
(Delafuente, 2002). Tetapi
penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500
IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999).
Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita

SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar
matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).
2.3.2 Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi
inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya
pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
2.3.2.1 NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan
NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan
analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan
selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan
COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan
dari
mediator
inflamasi
termasuk
interleukin,
interferon,
serta tumor
necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi
homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta
keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel
endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping
penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit
kemerahan, dan alergi
lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti
inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun
hingga 50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek
samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien
SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika
NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih
NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu
NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping
toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka
dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari
manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).
Efek antiinflamasi dan analgesik aspirin dapat digunakan untuk pengobatan demam,
artritis, pleuritis, dan perikarditis. Dosis yang digunakan adalah 1,5 g sehari. Selain itu
dosis rendah aspirin (6080 mg sehari selama kehamilan minggu ke-1326) yang
dikombinasikan dengan heparin dapat digunakan pada pasien SLE yang mengalami
kehamilan dengan sindrom antifosfolipid antibodi melalui hambatan pembentukan

tromboksan-A2 Pemberian aspirin dapat dilakukan bersama dengan makanan, air


dalam jumlah besar, atau susu untuk mengurangi efek samping pada saluran cerna.
Aspirin diabsorpsi di dalam saluran cerna sebesar 80-100% dari dosis oral. Di dalam
tubuh, aspirin mengalami hidrolisis menjadi metabolitnya yaitu salisilat. Obat ini
didistribusikan secara cepat dan luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh dan
mempunyai ikatan yang lemah dengan protein plasma. t 1/2 aspirin 15 20 menit. Apirin
diekskresi di dalam urin dalam bentuk metabolit salisilat, hanya 1% dari dosis oral yang
diekskresikan sebagai aspirin tidak terhidrolisis melalui urin (McEvoy,2002).
Enzim fosfolipase
Dihambat kortikosteroid
Asam arakidonat
Enzim siklooksigenase
Enzim lipoksigenase
Hidroperoksid
Leukotrien
Endoperoksid
PGG2/PGH
PGE2,PGF2,PGD2
Tromboksan A2
Prostasiklin
Dihambat NSAID
Trauma/luka pada sel
Gangguan pada membran sel
Fosfolipd
Gambar 2-3. Biosintesis prostaglandin (Ganiswarna, 1995)
NSAID mempunyai efek samping nefrotoksik karena NSAID dapat menghambat
prostaglandin PGE2 dan prostasiklin PGI2 yang merupakan vasodilator kuat yang
disintesa di dalam medulla dan glomerolus ginjal berfungsi mengontrol aliran darah
ginjal serta ekskresi garam dan air. Adanya hambatan dalam sintesis prostaglandin di
ginjal menyebabkan retensi natrium, penurunan aliran darah ginjal dan kegagalan
ginjal. NSAID juga dapat menyebabkan interstitial nefritis dan hiperkalemia (Neal,
2002). Oleh karena itu penggunaan NSAID sebaiknya dihentikan pada pasien yang
diduga lupus nefritis. Selain itu NSAID dapat merusak mukosa gastrointestinal,
kerusakan ini lebih disebabkan oleh hambatan sintesa prostaglandin oleh NSAID
daripada mekanisme lokal secara langsung. Dengan menghambat prostaglandin,

NSAID merusak barier perlindungan mukus sehingga mukosa terpapar oleh asam
lambung dan menyebabkan ulserasi. (Neal, 2002). Karena efek samping tersebut di
atas maka pemberian NSAID sebaiknya dikombinasi dengan obat gastroprotektif
(Rahman, 2001).
Tabel II.2 NSAID lain yang digunakan pada SLE (Herfindal et al., 2000;
Burnham et al., 2001)
Obat
Dosis
Frekuensi Bioavai Half life Ikatan
Eks.
Eks.
sehari (mg)
Feses
labilitas (hours) Protein Renal
(%)
(%)
(%)
(%)
Diklofenak
100-200
BID-QID 50-60 2
> 99
65
Etodolac
400-900
BID-QID > 80
7,3
90
60
33
Fenoprofen 1200-3200 TID-QID NS
3
99
90
Flurbiproven 200-300
BID-TID NS
5,7
> 99
> 70
Ibuprofen
1200-3200 TID-QID > 80
1,8-2 99
45-79
Indometasin 50-200
BID-QID 98
4.5
> 99
60
33
Ketoprofen
150-300
TID-QID 90
2,1
90
80
Ketolorac
20-40
TID-QID 100
5-6
> 99
91
6
Meklofenamat 200-400
QID
NS
1,3
99
70
30
Nabumeton 500-2000 BID-QID > 80
22,5
> 99
80
9
Naproxen
500-1100 BID
95
12-17 > 99
95
Oxaprosin
600-1800 QID
95
42-50 > 99
65
35
Piroksikam
10-20
QID
NS
50
98,5
NS
NS
Sulindac
200-400
BID
90
7,8
> 93
50
25
Tolmetin
600-2000 QID
NS
2-7
NS
~ 100
Celecoxib
200-400
BID-QID NS
11
97
27
57
Keterangan : NS = Not Studied
2.3.2.2 Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia,
lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan
organ-organ penting.
Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom
sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu
serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan
aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1
dan tumor necrosing factor
(TNF- ).

Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi


dan
kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika
pasien memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama
beberapa bulan
sampai
manifestasi
SLE
teratasi. Sebelum pengobatan
dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis
rendah dua atau tiga kali per minggu.
Sekitar 90% pasien kambuh setelah
3 tahun penghentian obat
(Herfindal et al., 2000).
Obat malaria yang sering digunakan adalah :
Klorokuin
Klorokuin mempunyai indeks terapetik yang sempit sehingga tidak dianjurkan
pemberian secara parenteral untuk anak-anak. Dosis yang digunakan 150 mg (250 mg
klorokuin fosfat) per hari. Efek samping yang terjadi meliputi ocular toksisitas (keratopati
dan retinopati), saluran cerna, SSP, kardiovaskular, dll. Sebaiknya diberikan bersama
dengan makanan karena bioavailabilitasnya bagus (absorpsi meningkat). Secara luas
didistribusikan di seluruh tubuh, mengikat
sel-sel yang mengandung melanin yang
terdapat dalam kulit dan mata, 50% 65% terikat dengan protein plasma. Diekskresi
secara lambat di ginjal dan yang tidak terabsorpsi diekskresi dalam feses (McEvoy,
2002).
Hidroksiklorokuin
Dosis yang digunakan 155 310 mg (200 400 mg hidroksiklorokuin sulfat). Efek
samping yang terjadi sama dengan klorokuin tetapi kardiomiopati jarang terjadi.
Didistribusikan ke dalam air susu ibu (ASI) (McEvoy, 2002).
2.3.2.3 Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap
penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid.
Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau
subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional.
Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan
enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak
terbentuk mediator mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin,
dan tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya
inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang
bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari
kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit,
menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi
kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan

memproduksi interleukin-1, TNF-, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen


(Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk antiinflamasi,
imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang
abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya
menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk
mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang
timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil
prednisolon dalam bentuk intravena (10 30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini
diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan perbaikan
yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan
penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik
pada 4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid.
Kadar komplemen dan
antibodi DNA dalam serum menurun dalam
1 sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas
hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam 5 sampai 19
hari.
Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya
lebih pendek dan lebih mudah apabila akan diganti kealternate-day therapy. Jika tujuan
terapi sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan
gejala yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama
paling sedikit 2 minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika
penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka dilakukan tapering
dosis menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian.
Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan melakukan tapering dosis prednison 20
mg per hari atau kurang dan penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati
karena dapat terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).
Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar
(contoh
demam, atralgia, lemas atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah
yaitu dengan penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan
organ-organ besar selama penyebaran
(contoh nefritis) tidak selalu
dipertimbangkan untuk melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih
efektif untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).
Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau
hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa

darah selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun
sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu
penyebab kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang
menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi
kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari
tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien SLE terapi
kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D
(Rahman, 2001).
2.2.3.4 Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik
bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas
mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang
menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi.
Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan
antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat
berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia
dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC,
hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval
pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi
penyakit.
Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan
meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis.
Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada penderita
lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari
penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid.
Obat ini mengalami absorpsi sebesar 74 22% dari dosis oral. Siklofosfamid
dimetabolisme oleh hepatic microsomal mixed-function oxidasemenjadi bahan yang
aktif. Obat ini mempunyai ikatan dengan protein plasma
sebesar 13%, sedangkan metabolitnya 50%. Eliminasi melalui ginjal untuk obat dalam
bentuk utuh sebesar 6,5 4,3% dan 60% dalam bentuk metabolit. t 1/2 7,4 4 jam.
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan
alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat
antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada
wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000).
2.3.2.5 Obat lain

Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain
adalah
azatioprin, intravena gamma globulin, monoklonal antibodi, terapi hormon, mikofenolat
mofetil dan pemberian antiinfeksi.
Azatioprin
Penggunaan azatioprin pada pengobatan pasien SLE ditujukan apabila pasien
mengalami intoleran siklofosfamid. Dosis yang digunakan pada pasien SLE 2 3 mg/kg
BB per hari. Mekanisme kerja azatioprin meliputi menurunkan limfosit sel B dan sel T
dalam sirkulasi, sintesis IgM dan IgG, sekresi IL-2, serta gangguan ribonukleotida
adenin dan guanin melalui supresi sintesis asam inosinat (Clements and Furst, 1994).
Pada penggunaannya dapat dikombinasikan dengan steroid (Rahman, 2001). Apabila
penyakitnya sudah terkontrol maka dilakukan tapering steroid sampai dosis serendah
mungkin setelah itu baru dilakukan tapering azatioprin. Pasien dengan terapi azatioprin
harus dimonitor toksisitas limforetikuler atau hemopoitik setiap 2 minggu pada 3 bulan
pertama terapi sambil dilakukan penyesuaian dosis. Selain itu juga dilakukan monitoring
fungsi hati setiap 6 bulan (Herfindal et al., 2000). Azatioprin diserap baik di saluran
cerna dan dimetabolisme menjadi merkaptopurin. Efek imunosupresan dari azatioprin
muncul dalam beberapa hari sampai beberapa minggu dan masih berlanjut ketika obat
sudah dihentikan. Tidak ada hubungan antara konsentrasi dalam serum dengan
efetivitas atau toksisitasnya. Merkaptopurin dan sejumlah kecil obat dalam bentuk utuh
diekskresikan melalui urin. t 1/2 azatioprin 9,6 4,2 menit, sedangkan merkaptopurin 0,9
0,37 jam (Katzung, B.G., 2006). Azatioprin mempunyai efek samping pada saluran
cerna dan supresi sumsum tulang. Apabila supresi sumsum tulang sudah muncul maka
pengobatan dihentikan atau dosisnya dikurangi. Blood count harus dimonitor secara
rutin. Pada pemakaian kronik dapat meningkatkan resiko hematopoitik dan kanker
limforetikuler. Efek samping lain yaitu infeksi herpes zoster, kemandulan, hepatotoksik
(Herfindal et al., 2000).
Metotreksat
Merupakan analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat reduktase, memblok
pembentukan DNA, dan menghambat sintesis purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis
7,5 15 mg secara oral satu kali seminggu (Herfindal et al., 2000). Pada pemakaian
oral absorpsi obat bervariasi dan tergantung dosis tetapi rata-rata 30%. Obat ini
didistribusikan secara luas ke dalam jaringan melalui mekanisme transpor aktif dengan
konsentrasi terbesar berada dalam ginjal, limpa, hati, kulit, dan saluran kemih.
Lebih dari 90% dari dosis oral diekskresikan
melalui ginjal dengan mekanisme transpor aktif dan filtrasi glomerolus dalam waktu 24
jam. t1/2 metotreksat pada terapi dosis rendah (kurang dari 30 mg/m2) adalah 3-10 jam

sedangkan pada terapi dosis tinggi 8-15 jam (McEvoy, 2002). Efek samping metotreksat
meliputi defisiensi asam folat, gangguan gastrointestinal dengan stomatitis atau
dispepsia, teratogenik (Brooks, 1995).
Intravena gamma globulin
Intravena gamma globulin digunakan purpura trombositopenia idiopatik, sindroma
Gillae-Barre, miastenia gravis, sindroma Kawasaki, dan penyakit autoimun lain.
Mekanisme kerja gamma globulin sangat kompleks meliputi perubahan ekspresi dan
fungsi reseptor Fc, menganggu aktivasi komplemen dan sitokin, menyediakan antibodi
antiidiopatik, dan mempengaruhi aktivasi, diferensiasi, dan fungsi efektor dari sel T dan
sel B. Komponen-komponen dalam intravena gamma globulin yaitu molekul IgG yang
utuh, IgA, CD4, CD8, molekul HLA, dan sitokin (Kazatchkine and Kaveri, 2001). Dosis
yang digunakan 1-2 g/kg BB (Katzung, 2006). Intravena gamma globulin mempunyai
t1/2 21-29 hari (McEvoy, 2002). Efek samping intravena imunoglobulin adalah mual,
muntah, mialgia, letih, sakit kepala, urtikaria, hipertensi, dll. (McEvoy, 2002).
Terapi hormon
Dehidroepiandrosteron (DHEA) merupakan hormon pada pria
yang
diproduksi pada saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan.
Hormon ini
kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan
menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang
rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit yang ringan saja dan
mempunyai efek samping jerawat
dan
pertumbuhan rambut
(Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan
pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF- serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan
untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme secara in vivo
belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001).
Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat
menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah
virus herpes
zoster, Salmonella,
dan Candida (Isenberg and Horsfall,
1998).
Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin
secara oral 800 mg lima kali sehari selama 5 7 hari. Salmonella dapat diterapi dengan
antibiotik golongan kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung,
2002). Sedangkan golongan penisilin dan sefalosporin tidak digunakan karena
menyebabkan rash yang sensitif sehingga

dapat memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi
dari Candida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan
itrakonazol (Katzung, 2002).
Mikofenolat mofetil
Efektif pada lupus nefritis terutama pada pasien yang tidak menunjukkan respon dan
intoleran terhadap siklofosfamid. Mikofenolat mofetil mempunyai mekanisme kerja
antara lain menekan secara selektif proliferasi limfosit T dan B, pembentukan antibodi,
menghambat sintesis purin dan deplesi monosit dan limfosit (Chan et al., 2000). Selain
itu mikofenolat mofetil merupakan selektif, reversibel, dan inhibitor nonkompetitif dari
enzim inosine monophosphate dehydrogenase (IMPDH) yaitu enzim yang berperan
dalam sintesis de novo nukleotida guanosin dari limfosit sel B dan T (Sanquer, et al.,
1999). Toksisitas dari mikofenolat mofetil meliputi gangguan saluran cerna (mual dan
muntah, diare, dan nyeri abdomen) dan supresi myeloid (terutama neutropenia)
(Katzung, 2002) tetapi efek samping yang dimiliki tetap lebih rendah daripada
siklofosfamid serta tidak mempunyai efek mutagenik (Chan et al., 2000). Dosis yang
diberikan dua kali sehari sebesar 1 g dan setelah 12 bulan pemakaian dihentikan,
diganti dengan azatioprin (Rahman, 2001).

También podría gustarte