Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
CASE REPORT
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Sdr. I
Usia
: 17 Tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
Pekerjaan
: Siswa SMA
Status perkawinan
: Belum Menikah
No. RM
: 3298xx
Tgl masuk RS
: 22 Februari 2015
Tgl pemeriksaan
: 23 Februari 2015
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Panas
Riwayat Penyakit Sekarang:
: disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
: disangkal
: disangkal
1
Riwayat mondok
: disangkal
: disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
: disangkal
: disangkal
Riwayat Kebiasaan:
Riwayat jarang membersihkan bak kamar mandi
: disangkal
: diakui
Riwayat merokok
: disangkal
Sistem Cardiovascular
Sistem Respiratorius
Sistem Genitourinarius
berdebar-debar (-)
Batuk (-), sesak napas (-), mengi (-)
BAK anyang-anyangan (-), nyeri di atas
Sistem Gastrointestinal
dbn
Sistem Musculosceletal Badan terasa lemes (+), pegal-pegal (+),
Sistem Integumentum
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan Umum : Cukup
2
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan Darah
: 110/90 mmHg
Nadi
: 88 x/ menit
Pernapasan
: 20 x/ menit
Suhu
: 36,8C
Berat badan
: 55 Kg
Tinggi badan
: 160 cm
Keadaan Gizi
: Baik
2. Status interna
-
Kepala
Sianosis (-), reflek cahaya pupil (+/+), ukuran 3mm, pupil isokor (+)
-
Leher
Thorax
Paru
Inspeksi
Hasil pemeriksaan
Dada kanan dan kiri simetris, tidak ada ketinggalan
gerak, pelebaran costa (-), retraksi (-), bentuk dada
Palpasi
normal
Tidak ada nafas yang tertinggal, Fremitus dada
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Hasil pemeriksaan
Dinding dada pada daerah pericordium tidak
cembung / cekung, tidak ada memar maupun
Palpasi
Perkusi
Abdomen
Abdomen
Inspeksi
Hasil pemeriksaan
Perut sejajar dengan dinding dada, distended (-),
Auskultasi
Palpasi
sikatriks (-)
Suara peristaltik (+)
Nyeri tekan (-), defans muskuler (-), hepar dan lien
Perkusi
tidak teraba
Timpani
Ekstremitas
Ekstremitas Superior Dextra
Ekstremitas Superior Sinistra
Ekstremitas Inferior Dextra
Ekstremitas Inferior Sinistra
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
MPV
PDW
INDEX
MCV
MCH
22 Februari 2015
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
15,2
42,4
2,61 (L)
40 (L)
4,69
7,1
15,6
12,00 16,00
37,00 47,00
5-10
150-300
4,00 5,00
6,5 12,00
9,0 17,0
g/dl
%
103/ ul
103/ ul
103/ ul
fL
82,1
29,1
82,0 92,0
27,0 31,0
fL
Pg
4
MCHC
HITUNG JENIS
Limfosit%
Monosit%
Eosinofil%
Basofil%
Gran%
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
MPV
PDW
INDEX
MCV
MCH
MCHC
HITUNG JENIS
Limfosit%
Monosit%
Eosinofil%
Basofil%
Gran%
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
MPV
PDW
INDEX
MCV
MCH
MCHC
HITUNG JENIS
Limfosit%
Monosit%
Eosinofil%
35,9
32,0 37,0
g/dl
11,5 (L)
7,9
0,8
0,4
56,54
25,0 40,0
3,0 9,0
0,5 5,0
0,0 1,0
50,0 70,0
%
%
%
%
%
23 Februari 2015
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
15,2
34,00 (L)
3,01 (L)
61 (L)
4,70
7,0
14,16
12,00 16,00
37,00 47,00
5-10
150-300
4,00 5,00
6,5 12,00
9,0 17,0
g/dl
%
103/ ul
103/ ul
103/ ul
fL
87,4
30,2
34,6
82,0 92,0
27,0 31,0
32,0 37,0
Fl
Pg
g/dl
18,00 (L)
6,3
0,4
0,2
68,00
25,0 40,0
3,0 9,0
0,5 5,0
0,0 1,0
50,0 70,0
%
%
%
%
%
24 Februari 2015
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
14,4
35,54 (L)
2,98 (L)
70 (L)
5,00
7,7
15,00
12,00 16,00
37,00 47,00
5-10
150-300
4,00 5,00
6,5 12,00
9,0 17,0
g/dl
%
103/ ul
103/ ul
103/ ul
fL
87,4
30,2
34,6
82,0 92,0
27,0 31,0
32,0 37,0
Fl
Pg
g/dl
23,34 (L)
6,3
1,8
25,0 40,0
3,0 9,0
0,5 5,0
%
%
%
5
Basofil%
Gran%
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
MPV
PDW
INDEX
MCV
MCH
MCHC
HITUNG JENIS
Limfosit%
Monosit%
Eosinofil%
Basofil%
Gran%
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
MPV
PDW
INDEX
MCV
MCH
MCHC
HITUNG JENIS
Limfosit%
Monosit%
Eosinofil%
Basofil%
Gran%
0,6
67,78
0,0 1,0
50,0 70,0
25 Februari 2015
Hasil
Nilai Rujukan
%
%
Satuan
15,4
40,50
4,31 (L)
74 (L)
5,32
8,1
16,5
12,00 16,00
37,00 47,00
5-10
150-300
4,00 5,00
6,5 12,00
9,0 17,0
g/dl
%
103/ ul
103/ ul
103/ ul
fL
86,5
28,9
35,8
82,0 92,0
27,0 31,0
32,0 37,0
Fl
Pg
g/dl
25,0
6,5
1,8
0,6
69,00
25,0 40,0
3,0 9,0
0,5 5,0
0,0 1,0
50,0 70,0
%
%
%
%
%
26 Februari 2015
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
15,2
42,6
5,51
113 (L)
5,32
8,7
16,3
12,00 16,00
37,00 47,00
5-10
150-300
4,00 5,00
6,5 12,00
9,0 17,0
g/dl
%
103/ ul
103/ ul
103/ ul
fL
84,0
28,6
35,7
82,0 92,0
27,0 31,0
32,0 37,0
Fl
Pg
g/dl
31,9
5,5
1,8
0,4
68,9
25,0 40,0
3,0 9,0
0,5 5,0
0,0 1,0
50,0 70,0
%
%
%
%
%
E. DIAGNOSIS
F. PENATALAKSANAAN
-
G. PROGNOSIS
Quo ad vitam
: ad bonam
Quo ad functionam
: ad bonam
Quo ad sanam
: ad bonam
H. FOLLOW UP
23-022015
S/
P/
Pasien mengeluh panas. Keluhan panas
- Inf. RL 1 flab grojok
dirasakan sejak kurang lebih 3 hari yang
dilanjut Inf. RL 30
lalu. Panas meningkat tidak menentu,
tpm
kadang pagi sore atau malam hari. Panas
1
tidak disertai mengigil. Panas disertai - Inj. Ranitidine
amp/12 jam
DR / Pagi
24-022015
S/
P/
Pasien mengeluh panas (-). Panas disertai
- Inf. RL 30 tpm
dengan nyeri kepala (+) berkurang, mual
(+), nyeri daerah mata (+) berkurang, - Inj. Ceftriaxone
gr/12 jam
25-022015
2015
Inj. Ranitidine
(-)
amp/12 jam
O/
TD: 110/80
N: 84
- Inj. Pragesol 1amp/8
S: 36,5
RR: 20
KU: cukup, CM
jam
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-)
Tho: SDV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
DR / Pagi
BJ I/II murni reguler, galop(-)
Abd: NT (-)
Eks: oedem tungkai (-/-)
A/
Susp. DHF
S/
P/
Pasien mengeluh panas (-). Panas disertai
- Inf. RL 30 tpm
dengan nyeri kepala (-), mual (+), nyeri
daerah mata (-), pegal-pegal pada tangan - Inj. Ceftriaxone 1
gr/12 jam
26-02-
Inj. Ranitidine
amp/12 jam
-
DR / Pagi
P/
-
Inf. RL 30 tpm
Inj.
gr/12 jam
Ceftriaxone
Inj. Ranitidine
amp/12 jam
8
S: 36,2
RR: 20
KU: cukup, CM
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-)
Tho: SDV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
BJ I/II murni reguler, galop(-)
Abd: NT (-)
Eks: oedem tungkai (-/-)
A/
DHF Derajat I
BLPL
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh
virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. 7 DBD adalah salah satu
manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.
yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang
sama.
3. DBD (dengan atau tanpa renjatan)
B. ETIOLOGI
Virus dengue termasuk familia Flaviridae, dari genus Flavivirus. Atas dasar
ekologinya Flavivirus disebut Arbovirus atau virus athropoda-borne untuk menunjukkan
bahwa virus ini ditransmisikan oleh serangga6. Semua Flavivirus memiliki kelompok
epitop pada selubung protein yang menimbulkan terjadinya cross reaction (reaksi silang)
pada uji serologis, hal ini menyebabkan diagnosis pasti uji serologis sulit ditegakkan.
Ada 4 serotipe dari virus dengue yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4. Infeksi salah satu
serotipe virus Den akan menghasilkan antibodi protektif untuk serotipe tersebut pada
waktu yang lama, tetapi tidak ada cross protection (perlindungan silang) terhadap
serotipe virus Den yang lain6.
C. EPIDEMIOLOGI DEMAM BERDARAH DENGUE
Secara epidemiologi dikenal 2 bentuk dengue yaitu:
a. Bentuk klasik, dengan gejala panas 5 hari, disertai sakit kepala, nyeri otot, sendi dan
tulang. Penurunan jumlah thrombosit dan ruam-ruam banyak dijumpai kasusnya di
negara-negara kawasan Asia tenggara (Indonesia, Filipina, Malaysia, Vietnam), secara
endemik.
b. Bentuk epidemik, dikenal dengan nama Dengue hemorrhagic fever (DHF). Di
Indonesia penyakit ini dikenal dengan sebutan penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) dengan gejala demam dengue disertai dengan pembesaran hati dan tanda-tanda
perdarahan. Epidemik DBD dapat terjadi secara berulang-ulang. Sejak kasus DBD
pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968 (epidemi terjadi pertama kali di
Batavia 1779), jumlah kasus DBD cenderung meningkat. Angka insiden DBD di
Indonesia terus meningkat setiap 5-10 tahun (Farouk, 2004).
Menurut World Health Organization (2005) demam berdarah dengue dapat dilihat
berdasarkan karakteristik epidemiologi, antara lain:
a.
sepanjang hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe yang sama, tetapi hanya menjadi
pelindung sementara dan parsial terhadap serotipe yang lain.
Virus-virus dengue dapat menunjukkan banyak karakteristik yang sama dengan
flavivirus lain, mempunyai genom RNA rantai tunggal yang dikelilingi oleh
nukloekapsid ikosahendral dan terbungkus oleh selaput oleh selaput lipid. Virionnya
mempunyai diameter kira-kira 50 nm. Genom flavvirus mempunyai panjang kira-kira
11 kb (kilobases), dan urutan genom lengkap dikenal untuk mengisolasi keempat
serotipe, mengkode nukleokapsid atau protein inti (C), protein yang berkaitan dengan
membran (M), dan protein pembungkus (E) dan tujuh gen protein (NS). Domaindomain bertanggung jawab untuk netralisasi, fusi, dan interaksi dengan reseptor virus
berhubungan denagn protein pembungkus.
b.
Vektor
Aedes aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling efisien untuk
arbovirus, karena nyamuk ini sangat antropofilik, hidup dekat manusia dan sering
hidup di dalam rumah. Wabah dengue juga telah disertai dengan Aedes albopictus,
Aedes polynesiensis, dan banyak spesies kompleks Aedes scutellaris. Setiap spesies
ini mempunyai distribusi geografisnya masing-masing. Namun, mereka adalah vektor
epidemik yang kurang efisien dibanding Aedes aegypti. Sementara penularan vertikal
(kemungkinan transovarian) virus dengue telah dibuktikan di laboratorium dan di
lapangan, signifikansi penularan ini untuk pemeliharaan virus belum dapat
ditegakkan. Faktor penyulit pemusnahan vektor adalah bahwa telur Aedes aegypti
dapat bertahan dalam waktu lama terhadap desikasi (pengawetan dan pengeringan),
kadang selama lebih dari satu tahun.
c.
Penjamu (Host)
Pada manusia, masing-masing keempat serotipe virus dengue mempunyai
hubungan dengan demam berdarah dengue. Studi di Kuba dan Thailand telah
menunjukkan bahwa hubungan yang tinggi secara konsisten antara infeksi DEN-2 dan
demam berdarah dengue, tetapi epidemik pada tahun 1976-1978 Indonesia, 19801982 Malaysia, 1989-1990 Tahiti, dan dari tahun 1983 seterusnya di Thailand, DEN-3
adalah serotipe predominan yang ditemukan dari pasien dengan penyakit berat. Pada
wabah tahun 1984 di meksiko, 1986 Puerto Rico, dan tahun 1989 El Salvador, DEN-4
paling sering diisolasi dari pasien demam berdarah dengue. Menurut Kardinan (2007)
seseorang yang pernah terinfeksi oleh salah satu serotypes biasanya kebal terhadap
serotypes tersebut dalam jangka waktu tertentu, namun tidak kebal terhadap serotypes
11
perlindungan sementara terhadap ketiga serotipe lainnya, dan infeksi sekunder atau
sekuensial mungkin terjadi setelah waktu singkat.
d.
Lingkungan (Environment)
Kesehatan lingkungan mempelajari dan menangani hubungan manusia dengan
lingkungan dalam keseimbangan ekosistem dengan tujuan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang optimal melalui pencegahan terhadap penyakit dan
gangguan kesehatan dengan mengendalikan faktor lingkungan yang dapat
menyebabkan timbulnya penyakit. Interaksi lingkungan dengan pembangunan saat ini
maupun yang akan datang saling berpengaruh (Fathi et al., 2005).
1) Kondisi Geografis
a) Ketinggian dari permukaan laut
Setiap kenaikan ketinggian 100 meter maka selisih suhu udara dengan tempat
semula adalah 0,5C. Bila perbedaan tempat cukup tinggi, maka perbedaan
suhu udara cukup banyak dan akan mempengaruhi faktor-faktor penyebaran
nyamuk, siklus pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk dan musim
penularan (Dit. Jen. PPM dan PL, 2004)
Distribusi Aedes aegypti juga dibatasi oleh ketinggian, nyamuk ini tidak
ditemukan diatas ketinggian 1000 m tetapi telah dilaporkan pada ketinggian
2121 m di India, pada 2200 m di Kolombia, dimana suhu rata-rata tahunan
adalah 17oC, dan pada ketinggian 2400 m di Eritea (World Health
Organization, 2005).
b) Curah hujan
Curah hujan yang lebat menyebabkan nisbi udara dan menambah jumlah
tempat perkembangbiakan (breeding places). Pengaruh hujan berbeda-beda
menurut banyaknya hujan dan keadaan fisik daerah. Terlalu banyak hujan akan
menyebabkan banjir dan terlalu kurang hujan akan menyebabkan kekeringan,
12
meningkatan
penularan
demam
berdarah
(World
Health
Organization, 2005).
2) Kondisi Demografis
a)
Kepadatan penduduk
b) Mobilitas penduduk
Kasus pandemi yang terjadi secara global yang terjadi di Asia Tenggara saat
terpecahnya Perang Dunia ke-II selama dua dekade sampai mempengaruhi
berbagai negara kecuali Antartika. Kondisi seperti ini dapat merespon
terjadinya DBD karena adanya perpindahan penduduk, travel international
(mobilitas penduduk), ketidaksetimbangan infrastruktur. Hal ini sebagai latar
belakang terjadinya penyebaran DBD secara cepat yang menjadi masalah
kesehatan masyarakat secara global (Simon et al, 2004).
c) Sanitasi lingkungan
Kondisi sanitasi lingkungan berperan besar dalam perkembangbiakan nyamuk
Aedes aegypti, terutama apabila terdapat banyak kontainer penampungan air
hujan yang berserakan dan terlindung dari sinar matahari, apalagi berdekatan
dengan rumah penduduk. Sikap masyarakat terhadap penyakit DBD, yaitu
semakin masyarakat bersikap tidak serius dan tidak berhati-hati terhadap
penularan penyakit DBD akan semakin bertambah risiko terjadinya penularan
penyakit DBD. Tindakan pembersihan sarang nyamuk meliputi tindakan:
masyarakat menguras air kontainer secara teratur seminggu sekali, menutup
rapat kontainer air bersih, dan mengubur kontainer bekas seperti kaleng bekas,
gelas plastik, barang bekas lainnya yang dapat menampung air hujan sehingga
menjadi sarang nyamuk (dikenal dengan istilah tindakan 3M) dan tindakan
abatisasi atau menaburkan butiran temephos (abate) ke dalam tempat
penampungan air bersih dengan dosis 1 ppm atau 1 gram temephos SG dalam
1 liter air yang mempunyai efek residu sampai 3 bulan.
d) Sosial ekonomi
Perilaku yang tidak baik karena belum menyadarinya akan pentingnya
hygiene lingkungan dan diri masyarakat itu sendiri, dapat dipengaruhi oleh
tingkat sosial ekonomi. Akibat dari kesulitan ekonomi, masyarakat cenderung
mengobati sendiri penyakit yang di deritanya seperti demam atau pusing.
Akibatnya mereka baru pergi ke dokter ketika penyakit DBD yang dideritanya
sudah parah sehingga menyulitkan proses penyembuhan (Lestari dan Sungkar,
2005).
e) Tingkat pengetahuan DBD
14
15
permeabilitas
pembuluh
darah,
sehingga
mengakibatkan
keadaan
E. PATOFISIOLOGI
Virus demam berdarah akan masuk ke dalam makrofag. Menurut antibody dependent
enhancement, antigen infeksi pertama pada makrofag justru menjadi semacam opsonisasi
untuk memfasilitasi virus menempel ke permukaan makrofag dan masuk ke dalamnya.
Makrofag akan melepaskan monokin, sitokin, histamine, dan interferon, yang akan
mengakibatkan celah endotel melebar, selanjutnya terjadi kebocoran cairan intravaskular
ke ruang eks-travaskular. Konsekuensinya, terjadi hipovolemia, hemokonsentrasi, tubuh
lemah, edema, dan kongesti visceral. Perenggangan celah antar sel endotel dapat juga
disebabkan oleh virus dengue itu sendiri. Saat sel endotel terinfeksi DV, terjadi
kerusakan sel endotel. Akan tetapi pelebaran celah sel endotel terutama disebabkan oleh
pelepasan sitokin inflamasi.
Adapun mekanisme hipotesis antibody dependent enhancement dijelaskan sebagai
berikut :
16
17
18
trombositopeni,
dan
trombositopeni
mendahului
plasma
leakage.
Pemeriksaan serologi baru dapat terdeteksi setelah hari kelima, karena disitu
kemungkinan besar konsentrasi antibodi cukup di atas batas deteksi alat. Sedangkan
pemeriksaan antigen NS1 dapat dilakukan dari H-1 sampai dengan hari keempat, kadar
optimal NS1 adalah pada hari ketiga. Pemeriksaan antigen NS1 ada dua, yaitu dengan
ELISA dan rapid test. Pemeriksaan dengan ELISA lebih akurat tetapi membutuhkan
waktu yang lama (4 jam). Sedangkan pemeriksaan dengan rapid test hanya mebutuhkan
waktu 5 menit.
NS1 merupakan non structure protein yang terdapat pada permukaan virus,
merupakan antigen yang letaknya paling luar sehingga paling mudah terdeteksi dan
merupakan biang kerok utama manifestasi respon imun yang telah diterangkan
sebelumnya.
Menurut penemu alat rapid test untuk NS1 ini, hari ketiga merupakan puncak kadar
NS1 sehingga paling memungkinkan deteksi NS1 pada hari itu. Akan tetapi setelah hari
kelima, jumlah antigen sudah menurun sampai tidak bisa terdeteksi. Untuk antibodi,
dapat dideteksi setelah kelima demam.
Pemeriksaan NS1 tidak bisa menggantikan pemeriksaan antibodi. Akan tetapi tidak
dapat menentukan infeksi yang terjadi primer atau sekunder. Kita juga telah melupakan
uji tourniquet. Padahal uji tourniquet merupakan uji yang paling sederhana dan spesifik
untuk DBD. Perbedaan antara demam dengue dengan demam berdarah dengue, pada
DBD sudah pasti terjadi plasma leakage, sedangkan pada demam dengue tidak terjadi.
F. DIAGNOSIS
19
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini
terpenuhi:2,5,9
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif; petekie,
ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis
kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:2,5,9
Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah uji torniquet.
Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain.
Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut
kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
Keempat derajat tersebut ditunjukkan pada gambar 3.
20
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah
trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai
gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai
pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai
hari ke 3 demam.5
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan
koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer,
atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT,
ureum/ kreatinin.
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostic melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga
jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun,
metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 1
2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang
dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui
pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan
RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan
isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi
yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak
digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti
dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai
minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai
terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari
ke 2.11
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan
antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1
diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan
21
dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam
darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat
terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi
primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan
antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO
menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan
primer.11
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat
dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan
pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks.
Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.5,9
H. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan
terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan,
hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun
laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya
terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses
kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke
intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain
pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang,
pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi
pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai. Terapi nonfarmakologis yang
diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat) dan pemberian
makanan dengan kandung-an gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau
bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan
antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi
keluhan
berisiko
terjadinya
(lambung/duodenum).
Protokol
perdarahan
pemberian
pada
saluran
cairan
cerna
sebagai
bagaian
komponen
atas
utama
22
23
24
kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan
hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan 7
dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih
besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan
alergi yang rendah (contoh: hetastarch).15,16 Penelitian cairan koloid diban-dingkan
kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter
stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada
kedua jenis cairan.17,18 Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan
penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia
telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi. Jumlah cairan yang diberikan sangat
bergantung dari banyaknya kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses
tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan
untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran
plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50
kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma
yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi
secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang stabil adalah
antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu
dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah
cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain
yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis.
Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan
secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik
stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat
protokol pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara
adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan
hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.
26
BAB III
PEMBAHASAN
Sdr. I, laki-laki berusia 17 tahun mulai rawat inap tanggal 22 Februari 2015 di RSUD
Karanganyar dengan keluhan panas sejak tanggal 20 Februari 2015 pada siang hari. Panas
sempat turun pada sabtu pagi dan minggu siang setelah periksa ke dokter. Namun pada
minggu sore pasien mengeluhkan panas kembali. Sdr. I juga mengeluh nyeri kepala, nyeri
sekitar mata, mual, nyeri ulu hati, serta pegal-pegal. Pemeriksaan fisik ditemukan uji rumple
leed (+) pada lengan kiri pasien. Hasil laboratorium terdapat penurunan hematokrit setelah
mendapat resusitasi cairan, trombosit menurun, serta leukosit menurun.
Berdasarkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien
didiagnosis DHF derajat 1. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh WHO bahwa
diagnosis DHF terdiri dari kriteria klinis dan kriteria laboratoris.
Kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:2,5,9
1.
2.
3.
4.
diberikan terapi cairan secara intravena untuk tetap mempertahankan sirkulasi serta
mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma. Sebagai terapi simptomatis juga
diberikan ceftriaxone, ranitidine, pragesol.
27
Prognosis pada pasien ini adalah baik, karena penegakkan diagnosis dilakukan sejak
dini. Penatalaksanaan penyakit tetap mengutamakan terapi cairan untuk mempertahankan
sirkulasi dan memberikan pengobatan secara medikamentosa untuk mengatasi symptom.
DAFTAR PUSTAKA
28
11. Sutaryo. Perkembangan patogenesis demam berdarah dengue. Dalam: Ha-dinegoro SRH,
Satari HI, editor. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 1999.p.32-43
12. Nainggolan L. Reagen pan-E dengue early capture ELISA (PanBio) dan platelia dengue
NS1 Ag test (BioRad) untuk deteksi dini infeksi dengue. 2008
13. Stoelting RK, Miller RD. Basics of anestesia. 4th ed. New York:Churchill Livingstone,
2000.p.236-7
14. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New
York:Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2006.p.692-4
15. Kaaallen A J and Lonergan JM. Fluid resusciaation of acute hypovolemic hypoperfusion
status in pediatrics. Pediat Clin N Amer 1990; 37(2):287-94
16. Venu Goppal Reddy. Crystalloids versus colloids in hypovolemic shock. Proceedings of
5th Indonesian-International Symposium on Shock and Critical Care 26-33
17. Liolios A. Volume resuscitation: the crystalloid vs colloid debate revisited. Medscape
2004. Available from: URL:http://www.medscape.com/viewarticle/480288
18. Wills BA, Nguyen MD, Ha TL, Dong TH, Tran TN, Le T, et al. Comparison of three fluid
solutions for resuscitation in dengue shock syndrome. N Engl J Med 2005; 353:87789
19. Ngo NT, Cao XT, Kneen R, Wills B, Nguyen VM, Nguyen TQ, et al. Acute management
29