Está en la página 1de 3

1.

Agen Anti Muskarinik (Ipratropium Bromide)


a. Jenis dan Farmakodinamik
Obat ini merupakan jenis antagonis reseptor muskarinik. Ipratropium
bromida adalah antagonis kolinergik asetilkolin pada reseptor kolinergik, yang
memblok asetilkolin di saraf parasimpatetik otot bronkus, menyebabkan stimulasi
guanyl cyclase dan menekan peningkatan cGMP (mediator bronkokonstriksi),
sehingga menimbulkan bronkodilatasi. Aktivitas antimuskarinik pada otot bronkus
lebih besar dibandingkan pada kelenjar secret (Zunilda, 2007).
b. Farmakokinetik
Ipratropium diserap melalui mukosa saluran napas dan langsung bekerja pada
otot bronkus sehingga terlihat efeknya setelah 30-90 menit. Namun, obat yang
tertelan ketika disemprotkan umumnya akan ditemukan kembali di feses (Zunilda,
2007).
c. Sediaan dan dosis
Inhaler 20 mcg/semprot. Inhalation Solution 250 mcg/ml. Dosis yang digunakan
(Pramudianto, 2011) :
1) Inhaler 20-40 mcg, 3-4 kali sehari.
2) Anak s/d 6 th : 20 mcg 3 kali sehari; 6 -12 th : 20-40 mcg 3 kali sehari
3) Inhalation solution: 250 - 500 mcg, 3-4 kali sehari.
4) Anak s/d 6 th : 125-250 mcg, dapat diulang tiap 4-6 jam, dosis maksimum
sehari 1 mg; 6-12 th : 250 mcg
d. Efek samping
Pada orang muda efek samping mulut kering, gangguan miksi, meteorisme
sering terjadi, tetapi tidak membahayakan. Pada orang tua dapat terjadi efek sentral
terutama berupa sindrom demensia. Memburuknya retensi urin pada pasien
hipertrofi

prostat

dan memburuknya

penglihatan

pada

pasien

galukoma,

menyebabkan obat ini kurang diterima. Bila diberikan parenteral, ipratropium


menimbulkan bronkodilatasi, takikardi, dan penghambatan sekresi seperti hal nya
atropine. Walaupun demikian, selektivitas hanya berlaku pada dosis rendah dan pada
dosis toksik semuanya dapat terjadi (Zunilda, 2007)
e. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi obat ini untuk terapi simptomatik bronkospasme yang reversibel,
berhubungan dengan obstruksi kronis saluran nafas. Sedangkan kontraindikasinya
dapat mengakibatkan hipersensitivitas. Terutama apabila dipakai dalam jangka
waktu yang lama (Pramudianto, 2011).
2. Metilxantin (Aminofilin, Teofilin)
a. Jenis dan Farmakodinamik

Aminofilin merupakan golongan bronkodilatro golongan derivat dari


metilxantin. Teofilin, kafein dan teobromin memiliki efek farmakologi yang sama
yaitu dapat menyebabkan relaksasi otot polos, terutama otot polos bronkus,
merangsang sistem saraf pusat, otot jantung, dan meningkatkan diuresis. Pada
dosis rendah dan sedang, metilxantin dapat menyebabkan sedikit cortical arousal
dengan peningkatan kewaspadaan dan rasa lelah, sedangkan pada dosis tinggi
dapat menyebabkan kegelisahan dan tremor terutama pada penggunaan aminopilin
pada penderita asma. Metilxantin juga dapat memiliki efek kronotropik dan
inotropik positif langsung pada jantung yang terjadi karena peningkatan rilis
katekolamin yang disebabkan oleh hambatan reseptor adenosine prasinaps
(Katzung, 2014).
Efek terapi dari metilxantin ini diduga tidak hanya terbatas pada jalan napas,
sebab mereka memperkuat kontraksi otot rangka terpisah pada penelitian in vitro,
dan mempunya efek kuat baik dalam memperbaiki kontraktilitas maupun dalam
memperbaiki kepenatan diafragma pada pasien dengan penyakit paru obstruksi
kronis. Teofilin mempunyai kemampuan untuk meningkatkan respon ventilasi
pada keadaan hipoksia dan mengurangi sesak, bahkan pada pasien dengan
obstruksi aliran udara yang ireversibel (Katzung, 2014).
b. Farmakokinetik
Metilxantin cepat diabsorbsi setelah pemberian secara oral, rectal atau
parenteral. Sediaan dalam bentuk cair atau tablet tidak bersalut akan diabsorbsi
secara cepat dan lengkap. Asorbsi juga berlangsung lengkap untuk beberapa jenis
sediaan lepas lambat. Absorbs teofilin dalam bentuk garam yang mudah larut,
seperti teofilin Na gkisinat atau teofilin kolin. Dalam keadaan perut kosong,
sediaan teofilin bentuk cair atau tablet tidak bersalut dapat menghasilkan kadar
puncak plasma dalam waktu 2 jam (Louisa, 2007).
Pada umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat
kecepatan absorbs teofilin tetapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorbs.
Metilxantin didistribusikan ke seluruh tubuh, dapat melewati plasenta dan masuk
ke air susu ibu. Volume distribusi nya antara 400 dan 600 ml/kg. eliminasi dari
metilxantin terutama melalui metabolisme dalam hati. Sebagian besar akan
diekskresikan bersama urin dalam bentuk asam metilurat atau metilxantin (Louisa,
2007).
c. Sediaan
Teofilin berbentuk kristal putih, pahit dan sedikit larut dalam air. Untuk
penggunaan oral, tersedia (Louisa, 2007) :

Kapsul
: 130 mg
Tablet
: 150 mg
Tablet salut selaput lepas lambat: 125 mg, 250 mg, 300 mg
Sirup
: 50 mg/5ml, 130 mg/15ml, 150 mg/15 ml
Ampul :10ml, mengandung 24 mg aminofilin setiap mililiternya.
d. Dosis
Kadar terapi teofilin sedikitnya 5-8 g/ml, sedangkan efek toksik mulai
terlihat pada kadar 15g/ml dan lebih sering pada dosis diatas 20 g/ml. Dosis
aminofilin diberikan 6 mg/kgBB diberikan secara infus selama 20-40 menit.
Setelah itu untuk efek yang optimalkan dipertahankan dengan pemberian infuse 0,5
mg/kgBB/jam untuk dewasa normal dan bukan perokok. Untuk anak-anak dan
orang dewasa perokok memerlukan dosis 0,8-0,9 mg/kgBB/jam. Teofilin oral bagi
orang dewasa adalah 400 mg/hari (Louisa, 2007).
e. Efek samping
Efek samping amino filin sendiri yaitu (Deglin, 2005):
a) SSP : gugup, ansietas, sakit kepala, insomnia, kejang
b) Kardiovaskular : takikardia, palpitasi, aritmia, angina pektoris
c) GI : mual, muntah, anoreksia, kram.
f. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi obat ini digunakan pada penyakit asma bronchial, PPOK (Penyakit
Paru Obstruktif Kronik) dan apnea pada bayi prematur. Sdangkan kontraindikasi
pada orang yang memiliki hipersensitifitas terhadap obat ini (Louisa, 2007).

DAPUS
Deglin, Judith Hopfer, April Hazard Vallerand. 2005. Pedoman Obat untuk Perawat. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Katzung, Bertram G, Susan B. Masters, dan Anthony J. Trevor. 2014. Farmakologi Dasar
dan Klinik. Jakarta : EGC.
Louisa, Melva dan Hedi R. Dewanto. 2007. Xantin : Farmakologi dan Terapi. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.
Pramudianto, A. & Evaria. 2011. MIMS Petunjuk Konsultasi, Edisi 11, Jakarta : UBM
Medica Asia Pte Ltd.
Zunilda. 2007. Agonis dan Antagonis Muskarinik : Farmakologi dan Terapi ed. 5. Jakarta :
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.

También podría gustarte