Está en la página 1de 26

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN


SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG SELATAN

RENCANA SKRIPSI

DESAIN PENERAPAN PERATURAN TRANSFER PRICING UNTUK BENTUK USAHA TETAP DI


INDONESIA BERDASARKAN OECD REPORT ATTRIBUTION PROFIT TO PERMANENT
ESTABLISHMENT
Diajukan oleh:
NOLARISTI
NPM 134060018074

AJUN AKUNTAN
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Tahun 2010
Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat
Guna Mencapai Gelar Sarjana Sains Terapan
Pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
2015

RENCANA DAFTAR ISI


Halaman
HALAMAN JUDUL ..............................................................................................

RENCANA DAFTAR ISI ......................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................

A. Latar Belakang Penelitian ........................................................................

B.

Masalah Penelitian ...................................................................................

C.

Tujuan Penelitian .....................................................................................

D. Manfaat Penelitian ...................................................................................

E.

Ruang Lingkup Penelitian........................................................................

F.

Sistematika Penulisan ..............................................................................

BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA ...............................

A. Global Value Chains (GVCs) ....................................................................

B.

Bentuk Usaha Tetap (Permanent Establishment) ....................................

C.

Base Erosion Profit Shifting (BEPS) dan BEPS Action Plan ..................

13

D. Teori Transfer Pricing .............................................................................

16

1. Konsep Transfer Pricing dan Transaksi Khusus ..............................

16

2. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha..........................................

17

3. Konsep Kesebandingan......................................................................

18

4. Analisis Fungsional, Aset dan Risiko (FAR) ....................................

19

5. Metode Penetapan Harga Wajar ........................................................

20

E.

Hasil Penelitian Sebelumnya ...................................................................

22

F.

Kerangka Pemikiran.................................................................................

23

BAB III APLIKASI KETENTUAN TRANSFER PRICING PADA BENTUK


USAHA TETAP DI INDONESIA ..........................................................
RENCANA DAFTAR PUSTAKA.........................................................................

25

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian


Digitalisasi dan globalisasi ekonomi telah menciptakan kondisi

yang

memungkinkan aktivitas produksi dan operasional perusahaan terus berkembang.


Perkembangan aktivitas ini diikuti pula peningkatan integrasi ekonomi dan
perdagangan baik secara nasional maupun internasional. Salah satu produk ekonomi
global adalah perusahaan multinasional (multinational enterprises), selanjutnya
disebut MNEs, yang memiliki tempat usaha di beberapa negara. Dalam menjalankan
usahanya MNEs memiliki dan memanfaatkan sumber daya yang ada di negara tempat
usaha dengan memanfaatkan siklus Global Value Chains (GVCs), MNEs
mendapatkan keuntungan atas skala ekonomi terhadap barang yang diproduksi/dijual,
memperluas pangsa pasar sekaligus meningkatkan efisiensi dalam manajemen rantai
suplai untuk grup usaha secara keseluruhan.
Strategi-strategi terus dikembangkan MNEs untuk mencapai tujuan utama
yaitu untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan biaya dan pengeluaran,
termasuk pengeluaran pajak. Hal ini menimbulkan permasalahan baru yang
bersumber ketidaksiapan otoritas pajak baik domestik maupun internasional membuat
perubahan peraturan perpajakan yang dapat mengimbangi kecepatan perkembangan
globalisasi dan digitalisasi ekonomi MNEs. Resikonya bagi administasi perpajakan di
setiap negara yaitu adanya kemungkinan upaya penghindaran pajak melalui transaksi
antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa melalui mekanisme penentuan
harga (transfer pricing) dalam suatu grup usaha yang berkedudukan di negara berbeda

(cross border transactions) maupun yang berkedudukan di negara yang sama


(domestic transaction). Pada umumnya, strategi penghindaran pajak dilakukan MNEs
dengan mengalirkan laba dari negara satu ke negara lain, aliran laba ini
mengakibatkan tergerusnya basis perpajakan (base erosion) dari negara tempat
seharusnya laba dipajaki berpindah (profit shifting) ke negara lain atau lebih dikenal
dengan mekanisme Base Erosion Profit Shifting (BEPS). Isu BEPS pertama kali
dibahas secara komprehensif di dalam OECD Report : Addressing BEPS pada tanggal
12 Februari 2013.
BEPS terjadi dengan melibatkan peraturan dan sistem perpajakan dari negara
yang berbeda, sehingga aksi untuk mengatasi masalah ini tidak dapat dilakukan oleh
sebuah negara secara individual. Transaksi lintas batas yang dilakukan oleh MNEs
secara

bersamaan

memungkinkan

terjadinya

interaksi

regulasi

perpajakan

antarnegara. Interaksi global sistem perpajakan dalam negeri telah menyebabkan


tumpang tindih dalam pelaksanaan hak-hak perpajakan sehingga pada akhirnya
menyebabkan

double

taxation atau sebaliknya

un-taxed.

OECD (2011)

mengungkapkan bahwa, to encourage crossborder trade there must be certainty and


stability in two key areas: permanent establishments and transfer pricing.
Praktenya Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

antar negara

menggunkaan konsep Permanent Establishment/Bentuk Usaha Tetap (BUT) dalam


mengenakan pajak sebagai dasar apakah negara dalam perjanjian tersebut berhak
untuk mengenakan pajak terhadap wajib pajak non-penduduk (nonresident taxpayer).
Meskipun demikian, prinsip dan konsep BUT kini mendapat tantangan yang besar
dengan perkembangan aktivitas ekonomi digital. Saat ini dengan perkembangan

teknologi digital, sangat dimungkinkan penduduk melakukan aktivitas ekonomi


dengan pembeli di negara lain tanpa kehadiran di negara tersebut.
Melihat fenomena seperti yang dijelaskan OECD sebelumnya, negara G20
mengadakan pertemuan di Moscow pada tanggal 19-21 Juli 2013. Dalam pertemuan
tersebut para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral membahas tentang isu
BEPS serta BEPS Action Plan. Dalam rencana aksi BEPS salah satu prinsip utamanya
yaitu mengenai pengembalian manfaat dan efek penuh atas penerapan standar
perpajakan internasional, termasuk mencegah penyalahgunaan perjanjian dan
menghindari pemalsuan status Permanent Establishment atau BUT. Action Plan
mengarah

kepada

lahirnya

rekomendasi

terkait

aturan

tentang

perpajakan

internasional, khususnya harmonisasi aturan tentang BUT dengan beberapa model


pendekatan seperti pada pedoman

Transfer Pricing OECD, OECD Model Tax

Convention dan OECD Report Attribution Profit to Permanent Establishment. Pada


prakteknya di Indonesia, terdapat inkonsistensi aturan BUT yang terdapat dalam UU
PPh dengan P3B. Permasalahan lain muncul karena adanya aturan BUT yang tidak
inline dengan aturan pajak internasional. Rekomendasi yang penulis coba berikan
juga disandingkan dengan peraturan tentang BUT yang sudah dan akan diterapkan di
negara lain.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membuat penelitian mengenai
penerapan transfer pricing di perusahaan dengan judul DESAIN PENERAPAN
PERATURAN TRANSFER PRICING UNTUK BENTUK USAHA TETAP (BUT)
DI INDONESIA BERDASARKAN OECD REPORT ATTRIBUTION PROFIT TO
PERMANENT ESTABLISHMENT

B. Masalah Penelitian
Dari paparan di atas, masalah penelitian yang dianalisis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsistensi peraturan mengenai BUT di Indonesia sebelumnya?
2. Bagaimana desain peraturan transfer pricing untuk BUT di Indonesia yang sesuai
dengan ketentuan OECD Report Attribution Profit to Permanent Establishment?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai oleh Penulis dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengidentifikasi konsistensi mengenai peraturan yang sebelumnya BUT di
Indonesia .
2. Mendesain peraturan TP untuk BUT di Indonesia yang sesuai dengan ketentuan
OECD Report Attribution Profit to Permanent Establishment.

D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian terkait transfer pricing atas Bentuk Usaha Tetap
khusunya dalam pengattribusian laba ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik
secara langsung maupun tidak langsung kepada pihak-pihak tertentu, di antaranya:
1. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap studi lebih


lanjut mengenai perpajakan khususnya mengenai transfer pricing
2. Bagi Direktorat Jenderal Pajak
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah dalam
upayanya memformulasikan dan mendesain peraturan mengenai transfer pricing
khususnya terkait dengan attribusi laba pada BUT sesuai dengan prinsip kewajaran.
Selain itu juga penelitian ini dapat menjadi cikal bakal harmonisasi peraturan yang
dibut DJP tentang BUT khususnya tentang attribusi laba di Indonesia dengan negara
lain.
3. Bagi Wajib Pajak
Penelitian ini diharapkan dapat mengurangi informasi yang dispute, sehingga
dalam aplikasi aturan tentang BUT dapat memberikan pemahaman lebih.
4. Bagi Ilmu Pengetahuan
Sehubungan dengan perkembangan ragam praktik transfer pricing, penulis
berharap tulisan penelitian ini dapat memperluas cakrawala ilmu pengetahuan dan
melengkapi penelitian-penelitian terdahulu
E. Ruang Lingkup Penelitian
F. Sistematika Penulisan

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Global Value Chain


Defini Global Value Chains (GVCs) menurut www.globalvaluechains.org
merupakan suatu rantai nilai yang menggambarkan berbagai kegiatan yang dilakukan
oleh perusahaan dan pekerja dari tahap perencanaan hingga penggunaan akhir yang
dapat terjadi pada suatu perusahaan ataupun terjadi di berbagai perusahaan, dalam
satu lokasi ataupun tersebar di bebagai tempat (lintas negara).
Gambar 1 Gambaran Praktik Bisnis Global

Sumber: OECD (2012), Global Value Chains : OECD Work on Measuring Trade in
Value Added an Beyond, International Working Documen , Stratistic Directorate,
OECD, Paris
Backer (2013) dalam jurnal Mapping Global Value Chains mengungkapkan
bahwa GVCs secara agregatif dan integratif meningkatkan nilai tambah dari produk

barang dan jasa domestik. Arus aktivitas ekonomi global yang ditandai dengan
perpindahan modal dan tenaga kerja antarnegara, perpindahan lokasi usaha dari
negara yang high cost ke negara yang low cost, terjadinya kesepakatan perdagangan
bebas antarnegara, perkembangan teknologi dan komunikasi, semakin pentingnya
manajemen resiko dan pengembangan serta perlindungan intellectual property.

B. Bentuk Usaha Tetap (Permanent Establishment)


Menurut Kluwer dalam Darussalam (2013) mengatakan bahwa konsep BUT
merupakan suatu konsep yang telah terdefinisi dalam P3B. Oleh karena itu,
intrepretasinya haruslah terlebih dahulu mengacu pada definisi sebagaimana yang
diatur dalam P3B. Intrepretasi BUT dengan mengacu pada ketentuan domestik hanya
dapat dilakukan jika intepretasi dalam P3B tidak mampu memberikan solusi karena
ambiguitas atau ketidakjelasannya. Dalam Pasal 5 OECD Model BUT atau
Permanent Establishment
ayat 1: For the purposes of this Convention, the term permanent
establishment means a fixed place of business through which the
business of an enterprise is wholly or partly carried on.
Ayat 2: The term permanent establishment includes especially: a) a place
of management; b) a branch; c) an office; d) a factory; e) a
workshop, and f) a mine, an oil or gas well, a quarry or any other
place of extraction of natural resources.
Ayat 3: A building site or construction or installation project constitutes a
permanent establishment only if it lasts more than twelve months.
Dari rumusan diatas dapat diartikan bahwa dalam BUT harus terpenuhi unsur-unsur
(Achmad Khan dalam Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional, 2010) :
a. Adanya tempat usaha (place of business test)
b. Tempat usaha tersebut didirikan di suatu lokasi tertentu (location test)

c. Subjek pajak harus mempunyai hak untuk memanfaatkan tempat usaha


tersebut (right use test)
d. Penggunaan tempat usaha tersebut harus bersifat permanen atau dalam waktu
yang melebihi periode waktu tertentu (permanence test)
e. Kegiatan yang dilakukan melalui tempat usaha tersebut harus merupakan
kegiatan usaha sebagaimana pengertian kegiatan usaha yang diatur dalam
undang-undang domestik maupun P3B (business activy test)
Pada saat era digitalisasi ini timbul permasalahan kepada siapa pajak akan
ditagih dari transaksi on-line karena pelaku dari transaksi tersebut tidak hadir dalam
suatu area bisnis dan keberadaanya pun tidak diketahui. Jaques dan Philip (2010)
mengatakan bahwa ketentuan atribusi laba usaha kepada BUT pada OECD model
1963 mengatur bahwa laba usaha yang dapat diatribusikan kepada BUT adalah laba
usaha yang dapat direalisasikan apabila BUT tersebut bertransaksi dengan pihakpihak independen. Dalam praktiknya, laba BUT dapat mengacu pada pembukuan dari
BUT tersebut.
Kesulitan dalam mengatribusikan laba ini dikarenakan adanya perbedaan
dalam model OECD dan model UN. Menurut OECD (Paragraf ke-1 dari Artikel 7).:

The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that


State unless the enterprise carries on business in the other Contracting State
through a permanent establishment situated therein. If the enterprise carries
on business as aforesaid, the profits of the enterprise may be taxed in the other
State but only so much of them as is attributable to that permanent
establishment.
Sedangkan menurut model UN:
The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that
State unless the enterprise carries on business in the other Contracting State
through a permanent establishment situated therein. If the enterprise carries
on business as aforesaid, the profits of the enterprise may be taxed in the other
State but only so much of them as is attributable to
(a) that permanent establishment;

10

(b) sales in that other State of goods or merchandise of the same or similar
kind as those sold through that permanent establishment; or
(c) other business activities carried on in that other State of the same or
similar kind as those effected through that permanent establishment.
Dari kedua model mengenai pemajakan atas Business Profits, OECD Model
menganut prinsip attribution income (Artikel 7) dan effectively connected income
yang diatur terpisah dalam Artikel 10, 11, dan 12, sedangkan UN Model menawarkan
tambahan prinsip force of attraction income. Prinsip attribution income mengandung
arti bahwa objek pajak BUT adalah hanya penghasilan yang berasal dari kegiatan atau
harta BUT itu sendiri. Prinsip effectively connected income adalah bahwa objek pajak
BUT mencakup juga passive income yang diterima kantor pusat yang mempunyai
hubungan efektif dengan kegiatan/keberadaan BUT di negara sumber. Sedangkan
prinsip force of attraction income adalah bahwa objek pajak BUT mencakup juga laba
kantor pusat dari penjualan barang atau transaksi-transaksi lainnya yang sama
jenisnya dengan yang dilakukan oleh BUT di negara sumber
OECD dalam beberapa kesempatan mengungkapkan kendala dalam ketentuan
alokasi laba BUT (Danny Darussalam, 2013). Namun sejak tahun 2008 melalui studi
OECD yang berjudul Report on the Attribution Profits (selanjutnya disebut OECD
Report), suatu bentuk kesepakatan mulai dapat dicapai oleh negara-negara anggota
OECD. Kesepakatan tersebut berupa pendekatan alokasi laba usaha yang disebut
dengan Authorized OECD Approach (AOA). Pendekatan interpretasi dalam OECD
report ini kemudian diadaptasi dalam Commentary maupun dalam OECD Model
tahun 2010.

11

OECD Commentary (Pasal 7, Par 20), menyebutkan bahwa dalam AOA terdiri
dari dua langkah analisis yaitu:
1. Analisis fungsi, aset dan risiko (FAR) untuk tujuan hipotesis BUT sebagai entitas
terpisah
Pada langkah pertama, prinsip penerapan FAR pada alokasi laba kepada BUT
sama dengan prinsip penerapan analisis FAR di transfer pricing sebagaimana yang
juga diterapkan dalam analisis kesebandingan di antara pihak-pihak yang berafiliasi.
Danny Darussalam (2013) mengatakan bahwa dari sudut pandang hukum BUT
bukanlah suatu entitas terpisah dengan perusahaan induknya, BUT tidak dapat
mengikat kontrak maupun menjadi pemilik suatu aset sebagaimana layaknya suatu
perusahaan. Oleh karena itu analisis FAR antara BUT dan kantor pusat sulit dilakukan
. OECD Report

(2008: par 88) memaparkan faktor-faktor yang relevan untuk

dipertimbangkan dalam penerapan analisis FAR dalam AOA antara perusahaan induk
dan BUT:
a. Significant people function
b. Significant people function yang relevavn untuk asumsi risiko
c. Significan people function yang relevan untuk alokasi kepemilikan ekonomi atas
aset perusahan
d. Alokasi modal usaha kepada BUT
e. Identifikasi dan pengakuan dealings antara BUT dan perusahaan
2. Alokasi laba sesuai dengan prinsip kewajaran
Pada langkah kedua (OECD Report 2008, par 219), prinsip kewajaran
diterapkan pada dealing antara BUT dan perusahaan. Prinsip kewajaran sebagaimana
diuraikan dalam OECD Guidelines berlaku secara umum dalam konteks ini, yaitu
perbandingan antara dealings (controlled transaction) dan transaksi antara pihak-

12

pihak independen (uncontrolled transaction) dengan menggunakan metode-metode


transfer pricing.

C. BEPS (Base Erotion Profit Shifting) dan BEPS Action Plan


Pengertian BEPS dalam OECD Report, Addressing Base Erosion and Profit
Shifting adalah strategi perencanaan pajak (tax planning) yang memanfaatkan gap dan
kelemahan-kelemahan

yang

terdapat

dalam

peraturan

perundang-undangan

perpajakan domestik untuk menghilangkan keuntungan atau mengalihkan


keuntungan tersebut ke negara lain yang memiliki tarif pajak yang rendah atau bahkan
bebas pajak. Tujuan akhirnya adalah agar perusahaan tidak perlu membayar pajak
atau pajak yang dibayar nilainya sangat kecil terhadap pendapatan perusahaan secara
keseluruhan (OECD, 2013).
Praktik-praktik yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional
melalui strategi BEPS sangat merugikan dan tidak dapat dibiarkan untuk terus
berlanjut. Hal ini dikarenakan faktor-faktor sebagai berikut.
1. Mendistorsi persaingan. Dengan melakukan praktik BEPS, perusahaan yang
melakukan

operasi

usahanya

secara

multinasional

diuntungkan

dengan

keunggulan kompetitif karena peluang BEPS tersebut, dibanding dengan


perusahaan yang beroperasi di tingkat domestik;
2. Menyebabkan inefisiensi alokasi sumber daya dengan mendistorsi keputusan
investasi terhadap usaha yang memiliki return sebelum pajak yang rendah, tetapi
memiliki return setelah pajak yang tinggi.

13

3. Masalah keadilan. Praktik BEPS akan men-discourage wajib pajak untuk tidak
mematuhi kewajban perpajakannya saat mereka melihat adanya perusahaan
multinasional yang tidak patuh atau menghindari kewajiban perpajakannya.
Untuk menanggulangi isu BEPS, pada tanggal 19-21 juli 2013 tercetuslah
BEPS Action Plan yang dimuat dalam OECD (2013) Action Plan on Base Erotion
and Profit Shifting yang menekankan 4 (empat) prinsip utama, yaitu:
1. Membangun koherensi pajak penghasilan perusahaan secara internasional melalui
harmonisasi tarif pajak yang berbeda, memperkuat regulasi atas perusahaan asing
yang diawasi (controlled

foreign companies/CFC), membatasi pemotongan

pembiayaan dan melawan praktik-praktik perpajakan yang merugikan secara lebih


efektif;
2. Mengembalikan manfaat dan efek yang penuh atas penerapan standar perpajakan
internasional, termasuk mencegah penyalahgunaan perjanjian dan menghindari
pemalsuan status Permanent Establisment (PE), memperbaiki regulasi mengenai
transfer pricing atas barang tak berwujud, risiko dan area yang berisiko tinggi
lainnya;
3. Menjamin transparansi sejalan dengan upaya mempromosikan peningkatan
kepastian hukum dan prediktabilitas;
4. Adanya keinginan untuk mempercepat proses implementasi rencana aksi BEPS
beserta langkah-langkah yang akan diambil.
Tabel BEPS Action Plan
BEPS Action Plan
I Digital economy
1. Address the tax challenges of the

14

Keterangan
Mengidentifikasi kesulitan dalam
implementasi ketentuan pajak

digital economy

internasional terhadap transaksi


ekonomi digital. Dengan transaksi
secara digital perusahaan dapat
menghindari pemajakan di negara
lain atas laba yang dihasilkan. Hal ini
dikarenakan perusahaan tidak hadir
secara fisik di negara lain sehingga
tidak menimbulkan BUT di negara
lain tersebut.

II Establishing international
coherence of corporate income
taxation
2. Neutralize the effects of hybrid
mismatch arrangements

3. Strengthen CFC rules

4. Limit base erosion via interest


deductions and other nancial
payments
5. Counter harmful tax practices more
effectively, taking into account
transparency and substance
III Restoring the full effects and
bene ts of international standards
6. Prevent treaty abuse

7. Prevent the arti cial avoidance of


PE status
8. Assure that transfer pricing
outcomes are in line with value
creation re: (i) intangibles,
9. Assure that transfer pricing
outcomes are in line with value
creation re: (ii) risks and capital
10. Assure that transfer pricing
outcomes are in line with value

15

Mengembangkan model P3B dan


menyusun rekomendasi bagi
ketentuan perpajakn domestik untuk
menetralkan efek yang timbul dari
hybrid instrument dan hybrid entities.
Menyusun rekomendasi terkait
ketentuan Controlled Foreign
Company (CFC)
Menyusun rekomendasi terkait
ketentuan pembebanan biaya bunga
Mengubah cara penanggulangan
harmful tax practices dengan lebi
memprioritaskan transparansi dan
subtansi

Mengembangkan model P3B dan


menyusun rekomendasi bagi
ketentuan perpajakan domestik dalam
mencegah penyalahgunaan P3B
Mengubah definisi Bentuk Usaha
Tetap (BUT)
Menyusun aturan yang lebih ketat
terkait transfer aset tidak berwujud
Mengembangkan aturan yang lebih
ketat terkait terkain transfer risiko dan
alokasi modal yang berlebihan
(allocation of excessive capital)
Menyusun ketentuan transfer pricing
atas transaksi-transaksi yang memiliki

creation re: (iii) other high-risk


transactions
IV Ensuring transparency while
promoting increased certainty and
predictability
11. Establish methodologies to collect
and analyse data on BEPS and the
actions to address it
12. Require taxpayers to disclose their
aggressive tax planning arrangements
13. Re-examine transfer pricing
documentation
14. Make dispute resolution
mechanisms more effective

risiko yang tinggi

Menyusun rekomendasi terkait


pengumpulan dan analisis data yang
berhubungan dengan BEPS
Mendorong perusahaan multinasional
ntuk mengungkapkan struktur
pajaknya kepada otoritas pajak
Menyusun rekomendasi terkait
dokumentasi transfer pricing
Mendorong mekanisme penyelesaian
sengketa perpajakan internasional
yang lebih efektif

V From agreed policies to tax rules:


the need for a swift implementation of
the measures
15. Develop a multilateral instrument Mengembangkan instrument
multilateral dalam mengatasi isu-isu
perpajakan internasional.
D. Teori Transfer Pricing
1. Konsep Transfer Pricing
Transfer Pricing dapat dilihat dari perspektif perpajakan, perspektif akuntansi
manajerial, dan perspektif hukum perseroan. Dalam perspektif perpajakan, transfer
pricing adalah suatu kebijakan harga dalam transaksi yang dilakukan oleh pihakpihak yang mempunyai hubungan istimewa. Proses kebijakan tersebut menentukan
pula besaran penghasilan dari setiap entitas yang terlibat (Darussalam 2013, 9).
Mengingat perusahaan multinasional melakukan operasi di beberapa negara yang
memiliki ketentuan dan tarif pajak yang berbeda, terdapat risiko upaya penghindaran
pajak melalui transaksi yang terjadi antara perusahaan multinasional yang tergabung
dalam suatu grup usaha. Dengan menggunakan harga transfer yang lebih tinggi atau

16

lebih rendah dari harga wajar perusahaan dapat menggeser laba (profit shifting) untuk
memperoleh pengenaan pajak yang paling rendah. Berdasarkan perspektif akuntansi
manajerial,

transfer

pricing

merupakan

strategi

perusahaan

untuk

memaksimalkan laba melalui penentuan harga barang atau jasa suatu unit
organisasi dari suatu perusahaan ke unit organisasi lain dalam perusahan induk yang
sama (Horngren et al. 1996, 336). Sedangkan dari sisi hukum perseroan, transfer
pricing dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi dan sinergi antar
perusahaan dengan pemegang sahamnya (Schon, 2012).
Sehubungan dengan penelitian yang dilakukan terhadap transaksi global lintas
negara, Gunadi (2007, 229) menyatakan bahwa transaksi antar anggota perusahaan
multinasional tidak luput dari rekayasa transfer pricing, terutama oleh wajib pajak
penanaman modal asing (termasuk BUT). Sebagian besar perusahaan tersebut
bergerak di bidang manufaktur dan mempunyai kaitan internal yang cukup substansial
dengan induk perusahaan di luar negeri.
2. Transaksi Hubungan Istimewa
Hubungan istimewa merupakan terminologi regulasi domestik di Indonesia
yang merujuk pada konsep associated enterprise dalam terminologi yang lebih
diterima secara global. Pada dasarnya, yang disebut sebagai associated enterprise
memiliki definisi yang berbeda-beda di setiap negara (Darussalam 2013, 72).
Penjelasan mengenai konsep hubungan istimewa disebutkan dalam Article 9 paragraf
1 OECD Model Tax Convention on Income and on Capital sebagai berikut:
Where an enterprise of a Contracting State participates directly or indirectly
in the management, control, or capital of an enterprise of the other

17

Contracting State, or the same persons participate directly or indirectly in


the management, control or capital of an enterprise of a Contracting State
and an enterprise of the other Contracting State.
3. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
Prinsip harga wajar (arms length principle) mengatur bahwa seharusnya
transaksi yang terjadi antar divisi dalam sebuah perusahaan multinasional mengacu
pada harga pasar wajar, yaitu harga yang terjadi dalam transaksi yang dilakukan oleh
pihak pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Prinsip harga wajar adalah
perbandingan antara harga yang digunakan dalam transaksi antar pihak independen
dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa dalam kondisi sebanding. Article
9 (1) mengenai Tax Treaty menyatakan bahwa:
if conditions made or imposed between associated enterprises in their
commercial or financial relations differ from those which would have
been made between independent enterprises, then profits that, but for
those conditions, would have accrued to one of the enterprises may be
included in the profits of that enterprises and taxed.
Nilai transaksi pihak independen merupakan refleksi dari nilai wajar yang
ideal diterapkan. Untuk mengakomodasi fleksibilitas kondisi transaksi antar pihak
berelasi, perlu dilakukan penyesuaian sesuai dengan beda kondisi yang ada sehingga
sama dengan nilai transaksi pihak independen tersebut. Konsep yang paling penting
dari arms length principle adalah bahwa setiap entitas usaha pasti (i) memiliki
keinginan untuk menghasilkan laba dari transaksi yang dilakukannya dengan
memperoleh kompensasi (imbalan) yang layak atas fungsi-fungsi usaha yang
dijalankannya, (ii) memiliki risiko dalam menjalankan usahanya sebanding dengan
fungsi usaha yang dilakukannya (dalam konteks MNE, risiko tidak hanya ditanggung
oleh satu entitas saja), (iii) setiap harta yang digunakan oleh entitas usaha pasti

18

memberikan kontribusi dalam menjalankan fungsi usaha yang dijalankannya


(Darussalam, Septriadi, 2008)
4. Konsep Kesebandingan
OECD Transfer Pricing Guidelines menjelaskan konsep kesebandingan
sebagai transaksi yang tidak terdapat perbedaan material terhadap penentuan harga,
atau apabila ada penyesuaian yang akurat dan yakin telah tepat dapat dilakukan
untuk mengeliminasi perbedaan tersebut. Analisis kesebandingan merupakan suatu
rangkaian langkah analisis, mulai dari identifikasi pembanding potensial berdasarkan
faktor- faktor kesebandingan, aplikasi metode transfer pricing untuk melakukan
perbandingan,

hingga

pengukuran

kewajaran

dari

dua

transaksi

yang

diperbandingkan.
OECD Transfer Pricing Guidelines paragraf 3.4 meberikan pedoman mengenai
9 langkah yang dilakukan dalam analisis kesebandingan, antara lain:
a. menentukan periode analisis;
b. memahami proses bisnis perusahaan secara komprehensif;
c. memahami transaksi yang dilakukan antar perusahaan yang memiliki
hubungan istimewa;
d. menelaah pembanding internal;
e. menentukan pembanding eksternal (dalam hal pembanding internal tidak
tersedia);
f. memilih metode transfer pricing yang paling sesuai;
g. mengidentifikasi pembanding yang potensial;
h. memilih pembanding dan melakukan penyesuaian kesebandingan jika
diperlukan;
i. menggunakan data pembanding dan menentukan harga wajar;
5. Analisis Fungsional, Aset, dan Risiko (FAR)
Analisis fungsional sering juga disebut analisis FAR karena mencakup tiga
aspek dalam analisis, yaitu fungsi yang dijalankan (F), aset yang dipergunakan (A),
dan risiko yang ditanggung (R). Analisis fungsional menyertakan suatu telaah yang

19

lengkap dan menyeluruh atas chain dari suatu transaksi afiliasi. Hasil dari analisis
fungsional hampir sama dengan analisis atas value chain, yaitu untuk mengetahui
kontribusi masing- masing entitas suatu grup perusahaan multinasional dalam
menciptakan value di mata konsumen (Darussalam 2013,107)
Menurut OECD Transfer Pricing Guidelines paragraf 1.43 dijelaskan, jenisjenis fungsi yang harus diidentifikasi serta diperbandingkan antara lain: fungsi desain,
manufaktur, perakitan, riset dan pengembangan, purnajual, pembelian, distribusi,
pemasaran, promosi dan iklan, transportasi, serta fungsi pembiayaan dan manajemen.
Atas identifikasi fungsi tersebut, aktivitas ekonomi perusahaan dapat diketahui, yakni
dengan cara memastikan fungsi, aset, serta risiko yang paling berdampak secara
ekonomis bagi perusahaan, serta bagaimana ketiga aspek tersebut berpengaruh
terhadap suatu kewajaran transaksi.
Analisis Aset dilakukan dengan mempertimbangkan penggunaan tipe aset
yang digunakan, penggunaan aset tersebut, keuangan, dan sifat bawaan dari aset yang
digunakan, misalnya umur, nilai pasar, lokasi, perlindungan hak, dan lain-lain
(paragraf 1.44). Sedangkan untuk analisis isiko, hal yang perlu dipertimbangkan
adalah rrisiko pasar, risiko kerugian, risiko keuangan, risiko kredit, dll (paragraph
1.46). Misalnya, risiko pasar dapat dilakukan dengan menentukan jangka waktu siklus
pengembangan produk, sedangkan dalam risiko persediaan biasanya perusahaan
manufaktur memiliki risiko persediaan lebih besar daripada perusahaan distributor
(Ramang, 2010, 30).

6. Metode Penetapan Harga Wajar

20

Metode transfer pricing yang digunakan untuk menghitung kompensasi dan


keuntungan dari suatu transaksi keseluruhan perusahaan yang menunjukkan kualitas
kewajaran (arms length) dengan penentuan harga transfer yang paling sesuai (the
most appropriate method). Dalam bab II OECD Transfer Pricing Guidelines
disebutkan:
1. Comparable Uncontrolled Price (CUP)
Metode CUP menitikberatkan pada kesebandingan karakteristik produk atau
jasa. Penentuan Harga Transfer dilakukan dengan membandingkan harga dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
dengan harga barang atau jasa dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi atau keadaan yang
sebanding.
2. Resale Price Method (RPM)
Metode ini berpedoman pada gross margin yang diperoleh untuk transaksi
serupa pada kondisi arms length. Harga wajar dihitung dengan melakukan koreksi
pada harga jual kembali produk dikurangi dengan gross margin.
3. Cost-plus Method
Metode ini juga berpedoman pada gross margin, namun yang menjadi dasar
perhitungan adalah total biaya yang dikeluarkan untuk membuat suatu produk. Pada
penggunaannya sangat penting untuk menentukan dasar biaya yang akan ditambahkan
pada komponen margin keuntungan.
4. Profit Split Method
Metode ini digunakan ketika tidak terdapat data yang bisa dibandingkan.
metode ini sulit diterapkan saat tidak tersedia informasi atas pihak relasi yang berada
di luar negeri. Dalam pendekatan dengan metode profit split, laba dari transaksi antara

21

pihak-pihak

yang mempunyai hubungan istimewa dapat diketahui dengan cara

melakukan analisis fungsi atas kegiatan usaha yang dilakukannya.


5. Transactional Net Margin Method (TNMM)
Metode yang digunakan untuk mengukur kewajaran transaksi dilihat dari
tingkatan level laba operasi. Metode ini mengacu pada keadaan indikator keuntungan
bersih antar pihak berelasi dan antar pihak independen adalah pada kondisi yang
sama.

E. Hasil Penelitian Sebelumnya


1. Lee-Ann Steenkamp (2014)
Dalam tulisan yang berjudul The Permanent Establishment Concept in
Double Tax Agreements Between Developed And Developing Countries: Canada/
South Africa As A Case In Point, menemukan bahwa negara berkembang dalam
menghadapi globalisasi harus berhati-hati dalam menentukan desain aturan
perpajakan internasional untuk menangkal tax avoidance tetapi tidak mengorbankan
peluang FDI. Dalam penelitiannya ia menemukan bahwa peraturan pajak tentang
BUT di Afrika selatan (negara berkembang) dan Kanada (negara maju) mengacu pada
OECD model.

2. Jacquest Malherbe dan Philip Daenan (2010)


Dalam tulisan yang berjudul Permanent Establishment Claim Their Share of
Profits, mengemukakan bahwa ketentuan atribusi laba usaha kepada BUT pada
OECD Model mengatur bahwa laba usaha yang dapat diatribusikan kepada BUT
adalah laba usaha yang dapat direalisasikan apabila BUT tersebut bertransaksi dengan
pihak-pihak independen, Dalam praktiknya, laba BUT dapat mengacu pada
pembukuan BUT tersebut.

22

F. Kerangka Pemikiran
Gambar : Kerangka Pemikiran penelitian Desain Peraturan TP untuk BUT di
Indonesia

Sumber : Diolah oleh penulis

23

G.

RENCANA DAFTAR PUSTAKA

PWC. 2013. Permannent Establishment 2.0 : At the heart of the matter.


www.pwc.com/tax
Steenkamp, Lee-Ann . 2014. The Permanent Establishment Concept in Double Tax
Agreements Between Developed And Developing Countries: Canada/ South
Africa As A Case In Point. International Business & Economic Research
Journal : Volume 13.
Feinschreiber, Robert and Margaret Kent. 2013. How the BEPS Action Plan Would
Restore International Tax Standard. Corporate Business Taxation Monthly
Berg, Jean Paul van den dan Nicolette Huisman. 2013. The OECD BEPS Action Plan
and the Dutch Tax Climate. International Tax Journal: September-October
2013
Horngren, Charles T. W.O. Stratton dan G.L. Sundem. 1996. Introduction to
Management Accounting. New Jersey: Prentice Hall International Inc.
Schon, Wolfgang. 2012. Transfer Pricing - Business Incentives, International
Taxation and Corporate Law. In Fundamental of International Transfer
Pricing in Law and Economic. Berlin: Springer.
Gunadi. 2007. Pajak Internasional. Lembaga Penerbit FE UI: Jakarta.
Darussalam, John Hutagaol, dan Danny Septriadi. 2010. Konsep dan Aplikasi
Perpajakan Internasional. Jakarta: Danny Darussalam Tax Center.
Darussalam, Danny Septriadi, dan Bawono Kristiaji. 2013. Transfer Pricing: Ide,
Strategi, dan Panduan Praktis dalam Perspektif Pajak Internasional. Jakarta:
Danny Darussalam Tax Center.
Markham, Michelle. 2005. The Transfer Pricing of Intangibles, Kluwer Law
International.
Backer, K. D. and S. Miroudot. 2013. Mapping Global Value Chains.OECD Trade
Policy Papers, No. 159, OECD Publishing

24

Kurniawan, Anang Mury. 2012. Tax Treaty: Memahami Persetujuan Penghindaran


Pajak Berganda (P3B) melalui Studi Kasus. Bee Media Indonesia: Jakarta
OECD. 2010. Transfer Pricing and Multinational Enterprises, Committee on Fiscal
Affairs . Paris: OECD Publishing,.
OECD. 2012. Global Value Chains : OECD Work on Measuring Trade in Value
Added an Beyond. International Working Documen , Stratistic Directorate,
OECD, Paris
OECD. 2010. OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and
Tax Administrations.
OECD. 2008. Report on Attribution of Profits.
OECD. 2010. Model tax convention on income and on capital. Diakses pada 18
September

2014

dari:

http://www.oecd-ilibrary.org/taxation/model-

taxconvention-on-income-and-on-capital-2010_9789264175181-en
OECD. 2011. OECD's current tax agenda. Diakses pada 18 September 2014 dari:
http://www.oecd.org/site/ctpfta/

United Nations. 2013. UN Practical Manual on Transfer Pricing for Developing


Countries
__________ . Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-22/PJ/2013 tentang
Pedoman Pemeriksaan Pajak terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai
Hubungan Istimewa
__________ . Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-32/PJ/2011 tentang
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi antara
Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pajak, 2010.
___________ . Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-43/PJ/2010 tentang
Pedoman Penentuan Harga Transfer Pricing. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pajak, 2010.
__________ . Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-48/PJ/2010 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement

25

Procedure) Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Jakarta:


Direktorat Jenderal Pajak, 2010.

26

También podría gustarte