Está en la página 1de 23

19

BAB 2
HAK KONSUMEN JALAN TOL DI INDONESIA TERKAIT DENGAN
PEMENUHAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM)
2.1 Tinjauan Umum Mengenai Jalan Tol
Pembangunan jalan merupakan kebutuhan yang sangat vital sebagai
pendukung utama dinamika dan aktivitas ekonomi baik di pusat maupun daerah
dan pengembangan wilayah serta sebagai prasarana penunjang yang utama bagi
perekonomian nasional.29 Untuk infrastruktur jalan, dari panjang jalan nasional
yang sampai saat ini telah mencapai 34.628 km, hingga tahun 2009 tercatat
kondisi jalan nasional yang kondisinya baik mencapai 52,25%, kondisi sedang
34,81%, rusak ringan 11% dan rusak berat 0%.30 Namun hingga saat ini rencana
pemerintah dalam pengembangan infrastruktur jalan terhambat dalam hal dana
yang terhitung cukup besar, sementara pada sisi lain anggaran yang ada untuk
pembangunan jalan baru maupun pemeliharaan jalan sangat terbatas. Oleh sebab
itu dalam rangka mengatasi keterbatasan anggaran yang dimiliki, pemerintah
memutuskan untuk melibatkan sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur
dalam bentuk pengusahaan jalan tol.
Di Indonesia sendiri, jalan tol sering dianggap sinonim untuk jalan bebas
hambatan, meskipun hal ini sebenarnya salah. Di dunia secara keseluruhan, tidak
semua jalan bebas hambatan memerlukan bayaran. Jalan bebas hambatan seperti
ini dinamakan freeway atau expressway (free berarti "gratis", dibedakan dari
jalan-jalan bebas hambatan yang memerlukan bayaran yang dinamakan tollway
atau tollroad (kata toll berarti "biaya")).31 Dalam Pasal 1 butir 2 PP No.15/1005
tentang Jalan Tol secara umum yang dimaksud dengan jalan tol adalah jalan
umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional
yang penggunaannya diwajibkan membayar tarif tol. Berdasarkan pengertian

29

Departemen Pekerjaan Umum, Evaluasi Kinerja Departemen Pekerjaan Umum 2005-2009, Hlm
23.
30

Departemen Pekerjaan Umum, Data yang dsampaikan pada waktu Rapat Kerja Menteri
Pekerjaan Umum dengan Komisi V DPR-RI, Tanggal 14 Oktober 2009, Hlm 12.
31

Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Jalan_tol, Diunduh tanggal 23 Agustus 2010.

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

20

tersebut jelas terlihat perbedaan dengan jalan umum terutama dalam hal
kewajiban pembayaran tarif. Meskipun jika menilik lebih jauh dari UU
No.38/2004 tentang Jalan, pengaturan, pembinaan, pembangunan dan pengawasan
dalam penyelenggaraan jalan menjadi wewenang pemerintah.32 Konsep jalan tol
adalah pembangunan jalan yang dibiayai oleh pemakai jalan yang dijembatani
oleh investor, maksudnya pembangunan dilakukan oleh investor untuk kemudian
investor akan menarik dana sebagai pengganti dana pembangunan kepada
pemakai jalan yang disebut sebagai tarif tol dengan jangka waktu tertentu (selama
masa konsesi).
Sementara pengusahaan Jalan Tol dilakukan dengan bentuk Build Operate
and Transfer (BOT) maksudnya Badan Usaha berkewajiban untuk membangun
Jalan Tol dan/atau fasilitas, termasuk pembiayaan, yang dilanjutkan dengan
pengoperasian dan pemeliharaan dalam jangka waktu tertentu serta berhak
menarik biaya pemakaian layanan dari pengguna untuk mengembalikan modal
investasi, biaya pengoperasian dan pemeliharaan serta keuntungan yang wajar,
dan setelah berakhirnya Perjanjian Pengusahaan harus diserahkan kembali kepada
Pemerintah tanpa penggantian biaya apapun.33
Industri jalan tol di Indonesia boleh dikatakan lahir secara tidak
sengaja ketika pemerintah memutuskan untuk menjadikan jalan bebas
hambatan Jagorawi, yang kala itu sedang dibangun, menjadi jalan tol.
Sebagai titik awal sejarah investasi jalan tol di Indonesia dimulai pada tahun 1978
dengan dioperasikannya jalan tol Jagorawi dengan panjang 59 km (termasuk jalan
akses), yang menghubungkan Jakarta, Bogor dan Ciawi.34 Ketika masih dalam
tahap pembangunan, jalan tol Jagorawi ini belum berstatus sebagai jalan tol.
Kemudian setelah jalan tersebut selesai dibangun, tahun 1978, Pemerintah
berpikir agar biaya pengoperasian dan pemeliharaan ruas jalan tersebut dapat
dilakukan mandiri tanpa membebani anggaran Pemerintah. Untuk itu Menteri
32

Pasal 4 huruf b UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.

33

Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian Pekerjaan Umum, Peluang Investasi Jalan Tol di
Indonesia 2010, Hlm.22.
34

Ibid, Hlm.14.

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

21

Pekerjaan Umum ketika itu, Ir. Sutami mengusulkan kepada Presiden agar ruas
jalan Jakarta-Bogor tersebut dijadikan jalan tol.35 Pada waktu itu Jasa Marga tidak
memperoleh masa konsesi karena berdasarkan UU Jalan yang lama (UndangUndang Nomor 13 Tahun 1980) Jasa Marga adalah satu-satunya penyelenggara
jalan tol bagi pemerintah. Selanjutnya Jasa Marga ditugasi oleh pemerintah untuk
membangun jalan tol dengan tanah yang dibiayai oleh pemerintah.
Pada akhir dekade 1980an jalan tol swasta pertama (diluar Jasa
Marga), yaitu Cawang-Tj. Priok (Harbour Road) mulai dibangun. Jasa
Marga sebagai pemegang otoritas tunggal jalan tol harus memberikan kuasa
pada perusahaan jalan tol swasta sehingga Jasa Marga memainkan peran ganda
sebagai operator jalan tol sekaligus sebagai lembaga otorisasi atas nama
pemerintah, dua peran yang jelas-jelas menimbulkan conflict of interest. Didasari
oleh kondisi tersebut maka pemerintah mencoba mengubah struktur investasi jalan
tol yang sebelumnya Jasa Marga menjadi penguasa utama pembangunan jalan tol
dan membuka peluang seluas-luasnya bagi pihak swasta lainnya untuk turut serta
dalam pembangunan jalan tol.
Salah satu upaya restrukturisasi investasi jalan tol yaitu dengan melakukan
perbaikan dan perombakan pada sisi regulasi yaitu dengan ditetapkannya UU
Jalan yang baru, UU No. 38 tahun 2004 yang berlaku sejak Oktober 2004 dan
Peraturan Pemerintah sebagai turunannya, yaitu PP No. 15 Tahun 2005 mengenai
jalan tol. Kedua aturan hukum inilah yang menjadi landasan yuridis dalam
pengoperasian jalan tol. Suatu perubahan yang prinsipil dalam aturan hukum ini
adalah bahwa Jasa Marga tidak lagi berperan sebagai lembaga otorisasi bagi
investor jalan tol swasta, untuk ini telah dibentuk Badan Pengatur Jalan Tol
(BPJT) yang bertanggung jawab kepada Menteri Pemukiman dan Prasarana
Wilayah (Kimpraswil). Semua pengusaha jalan tol baik swasta maupun
BUMN (Jasa Marga) harus mendapatkan suatu Perjanjian Pengusahaan Jalan
Tol (PPJT) dari BPJT.36
35

Badan Penelitian dan Pengembangan SDM, Depkominfo, Tol Jagorawi Merupakan Modal Awal
PT Jasa Marga, 4 September 2007. Diunduh pada 10 Februari 2008.
36

Frans Sunito, Percepatan Pembangunan Jalan Tol, Kendala dan Langkah-langkah


Perbaikannya, (Jakarta:Economic Review Journal, Desember 2005), Hlm.57.

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

22

Pembangunan jalan tol pun tidak lepas dari imbas krisis ekonomi yang
terjadi pada tahun 1997, yang menyebabkan pada akhirnya beberapa proyek
pembangunan tol mandeg dan mau tidak mau harus diambil alih oleh pemerintah
melalui PT. Jasa Marga.37 Pada periode 1997-2001 hanya terbangun 13,30 km
jalan tol. Mulai dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2004 terbangun 4 ruas jalan
dengan panjang total 41,80 km.38 Untuk saat ini, manajemen pengelolaan jalan tol
di Indonesia diprioritaskan untuk daerah dimana pengguna jalan mempunyai
kemampuan dalam menyediakan biaya transportasi yaitu pada daerah sudah
berkembang dan sebagian daerah yang sedang berkembang.
Lebih lanjut UU Jalan mengatakan bahwa pengusahaan jalan tol dilakukan
oleh Pemerintah, Badan Usaha atau Pemerintah dan Badan Usaha.39 Pengusahaan
jalan tol oleh Pemerintah terutama diperuntukkan untuk ruas jalan tol yang layak
secara ekonomi tetapi belum layak secara finansial. Pengusahaan jalan tol oleh
Badan Usaha diperuntukkan untuk ruas jalan tol yang layak secara ekonomi dan
finansial. Sedangkan pengusahaan jalan tol oleh Pemerintah dan Badan Usaha
diperuntukkan untuk ruas jalan tol yang layak secara ekonomi tetapi keseluruhan
proyek tidak layak secara finansial.
Untuk menjamin transparansi dalam penunjukan badan usaha, keterlibatan
Badan Usaha dalam pengusahaan jalan tol dilaksanakan melalui pelelangan yang
kemudian hubungan hukum antara Pemerintah dengan pihak investor swasta
diakomodir dalam bentuk perjanjian (kontrak) yang dikenal dengan Perjanjian
Pengusahaan Jalan Tol (PPJT). PPJT merupakan suatu perjanjian antara
Pemerintah dengan Investor jalan tol yang dapat secara hukum dikontruksikan
sebagai perjanjian (kontrak) bisnis yang berdimensi publik.40 Dalam PPJT ini
salah satu pihaknya adalah pemerintah, berbeda halnya dengan kontrak bisnis

37

Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian Pekerjaan Umum, supranotes 30, Hlm 13.

38

Ibid, Hlm.13

39

Pasal 43 ayat 2 UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan

40

Kontrak Bisnis dapat digambarkan secara sederhana sebagai suatu perjanjian antara dua atau
lebih pihak yang mempunyai nilai komersial tertentu (Hikmahanto Juwana, Kontrak Bisnis yang
Berdimensi Publik, Jurnal Magster Hukum, Vol2 No.1, Februari 2000)

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

23

pada umumnya yang para pihaknya merupakan subyek hukum perdata yang
diasumsikan memiliki kedudukan yang sejajar. Oleh sebab itu ditambahkan istilah
berdimensi publik yang menunjukan adanya keikutsertaan pemerintah sebagai
salah satu pihak didalamnya. Pemerintah dalam kaitan tersebut diatas dianggap
sebagai subyek hukum perdata. Sebagai subyek hukum perdata maka Pemerintah
merupakan badan hukum dan statusnya sama dengan subyek hukum perdata
lainnya.41 Pemerintah dianggap demikian karena ia menjalankan kegiatan
komersial (acts jure gestionist) yang harus dibedakan dari kegiatan pemerintahan
(acts jure imperil).42 Hal ini untuk mempertegas bahwa meskipun Pemerintah
merupakan lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan tindakan
administrasi negara yang bersifat regulator, sehingga kedudukannya lebih tinggi
dari individu atau badan hukum lainnya. Namun dalam konteks kontrak yang
berdimensi publik ini, pemerintah melepaskan imunitasnya tersebut dan
diasumsikan sejajar dengan pihak lain. Adapun dasar hukum yang menyatakan
pemerintah merupakan badan hukum dapat ditemukan dalam Pasal 1653
KUHPerdata.43
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa dalam suatu investasi jalan tol
terutama dalam PPJT, Pemerintah berperan sebagai badan hukum privat atau
subyek hukum perdata. Akan tetapi hal ini tidak melepaskan peran pemerintah
sebagai badan hukum publik (personnemorale) yang mempunyai wewenang
untuk mengeluarkan kebijakan publik, baik yang mengikat umum (algemeen
41

Apeldorn, dalam bukunya mengatakan bahwa Negara, Propinsi, Kotapraja dan lain sebagainya
adalah badan hukum. Hanya saja pendiriannya tidak dilakukan secara khusus, melainkan tumbuh
secara histories. Lihat Apeldorn, 1962, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Noor Komala, Hlm 164.
42

Hikmahanto Juwana, Loc.Cit. Namun demikian harus diakui bahwa pengadilan sulit untuk
menentukan kapan pemerintah menjalankan kegiatan komersial dan kapan ia menjalankan
kegiatan pemerintahan. Wood mengungkapkan dalam bukunya bahwa, UAS Court held in 1981
that a contract for the purchase of army boots was goverment while an italian Court in 1925 that
was not. The French Court de Cassation held that a contract to supply cigarettes to the Vietnamese
army was governmental. Lihat: Philip R Wood 1995 Project Finance Subordinated Debt and State
Loans. London; Sweet & Maxwell Hlm 106.
43

Achmad Ichsan, Dunia Usaha Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986) Hlm 59. Dalam
bukunya mengatakan ada 3 (tiga) jenis badan hukum sebagaimana Pasal 1653 KUHPerdata
tersebut yaitu: (a) badan hukum yang didirikan Pemerintah termasuk didalamnya badan-badan
hukum publik seperti Propinsi, Daerah Swapraja, Kabupaten dan lain sebagainya, (b) badan
hokum yang diakui oleh Pemerintah, (c) badan hukum yang didirikan oleh Partikelir. Dari keempat
jenis badan hokum yang didirikan (diadakan) oleh kekuasaan umum.

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

24

bindend) dan tidak mengikat secara umum.44 Ada dua wewenang penting
pemerintah dalam proyek infrastruktur jalan tol yaitu dalam hal pembebasan lahan
dan penentuan tarif. Kedua hal ini menjadi bagian dari kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah sebagai upaya jaminan dari pemerintah untuk menjaga
kepastian nilai investasi yang secara tegas dicantumkan dalam UU No.38/2004
tentang Jalan dan PP No.15/2005 tentang Jalan Tol. Sehingga dapat dikatakan
bahwa dalam hal ini pemerintah bertindak sebagai badan hukum publik.

2.2 Hak-hak konsumen pengguna jalan tol


Dalam konteks jalan tol ada dua kepentingan yang melekat didalamnya
yaitu pertama pihak operator jalan tol yang berperan dalam pembangunan serta
pengelolaan jalan tol (dalam hal ini bisa dikategorikan sebagai penyedia jasa) dan
kedua pihak pengguna jalan tol sebagai konsumen yang membayar atas
penggunaan jalan tol. Pengusahaan Jalan tol merupakan penyediaan dan
pelayanan infrastruktur jalan dimana konsumen pengguna melakukan pembayaran
kepada operator jalan tol atas pelayanan dan penggunaan jalan tersebut.
Istilah konsumen sendiri berasal dari alih bahasa dari kata consumer
(Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Dalam Kamus Bahas
Inggris-Indonesia, consumer diartikan sebagai pemakai atau konsumen.45
Sementara pengertian secara umumnya adalah setiap orang yang mendapatkan
barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu.

46

Pengertian tersebut masih

diartikan secara luas, bahkan luasnya pengertian konsumen dilukiskan secara


sederhana oleh mantan Presiden Amerika Serikat, John F.Kennedy dengan
mengatakan, Consumers by definition include us all.47 Pada beberapa negara
44

Iwan E Joesoef, Jaminan Pemerintah (Negara) atas kewajiban hutang investor dalam proyek
infrastruktur (studi kasus proyek jalan tol), (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2005), Hlm 20.
45

Celina Tri Siwi Kristiyanti, supranotes 14, Hlm 22.

46

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2001),
Hlm.3.
47

Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan terhadap konsumen dilihat dari sudut perjanjian
baku (standar) dalam BPHN Simposium Aspek-aspek hukum perlindungan konsumen,
(Bandung:Binacipta, 1986), Hlm.57. (dari buku Susanti Adi Nugroho, Hlm 61)

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

25

seperti Amerika Serikat dan negara-negara anggota European Economic


Community (EEC) memiliki konsep pengertian konsumen yang lebih detail
dimana konsumen dibagi menjadi dua yaitu konsumen antara dan konsumen
akhir.48 Sementara pengertian konsumen menurut UUPK dalam Pasal 1 ayat (2)
secara tegas mengartikan konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dari
pengertian tersebut terlihat bahwa UUPK tidak mengenal pembedaan antara
konsumen antara dan konsumen akhir. Bahkan UUPK secara tegas menekankan
bahwa konsumen yang dimaksud merupakan konsumen akhir dengan penggunaan
kata pemakai dan kalimat ...tidak untuk diperdagangkan.
Kemudian

timbul

pertanyaaan

apakah

pengguna

jalan

tol

bisa

dikategorikan sebagai konsumen. Prasarana jalan tol sebelumnya dikategorikan


sebagai barang publik (public goods) karena bagian dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN).49 Akan tetapi kemudian dengan keterlibatan sektor
swasta, jalan tol bukan lagi dikategorikan sebagai barang publik (public goods)
tetapi sudah menjadi barang privat (private goods). Sehingga ketika masyarakat
menggunakan jalan tol dengan melakukan pembayaran tarif, mereka berperan
sebagai pengguna barang privat dan dapat dikategorikan sebagai konsumen.
Begitu halnya dengan investor swasta yang menjadi pengelola jalan tol,
secara konsepsi hukum bisa dikategorikan sebagai pelaku usaha. Pelaku usaha
dalam dunia perekonomian lebih dikenal dengan istilah pengusaha. Pengusaha adalah
setiap orang atau badan usaha yang menjalankan usaha memproduksi, menawarkan
menyampaikan atau mendistribusikan suatu produk kepada masyarakat luas selaku
konsumen. Pengusaha memiliki arti yang luas, tidak semata-mata membicarakan
produsen, tetapi juga pedagang perantara atau pengusaha,50 sedangkan pengertian
pelaku usaha :

48

Celina Tri Kristiyanti, supranotes 14, Hlm 24.

49

Susanti Adi Nugroho, supranotes 8, Hlm.5

50

Mariam Darus, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku (standar), Kertas Kerja
Pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, (Jakarta, 1980), Hlm. 57

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

26

Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.51
Pelaku usaha sendiri merupakan salah satu dari pelaku ekonomi yang bisa dibagi
dalam tiga kelompok pelaku usaha, yaitu:52
a. Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai
kepentingan. Seperti perbankan, penyedia dana dan lain sebagainya.
b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau
jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan
tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri dari
orang/badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/badan yang memproduksi
sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan,
orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan,
orang/usaha berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan narkotika, dan lain
sebagainya.
c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara
retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, rumah sakit, warung
dokter, usaha angkutan (darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya.
Jika mengkaji dari beberapa pengertian pelaku usaha sebagaimana diungkapkan
diatas maka pengelola jalan tol termasuk pada kategori kelompok pelaku usaha
investor. Sehingga secara hukum melekat pula hak dan kewajiban pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam UUPK.
Setelah mengetahui pengertian dan kategorisasi pengguna jalan tol sebagai
konsumen dan investor jalan tol sebagai pelaku usaha sebagaimana dijelaskan
diatas, tentunya berakibat pada timbulnya hubungan hukum diantara mereka salah
51

Pasal 1 angka 3 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

52

Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2008), Hlm 11.

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

27

satunya tercakup dalam lingkup hukum perlindungan konsumen. Suatu hubungan


hukum akan menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Secara
umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen yang diakui secara
internasional, yaitu53
1. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);
2. hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);
3. hak untuk memilih (the right to choose);
4. hak untuk didengar (the right to heard);
Dengan makin berkembangnya kesadaran akan pentingnya hak konsumen, jumlah
hak ini juga bertambah. Organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam
The Internasional Organization of Consumer Union (IOCU) dan YLKI
melengkapi hak-hak konsumen sehingga secara umum yang termasuk pada hak
konsumen sebagai berikut54
1. hak untuk mendapatkan keamanan
2. hak untuk mendapatkan informasi yang benar
3. hak untuk didengar
4. hak untuk memilih
5. hak untuk mendapatkan produk barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai
tukar yang diberikan
6. hak untuk mendapatkan ganti kerugian
7. hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum
8. hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
9. hak untuk dilindungi akibat negatif persaingan usaha
10. hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen
Sementara dalam Pasal 4 UU PK menyebutkan beberapa hak konsumen
yang harus dilindungi yaitu :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;

53

Ibid, Hlm.16-27.

54

Celina Tri Siwi Kristiyanti, supra notes 14, Hlm. 32-41.

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

28

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam pengusahaan jalan tol, hak-hak konsumen sebagaimana diuraikan diatas
melekat pula pada konsumen pengguna jalan tol. Selain itu dalam PP No.15/2005
tentang Jalan Tol mengatur mengenai hak dan kewajiban pengguna jalan tol.55
Adapun kewajiban yang dibebankan kepada pengguna jalan tol sebagai konsumen
diantaranya56
1. Pengguna jalan tol wajib membayar tol sesuai dengan tarif yang telah
ditetapkan
2. Pengguna jalan tol wajib membayar denda sebesar dua kali tarif tol jarak
terjauh pada suatu ruas jalan tol dengan sistem tertutup dalam hal

55

Pasal 86-88 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol.

56

Pasal 86 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol.

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

29

a. pengguna jalan tol tidak dapat menunjukkn bukti tanda masuk jalan
tol pada saat membayar tol
b. menunjukkan bukti tanda masuk yang rusak pada saat membayar
tol
c. tidak dapat menunjukkn bukti tanda masuk yang benar atau yang
sesuai dengan arah perjalanan pada saat membayar tol
3. Pengguna jalan tol wajib mengganti kerugian Badan Usaha yang
diakibatkan oleh kesalahannya sebesar nilai kerusakan yang ditimbulkan
atas kerusakan pada
a. bagian-bagian jalan tol
b. perlengkapan jalan tol
c. bangunan pelengkap jalan tol
d. sarana penunjang pengoperasian jalan tol
4. Pengguna jalan tol wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di
bidang lalu lintas dan angkutan jalan
Sedangkan hak-hak konsumen yang dicantumkan secara eksplisit PP No.15/2005
tentang Jalan Tol yaitu diantaranya57
1. Pengguna jalan tol berhak menuntut ganti kerugian kepada Badan Usaha
atas kerugian yang merupakan akibat kesalahan dari Badan Usaha dalam
pengusahaan jalan tol
2. Pengguna jalan tol berhak mendapatkan pelayanan jalan tol yang sesuai
dengan standar pelayanan minimal (yang selanjutnya disebut SPM)
Kemudian menjadi pertanyaan apakah hak konsumen sebagaimana diuraikan
diatas telah dipenuhi. Untuk menjawab pertanyaan ini, standar pelayanan minimal
menjadi indikator yang sangat penting dalam pemenuhan hak-hak konsumen.
Sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol, jalan tol
mempunyai spesifikasi dan pelayanan yang lebih tinggi daripada jalan umum
yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam bentuk SPM.
57

Pasal 87-88 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol.

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

30

2.3 Standar Pelayanan Minimal (SPM) sebagai indikator perlindungan hak


konsumen jalan tol
Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) PP No.15/2005 tentang Jalan Tol, standar
pelayanan mininal merupakan ukuran yang harus dicapai dalam penyelenggaraan
jalan tol dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No.392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimal (yang selanjutnya
disebut Permen PU tentang SPM). Dalam Permen PU ini, SPM jalan tol
mencakup kondisi jalan tol, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas,
keselamatan serta unit pertolongan/penyelamatan dan bantuan pelayanan. Besaran
ukuran yang harus dicapai untuk masing-masing aspek dievaluasi secara berkala
berdasarkan hasil pengawasan fungsi dan manfaat. SPM jalan tol wajib
dilaksanakan oleh operator jalan tol dalam rangka peningkatan pelayanan kepada
pengguna jalan tol.
Standar pelayanan minimal jalan tol dapat diukur dari beberapa unsur
sebagaimana tergambar dalam tabel berikut ini58
Tabel 2.3
Standar Pelayanan Minimal menurut
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.392/PRT/M/2005
Substansi
Pelayanan
a. Kondisi
jalan tol

Indikator

Lingkup

Tolak ukur

Seluruh ruas jalan tol SRV 0,35 mg

Kekesatan
Ketidak rataan

Tidak
lubang

Seluruh ruas jalan tol IRI rata-rata < 4


m/kma dengan batas
maksimum IRI per
interval < 6 m/km
ada Seluruh ruas jalan tol 100%
Dilakukan
secara
visual yang meliputi
pengamatan terhadap
alur, retak, amblas,
pelepasan
butir
gelombang, lubang

58

Lampiran Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar


Pelayanan Minimal

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

31

Substansi
Pelayanan

Indikator

b. Kecepatan
Kecepatan
tempuh rata- tempuh rata-rata
rata

Lingkup

Jalan tol dalam kota

Jalan tol luar kota


c. Aksesibilitas Kecepatan
transaksi

d. Mobilitas

Sistem
terbuka

transaksi

Sistem
tertutup

transaksi

Jumlah gardu tol Sistem


terbuka

transaksi

Sistem
tertutup

transaksi

Tolak ukur
serta
rusak
tepi/tambalan.
v 1,6 X jalan non
tol
v 1,8 X jalan non
tol
Kecepatan transaksi
harus kurang dari
atau sama dengan 8
detik/kendaraan
Tidak lebih dari 7
detik/kendaraan di
gardu masuk dan 11
detik/kendaraan pada
gardu keluar
Melayani tidak lebih
dari
450
kendaraan/jam/gardu
Melayani tidak lebih
dari
500
kendaraan/jam/gardu
masuk dan 300
kendaraan/jam/gardu
keluar
30 menit per siklus
pengamatan

Kecepatan
Observasi
patroli
penanganan
dan
patroli
hambatan lalu kendaraan derek
lintas
yang
mencakup
Waktu
mulai 30 menit
diterimanya
informasi sampai ke
tempat kejadian
Penanganan akibat Penderekan gratis ke
kendaraan mogok
gerbang tol atau
bengkel terdekat
e. Keselamatan Sarana
pengaturan lalu
lintas termasuk
didalamnya
Kelengkapan
dan Harus 100%
Perambuan
kejelasan
perintah
dan larangan serta

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

32

Substansi
Pelayanan

Indikator

Lingkup

Tolak ukur

petunjuk

f. Pertolongan
pertama

marka jalan

Fungsi dan manfaat

Jumlah 100% dan


reflektivitas minimal
80%

guide
post/reflector

Fungsi dan manfaat

Jumlah 100% dan


reflektivitas minimal
80%

patok
per
kilometer
Penerangan
jalan
umum
(PJU) wilayah
perkotaan
Pagar rumija
Penanganan
kecelakaan

Fungsi dan manfaat

100%

Fungsi dan manfaat

100%
menyala

Fungsi dan manfaat


Korban kecelakaan

100% dipenuhi
Evakuasi ke
terdekat

Kendaraan
kecelakaan

Penderekan
gratis
sampai ke pool derek
(masih di dalam
jalan tol)
keberadaan
polisi
patroli (PJR) yang
siap 24 jam

Penanganan dan Ruas jalan tol


penegakan
hukum
Keberadaan
Ruas jalan tol
Ambulans

kendaraan
derek

Ruas jalan tol


LHR>100.000
kend/hari
LHR100.000
kend/hari

polisi patroli Ruas jalan tol


jalan
raya LHR>100.000
(PJR)
kend/hari
LHR100.000
kend/hari

lampu

RS

1 unit per 25 km atau


minimum 1 unit
(dilengkapi standar
P3K dan Paramedis)
1 unit per 5 km atau
minimum 1 unit
1 unit per 10 km atau
minimum 1 unit

1 unit per 15 km atau


minimum 1 unit
1 unit per 20 km atau
minimum 1 unit

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

33

Substansi
Pelayanan

Indikator

Lingkup

Tolak ukur

patroli jalan Ruas jalan tol


tol (operator)

1 unit per 15 km atau


minimum 1 unit

kendaraan
rescue

Ruas jalan tol

1 unit per ruas Jalan


Tol
(dilengkapi
dengan
peralatan
penyelamatan

sistem
informasi

Informasi
dan Setiap
komunikasi kondisi masuk
lalu lintas

gerbang

Tolak ukur yang ditetapkan dalam SPM merupakan ukuran ideal yang harus
dipenuhi oleh suatu jalan tol dan sudah berdasarkan kajian dari BPJT. Dalam hal
hak konsumen terutama atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan, SPM
mengakomodirnya dalam unsur kondisi jalan, keselamatan dan pertolongan
pertama. Tolak ukur yang dijadikan acuan pemenuhan hak konsumen ini tentunya
dengan tujuan utama bagaimana konsumen dapat merasa nyaman dan aman ketika
menggunakan jalan tol serta harus lebih baik daripada penggunaan jalan raya.
Namun pihak operator jalan tol pun harus berkomitmen untuk memberikan
pelayanan terbaik dan menyadari betul bahwa sumber pendapatan adalah pemakai
jalan. Pelayanan yang buruk berakibat pada minat pemakai jalan untuk
menggunakan jalan tol. Atas dasar itu, betapa pentingnya mendengarkan dan
memahami kebutuhan pengguna jalan tol. Hal ini merupakan implementasi hak
konsumen khususnya hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas jasa
pelayanan jalan tol. Dalam Permen PU tentang SPM tidak ada kewajiban baik
operator maupun BPJT untuk mempublikasikan hasil evaluasi SPM secara luas
kepada publik. Padahal SPM merupakan bagian dari informasi atas kondisi
pelayanan jalan tol yang semestinya diketahui oleh semua konsumen pengguna
jalan tol dan merupakan hak konsumen untuk mendapatkan pelayanan sesuai
dengan SPM sebagaimana diatur dalam Pasal 88 PP No.15/2005 tentang Jalan
Tol. Operator pun harus mampu menanggapi kewajiban pemenuhan SPM secara
positif, bukan hanya sebagai kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah semata
tetapi lebih kepada bagaimana memberikan pelayanan semaksimal mungkin

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

34

kepada pengguna jalan tol yang telah membayar tarif untuk penggunaan jalan tol
yang nantinya menjadi pemasukan/keuntungan bagi operator.
Berdasarkan data BPJT, saat ini mutu pelayanan lalu lintas di jalan tol
masih buruk. Dari 25 ruas jalan tol yang ada di Indonesia, 50 persen di antaranya
tidak memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) atau dengan kata lain ada 12
ruas jalan tol yang tidak mampu memenuhi SPM-nya yaitu
1. Surabaya-Gempol (49 kilometer),
2. Padalarang-Cileunyi (83 kilometer),
3. Cawang-Tomang-Grogol-Pluit (23,55 kilometer),
4. Belawan-Medan-Tanjung Morawa (42,70 kilometer),
5. Palimanan-Kanci (26,30 kilometer),
6. Cikampek-Padalarang (58,50 kilometer),
7. Lingkar Luar Jakarta/W2S-E1-E2-E3 (31,12 kilometer),
8. JORR S (14,25 kilometer),
9. Makassar Seksi Empat (11,60 kilometer),
10. Serpong-Pondok Aren (7,24 kilometer),
11. Ujung Pandang Tahap I (6,05 kilometer), dan
12. Tangerang-Merak (73 kilometer). 59
Sementara 13 ruas jalan tol lainnya, dinilai sudah memenuhi SPM yang
ditetapkan BPJT yaitu
1. Jakarta-Bogor-Ciawi (59 kilometer),
2. Jakarta-Tangerang (33 kilometer),
3. Jakarta-Cikampek (83 kilometer),
4. Prof Dr Ir Sedyatmo/Tol Bandara (14,30 kilometer),
59

Kementerian Pekerjaan Umum, Data yang dsampaikan pada waktu Rapat Dengar Pendapat
Komisi V DPR-RI dengan Dirjen Bina Marga, Kepala BPJT dan Dirut PT.Jasa Marga, Tanggal 17
Februari 2010, Hlm 11

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

35

5. Semarang Seksi A, B, dan C (24,75 kilometer),


6. Ulujami-Pondok Aren (5,55 kilometer),
7. Jembatan Surabaya-Madura (5,40 kilometer),
8. Cawang-Tanjung

Priok-Ancol

Timur-Jembatan

Tiga/Pluit

(27,05

kilometer),
9. SS Waru-Bandara Juanda (12,80 kilometer),
10. Surabaya-Gresik (20,70 kilometer),
11. Bogor Ring Road Seksi I (3,85 kilometer),
12. Kanci-Pejagan (35 kilometer), dan
13. JORR W-1 (9,85 kilometer).60
Dari data tersebut menunjukan operator jalan tol masih banyak yang belum
memenuhi SPM sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah.
Penulis melakukan perbandingan atas penerapan SPM ini dengan negara
tetangga malaysia yang merupakan perbandingan yang paling logis karena dalam
awal perkembangannya, pembangunan jalan tol (yang dalam bahasa Malaysia
disebut lebuhraya) dua puluh tujuh tahun yang lalu, dapat dikatakan berguru
kepada Indonesia tapi fakta membuktikan saat ini pengelolaan tol negeri itu jauh
lebih maju. Bahkan, perusahaan-perusahaan pengembang jalan tol asal Malaysia
juga mulai merambah pembangunan jalan tol di Indonesia. Saat ini tercatat ada
empat investor Malaysia yang terlibat langsung dalam pembangunan tol Trans
Jawa, yakni Plus Sdn. Bhd., MTD Capital, Cahaya Mata Serawak, serta Bina Puri.
Mereka menggarap jalan tol dengan menggandeng investor lokal.61
Berdasarkan data Lembaga Lebuhraya Malaysia (LLM), Malaysia telah
mengoperasikan 24 buah lebuh raya sepanjang 1,520 kilometer (km) dan 8 buah
masih dalam tahap pembangunan. Lembaga Lebuhraya Malaysia (LLM)
merupakan semacam BPJT di Indonesia, badan yang berwenang dalam
60

Ibid, Hlm 10.

61

Ganet Dirgantara, supranotes 16.

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

36

pembangunan, pengawasan dan kebijakan di bidang jalan tol. Konsep


pembangunan jalan tol di Malaysia hampir sama dengan Indonesia, menggunakan
konsep BOT dengan pihak swasta yang dibatasi dengan masa konsesi. Namun
LLM berani membeli kembali konsesi jalan tol apabila dalam perjalannya ternyata
ruas tersebut tidak layak secara finansial bagi investor. LLM juga berani membeli
kembali konsesi jalan tol, jika investor tol mengalami kesulitan keuangan.62
Sementara terkait dengan perlindungan konsumen pengguna jalan
tol/lebuh raya, Malaysia menerapkan aturan yang lebih maju dibandingkan
Indonesia bahkan Malaysia mensyaratkan pemenuhan pelayanan kepada
konsumen dalam perjanjian konsesinya. Setiap tahunnya, LLM mengadakan
evaluasi perjanjian konsesi dengan pihak operator, yang mana salah satu poin
penting yang dievaluasi adalah memastikan pemenuhan kualitas pengoperasian
lebuh raya apakah sudah memenuhi standar yang ditetapkan. Disamping itu, LLM
juga melakukan kajian kepuasan pengguna lebuhraya yang dilakukan setiap tiga
kali pertahun.63 Pelaksanaan kajian ini merupakan salah satu langkah pemantauan
dan penilaian atas pelayanan yang diberikan oleh lebuhraya. Hasil kajian tersebut
kemudian dijadikan tolak ukur bagi penilaian kualitas sebuah lebuhraya dari
perspektif pengguna. Adapun indikator yang dinilai diantaranya pertama, tingkat
keselamatan dimana konsumen dapat menggunakan jalan tol dalam keadaan yang
cepat dan selamat. LLM meminta agar semua operator dapat meningkatkan aspek
keselamatan dan disesuaikan dengan kondisi terkini. Dalam hal keselamatan ini
ada institusi lain yang terlibat yaitu Jabatan Keselamatan Jalan Raya (JKJR) dan
Malaysia Institute Research of Safety (MIROS). Kedua institusi inilah yang
menjadi ujung tombak penilaian keselamatan dan lalu lintas.64
Kedua, untuk urusan manajemen lalu lintas, dibuat Pusat Pengurusan
Trafic (TMC) yang memantau dan mengatur lalu lintas lebuhraya yang beroperasi.
Pemantauan dilakukan melalui kamera pemantauan Closed Circuit Television

62

Lembaga Lebuhraya Malaysia, Laporan Tahunan 2009, Hlm 22.

63

Ibid, Hlm 56.

64

Ibid, Hlm 58.

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

37

(CCTV) serta peralatan Vehicle Detection Station (VDS).65 Sistem manajemen


ini terhitung modern. Konsumen pengguna jalan dapat mengakses TMC ini
melalui website, sms, radio, berbagai papan visual yang dipasang dijalan dan
televisi. Sehingga konsumen dapat mengetahui dengan mudah kondisi lebuhraya
yang akan dilaluinya dan konsumen pun diberi kesempatan memilih apakah akan
menggunakan jalan tol tersebut atau tidak dengan terlebih dahulu mengetahui
kondisi lalu lintas saat itu. Dengan adanya manajemen lalu lintas ini, operator pun
dapat mengatur tingkat kepadatan lalu lintas dengan menggunakan sistem buka
tutup gerbang tol, konsumen pengguna pun tidak sampai mengalami kemacetan.
Ketiga, modernisasi pelayanan, diantaranya dengan penggunaan sistem
kutipan tol elektronik (ETC) dimana dengan satu kartu bisa digunakan untuk
pembayaran di semua lebuhraya. Ada dua macam kartu yang digunakan kartu
Touch n Go dan SmartTAG yang diterbitkan oleh perusahaan asuransi. Dengan
penggunaan kartu tersebut maka akan mengurangi kemacetan yang diakibatkan
antrian pembayaran tunai dan mempercepat jarak tempuh. Sementara bagi
pengguna reguler yang sering menggunakan jalan tol, Malaysia menerapkan Multi
Lane Free Flow. Sistem ini menggunakan teknologi gelombang mikro yang akan
mengidentifikasi kendaraan yang lewat sehingga pengguna melalui gerbang tol
tanpa perlu berhenti. Namun ada suatu sistem yang secara otomatis telah merekam
konsumen tersebut.66
Indonesia, sebenarnya sudah mulai menerapkan ETC yang dikenal dengan
Electronic Toll Card (e-toll card). e-Toll Card adalah kartu prabayar contactless
smartcard yang digunakan untuk transaksi pembayaran tarif tol. e-Toll Card
menggunakan sistem RFID (Radio Frequency Identification) yang memungkinkan
transaksi dapat dilakukan dari jarak jauh (contactless). Dengan layanan ini
pelanggan tol untuk masuk tol cukup menempel kartu pada reader contactless
yang disediakan untuk melakukan transaksi. Dalam sistem tertutup pengemudi
cukup menempel tidak usah mengambil kartu, serta saat keluar kembali
menempelkan kartu, langsung saldo/nilai uang dalam kartu secara otomatis

65

Ibid, Hlm 64.

66

Ibid, Hlm 68

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

38

berkurang. Saldo tersimpan pada chip kartu, sehingga pada saat transaksi e-Toll
Card tidak dibutuhkan PIN atau tanda tangan.67
Layanan terhadap pengguna e-toll card melalui pengembangan layanan
gardu tol otomatis (GTO) yang memberikan kecepatan dan kenyamanan dalam
melakukan transaksi e-toll card. Waktu transaksi di gardu tol akan lebih cepat
atau efisien tanpa harus berinteraksi dengan petugas tol. Bahkan pengemudi tidak
perlu menghentikan mobil pada saat melakukan transaksi pembayaran tarif tol
dengan e-Toll Card, hanya saja si pengemudi bisa memperlambat kecepatan
mobilnya. Jika transaksi di gardu tol dengan sistem terbuka pembayaran dengan
uang tunai dibutuhkan waktu sekitar tujuh detik, maka dengan menggunakan eToll Card ini bisa kurang dari empat detik. Dengan layanan e-Toll Card ini
diharap akan mempercepat pembayaran dan bisa menyingkat waktu sehingga
antrean panjang disekitar gerbang tol tidak terjadi lagi seperti biasanya.68
Penggunaan kartu e-toll ini masih ada kelemahan yaitu diterbitkan oleh
pihak bank dengan sistem prabayar, memiliki nilai minimum nominal dan hanya
bisa dipergunakan pada beberapa ruas. Pelayanan antara konsumen pengguna etoll dan pembayaran tunai pun masih dalam antrian yang sama, sehingga
dampaknya belum terlalu terasa. Secara konstruksi hukum pun hubungan antara
operator dengan pihak penerbit kartu e-toll, dalam hal ini pihak bank merupakan
hubungan kerjasama dalam hal pembayaran.
Dari uraian diatas, terlihat bagaimana standar pelayanan konsumen jalan
tol di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia. Padahal
Indonesia lebih dahulu berkecimpung dalam pembangunan jalan tol. Dalam
pelaksanaan SPM di Indonesia, tidak dipungkiri masih terdapat beberapa
hambatan diantaranya

67

http://qunutfadjrie.blogspot.com/2009/02/petunjuk-penggunaan-e-toll-card.html,
tanggal 23 Agustus 2010.

Diunduh

68

Kompas,
http://tekno.kompas.com/read/xml/2008/10/31/18455947/etoll.card.percepat.transaksi.di.pintu.tol, Diunduh tanggal 23 Agustus 2010.

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

39

a. Belum adanya sanksi hukum. Baik dalam PP No.15/2005 tentang Jalan


Tol maupun dalam Permen PU tentang SPM, tidak ada sanksi hukum yang
dapat dibebankan kepada operator jalan tol bila belum memenuhi SPM.
Dalam Pasal 8 Permen PU tentang SPM hanya mencantumkan bahwa
untuk pemenuhan indikator standar pelayanan minimal khusus untuk
ketidakrataan diberikan tenggang waktu paling lama 5 (lima) tahun, dan
pemenuhan indikator pagar rumija diberikan tenggang waktu paling lama
3 (tiga) tahun dengan pelaksanaan dilakukan secara bertahap.69 Bila SPM
tidak terpenuhi, operator tidak mendapatkan sanksi apapun. Sedangkan
pemenuhan SPM ini sangat penting kaitannya dengan kebijakan
penyesuaian tarif tol. PP No.15/2005 tentang Jalan Tol mensyaratkan
adanya evaluasi setiap dua tahun sebelum melakukan penyesuaian tarif.
Evaluasi mengacu pada terpenuhi atau tidaknya Standar Pelayanan
Minimal (SPM) jalan tol seperti tertuang dalam Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005.
b. Instrumen hukum yang mengatur SPM sendiri baru diatur dalam bentuk
peraturan menteri sebagai kelanjutan atau turunan dari aturan PP
No.15/2005 tentang Jalan Tol yang berarti bahwa dengan kewenangan
delegasi yang diberikan oleh PP No.15/2005 tentang Jalan Tol, Menteri
PU membuat peraturan teknis mengenai SPM ini. Persoalan muncul
karena dalam SPM ini dipertaruhkan hak masyarakat sebagai konsumen
pengguna jalan tol sebab SPM menjadi indikator utama pemenuhan hak
konsumen dalam pelayanan jalan tol. Bagaimana SPM ini dapat
mengakomodir hak konsumen tersebut. Peraturan Menteri hanya
mencantumkan teknis indikator SPMnya. Bahkan dalam PP No.15/2005
tentang Jalan Tol pun hanya mencantumkan persyaratan evaluasi tanpa
ada sanksi. Menurut penulis, ini bisa menjadi celah bagi investor untuk
menunda atau bahkan menghindar dari kewajiban pemenuhan SPM.
Seharusnya persoalan SPM sebagai indikator evaluasi atas pelayanan yang
diberikan oleh operator jalan tol kepada konsumen diatur dalam bentuk
69

Pasal 8 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar


Pelayanan Minimal

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

40

salah satu peraturan perundang-undangan sebagaimana tertuang dalam


Pasal 7 ayat 1 UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.70
c. Mengenai tindak lanjut hasil evaluasi SPM dan dampaknya bagi
pelayanan konsumen jalan tol. Selama ini evaluasi atas SPM dilakukan
oleh pemerintah melalui BPJT dalam jangka waktu setahun dua kali yaitu
semester I dan semester II. Setelah dilakukan evalusi kemudian akan
dilakukan pembahasan terhadap hasil yang didapatkan dan menjadi
rekomendasi untuk melakukan kenaikan tarif bagi sejumlah ruas yang
memang sudah pantas mendapatkannya. Namun jika SPM tersebut belum
terpenuhi maka BPJT berkewajiban untuk memberikan teguran kepada
operator untuk segera menindaklanjuti hasil penilaian BPJT tersebut.
YLKI sebagai organisasi konsumen masih mempersoalkan hasil evaluasi
SPM tersebut karena terindikasi bahwa masyarakat yang menjadi
konsumen pengguna jalan tol tidak mengetahui bagaimana hasil dan
tindak lanjut SPM.71 Sehingga muncul asumsi dalam masyarakat, tarif tol
naik tapi pelayanan sama sekali tidak mengalami kenaikan. Pemerintah
dianggap menaikan tarif untuk keuntungan operator saja sementara
pelayanan kepada masyarakat tidak terperhatikan.
d. Dalam Permen PU No.392/2005 mengenai SPM, tidak ada klausul pasal
yang mengatur secara khusus mengenai publikasi kepada masyarakat
bahkan peran serta masyarakat dalam hal pengawasan pemenuhan SPM
pun tidak ada. Sedangkan pihak yang memiliki kepentingan dalam SPM
ini adalah masyarakat, sudah seharusnya masyarakat mengetahui

70

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembetukan Peraturan Perundangundangan membagi jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan menjadi lima yaitu
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
(3) Peraturan Pemerintah;
(4) Peraturan Presiden;
(5) Peraturan Daerah.
71

Koran Tempo, http://www.tempointeractive.com/hg/ekbis/2001/12/04/brk,20011204-03,id.html,


diunduh tanggal 21 Agustus 2010.

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

41

sejauhmana pihak operator telah memberikan pelayanan kepada


konsumennya. Bila dikaitkan dengan teori hukum bahwa suatu aturan
hukum dibuat untuk kepentingan masyarakat dengan tujuan untuk
keselamatan dan ketertiban masyarakat,72 maka peraturan menteri
meskipun merupakan aturan teknis tetapi harus bisa juga mengakomodir
tujuan tersebut. Selain itu, ada nilai-nilai, asas-asas, dan kaidah-kaidah
yang harus tetap diperhatikan salah satunya perlindungan konsumen.
e. Permen PU 392/2005 menitikberatkan SPM pada baik buruknya
penyediaan infrastruktur jalan. Padahal, di beberapa negara lain, SPM
menilai seluruh aspek pelayanan di jalan tol yang meliputi infrastruktur
jalan, efisiensi operasional jalan tol, laju lalu lintas di dalam tol, panjang
antrean kendaraan di gerbang tol, dan waktu transaksi per kendaraan di
gerbang tol.
Dari uraian permasalahan mengenai SPM diatas, Pemerintah hendaknya
memikirkan bagaimana standar dalam SPM yang merupakan perlindungan yang
ideal bagi konsumen dapat diterapkan secara maksimal oleh operator jalan tol.
Agar konsumen dapat merasa puas karena tarif yang sudah dibayarkan oleh
konsumen pengguna dapat sebanding dengan pelayanan yang diberikan. Solusi
atas hal ini yaitu dengan melakukan peninjauan kembali aturan mengenai SPM
jalan tol. Aturan mengenai SPM ini seharusnya diatur dalam salah satu bentuk
peraturan perundang-undangan yang memiliki sanksi hukum yang tegas.
Sementara mengenai substansi pelayanan yang harus dipenuhi oleh operator jalan
tol sebagaimana diatur dalam Lampiran Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimal,

seharusnya

diperbaharui sesuai dengan kondisi saat ini. Terakhir, yang paling penting
evaluasi atas SPM yang dilakukan oleh BPJT harus dipublikasikan kepada
masyarakat

khususnya

konsumen

pengguna

jalan

tol

sebagai

bentuk

pertanggungjawaban kepada konsumen. Sehingga dengan demikian perlindungan


atas hak konsumen jalan tol pun akan mampu diakomodir dalam SPM yang wajib
dipenuhi oleh operator jalan tol.
72

Abdurahman, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Ilmu Perundang-undangan, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1995), Hlm 15.

Universitas Indonesia

Perlindungan hukum..., Putri Puspita Agustine, FH UI, 2011.

También podría gustarte