Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
BAB 2
HAK KONSUMEN JALAN TOL DI INDONESIA TERKAIT DENGAN
PEMENUHAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM)
2.1 Tinjauan Umum Mengenai Jalan Tol
Pembangunan jalan merupakan kebutuhan yang sangat vital sebagai
pendukung utama dinamika dan aktivitas ekonomi baik di pusat maupun daerah
dan pengembangan wilayah serta sebagai prasarana penunjang yang utama bagi
perekonomian nasional.29 Untuk infrastruktur jalan, dari panjang jalan nasional
yang sampai saat ini telah mencapai 34.628 km, hingga tahun 2009 tercatat
kondisi jalan nasional yang kondisinya baik mencapai 52,25%, kondisi sedang
34,81%, rusak ringan 11% dan rusak berat 0%.30 Namun hingga saat ini rencana
pemerintah dalam pengembangan infrastruktur jalan terhambat dalam hal dana
yang terhitung cukup besar, sementara pada sisi lain anggaran yang ada untuk
pembangunan jalan baru maupun pemeliharaan jalan sangat terbatas. Oleh sebab
itu dalam rangka mengatasi keterbatasan anggaran yang dimiliki, pemerintah
memutuskan untuk melibatkan sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur
dalam bentuk pengusahaan jalan tol.
Di Indonesia sendiri, jalan tol sering dianggap sinonim untuk jalan bebas
hambatan, meskipun hal ini sebenarnya salah. Di dunia secara keseluruhan, tidak
semua jalan bebas hambatan memerlukan bayaran. Jalan bebas hambatan seperti
ini dinamakan freeway atau expressway (free berarti "gratis", dibedakan dari
jalan-jalan bebas hambatan yang memerlukan bayaran yang dinamakan tollway
atau tollroad (kata toll berarti "biaya")).31 Dalam Pasal 1 butir 2 PP No.15/1005
tentang Jalan Tol secara umum yang dimaksud dengan jalan tol adalah jalan
umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional
yang penggunaannya diwajibkan membayar tarif tol. Berdasarkan pengertian
29
Departemen Pekerjaan Umum, Evaluasi Kinerja Departemen Pekerjaan Umum 2005-2009, Hlm
23.
30
Departemen Pekerjaan Umum, Data yang dsampaikan pada waktu Rapat Kerja Menteri
Pekerjaan Umum dengan Komisi V DPR-RI, Tanggal 14 Oktober 2009, Hlm 12.
31
Universitas Indonesia
20
tersebut jelas terlihat perbedaan dengan jalan umum terutama dalam hal
kewajiban pembayaran tarif. Meskipun jika menilik lebih jauh dari UU
No.38/2004 tentang Jalan, pengaturan, pembinaan, pembangunan dan pengawasan
dalam penyelenggaraan jalan menjadi wewenang pemerintah.32 Konsep jalan tol
adalah pembangunan jalan yang dibiayai oleh pemakai jalan yang dijembatani
oleh investor, maksudnya pembangunan dilakukan oleh investor untuk kemudian
investor akan menarik dana sebagai pengganti dana pembangunan kepada
pemakai jalan yang disebut sebagai tarif tol dengan jangka waktu tertentu (selama
masa konsesi).
Sementara pengusahaan Jalan Tol dilakukan dengan bentuk Build Operate
and Transfer (BOT) maksudnya Badan Usaha berkewajiban untuk membangun
Jalan Tol dan/atau fasilitas, termasuk pembiayaan, yang dilanjutkan dengan
pengoperasian dan pemeliharaan dalam jangka waktu tertentu serta berhak
menarik biaya pemakaian layanan dari pengguna untuk mengembalikan modal
investasi, biaya pengoperasian dan pemeliharaan serta keuntungan yang wajar,
dan setelah berakhirnya Perjanjian Pengusahaan harus diserahkan kembali kepada
Pemerintah tanpa penggantian biaya apapun.33
Industri jalan tol di Indonesia boleh dikatakan lahir secara tidak
sengaja ketika pemerintah memutuskan untuk menjadikan jalan bebas
hambatan Jagorawi, yang kala itu sedang dibangun, menjadi jalan tol.
Sebagai titik awal sejarah investasi jalan tol di Indonesia dimulai pada tahun 1978
dengan dioperasikannya jalan tol Jagorawi dengan panjang 59 km (termasuk jalan
akses), yang menghubungkan Jakarta, Bogor dan Ciawi.34 Ketika masih dalam
tahap pembangunan, jalan tol Jagorawi ini belum berstatus sebagai jalan tol.
Kemudian setelah jalan tersebut selesai dibangun, tahun 1978, Pemerintah
berpikir agar biaya pengoperasian dan pemeliharaan ruas jalan tersebut dapat
dilakukan mandiri tanpa membebani anggaran Pemerintah. Untuk itu Menteri
32
33
Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian Pekerjaan Umum, Peluang Investasi Jalan Tol di
Indonesia 2010, Hlm.22.
34
Ibid, Hlm.14.
Universitas Indonesia
21
Pekerjaan Umum ketika itu, Ir. Sutami mengusulkan kepada Presiden agar ruas
jalan Jakarta-Bogor tersebut dijadikan jalan tol.35 Pada waktu itu Jasa Marga tidak
memperoleh masa konsesi karena berdasarkan UU Jalan yang lama (UndangUndang Nomor 13 Tahun 1980) Jasa Marga adalah satu-satunya penyelenggara
jalan tol bagi pemerintah. Selanjutnya Jasa Marga ditugasi oleh pemerintah untuk
membangun jalan tol dengan tanah yang dibiayai oleh pemerintah.
Pada akhir dekade 1980an jalan tol swasta pertama (diluar Jasa
Marga), yaitu Cawang-Tj. Priok (Harbour Road) mulai dibangun. Jasa
Marga sebagai pemegang otoritas tunggal jalan tol harus memberikan kuasa
pada perusahaan jalan tol swasta sehingga Jasa Marga memainkan peran ganda
sebagai operator jalan tol sekaligus sebagai lembaga otorisasi atas nama
pemerintah, dua peran yang jelas-jelas menimbulkan conflict of interest. Didasari
oleh kondisi tersebut maka pemerintah mencoba mengubah struktur investasi jalan
tol yang sebelumnya Jasa Marga menjadi penguasa utama pembangunan jalan tol
dan membuka peluang seluas-luasnya bagi pihak swasta lainnya untuk turut serta
dalam pembangunan jalan tol.
Salah satu upaya restrukturisasi investasi jalan tol yaitu dengan melakukan
perbaikan dan perombakan pada sisi regulasi yaitu dengan ditetapkannya UU
Jalan yang baru, UU No. 38 tahun 2004 yang berlaku sejak Oktober 2004 dan
Peraturan Pemerintah sebagai turunannya, yaitu PP No. 15 Tahun 2005 mengenai
jalan tol. Kedua aturan hukum inilah yang menjadi landasan yuridis dalam
pengoperasian jalan tol. Suatu perubahan yang prinsipil dalam aturan hukum ini
adalah bahwa Jasa Marga tidak lagi berperan sebagai lembaga otorisasi bagi
investor jalan tol swasta, untuk ini telah dibentuk Badan Pengatur Jalan Tol
(BPJT) yang bertanggung jawab kepada Menteri Pemukiman dan Prasarana
Wilayah (Kimpraswil). Semua pengusaha jalan tol baik swasta maupun
BUMN (Jasa Marga) harus mendapatkan suatu Perjanjian Pengusahaan Jalan
Tol (PPJT) dari BPJT.36
35
Badan Penelitian dan Pengembangan SDM, Depkominfo, Tol Jagorawi Merupakan Modal Awal
PT Jasa Marga, 4 September 2007. Diunduh pada 10 Februari 2008.
36
Universitas Indonesia
22
Pembangunan jalan tol pun tidak lepas dari imbas krisis ekonomi yang
terjadi pada tahun 1997, yang menyebabkan pada akhirnya beberapa proyek
pembangunan tol mandeg dan mau tidak mau harus diambil alih oleh pemerintah
melalui PT. Jasa Marga.37 Pada periode 1997-2001 hanya terbangun 13,30 km
jalan tol. Mulai dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2004 terbangun 4 ruas jalan
dengan panjang total 41,80 km.38 Untuk saat ini, manajemen pengelolaan jalan tol
di Indonesia diprioritaskan untuk daerah dimana pengguna jalan mempunyai
kemampuan dalam menyediakan biaya transportasi yaitu pada daerah sudah
berkembang dan sebagian daerah yang sedang berkembang.
Lebih lanjut UU Jalan mengatakan bahwa pengusahaan jalan tol dilakukan
oleh Pemerintah, Badan Usaha atau Pemerintah dan Badan Usaha.39 Pengusahaan
jalan tol oleh Pemerintah terutama diperuntukkan untuk ruas jalan tol yang layak
secara ekonomi tetapi belum layak secara finansial. Pengusahaan jalan tol oleh
Badan Usaha diperuntukkan untuk ruas jalan tol yang layak secara ekonomi dan
finansial. Sedangkan pengusahaan jalan tol oleh Pemerintah dan Badan Usaha
diperuntukkan untuk ruas jalan tol yang layak secara ekonomi tetapi keseluruhan
proyek tidak layak secara finansial.
Untuk menjamin transparansi dalam penunjukan badan usaha, keterlibatan
Badan Usaha dalam pengusahaan jalan tol dilaksanakan melalui pelelangan yang
kemudian hubungan hukum antara Pemerintah dengan pihak investor swasta
diakomodir dalam bentuk perjanjian (kontrak) yang dikenal dengan Perjanjian
Pengusahaan Jalan Tol (PPJT). PPJT merupakan suatu perjanjian antara
Pemerintah dengan Investor jalan tol yang dapat secara hukum dikontruksikan
sebagai perjanjian (kontrak) bisnis yang berdimensi publik.40 Dalam PPJT ini
salah satu pihaknya adalah pemerintah, berbeda halnya dengan kontrak bisnis
37
Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian Pekerjaan Umum, supranotes 30, Hlm 13.
38
Ibid, Hlm.13
39
40
Kontrak Bisnis dapat digambarkan secara sederhana sebagai suatu perjanjian antara dua atau
lebih pihak yang mempunyai nilai komersial tertentu (Hikmahanto Juwana, Kontrak Bisnis yang
Berdimensi Publik, Jurnal Magster Hukum, Vol2 No.1, Februari 2000)
Universitas Indonesia
23
pada umumnya yang para pihaknya merupakan subyek hukum perdata yang
diasumsikan memiliki kedudukan yang sejajar. Oleh sebab itu ditambahkan istilah
berdimensi publik yang menunjukan adanya keikutsertaan pemerintah sebagai
salah satu pihak didalamnya. Pemerintah dalam kaitan tersebut diatas dianggap
sebagai subyek hukum perdata. Sebagai subyek hukum perdata maka Pemerintah
merupakan badan hukum dan statusnya sama dengan subyek hukum perdata
lainnya.41 Pemerintah dianggap demikian karena ia menjalankan kegiatan
komersial (acts jure gestionist) yang harus dibedakan dari kegiatan pemerintahan
(acts jure imperil).42 Hal ini untuk mempertegas bahwa meskipun Pemerintah
merupakan lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan tindakan
administrasi negara yang bersifat regulator, sehingga kedudukannya lebih tinggi
dari individu atau badan hukum lainnya. Namun dalam konteks kontrak yang
berdimensi publik ini, pemerintah melepaskan imunitasnya tersebut dan
diasumsikan sejajar dengan pihak lain. Adapun dasar hukum yang menyatakan
pemerintah merupakan badan hukum dapat ditemukan dalam Pasal 1653
KUHPerdata.43
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa dalam suatu investasi jalan tol
terutama dalam PPJT, Pemerintah berperan sebagai badan hukum privat atau
subyek hukum perdata. Akan tetapi hal ini tidak melepaskan peran pemerintah
sebagai badan hukum publik (personnemorale) yang mempunyai wewenang
untuk mengeluarkan kebijakan publik, baik yang mengikat umum (algemeen
41
Apeldorn, dalam bukunya mengatakan bahwa Negara, Propinsi, Kotapraja dan lain sebagainya
adalah badan hukum. Hanya saja pendiriannya tidak dilakukan secara khusus, melainkan tumbuh
secara histories. Lihat Apeldorn, 1962, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Noor Komala, Hlm 164.
42
Hikmahanto Juwana, Loc.Cit. Namun demikian harus diakui bahwa pengadilan sulit untuk
menentukan kapan pemerintah menjalankan kegiatan komersial dan kapan ia menjalankan
kegiatan pemerintahan. Wood mengungkapkan dalam bukunya bahwa, UAS Court held in 1981
that a contract for the purchase of army boots was goverment while an italian Court in 1925 that
was not. The French Court de Cassation held that a contract to supply cigarettes to the Vietnamese
army was governmental. Lihat: Philip R Wood 1995 Project Finance Subordinated Debt and State
Loans. London; Sweet & Maxwell Hlm 106.
43
Achmad Ichsan, Dunia Usaha Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986) Hlm 59. Dalam
bukunya mengatakan ada 3 (tiga) jenis badan hukum sebagaimana Pasal 1653 KUHPerdata
tersebut yaitu: (a) badan hukum yang didirikan Pemerintah termasuk didalamnya badan-badan
hukum publik seperti Propinsi, Daerah Swapraja, Kabupaten dan lain sebagainya, (b) badan
hokum yang diakui oleh Pemerintah, (c) badan hukum yang didirikan oleh Partikelir. Dari keempat
jenis badan hokum yang didirikan (diadakan) oleh kekuasaan umum.
Universitas Indonesia
24
bindend) dan tidak mengikat secara umum.44 Ada dua wewenang penting
pemerintah dalam proyek infrastruktur jalan tol yaitu dalam hal pembebasan lahan
dan penentuan tarif. Kedua hal ini menjadi bagian dari kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah sebagai upaya jaminan dari pemerintah untuk menjaga
kepastian nilai investasi yang secara tegas dicantumkan dalam UU No.38/2004
tentang Jalan dan PP No.15/2005 tentang Jalan Tol. Sehingga dapat dikatakan
bahwa dalam hal ini pemerintah bertindak sebagai badan hukum publik.
46
Iwan E Joesoef, Jaminan Pemerintah (Negara) atas kewajiban hutang investor dalam proyek
infrastruktur (studi kasus proyek jalan tol), (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2005), Hlm 20.
45
46
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2001),
Hlm.3.
47
Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan terhadap konsumen dilihat dari sudut perjanjian
baku (standar) dalam BPHN Simposium Aspek-aspek hukum perlindungan konsumen,
(Bandung:Binacipta, 1986), Hlm.57. (dari buku Susanti Adi Nugroho, Hlm 61)
Universitas Indonesia
25
timbul
pertanyaaan
apakah
pengguna
jalan
tol
bisa
48
49
50
Mariam Darus, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku (standar), Kertas Kerja
Pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, (Jakarta, 1980), Hlm. 57
Universitas Indonesia
26
Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.51
Pelaku usaha sendiri merupakan salah satu dari pelaku ekonomi yang bisa dibagi
dalam tiga kelompok pelaku usaha, yaitu:52
a. Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai
kepentingan. Seperti perbankan, penyedia dana dan lain sebagainya.
b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau
jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan
tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri dari
orang/badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/badan yang memproduksi
sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan,
orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan,
orang/usaha berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan narkotika, dan lain
sebagainya.
c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara
retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, rumah sakit, warung
dokter, usaha angkutan (darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya.
Jika mengkaji dari beberapa pengertian pelaku usaha sebagaimana diungkapkan
diatas maka pengelola jalan tol termasuk pada kategori kelompok pelaku usaha
investor. Sehingga secara hukum melekat pula hak dan kewajiban pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam UUPK.
Setelah mengetahui pengertian dan kategorisasi pengguna jalan tol sebagai
konsumen dan investor jalan tol sebagai pelaku usaha sebagaimana dijelaskan
diatas, tentunya berakibat pada timbulnya hubungan hukum diantara mereka salah
51
52
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2008), Hlm 11.
Universitas Indonesia
27
53
Ibid, Hlm.16-27.
54
Universitas Indonesia
28
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam pengusahaan jalan tol, hak-hak konsumen sebagaimana diuraikan diatas
melekat pula pada konsumen pengguna jalan tol. Selain itu dalam PP No.15/2005
tentang Jalan Tol mengatur mengenai hak dan kewajiban pengguna jalan tol.55
Adapun kewajiban yang dibebankan kepada pengguna jalan tol sebagai konsumen
diantaranya56
1. Pengguna jalan tol wajib membayar tol sesuai dengan tarif yang telah
ditetapkan
2. Pengguna jalan tol wajib membayar denda sebesar dua kali tarif tol jarak
terjauh pada suatu ruas jalan tol dengan sistem tertutup dalam hal
55
Pasal 86-88 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol.
56
Universitas Indonesia
29
a. pengguna jalan tol tidak dapat menunjukkn bukti tanda masuk jalan
tol pada saat membayar tol
b. menunjukkan bukti tanda masuk yang rusak pada saat membayar
tol
c. tidak dapat menunjukkn bukti tanda masuk yang benar atau yang
sesuai dengan arah perjalanan pada saat membayar tol
3. Pengguna jalan tol wajib mengganti kerugian Badan Usaha yang
diakibatkan oleh kesalahannya sebesar nilai kerusakan yang ditimbulkan
atas kerusakan pada
a. bagian-bagian jalan tol
b. perlengkapan jalan tol
c. bangunan pelengkap jalan tol
d. sarana penunjang pengoperasian jalan tol
4. Pengguna jalan tol wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di
bidang lalu lintas dan angkutan jalan
Sedangkan hak-hak konsumen yang dicantumkan secara eksplisit PP No.15/2005
tentang Jalan Tol yaitu diantaranya57
1. Pengguna jalan tol berhak menuntut ganti kerugian kepada Badan Usaha
atas kerugian yang merupakan akibat kesalahan dari Badan Usaha dalam
pengusahaan jalan tol
2. Pengguna jalan tol berhak mendapatkan pelayanan jalan tol yang sesuai
dengan standar pelayanan minimal (yang selanjutnya disebut SPM)
Kemudian menjadi pertanyaan apakah hak konsumen sebagaimana diuraikan
diatas telah dipenuhi. Untuk menjawab pertanyaan ini, standar pelayanan minimal
menjadi indikator yang sangat penting dalam pemenuhan hak-hak konsumen.
Sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol, jalan tol
mempunyai spesifikasi dan pelayanan yang lebih tinggi daripada jalan umum
yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam bentuk SPM.
57
Pasal 87-88 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol.
Universitas Indonesia
30
Indikator
Lingkup
Tolak ukur
Kekesatan
Ketidak rataan
Tidak
lubang
58
Universitas Indonesia
31
Substansi
Pelayanan
Indikator
b. Kecepatan
Kecepatan
tempuh rata- tempuh rata-rata
rata
Lingkup
d. Mobilitas
Sistem
terbuka
transaksi
Sistem
tertutup
transaksi
transaksi
Sistem
tertutup
transaksi
Tolak ukur
serta
rusak
tepi/tambalan.
v 1,6 X jalan non
tol
v 1,8 X jalan non
tol
Kecepatan transaksi
harus kurang dari
atau sama dengan 8
detik/kendaraan
Tidak lebih dari 7
detik/kendaraan di
gardu masuk dan 11
detik/kendaraan pada
gardu keluar
Melayani tidak lebih
dari
450
kendaraan/jam/gardu
Melayani tidak lebih
dari
500
kendaraan/jam/gardu
masuk dan 300
kendaraan/jam/gardu
keluar
30 menit per siklus
pengamatan
Kecepatan
Observasi
patroli
penanganan
dan
patroli
hambatan lalu kendaraan derek
lintas
yang
mencakup
Waktu
mulai 30 menit
diterimanya
informasi sampai ke
tempat kejadian
Penanganan akibat Penderekan gratis ke
kendaraan mogok
gerbang tol atau
bengkel terdekat
e. Keselamatan Sarana
pengaturan lalu
lintas termasuk
didalamnya
Kelengkapan
dan Harus 100%
Perambuan
kejelasan
perintah
dan larangan serta
Universitas Indonesia
32
Substansi
Pelayanan
Indikator
Lingkup
Tolak ukur
petunjuk
f. Pertolongan
pertama
marka jalan
guide
post/reflector
patok
per
kilometer
Penerangan
jalan
umum
(PJU) wilayah
perkotaan
Pagar rumija
Penanganan
kecelakaan
100%
100%
menyala
100% dipenuhi
Evakuasi ke
terdekat
Kendaraan
kecelakaan
Penderekan
gratis
sampai ke pool derek
(masih di dalam
jalan tol)
keberadaan
polisi
patroli (PJR) yang
siap 24 jam
kendaraan
derek
lampu
RS
Universitas Indonesia
33
Substansi
Pelayanan
Indikator
Lingkup
Tolak ukur
kendaraan
rescue
sistem
informasi
Informasi
dan Setiap
komunikasi kondisi masuk
lalu lintas
gerbang
Tolak ukur yang ditetapkan dalam SPM merupakan ukuran ideal yang harus
dipenuhi oleh suatu jalan tol dan sudah berdasarkan kajian dari BPJT. Dalam hal
hak konsumen terutama atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan, SPM
mengakomodirnya dalam unsur kondisi jalan, keselamatan dan pertolongan
pertama. Tolak ukur yang dijadikan acuan pemenuhan hak konsumen ini tentunya
dengan tujuan utama bagaimana konsumen dapat merasa nyaman dan aman ketika
menggunakan jalan tol serta harus lebih baik daripada penggunaan jalan raya.
Namun pihak operator jalan tol pun harus berkomitmen untuk memberikan
pelayanan terbaik dan menyadari betul bahwa sumber pendapatan adalah pemakai
jalan. Pelayanan yang buruk berakibat pada minat pemakai jalan untuk
menggunakan jalan tol. Atas dasar itu, betapa pentingnya mendengarkan dan
memahami kebutuhan pengguna jalan tol. Hal ini merupakan implementasi hak
konsumen khususnya hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas jasa
pelayanan jalan tol. Dalam Permen PU tentang SPM tidak ada kewajiban baik
operator maupun BPJT untuk mempublikasikan hasil evaluasi SPM secara luas
kepada publik. Padahal SPM merupakan bagian dari informasi atas kondisi
pelayanan jalan tol yang semestinya diketahui oleh semua konsumen pengguna
jalan tol dan merupakan hak konsumen untuk mendapatkan pelayanan sesuai
dengan SPM sebagaimana diatur dalam Pasal 88 PP No.15/2005 tentang Jalan
Tol. Operator pun harus mampu menanggapi kewajiban pemenuhan SPM secara
positif, bukan hanya sebagai kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah semata
tetapi lebih kepada bagaimana memberikan pelayanan semaksimal mungkin
Universitas Indonesia
34
kepada pengguna jalan tol yang telah membayar tarif untuk penggunaan jalan tol
yang nantinya menjadi pemasukan/keuntungan bagi operator.
Berdasarkan data BPJT, saat ini mutu pelayanan lalu lintas di jalan tol
masih buruk. Dari 25 ruas jalan tol yang ada di Indonesia, 50 persen di antaranya
tidak memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) atau dengan kata lain ada 12
ruas jalan tol yang tidak mampu memenuhi SPM-nya yaitu
1. Surabaya-Gempol (49 kilometer),
2. Padalarang-Cileunyi (83 kilometer),
3. Cawang-Tomang-Grogol-Pluit (23,55 kilometer),
4. Belawan-Medan-Tanjung Morawa (42,70 kilometer),
5. Palimanan-Kanci (26,30 kilometer),
6. Cikampek-Padalarang (58,50 kilometer),
7. Lingkar Luar Jakarta/W2S-E1-E2-E3 (31,12 kilometer),
8. JORR S (14,25 kilometer),
9. Makassar Seksi Empat (11,60 kilometer),
10. Serpong-Pondok Aren (7,24 kilometer),
11. Ujung Pandang Tahap I (6,05 kilometer), dan
12. Tangerang-Merak (73 kilometer). 59
Sementara 13 ruas jalan tol lainnya, dinilai sudah memenuhi SPM yang
ditetapkan BPJT yaitu
1. Jakarta-Bogor-Ciawi (59 kilometer),
2. Jakarta-Tangerang (33 kilometer),
3. Jakarta-Cikampek (83 kilometer),
4. Prof Dr Ir Sedyatmo/Tol Bandara (14,30 kilometer),
59
Kementerian Pekerjaan Umum, Data yang dsampaikan pada waktu Rapat Dengar Pendapat
Komisi V DPR-RI dengan Dirjen Bina Marga, Kepala BPJT dan Dirut PT.Jasa Marga, Tanggal 17
Februari 2010, Hlm 11
Universitas Indonesia
35
Priok-Ancol
Timur-Jembatan
Tiga/Pluit
(27,05
kilometer),
9. SS Waru-Bandara Juanda (12,80 kilometer),
10. Surabaya-Gresik (20,70 kilometer),
11. Bogor Ring Road Seksi I (3,85 kilometer),
12. Kanci-Pejagan (35 kilometer), dan
13. JORR W-1 (9,85 kilometer).60
Dari data tersebut menunjukan operator jalan tol masih banyak yang belum
memenuhi SPM sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah.
Penulis melakukan perbandingan atas penerapan SPM ini dengan negara
tetangga malaysia yang merupakan perbandingan yang paling logis karena dalam
awal perkembangannya, pembangunan jalan tol (yang dalam bahasa Malaysia
disebut lebuhraya) dua puluh tujuh tahun yang lalu, dapat dikatakan berguru
kepada Indonesia tapi fakta membuktikan saat ini pengelolaan tol negeri itu jauh
lebih maju. Bahkan, perusahaan-perusahaan pengembang jalan tol asal Malaysia
juga mulai merambah pembangunan jalan tol di Indonesia. Saat ini tercatat ada
empat investor Malaysia yang terlibat langsung dalam pembangunan tol Trans
Jawa, yakni Plus Sdn. Bhd., MTD Capital, Cahaya Mata Serawak, serta Bina Puri.
Mereka menggarap jalan tol dengan menggandeng investor lokal.61
Berdasarkan data Lembaga Lebuhraya Malaysia (LLM), Malaysia telah
mengoperasikan 24 buah lebuh raya sepanjang 1,520 kilometer (km) dan 8 buah
masih dalam tahap pembangunan. Lembaga Lebuhraya Malaysia (LLM)
merupakan semacam BPJT di Indonesia, badan yang berwenang dalam
60
61
Universitas Indonesia
36
62
63
64
Universitas Indonesia
37
65
66
Ibid, Hlm 68
Universitas Indonesia
38
berkurang. Saldo tersimpan pada chip kartu, sehingga pada saat transaksi e-Toll
Card tidak dibutuhkan PIN atau tanda tangan.67
Layanan terhadap pengguna e-toll card melalui pengembangan layanan
gardu tol otomatis (GTO) yang memberikan kecepatan dan kenyamanan dalam
melakukan transaksi e-toll card. Waktu transaksi di gardu tol akan lebih cepat
atau efisien tanpa harus berinteraksi dengan petugas tol. Bahkan pengemudi tidak
perlu menghentikan mobil pada saat melakukan transaksi pembayaran tarif tol
dengan e-Toll Card, hanya saja si pengemudi bisa memperlambat kecepatan
mobilnya. Jika transaksi di gardu tol dengan sistem terbuka pembayaran dengan
uang tunai dibutuhkan waktu sekitar tujuh detik, maka dengan menggunakan eToll Card ini bisa kurang dari empat detik. Dengan layanan e-Toll Card ini
diharap akan mempercepat pembayaran dan bisa menyingkat waktu sehingga
antrean panjang disekitar gerbang tol tidak terjadi lagi seperti biasanya.68
Penggunaan kartu e-toll ini masih ada kelemahan yaitu diterbitkan oleh
pihak bank dengan sistem prabayar, memiliki nilai minimum nominal dan hanya
bisa dipergunakan pada beberapa ruas. Pelayanan antara konsumen pengguna etoll dan pembayaran tunai pun masih dalam antrian yang sama, sehingga
dampaknya belum terlalu terasa. Secara konstruksi hukum pun hubungan antara
operator dengan pihak penerbit kartu e-toll, dalam hal ini pihak bank merupakan
hubungan kerjasama dalam hal pembayaran.
Dari uraian diatas, terlihat bagaimana standar pelayanan konsumen jalan
tol di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia. Padahal
Indonesia lebih dahulu berkecimpung dalam pembangunan jalan tol. Dalam
pelaksanaan SPM di Indonesia, tidak dipungkiri masih terdapat beberapa
hambatan diantaranya
67
http://qunutfadjrie.blogspot.com/2009/02/petunjuk-penggunaan-e-toll-card.html,
tanggal 23 Agustus 2010.
Diunduh
68
Kompas,
http://tekno.kompas.com/read/xml/2008/10/31/18455947/etoll.card.percepat.transaksi.di.pintu.tol, Diunduh tanggal 23 Agustus 2010.
Universitas Indonesia
39
Universitas Indonesia
40
70
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembetukan Peraturan Perundangundangan membagi jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan menjadi lima yaitu
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
(3) Peraturan Pemerintah;
(4) Peraturan Presiden;
(5) Peraturan Daerah.
71
Universitas Indonesia
41
seharusnya
diperbaharui sesuai dengan kondisi saat ini. Terakhir, yang paling penting
evaluasi atas SPM yang dilakukan oleh BPJT harus dipublikasikan kepada
masyarakat
khususnya
konsumen
pengguna
jalan
tol
sebagai
bentuk
Abdurahman, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Ilmu Perundang-undangan, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1995), Hlm 15.
Universitas Indonesia