Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
HOSPITAL
MAJAPAHIT
VOL 4
NO. 2
Hlm.
1 161
Mojokerto
Nopember 2012
ISSN
2085 - 0204
HOSPITAL MAJAPAHIT
Media ini terbit dua kali setahun yaitu pada bulan Pebruari dan Bulan Nopember
diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Politeknik Kesehatan Majapahit, berisi artikel hasil penelitian tentang kesehatan
yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris
Pembina
Ketua Yayasan Politeknik Kesehatan Majapahit
Nurwidji
Pelindung
Direktur Politeknik Kesehatan Majapahit
dr. Rahmi, S.A.
Ketua Penyunting
Eka Diah Kartiningrum, SKM., M.Kes.
Wakil Ketua Penyunting
Nurul Hidayah, S.Kep., Ners. M.Kep.
Penyunting Pelaksana
Dwi Helynarti, S.Si.
Anwar Holil, M.Pd.
Penyunting Ahli
Prof. Dr. Moedjiarto, M.Sc.
Sarmini Moedjiarto, S.Pd., MM.Pd.
Nursaidah, M.Kes
Rifaatul Laila Mahmudah, M.Farm.Klin
Distribusi
Indriyanti. T.W, Amd.Akt
Yudha Lagha HK, S.Psi
Alamat Redaksi :
Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Jl. Jabon Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363
Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736
Email : Hospitalmajapahit@yahoo.com
BIAYA BERLANGGANAN
Rp. 20.000,-/Eks + Biaya Kirim
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4. No. 2, Nopember 2012
Pengantar Redaksi,
Hari Kesehatan Nasional Indonesia yang diperingati setiap tanggal 12 November memberikan
makna yang mendalam bagi seluruh tenaga kesehatan dan instansi pendidikan kesehatan yang
terlibat dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia yang seutuhnya.
Tema peringatan HKN Ke-48 Tahun 2012 adalah Indonesia Cinta Sehat diharapkan dapat
meningkatkan semangat, kepedulian, komitmen dan gerakan nyata pembangunan kesehatan
yang harus terus diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa. Oleh sebab itu dalam jurnal
volume 4 no 2 menyajikan 8 artikel hasil penelitian yang dapat menunjang derajat kesehatan
untuk seluruh komponen masyarakat khususnya ibu dan balita serta lanjut usia.
Artikel yang pertama ditulis oleh Aprilia Anggraeni, dan Nurul Hidayah, M.Kep, yang
membahas tentang Pengaruh Rangsangan Puting Susu Terhadap Peningkatan Kontraksi
Uterus Pada Ibu Inpartu Kala Ii Di Polindes Anyelir Tunggalpager Pungging Mojokerto.
Rangsangan putting susu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan
intensitas kontraksi uterus pada saat proses persalinan. Stimulasi atau rangsangan pada puting
susu dapat membantu menambah intensitas kontraksi uterus karena rangsangan ini akan
merangsang pelepasan oksitosin dari hipofisis posterior sehingga terjadi peningkatan
kontraksi uterus dan proses persalinan berjalan lebih cepat setelah dilakukan stimulasi puting
susu.
Artikel yang kedua ditulis oleh Priyantini, dan Dwiharini P, S.Kep, Ns dengan judul Sikap
Lanjut Usia Tentang Perubahan Fisiologis Dari Aktifitas Seksual Di Desa Wonokalang
Wonoayu Sidoarjo. Proses Menua adalah proses alamiah yang berjalan seiring dengan
pemunduran kemampuan fisik dan psikologis seseorang yang dapat berdampak pada
kemampuan interaksi sosial. Penelitian deskriptif yang dilaksanakan terhadap 41 responden
melalui wawancara ini menjelaskan bahwa lansia tidak terlalu peduli terhadap perubahan
aktivitas seksual disebabkan persepsi mereka yang menganggap bahwa kehidupan seksual
yang dialami saat lansia masih sama dengan ketika masih muda. Gairah yang dialami juga
masih sama sehingga tidak ada yang berubah.
Artikel yang ketiga mengenai Tingkat Nyeri Lansia Dengan Remathoid Artritis Yang
Aktif Dan Tidak Aktif Melakukan Senam Lansia Di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul
Kabupaten Jember yang ditulis oleh Bakti Wahyudianto, dan Sunyoto, S.Kep. Ns. Penelitian
deskriptif yang dilakukan terhadap 81 lansia tersebut menjelaskan bahwa mayoritas lansia
yang melakukan senam lansia secara aktif tidak mengalami nyeri artritis yang ringan
sedangkan responden yang tidak aktif melakukan senam mayoritas mengalami nyeri kategori
sedang. Aktivitas senam lansia dapat menurunkan rasa nyeri yang dialami lansia. Semakin
aktif melakukan senam maka semakin menurunkan nyeri yang dirasakan.
Artikel yang keempat ditulis oleh Asrul Anam dan Ika Khusnia dengan judul Tingkat
Kepuasan Pasien Rawat Inap Dan Keluarga Pada Pelayanan Keperawatan Di Rumah
Sakit DKT Mojokerto. Penelitian yang menggunakan pendekatan survey pada 35 pasien dan
keluarganya di RS DKT Mojokerto menjelaskan bahwa terdapat proporsi yang hampir sama
antara kepuasan keluarga dan masyarakat yang menunjukkan persamaan persepsi yang
mereka miliki terhadap pelayanan yang diterima. Persepsi pasien dan keluarga sangat
mempengaruhi jumlah kunjungan ke RS. Semakin negatif persepsi pasien dan keluarga
terhadap pelayanan yang diterima maka motivasi untuk berkunjung ulang juga akan menurun
dan pada akhirnya akan berdampak pada kelangsungan hidup RS.
HOSPITAL MAJAPAHIT
Artikel yang kelima mengenai Hubungan Suami Perokok Dengan Terjadinya Bayi Berat
Badan Lahir Rendah Di RSUD Sidoarjo Yang ditulis oleh Alif Isroaini, dan Nur Saidah,
M.Kes. Tingginya prevalensi perokok di Indonesia tidak hanya berdampak pada peningkatan
infeksi paru-paru dan berbagai jenis kanker namun pengaruh kadar carsinogen dan racun yang
terkandung dalam tembakau dapat berdampak pada rendahnya berat badan bayi pada perokok
pasif. Hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan case control
didapatkan bahwa ada pengaruh kebiasaan merokok dengan berat bayi lahir. Kandungan
karsinogen dan racun pada tembakau dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin,
sehingga berat badan bayi tidak tumbuh dengan sempurna. Sehingga ibu hamil hendaknya
menghindari perokok serta rajin melakukan kunjungan antenatal care untuk memantau
pertumbuhan janinnnya.
Artikel yang keenam ditulis oleh Ana Amalia dan Elyana Mafticha, S.ST yakni Jenis
Persalinan Dengan Skala Nyeri Involusi Uterus Masa Nifas Di RSUD Prof. Dr. Soekandar
Mojosari Mojokerto. Nyeri persalinan merupakan hal yang normal dialami oleh setiap ibu
bersalinm namun banyak ibu yang cenderung menghindari nyeri persalinan dengan
melakukan operasi caesar. Penelitian yang dilakukan pada populasi sebesar 37 orang
menunjukkan hasil bahwa 54,1% responden yang melahirkan dengan cara caesar merasakan
sangat nyeri saat involusi namun dapat dikontrol sedangkan responden yang melahirkan
secara normal tidak merasakan nyeri saat involusi uterus. Nyeri involusi uterus pada
persalinan seksio cesar lebih tinggi daripada persalinan normal,intensitas nyeri involusi uterus
pada persalinan seksio cesar menjadi bertambah karena akibat luka sayat pada uterus terjadi
setelah klien sadar dari narkose dari 24 jam post operasi.
Artikel yang ketujuh ditulis oleh Agus Dwi Rahayu dan Sulisdiana, M.Kes yang berjudul
Hubungan Status Gizi Remaja Putri Dengan Siklus Menstruasi Di MTs Darun Najah Gading
Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto. Artikel ini menjelaskan bahwa status gizi remaja
putri berkaitan erat dengan siklus menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber
Kenanga Jatirejo Mojokerto. Kualitas asupan nutrisi dan gizi mempengaruhi kinerja kelenjar
hipotalamus yang memiliki peran mengendalikan kelancaran siklus haid. Berat badan dan
perubahan berat badan mempengaruhi fungsi menstruasi.
Artikel yang terakhir ditulis oleh Eka diah kartiningrum, Mkes yang menjelaskan tentang
Penggunaan Zero Inflated Poisson Regression Dalam Pemodelan Pengaruh Penolong
Persalinan Dan Pelayanan Nifas Terhadap Angka Kematian Ibu Di Propinsi Jawa Timur
Tahun 2010. Artikel ini membahas bahwa setiap peningkatan 1% cakupan pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak pada penurunan rerata kematian ibu
sebesar 1 orang. Sedangkan setiap peningkatan 1% cakupan pelayanan masa nifas oleh tenaga
kesehatan maka akan berdampak pada peningkatan rerata kematian ibu sebesar 1 orang.
Sedangkan ditinjau dari fungsi logit didapatkan bahwa peningkatan 1% pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak pada penurunan probabilitas
kematian ibu sebanyak 0,5 kali dan peningkatan 1% pelayanan masa nifas oleh tenaga
kesehatan maka akan berdampak pada penurunan probabilitas kematian ibu sebanyak 0,5 kali.
Semua artikel diatas merupakan hasil penelitian civitas akademik Poltekkes Majapahit yang
diharapkan mampu memberikan masukan dan rekomendasi dalam rangka peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan yang pada akhirnya dapat mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Redaksi,
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4. No. 2, Nopember 2012
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4. No. 2, Nopember 2012
HOSPITAL MAJAPAHIT
Daftar Pustaka, memuat sumber-sumber yang dikutip dalam artikel, hanya sumber yang diacu
saja yang perlu dicantumkan dalam daftar pustaka.
Jurnal :
Berry, L. 1995. Ralationship Marketing of Service Growing Interest, Emerging Perspective.
Journal of the Academy Marketing Science. 23. (4) : 236 245.
Buku :
Asnawi SK dan Wijaya C. 2006. Metodologi Penelitian Keuangan, Prosedur, Ide dan Kontrol.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
Artikel dari Publikasi Elekronik :
Orr. 2002. Leader Should do more than reduce turnover. Canadian HR Reporter. 15, 18,
ABI/INFORM Research. 6 & 14 http://www.proquest.com/pqdauto[06/01/04].
Majalah :
Widiana ME, 2004. Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk Loyalitas
Nasabah pada Bisnis Asuransi. Majalah Ekonomi. Tahun XIV. (3) : 193-209.
Pedoman :
Joreskog and Sorbom. 1996. Prelis 2 : Users Reference Guide, Chicago, SSI International.
Simposium :
Pandey. LM. 2002. Capital Structur and Market Power Interaction : evidence from Malaysia, in
Zamri Ahmad, Ruhani Ali, Subramaniam Pillay. 2002. Procedings for the fourt annual Malaysian
Finance Assiciation Symposium. 31 May-1. Penang. Malaysia.
Paper :
Martinez and De Chernatony L. 2002. The Effect of Brand Extension Strategies Upon Brand
Image. Working Paper. UK : The University of Birmingham.
Undang-Undang & Peraturan Pemerintah :
Widiana ME, 2004. Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk Loyalitas
Nasabah pada Bisnis Asuransi. Majalah Ekonomi. Tahun XIV. (3) : 193-209.
Skripsi, Thesis, Disertasi :
Christianto I. 2008. Penentuan Strategi PT Hero Supermarket Tbk, Khususnya pada Kategori
Supermarket di Kotamadya Jakarta Barat berdasarkan Pendekatan Analisis Konsep Three Stage
Fred R. David (Skripsi). Jakarta : Program Studi Manajemen, Institut Bisnis dan Informatika
Indonesia.
Surat Kabar :
Gito. 26 Mei 2006. Penderes. Perajin Nira Sebagian Kurang Profesional. Kompas: 36 (Kolom 4-5).
Penyerahan Artikel :
Artikel diserahkan dalam bentuk compact disk (CD) dan dua eksemplar cetakan kepada :
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4. No. 2, Nopember 2012
DAFTAR ISI
PENGARUH RANGSANGAN PUTING SUSU TERHADAP PENINGKATAN KONTRAKSI
UTERUS PADA IBU INPARTU KALA II DI POLINDES ANYELIR TUNGGALPAGER
PUNGGING MOJOKERTO ........................................................................................................................................
Aprilia Anggraeni
Nurul Hidayah, M.Kep
19
44
60
81
102
HOSPITAL MAJAPAHIT
HUBUNGAN STATUS GIZI REMAJA PUTRI DENGAN SIKLUS MENSTRUASI
DI MTs DARUN NAJAH GADING DUSUN SUMBER KENANGA JATIREJO
MOJOKERTO ...........................................................................................................................................................
Agus Dwi Rahayu
Sulisdiana, MKes.
122
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
rangsangan pada puting susu dapat membantu menambah intensitas ko ntraksi uterus
karena rangsangan reseptor regang ini akan merangsang pelepasan oksitosin dari hipofisis
posterior.
(Bobak, 2005 : 245). Jika kehamilan tergolong sehat, dan tidak mengalami
komplikasi apapun, stimulasi puting susu aman dilakukan. Teknik ini tidak akan
merangsang rahim secara berlebihan, yang mungkin akan berbahaya bagi bayi.
Sebaliknya, jika ibu memiliki kehamilan yang berisiko seperti adanya panggul sempit,
maka stimulasi ini tidak boleh dilakukan pada ibu yang mempunyai panggul sempit
(Anonimity, 2012). Sehingga hasil rangsangan tidak akan membuat janin semakin turun
ke bawah malah bagian terendah bayi akan semakin terdesak ke bawah. His yang
semakin kuat akibat stimulasi tersebut akan meningkatkan kemungkinan terjadinya
rupture uteri dan beresiko pada janin (Sarwono, 2007 : 645).
Penelitian Fraser et al (2002) mengatakan bahwa perangsangan puting susu
mengakibatkan persalinan lebih pendek dengan 60-120 menit
dan penurunan
penggunaan oksitosin, terutama pada ibu nulipara. WHO memperkirakan dengan adanya
stimulasi puting susu menyebabkan sekitar 70 % mengalami peningkatan kontraksi uterus
setelah dilakukan stimulasi puting susu. Sedangkan kurangnya penanganan gerakan
putar-putar puting susu sekitar 30% yang tidak mengalami peningkatan kontraksi
(Anonimity, 2005). Berdasarkan survey demografi dan kesehatan indonesia (SDKI)
2002/2003 disebutkan bahwa proses persalinan yg melalui stimulasi puting susu sebesar
750/1000 ibu bersalin, adapun penyebab tingginya angka kematian pada ibu bersalin
yakni tidak adanya rangsangan puting susu pada saat ibu melahirkan yang mencapai 25%
di indonesia. Dinas Kesehatan Jawa Timur tahun 2010, melaporkan adanya peningkatan
karena rangsangan puting susu sebesar 13 orang atau 280/100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2008, 19 orang atau 278/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2009 dan 29 orang
atau 380/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010. Studi pendahuluan yang dilakukan di
Polindes Anyelir Desa Tunggalpager Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto pada
tanggal 3-10 April 2012 terdapat 8 ibu bersalin, dan diberi pengamatan awal terlebih
dahulu sebelum diberikan stimulasi puting susu. Dari hasil pengamatan terdapat 3
(37,5%) ibu bersalin yang kontraksinya kuat, 4 (50%) ibu bersalin yang kontraksinya
sedang, dan 1 (12,5%) ibu bersalin yang kontraksinya lemah. Setelah itu diberikan
tindakan stimulasi puting susu kemudian dilakukan pengamatan akhir dan hasilnya
terjadi peningkatan lama waktu kontraksi sekitar 75% dan 25% ibu tidak mengalami
peningkatan.
Kejadian di lapangan membuktikan bahwa kebanyakan stimulasi puting susu
dilakukan jika terdapat indikasi seperti cara mengejan ibu bersalin yang kurang kuat
dengan adanya kejadian seperti itu rangsangan puting susu baru dilakukan agar dapat
menambah intensitas kontraksi uterus sehingga kepala bayi dapat semakin turun ke
bawah kemudian persalinan dapat berlangsung lebih cepat dan mengurangi angka
kematian ibu. Rangsangan puting susu dapat dilakukan dengan cara mengusap-usap salah
satu puting ibu melalui bajunya selama 2 menit atau sampai kontraksi muncul kemudian
mengulangi tindakannya setelah 5 menit jika stimulasi puting pertama belum memicu tiga
kali kontraksi dalam 10 menit. Setelah itu rangsangan puting susu dilakukan dan hasilnya
terjadi peningkatan lama waktu kontraksi. Dari hasil kejadian itu kemudian peneliti
2
HOSPITAL MAJAPAHIT
tertarik mengambil masalah tersebut karena berdasarkan teori, stimulasi puting susu akan
menyebabkan ereksi dan ujung saraf peraba yang terdapat pada puting susu akan
terangsang. Rangsangan tersebut oleh serabut afferent dibawa ke hipotalamus di dasar
otak, lalu memicu hipofise anterior untuk mengeluarkan hormon prolaktin ke dalam
darah. Hormon prolaktin ini fungsinya untuk meningkatkan produksi susu (Weni, 2009 :
6). Stimulasi ini juga akan merangsang hipotalamus untuk melepas oksitosin dari
hipofisis posterior. Stimulasi Oksitosin membuat sel-sel mioepitel di sekitar alveoli di
dalam kelenjar mamae dan berkontraksi sehingga peningkatan konraksi uterus mulai
terbentuk (Bobak, 2005 : 462).
Upaya Untuk meningkatkan pengetahuan bagi bidan tentang stimulasi puting susu
yang dapat meningkatkan kontraksi uterus dapat dilakukan dengan seminar atau sharing
antar sesama tenaga kesehatan kemudian peran bidan sebagai pendidik dapat diberikan
melalui penyuluhan-penyuluhan seperti pemberian leaflet dan konseling pada ibu hamil
atau ibu bersalin sehingga pada waktu yang akan datang diharapkan ibu tersebut dapat
mengetahui fungsi dan kegunaan dari stimulasi puting susu yang berpengaruh pada
peningkatan kontraksi sehingga uterus mengalami ketegangan dengan kontraksi yang
paling nyeri maka indikasinya efektifitas stimulasi puting susu sangat berperan penting
dalam membantu proses kelahiran. Bidan juga dapat termotivasi untuk memahami dan
menerapkan pada setiap persalinan yang normal. Begitu juga untuk mengurangi
terjadinya kontraksi yang kurang adekuat yang ditimbulkan akibat tidak adanya stimulasi
puting susu (IBI, 2006 : 121). Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik
untuk mengadakan penelitian dengan judul Pengaruh rangsangan puting susu terhadap
peningkatan kontraksi uterus pada ibu inpartu kala II di Polindes Anyelir Desa
Tunggalpager Kec. Pungging Kabupaten Mojokerto.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep dasar persalinan.
a. Definisi persalinan.
Persalinan adalah pembukaan serviks yang progresif, dilatasi, atau
keduanya akibat kontraksi rahim teratur yang terjadi sekurang-kurangnya setiap
5 menit dan berlangsung sampai 60 detik (Lailiyana, 2011 : 1).
Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban keluar
dari uterus ibu. Persalinan dianggap normal jika prosesnya terjadi terjadi pada
usia kehamilan cukup bulan (setelah 37 minggu) tanpa disertai adanya penyulit.
Persalinan juga dapat diartikan sejak uterus berkontraksi dan menyebabkan
perubahan pada serviks (membuka dan menipis) dan berakhir dengan lahirnya
plasenta secara lengkap (APN, 2008 : 37).
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat
hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar (Sarwono, 2007 : 180).
Persalinan adalah proses pergerakan keluar janin, plasenta, dan membran
dari dalam rahim melalui jalan lahir. (Bobak, 2005 : 245).
Persalinan adalah proses multifaset, kompleks karena kejadian psikologis
dan fisiologis saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan (Chapman, 2006 : 88).
Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan plasenta)
yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
c.
atau melalui jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan yang dapat diartikan
menggunakan kekuatan sendiri. Bentuk persalinan dibagi tiga yaitu :
1) Persalinan spontan : bila persalinan seluruhnya berlangsung dengan
kekuatan ibu sendiri.
2) Persalinan buatan : bila proses persalinan dengan bantuan tenaga dari luar.
3) Persalinan anjuran atau partus presipitatus.
(Manuaba, 2010 : 164)
Tanda-tanda persalinan semakin dekat.
1) Terjadi lightening.
Menjelang minggu ke-36, pada primigravida terjadi penurunan fundus
uteri karena kepala bayi sudah masuk pintu atas panggul yang disebabkan
oleh kontraksi Braxton Hicks, ketegangan dinding perut, ketegangan
ligamentum rotundum, gaya berat janin dimana kepala ke arah bawah.
Masuknya kepala bayi ke pintu atas panggul dirasakan ibu hamil sebagai
terasa ringan di bagian atas, rasa sesaknya berkurang, di bagian bawah
terasa sesak, terjadi kesulitan saat berjalan, dan sering berkemih. Gambaran
lightening pada primigravida menunjukkan hubungan normal antara ketiga
P yaitu power (kekuatan His), passage (jalan lahir normal), dan passanger
(janinnya dan plasenta). Pada multipara gambarannya tidak jelas karena
kepala janin baru masuk pintu atas panggul menjelang persalinan.
2) Terjadi His Permulaan.
Pada saat hamil muda sering terjadi kontraksi Braxton Hicks.
Kontraksi ini dapat dikemukakan sebagai keluhan, karena dirasakan sakit
dan mengganggu. Kontraksi Braxton Hicks terjadi karena perubahan
keseimbangan estrogen, progesteron, dan memberikan kesempatan
rangsangan oksitosin. Dengan makin tua usia kehamilan, pengeluaran
estrogen dan progesteron makin berkurang, sehingga oksitosin dapat
menimbulkan kontraksi yang lebih sering sebagai his palsu. Sifat his
permulaan (palsu) adalah rasa nyeri ringan di bagian bawah, datangnya
tidak teratur, tidak ada perubahan pada serviks atau pembawa tanda,
durasinya pendek, dan tidak bertambah bila beraktifitas (Manuaba, 2010 :
172).
Pembagian kala dalam persalinan.
1) Kala I.
Kala I adalah kala pembukaan yang berlangsung antara pembukaan
nol sampai pembukaan lengkap. Pada permulaan His, kala pembukaan
berlangsung tidak begitu kuat sehingga pasien masih dapat berjalan-jalan.
Lamanya kala satu untuk primigravida berlangsung 12 jam sedangkan
multigravida sekitar 8 jam. Berdasarkan hasil perhitungan pembukaan
primigravida 1 cm/jam dan pembukaan multigravida 2 cm/jam. Dengan
perhitungan tersebut maka waktu pembukaan lengkap dapat diperkirakan
(Manuaba, 2010 : 173).
Dikarenakan His yang semakin lama semakin bertambah kuat,
tindakan yang perlu dilakukan adalah :
a) Memperhatikan kesabaran pasien.
b) Melakukan pemeriksaan tekanan darah, nadi, temperatur, dan
pernapasan berkala sekitar 2 sampai 3 jam.
c) Pemeriksaan denyut jantung janin setiap sampai 1 jam.
d) Memperhatikan keadaan kandung kemih agar selalu kosong.
HOSPITAL MAJAPAHIT
e)
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
3.
nadi normal, tekanan darah yang rendah seperti ini tidak menjadi
masalah. Akan tetapi jika tekanan darah <90/60 mmHg dan nadinya
adalah >100x/menit mengidentifikasi adanya masalah.
b) Suhu. Suhu tubuh yang normal adalah <38C. Jika suhunya >38C,
maka harus mengumpulkan data-data lain untuk memungkinkan
identifikasi masalah. Suhu yang tinggi bisa dikarenakan dehidrasi pada
saat persalinan yang lama, tidak cukup minum atau infeksi.
c) Kontraksi Uterus dan Tinggi Fundus Uteri. Kontraksi uterus yang baik
adalah teraba keras. Tinggi fundus yang normal segera setelah
persalinan adalah kira-kira setinggi umbilikus. Tetapi jika ibu tersebut
berkali kali melahirkan anak, atau jika anaknya kembar atau bayi besar,
maka tinggi fundus yang normal adalah di atas umblikus.
d) Perdarahan. Perdarahan yang normal setelah kelahiran sebanyak satu
pembalut wanita per jam selama enam jam pertama atau seperti darah
haid yang banyak.
e) Kandung Kemih. Kandung kemih setelah proses persalinan diusahakan
harus kosong karena jika kandung kemih penuh dengan air seni, uterus
tidak dapat berkontraksi dengan baik.jika uterus naik di dalam abdomen
dan tergeser ke samping hal ini biasanyamerupakan tanda kandung
kemih penuh.
(Lailiyana, 2011 : 84)
Konsep Dasar Ibu Inpartu.
a. Definisi Inpartu.
Inpartu adalah seorang wanita yang sedang dalam keadaan persalinan
(Sarwono, 2007 : 180).
b. Tanda dan gejala inpartu.
1) Kekuatan His makin sering terjadi dan teratur dengan jarak kontraksi yang
semakin pendek. His persalinan mempunyai ciri khas pinggang terasa nyeri
yang menjalar ke depan, sifatnya teratur, interval makin pendek, dan
kekuatannya makin besar, mempunyai pengaruh terhadap perubahan
serviks, makin beraktifitas (jalan) kekuatan makin bertambah.
2) Dapat terjadi pengeluaran pembawa tanda (pengeluaran lendir, lendir
bercampur darah). Dengan His persalinan terjadi perubahan pada serviks
yang menimbulkan pendataran dan pembukaan. Pembukaan menyebabkan
lendir yang terdapat pada kanalis servikalis lepas. Terjadi perdarahan karena
kapiler pembuluh darah pecah.
3) Pengeluaran cairan. Pada beberapa kasus terjadi ketuban pecah yang
menimbulkan pengeluaran cairan. Sebagian besar ketuban baru pecah
menjelang pembukaan lengkap. Dengan pecahnya ketuban diharapkan
persalinan berlangsung dalam 24 jam.
4) Pada pemeriksaan dalam, dijumpai perubahan serviks seperti perlunakan
serviks, pendataran serviks, terjadi pembukaan serviks.
(Manuaba, 2010 : 169-173)
Konsep Dasar Kontraksi Uterus.
a. Definisi Kontraksi.
Kontraksi adalah salah satu kekuatan pada ibu yang menyebabkan serviks
membuka dan mendorong janin kebawah (Sarwono, 2007 : 188).
Kontraksi adalah gerakan memendek dan menebal otot-otot rahim yang
terjadi untuk sementara (Farer, 2005 : 119).
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
c.
d.
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
4.
HOSPITAL MAJAPAHIT
5.
C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian.
Jenis penelitian dan rancang bangun yang digunakan adalah rancangan
penelitian eksperimental dan jenisnya pra-eksperimental (pretest-post test design)
yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara memberikan pre-test (pengamatan awal)
terlebih dahulu sebelum diberikan intervensi, setelah itu diberikan intervensi,
kemudian dilakukan post-test (pengamatan akhir). Dikumpulkan secara cross
sectional yaitu suatu penelitian analitik yang mempelajari dinamika korelasi antara
faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data
sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2010 : 41).
HOSPITAL MAJAPAHIT
Kerangka Kerja
Rangsangan Puting Susu
a.
b.
c.
d.
e.
Nonfarmakologis :
Mobilisasi dan Perubahan Posisi
Dukungan
Sentuhan Kenyamanan
Kompres Hangat Pada Fundus
Hidroterapi
Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
Gambar 1. Kerangka Kerja Pengaruh Rangsangan Puting Susu Terhadap
Peningkatan Kontraksi Uterus Pada Ibu Inpartu Kala II.
2.
3.
Hipotesis Penelitian.
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah hipotesis alternatif (H1)
yaitu adanya pengaruh rangsangan puting susu dengan peningkatan kontraksi uterus
pada ibu inpartu kala II.
Variabel dan Definisi Operasional.
a. Jenis Variabel Penelitian.
Dalam penelitian ini variabel independennya adalah rangsangan puting
susu, sedangkan variabel dependennya adalah peningkatan kontraksi uterus pada
ibu inpartu kala II.
b. Definisi Operasional.
Tabel 1. Definisi Ope rasional Pengaruh Rangsangan Puting Susu
Terhadap Peningkatan Kontraksi Uterus Pada Ibu Inpartu Kala
II
Variabel
Variabel
Independen :
Rangsangan
puting susu
Definisi Operasional
Rangsangan puting
susu pada ibu inpartu
oleh peneliti, diukur
dengan menggunakan
lembar observasi.
Krite ria
Skala
1. Sebelum dilakukan
Nominal
rangsangan puting susu.
2. Sesudah dilakukan
rangsangan puting susu.
(Bobak, 2005 : 311)
Variabel
Dependen :
Peningkatan
kontraksi
uterus pada
ibu inpartu
kala II
Peningkatan kontraksi
uterus karena adanya
rangsangan puting
susu, diukur dengan
menggunakan lembar
observasi
1. Meningkat :
jika kriteria lemah
menjadi sedang dan
sedang menjadi kuat
ataupun masih tetap
dalam kontraksi lemah,
sedang, kuat tetapi
lama waktu
kontraksinya
meningkat.
10
Nominal
HOSPITAL MAJAPAHIT
Variabel
Krite ria
Skala
2. Tidak Meningkat :
tidak mengalami
kenaikan kriteria
(lemah, sedang, kuat)
ataupun tidak
meningkatnya lama
waktu kontraksi
1. Kontraksi Lemah
a. Lama < 20 detik
b. Abdomen Intensitas
lemah sedikit tegang
dan mudah
membentuk lekukan
jika ditekan dengan
ujung- ujung jari.
2. Kontraksi Sedang
a. Lama 20-40 detik
b. Abdomen Intensitas
keras dan sulit
membentuk lekukan
jika ditekan dengan
ujung- ujung jari.
3. Kontraksi Kuat
a. Lama > 40 detik
b. Abdomen Intensitas
kaku hampir tidak
membentuk lekukan
jika ditekan dengan
ujung- ujung jari.
(Bobak, 2005 : 311)
4.
HOSPITAL MAJAPAHIT
5.
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data
primer sedangkan yang digunakan adalah observasi yaitu cara pengumpulan data
dengan mengadakan pengamatan secara langsung kepada responden, untuk mencari
perubahan suatu alat hal- hal yang diteliti dengan menggunakan instrumen penelitian
lembar observasi penelitian (Hidayat, 2007 : 87).
Teknik Pengolahan dan Analisis Data.
a. Teknik Pengolahan Data.
Setelah data terkumpul dilakukan pengolahan data dengan tahap-tahap
sebagai berikut :
1) Editing Data
Editing data bertujuan untuk meneliti kembali isian kesioner, dan halhal yang harus diperhatikan dalam mengedit adalah kelengkapan jawaban,
keterbatasan tulisan, kesesuaian jawaban, keseragaman, satuan ukuran.
2) Coding
Coding adalah usaha mengklarifikasi jawaban yang ada menurut
macamnya dengan memberi kode angka yaitu :
a) Umum
Umur
< 20 th
Kode 1
20 35 th
Kode 2
> 35 th
Kode 3
Paritas
Primigravida
Kode 1
Multigravida
Kode 2
b) Khusus
Kontraksi
Meningkat
Kode 1
Tidak Meningkat Kode 2
3) Tabulating
Yaitu dengan menyusun data dalam bentuk tabel-tabel untuk
mengetahui pengaruh dihitung dengan menggunakan tabel distribusi
frekuensi dalam bentuk prosentase.
100%
= Seluruhnya
76-99%
= Hampir Seluruhnya
51-75%
= Sebagian Besar
50%
= Setengahnya
26-49%
= Hampir Setengahnya
1-25%
= Sebagian Kecil
0%
= Tidak Satupun
(Arikunto, 2008)
b. Analisis Data.
1) Analisis Univariat.
a) Analisis Rangsangan puting susu.
Sebelum rangsangan puting susu.
Sesudah rangsangan puting susu.
b) Analisis peningkatan kontraksi uterus pada ibu inpartu kala II.
Meningkat
: Jika kriteria lemah menjadi sedang dan sedang
menjadi kuat ataupun masih tetap dalam kontraksi lemah, sedang, kuat
tetapi lama waktu kontraksinya meningkat.
Tidak Meningkat : Tidak mengalami kenaikan kriteria (lemah, sedang,
kuat) ataupun tidak meningkatnya lama waktu kontraksi.
12
HOSPITAL MAJAPAHIT
2) Analisis Bivariat.
Kemudian data tersebut dilanjutkan dengan analisis data antar variabel
independent dan variabel dependent dengan menggunakan Fisher Exact
Probability Test yang dapat digunakan untuk mengetahui gambaran
mengenai interaksi antara variabel- variabel yang sedang menjadi pusat
perhatian dengan membandingkan Pvalue dan signifikansi ( = 0,05 ) jika :
a) 0,01 < p < 0,05 maka Ho ditolak artinya signifikan.
b) Pvalue > 0,05 maka Ho diterima artinya tidak signifikan.
Rumus Fisher Exact Probability Test :
P = (a+b)! (c+d)! (a+c)! (b+d)!
N! a! b! c! d!
D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Polindes Anyelir Desa Tunggalpager Kec. Pungging Kabupaten Mojokerto
terletak 20 km dari pusat kota dan 5 km dari puskesmas pungging. Terdiri dari 1
lantai terbagi menjadi beberapa ruangan antara lain : 1 ruang periksa, 1 ruang
bersalin, 3 tempat tidur, 1 box bayi, 1 tempat tidur dengan batas wilayah sebelah
utara berbatasan dengan desa Panggreman, sebelah timur berbatasan dengan desa
Bedagas, sebelah selatan berbatasan desa Wonogiri, dan sebelah barat desa Pekojo.
Daerah tersebut mudah dijangkau dengan roda dua maupun empat. Kegiatan di
Polindes Anyelir ini meliputi : Upaya kesehatan keluarga, pemeriksaan ibu hamil,
imunisasi, persalinan, KB, ibu nifas, kesehatan reproduksi, dll.
2. Data Umum.
a. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di Polindes
Anyelir Desa Tunggalpager Kecamatan Pungging Kabupaten
Mojokerto 23 Mei-23 Juni 2012.
No.
Umur
Frekuensi (f) Persentase (%)
1.
< 20 tahun
2
9,1
2.
20-35 tahun
18
81,8
3.
> 35 tahun
2
9,1
Jumlah
22
100
Tabel 2 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden berusia 2035
tahun yaitu (81,8%) sedangkan responden yang berusia lebih dari 35 tahun dan
kurang dari 20 tahun mempunyai proporsi sama yaitu (9,1%).
b. Karakteristik Responden Berdasarkan Paritas.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Partitas di
Polindes Anyelir Desa Tunggalpager Kecamatan Pungging
Kabupate n Mojokerto 23 Mei-23 Juni 2012.
No.
Paritas
Frekuensi (f) Persentase (%)
1.
Primigravida
12
54,5
2.
Multigravida
10
45,5
Jumlah
22
100
Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dengan paritas
primigravida yaitu (54,5%) sedangkan responden dengan paritas multigravida
yaitu (45,5%).
13
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
Data Khusus.
a. Kontraksi Uterus Sebelum Dilakukan Rangsangan Puting Susu.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kontraksi Ute rus Sebelum Dilakukan
Rangsangan Puting Susu di Polindes Anyelir Desa Tunggalpager
Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto 23 Mei-23 Juni
2012.
No.
Kontraksi Uterus
Frekuensi (f) Persentase (%)
1.
Meningkat
10
45,5
2.
Tidak Meningkat
12
54,5
Jumlah
22
100
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden sebelum dilakukan
stimulasi puting susu kontraksi uterusnya tidak meningkat yaitu (54,5%)
sedangkan responden yang kontraksi uterusnya meningkat sebelum dilakukan
stimulasi puting susu yaitu (45,5%).
b. Kontraksi Uterus Setelah Dilakukan Rangsangan Puting Susu.
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kontraksi Uterus Setelah Dilakukan
Rangsangan Puting Susu di Polindes Anyelir Desa Tunggalpager
Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto 23 Mei-23 Juni
2012.
No.
Kontraksi Uterus
Frekuensi (f) Persentase (%)
1.
Meningkat
19
86,3
2.
Tidak Meningkat
3
13,7
Jumlah
22
100
Tabel 5 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden mengalami
peningkatan kotraksi uterus setelah dilakukan rangsangan puting susu yaitu
(86,3%) sedangkan responden yang setelah dilakukan rangsangan puting susu
tidak mengalami peningkatan mempunyai proporsi paling kecil yaitu (13,7%).
c. Tabulasi Silang Antara Stimulasi Puting Susu Terhadap Peningkatan Kontraksi
Uterus Pada Ibu Inpartu Kala II.
Tabel 6. Tabulasi Silang Antara Stimulasi Puting Susu Te rhadap
Peningkatan Kontraksi Ute rus Pada Ibu Inpartu Kala II di
Polindes Anyelir Desa Tunggalpager Kecamatan Pungging
Kabupate n Mojokerto 23 Mei-23 Juni 2012.
Kontraksi
Jumlah
No.
Stimulasi
Meningkat Tidak Meningkat
%
1. Sebelum Dilakukan RPS
10
45,5
12
54,5
22
100
2. Setelah Dilakukan RPS
19
86,3
3
13,7
22
100
Tabel 6 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden yang mengalami
peningkatan kontraksi uterus setelah dilakukan stimulasi puting susu yaitu
(86,3%) dan yang tidak mengalami peningkatan kontraksi uterus setelah
dilakukan stimulasi puting susu yaitu (13,7%) sedangkan responden yang
sebelum dilakukan stimulasi puting susu kontraksi uterusnya meningkat yaitu
(45,5%) dan yang kontraksi uterusnya tidak meningkat sebelum dilakukan
stimulasi puting susu yaitu (54,5%).
E. PEMBAHASAN
1. Sebelum Dilakukan Rangsangan Puting Sus u.
Berdasarkan hasil penelitian terdapat 22 ibu bersalin yang diamati sebelum
diberikan stimulasi puting susu dan diamati setelah diberikan stimulasi puting susu.
14
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
HOSPITAL MAJAPAHIT
17
HOSPITAL MAJAPAHIT
Verrals, Sylvia. (2003). Anatomi dan Fisiologi Terapan Dalam Kebidanan Edisi Tiga. Jakarta
: EGC.
Wiknjosastro, Gulardi, dkk. (2008). Asuhan Persalinan Normal & Inisiasi Menyusui Dini.
Jakarta : JNPK-KR.
Wiknjosastro, Hanifa, dkk. (2007). Imu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
18
HOSPITAL MAJAPAHIT
ABSTRACT
Aging Process (Aging) is a natural process that accompanied the decline of their physical,
psychological and social interact with each other. One problem that often in the elderly
complain about the changes of sexual activity. Therefore this study was conducted to
determine attitudes about the elderly physiological changes of sexual activity.
This reseach uses descriptive study design with a total population of 46 people aged 60-70
years old, the sample totaled 41 respondents using probability sampling technique type
cluster random sampling, the instrument used a structured questionnaire through interviews.
The variables in the elderly is the attitude about the precise physiological changes of sexual
activity, after data analysis of data obtained using the formula T score.
The results showed that more than 50% of respondents being negative towards the
physiological changes of sexual activity were 21 as many respondents (51.2%).
Negative attitudes of respondents toward the physiological changes of sexual actifity is
because that according to their desires and their penggairahan of sexual actifity is still the
same as when ayoung man, nothing has changed.
It is expected that the elderly can comprehend and understand that in old age that there are
some changes among the psyiological changes of sexual actifity that involved several steps
that desire phase, the phase of araosol, orgasmic phase, post orgasmic phase. In order not to
adversely affect both physically and psychologically from the elderly can make healthy sexual
actifity, desired and can be enjoyed together.
Keywords: Attitude, Advanced age, physiological changes, sexual activity.
A. PENDAHULUAN
Dengan semakin baiknya keadaan kesehatan masyarakat, maka penduduk
kelompok usia lanjut semakin banyak di masyarakat. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan yang terlihat dari
Angka Harapan Hidup (AHH). Pada tahun 1971 usia lansia mencapai 46,6 tahun,
sedangkan pada tahun 1999, angka harapan hidup tersebut meningkat sampai 67,5 tahun.
Populasi lansia akan meningkat juga, yaitu pada tahun 1990, dengan jumlah penduduk
usia 60 tahun 10 juta jiwa (5,5%) dari total populasi penduduk. Sedangkan pada tahun
2020 diperkirakan meningkat 3x menjadi 29 juta jiwa (11,4%) dari total populasi
penduduk. Tentunya hal itu tercapai jika lansia mampu untuk menyesuaikan diri secara
terus- menerus, dan apabila proses penyesuaian diri dengan lingkungannya kurang
berhasil maka dapat timbul berbagai masalah (Lembaga demografi FE-UI-1993 dalam
Efendy, 2007).
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi
fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu
cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan
jiwa secara khusus pada lansia. Salah satu masalah yang kerap kali dikeluhkan lansia
yaitu tentang perubahan aktifitas seksual. Seseorang yang mengalami kondisi kronis
19
HOSPITAL MAJAPAHIT
akibat penyakit, depresi, rasa berkabung, atau perubahan gaya hidup, akan beresiko untuk
tidak dapat memenuhi kebutuhan seksualnya, hal itu dikemukakan oleh Depkes.RI
(1992), dalam Arya (2009).
Sikap orang lanjut usia terhadap seksualitas berbeda dengan sikap orang muda,
dikatakan bahwa ada sebagian lansia yang mengharapkan hubungan intim berakhir
dengan kepuasan seks di antara keduanya, meskipun potensi hubungan seks pada lansia
tak lagi seperti saat mereka masih berusia muda. Namun, tak sedikit pula yang melakukan
keintiman itu bukan semata- mata untuk kepuasan seks, tetapi lebih pada rasa saling
memperhatikan, menyayangi dan juga lebih bertujuan membahagiakan pasangannya,
bukan lagi mengarah pada kepentingannya sendiri (Anonim 2009).
Menurut Marcoen (1990) dalam F.J (2006), penelitian mengenai seksualitas pada
usia lanjut dapat dikatakan belum banyak dan sangat dangkal. Di Barat diketemukan
bahwa sesudah usia 50 tahun frekuensi hubungan seks menurun baik pada laki- laki
maupun pada wanita, meskipun pada laki- laki masih lebih aktif sepanjang hidup. Dalam
F.J (2006), Wilson 1975 menemukan bahwa 25 % laki- laki usia 60 tahun ke atas dan 50
% wanita usia 60 tahun ke atas tidak lagi melakukan hubungan seksual. Dari kelompok
laki- laki, 27 % melakukan hubungan seks sekali dalam sebulan, sedangkan pada
kelompok wanita 12 %. Penurunan frekuensi yang drastis dalam hubungan seks ini
diketemukan sekitar usia 75 tahun.
Berkurangnya aktifitas seksual disaat usia lanjut, disebabkan adanya penurunan
daya seksualitas. Di samping adanya perubahan fisik, faktor psikologis juga seringkali
menyebabkan penurunan fungsi dan potensi seksual. Selain itu ada juga fak tor seks di
usia lanjut karena adanya rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual
pada lansia. Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh
tradisi dan budaya. Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
Pasangan hidup yang telah meninggal jaga bisa menjadi penyebab menurunnya aktifitas
seksual dan disfungsi seksual, karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa
lainnya misalnya cemas, depresi, pikun (Ayudea, 2010).
Dampak dari perubahan aktifitas seksual adalah lansia sering menahan diri untuk
melakukan hubungan seksualnya pada usia tua atau menghindari perkawinan ulang,
karena sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap hubungan seksual antara orang
berusia lanjut dan keraguan terhadap kemampuan seksual mereka (Bandiyah 2008).
Disamping itu juga bisa berupa kehampaan emosi dan bersikap negatif terhadap segala
sesuatu yang bersifat seksual. Karena hubungan seksual yang sehat merupakan hubungan
seksual yang dikehendaki, dapat dinikmati bersama dan tidak menimbulkan akibat buruk,
baik fisik maupun psikis (Aswendoclya 2009).
Dari hasil kunjungan awal di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo pada tanggal 02
November 2010 telah dilakukan wawancara tentang perubahan aktifitas seksual pada
lansia, terhadap 6 orang lansia yang mempunyai pasangan berumur 60-70 tahun, didapati
4 orang dari 6 orang lansia di desa tersebut menyatakan sudah tidak pernah melakukan
hubungan seksual dikarenakan sudah tua. Sedangkan 2 orang lansia menyatakan bahwa
masih melakukan hubungan seksual meskipun tidak serutin waktu muda dulu.
Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan agar aktifitas seksual tidak menjadi
masalah pada lansia antara lain memahami perubahan normal yang berhubungan dengan
lansia, saling memberikan perhatian dengan pasangan, melakukan gaya hidup yang sehat,
komunikasi, edukasi dan informasi tentang perilaku seksual di masyarakat. Selain itu juga
melakukan pemeriksaan berkala dan menjalani sex therapy kepada pasutri lansia yang
mengalami masalah (Aufalia, 2008).
Dari uraian di atas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut
mengenai Sikap Lansia Tentang Perubahan fisiologis dari Aktifitas Seksual.
20
HOSPITAL MAJAPAHIT
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Dasar Sikap.
a. Definisi Sikap.
Pada awalnya, istilah sikap atau attitude digunakan untuk menunjuk status
mental individu. Sikap yang terdapat pada diri individu akan memberi warna
atau corak tingkah laku ataupun perbuatan individu yang bersangkutan. Dengan
memahami atau mengetahui sikap individu, dapat diperkirakan respons ataupun
perilaku yang akan diambil oleh individu yang bersangkutan (Sunaryo, 2004).
Menurut Sunaryo (2004), beberapa ahli psikologi mengemukakan
pendapat yang berbeda mengenai pengertian dari sikap itu sendiri, antara lain:
1) Pendapat dari Notoatmodjo S. (1997), bahwasannya sikap merupakan reaksi
atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau
objek.
2) Menurut Walgito (2001), sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan
seseorang mengenai objek atau situasi yang relative ajeg, yang disertai
adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar pada orang tersebut untuk
membuat respons atau berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya.
3) Sikap adalah kesiapan merespons yang sifatnya positif atau negatif terhadap
suatu objek atau situasi secara konsisten Ahmadi (1999).
4) Menurut Gerungan (1996), attitude diartikan dengan sikap terhadap objek
tertentu, yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi
sikap tersebut disertai oleh kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan
objek tadi.
5) Sedangkan menurut Secord dan Backman (1964) sebagaimana dikemukakan
oleh Saifuddin (1995) adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan
(afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang
terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.
Dari uraian diatas, dalam bukunya, Sunaryo merumuskan bahwa yang
dimaksud sikap adalah kecenderungan bertindak dari individu, berupa tertutup
terhadap stimulus ataupun objek tertentu.
b. Struktur Sikap.
Menurut Kothandapani dalam Sunaryo (2004), bahwa struktur sikap terdiri
dari komponen kognitif (kepercayaan), komponen emosional (perasaan), dan
komponen perilaku (tindakan). Mann menyebutkan bahwa isi dari komponen
kognitif adalah persepsi, kepercayaan, dan stereotype (sesuatu yang sudah
terpolakan) dari individu. Komponen kognitif sering disamaartikan dengan opini
(pandangan), terutama yang menyangkut isu atau masalah yang kontroversial.
Selanjutnya komponen afektif yang berisi perasaan individu terhadap objek dan
menyangkut masalah emosi. Terakhir, isi dari komponen perilaku berisi
kecenderungan untuk bertindak.
Menurut Saifuddin (1995) dalam Sunaryo (2004), bahwa sikap memiliki
tiga komponen yang membentuk struktur sikap, yang ketiganya saling
menunjang, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif.
1) Komponen Kognitif (Cognitive). Dapat disebut juga komponen perseptual,
yang berisi kepercayaan individu. Kepercayaan tersebut berhubungan
dengan hal-hal bagaimana individu mempersepsi terhadap objek sikap,
dengan apa yang diilihat dan diketahui (pengetahuan), pandangan,
keyakinan, pikiran, pengalaman pribadi, kebutuhan emosional, dan
informasi dari orang lain.
21
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
d.
22
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
f.
23
HOSPITAL MAJAPAHIT
g.
24
HOSPITAL MAJAPAHIT
alat yang telah ditentukan dan langsung diberikan kepada subjek yang
diteliti.
(1) Pengukuran sikap dengan skala Bogardus-Menyusun pernyataan
berdasarkan jarak sosial. Seseorang dari sesuatu golongan
dihadapkan pada sesuatu golongan tertentu, bagaimana sikapnya
terhadap golongan tersebut.
(2) Pengukuran sikap dengan skala Thurston-Mengukur sikap juga
menggunakan metode Equal-Appearing Intervals. Skala yang telah
disusun sedemikian rupa sehingga merupakan range dari yang
menyenangkan (favorable) sampai tidak
menyenangkan
(unfavorable). Nilai skala bergerak dari 0,0 merupakan ekstrem
bawah sampai dengan 11,0 sebagai ekstrem atas.
(3) Pengukuran sikap dengan skala Likert-Dikenal dengan teknik
Summated Ratings. Responden diberikan pernyataan-pernyataan
dengan kategori jawaban sebagai berikut.
Tabel 7. Skala Like rt
Pernyataan Positif
Sangat Setuju
Setuju
Ragu-ragu
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
Pernyataan Negatif
Sangat Setuju
Setuju
Ragu-ragu
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
Nilai
4
3
2
1
0
Nilai
0
1
2
3
4
(SS)
(S)
(E)
(TS)
(STS)
(SS)
(S)
(E)
(TS)
(STS)
Keterangan :
x = skor yang didapat responden
x = mean skor
s = deviasi standar skor kelompok
25
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
HOSPITAL MAJAPAHIT
27
HOSPITAL MAJAPAHIT
c)
Riwayat Lingkungan.
Menurut teori ini, faktor- faktor didalam lingkungan (misalnya
karsinogen di dalam industri, cahaya matahari, trauma, dan infeksi)
dapat membawa perubahan dalam proses penuaan. Walaupun faktorfaktor ini diketahui dapat mempercepat penuaan, dampak dari
lingkungan lebih merupakan dampak sekunder dan bukan merupakan
faktor utama dalam penuaan.
d) Teori Imunitas.
Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam sistem
imun yang berhubungan dengan penuaan. Ketika orang bertambah tua,
pertahanan mereka terhadap organisme asing mengalami penurunan,
sehingga mereka lebih rentan untuk menderita berbagai penyakit seperti
kanker dan infeksi. Seiring dengan berkurangnya sistem imun,
terjadilah peningkatan dalam respon autoimun tubuh. Ketika orang
mengalami penuaan, mereka mungkin mengalami penyakit autoimun
seperti arthritis rheumatoid dan alergi terhadap makanan dan faktor
lingkungan yang lain. Penganjur teori ini sering memusatkan pada
kelenjar timus. Berat dan ukuran kelenjar timus menyusut seiring
dengan bertambahnya umur, seperti halnya kemampuan tubuh untuk
diferensiasi sel T. karena hilangnya proses diferensiasi sel T, tubuh
salah mengenali sel yang tua dan tidak beraturan sebagai benda asing
dan menyerangnya. Selain itu, tubuh kehilangan kemampuannya untuk
meningkatkan responsnya terhadap sel asing, terutama bila menghadapi
infeksi.
e) Teori Neuroendokrin.
Pada teori ini, para ahli telah memikirkan bahwa penuaan terjadi
karena adanya suatu perlambatan dalam sekresi hormon tertentu yang
mempunyai suatu dampak pada reaksi yang diatur oleh sistem saraf.
Salah satu area neurologi yang mengalami gangguan secara
universal akibat penuaan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk
menerima, memproses dan bereaksi terhadap perintah. Dikenal sebagai
perlambatan tingkah laku, respon ini kadang-kadang diinterprestasikan
sebagai tindakan melawan, ketulian, atau kurangnya pengetahuan. Pada
umumnya, sebenarnya yang terjadi bukan satupun dari hal- hal tersebut,
tetapi orang lanjut usia sering dibuat untuk merasa seolah-olah mereka
tidak kooperatif atau tidak patuh.
2) Teori Psikososiologis
Teori psikososial memusatkan perhatian pada perubahan sikap dan
perilaku yang menyertai peningkatan usia, sebagai lawan dari implikasi
pada kerusakan anatomis. Contoh dari teori-teori ini antara lain :
a) Teori Kepribadian.
Kepribadian manusia adalah suatu wilayah pertumbuhan yang
subur dalam tahun-tahun akhir kehidupannya dan telah merangsang
penelitian yang pantas dipertimbangkan. Teori kepribadian
menyebutkan
aspek-aspek
pertumbuhan
psikologis
tanpa
menggambarkan harapan atau tugas spesifik lansia. Jung dalam Stanley
(2007), mengembangkan suatu teori pengembangan kepribadian
sebagai ekstrovert atau introvert. Ia berteori bahwa keseimbangan
antara dua hal tersebut adalah penting bagi kesehatan. Dengan
menurunnya tanggung jawab dan tuntutan dari keluarga dan ikatan
28
HOSPITAL MAJAPAHIT
sosial, yang sering terjadi di kalangan lansia, Jung percaya bahwa orang
akan menjadi lebih introvert. Didalam konsep inteoritas dari Jung,
separuh kehidupan manusia berikutnya digambarkan dengan memiliki
tujuannya sendiri, yaitu untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri
melalui aktifitas yang dapat merefleksikan dirinya sendiri.
Jung melihat tahap akhir kehidupan sebagai waktu ketika orang
mengambil suatu inventaris dari hidup mereka, suatu waktu untuk lebih
melihat ke belakang dari pada melihat ke depan. Selama proses refleksi
ini, lansia harus menghadapi kenyataan hidupnya secara retrospektif.
Lansia sering menemukan bahwa hidup telah memberikan satu
rangkaian pilihan yang sekali dipilih, akan membawa orang tersebut
pada suatu arah yang tidak bisa diubah. Walaupun penyesalan terhadap
berbagai aspek kehidupan yang sering terjadi, tetapi banyak lansia
menyatakan suatu perasaan kepuasan dengan apa yang telah mereka
penuhi.
b) Teori Tugas Perkembangan.
Tugas perkembangan adalah aktivitas dan tantangan yang harus
dipenuhi oleh seseorang pada tahap-tahap spesifik dalam kehidupannya
untuk mencapai penuaan yang sukses. Erickson dalam Stanley (2007),
menguraikan tugas utama lansia adalah mampu melihat kehidupan
seseorang sebagai kehidupan yang dijalani dengan integritas. Pada
kondisi tidak adanya pencapaian bahwa ia telah menikmati kehidupan
yang baik, maka lansia tersebut beresiko untuk disibukkan dengan rasa
penyesalan atau putus asa.
c) Teori Disangagement.
Teori
disangagement
(teori
pemutusan
hubungan),
menggambarkan proses penarikan oleh lansia dari pera bermasyarakat
dan tanggung jawabnya. Menurut ahli teori ini, proses penarikan diri ini
dapat diprediksi, sistematis, tidak dapat dihindari, dan penting untuk
fungsi yang tepat dari masyarakat yang sedang tumbuh. Lansia
dikatakan akan bahagia apabila kontak sosial telah berkurang dan
tanggung jawab telah diambil oleh generasi yang lebih muda. Manfaat
pengurangan kontak sosial bagi lansia adalah agar ia dapat
menyediakan waktu untuk merefleksikan pencapaian hidupnya dan
untuk menghadapi harapan yang tidak terpenuhi, sedangkan manfaatnya
bagi masyarakat adalah dalam rangka memindahkan kekuasaan
generasi tua kepada generasi muda.
d) Teori Aktifitas.
Teori ini berpendapat bahwa jalan yang menuju penuaan yang
sukses adalah dengan cara tetap aktif. Havighurst dalam Stanley (2007),
yang pertama menulis tentang pentingnya tetap aktif secara sosial
sebagai alat untuk penyesuaian diri yang sehat untuk lansia pada tahun
1952. Sejak saat itu, berbagai penelitian telah memvalidasi hubungan
positif antara mempertahankan interaksi yang penuh arti dengan orang
lain dan kesejahteraan fisik dan mental orang tersebut. Gagasan
pemenuhan kebutuhan seseorang harus seimbang dengan pentingnya
perasaan dibutuhkan oleh orang lain. Kesempatan untuk turut berperan
dengan cara yang penuh arti bagi kehidupan seseorang yang penting
bagi dirinya adalah suatu komponen kesejahteraan yang penting bagi
lansia.
29
HOSPITAL MAJAPAHIT
e)
c.
Teori Kontinuitas.
Teori kontinuitas juga dikenal sebagai suatu teori perkembangan.
Teori ini menekankan pada kemampuan koping individu sebelumnya
dan kepribadian sebagai dasar untuk memprediksi bagaimana seseorang
akan dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan akibat penuaan. Ciri
kepribadian dasar dikatakan tetap tidak berubah walaupun usianya telah
lanjut. Selanjutnya, ciri kepribadian secara khas menjadi lebih jelas
pada saat orang tersebut bertambah tua.
Faktor Yang Mempengaruhi Penuaan.
Menurut Sri Surini (2003), penuaan dapat terjadi secara fisiologis dan
patologis. Perlu hati- hati dalm mengidentifikasi penuaan. Bila seseorang
mengalami penuaan fisiologis (fisiological aging), diharapkan mereka tua dalam
keadaan sehat (healthy aging). Penuaan itu sesuai dengan kronologis usia
(penuaan primer), dipengaruhi oleh faktor endogen, perubahan dimulai dari sel
jaringan organ sistem pada tubuh.
Bila penuaan banyak dipengaruh oleh faktor eksogen, yaitu lingkungan,
sosial budaya, gaya hidup disebut penuaan sekunder. Penuaan itu tidak sesuai
dengan kronologis usia dan patologis. Faktor eksogen juga dapat mempengaruhi
faktor endogen sehingga dikenal dengan faktor resiko. Faktor resiko tersebut
yang menyebabkan terjadinya penuaan patologis (pathological aging).
Penuaan sekunder yaitu ketidakmampuan yang disebabkan oleh trauma
atau penyakit kronis, mungkin pula terjadi perubahan degenaratif yang timbul
karena stress yang dialami oleh individu. Stress itu dapat mempercepat proses
penuaan dalam waktu tertentu. Degenerasi akan bertambah apabila terjadi
penyakit fisik yang berinteraksi dengan lansia.
Penuaan Primer
Sel
Jaringan
Faktor Endogen
Organ
Sistem
Penuaan
Sehat
Lingkungan
Penuaan Sekunder
Gaya Hidup
Faktor Eksogen
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
32
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
34
HOSPITAL MAJAPAHIT
Fase Tahapan
Seksual
Fase arousal
Fase orgasmik
(fase muskular)
Fase pasca
orgasmik
e.
f.
Pembesaran payudara
berkurang, semburat panas
dikulit menurun; elastisitas
dinding vagina menurun;
iritasi uretra dan kandung
kemih meningkat;otot-otot
yang menegang pada fase
ini menurun.
Tanggapan orgasmik
mungkin kurang intens
disertai sedikit kontraksi;
kemampuan untuk
mendapatkan orgasme
multipel berkurang dengan
makin lanjutnya usia.
Mungkin terdapat periode
refrakter, dimana
pembangkitan gairah secara
segera lebih sukar.
Periode refrakter
memanjang secara
fisiologis, dimana ereksi
dan orgasme berikutnya
lebih sukar terjadi.
Faktor psikologi penyebab penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut
usia.
Faktor psikologi juga sering kali menyebabkan penurunan fungsi dan
potensi seksual pada lanjut usia seperti :
1) Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia.
2) Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh
tradisi dan budaya.
3) Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
4) Pasangan hidup telah meninggal.
5) Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa
lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb.
Smallcrab (2008).
Penatalaksanaan Masalah Seksual pada usia lanjut.
Sikap hubungan seksual yang dapat meingkatkan partisipasi seksual pada
lansia adalah sebagai berikut:
1) Memahami perubahan normal yang berhubugan dengan lansia.
2) Meningkatkan pada masalah non-seksual sama baiknya dengan komunikasi
seksual.
3) Menikmati setiap kejadian, dan kurangi ketakutan.
4) Saling memberikan perhatian, dapat memberikan kenikmatan hubungan
seksual pada lansia pria maupun wanita.
5) Lakukan pelukan, ciuman, usapan, rayuan, dan canda.
6) Lakukan gaya hidup yang sehat, yaitu cukup istirahat, olahraga secukupnya,
jangan merokok, serta jangan makan dan minum berlebihan.
35
HOSPITAL MAJAPAHIT
7) Ciptakan suasana yang romantis (lampu, pakaian, bunga, lokasi, mus ik,
perjalanan, dan pujian)
8) Perhatikan kebersihan diri (mandi, mencukur rambut, kuku, kumis, dll) dan
penampilan diri agar pasangan tertarik.
(Aufalia, 2008).
C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian, Variabel Dan Definisi Operasional.
Jenis desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskriptif, yaitu
suatu penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau
deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif. Pada penelitian ini, peneliti akan
menggambarkan mengenai Sikap Lansia Tentang Perubahan Fisiologis Dari Aktifitas
Seksual di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo.
Dalam penelitian ini terdapat satu variabel, yaitu variabel independen (bebas)
adalah sikap lansia tentang perubahan fisiologis dari aktifitas seksual.
Lansia
Proses menua
Faktor yang mempengaruhi
perubahan seksual lansia:
1. Rasa tabu atau malu
2. Sikap keluarga dan masyarakat
yang kurang menunjang
3. Kelelahan atau kebosanan
4. Pasangan hidup telah meninggal
5. Disfungsi seksual karena
perubahan hormonal
6. Masalah kesehatan jiwa
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Pembentukan Dan Pengubahan Sikap :
1. Faktor Internal
2. Faktor Eksternal
Determinan sikap :
1. Faktor fisiologis
2. Faktor pengalaman langsung
dengan objek sikap
3. Faktor komunikasi sosial
4. Faktor kerangka acuan
(aging
process)dari aktivitas
Perubahan fisiologi
seksual :
1. Fase desire
2. Fase arousal
3. Fase orgasmik (fase muskular)
4. Fase pasca orgasmik
Sikap :
1. Menerima
2. Merespon
3. Menghargai
4. Bertanggung Jawab
Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
Gambar 3. Kerangka Konseptual Sikap Lansia Tentang Perubahan Fisiologis
Dari Aktifitas Seksual.
36
HOSPITAL MAJAPAHIT
Tabel 9.
2.
Variabel
Definisi Operasional
Sikap
lansia
tentang
perubahan
fisiologis
dari
aktifitas
seksual
Krite ria
Skala
HOSPITAL MAJAPAHIT
Dari populasi :
RW I terdiri atas
: 12 x 41 = 11
46
RW II terdiri atas : 16 x 41 = 14
46
RW III terdiri atas : 18 x 41 = 16
46
Penelitian ini menggunakan probability sampling tipe cluster random
sampling, yaitu teknik yang digunakan apabila ukuran populasinya tidak diketahui
dengan pasti, sehingga tidak memungkinkan untuk dibuat kerangka samplingnya,
dan keberadaannya tersebar secara geografis atau terhimpun dalam klaster-klaster
yang berbeda-beda. Teknik dan langkah pengambilan sampel :
a. Mendata semua lansia yang tinggal di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo.
b. Lansia yang sudah di data dipilih sesuai dengan kriteria inklusi.
c. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi kemudian diambil secara acak untuk
menjadi sampel terpilih.
Dari jumlah populasi yang ada di Desa Wonokalang Desa Wonokalang
Wonoayu Sidoarjo (heterogen), akan disaring kembali menurut kriteria inklusi
sehingga didapatkan sub populasi (homogen). Dari sub populasi tersebut, kemudian
diambil sampel untuk mewakili populasi dalam penelitian, yaitu dengan cara cluster
random sampling. Pengambilan sampel ini bisa berupa pencatatan nama-nama lansia
ditiap-tiap RW yang termasuk sub populasi pada secarik kertas, kemudian
diletakkkan pada kotak, diaduk dan diambil secara acak pada masing- masing RW,
sampai tercapai jumlah sampel yang dikehendaki oleh peneliti.
Penelitian dilaksanakan di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo pada tanggal
14 20 Februari 2011.
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini berupa kuesioner melalui teknik
wawancara terstruktur (structured). Dilakukan wawancara tertutup, di dalam ruang
terpisah dari pasangannya. Instrumen ini dipakai oleh peneliti karena subjek dalam
penelitian ini adalah orang lanjut usia. Pada jenis pengukuran kuesioner ini, peneliti
mengumpulkan data secara formal, melalui subjek yang diberi pertanyaan yang akan
dijawab secara terstruktur. Jadi, pertanyaan diajukan secara langsung kepada subjek
atau disampaikan secara lisan oleh peneliti dari pertanyaan yang sudah tertulis.
Instrumen belum dilakukan uji validitas dan reabilitas sehingga hasilnya belum bisa
di generalisasikan.
Untuk pengukuran sikap, peneliti memakai Skala Likert (Hidayat, 2007), yaitu
dengan kategori jawaban sebagai berikut:
Pernyataan Positif
Sangat Setuju
Setuju
Ragu - Ragu
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
Nilai
4
3
2
1
0
Pernyataan Negatif
Sangat setuju
Setuju
Ragu - Ragu
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
38
Nilai
0
1
2
3
4
HOSPITAL MAJAPAHIT
x- x
s
Keterangan :
x = skor yang didapat responden
x = mean skor
s = deviasi standar skor kelompok
Dari skala tersebut dapat dirumuskan bahwa jika skor T responden. > Mean T
maka sikap = positif terhadap perubahan aktifitas seksual dan jika skor T responden
Mean T, maka sikap = negatif terhadap perubahan aktifitas seksual.
3.
Analisis Data.
yang sudah di dapat dari jawaban pertanyaan yang sudah di ajukan melalui kuisioner
di ringkas dalam bentuk tabel. Yaitu melalui beberapa proses atau tahap yaitu :
a. Editing. Langkah awal adalah editing, bertujuan untuk meneliti kembali data dan
diperbaiki jika masih terdapat hal- hal yang salah atau meragukan. Pada
penelitian ini ada 4 lansia atau responden yang dlakukan wawancara ulang etelah
proses editing.
b. Coding. Kemudian dilakukan coding, yaitu membandingkan hasil wawancara
dengan karakteristik kode, Dalam penelitian ini yang di beri kode hanya pada
nama responden di ganti dengan nomor. Hal ini dimaksudkan untuk
mempermudah dalam melakukan tabulasi dan analisa data.
c. Scoring. Setelah itu, dilakukan skoring dengan cara pemberian skor pada setiap
jawaban yang menunjukkan sikap sangat setuju (4), setuju (3), raguragu (2)
tidak setuju (1), dan sangat tidak setuju (0). Setelah itu di jumlah dan di
masukkan dalam rumus skor T.
d. Tabulating. Bila data sudah jelas, akan dilakukan tabulating, dengan cara
memasukkan hasil skoring kedalam tabel untuk menentukan hasil dari sikap
lansia tersebut positif atau negatif, yaitu dengan menggunakan rumus skor T.
Untuk hasil tabulasinya terdapat pada lampiran tabulasi data.
D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Desa Wonokalang merupakan bagian dari kecamatan Wonoayu yang terdiri
dari 5 dusun yaitu Dusun Karang Kletak, Dusun Nyamplung, Dusun Wantil, Dusun
Cere dan Dusun Plombokan. Batas- batas wilayah Desa Wonokalang adalah sebagai
berikut :
a. Sebelah Utara
: Persawahan Desa Wonokalang.
b. Sebelah Timur : Desa Pager Ngumbuk, Wonoayu.
c. Sebelah Selatan : Persawahan Desa Semambung Wonoayu.
d. Sebelah Barat
: Desa Kalongan Jeruk Gamping.
Jumlah penduduk Desa Wonokalang pada tahun 2010 berjumlah 3945 jiwa
dengan proporsi laki- laki berjumlah 1984 orang (50,3%) dan perempuan 1961 orang
(49,7%)
Desa Wonokalang mempunyai luas wilayah 201.635 Ha yang terletak dengan
ketinggian 60 m dari permukaan laut. Banyaknya cura h hujan yang ada di Desa
39
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
3.
Wonokalang yaitu 558 mm/th dengan jenis topografinya merupakan dataran rendah
dengan suhu rata-rata 31-320 C.
Fasilitas Pendidikan yang terdapat di Desa Wonkalang yaitu: satu TK, SD/MI
1:1, sedangkan fasilitas Kesehatan yang ada di Desa Wonokalang yaitu; 1 Bidan
Desa dan 1 Perawat Poskesdes, namun tidak terdapat posyandu lansia.
Data Umum.
a. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia.
Dalam penelitian ini responden yang memenuhi kriteria inklusi yaitu
responden yang berusia 60 74 tahun (Elderly) menurut Organisasi Kesehatan
(WHO), yaitu berjumlah 41 responden.
b. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan.
Tabel 10. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di
Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo pada tanggal 14-20
Februari 2011.
No.
Pendidikan
Frekuensi (f) Persentase (%)
1.
Tidak Sekolah
16
39
2.
SD/Sederajat
25
61
3.
SMP/Sederajat
0
0
4.
SMA/Sederajat
0
0
5.
Akademi/PT
0
0
Jumlah
41
100
Tabel 10 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden berpendidikan
SD/Sederajat yaitu sebanyak 25 responden (61%).
c. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan.
Tabel 11. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Desa
Wonokalang Wonoayu Sidoarjo pada tanggal 14-20 Februari
2011.
No.
Pekerjaan
Frekuensi (f) Persentase (%)
1.
Tidak Bekerja
10
24,4
2.
Swasta
4
9,7
3.
Wiraswasta
3
7,3
4.
Petani
24
58,6
Jumlah
41
100
Tabel 11 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden adalah bekerja
sebagai petani yaitu sebanyak 24 responden (58,6%).
Data Khusus.
Dalam penelitian ini, didapatkan data mengenai sikap lansia terhadap
perubahan fisiologis dari aktifitas seksual, yang terdapat dalam tabel berikut :
Tabel 12. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap Lansia
Terhadap Perubahan Fisiologis Dari Aktifitas Seksual di Desa
Wonokalang Wonoayu Sidoarjo pada tanggal 14-20 Februari 2011.
No.
Sikap Lansia Terhadap Perubahan
Frekuensi (f) Persentase (%)
Fisiologis Dari Aktifitas Seksual
1.
Positif
20
48,8
2.
Negatif
21
51,2
Jumlah
41
100
Tabel 12 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden bersikap Negatif
terhadap perubahan fisiologis dari aktifitas seksual yaitu sebanyak 21 responden
(51,2%).
40
HOSPITAL MAJAPAHIT
E. PEMBAHASAN
Hasil penelitian tentang sikap lansia dalam menghadapi perubahan fisiologis dari
aktifitas seksual di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo pada bulan Februari 2011
didapatkan lebih dari 50 % responden cenderung bersikap negatif atau tidak mendukung
terhadap perubahan fisiologis dari aktifitas seksual, yaitu sebanyak 21 respo nden
(51,2%). Hal ini sesuai dengan pendapat Sijabat (2008) tentang perubahan seksual pada
lansia, meskipun potensi seksual telah berkurang tetapi tidak berarti bahwa keinginan/
hasrat seksualnya menurun.
Lansia lebih bersikap bahwa hasrat dan penggairaha n mereka masih bisa tercapai
atau dengan kata lain, tidak terdapat perubahan fisiologis pada hasrat dan penggairahan
mereka. Hal ini bisa dibuktikan dengan pengelompokan data menurut fase atau tahapan
seksual, yaitu fase desire dan fase arousal. Pada fase desire, ada 25 responden dari 41
responden (61%) yang bersikap tidak mendukung terhadap perubahan fisiologis pada
aktifitas seksual mereka. Sedangkan pada fase arousal, didapatkan 23 responden dari 41
responden (56%) yang bersikap tidak mendukung.
Dalam kaitannya dengan hal itu, sikap adalah reaksi atau respon dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau obyek ,Notoatmodjo S (1997) dalam Sunaryo (2004). Ada
juga yang mengartikan bahwa sikap adalah kesiapan merespons yang sifatnya positif atau
negatif terhadap suatu objek atau situasi secara konsisten.Ahmadi (1999) dalam sunaryo
(2004). Pada masa lanjut usia, terdapat perubahan yang terjadi secara fisiologis pada
aktifitas seksual lansia. Menurut Sijabat (2008), masa berhentinya reproduksi
(klimakterik) pada pria datang belakangan dibanding masa menopause pada wanita, dan
memerlukan masa yang lebih lama. Dan pada umumnya, penurunan potensi seksual pada
usia enam puluhan, kemudian berlanjut sesuai dengan bertambahnya usia. Seperti masa
menopause, masa klimakterik disertai menurunnya fungsi gonadal karena gonadal adalah
yang bertanggung jawab terhadap berbagai perubahan yang terjadi selama masa
klimakterik. Menurut Montessori (2009) Perubahan fisiologik yang terjadi pada aktifitas
seksual pada usia lanjut biasanya berlangsung secara bertahap dan menunjukkan status
dasar dari aspek vaskuler, hormonal dan neurologiknya.
Hasil penelitian ini bisa ditelaah kembali berdasarkan teori mengenai tahapan seksual
menurut Montessori (2009), yaitu : Fase Desire, fase Arousal, Fase Orgasmik, Fase pasca
Orgasmik. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan data bahwa lebih dari 50% responden
bersikap Negatif atau tidak mendukung mengenai perubahan pada fase desire yaitu
sebanyak 61% (25 responden). Hal ini menunjukkan bahwa hasrat lansia tentang
seksualitas masih ada dan tidak mengalami perubahan. Pada teori dikatakan bahwa pada
lansia pria maupun wanita akan mengalami perubahan fisiologis dari aktifitas seksual
mereka, yang bisa dipengaruhi oleh keadaan penyakit, kecemasan akan kema mpuan seks,
penurunan libido, masalah harga diri, ataupun masalah hubungan antar pasangan. Selama
lansia tidak dipengaruhi akan faktor- faktor tersebut diatas, maka fase ini pun akan
berjalan dengan semestinya tanpa mengalami perubahan, mengingat tidaklah semua dari
individu akan mengalami perubahan yang sama. Sedangkan pada Fase Arousal
berdasarkan hasil penelitian, didapatkan data bahwa lebih dari 50 % responden bersikap
negatif atau tidak mendukung mengenai perubahan pada fase arousal yaitu sebanyak 56%
(23 responden). Hal ini menunjukkan bahwa sistem vaskuler atau penggairahan pada
lansia tidak terlalu mengalami perubahan.Menurut Kaplan Dalam Montessori (2009),
perubahan pada fase arousal ini dapat berupa pembesaran payudara yang berkurang,
elastisitas dinding vagina menurun, iritasi uretra dan kandung kemih meningkat pada
lansia wanita. Sedangkan pada lansia pria, akan membutuhkan waktu lebih lama untuk
ereksi, dan ereksi kurang begitu kuat, testosteron menurun, produksi sperma menurun
bertahap mulai usia 40 th, serta elevasi testis ke perinium lebih lambat dan sedikit.
41
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
43
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
terbanyak setelah China, India, dan Amerika Serikat. Meningkatnya jumlah penduduk
usia lanjut (lansia) menimbulkan masalah terutama dari segi kesehatan dan kesejatraan
lansia. Jumlah penderita remathoid arthritis di dunia saat ini, telah melebihi angka 355
juta jiwa. Artinya, satu dari 6 orang penduduk bumi ini menderita penyakit remathoid
arthritis (Prayitno, 2012). Di Kabupaten Jember remathoid artritis diperkirakan dialami
oleh sekitar 40% lansia (Infokita, 2012). Di Desa Tanggul Kulon Jember masih banyak
ditemui lansia yang mengalami remathoid artritis hebat seperti linu dan nyeri sendi.
Kebanyakan dari mereka tidak aktif bergerak dan tidak aktif me lakukan senam
lansia. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti tanggal 14 Mei 2012 di
Desa Tanggul Kulon Jember menunjukkan dari 6 lansia terdapat 2 lansia (33.3%)
yang mengalami remathoid artritis ringan aktif melakukan senam lansia tidak
sedangkan yang 4 lansia yang tidak aktif melakukan senam lans ia mengalami nyeri
remathoid artritis (66.7%) hebat seperti linu dan nyeri sendi.
Pada periode selama usia lanjut, kemunduran fisik dan mental terjadi secara
perlahan dan bertahap (Hurlock, 2009). Pada lansia proses menua dapat menimbulkan
berbagai masalah baik fisik- biologis, mental maupun social ekonomis. Dengan semakin
lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami kemunduran terutama di bidang
kemampuan fisik, yang dalam mengakibatkan penurunan peranan peranan sosialnya
(Nugroho, 2000). Salah satu penyakit yang sering diderita lansia adalah remathoid
artritis. Kejadian penyakit tersebut akan makin meningkat sejalan dengan meningkatnya
usia manusia. remathoid artritis dapat mengakibatkan perubahan otot, hingga fungsinya
dapat menurun bila otot pada bagian yang menderita tidak dilatih guna mengaktifkan
fungsi otot (Rezi, 2012).
Senam lansia merupakan suatu bentuk latihan fisik yang berpengaruh terhadap
kemampuan fisik lansia. Aktifitas dasar sehari hari yang dilakukan lansia masih
membutuhkan bantuan dan sebagian besar lansia membutuhkan perhatian lebih. Kondisi
ini akan membawa dampak buruk pada lansia yaitu tingkat ketergantungan lansia. Senam
lansia yang dilakukan secara aktif akan berpengaruh positif terhadap tingkat kemandirian
lansia dalam memenuhi aktifitas sehari hari dan dapat mengurangi rasa nyeri (Anita,
2011). Untuk melakukan pencegahan terhadap remathoid artritis, perawat hendaknya
menganjurkan kepada lansia untuk melakukan senam lansia. Senam lansia dilakukan
selama 30 menit yang terdiri dari pemanasan dan inti yang terdiri dari aerobik ringan
yang berfungsi menguatkan kerja jantung dan paruh. Senam lansia ditutup dengan
pernafasan sekaligus sebagai pendingin tubuh. Senam lansia bisa dilakukan dengan
berdiri.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Dasar Nyeri.
a. Definisi Nyeri.
Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial. Ketika suatu jaringan
mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan bahan
yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium,
bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respon
nyeri. Nyeri juga dapat disebabkan stimulus mekanik seperti pembengkakan
jaringan yang menekan pada reseptor nyeri (Stira, 2012).
Persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan dan
pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata. Jadi
nyeri terjadi karena adanya kerusakan jaringan yang nyata atau perasaan yang
45
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
c.
sama juga dapat timbul tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata (Rujito,
2012).
Proses Terjadinya Nyeri (Nociceptive Pathway).
Antara kerusakan jaringan (sebagai sumber stimuli nyeri) sampai
dirasakan sebagai persepsi nyeri terdapat suatu rangkaian proses
elektrofisiologik yang secara kolektif disebut sebagai nosisepsi (nociception).
Ada empat proses yang jelas yang terjadi pada suatu nosisepsi, yakni ;
1) Proses Transduksi (Transduction), merupakan proses dimana suatu stimuli
nyeri (noxious stimuli) di rubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan
diterima ujung- ujung saraf (nerve ending). Stimuli ini dapat berupa stimuli
fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).
2) Proses Transmisi (Transmison), dimaksudkan sebagai penyaluran impuls
melalui saraf sensoris menyusul proses transduksi. Impuls ini akan
disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron pertama,
dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami modulasi
sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai
neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah
somato sensoris di korteks serebri melalui neuron ketiga, dimana impuls
tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.
3) Proses Modulasi (Modulation), adalah proses dimana terjadi interaksi antara
sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tub uh kita dengan imput
nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Jadi merupakan
proses acendern yang di kontrol oleh otak. Sistem analgesik endogen ini
meliputi enkefalin, endorfin, serotonin, dan noradrenalin memiliki efek yang
dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Kornu
posterior ini dapat diiabaratkan sebagai pintu yang dapat tertetutup atau
terbukanya pintu nyeri tersebut diperankan oleh sistem analgesik endogen
tersebut di atas. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri
menjadi sangat subyektif.
4) Persepsi (perception), adalah hasil akhir dari proses interaksi yang
kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan
modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif
yang dikenal sebagai persepsi nyeri.
(Rujito, 2012)
Faktor Yang Mempengaruhi Respon Nyeri.
1) Usia. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus
mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan
nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia
cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap
nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau
mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin. Laki- laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam
merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas
kalo laki- laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Kultur. Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka
berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut
kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka
melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri. Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang
terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
46
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
2.
Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi
nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang dan distraksi.
10 : Nyeri sangat berat :Kx sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.
Smeltzer, dkk (2002)
Konsep Remathoid Artritis.
a. Definisi.
Artritis rematoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dengan
manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh
(Mansjoer, dkk, 2009).
Artritis rematoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang
tidak diketahui penyebabnya, dikarakteristikan oleh kerusakan dan proliferasi
membran sinovial, yang menyebabkan kerusakan pada tulang sendi, ankilosis,
dan deformitas (Doenges, 2000).
47
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
c.
d.
Etiologi.
Faktor pencetus terbesar adalah faktor infeksi seperti bakteri, mikoplasma
dan virus (Burke, 2012). Penyebab artritis rematoid, yaitu:
1) Infeksi Streptokkus hemolitikus dan Streptococcus non- hemolitikus.
2) Endokrin.
3) Autoimmun.
4) Metabolik.
5) Faktor genetik.
Manifestasi Klinis (Prayitno, 2012).
1) Poliartritis simetris (peradangan sendi pada sisi kiri dan kanan) terutama
pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di tangan.
2) Deformitas.
3) Nyeri persendian.
4) Terbatasnya pergerakan.
5) Sendi-sendi terasa panas.
6) Anemia.
7) Tampak warna kemerahan di sekitar sendi.
8) Perubahan ukuran pada sendi dari ukuran normal.
Kriteria Artritis rematoid menurut American Reumatism Association
adalah :
1) Kekakuan sendi jari-jari tangan pada pagi hari (Morning Stiffness).
2) Nyeri pada pergerakan sendi atau nyeri tekan sekurang-kurangnya pada satu
sendi.
3) Pembengkakan (oleh penebalan jaringan lunak atau oleh efusi cairan) pada
salah satu sendi secara terus-menerus sekurang-kurangnya selama 6 minggu.
4) Pembengkakan pada sekurang-kurangnya salah satu sendi lain.
5) Pembengkakan sendi yanmg bersifat simetris.
6) Nodul subcutan pada daerah tonjolan tulang didaerah ekstensor.
7) Gambaran foto rontgen yang khas pada arthritis rheumatoid.
8) Uji aglutinnasi faktor rheumatoid.
9) Pengendapan cairan musin yang jelek.
10) Perubahan karakteristik histologik lapisan sinovia.
11) Gambaran histologik yang khas pada nodul.
Berdasarkan kriteria ini maka disebut :
1) Klasik : Bila terdapat 7 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama
6 minggu.
2) Definitif : Bila terdapat 5 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya
selama 6 minggu.
3) Kemungkinan rheumatoid : Bila terdapat 3 kriteria dan berlangsung
sekurang-kurangnya selama 4 minggu.
Patofisiologi.
Cidera mikro vascular dan jumlah sel yang membatasi dinding sinovium
merupakan lesi paling dini pada sinovisis remotoid. Sifat trauma yang
menimbulkan respon ini masih belum diketahui. Kemudian, tampak peningkatan
jumlah sel yang membatasi dinding sinovium bersama sel mononukleus
privaskular. Seiring dengan perkembangan proses sinovium edematosa dan
menonjol kedalam rongga sendi sebagai tonjolan-tonjolan vilosa.
48
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
f.
g.
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
50
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
c.
d.
HOSPITAL MAJAPAHIT
6) Stres.
Batasan - Batasan Lanjut Usia.
Menurut Nugroho (2000) pengelompokkan lanjut usia sebagai berikut:
Usia dewasa muda (elderly adulhood) : 18 atau 20-25 tahun. Usia dewasa penuh
(middle years) atau maturitas: 25-60 atau 65 tahun. Lanjut usia (geriatric age)
lebih dari 65 atau 70 tahun. Terbagi untuk umur 70-75 tahun (young old), 75-80
tahun (old), dan lebih dari 80 tahun (very old).
Kalau dilihat pembagian umur dari beberapa ahli tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa yang disebut lanjul usia adalah orang yang telah berumur 65
tahun ke atas.
f. Tugas Perkembangan Lansia.
Menurut Erickson, kesiapan lansia untuk beradaptasi atau menyesuaikan
diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut dipengaruhi oleh proses tumbuh
kembang pada tahap sebelumnya.
Apabila seseorang pada tahap tumbuh kembang sebelumnya melakukan
kegiatan sehari- hari dengan teratur dan baik serta membina hubungan yang
serasi dengan orang-orang di sekitarnya, maka pada usia lanjut ia akan tetap
melakukan kegiatan yang biasa ia lakukan pada tahap perkembangan
sebelumnya seperti olahraga, mengembangkan hobi bercocok tanam, dan lainlain.
Adapun tugas perkembangan lansia Maryam (2008) adalah sebagai
berikut :
1) Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun.
2) Mempersiapkan diri untuk pensiun.
3) Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya.
4) Mempersiapkan kehidupan baru.
5) Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat secara
santai.
6) Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan.
Konsep Senam Lansia.
a. Definisi Senam Lansia.
Senam lansia adalah serangkaian gerak nada yang teratur dan searah yang
dilakukan secara sendiri atau kelompok dengan maksud meningkatkan
kemampuan fungsional raga untuk mencapai tujuan tersebut (Anita, 2011).
Senam lansia adalah serangkaian gerak nada yang teratur dan terarah serta
terencana yang diikuti oleh orang lanjut usia yang dilakukan dengan maksud
meningkatkan kemamp meningkatkan kemampuan fungsional raga untuk
mencapai tujuan tersebut (Angloo, 2012).
b. Manfaat Senam Lansia.
1) Memperlancar proses degenerasi karena perubahan usia.
2) Mempermudah untuk menyesuaikan kesehatan jasmani dalam kehidupan.
3) Fungsi melindungi, yaitu memperbaiki tenaga cadangan dalam fungsinya
terhadap bertambahnya tuntutan.
4) Memperlancar proses degenerasi karena perubahan usia.
5) Fungsi melindungi, yaitu memperbaiki tenaga cadangan dalam fungsinya
terhadap bertambahnya tuntutan, misalya sakit (Anita, 2011).
6) Sebagai Rehabilitas. Pada lanjut usia terjadi penurunan masa otot serta
kekuatannya, laju denyut jantung maksimal, tolerasnsi latihan, kapasitas
aerobik dan terjadinya peningkatan lemak tubuh. Dengan melakukan
olahraga seperti senam lansia dapat mencegah atau melambatkan kehilangan
e.
4.
52
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
d.
e.
f.
g.
h.
53
HOSPITAL MAJAPAHIT
5.
2) Letakkan kedua telapak tangan pada kedua rusuk tarik nafas dalam dalam
maka terasa mengambang.
3) Sekarang, keluarkan nafas perlahan dan sedapatnya.
i. Kategori Keaktifan Senam Lansia.
Senam lansia adalah serangkaian gerak nada yang teratur dan searah yang
dilakukan secara sendiri atau kelompok dengan maksud meningkatkan
kemampuan fungsional raga untuk mencapai tujuan tersebut.
Manfaat senam lansia :
1) Memperlancar proses degenerasi karena perubahan usia.
2) Mempermudah untuk menyesuaikan kesehatan jasmani dalam kehidupan.
3) Fungsi melindungi, yaitu memperbaiki tenaga cadangan dalam fungsinya
terhadap bertambahnya tuntutan.
4) Memperlancar proses degenerasi karena perubahan usia
5) Fungsi melindungi, yaitu memperbaiki tenaga cadangan dalam fungsinya
terhadap bertambahnya tuntutan, misalya sakit sebagai rehabilitas.
Langkah langkah senam lansia :
1) Latihan bahu dan lengan.
2) Latihan tangan.
3) Latihan punggung.
4) Latihan paha.
Lansia mengikuti senam lansia untuk setiap minggunya, selama tiga
bulan Dalam 3 bulan 10 kali senam sehingga dapat dikategorikan :
1) Aktif
: 7-10 kali.
2) Cukup Aktif : 4-6 kali.
3) Kurang Aktif : 1-3 kali.
4) tidak aktif
: 0.
Hubungan Senam Lansia Dalam Menurunkan Nyeri.
Senam lansia adalah suatu bentuk latihan fisik yang berpengaruh terhadap
kemampuan fisik lansia. Senam lansia yang dilakukan secara aktif akan berpengaruh
positif terhadap tingkat kemandirian lansia ndalam memenuhi aktifitas dasar sehari
hari. Senam lansia yang berdurasi 30 menit ini telah diprogram menjadi olah raga
ringan yang terdiri atas latihan pemanasan dan latihan inti yang terdiri aerobik
ringan. Manfaat yang bisa diperoleh setelah melakukan senam lansia adalah
membuat lebih rileks dan terasa ringan di gerakan (Anita, 2011).
Senam lansia sangat berhubungan dengan nyeri rematho id artitis. Artritis
reumatoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dengan manifestasi utama
poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh. Artritis reumatoid adalah
suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang tidak diketahui penyebabnya,
dikarakteristikan oleh kerusakan dan proliferasi membran sinovial, yang
menyebabkan kerusakan pada tulang sendi, ankilosis, dan deformitas (Prayitno,
2012).
Jenis olahraga yang bisa dilakukan pada Lansia antara lain adalah senam
lansia. Aktivitas olahraga ini akan membantu tubuh tetap bugar dan segar karena
melatih tulang tetap kuat, mendorong jantung bekerja optimal, dan membantu
menghilangkan radikal bebas yang berkeliaran di dalam tubuh. Dapat dikatakan
bugar, atau dengan perkataan lain mempunyai kesegaran jasmani yang baik bila
jantung dan peredaran darah baik sehingga tubuh seluruhnya dapat menjalankan
fungsinya dalam waktu yang cukup lama Senam lansia disamping memiliki dampak
positif terhadap peningkatan fungsi organ tubuh juga berpengaruh dalam
meningkatkan imunitas dalam tubuh manusia setelah latihan teratur (Nursing, 2012).
54
HOSPITAL MAJAPAHIT
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Aktifitas lansia :
1. ADL
2. Senam Lansia
Nyeri ringan
Nyeri
Nyeri
Nyeri sedang
Tidak Nyeri
Nyeri berat
Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
Gambar 4. Kerangka Konseptual Tingkat Nyeri Lansia Dengan Remathoid
Artitis Yang Aktif Dan Tidak Aktif Melakukan Senam Lansia di
Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Jember.
Sumber : Stira (2012), Rujito, (2012), Smeltzer, dkk (2002), (Mansjoer, dkk, 2009).
55
HOSPITAL MAJAPAHIT
Tabel 13. Definisi Ope rasional Tingkat Nyeri Lansia Dengan Remathoid
Artitis Yang Aktif Dan Tidak Aktif Melakukan Senam Lansia di
Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Jember.
2.
Variabel
Definisi Operasional
Tingkat nyeri
lansia
dengan
remathoid
artitis yang
aktif dan
tidak aktif
melakukan
senam lansia
Krite ria
Skala
Tidak nyeri : 0
Ordinal
Nyeri ringan : 1-3
Nyeri Sedang : 4-6
Nyeri Berat : 7-9
Nyeri tak tertahankan : 10
Smeltzer, dkk (2002)
D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul
Kabupaten Jember. Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul terletak di wilayah
selatan Kabupaten Jember. Luas wilayah desa ini 505.890 Ha. Terdiri dari 2 dusun
yaitu dusun Tekoan dan dusun Krajan.
Jumlah tenaga kesehatan yang ada sebanyak 5 orang, dengan perincian bidan ;
2 orang, perawat kesehatan : 3 orang. Adapun fasilitas kesehatan yang di miliki
sebanyak 10 fasilitas dengan perincian klinik kesehatan : 1 buah, Posyandu : 7 buah,
Polindes : 2 buah, dan BPS 1 buah Posyandu lansia : 1 buah . Jarak yang harus di
tempuh masyarakat untuk ke puskesmas adalah 2 km.
56
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
3.
E. PEMBAHASAN
a. Tingkat Nyeri Lansia Yang Aktif Mengikuti Senam.
Berdasarkan tabel 14 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden mengalami
nyeri ringan yaitu sebanyak sebanyak 14 responden (60.9%).
57
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
Salah satu penyakit yang sering diderita lansia adalah remathoid artritis.
Kejadian penyakit tersebut akan makin meningkat sejalan dengan meningkatnya usia
manusia. remathoid artritis dapat mengakibatkan perubahan otot, hingga fungsinya
dapat menurun bila otot pada bagian yang menderita tidak dilatih guna mengaktifkan
fungsi otot (Rezi, 2012). Senam lansia merupakan suatu bentuk latihan fisik yang
berpengaruh terhadap kemampuan fisik lansia (Anita, 2011). Senam lansia yang
dilakukan secara aktif akan berpengaruh positif terhadap tingkat kemandirian lansia
dalam memenuhi aktifitas sehari hari dan dapat mengurangi rasa nyeri (Anita,
2011).
Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa responden yang mengalami nyeri
ringan kebanyakan adalah responden yang aktif melakukan se nam lansia. Dengan
demikian bisa disimpulkan bahwa senam lansia berpengaruh terhadap nyeri yang
dialami oleh lansia. Keaktifan lansia daam mengikuti senam biasanya dilakukan di
rumah setiap 2 hari sekali atau kadang kadang ikut kegiatan senam lansia yang
dilakukan di Puskesmas. Semakin aktif lansia mengikuti senam lansia menyebabkan
nyeri yang dialami akan semakin berkurang. Hal ini diperkuat selama dari
pengamatan peneliti bahwa lansia yang aktif melakukan senam lansia mengalami
nyeri ringan seperti munculnya rasa nyeri masih bisa dikomunikasikan secara
obyektif meskipun biasanya lansia juga tampak menyeringai saat menahan nyeri.
Akan tetapi secara umum lansia bisa dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat
mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah untuk me lakukan aktifitas dengan
baikdengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa senam lansia berpengaruh menekan
nyeri menjadi ringan sehingga tidak mengaggu aktifitas sehari hari lansia.
Tingkat Nyeri Lansia Yang Tidak Aktif Mengikuti Senam.
Berdasarkan tabel 15 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden mengalami
nyeri berat yaitu sebanyak 38 responden (65.5%).
Senam lansia merupakan suatu bentuk latihan fisik yang berpengaruh terhadap
kemampuan fisik lansia. Aktifitas dasar sehari hari yang dilakukan lansia masih
membutuhkan bantuan dan sebagian besar lansia membutuhkan perhatian lebih.
Lansia yang tidak aktif melakukan senam lansia cenderung mengalami nyeri berat.
(Anita, 2011). Nyeri berat didefinisikan sebagai pengakuan secara obyektif klien
terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi (Smeltzer, dkk, 2002).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang tidak aktif melakukan
senam lansia, mengalami nyeri berat. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa
senam lansia berpengaruh terhadap nyeri yang dialami oleh lansia. Hasil kesimpulan
ini didukung oleh pengamatan peneliti terhadap responden yang mangalami nyeri
berat. Responden tidak lagi menuruti beberapa perintah dan saran karena menahan
nyeri yang hebat, responden tidak mampu lagi mendeskripsikan perasaan nyeri dan
rasa nyeri yang dialami dianggap sudah sulit diatasi. Semakin tidak aktif lansia
mengikuti senam lansia nyeri yang dialami akan semakin berat karena otot atau
anggota tubuh yang tidak pernah digerakkan akan mengalami atrofi hal ini juga bisa
terjadi pada persendian,selain karena berkurangnya cairan sinovial kekakuan pada
sendi bisa disebabkan karena sendi tersebut jarang dilatih untuk bergerak sehingga
lama kelamaan sendi tersebut bisa kaku dan akan terasa nyeri pada saat digerakkan.
F. PENUTUP
Diharapkan penelitian ini dijadikan bahan masukan bagi profesi dalam
pengembangan perencanaan keperawatan mengenai pentingnya senam lansia untuk
58
HOSPITAL MAJAPAHIT
meredam nyeri lansia dengan remathoid artritis. Masukan untuk lebih menggalakkan lagi
promosi tentang senam lansia untuk mencegah remathoid artritis serta dimasukkan dalam
jadwal posyandu lansia. Memahami tentang pentingnya senam lansia sebagai upaya
mengurangi nyeri lansia dengan remathoid artritis dan menyarankan untuk ikut senam
lansia. Peneliti selanjutnya hendaknya melakukan penelitian tentang senam lansia dalam
upaya penurunan nyeri remathoid arthritis sambil melakukan observasi secara intensif
untuk memaksimalkan hasil penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta.
Doenges, M.E, dkk. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.
Hidayat, A.A. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba
Medika.
Hidayat, A.A. (2009). Metode Penelitian Kebidanan & Teknik Analisis Data. Jakarta :
Salemba Medika.
Hidayat, A.A. (2010). Metode Penelitian Kebidanan & Teknik Analisis Data. Jakarta :
Salemba Medika.
Hurlock, E.B. (2003). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga.
Mansjoer,A,dkk. (2001). Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta : Media Aesculapius.
Mansjoer, A. (2009). Kapita Selekta Kdokteran Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius.
Maryam, R.S, dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta : Salemba
Medika.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Nugroho, W. (2000). Keperawatan Genrontik. Jakarta : EGC.
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika.
Nursing.
(2012).
Asuhan
Keperawatan
Rheumatoid
Artritis.
(http://www.nurse87.wordpress.com/asuhan-keperawatan-rheumatoid-artritis., diakses
tanggal 08 Mei 2012).
Potter & Perry. ( 2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC.
Prayitno. (2012). Rematoid Artritis. (www.prayitno-com.blogspot.com/rematiod-artritis.,
diakses tanggal 08 Mei 2012).
Qittun. (2012). Konsep Dasar Nyeri. (www.qittun.blogspot.com/konsep-dasar-nyeri., diakses
tanggal 08 Mei 2012).
Rezi, F. (2012). Asuha Keperawatan Lansia dengan Reumatroid Artritis.
(www.febriyanisyafrian.blogspot.com/asuhan-keperawatan-dengan-reumatroidartritis., diakses tanggal 08 Mei 2012).
Rujito. (2012). Konsep Nyeri. (www.binhasyi.wordpress.com/konsep-nyeri., diakses tanggal
08 April 2012.
Stira, U. (2012). Kosep Nyeri. (http://www.ruslanpinrang.blogspot.com/konsep-nyeri.html.,
diakses tanggal 08 Mei 2012).
Sugiyono. (2009). Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.
59
HOSPITAL MAJAPAHIT
ABSTRACT
Patient satisfaction is the patient's feelings that arise due to the performance of health care
that is obtained after comparing with their perceived, so it is necessary to clear efforts from
the hospital to provide a conceptual and integrated services to ensure patient satisfaction, but
it is not easily earned. One way is to improve the performance of nurses. Resear ch purpose to
determine the level of satisfaction of inpatients and their families in nursing care in DKT
Mojokerto Hospital.
This is a descriptive research design using public opinion survey. The variable in this study is
a single variable the level of satisfaction of inpatients and their families in nursing care in
DKT Mojokerto Hospital. The population in this study were all patients hospitalized in DKT
Mojokerto Hospital. The technique sampling use total sampling technique with a sample of 35
patients and 35patients families. The study was 12 - 28 February 2011 in DKT Mojokerto
Hospital. Technique and instrument data collection using questionnaires. Having collected
data were analyzed by using the formula linkert scale.
The results obtained more than 50% of patients expressed satisfaction on the inpatient
nursing service as many as 18 respondents (51.4%), while the rest are not satisfied. More
than 50% of the families of inpatients expressed his satisfaction at the nursing service that is
as much as 19 respondents (54.3%).
Customers and their family have same proportion that they felt satisfaction about nursing
services. It means that they got same services from nurse.
Customers in nursing services not only patients but also patients' families to consider.
Therefore, when the family also felt satisfied, others would follow them, so that the daily
coverage in DKT Mojokerto Hospital could increase.
Keywords: nursing, satisfaction, patients, families.
A. PENDAHULUAN
Keperawatan adalah komponen utama dalam sistem pelayanan kesehatan, dan
perawat merupakan kelompok pekerja yang paling besar dalam sistem tersebut.
Pelayanan keperawatan diperlukan sikap klien yang mencari jenis perawatan yang
sesungguhnya yang tercakup pelayanan primer, sekunder dan restorative. Perawat perlu
memahami sistem yang ada agar mampu memberikan pelayanan keperawatan yang
berkualitas secara efektif dalam sistem tersebut. Setiap perawat yang sedang bekerja
perlu menghargai bahwa pelayanan kesehatan bergantung pada partisipasi setiap perawa t
dalam menciptakan sistem yang diperlukan untuk memberikan perawatan dengan biaya
yang efektif dan menciptakan strategi untuk memastikan bahwa klien akan menerima
perawatan yang berkualitas (Potter dan Perry, 2005).
Suryawati, dkk. (2008) mengatakan bahwa sebagian besar keluhan pasien dalam
suatu survei kepuasan menyangkut tentang keberadaan petugas yang tidak profesional
dalam memberikan pelayanan kesehatan diantaranya masih terdengar keluhan akan
petugas yang tidak ramah dan acuh terhadap keluhan pasiennya. Selain itu juga masih
sering terdengar tentang sulitnya meminta informasi dari tenaga kesehatan terutama
60
HOSPITAL MAJAPAHIT
dokter dan perawat, sulitnya untuk berkomunikasi dua arah dengan dokter, dan lain
sebagainya yang mencerminkan betapa lemahnya posisi pasien sebaga i penerima jasa
pelayanan kesehatan (Muhaj, 2010).
Penelitian Pardani tahun 2001 di rumah sakit Pemerintah kelas A di Surabaya tahun
2001, dengan menggunakan 100 orang pasien rawat inap menunjukkan bahwa 50%
mengatakan puas terhadap pelaksanaan asuhan keperawatan; 25% cukup puas 25% dan
tidak puas sebesar 25%. Penelitian Wirawan tahun 2000 tentang tingkat kepuasan pasien
rawat inap terhadap asuhan keperawatan di sebuah rumah sakit di Jawa Timur juga
menunjukkan hanya 17% dari seluruh pasien rawat inap yang mengatakan puas terhadap
asuhan keperawatan, sedangkan 83% menyatakan tidak puas. Penelitian tersebut juga
memberikan informasi bahwa keluhan utama pasien terhadap pelayanan keperawatan
adalah kurangnya komunikasi perawat (80%), kurang perhatian (66,7%) dan kurang
ramah (33,3%) (Muhaj, 2010).
Kemudian penelitian Damayanti tentang harapan dan kepuasan pasien di sebuah
rumah sakit pemerintah di Surabaya pada tahun 2000 yaitu dengan mengambil sampel 48
responden di UPF interna dan Paviliun menunjukkan bahwa pasien lebih mengharapkan
kesabaran dan perhatian dari kinerja tenaga keperawatan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa 41% responden mengatakan kurang puas dengan pelayanan rumah
sakit dan sebanyak 59% sisanya menyatakan puas. Khusus terhadap kinerja per awat,
keluhan terbesar adalah perawat jarang menengok pasien bila tidak diminta dan bila
dipanggil tidak segera datang (perawat datang sekitar 10 menit) (Muhaj, 2010).
Jumlah pengunjung/pasien rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto dari tahun
2008 sampai dengan tahun 2009 terjadi penurunan. Pada tahun 2009, total jumlah pasien
rawat inap 760 orang dan hal ini mengalami penurunan dibandingkan dua tahun
sebelumnya yaitu pada tahun 2008 yang pengunjungnya mencapai 864 orang. Hasil studi
pendahuluan yang dilakukan pada 10 orang yang rawat inap di Rumah Sakit DKT
Mojokerto pada tanggal 5 Januari 2011 terdapat 8 orang yang menyatakan kurang puas
terhadap pelayanan perawat dan 2 orang menyatakan sangat puas terhadap pelayanan
perawat pada saat rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto.
Pada saat ini kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan termasuk
pelayanan keperawatan akan terus meningkat, masyarakat akan terus menuntut
tersedianya pelayanan kesehatan dan keperawatan dengan kualitas yang profesional dan
dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan standart pelayanan keperawatan yang telah
diakui sebagai profesi dan telah melaksanakan praktik keperawatan, secara tidak
langsung melekat tanggung jawab (responsibilitas) dan tanggung gugat (accountabilitas)
di atas segala keputusan dan tindakan di dalam lingkup peran dan fungsinya sebagai
perawat (Kusnanto, 2004). Untuk menciptakan kepuasan pasien maka Tenaga kesehatan
harus memperhatikan hak pasien termasuk hak menerima informasi secara jelas sehingga
pasien dan keluarganya akan merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan. Selain itu,
apabila setiap profesi kesehatan memegang teguh kode etik profesi yang telah
dirumuskan oleh masing- masing profesi dan menerapkannya di dalam pemberian
pelayanan kepada pasien maka komplain tidak akan terjadi. Disamping itu, setiap profesi
kesehatan harus meningkatkan motivasi internalnya untuk menolong sesama manusia.
Tidak sekedar motivasi material tapi juga keikhlasan berbuat menolong sesama manusia
dalam rangka beribadah kepada-Nya (Khoiriyati, 2010). Oleh sebab itu perawat harus
senantiasa menerapkan asuhan keperawatan kepada pasien dengan berdasarkan pada kode
etik profesi dan kebutuhan menolong sesama manusia. Selain itu memperbaiki bentuk
komunikasi kepada pasien dapat meningkatkan kepuasan pasien (Muhaj, 2010).
61
HOSPITAL MAJAPAHIT
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Kepuasan
a. Pengertian
Menurut beberapa tokoh adalah sebagai berikut :
1) Kepuasan adalah respon pemenuhan dari konsumen bahwa produk atau
pelayanan telah memberikan tingkat kenikmatan. Tingkat pemenuhan ini
bisa lebih atau kurang (Richard dalam Irawan, 2003).
2) Kepuasan adalah sebagai persepsi terhadap produk atau jasa yang telah
memenuhi harapannya. Oleh karena itu pelanggan tidak akan puas apabila
pelanggan mempunyai persepsi bahwa harapannya belum terpenuhi (Irawan,
2003).
Jadi kepuasan adalah respon pemenuhan dari konsumen yang
menunjukkan bahwa pelayanan yang diberiakan telah memenuhi kebutuhan
pelanggan sesuai dengan harapannya.
b. Kepuasan Pelanggan (Irawan, 2003)
1) Kepuasan pelanggan adalah suatu keadaan dimana keinginan/harapan dan
kebutuhan pelanggan terpenuhi. Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila
pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan.
2) Pengukuran kepuasan pelanggan merupakan elemen penting dalam
menyediakan pelayanan yang lebih baik/lebih efisien dan lebih efektif
apabila pelanggan merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan yang
disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan tidak
efisien. Dalam hal ini terutama sangat penting bagi pelayanan publik.
3) Beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan oleh pelanggan dalam menilai
suatu pelayanan yaitu: ketepatan waktu, dapat dipercaya, kemampuan
tekhnis, diharapkan, berkualitas dan harga yang sepadan. Dalam rangka
mengembangkan suatu mekanisme pemberian pelayanan yang memenuhi
kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan, perlu mengetahui hal- hal
berikut :
a) Mengetahui apa pelanggan pikirkan tentang anda, pelayanan anda dan
pesaing anda.
b) Mengukur dan meningkatkan kinerja anda.
c) Memanfaatkan kelemahan anda ke dalam peluang pengembangan,
sebelum orang lain memulainya.
d) Membangun wahana komunikasi internal sehingga setiap orang tahu
apa yang mereka kerjakan.
e) Menunjukkan komitmen anda terhadap kualitas dan pelanggan anda.
f) Umpan balik dan informasi merupakan elemen yang penting dalam
membangun sistem pemberian pelayanan yang efektif.
4) Pelanggan Yang Puas (Irawan, 2003)
Definisi pelanggan yang puas dapat diartikan dalam beberapa
pengertian, diantaranya :
a) Seorang pelanggan yang puas adalah pelanggan yang merasa
mendapatkan value dari pemasok, produsen dan penyedia jasa.
b) Pelanggan akan merasa puas jika puasnya sama atau lebih dari yang
diharapkan.
c) Pelanggan yang puas adalah pelanggan yang akan berbagi kepuasan
dengan produsen atau penyedia jasa, bahkan pelanggan yang puas akan
berbagi rasa dan pengalaman dengan pelanggan lain.
62
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
Dimensi Kepuasan
Menurut Azwar (2003) mengatakan bahwa dimensi kepuasan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Kepuasan mengacu hanya pada penerapan standart dan kode etik profesi.
Kepuasan pemakai jasa kesehatan terbatas hanya pada kesesuaian
dengan standart dan kode etik profesi saja. Suatu pelayanan kesehatan
tersebut sebagai pelayanan kesehatan yang bermutu apabila penerapan
standart dan kode etik profesi dapat memuaskan klien, ukuran yang
dimaksud pada dasarnya mencakup penilaian tehadap kepuasan mengenai :
a) Hubungan Perawat Pasien. Terbinanya hubungan perawat-pasien
yang baik adalah salah satu memberikan perhatian yang cukup kepada
kliennya secara pribadi, menampung dan mendengarkan seruan,
keluhan serta menjawab dan memberikan keterangan yang sejelasjelasnya tentang segala hal yang ingin diketahui oleh klien.
b) Kenyamanan Pelayanan. Kenyamanan yang dimaksud di sini tidak
menyangkut masalah fasilitas yang tersedia, tetapi yang terpenting yang
menyangkut sikap serta tindakan para pelaksana ketika
menyelenggarakan pelayanan.
c) Kebebasan Melakukan Pilihan. Pelayanan kesehatan disebut bermutu
bila kebebasan memilih ini dapat diberikan karena itu dapat
dilaksanakan oleh setiap penyelenggara pelayanan kese hatan. Oleh
karena itu informasi yang lengkap dan jelas sangat diperlukan sebelum
pasien menentukan pilihan.
d) Pengetahuan dan Kompetensi Teknik. Semakin tinggi tingkat
pengetahuan dan tingkat kompetensi tekhnis maka semakin tinggi pula
mutu pelayanan.
e) Efektifitas Pelayanan. Semakin tinggi pelayanan maka semakin tinggi
pula mutu pelayanan.
f) Keamanan Tindakan. Untuk dapat terselenggaranya pelayanan
kesehatan yang bermutu, aspek keamanan tindakan ini harus
diperhatikan, pelayanan yang membahayakan pasien adalah pelayanan
yang tidak baik dan karena itu tidak boleh dilakukan.
2) Kepuasan yang mengacu pada penerapan semua persyaratan pelayanan
kesehatan yaitu mengenai :
a) Tersedianya Pelayanan Kesehatan. Pelayanan kesehatan yang bermutu
apabila pelayanan itu tersedia di masyarakat.
b) Keseimbangan Pelayanan Kesehatan. Pelayanan kesehatan disebut
bermutu apabila pelayanan bersifat wajar dalam arti dapat mengatasi
masalah kesehatan yang dihadapi.
c) Kesinambungan Pelayanan Kesehatan. Pelayanan kesehatan dikatakan
bermutu apabila pelayanan tersebut bersifat kesinambungan dalam arti
tersedia setiap saat baik menurut waktu atau kebutuhan pelayanan
kesehatan.
d) Penerimaan Pelayanan Kesehatan. Untuk dapat menjamin munculnya
kepuasan yang terkait dengan mutu pelayanan kesehatan tersebut harus
dapat diupayakan sehingga dapat dinerima oleh pemakai pelayanan
kesehatan.
e) Ketercapaian Pelayanan Kesehatan. Pelayanan kesehatan yang
lokasinya terlalu jauh dari tempat tinggal terutama yang mudah dicapai,
apabila keadaan itu terjadi, maka tidak akan memuaskan klien.
63
HOSPITAL MAJAPAHIT
f)
2.
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
baik, perawat memberi tahu tentang hal yang harus dipatuhi pasien selama
perawatan, perawat mengupayakan agar pasien merasa puas.
3) Dimensi responsivenes (tanggung jawab)
Yang termasuk dalam dimensi ini adalah : perawat membantu pasien
memperoleh obat, pelayanan laboratorium, pelayanan radiologi, ketika
pasien sampai di ruangan perawat segera menangani.
4) Dimensi insurance (jaminan)
Dimensi Insurance ini mencakup pelayanan perawat membuat
keluhan dan kecemasan pasien makin berkurang.
5) Dimensi emphaty (keperdulian)
Cakupan dimensi empati meliputi perilaku perawat saat dibutuhkan
pasien dan kemampuan perawat untuk selalu berusaha perduli dan
memuaskan pasien.
Konsep Keperawatan
a. Pengertian Keperawatan
Menurut :
1) Florence Nightingale (1985). Keperawatan adalah suatu proses menciptakan
kondisi pasien dalam kondisi yang baik untuk beraktivitas.
2) King (1971). Keperawatan adalah proses aksi dan interaksi untuk membantu
individu dalam berbagai kelompok umur dalam memenuhi kebutuhannya
dan menangani status kesehatan mereka pada saat tertentu dalam suatu
siklus kehidupan.
3) Dorothea Orem (1921). Keperawatan adalah pelayanan yang bersifat
manusia berfokus pada pemenuhan kebutuhan manusia untuk merawat dari
kesembuhan penyakit dan cidera, penanggulangan komplikasinya sehingga
dapat menunjang kehidupan.
Jadi keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang bersifat
profesional dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia (biologis, psikologis,
sosial dan spiritual) yang dapat ditujukan kepada individu, keluarga dan atau
masyarakat dalam rentang sehat sakit.
b. Pengertian Pe rawat
1) International Counsil of Missing (1965). Perawat adalah seseorang yang
telah menyelesaikan program pendidikan keperawtan, berwenang di Negara
yang bersangkutan untuk memberikan pelayanan dan bertanggung jawab
dalam meningkatkan kesehatan, pencegahan penyakit serta pelayanan
kepada pasien.
2) V. Handerson (1980). Perawat mempunyai fungsi yang unik, yaitu
membantu individu baik yang sehat maupun yang sakit dan lahir sampai
meninggal agar dapat melaksanakan aktifitas sehari hari secara mandiri.
3) Taylor C. Lilis C. Lemon (1989). Perawat adalah seseorang yang berperan
dalam merawat dan membantu seseorang dengan melindungi dari sakit,
luka-luka dan proses penuaan.
Jadi perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan program
pendidikan keperawtan dan membantu individu yang sehat maupun yang
sakit, proses penuaan dan memberi pelayanan yang bertanggung jawab
(Zaidin, 2001).
c. Praktek Keperawatan Profesional dan Sasaran Pelayanan Keperawatan
1) Praktek Keperawatan Profesional
Praktek keperawatan profesional merupakan perwujudan pelayanan
dan asuhan keperawatan yang bertanggung jawab dan bertanggung gugat
65
HOSPITAL MAJAPAHIT
66
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
HOSPITAL MAJAPAHIT
d) Perawat ruangan di bagi 2-3 tim yang terdiri dari tenaga profesional,
tehnikal dan pembantu dalam satu group kecil yang saling membantu.
Ketua tim sebagai perawat profesional harus mampu menggunakan
berbagai teknik kepemimpinan, pentingnya komunikasi yang efektif
agar kontinuitas rencana keperawatan terjamin. Anggota harus
menghargai kepemimpinan ketua tim.
e) Keperawatan Primer : Metode penugasan di mana satu orang perawat
bertanggung jawab penuh selama 24 jam terhadap asuhan keperawatan
pasien mulai dari masuk sampai keluar rumah sakit. Metode primer
ditandai dengan adanya keterkaitan kuat dan terus menerus antara
pasien dan perawat yang tugasnya untuk merencanakan, melakukan dan
koordinasi asuhan keperawatan selama pasien dirawat (Nursalam,
2002).
f) Kelebihan bertempat kontinuitas dan komprehensif, akuntabilitas tinggi,
terhadap hasil dokter merasa puas. Pasien merasa dimanusiakan karena
terpenuhinya kebutuhan secara individu, asuhan keperawatan yang
diberikan bermutu tinggi, tercapai pelayanan yang efektif pengobatan,
dukungan, proteksi, informasi, dan advokasi. Kiat keperawatan
(Nursing arts) lebih difokuskan pada kemampuan perawat untuk
memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif dengan sentuhan
seni dalam arti menggunakan kiat-kiat tertentu di dalam upaya
memberikan kepuasan dan kenyamanan pada klien, berikut ini
diuraikan kiat-kiat dalam keperawatan :
(1) Nursing is caring : perawat berperan memberikan asuhan
keperawatan tidak ada kasus pribadi semua diperlakukan sama.
(2) Nursing is sharing : selalu melakukan sharing antara semua
perawat dengan tim kesehatan.
(3) Nursing is laughing : perawat meyakini bahwa senyum merupakan
kiat dalam asuhan keperawatan untuk meningkatkan rasa nyaman
klien.
(4) Nursing is crying : Perawat menerima respon emosional dari orang
lain sebagai hal biasa pada situasi senang/ atau duka.
(5) Nursing is touching : sentuhan untuk meningkatkan rasa nyaman
pada saat melakukan masase atau saat menyatakan saya
memahami anda.
(6) Nursing is helping : asuhan keperawatan dilakukan untuk
menolong klien sepenuhnya memahami kondisi klien.
(7) Nursing is believing in others : meyakini bahwa orang lain
memiliki hasrat dan kemampuan meningkatkan status
kesehatannya.
(8) Nursing is trusting : perawat menjaga kepercayaan orang lain untuk
menjaga mutu asuhan keperawatan.
(9) Nursing is learning : selalu belajar mengembangkan pengetahuan
dan ketrampilan keperawatan profesional melalui asuhan
keperawatan.
(10) Nursing is respecting : hormat dan menghargai klien dan
keluarganya dengan menjaga kepercayaan dan rahasia klien.
(11) Nursing is listening : perawat harus mau menjadi pendengar yang
baik ketika klien berbicara atau mengeluh.
68
HOSPITAL MAJAPAHIT
Proses
Pelayanan
Keperawatan
Output:
Kepuasan Pasien :
1. Puas
2. Tidak Puas
Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
Gambar 5. Kerangka Konseptual Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Dan
Keluarga Pada Pelayanan Keperawatan Di Rumah Sakit DKT
Mojokerto.
Variabel dalam penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu tingkat kepuasan
pasien rawat inap dan keluarga pada pelayanan keperawatan di Rumah Sakit DKT
Mojokerto.
69
HOSPITAL MAJAPAHIT
Tabel 16. Definisi Operasional Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Dan
Keluarga Pada Pelayanan Keperawatan Di Rumah Sakit DKT
Mojokerto.
Variabel
Kepuasan
pasien dan
keluarga pada
pelayanan
keperawatan
2.
Definisi Operasional
Kepuasan adalah respon dari
konsumen (pasien dan
keluarga) yang menunjukkan
bahwa pelayanan yang
diberikan telah memenuhi
kebutuhan pelanggan sesuai
dengan harapan, dengan
parameter lima dimensi
kualitas layanan yang menjadi
penentu tingkat kepuasan :
1. Reliability
2. Insurance
3. Tangiable
4. Emphaty
5. Responsiveness
Yang diukur dengan
menggunakan kuesioner.
Krite ria
Skala
Penilaian tingkat kepuasan : Nominal
1. T50 puas,
2. T<50 tidak puas
Dengan menggunakan skala
likert.
(Azwar, 2007)
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
71
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
f.
g.
h.
50 10
y x
SD
Keterangan :
y
= Skor responden pada skala sikap yang diubah menjadi skor T
x
= mean skor kelompok
SD = Standar deviasi skor kelompok.
Data yang telah diolah dibuat distribusi frekuensi (Azwar, 2007).
Tabulasi
Tabulasi adalah pengelompokan dengan membuat analisis yang
dibutuhkan (Nazir, 2005). Cara pembacaan hasil tabulasi yang dimuat dalam
tabel berdasarkan Nursalam (2003) yaitu :
a. < 50 %
= Paling banyak
b. 50 69
= Lebih dari 50 %
c. 70 89
= Sebagian besar
d. > 90 %
= Mayoritas
Cleanning Data. Cleanning data adalah proses untuk meyakinkan bahwa data
yang telah di entry/dimasukkan betul - betul bersih dari kesalahan. Kesalahan
biasa saja terjadi karena si pemasuk data salah ketik (Budijanto, 2007). Pada saat
cleaning data peneliti meyakinkan data telah dientry dengan benar.
Shorting. Shorting adalah
mensortir
dengan cara
memilah atau
mengelompokkan data menurut jenis yang dikehendaki (klasifikasi data)
(Budijanto, 2007). Pada saat shorting peneliti sudah mengklasifikasikan data
responden.
Mengeluarkan informasi yang diinginkan. (Budijanto, 2007).
Dengan hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan penilaian tingkat
kepuasan pasien rawat inap dan keluarga pada pelayanan keperawatan.
D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Rumah Sakit DKT Mojokerto didirikan oleh BKR pada tahun 1946 dengan
pimpinan dr. Hadiono Singgih yang kemudian namanya diabadikan menjadi nama
Rumah Sakit sejak tahun 1976 dengan nama Rumah Sakit TK. IV dr. Hadiono
Singgih. Pada tahun 1986 berubah status menjadi Poliklinik Induk dan pada tahun
2001 berubah menjadi Rumah Sakit DKT Mojokerto/Rumkitban dr. Hadiono
Singgih Mojokerto yang bertugas dibawah naungan Mabes TNI AD dan Kemenhan
RI.
Visi yang dimiliki Rumah Sakit DKT Mojokerto adalah memberikan
pelayanan kesehatan terhadap prajurit, PNS TNI AD dan keluarganya secara tepat,
cepat dan profesional, sedangkan misinya adalah melaksanakan pembangunan
bidang kesehatan terhadap prajurit, PNS TNI AD dan keluarganya serta bereran aktif
mensukseskan pembangunan nasional dibidang kesehatan.
Rumah Sakit DKT terletak di Jalan R. Wijaya No. 58 Kelurahan Kranggan
Kecamatan Prajurit Kulon Kota Mojokerto dan menempati bangunan seluas 1.087 m2
pada area seluas 13.599 m2 . Jenis pelayanan yang ada di Rumah Sakit DKT
Mojokerto diantaranya adalah UGD, rawat inap (rawat inap pria dan rawat inap
wanita), rawat jalan (poli umum, poli gigi dan poli KIA), kamar operasi,
laboratorium medis, instalasi farmasi dan BKIA. Kapasitas tempat tidur di Rumah
Sakit DKT Mojokerto terdiri dari kelas 1 (10 tempat tidur), kelas 2 (10 tempat tidur)
dan kelas 3 (32 tempat tidur) dengan rata-rata penggunaan tempat tidur per tahun
(BOR / Bed Occupancy Rate) sebesar 85 %.
72
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
73
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
3.
74
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
c.
E. PEMBAHASAN
1. Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Pada Pelayanan Keperawatan.
Berdasarkan tabel 20 diatas dapat diketahui bahwa lebih dari 50% pasien rawat
inap menyatakan puas pada pelayanan keperawatan yaitu sebanyak 18 responden
(51,4%). Jika ditinjau dari tabel 17 sampai 20 diatas diketahui bahwa paling banyak
pasien berusia 30 - 39 tahun (dewasa muda), berpendidikan SLTA dan bekerja
sebagai Polri/TNI serta berpenghasilan > Rp. 1.009.150,-.
Seorang pelanggan yang puas adalah pelanggan yang merasa mendapatkan
value dari pemasok, produsen dan penyedia jasa. Pelanggan akan merasa puas jika
puasnya sama atau lebih dari yang diharapkan dan pelanggan yang puas adalah
pelanggan yang akan berbagi kepuasan dengan produsen atau penyedia jasa, bahkan
pelanggan yang puas akan berbagi rasa dan pengalaman dengan pelanggan lain
(Irawati, 2003).
Jadi seorang pasien rawat inap akan menyatakan puas terhadap pelayanan
keperawatan yang diterimanya jika pasien merasa mendapatkan nilai dari penyedia
jasa dalam hal ini adalah perawat. Pasien merasa mendapatkan manfaat dari
pelayanan perawat yang diterimanya baik ditinjau dari segi pemberian pelayanan
ataupun dari segi etestika yaitu bagaimana perawat memberikan penanganan yang
cepat, kemudahan dalam memenuhi kebutuhan pasien dan juga keluarga,
kenyamanan yang diberikan meliputi keramahan perawat, kebersihan kelengkapan
sarana dan prasarana yang ada.
Lupiyoadi (2001) menyatakan bahwa dalam menentukan tingkat kepuasan,
terdapat lima faktor yang berpengaruh, yaitu : 1. Faktor Reliability (produk atau jasa
dapat disampaikan, diandalkan, dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan atau
75
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
prosedur yang ada sehingga keluhan yang berkaitan dengan masalah kesehatan yang
dialaminya cenderung dirasakan berkurang.
Apabila ditinjau dari segi empaty didapatkan bahwa lebih dari 50% responden
atau sebanyak 21 orang merasa puas sedangkan sisanya tidak puas. Nursalam (2003)
menyatakan bahwa cakupan dimensi empati meliputi perilaku perawat saat
dibutuhkan pasien dan kemampuan perawat untuk selalu berusaha perduli dan
memuaskan pasien. Pasien rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto merasa
bahwa perawat senantiasa memberikan pelayanan dengan dengan penuh kesabaran
dan perhatian yang cukup dalam setiap kebutuhan pasien diantaranya kebutuhan
BAB (Buang Air Besar) dan BAK (Buang Air Kecil).
Tingkat Kepuasan Keluarga Pasien Rawat Inap Pada Pelayanan Keperawatan.
Berdasarkan tabel 22 diatas dapat diketahui bahwa bahwa lebih dari 50%
keluarga pasien rawat inap menyatakan puas pada pelayanan keperawatan yaitu
sebanyak 19 responden (54,3%). Jika ditinjau dari tabel 17 sampai 20 diatas
diketahui bahwa paling banyak pasien berusia 20-29 tahun (juga kategori usia
dewasa muda), berpendidikan SMP dan SLTA, tidak bekerja serta berpenghasilan >
Rp. 1.009.150,-.
Menurut Orem (1921) Perawat tidak hanya memberikan pelayanan kepada
pasien namun juga pada keluarga. Kepuasan pelanggan adalah suatu keadaan dimana
keinginan/harapan dan kebutuhan pelanggan terpenuhi. Suatu pelayanan dinilai
memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan
pelanggan.
Tingkat kepuasan keluarga pasien bila ditinjau dari dimensi tangible
menunjukkan bahwa 54,3% dari keluarga menyatakan puas sedangkan 45,7%
menyatakan tidak puas. Menurut Nursalam (2003), Dimensi tangiable (kenyataan)
ini mencakup informasi tarif/biaya perawatan, prosedur pelayanan rawat inap,
kondisi ruangan yang selalu bersih, kondisi peralatan yang digunakan sela lu bersih,
kondisi kamar mandi yang bersih. Keluarga pasien merasa puas karena menurut
persepsi keluarga tarif atau biaya perawatan terjangkau serta kondisi kamar untuk
menunggu pasien juga selalu bersih.
Tingkat kepuasan keluarga pasien bila ditinjau dari dimensi reability
menunjukkan bahwa 48,6% keluarga pasien merasa puas sedangkan sisanya merasa
tidak puas. Menurut Nursalam (2003), Dimensi reliability (kepercayaan) ini
mencakup rasa kepercayaan keluarga pasien terhadap perawat, secara keseluruhan
perawat di rumah sakit tersebut baik, perawat memberi tahu tentang hal yang harus
dipatuhi keluarga pasien selama perawatan, perawat mengupayakan agar keluarga
pasien merasa puas. Dalam pelayanan keperawatan, keluarga pasien akan merasakan
kepuasan terhadap pelayanan yang diberikan pada anggota keluarganya yang
menjadi pasien, apabila keluarga juga mendapatkan informasi tentang seluruh
pelayanan yang diberikan pada pasien serta keluarga yakin dengan kemampuan
perawat dalam memberikan pelayanan. Sehingga ketidakpuasan keluarga pasien
terhadap pelayanan keperawatan pada saat rawat inap di Rumah Sakit DKT
Mojokerto terbentuk karena selama menunggu pasien, keluarga tidak pernah diberi
penjelasan tentang pelayanan yang diterima anggota keluarganya.
Apabila ditinjau dari responsiveness didapatkan hasil bahwa 15 orang (42,9%)
keluarga merasa puas sedangkan sisanya tidak puas. Nursalam (2003) menyatakan
bahwa yang termasuk dalam dimensi Responsiveness ini adalah : perawat membantu
pasien memperoleh obat, pelayanan laboratorium, pelayanan radiologi, ketika pasien
sampai di ruangan perawat segera menangani. Kelurga merasa tidak puas karena
77
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
perawat tidak segera menangani pasien yang datang ke Rumah Sakit DKT Mojokerto
dengan baik.
Apabila ditinjau dari Insurance didapatkan hasil bahwa 18 orang (51,4%)
keluarga merasa puas sedangkan sisanya tidak puas. Nursalam (2003) menyatakan
bahwa dimensi insurance ini mencakup pelayanan perawat membuat keluhan dan
kecemasan pasien makin berkurang.
Kepuasan keluarga pasien rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto
terbentuk karena keluarga merasa pelayanan yang diberikan perawat dapat
menurunkan kecemasan dan keluhan pasien. Jadi keluarga pasien akan merasa puas
terhadap pelayanan perawat jika pelayanan yang diberikan perawat dapat
menurunkan frekuensi keluhan dari pasien, misalnya pada pasien post operasi,
karena pelayanan perawat dianggap tepat, dan pasien tidak merasa nyeri pada luka
bekas operasi maka pasien dan keluarga akan merasa puas terhadap pelayanan
perawat.
Ditinjau dari segi empaty didapatkan bahwa 21 orang (60%) keluarga pasien
merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan perawat selama rawat inap di Rumah
Sakit DKT Mojokerto sedangkan sisanya tidak puas. Nursalam (2003) menyatakan
bahwa cakupan dimensi empati meliputi perilaku perawat saat dibutuhkan pasien dan
kemampuan perawat untuk selalu berusaha perduli dan memuaskan pasien.
Kepuasan keluarga juga terbentuk karena perawat memberikan perhatian terhadap
pasien dan keluarganya. Perawat berusaha peduli dengan semua kebutuhan pasien.
Pengukuran kepuasan pelanggan merupakan elemen penting dalam
menyediakan pelayanan yang lebih baik/lebih efisien dan lebih efektif apabila
pelanggan merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan yang disediakan, maka
pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan tidak efisien. Dalam hal ini
terutama sangat penting bagi pelayanan publik. Beberapa faktor yang dapat
dipertimbangkan oleh pelanggan dalam menilai suatu pelayanan yaitu: ketepatan
waktu, dapat dipercaya, kemampuan tekhnis, diharapkan, berkualitas dan harga yang
sepadan. Dalam rangka mengembangkan suatu mekanisme pemberian pelayanan
yang memenuhi kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan, perlu mengetahui halhal berikut : Mengetahui apa pelanggan pikirkan tentang anda, pelayanan anda dan
pesaing anda, Mengukur dan meningkatkan kinerja anda, Memanfaatkan kelemahan
anda ke dalam peluang pengembangan, sebelum orang lain memulainya,
Membangun wahana komunikasi internal sehingga setiap orang tahu apa yang
mereka kerjakan, Menunjukkan komitmen anda terhadap kualitas dan pelanggan
anda, Umpan balik dan informasi merupakan elemen yang penting dalam
membangun sistem pemberian pelayanan yang efektif (Irawan, 2003).
Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Dan Keluarga Pada Pelayanan
Keperawatan.
Ditinjau dari hasil tabel 23 tentang tabel kepuasan pasien dan keluarga dalam
menerima pelayanan keperawatan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit DKT
Mojokerto menunjukkan bahwa terdapat proporsi yang hampir sama antara kepuasan
dan ketidak puasan pasien dan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
kesamaan cara pandang pasien dan keluarga terhadap pelayanan keperawatan.
Pelayanan yang diterima oleh pasien sama dnegan yang diterima oleh keluarganya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan pelayanan yang diberikan
oleh perawat Rumah Sakit DKT baik pada pasien maupun pada keluarga pasien.
Pelanggan dalam pelayanan keperawatan tidak hanya pasien, namun keluarga
pasien juga perlu dipertimbangkan dalam pelayanan keperawatan. Menurut Irawan
(2003) Pelanggan yang puas adalah pelanggan yang akan berbagi kepuasan dengan
78
HOSPITAL MAJAPAHIT
produsen atau penyedia jasa, bahkan pelanggan yang puas akan berbagi rasa dan
pengalaman dengan pelanggan lain.
Sehingga apabila keluarga juga merasa puas dengan pelayanan keperawatan di
Rumah Sakit DKT Mojokerto maka akan menceritakan hal tersebut dengan orang
lain sehingga cakupan pelayanan harian di Rumah Sakit DKT Mojokerto bisa
meningkat.
F. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian tingkat kepuasan pasien rawat inap dan keluarga pada
pelayanan keperawatan di Rumah Sakit DKT Mojokerto yang dilakukan pada tanggal 16
Februari 12 Maret 2011 dapat diambil kesimpulan bahwa lebih dari 50% pasien rawat
inap menyatakan puas pada pelayanan keperawatan yaitu sebanyak 18 responden (51,4%)
sedangkan sisanya merasa tidak puas. Lebih dari 50% keluarga pasien rawat inap
menyatakan puas pada pelayanan keperawatan yaitu sebanyak 19 responden (54,3%).
Ada persamaan proporsi antara yang puas dan tidak puas antara pasien rawat inap dengan
keluarga pasien rawat inap.
Rumah Sakit hendaknya membuat kebijakan biaya manajemen rumah sakit yang
sesuai dengan jasa yang diberikan, selain itu menetapkan standar penampilan fisik,
meningkatkan kebersihan dan kenyaman ruang perawatan serta juga memperhatikan
kepuasan dan kebutuhan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.
Azwar, Azrul. (2003). Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Azwar, Saifuddin. (2007). Manusia Dan Pengukurannya. Jogjakarta : Pustaka Pelajar.
BPS. (2003). Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Jakarta : Biro Pencatat Statistik.
Effendi, Nasrul, Drs. (2004). Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, Edisi 2.
Jakarta : EGC.
Gaffar, Laode, Jumadi. (2003). Pengantar Keperawatan Profesional. Jakarta : Rineka Cipta.
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Pembahasan Ilmiah. Jakarta
: Salemba Medika.
Hurlock, Elizabeth B. (2001). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga.
Irawan, Handi. (2003). 10 Prinsip Kepuasan Pelanggan. Jakarta : EGC.
JPS. (2009). Tahun 2010 Upah Terendah Surabaya Rp. 1031500 Bulan.
(http://www.surya.co.id./2009/11/19/Tahun 2010 Upah Terendah Surabaya Rp.
1031500 Bulan.html, diakses 06 Desember 2010).
Kompas. (2009). Tingkat Kepuasan Kerja. (http://www.kompas.com.cetak/0705/ 14
humaniora/3531067.htm, diakses 27 Oktober 2010).
Khoiriyati, Azizah. (2010). Komunikasi therapeutik dalam pemberian pelayanan di rumah
sakit. (http://azizahkh.wordpress.com/komunikasi-keperawatan/, diakses 06 Desember
2010).
Kusnanto, M.Kes, S.Kep. (2004). Pengantar Profesi dan Praktek Keperawatan Profesional.
Jakarta : EGC.
Muhaj, Khaidir. (2010). Gambaran Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan
Keperawatan. (http://khaidirmuhaj.blogspot.com/2010/04/ gambaran-tingkat-kepuasanpasien.html, diakses 27 Nopember 2010).
Nazir, Mohammad. (2005). Metode Penelitian. Bogor : Ghalia Indonesia.
Nursalam, Siti Pariani. (2001). Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta :
CV. Sagung Seto.
Nursalam. (2002). Manajemen Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
79
HOSPITAL MAJAPAHIT
Nursalam. (2003). Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Pedoman
Skripsi, Tesis dan Instrument Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Potter dan Perry. (2005). Fundamental Keperawatan, Edisi IV Vol.1. Jakarta : EGC.
Sleman,
Dinkes.
(2007).
Tuntutan
Masyarakat
Terhadap
Kepuasan.
(http://dinas%20kesehatan%20kabupaten%20sleman.htm, Diakses 27 Oktober 2010).
Supranto. (2001). Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikkan Pangsa
Pasar. Jakarta : Rineka Cipta.
Supriyanto, S. (2003). Manajemen Pemasaran Jasa Pelayanan Kesehatan. Diktat Fakultas
Pasca Sarjana Universitas Airlangga. Surabaya : Airlangga University Press.
Supriyanto, S. (2005). Manajemen Mutu. Diktat Fakultas Pasca Sarjana Universitas
Airlangga. Surabaya : Airlangga University Press.
Supriyanto, S. (2002). Faktor Dominan Kepuasan Pasien Sebagai Dasar Penyusunan Upaya
Pengembangan Mutu Pelayanan Kesehatan di RSUD Kabupaten Sidoarjo. Surabaya :
Penelitian Ilmiah FKM Unair.
Wijono, Djoko. (2000). Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Vol. 1.
Surabaya :
Airlangga University Press.
Zaidin, Ali. (2001). Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta : Widya Medika.
80
HOSPITAL MAJAPAHIT
ABSTRACT
Sulawesi in Indonesia, especially in the south most of the 79.2% were low birth weight in term
pregnancies. This is caused by misuse of smoking is often done. Cigarette smoke contains
over 4000 chemicals in cigarettes by 20 species of which are carcinogenic and toxic
ingredients found in tobacco smoke a lot. The purpose of this study to determine the
relationship of husband and smokers with low birth weight in Sidoarjo Hospital.
This type of research is the use of analytical case-control study design. Independent variable
is the husband of smokers and the occurrence of low birth weight is the dependent variable.
The study population was all infants born incidence in Sidoarjo District Hospital with a
population of 20 and 20 LBW BBLN in a month ie on 23 May-23 June 2012 by using primary
and secondary data, the study sample using probability sampling with a purposive sampling,
this study used data analysis techniques in a way that the data processing Editing, Coding,
Scoring, Tabulating. Chi-square teststatistic (X2 ) with = 0.05.
From the result showed that a minority with a very heavy smoker category husband of 20
respondents (50%). Minority of respondents in the category of LBW by 20 respondents (50%).
Based on the results of statistical tests by using a manual with the chi square test (X2 ) with
= 5% with 3 dk X2 table value 7,81 which count 8 > 7,81 then the value dk rejected h1 ho
accepted means there is a relationship of husband and smokers LBW in Sidoarjo Hospital.
The conclusion of the study is affecting your relationship smokers LBW incidence is caused by
toxins found in cigarette smoke that causes damage and is carcinogenic. Need for additional
information dangers of smoking and secondhand smoke especially for the mother to the fetus
health professions in addition to the need for additional education on the dangers of
secondhand smoke to pregnant women during ANC visits.
Keywords : Husband Smokers, BBLN, LBW
A. PENDAHULUAN
Meski semua orang tahu akan bahaya yang ditimbulkan akibat rokok, perilaku
merokok belum juga surut dan tampaknya merupakan perilaku yang masih dapat ditolerir
oleh masyarakat. Hal ini dapat dirasakan dalam kehidupan seharihari di lingkungan
rumah, kantor, angkutan umum maupun di jalan-jalan. Hampir setiap saat dapat
disaksikan dan dijumpai orang yang sedang merokok di sebelah ibu yang sedang
menggendong bayi sekalipun, orang tersebut tetap tenang menghembuskan asap
rokoknya. Selama beberapa tahun terakhir, para ilmuwan telah membuktikan bahwa zatzat kimia yang dikandungnya asap rokok dapat memengaruhi orangorang yang tidak
merokok di sekitarnya. Orangorang yang tidak merokok, namun menjadi korban
perokok karena turut mengisap asap sampingan (di samping asap utama yang di
hembuskan baik oleh perokok). Perokok pasif memiliki resiko yang cukup tinggi atas
kanker, paruparu, ibu hamil yang merokok atau perokok pasif, menyalurkan zatzat
beracun dari asap rokok kepada janin yang dikandungnya melalui peredaran darah.
Nikotin rokok menyebabkan denyut jantung janin bertambah cepat, sedangkan karbon
monoksida menyebabkan berkurangnya oksigen yang diterima janin (Trim, 2006:13).
81
HOSPITAL MAJAPAHIT
BBLR adalah keadaan dimana bayi yang baru dilahirkan memiliki berat badan
kurang dari 2500 gram. American Lung Association di Amerika Serikat, merokok
bertanggung jawab terhadap sekitar 30% kejadian bayi dengan berat lahir rendah
(Dcirf.2012).Dewasa ini diperkirakan sekitar 17 juta bayi lahir BBLR setiap tahun dan
16% diantaranya lahir di negara berkembang. Dari jumlah tersebut sekitar 80% lahir di
Asia. BBLR menjadi masalah kesehatan masyarakat utama berdasarkan rekomendasi
internasional pada cut of 15%, (De Onis et al). Dan jumlah BBLR di Indonesia
diperkirakan mencapai 350 ribu bayi setiap tahunnya. BBLR menurut propinsi di
Indonesia dengan rentang 2,0 % -15,1% terendah di propinsi Sumatera Utara dan
tertinggi di Sulawesi Selatan. Berdasarkan umur kehamilan ditemukan 20,8% BBLR
yang dilahirkan kurang bulan dan sebagian besar (79,2%) adalah BBLR pada kehamilan
cukup bulan dengan proporsi terbesar di daerah pedesaan.(Ridwanaminuddin, 2011).
Rokok merupakan bentuk penyalahgunaan yang sering dilakukan. Insidensi
perempuan hamil yang merokok sekitar 16,3 52%, tergantung populasi yang diteliti
(Sarwono, 2008). Asap rokok mengandung lebih dari 4.000 bahan kimia dalam rokok,
dengan 20 jenis di antaranya bersifat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker),
dimanabahan racun ini lebih banyak didapatkan pada asap rokok (Trim, 2006). Efek ini
dapat menyebabkan kerusakan dalam beberapa hal : BBLR, kelahiran prematur, bayi
lahir mati (Janet, 2011). Perokok pasif pada ibu hamil memiliki resiko yang cukup tinggi
atas perdarahan, lebih sering keguguran, kehamilan prematur (Suryati, 2011:114).
Berdasarkan pada hasil Studi pendahuluan pada tanggal 28 April 2012 di RSUD
Sidoarjo.diperoleh dari hasil wawancara bahwa ada 12 BBL di ruang neonatus terdapat 6
BBLR dan 5 diantaranya adalah ayahnya perokok dan 6 BBLN 3 diantara ayahnya
perokok.
Cara pencegahan terjadinya kelahiran BBLR, yakni diperlukan kerjasama dari
berbagai pihak baik keluarga, teman teman kerja dan orang orang disekitar ibu hamil
untuk tidak merokok. Serta membuat peraturan yang lebih jelas mengenai tempat
tempat mana saja yang boleh dan tidak boleh merokok, bila dilingkungan sekitar banyak
yang merokok dan tidak bisa dilarang, pakailah masker atau jauhi orang-orang yang
merokok (dcirt, 2012). Sebagai bidan berada pada posisi yang unik untuk memberikan
informasi dan dukungan kepada ibu yang perokok pasif. Jika ibu mampu berhanti
mengisap asap rokok di awal kehamilan maka peluangnya untuk melahirkan seorang bayi
yang sehat akan semakin tinggi. Banyak tempat yang kini memiliki seorang bidan yang
berdedikasi untuk memberikan dukungan berhenti menjadi perokok pasif (Janet,2011 :52).
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan
suami perokok dengan terjadinya BBLR di RSUD Sidoarjo.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Dasar Suami.
a. Definisi.
Suami adalah pasangan hidup istri (ayah dari anak-anak), suami
mempunyai suatu tanggung jawab yang penuh dalam suatu keluarga tersebut dan
suami mempunyai peranan yang penting, dimana suami sangat dituntut bukan
hanya sebagai pencari nafkah akan tetapi suami sebagai motivator dalam
berbagai kebijakan yang akan di putuskan termasuk merencanakan keluarga
(Chaniago, 2011).
b. Suami Sebagai Pemimpin.
1) Menggauli Istri Dengan Sebaik-Baiknya. Menggauli maka suami harus
berusaha semaksimal mungkin menghindari melakukan perbuatan yang
tidak disukai istri, menghargai pendapat dia, bersikap santun serta penuh
82
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
kasih sayang. Saat konflik terjadi maka harus lebih bijaksana, tidak egois
dan tidak terpancing emosi istri, Sebagai wanita yang mempunyai dua mulut
pasti lebih cerewet jadi maklumlah, Itulah mungkin Tuhan memberi kuasa
hukum talak ada pada suami bukan pada istri yang mudah meluncurkan
kata-kata.
2) Sabar. Saat dulu pacaran atau berkenalan pasti yang ada dan terlihat hanya
yang indah- indah, tentu saja karena setan sangat berperan disini untuk
menghias perempuan agar nafsu kelaki- lakian anda tak terkendali, maka
usai menjadi istri dan menemukan kekurangan dalam bentuk apapun baik
fisik maupun karakter maka bersabarlah membimbingnya karena istri
terbuat dari tulang rusuk paling atas yang paling bengkok maka luruskanlah
dengan nasehatmu, jadikan dia sebagai ladang ibadah anda.
3) Nafkah. Status istri yang disandang seorang perempuan maka beralih pula
tanggungan hidup dari orang tuanya pada sang suami. seperti memberi
makan dan membelikan pakaian serta memberikan kepuasan yang lain.
4) Menyediakan Tempat Tinggal. Kewajiban lain seorang suami menyediakan
rumah dan jangan lupa isinya, jika memang belum menjadi milik sendiri
bolehlah menyewa, mengontrak atau kost, perabotanpun tidak harus mewah
dan komplit.
5) Memimpin Jalannya Roda Rumah Tangga. Mengatur kehidupan sehari- hari,
tata cara hidup anak dan istri dan pastinya seorang pemimpin/suami akan
dimintai pertanggung jawabannya baik di dunia dan di akhiratatas yang
dipimpinnya.
6) Menjaga Keselamatan. tidak diragukan lagi bahwa kekuatan tubuh suami
lebih kuat dibanding anggota rumah tangga yang lain maka dia wajib
memberikan perlindungan untuk keselamatan keluarganya.
7) Berlaku Jujur. Rasa Takut kepada Allah akan menjauhkan suami dari
berbohong pada istri, ingat, satu kebohongan akan terus beranak pinak
menjadi kebohongan-kebohongan yang lain.
8) Memberi Teladan. Perkataan kadang tidak cukup untuk meluruskan tulang
rusuk yang bengkok (istri) dan anak maka keteladanan sangat berperan.
berilah contoh yang baik seperti berbahasa santun, tertib beribadah, bergaul
dengan tetangga dan akhlak mulia yang lain (Chaniago, 2011).
Suami Yang Memenuhi Kewajiban.
1) Suami Teladan ialah :
Suami yang selalu mengerjakan perintah Allah dan menjauhkan
larangannya. Selalu menjaga hubungan dengan isterinya serta melaksanakan
tanggung jawab sesuai dengan kemampuannya. Ia selalu berterus te rang
dengan isterinya. Jika ia mempunyai kekurangan, ia akan menyatakan
kepada isterinya.
Suami yang baik, tidak menyembunyikan rahasia yang tidak disenangi
isterinya. Apabila berkata-kata dengan isterinya dengan cara lembut dan
bersopan santun.
Suami yang soleh, selalu membimbing isterinya, menghiburkan
isterinya, berbincang-bincang, menghargai pandangan isterinya dan
sebagainya.
Suami yang menganggap isterinya sebagai kekasih dan sahabat. Tidak
mudah cemburu. Mempunyai keyakinan dan menaruh kepercayaan terhadap
isterinya.
83
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
84
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
c.
d.
telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara
agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lain (Trim, 2006:2).
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga
120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang
berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu
ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada
ujung lainnya (Umar, 2011).
Rokok adalah silinder kertas yang berisi daun-daun tembakau yang telah
dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan (Detik, 2012).
Zat kimia berbahaya dalam rokok.
1) Tar. Mengandung kimia beracun yang merusak sel paru-paru dan
menyebabkan kanker. Tar bersifat lengket dan menempel pada paru-paru.
2) Karbon Monoksida (CO). Gas beracun yang dapat mengakibatkan
berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen. Zat ini mengikat
hemoglobin dalam darah sehingga membuat darah tidak mampu mengikat
oksigen.
3) Nikotin. Zat kimia perangsang yang dapat merusak jantung dan sirkulasi
darah serta membuat pemakaiannya menjadi kecanduan. Zat ini bersifat
karsinogen (merusak sel tubuh), dan mampu memicu kanker paru-paru yang
mematikan.(Trim, 2006:16).
Asap rokok
Ada dua macam asap rokok yang mengganggu kesehatan :
1) Asap utama (mainstream). Adalah asap yang dihisap oleh siperokok.
2) Asap samping (sidestream), Adalah asap yang merupakan pembakaran dari
ujung rokok, kemudian menyebar ke udara. Asap sampingan memiliki
konsentrasi yang lebih tinggi, karena tidak melalui proses penyaringan yang
cukup. Dengan demikian pengisapan asap sampingan memiliki resiko yang
lebih tinggi untuk menderita gangguan kesehatan akibat rokok. Asap utama
merupakan asap tembakau yang dihirup langsung oleh perokok, sedangkan
asap samping merupakan asap tembakau yang disebarkan ke udara bebas,
yang akan dihirup oleh orang lain atau perokok pasif (Trim, 2006:24).
Menurut penelitian yang dilakukan Silvan Tomkins, ada 4 tipe perilaku
merokok. Keempat tipe tersebut adalah :
1) Tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif. Artinya dengan
merokok ia akan merasakan penambahan rasa positif yang membuat dirinya
tenang dan bahagia. Pada umumnya, ada beberapa alasan dari perokok ini,
yaitu :
a) Relaksasi untuk kesenangan, perilaku merokok hanya untuk
menambahkan atau meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat.
Misalnya: merokok setelah minum kopi atau makan.
b) Rangsangan untuk meningkatkan kepuasan. Perilaku merokok hanya
dilakukan sekedarnya untuk menyenangkan perasaan.
c) Kesenangan memegang rokok. Kenikmatan yang diperoleh dengan
memegang rokok. Sangat spesifik pada pipa. Perokok pipa akan
menghabiskan waktu untuk mengisapnya hanya dibutuhkan waktu
beberapa menit saja. Atau perokok lebih senang berlama- lama untuk
memainkan rokoknya dengan jari-jarinya lama sebelum ia nyalakan
dengan api.
2) Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif. Banyak orang
yang menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan negatif. Misalnya:
85
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
jika ia marah, cemas, atau gelisah, rokok dianggap seb agai penyelamat.
Mereka menggunakan rokok jika perasaan tidak enak terjadi sehingga
terhindar dari perasaan yang lebih tidak enak.
3) Perilaku merokok karena kecanduan psikologis (psychological addiction).
Mereka yang sudah kecanduan, akan menambahkan dosis rokok yang
digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang diisapnya berkurang.
Mereka umumnya akan pergi keluar rumah membeli rokok, walau tengah
malam sekalipun, karena ia khawatir kalau rokok tidak tersedia setiap saat ia
menginginkannya.
4) Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan. Mereka menggunakan
rokok sama sekali bukan karena untuk mengendalikan perasaan mereka,
tetapi karena benar-benar sudah manjadi kebiasaannya rutin. Dapat
diaktakan pada orang-orang tipe ini merokok sudah merupakan suatu
perilaku yang bersifat otomatis, acap kali tanpa dipikirkan dan tanpa
disadari. Ia menghidupkan api rokoknya bila rokok yang terdahulu telah
benar-benar habis (Trim, 2006:6).
Bahaya yang sangat besar bagi orang yang merokok dan perokok pasif.
1) Asap rokok mengandung kurang lebih 4000 bahan kimia yang 200
diantaranya beracun dan 43 jenis lainnya dapat menyebabkan kanker bagi
tubuh. Beberapa zat yang sangat berbahaya yaitu tar, nikotin, karbon
monoksida, dsb. Ibu hamil yang merokok atau menjadi perokok pasif,
menyalurkan zat-zat baracun dari asap rokok kepada janin yang
dikandungnya melalui peredaran darah. Nikotin rokok menyebabkan denyut
jantung janin bertambah cepat, sedangkan karbon monoksida menyebabkan
berkurangnya oksigen yang diterima janin. (Trim, 2006:13). Carbon
monoksida dan nikotin adalah 2 bahan kimia yang paling berpengaruh
terhadap janin. Co menurunkan kemampuan membawa oksigen yang cukup
pada jaringan janin. Nikotin meningkatkan tekanan darah dan menurunkan
angka pernafasan, nikotin berefek pada sistem saraf pusat, genetalia, saluran
cerna, sistem urinari janin, fetal hypoxemi melalui reduksi darah dari
placenta (Ridwannuddin, 2011).
Bahaya ibu hamil yang terkena asap rokok antara lain :
a) Asap rokok bisa menyebabkan kematian dini (Premature death) pada
bayi yang sedang dikandung dan menimbulkan penyakit ketika bayi
tersebut lahir.
b) Berisiko melahirkan bayi yang berat badan lahir rendah (BBLR) karena
racun dalam rokok bisa menghambat aliran darah yang merupakan
sumber nutrisi bagi bayi.
c) Asap rokok bisa meningkatkan resiko bayi meninggal akibat mengalami
SIDS (Sudden Infant Death Syndrome), dibandingkan bayi yang tidak
terpapar asap rokok.
d) Meningkatkan resiko bayi terkena bronkitis, pneumonia, infeksi telinga
dan memperlambat pertumbuhan paru-paru.
e) Asap rokok selam hamil bisa menyebabkan perubahan dalam struktur
DNA bayi yang nantinya dapat melemahkan sistem kekebalan
tubuhnya.
f) Mengganggu pertumbuhan otak janin selama di dalam kandungan, serta
beresiko mengalami keterbelakangan mental.
g) Sering terpapar asap rokok bisa membuat bayi lahir prematur yang
umumnya memiliki perkembangan organ tubuh yang belum sempurna.
86
HOSPITAL MAJAPAHIT
h)
i)
f.
g.
h.
HOSPITAL MAJAPAHIT
i.
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
oksigen digantikan oleh konponen dari asap rokok, sehingga mengha mbat
transportasi oksigen yang penting bagi kehidupan sel.
10) Terkesan bodoh. Jika perokok membela ketergantungannya, ada satu
kebenaran yang tak mampu mereka pungkiri, seperti slogan, rokok itu
pembunuh jadi, bila masih ada yang meneruskan kebiasaan itu, te ntunya
akan terlihat bodoh kan (Windi,2009).
Konsep Dasar BBLR
a. Definisi.
BBLR adalah bayi yang lahir rendah berat badan kurang dari 2500 gram
tanpa memandang masa kehamilan (Atikah Dkk,2011:1)
BBLR adalah bayi baru lahir yang berat badannya saat lahir kurang dari
2500 gram sampai dengan 1500 gram (Saifudin, 2002).
BBLR adalah bayi baru lahir dengan berat antara 1500 2500 gram
(Prawirohardjo, 2008).
Jadi dapat di simpulkan, BBLR adalah bayi dengan berat lahir kurang dari
2500 gram yang ditimbang pada saat lahir sampai 24 jam pertama setelah lahir.
b. Klasifikasi BBLR (Atikah Dkk, 2010:4).
1) Menurut harapan hidupnya :
a) Bayi berat lahir rendah (BBLR) berat lahirnya 15002500 gram.
b) Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) berat lahir 1000-1500 gram.
c) Bayi berat lahir ekstrim rendah (BBLER) berat lahir <1000 gram.
2) Menurut masa gestasinya :
a) Prematuritas murni. Masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat
badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi berat atau biasa
disebut neonates kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan (NKB
SMK).
b) Dismaturitas. Bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan
seharusnya untuk masa gestasi itu. Berat bayi mengalami retardasi
pertumbuhan intruterin dan merupakan bayi yang kecil untuk masa
kehamilannya (KMK).
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi BBLR.
1) Faktor Ibu.
a) Gizi Ibu Hamil. Gizi ibu yang buruk sebelum kehamilan maupun pada
wanita sedang hamil, lebih sering menghasilkan bayi BBLR atau lahir
mati dan menyebabkan cacat bawaan. Disamping itu, BBLR dapat pula
menyebabkan hambatan pertumbuhan otak, anemia pada bayi baru
lahir, dan mudah terkena infeksi. Keadaan gizi meliputi proses
penyediaan dan penggunaan gizi untuk pertumbuhan, perkembangan,
pemeliharaan dan aktivitas. Kurang gizi dapat terjadi dari beberapa
akibat yaitu ketidakseimbangan asupan zat- zat gizi, faktor penyakit
pencernaan, absorpsi dan penyakit infeksi (Melinda, 2009).
b) Umur Ibu Hamil. Anak perempuan berusia 15 tahun atau kurang, lebih
rentan terhadap terjadinya pre eklamsi(suatu keadaan yang ditandai
dengan tekanan darah tinggi, protein dalam kemih dan penimbunan
cairan selam kehamilan) dan eklamsi (kejang akibat preeklamsi),
mereka juga lebih mungkin melahirkan bayi dengan berat badan rendah
atau bayi kurang gizi.
Wanita yang berusia 35 tahun atau lebih. Lebih rentan terhadap
tekanan darah tinggi, diabetes di dalam rahim serta rentan terhadap
gangguan persalinan dan resiko memiliki bayi dengan kelainan
89
HOSPITAL MAJAPAHIT
90
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
e.
f.
HOSPITAL MAJAPAHIT
g.
C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian.
Desain penelitian yang digunakan adalah Analitik yang bertujuan untuk
mencoba mencari hubungan antara variabel dimana perlu dilakukan analisis
terhadap data yang dikumpulkan, seberapa besar hubungan antar variabel yang ada
(Setiadi, 2007:133).
Cara pengambilan data pada penelitian ini menggunakan pendekatan
pengambilan data secara case control. Penelitian case control adalah suatu
penelitian analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan
menggunakan pendekatan retrospektive. Dengan kata lain, efek BBLR diidentifikasi
pada ini, kemudian faktor resiko rokok diindentifikasi ada atau terjadinya pada
waktu yang lalu (Notoatmodjo, 2010:43).
93
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
Frame Work.
Sangat berat
Berat
Suami perokok
BBLR
Sedang
Ringan
Sangat berat
Berat
Suami perokok
Tidak BBLR
Sedang
Ringan
Gambar 6. Kerangka Kerja Hubungan Suami Perokok Dengan Te rjadinya
Bayi Berat Badan Lahir Rendah Di RSUD Sidoarjo.
3.
4.
Hipotesis Penelitian.
Hipotesis suatu pernyataan asumsi tentang hubungan antara dua atau lebih
variabel yang diharapkan bisa menjawab suatu pernyataan Dalam penelitian
(Nursalam, 2011:56). Hipotesis penelitian ini sebagai berikut :
H : Ada hubungan antara suami perokok dengan terjadinya BBLR.
Variabel dan Definisi Operasional.
a. Jenis variabel Dalam penelitian ini adalah :
1) Variabel Independen (Bebas) yaitu suatu kegiatan stimulus yang
dimanipulasi oleh peneliti menciptakan suatu dampak pada variabe l
dependen (Nursalam, 2011:97). Dalam penelitian ini variabel independe n
adalah terjadinya suami perokok.
2) Variabel Dependen (Terikat) yaitu faktor yang diamati dan diukur untuk
menentukan ada tidaknya hubunganan atau pengaruh dari variabel bebas
(Nursalam, 2011:98). Dalam penelitian ini variabel dependent adala h
BBLR.
b. Definisi Operasional.
Tabel 24. Definisi Operasional Hubungan Suami Perokok Dengan
Terjadinya Bayi Berat Badan Lahir Rendah Di RSUD
Sidoarjo.
Variabel
Definisi Operasional
Krite ria
Skala
Dependen
Bayi dengan berat lahir 1. BBLR Rendah :
Nominal
BBLR
kurang dari 2500 gram
(1500-2500 gram)
yang ditimbangkan pada 2. Sangat berat :
saat lahir sampai 24 jam
(1000-1500 gram)
pertam setelah lahir.
3. Ekstrim berat :
Alat ukur yang
(<1000 gram)
digunakan adalah
BBLN : (2500-4000 gram)
status pasien.
(Atikah Dkk, 2010: 4)
94
HOSPITAL MAJAPAHIT
Variabel
Independen
Merokok
Parameter rokok:
Jumlah batang dalam 1
hari
Alat ukur yang
digunakan adalah
kuesioner.
5.
4.
Krite ria
Skala
Merokok
Ordinal
1. Sangat berat : 31
batang/hari, selang 5
menit setelah bangun
tidur
2. Berat : 21-30
batang/hari, selang 6-30
menit sejak bangun tidur
3. Sedang : 11-21
batang/hari, selang
waktu 31-60 menit
setelah bangun tidur
4. Ringan : 2 batang / hari,
selang waktu 60 menit
setelah bangun tidur
(Trim, 2006: 9).
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
HOSPITAL MAJAPAHIT
f0
fh
jika chi-square hitung > chi-square table maka h0 ditolak artinya ada
hubungan antara variabel independent dengan variabel dependen dan jika
chi square hitung < chi-square table h0 diterims maka artinya tidak ada
hubungan antara variabel dependen dan independent.
Mencari Nilai X table dengan rumus:
dk = (k-1)(b-1)
Keterangan:
k = banyaknya kolom
b = banyaknya baris
D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Penelitian ini dilakukan di ruang VK yaitu ruangan yang khusus digunakan
untuk perawatan dan penangan masalah obstetri dan genekologi. Rungan VK satu
unit dengan rungan neonatus yaitu ruangan yang digunakan untuk merawat bayi baru
lahir.penelitian dilaksanakan pada 23 Mei 23 juni 2012dengan jumlah responden
40 orang dibagi menjadi di RSUD Sidoarjo.
Batas batas ruangan VK, sebelah timur berbatasan dengan ruangan farmasi,
sebelah barat berbatasan dengan mawar putih, sebelah utara berbatasan dengan
mawar ungu dan sebelah selatan berbatasan dengan poli.
2. Karakteristik Responden (Data Umum).
a. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur.
Tabel 25. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di RSUD Sidoarjo
Pada Tanggal 23 Mei - 23 Juni 2012.
No.
Umur
Frekuensi (f)
Prosentasi (%)
1.
< 20 tahun
2
5
2.
20-35 Tahun
32
80
3.
>35 tahun
6
15
Jumlah
40
100
Dari tabel dapat diketahui bahwa sebagian besar responden berumur 20-35
tahun sebanyak 32 orang (80%).
b. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan.
Tabel 26. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan di RSUD
Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei 23 Juni 2012.
No.
Pendidikan
Frekuensi (f)
Prosentasi (%)
1.
SD
6
15
2.
SMP
6
15
3.
SMA
25
62,5
4.
PT
3
7,5
Jumlah
40
100
Berdasarkan tabel 26 dapat diketahui bahwa rata rata responden
berpendidikan SMA yaitu sebanyak 25 responden (62,5%).
c. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan.
Tabel 27. Karakteristk Responden Berdasarkan Pekerjaan di RSUD
Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei - 23 Juni 2012.
No.
Pekerjaan
Frekuensi (f)
Prosentasi (%)
1.
IRT
25
62,5
97
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
3.
4.
3.
Swasta
12
30
Wiraswasta
0
PNS
3
7,5
Jumlah
40
100
Dari tabel dapat diketahui bahwa rata rata responden tidak bekerja
sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak 25 responden (62,5%).
d. Karakteristik Responden Berdasarkan Paritas.
Tabel 28. Karakteristik Responden Berdasarkan Paritas di RSUD
Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei - 23 Juni 2012.
No.
Paritas
Frekuensi (f)
Prosentasi (%)
1.
Primigravida
19
47,5
2.
Multigravida
19
47,5
3.
Grandemuntigravida
2
5
Jumlah
40
100
Berdasarkan tabel 28 dapat diketahui bahwa sebagian kecil responden
primigravida sebanyak 19 responden (47,5%) dan multigravida sebanyak 19
responden (47,5%).
Data Khusus.
a. Kategori Rokok.
Tabel 29. Karakteristik Responden Berdasarkan Kategori Rokok di
RSUD Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei 23 Juni 2012.
No.
Suami Pe rokok
Frekuensi (f)
Prosentasi (%)
1.
Ringan
18
45
2.
Sedang
1
2,5
3.
Berat
1
2,5
4.
Sangat Berat
20
50
Jumlah
40
100
Berdasarkan tabel 29 Dari dapat diketahui bahwa sebagian kecil
responden suaminya perokok sangat berat sebanyak 20 responden (50%).
b. Klasifikasi Berat Badan.
Tabel 30. Karakteristik Responden Berdasarkan Klasifikasi Berat Badan
di RSUD Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei 23 Juni 2012.
No. Klasifikasi Berat Badan
Frekuensi (f)
Prosentasi (%)
1.
BBLN
20
50
2.
BBLR
20
50
Jumlah
40
100
Berdasarkan tabel 30 dapat diketahui bahwa sebagian kecil responden
melahirkan bayi berat lahir rendah sebanyak 20 responden (50%).
c. Hubungan Suami Perokok Dengan Terjadinya BBLR di RSUD Sidoarjo.
Tabel 31. Tabulasi Silang Hubungan Suami Pe rokok Dengan Terjadinya
BBLR di RSUD Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei 23 Juni 2012.
Klasifikasi Berat Badan
Jumlah
No.
Suami Rokok
BBLN
BBLR
F
%
f
%
f
%
1.
Ringan
18
45
0
0
18
45
2.
Sedang
1
2,5
0
0
1
2,5
3.
Berat
1
2,5
0
0
1
2,5
4.
Sangat Berat
0
0
20
50
20
50
Jumlah
20
50
20
50
40
100
98
HOSPITAL MAJAPAHIT
99
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
F. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan suami perokok dengan terjadinya
BBLR di RSUD Sidoarjo dapat disimpulkan bahwa berdasarkan 40 responden sebagian
kecil suami responden dikategorikan perokok sangat berat sebanyak 20 responden (50%),
berdasarkan sebagian kecil Responden yang melahirkan bayi dengan berat lahir rendah
yaitu sebanyak 20 responden (50%), Uji statistik yang d igunakan adalah Uji Chi Kuadrat
pada signifikasi 0,05 dengan jumlah responden 40 didapatkan hasil chi-square (X2 ) hitung
= 8 > nilai chi-square (X2 ) tabel = 7,81 maka H0 ditolak dan H1 diterima atau signifikan
berarti bahwa terdapat hubungan suami perokok dengan terjadinya BBLR di RSUD
Sidoarjo.
Perlu adanya penambahan informasi tentang bahaya rokok maupun asap rokok baik
bagi ibu maupun kesehatan janin dan adanya suatu penambahan penyuluhan tentang
bahaya asap rokok bagi ibu hamil pada saat melakukan kunjungan antenatal di RSUD
Sidoarjo. Perlu diperhatikan bagi pengelola program rumah sakit dalam rangka
meningkatkan kegiatan penyuluhan khususnya tentang hubungan suami perokok dengan
terjadinya BBLR. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah informasi baru bagi
perkembangan pengetahuan khususnya di bidang ilmu kebidanan yang berkaitan dengan
bahaya asap rokok dengan terjadinya BBLR.
DAFTAR PUSTAKA
Alhelmi. (2011). Suami
yang
memenuhi
100
kewajiban.
(http://alhelmi.tripod.com/
HOSPITAL MAJAPAHIT
101
HOSPITAL MAJAPAHIT
ABSTRACT
Pain in childbirth, often makes mothers give to birth normally. Many mothers who decide to
do the cesarean section after a normal birth half way through, so this study to identify the
type of labor with a pain scale of involution of the uterus during childbirth in hospitals Prof.
Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto.
Type of the Analytic Observational study with cross sectional design. The population in this
study were postpartum mothers at delivery and Caesarean section deliveries in hospitals
normally the first day of Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto. Population of 37 people.
Sampling technique with the purposive sampling method. Collecting data using
questionnaires. Data processing techniques through Editing, Coding, Tabulating. The
research was conducted on May 22 to June 7.
The results that are almost entirely in pain with uterine involution category Very Painful but
can still be controlled on the type of cesarean section delivery of 20 respondents (54.1%), and
none who have pain with uterine involution category Very Painful but can still be controlled
in labor normal. Mean values recorded for the type of cesarean section delivery is greater
than the normal type of labor (23.56> 6.70). Results Statistical 0.00 <0.05 hence H0 refused
and H1 accepted that there is a relationship between type of delivery with a pain scale
involution of the uterus during childbirth in hospitals Prof. Dr. Soekandar Mojosari
Mojokerto.
Normal type of labor will reduce the pain scale involution of the uterus during childbirth,
along with a range of factors that exist, namely age and parity.
In this study the uterine involution pain scale on the type of cesarean delivery cesarean
delivery is higher than normal. This is because the wound incision in cesarean section
deliveries increase the intensity of pain during childbirth uterine involution. Health workers
are expected to provide new information on uterine involution pain scale on each type of
labor.
Keyword: Type of Labor, Pain Scale.
A. PENDAHULUAN
Nyeri persalinan perlu diatasi supaya memudahkan proses persalinan, mengurangi
kesakitan dan kematian ibu maupun bayi serta agar ibu dan bayi terbebas dari rasa
depresi (Anon, 2011).
Nyeri saat melahirkan, seringkali membuat ibu menyerah untuk melahirkan secara
normal. Menurut dr. Irham Suhemi, Sp.OG, banyak ibu yang memutuskan melakukan
operasi cesar setelah setengah jalan menjalani kelahiran normal (pervaginam) karena
tidak tahan menahan sakit. Tetapi hal terpenting tidak diketahui para wanita bahwa Sectio
Caesaria berhubungan dengan peningkatan 2 kali lipat resiko mortalitas ibu dibandingkan
pada persalinan Vaginal,dan banyak wanita yang tidak mrngetahui bahwa kelahiran
normal mempunyai dampak positif yang akan bisa dirasakan ibu dan anak sepanjang
hidup (Mubarok, 2009).
Data di indonesia menunjukkan bahwa angka persalinan SC mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Data SDKI yang pertama yaitu tahun 1987 hingga yang
102
HOSPITAL MAJAPAHIT
kelima yaitu SDKI 2002-2003, terjadi peningkatan angka persalinan SC secara nasional
berjumlah kurang dari 4% dari jumlah total persalinan. Tercatat persalinan dengan SC atas
permintaan sendiri sejumla h 60% dan 40% atas indikasi pada tahun 2003. (umy,2007).
Pada seminar Nasional teknologi du Yogyakarta Prosentase tingkat nyeri pada
masing- masing kelompok pada persalinan yaitu : 46,7% nyeri sedang dan 53,3% nyeri
berat pada kelompok eksperimen, sedangkan 3,3% nyeri ringan, 60% nyeri sedang dan
36,7% nyeri berat Hingga saat ini Indonesia tercatat sebagai negara tertinggi di kawasan
Asia (SNT, 2007).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa persalinan dengan bedah
caesar adalah sekitar 10-15 % dari semua proses persalinan di negara-negara
berkembang. Di Indonesia sendiri, presentasi operasi caesar sekitar 5%. Menurut data di
propinsi jawa timur,tercatat 90% dari proses persalinan adalah persalinan normal
walaupun memang akhir-akhir ini angka itu kadang terbalik menjadi 90% persalinan SC
atau dengan tindakan(Vacum, Forcep, Epidural atau induksi). Pada 2010 di wilayah
daerah mojokerto didapatkan jumlah persalinan 526 orang dengan rincian persalinan
fisiologis 8,94 % (47 orang), persalinan SC 23,95 % (126 orang) atas indikasi permintaan
sendiri (APS).(Anon,2008). Berdasarkan studi pendahuluan pada 14 April 2012 di RSUD
prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto,dari 5 ibu nifas dengan persalinan
normal,tercatat 4 orang mengalami nyeri ringan,1 orang mengalami nyeri sedang dan
tidak ada yang mengalami nyeri berat.Disamping itu,tercatat pula dari 5 ibu nifas dengan
persalinan seksio cesar,tercatat 3 orang mengalami nyeri berat,2 orang mengalami nyeri
sedang dan tidak ada yang mengalami nyeri ringan.
Pasien Post SC akan mengeluh nyeri pada daerah incisi yang disebabkan oleh
robeknya jaringan pada dinding perut dan dinding uterus.Prosedur pembedahan yang
menambah rasa nyeri seperti infeksi, distensi,spasmus otot sekitar daerah torehan. Rasa
nyeri yang dirasakan post SC lebih meningkat dari pada proses persalinan fisiologis,hal
ini akan akan menimbulkan berbagai masalah, salah satunya masalah laktasi. Rasa nyeri
tersebut akan menyebabkan pasien menunda pemberian ASI sejak awal pada bayinya,
karena rasa tidak nyaman/peningkatan intensitas nyeri setelah operasi (Purwandari,
2009).
Lebih dari 90% wanita mengalami nyeri persalinan yang cukup berat, Umumnya
dipengaruhi oleh keadaan sosial dan kultural, nullipara, drip oksitosin, ibu yang berusia
muda, berat badan ibu dan janin yang meningkat. Dan sebenarnya Nyeri bukanlah bagian
dari proses persalinan itu sendiri, rasa nyeri terjadi pada dasarnya adalah akumulasi dari
beberapa faktor pengaruh seperti tingkat psikologis seseorang, rasa panik, rasa takut juga
traumaa masa lalu. bahkan karena terlalu takut sampai-sampai banyak calon ibu yang
memutuskan untuk melakukan operasi SC hanya gara-gara takut sakit. Dan memang saat
pproses operasinya si ibu tidak merasakan sakit sama sekali, namun sayang, > 90% ibu
yang mengeluh sakit post operasi dan berlangsung lebih lama pemulihannya (Anon,
2011).
Upaya-upaya untuk mengatasi nyeri pada ibu post SC adalah dengan menggunakan
farmakologis dan nonfarmakologis. Penalaksanaan nyeri dengan farmakologis yaitu
dengan menggunakan obat-obat ananalgesik narkotik baik secara intravena maupun
intramuskuler. Pemberian secara intravena maupun intramuskuler misalnya dengan
meperidin 75-100 mg atau dengan morfin sulfat 10-15 mg, namun penggunaan analgesik
yang secara terus menerus dapat mengakibatkan ketagihan obat (Cunningham et al,
2006).
Penatalaksanaan nyeri secara nonfarmakologis antara lain menggunakan sentuhan
afektif, sentuhan terapeutik, akupresur, relaksasi dan tehnik imajinasi, distraksi,
103
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
105
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
e.
106
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
e.
HOSPITAL MAJAPAHIT
f.
Intensitas Nyeri.
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan
oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh
dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nye ri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik
tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga
tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri,
2007).
1) Intensitas nyeri Deskriptif.
g.
4) Skala Nyeri.
0
: Tidak nyeri.
1-3 : Nyeri ringan.
4-6 : Nyeri Sedang.
7-9 : Sangat nyeri, tapi masih dapat di control.
10 : Sangat nyeri dan tidak bisa dikontrol
(Smeltzer, 2002)
Penyebab Nyeri pasca bersalin.
1) Nyeri perut (rahim).
Pada saat hamil, rahim seorang ibu akan membesar sesuai ukuran
janin yang dikandung. Begitu bayi lahir maka perlahan- lahan rahim akan
menyusut dan mengecil hingga sebesar buah pir kecil. Proses kembalinya ke
bentuk semula dari rahim ini disertai dengan rasa seperti kram pada
perut.Dalam kebidanan disebut dengan kontraksi rahim. Kontraksi rahim ini
diperlukan agar rahim dapat segera mengecil dan pembuluh darah yang
terluka saat lepasnya ari-ari dari dinding rahim dapat segera menutup
kembali, sehingga tidak terjadi perdarahan. Kadang, sensasi nyeri seperti
kram ini semakin terasa saat menyusui, ibu tak perlu cemas karena justru
dengan rangsangan hisapan bayi akan membantu keluarnya hormon
oksitosin yang membantu proses kontraksi rahim tersebut. Maka, tidak
mengherankan bila ibu menyusui akan lebih cepat pulih rahimnya dan
terhindar dari risiko perdarahan juga. Gunakan gurita yang nyaman, sering
109
HOSPITAL MAJAPAHIT
2)
3)
4)
5)
buang air kecil dan lakukan relaksasi nafas bila nyeri atau kram tersebut
muncul.
Nyeri payudara.
Paska persalinan setelah dua atau tiga hari seorang ibu nifas akan
merasakan payudaranya mulai sedikit tegang dan penuh. Sekitar payudara
terasa nyeri sedikit dan membengkak. Pada keadaan ini, payudara telah
memulai fungsinya memproduksi air susu bagi bayi. Produksi ASI semakin
hari akan semakin banyak. Oleh karena itu, dibutuhkan penghisapan yang
teratur dari bayi sejak lahir, yakni dengan inisiasi menyusu dini.Pada
beberapa ibu nifas, ada yang mengalami pembesaran kelenjar susu hingga di
area sekitar ketiak. Tidak perlu khawatir itu bukan penyakit atau kelainan,
namun karena aktivitas hormon yang memproduksi ASI bagi bayi. Bagian
puting payudara juga akan sedikit keras dan sensitif. Gunakan bra yang
nyaman, lakukan kompres hangat pada sekitar payudara dan sering
kosongkan ASI dengan menyusui untuk meredakan keluhan nyeri.
Nyeri perineum dan bengkak pada vagina.
Pada saat latihan duduk dan berjalan pascabersalin, ibu nifas mungkin
akan mengalami keluhan sedikit nyeri pada sekitar jalan lahir baik bekas
luka jahitan maupun keluhan bengkak atau lecet pada vagina. Tidak perlu
cemas, pada keadaan dimana bagian tubuh mengalami robekan maka saraf
di sekitar luka akan menjadi sangat peka dan timbul nyeri, namun semakin
aktif bergerak, rasa nyeri akan semakin berkurang. Pada keadaaan bengkak
atau lecet pada sekitar vagina mungkin sementara akan sedikit mengganggu
kenyamanan ibu, tak perlu cemas hal ini akibat penekanan kepala bayi saat
lahir. Keadaan bengkak pada vagina secara perlahan akan mengempis dan
kembali ke bentuk semula. Lakukan relaksasi nafas panjang saat latihan
duduk atau jalan agar mengurangi nyeri. Yang perlu dilakukan adalah
mengenakan pembalut dengan tepat, menjaga kebersihan luka jahitan, bila
perlu lakukan rendam air hangat untuk mengurangi keluhan nyeri.
Nyeri hemoroid atau ambeien.
Pada saat mengejan melahirkan tak jarang menimbulkan hemoroid
(ambeien) yang diderita ibu sebelumnya menjadi keluar dari dubur dan
terasa nyeri. Dengan penanganan kompres rendam a ir hangat akan sangat
membantu mengurangi nyeri. Bila memang diperlukan bidan dan dokter
akan membantu menggunakan jelly pelumas untuk memasukkan kembali
hemoroid tersebut. Tetap menjaga kebersihan area sekitar dubur dan jangan
takut untuk buang air besar atau mengejan.
Nyeri pembedahan.
Nyeri bukanlah akibat sisa pembedahan yang tak dapat dihindari
tetapi ini merupakan komplikasi bermakna pada sebagian besar pasien.
Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi kualitas, intensitas dan
lamanya nyeri pasca bedah dapat disebutkan sebagai berikut :
a) Lokasi operasi, jenis operasi dan lamanya operasi serta berapa besar
kerusakan ringan akibat operasi tersebut.
b) Persiapan operasi baik psychologik, fisik dan pharmakologik dari
penderita oleh anggota/team pembedahan atau dengan kata lain disebut
pelaksanaan perioperatif dan premedikasi.
c) Adanya komplikasi yang erat hubungannya dengan pembedahan.
d) Pengelolaaan anestasi baik sebelum, selama, sesudah pembedahan.
e) Kwalitas dari perawatan pasca bedah.
110
HOSPITAL MAJAPAHIT
f)
g)
h)
i)
3.
111
HOSPITAL MAJAPAHIT
4.
HOSPITAL MAJAPAHIT
113
HOSPITAL MAJAPAHIT
C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian.
Jenis penelitian menggunakan analitik. Selanjutnya peneliti ini menggunakan
pendekatan cross sectional yaitu peneliti ini menggunakan observasi satu kali
variabel atau pengukuran pada suatu waktu.
Pada penelitian ini desain yang di gunakan adalah desain korelasi untuk
mengetahui adanya jenis persalinan dengan skala nyeri involusi uterus masa nifas di
RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto.
2. Frame Work.
Variabel Independen
Jenis persalinan
a.
b.
c.
d.
e.
Variabel Dependen
Tingkat Nyeri
Variabel Perancu
Nyeri perut(rahim)
Nyeri payudara
Nyeri perineum dan bengkak pada vagina
Nyeri hemoroid
Nyeri pembedahan
Hipotesis Penelitian.
H1 = Ada pengaruh jenis persalinan dengan skala nyeri involusi uterus masa nifas.
Variabel dan Definisi Operasional.
a. Jenis Variabel.
1) Variabel Independen/Variabel Bebas.
Pada penelitian ini variabel independent atau bebas adalah jenis persalinan.
2) Variabel Dependen/Variabel Terikat.
Pada penelitian ini variabel dependent atau tergantung adalah skala nyeri
involusi uterus masa nifas.
b. Definisi Operasional.
Tabel 33. Definisi Operasional Jenis Persalinan Dengan Skala Nyeri
Involusi Uterus Masa Nifas.
Variabel
Definisi Operasional
Krite ria
Skala
Independen : Jenis Peraslinan adalah Seksio cesar (SC)
Nominal
jenis
berbagai macam cara
Persalinan normal
persalinan
yang dapat digunakan
(Kurniawati, 2008)
dalam persalinan
(prawirohardjo, 2007).
Alat ukur: Kuesioner
Dependen : Nyeri merupakan
0 : Tidak nyeri
Ordinal
tingkat
kondisi berupa perasaan 1-3 : Nyeri ringan
nyeri
yang tidak
4-6 : Nyeri Sedang
menyenangkan
7-9 : Sangat nyeri, tapi
(Hidayat, 2008).
masih bisa dikontrol
Alat ukur: Kuesioner
10 : Sangat nyeri dan
tidak bisa dikontrol
(smeltzer, 2002)
114
HOSPITAL MAJAPAHIT
5.
6.
115
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
b) Data khusus :
(1) Jenis persalinan
SC
: kode 1
Normal
: kode 2
(2) Skala nyeri
Skala nyeri 0
: kode 1
Skala nyeri 1-3 : kode 2
Skala nyeri 4-6 : kode 3
Skala nyeri 7-9 : kode 4
Skala nyeri 10
: kode 5
3) Tabulating.
Tabulating adalah memindahkan data menurut data jenisnya ke dalam
tabel. Cara membaca bab kesimpulan menggunakan skala sebagai berikut :
100%
: Seluruhnya
76-99%
: Hampir seluruhnya
51-75%
: Sebagian besar
50%
: Setengah
26-49%
: Hampir setengah
1-25%
: Sebagian kecil
0%
: Tidak satupun
(Arikunto, 2002)
Teknik Analisis Data.
1) Analisis Univariat.
Jenis persalinan.
Untuk kode sub variabel jenis persalinan sebagai berikut:
pernyataan: persalinan normal : 1
persalinan SC
:2
(Nursalam, 2008)
Kemudian jawaban tersebut diubah menjadi persentase dengan rumus:
P = f x100%
N
Keterangan :
P : Prosentase
F : Jumlah jawaban yang benar
N : Jumlah skor maksimal
2) Analisis Bivariat.
Dilakukan untuk melihat hubungan antara 2 variabel yaitu variabel
independen dan variabel dependen. Pada penelitian ini peneliti mengunakan
uji Wilcoxon yaitu, dengan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
U : Nilai uji Mann-Whitney
N1 : sampel 1
N2 : sampel 2
Ri : Ranking ukuran sampel
116
HOSPITAL MAJAPAHIT
E. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Tempat Penelitian.
Penelitian ini dilakukan di RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto
tanggal 22 Mei 07 Juni 2012 dengan jumlah responden 37 orang. RSUD Prof. Dr.
Soekandar terletak di Jl. Hayam Wuruk No. 25 kecamatan Mojosari Kabupaten
Mojokerto. Luas lahan yang dimiliki 10.672 m2 sedangkan luas bangunan yang
dimiliki 8854,85 m2 . RSUD Prof. Dr. Soekandar memiliki batas wilayah sebelah
Sebelah utara berbatasan dengan Jl. Hayam wuruk, Sebelah timur berbatasan dengan
rumah warga, sebelah selatan berbatasan dengan Jl. Kauman dan sebelah barat
berbatasan dengan rumah warga.
Kapasitas tempat tidur sebanyak 206, dengan Fasilitas yang ada di RSUD
Prof. Dr. Soekandar terdiri dari :
a. 1 Gedung IRJA, Laborat, Radiologi, & Sekretariat
b. 1 Gedung IRD-ODC
c. 1 Gedung Pelayanan Obstetri dan Neonatus Komprehensif ( PONEK)
d. 7 Gedung IRNA
e. 1 Gedung IBS & ICU
f. 1 Gedung CSSD
g. 1 Gedung Dapur & Gizi
h. 1 Gedung IPS
i. 1 Gedung Mushola
j. 1 Gedung Aula
k. 1 Gedung Pemulasaraan jenazah
l. 1 Bangunan Parkir
m. 4 Bangunan Rumah Dinas
Instalasi rawat inap:
a. Paviliun Majapahit ( Kelas Utama dan VIP )
b. Paviliun Mataram ( Kelas I )
c. Paviliun Pajajaran ( Kelas II )
d. Paviliun Dhoho ( Penyakit Dalam Kelas I dan III )
e. Paviliun Blambangan ( Anak )
f. Paviliun Kahuripan ( Bedah Kelas III )
g. Paviliun Sriwijaya ( VK dan Bersalin )
h. Paviliun Kutai ( Neonatus )
i. ICU-ICCU/ RR
Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Prof. Dr. Soekandar karena jumlah
pasiennya dapat mencukupi sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini, di samping
itu juga dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan di RSUD Prof. Dr.
Soekandar Mojosari Mojokerto.
2. Data Umum.
a. Karakteristik responden berdasarkan umur.
Tabel 34. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di RSUD
Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto Pada Tanggal 22 Mei
07 Juni 2012
No.
Usia
Frekuensi (f) Prosentase (%)
1.
20 tahun
6
16,2
2.
20 35 tahun
27
73
3.
35 tahun
4
10,8
Jumlah
37
100
117
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
3.
b.
118
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
Jenis Persalinan dan Nyeri Persalinan Dengan Skala Nyeri Involusi Uterus Masa
Nifas.
Tabel 38. Tabulasi Silang Jenis Persalinan dan Nyeri Persalinan Dengan
Skala Nyeri Involusi Uterus Masa Nifas di RSUD Prof. Dr.
Soekandar Mojosari Mojokerto Pada Tanggal 22 Mei 07 Juni
2012
Nyeri Persalinan
Tidak
Nyeri
Nyeri
Sangat
Sangat
Jenis
nyeri
Ringan
sedang Nyeri tapi Nyeri tapi
Total
No.
Persalinan
masih bisa tidak bisa
dikontrol dikontrol
f
%
f
%
f
%
f
%
f
%
F
%
1. SC
0
0
0
0
3
8,1 20 54,1 4 10,8 27
73
2. Normal
0
0
2
5,4
8 21,6 0
0
0
0
10
27
Jumlah
0
0
2
5,4 11 29,7 20 54,1 4 10,8 37 100
Berdasarkan tabel 38 diatas menunjukkan bahwa hampir seluruhnya
mengalami nyeri involusi uterus dengan kategori Sa ngat Nyeri tapi masih bisa
dikontrol pada jenis persalinan seksio cesar yaitu 20 responden (54,1%), dan
tidak satupun yang mengalami nyeri involusi uterus dengan kategori Sangat
Nyeri tapi masih bisa dikontrol pada persalinan normal.
Sedangkan Dari output Rank, tercatat bahwa nilai mean untuk jenis
persalinan seksio cesar lebih besar daripada nilai mean jenis persalinan normal
(23,56>6,70).Dari Nilai uji Mann-Whitney U, tercatat dimana nilai statistik uji Z
yang kecil yaitu -4.660 dan tercatat pula hasil uji signifikan secara statistic
adalah 0,00<0,05, dengan demikian H0 ditolak dan H1 diterima yaitu ada
hubungan antara jenis persalinan dengan skala nyeri involusi uterus masa nifas.
F. PEMBAHASAN
1. Jenis Persalinan.
a. Berdasarkan tabel 36 hampir seluruhnya adalah jenis persalinan seksio cesar
yaitu 27 responden (73%). Operasi caesar adalah proses persalinan dengan
melalui pembedahan dimana irisan dilakukan di perut ibu (laparatomi) dan
rahim (histerotomi) untuk mengeluarkan bayi. (Kurniawati, 2008).praktis dan
singkatnya persalinan seksio sesar membuat para ibu tertarik memilih jenis
persalinan ini, dengan hal ini terjadilah peningkatan jumlah persalinan seksio
cesar.
b. Umur juga mempengaruhi jenis persalinan yaitu berdasarkan tabel tabulasi
silang didapatkan bahwa sebagian besar responden berumur 20-35 tahun yatiu
sebanyak 22 responden (59,5%) dengan jenis persalinan Seksio Cesar. Dari segi
kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya
daripada orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat
dari kematangan jiwanya (Hurlock, 1998 dalam Nursalam, 2008). Makin tua
usia seseorang, maka makin konstruktif dalam menggunakan koping terhadap
masalah yang dihadapi. Sehingga seseorang pada usia dewasa akan semakin
mudah dalam menerima informasi yang memberi dampak positif bagi dirinya
(Long, 1996 dalam Nursalam, 2008). Semakin banyak umur atau semakin tua
seseorang maka semakin bertambah pengetahuannya tentang berbagai macam
jenis persalinan. Dengan demikian semakin tua umur responden maka semakin
119
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
3.
bijak mengambil keputusan dalam memilih jenis persalinan yang terbaik bagi
dirinya.
c. Selain usia, paritas juga mempengaruhi persalinan,hampir seluruhnya pada
paritas 2-4 yaitu 16 responden (43,2%) dengan persalinan seksio cesar.
Pengalaman masa lalu juga mempengaruhi persepsi terhadap nyeri. Keberhasilan
atau kegagalan metode penanganan nyeri sebelumnya juga berpengaruh terhadap
harapan individu terhadap penanganan nyeri saat ini (Smeltzer, 2002).
Kemungkinan besar Mereka memilih persalinan seksio cesar pada persalinan ke
2-4 karena mereka telah menjalani persalinan secara normal,persepsi mereka
bahwa waktu yang dibutuhkan pada jenis persalinan seksio cesar lebih singkat
dan nyeri persalinan seksio cesar lebih ringan dari pada persalinan normal.
Nyeri Involusi Uterus.
Tercatat bahwa sebagian besar nyeri involusi uterus sebesar 20
Responden(54,1%) yaitu dengan kategori sangat nyeri tapi masih bisa dikontrol dan
tidak ada satupun yang mengalami nyeri dengan kategori tidak nyeri. Intensitas
kontraksi uterus meningkat secara bermakna setelah persalinan bayi, yang
merupakan respons untuk segera mengurangi jumlah volume intra uterin. Selama 1
2 jam pertama post partum, aktivitas uterin menurun secara progressif dan stabil.
Pada waktu pertama keadaan uterin ibu ditingkatkan sehingga fundus menetap
dengan tegas. Periode relaksasi dan kontraksi dengan kuat adalah lebih umum pada
kehamilan dan mungkin menyebabkan nyeri perut yang tidak nyaman yang disebut
after pains dimana terus berlangsung sampai masa puerperium. (pherba, 2010). Nyeri
involusi uterus bisa juga disebabkan karena kontraksi uterus yang terlalu kuat,selain
itu hal tersebut bisa juga disebabkan karena terjadi perlukaa n pada uterus,hal ini
menyebabkan nyeri involusi uterus bertambah.
Jenis Persalinan Dengan Nyeri Involusi Ute ri.
Berdasarkan tabel 38 tercatat bahwa hampir seluruhnya mengalami nyeri
involusi uterus dengan kategori sangat nyeri tapi masih bisa dikontrol pada jenis
persalinan seksio cesar yaitu 20 responden (54,1%) dan tidak satupun yang
mengalami nyeri involusi uterus dengan kategori sangat nyeri tapi masih bisa
dikontrol pada jenis persalinan normal. Dari segi pembedahan, lokasi nyeri pasca
bedah yang paling sering terjadi dan sifat nyerinya paling hebat (severe) salah
satunya terdapat pada daerah Thocaro abdominal(iffan,2010). Nyeri involusi uterus
pada persalinan seksio cesar lebih tinggi daripada persalinan normal,intensitas nyeri
involusi uterus pada persalinan seksio cesar menjadi bertambah karena akibat luka
sayat pada uterus terjadi setelah klien sadar dari narkose dari 24 jam post operasi.
Dari output Rank, tercatat bahwa nilai mean untuk jenis persalinan seksio cesar
lebih besar daripada nilai mean jenis persalinan normal (23,56>6,70).Dari Nilai uji
Mann-Whitney U, tercatat dimana nilai statistik uji Z yang kecil yaitu -4.660 dan
tercatat pula hasil uji signifikan secara statistic adalah 0,00<0,05 , dengan demikian
H0 ditolak dan H1 diterima yaitu ada hubungan antara jenis persalinan dengan skala
nyeri involusi uterus masa nifas.
G. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang berjudul Jenis Persalinan
Dengan Skala Nyeri Involusi Uterus Masa Nifas di RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari
Mojokertopada tanggal 07 Mei-07 Juni 2012 didapatkan simpulan bahwa:
1. Jumlah jenis persalinan di RSUD Prof. Dr. Soekandar mojosari Mojokerto hampir
seluruhnya adalah jenis persalinan seksio cesar yaitu 27 responden(73%).
120
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
Sebagian besar responden mengalami nyeri dengan kategori sangat nyeri tapi masih
bisa dikontrol yaitu 20 responden (54,1%) dan tidak satupun yang mengalami nyeri
dengan kategori Tidak nyeri.
3. Dari output Rank, tercatat bahwa nilai mean untuk jenis persalinan seksio cesar lebih
besar daripada nilai mean jenis persalinan normal (23,56>6,70).Dari Nilai uji MannWhitney U, tercatat dimana nilai statistik uji Z yang kecil yaitu -4.660 dan tercatat
pula hasil uji signifikan secara statistic adalah 0,00<0,05 , dengan demikian H0
ditolak dan H1 diterima yaitu ada hubungan antara jenis persalinan dengan skala
nyeri involusi uterus masa nifas.
Dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan diharapkan tenaga kesehatan lebih
meningkatkan materi yang dapat menunjang, materi yang diperoleh baik melalui
penelitian, seminar atau juga dari literatur kepustakaan lainnya sehingga ibu nifas lebih
memahami tentang skala nyeri involusi uterus dari masing masing jenis persalinan.
Memberikan informasi baru tentang skala nyeri involusi uterus pada masing masing jenis
persalinan karena ini bertujuan untuk melaksanakan program asuhan sayang ibu pada
masa nifas juga kepada PUS (Pasangan Usia Subur) dan bagi para calon ibu lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anon. (2008). (http://bidan-paramithasarifamuzi.blogspot.com/., diakses 06 April 2012).
Anon. (2011). (http://babyorchestra.wordpress.com, diakses 12 April 2012).
Anon. (2011). (http://bidankita.com., diakses 10 April 2012).
Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta.
Bobak. (2004). Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC.
Baston, Helen. (2012). Midwifery Essentials Postnatal. Jakarta: EGC.
Cunningham, gary dkk. (2006). Obstetri Williams. Jakarta : EGC.
Fraser, Diane. (2009). Buku Ajar Bidan Myles ed 14. Jakarta. EGC.
Hidayat, Alimul, A.(2007). Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisis Data. Jakarta :
Salemba Medika.
Hidayat, Alimul, A.(2008). Konsep Dasar Asuhan kebidanan. Jakarta. EGC.
Medforth, janet dkk. (2012). Kebidanan Oxford. Jakarta. EGC.
Mubarok. (2009). (http://ivanmubarok.blogspot.com., diakses 03 April 2012).
Prawirohardjo, Sarwono. (2006). Ilmu Kebidanan. Jakarta : YBP-SP.
Smeltzer, suzanne C. (2002). Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : EGC.
Sulistiawati, Ari dkk. (2010). Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin. Jakarta : Salemba
Medika.
Umy. (2007). (http://publikasi.umy.ac.id, diakses 11 April 2012).
Wirakusuma, firman dkk. (2011). Obstetri Fisiologi Ilmu Kesehatan Reproduksi Ed 2.
Jakarta : EGC.
121
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
menstruasi dipengaruhi oleh usia seseorang dan dukungan gizi (Hanafiah dalam Lusiana
dan Dwiriani, 2007: 26).
Data demografi menunjukkan bahwa remaja merupakan populasi yang besar dari
penduduk di dunia. Menurut World Health Organization sekitar seperlima dari penduduk
dunia adalah remaja berumur 10-19 tahun. Sekitar sembilan ratus juta berada di negara
sedang berkembang. Data demografi di Asia Pasifik jumlah penduduknya merupakan
60% dari penduduk dunia, seperlimanya adalah remaja umur 10-19 tahun (Soetjiningsih,
2007: 1). Menurut sensus penduduk pada tahun 2010, jumlah remaja di Indonesia usia
10-24 tahun adalah sebesar 64 juta jiwa, artinya 27,6% dari total penduduk Indonesia
(237,6 jiwa). Sedangkan jumlah remaja di Jawa Timur usia 10-24 tahun adalah sebesar
8,747 juta jiwa atau 23,35% dari jumlah penduduk Jawa Timur (37.477 juta jiwa)
(BKKBN Jawa Timur, 2012). Data Profil Kesehatan Kabupaten Mojokerto tahun 2010
menunjukkan jumlah remaja perempuan (10-14 tahun) di Kabupaten Mojokerto sebanyak
41.914 orang (Dinkes Kabupaten Mojokerto, 2011).
Data yang didapat dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia, khususnya hasil
Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 diketahui di Indonesia prevalensi status gizi umur 1315 tahun berdasarkan TB/U adalah sangat pendek (13,1%), pendek (22,1%), normal
(64,9%). Berdasarkan sumber yang sama diketahui prevalensi untuk Propinsi Jawa Timur
adalah sangat pendek (10,5%), pendek (20,2%) dan normal (69,3%) (Depkes, 2010).
Studi pendahuluan dilakukan di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga
Jatirejo Mojokerto pada tanggal 17 April 2012 dengan teknik wawancara untuk
memperoleh data lama siklus menstruasi serta mengukur tinggi badan per umur untuk
mengetahui status gizi pada 6 remaja putri. Hasil studi pendahuluan didapatkan 3 remaja
putri (50%) mengaku mengalami siklus mentruasi yang tidak teratur, bahkan tiga bulan
berturut-turut belum mengalami menstruasi hanya spotting sesekali, sedangkan 2 remaja
putri (33%) mengalami lama siklus menstruasi lebih dari 35 hari dan hanya satu remaja
putri (17%%) mengalami siklus menstruasi normal yaitu + 28-30 hari. Hasil pengukuran
status gizi didapatkan 4 remaja putri (67%) termasuk dalam kategori pendek dan 2 remaja
putri (33%) termasuk dalam kategori normal.
Faktor risiko dari variabilitas siklus menstruasi adalah pengaruh dari berat badan,
aktifitas fisik, serta proses ovulasi dan adekuatnya fungsi luteal. Perhatian khusus saat ini
juga ditekankan pada perilaku diet dan stres pada atlet wa nita (Kusmiran, 2011: 110).
Kualitas asupan nutrisi dan gizi mempengaruhi kinerja kelenjar hipotalamus yang
memiliki peran mengendalikan kelancaran siklus haid yang ada (Klik Dokter, 2011).
Berat badan dan perubahan berat badan mempengaruhi fungsi menstruasi. Penurunan
berat badan akut dan sedang menyebabkan gangguan pada fungsi ovarium, tergantung
derajat tekanan pada ovarium dan lamanya penurunan berat badan. Kondisi patologis
seperti berat badan yang kurang atau kurus dan anorexia nervosa yang menyebabka n
penurunan berat badan yang berat dapat menimbulkan amenorrhea (Kusmiran, 2011:
110). Nutrisi yang baik akan mempengaruhi sekresi FSH dan LH. Jika terjadi penurunan
kalori kronis akan menurunkan sekresi FSH dan LH, hingga jika terjadi malnutrisi, berat
badan rendah atau diet ketat, maka ovulasi mungkin akan berhenti dan ia menjadi
amenorea (Henderson, 2005: 19).
Remaja wanita perlu mempertahankan status gizi yang baik, dengan cara
mengkonsumsi makanan seimbang karena sangat dibutuhkan pada saat haid, terb ukti
pada saat haid tersebut terutama pada fase luteal akan terjadi peningkatan kebutuhan
nutrisi. Apabila hal ini diabaikan, maka dampaknya akan terjadi keluhan-keluhan yang
menimbulkan rasa ketidaknyamanan selama siklus haid (Paath, dkk., 2004: 70-71).
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
123
HOSPITAL MAJAPAHIT
hubungan status gizi remaja putri dengan siklus menstruasi di MTs Darun Najah Gading
Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Status Gizi.
a. Pengertian status gizi.
Idrus, dkk dalam Supariasa, dkk. (2002: 17) menyatakan nutrisi atau yang
juga dikenal sebagai gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan
yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absobsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk
mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ,
serta menghasilkan energi. Gizi berasal dari bahasa Arab ghidza yang berarti
makanan (Almatsier, 2009: 3). Istilah gizi merupakan terjemahan dari kata
bahasa Inggris nutrition. Jadi gizi terkadang disebut pula nutrisi (Yuniastuti,
2008: 1).
Zat gizi (nutrient) adalah ikatan kimia yang diperlukan oleh tubuh untuk
melakukan fungsinya yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara
jaringan, serta mengatur proses-proses kehidupan (Almatsier, 2009: 3). Zat gizi
atau dikenal sebagai nutrisi adalah bahan dasar yang menyusun bahan makanan.
Zat gizi yang dikenal ada lima, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan
mineral (FKM UI, 2007: 14).
Status gizi (nutrition status) adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan
atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, dkk.,
2002: 18). Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan
dan penggunaan zat- zat gizi (Almatsier, 2009: 3). Gibson dalam Waryana (2010:
7) menyatakan bahwa status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan hasil
akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan
utilisasinya.
b. Pengelompokan gizi.
Menurut Paath, dkk. (2004: 9), secara garis besar zat gizi dibagi dalam dua
golongan besar yaitu:
1) Makronutrien (zat gizi makro).
Merupakan komponen terbesar dari susunan diet serta berfungsi
menyuplai energi dan zat-zat gizi esensial yang berguna untuk keperluan
pertumbuhan sel atau jaringan, fungsi pemeliharaan maupun aktifitas tubuh.
Kelompok makronutrien terdiri dari karbohidrat (hidrat arang), lemak,
protein (zat putih telur), makromineral dan air (ada yang tidak memasukkan
air dalam unsur zat gizi). Karbohidrat selanjutnya akan dipecah menjadi
glukosa dan monosakarida lain. Lemak diuraikan menjadi asam-asam lemak
dan gliserol, sedangkan protein lebih lanjut terurai menjadi peptide dan
asam-asam amino.
2) Mikronutrien (zat gizi mikro).
Termasuk dalam golongan ini adalah vitamin (baik yang larut dalam
air maupun yang larut dalam lemak), dan sejumlah mineral yang hanya
dibutuhkan dalam kuantitas yang sangat sedikit. Vitamin larut air yaitu
vitamin C dan B kompleks (meliputi vitamin B2 [riboflavin], niasin, vitamin
B6 [piridoksin], asam folat, biotin, asam pantotenat dan vitamin B12
[kobalamin]).
Berdasarkan fungsi zat gizi, penggolongan bahan makanan dibagi
menjadi (FKM UI, 2007: 17) :
124
HOSPITAL MAJAPAHIT
a)
c.
d.
Zat gizi penghasil energi ialah karbohidrat, lemak dan protein. Zat gizi
ini sebagian besar dihasilkan dari makanan pokok.
b) Zat gizi pembangun sel, terutama diperankan protein. Oleh karena itu,
bahan pangan lauk pauk digolongkan makanan sumber zat pembangun.
c) Zat gizi pengatur, termasuk di dalamnya vitamin dan mineral. Bahan
pangan sumber mineral dan vitamin adalah buah dan sayur.
Manfaat gizi.
Makanan setelah dikonsumi mengalami proses pencernaan di dalam alat
pencernaan. Bahan makanan diuraikan menjadi zat gizi atau nutrien. Zat tersebut
selanjutnya diserap melalui dinding usus dan masuk ke dalam cairan tubuh.
Manfaat umum zat gizi (FKM UI, 2007: 17) adalah:
1) Sebagai sumber energi atau tenaga.
2) Menyumbang pertumbuhan badan.
3) Memelihara jaringan tubuh, mengganti sel yang rusak atau aus.
4) Mengatur metabolisme dan mengatur keseimbangan air, mineral dan asam
basa di dalam cairan tubuh.
5) Berperan dalam mekanime pertahanan tubuh terhadap penyakit sebagai
antibodi dan antitoksin.
Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi
Menurut Daly, et. al dalam Supariasa, dkk. (2002: 42) bahwa konsep
terjadinya keadaan gizi mempunyai dimensi yang sangat kompleks. Ia membuat
faktor- faktor yang mempengaruhi status gizi, yaitu konsumsi makanan dan
tingkat kesehatan (lingkungan, sanitasi, dan sebagainya). Konsumsi makanan
dipengaruhi oleh pendapatan, pekerjaan, pendidikan, kemampuan sosial;
kemampuan keluarga menggunakan makanan; dan tersedianya bahan makanan
dan dapat diperolehnya bahan makanan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi ditinjau dari sistem pangan
dan gizi terdiri dari empat komponen, yaitu (1) penyediaan pangan, (2) distribusi
pangan, (3) konsumsi makanan dan (4) utilisasi makanan (Almatsier, 2009: 13).
Penyediaan pangan yang cukup diperoleh melalui produksi pangan dalam negeri
melalui upaya pertanian dalam menghasilkan bahan makanan pokok, la uk pauk,
sayur mayur dan buah-buahan. Agar sampai pada masyarakat dengan baik,
distribusi pangan perlu memperhatikan aspek transportasi, penyimpanan,
pengolahan, pengemasan, dan pemasaran. Sampai di tingkat keluarga, konsumsi
makanan bergantung pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan,
distribusi dalam keluarga dan kebiasaan makan secara perorangan. Penggunaan
makanan oleh tubuh bergantung pada pencernaan dan penyerapan serta
metabolisme gizi. Hal ini bergantung pada kebersihan lingkungan dan ada
tidaknya penyakit yang berpengaruh terhadap penggunaan zat- zat gizi oleh
tubuh (Almatsier, 2009: 13).
Anggota keluarga yang menjadi sumber utama keuangan keluarga disebut
pencari nafkah dan biasanya dipegang oleh ayah atau suami. Pada waktu ini,
pencari nafkah sumber keuangan keluarga banyak yang terdiri atas suami istri,
karena keduanya mempunyai pekerjaan. Dalam hal ini kesanggupan keuangan
keluarga akan lebih baik, sehingga lebih banyak lagi kebutuhan yang dapat
dipenuhi. Namun pola pemakaian sumber keuangan ini sangat dipengaruhi oleh
pola atau gaya hidup keluarga. Peningkatan sumber daya uang dan barang akan
merangsang sektor kebutuhan keluarga, hingga lambat laun akan meningkat
pula. Sebaliknya bila sumber daya ini menyusut, perlahan akan menurun pula
tingkat kebutuhan keluarga tersebut (Sediaoetama, 2008: 76). Terdapat
125
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
hubungan antara pendapatan dan keadaan status gizi. Hal itu karena tingkat
pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan
yang dikonsumsi. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar akan
kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi
kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya. Tingkat pendapatan dapat menentukan pola
makan (FKM UI, 2007: 71).
Selain mempunyai tugas untuk reproduksi, seorang wanita terkadang juga
memiliki peran sosial yang mengakibatkan beban kerja yang sangat berat dalam
kehidupannya. Peran sosial wanita, antara lain bertanggung jawab atas keluarga,
seperti merawat anggota keluarga lain, mengelola rumah tangga, menyediakan
makanan, melakukan tugas-tugas kebersihan, mendatangi pelayanan kesehatan,
melakukan pendidikan, dan mengawasi anak. Selain tugas-tugas tersebut,
seorang wanita juga mempunyai peran dalam keluarga besarnya dan masyarakat.
Beberapa tugas produktif yang dilakukan oleh wanita adalah di bidang pertanian,
pasar, rumah produksi, pabrik, atau lainnya (Noorkasiani, dkk., 2009: 68).
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan
perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan
seseorang
atau
masyarakat
untuk
menyerap
informasi
dan
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari- hari, khususnya
dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan
wanita mempengaruhi derajat kesehatan (Atmarita dan Fallah, 2004).
Pengukuran status gizi.
Dapat dilakukan dengan menggunakan indeks antropometri. Indeks
antropometri yang umum digunakan dalam menilai status gizi adalah berat
badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) dan lingkar lengan atas menurut umur (LiLA/U).
Dari berbagai jenis indeks antropometri tersebut, untuk menginterpretasikannya
dibutuhkan ambang batas. Penentuan ambang batas diperlukan kesepakatan para
ahli gizi (Supariasa, dkk., 2002: 82). Ambang batas dapat disajikan dalam tiga
cara, yaitu:
1) Persen terhadap median.
Median adalah nilai tengah dari suatu populasi. Dalam antropometri
gizi, median sama dengan persentil 50. Nilai median ini dinyatakan sama
dengan 100% (untuk standar). Setelah itu dihitung persentase terhadap nilai
median untuk mendapatkan ambang batas.
2) Persentil.
Cara lain untuk menentukan ambang batas selain persen terhadap
median adalah persentil. Para pakar merasa kurang puas dengan persen
terhadap median untuk menentukan ambang batas. Akhirnya mereka
memilih cara persentil. Persentil 50 sama dengan median atau nilai tengah
dari jumlah populasi berada di atasnya dan setengahnya berada di
bawahnya. National Center for Health Statistic (NCHS) merekomendasikan
persentil ke 50 sebagai batas gizi baik dan kurang, serta persentil 95 sebagai
batas gizi lebih dan gizi baik.
3) Standar deviasi unit.
Standar deviasi unit disebut juga Z-skor. WHO menyarankan
menggunakan cara ini untuk meneliti dan untuk memantau pertumbuhan,
dengan hitungan sebagai berikut: 1 SD unit (1 Z-skor) kurang lebih sama
dengan 11% dari median BB/U, 1 SD unit (1 Z-skor) kira-kira 10% dar i
126
HOSPITAL MAJAPAHIT
Konsep Menstruasi.
a. Pengertian menstruasi.
Menstruasi atau haid merupakan peristiwa yang penting pada pubertas
anak gadis yang menjadi pertanda biologis dari kematangan seksual (Kartono,
2006: 111).
Menstruasi adalah proses alamiah yang terjadi pada perempuan.
Menstruasi merupakan perdarahan yang teratur dari uterus sebagai tanda bahwa
organ kandungan telah berfungsi matang (Kusmiran, 2011: 19).
b. Usia menstruasi awal (menarche).
Usia saat seorang anak perempuan saat pertama kali mendapatkan
menstruasi sangatlah bervariasi. Namun seiring perubahan pola hidup, saat ini
ada kecenderungan anak perempuan mendapat menstruasi yang pertama kali
usianya makin lebih muda. Hal tersebut merupakan bentuk menstruasi dini
(Laurier, 2010).
Menarche yaitu haid pertama yang terjadi pada stadium lanjut dari
pubertas dan sangat bervariasi pada umur berapa masing- masing individu
mengalaminya, rata-rata pada umur 10,5-15,5 tahun (Soetjiningsih, 2007: 14).
c. Faktor yang mempengaruhi menarche
Usia untuk mencapai fase terjadinya menarche dipengaruhi oleh banyak
faktor, antara lain: faktor suku, genetik, gizi, sosial, ekonomi, dan lain- lain
(Proverawati dan Misaroh, 2009: 64).
1) Faktor internal.
a) Faktor genetik. Faktor genetik mempengaruhi usia awitan menarche.
Anak dari seorang ibu yang perkembangannya cepat atau lambat
biasanya juga akan mengalami hal yang serupa (Henderson, 2005: 19).
b) Status gizi. Nutrisi yang baik akan mempengaruhi sekresi FSH dan LH.
Jika terjadi penurunan kalori kronis akan menurunkan sekresi FSH dan
LH, hingga jika terjadi malnutrisi, berat badan rendah atau diet ketat,
maka ovulasi mungkin akan berhenti dan ia menjadi amenorea
127
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
(Henderson, 2005: 19). Tingkat kualitas gizi yang lebih baik pada
masyarakat saat ini memicu menstruasi dini (Proverawati dan Misaroh,
2009: 65).
c) Kelainan dalam diri anak. Anak wanita yang menderita kelainan
tertentu selama dalam kandungan mendapatkan menarche pada usia
lebih muda dari usia rata-rata. Sebaliknya anak wanita yang menderita
cacat mental dan mongolisme akan mendapat menarche pada usia yang
lebih lambat (Proverawati dan Misaroh, 2009: 64).
2) Faktor eksternal.
a) Faktor suku. Di Inggris, usia rata-rata untuk mencapai menarche adalah
13,1 tahun, sedangkan suku Bundi di Papua Nugini, menarche dicapai
pada usia 18,8 tahun (Proverawati dan Misaroh, 2009: 66). Kultur dan
peradaban dapat memperlambat atau mempercepat tempo kematangan
seksual anak, termasuk masalah menstruasi (Kartono, 2006: 112).
b) Status sosial ekonomi. Rata-rata usia menarche pada remaja putri
dengan tingkat kesejahteraan menengah ke atas adalah 11,45 tahun.
Sementara itu usia menarche pada kelompok dengan tingkat
kesejahteraan menengah ke bawah adalah 12,9 tahun (Pulungan, 2009
dalam Roveny, 2010: 2).
Menurut YB Mantra, pendidikan dapat mempengaruhi seseorang
termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam
memotivasi untuk sikap berperan dalam pembangunan. Pada umumnya
makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi
(Wawan dan Dewi, 2010: 16).
c) Faktor iklim. Iklim atau cuaca ini dapat berperan dalam pertumbuhan
dan perkembangan. Hal ini dapat dilihat pada musim tertentu,
kebutuhan gizi dapat mudah diperoleh. Demikian juga terd apat musim
tertentu pula terkadang kesulitan mendapat makanan yang bergizi,
seperti saat musim kemarau, penyediaan air bersih atau sumber
makanan sangat sulit didapat (Hidayat, 2005: 20).
d) Faktor lingkungan. Budaya lingkungan dalam hal ini adalah masyarakat
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak dalam
memahami atau mempersepsikan pola hidup sehat (Hidayat, 2005: 19).
Menurut sebuah penelitian menyatakan bahwa lingkungan sosial
berpengaruh terhadap waktu terjadinya menarche. Salah satunya yaitu
lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga yang harmonis dan adanya
keluarga besar yang baik dapat memperlambat terjadinya menarche
dini, sedangkan anak yang tinggal di tengah-tengah keluarga yang tidak
harmonis dapat mengakibatkan terjadinya menarche dini. Beberapa
aspek struktur dan fungsi keluarga berpengaruh terhadap kejadian
menarche dini antara lain ketidakhadiran seorang ayah ketika ia masih
kecil, kekerasan seksual pada anak dan adanya konflik dalam keluarga
(Proverawati dan Misaroh, 2009: 71).
Hormon yang berperan dalam siklus menstruasi.
Siklus menstruasi dikontrol oleh lengkung umpan balik yang melibatkan
hormon hypothalamus, hipofisis dan ovarium. Hypothalamus mengatur hormon
hipofisis melalui hormon pelepas gonadotropin (GnRH) pada awal siklus. GnRH
menstimulasi hipofisis untuk melepaskan:
1) FSH (Follicle Stimulating Hormone) yang menstimulasi perkembangan
folikel de Graf dalam ovarium. Dengan maturnya folikel tersebut, estrogen
128
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
f.
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
g.
HOSPITAL MAJAPAHIT
2) Stadium regenerasi.
Stadium ini dimulai pada hari keempat menstruasi ketika luka bekas
deskuamasi endometrium ditutup kembali oleh epitel selaput lendir
endometrium. Sel basalis mulai berkembang mengalami mitosis dan
kelenjar endometrium mulai tumbuh kembali.
3) Stadium proliferasi.
Pada stadium proliferasi, pertumbuhan kelenjar lapisan endometrium
lebih cepat daripada jaringan ikatnya sehingga berkelok-kelok. Lapisan
atasnya, tempat saluran kelenjar yang tampak lebih padat disebut stratum
kompakta, sedangkan lapisan yang mengandung kelenjar yang berkelok,
menjadi lebih longgar disebut stratum spongiosa. Stadium proliferasi
berlangsung sejak hari kelima sampai 14 dan tebal endometrium sekitar 3,5
cm.
4) Stadium pramenstruasi (sekresi).
Pada stadium regenerasi sampai stadium proliferasi, endometrium
dipengaruhi oleh hormon estrogen dan sejak saat ovulasi korpus luteum
mengeluarkan hormon estrogen dan progesteron yang mempengaruhi
stadium sekresi endometrium. Dalam stadium sekresi, tebal endometrium
tetap, hanya kelenjarnya lebih berkelok-kelok dan mengeluarkan sekret. Di
samping itu, sel endometrium mengandung banyak glikogen, protein, air,
dan mineral, sehingga siap untuk menerima implantasi dan memberikan
nutrisi pada zigot. Stadium sekresi berlangsung sejak hari ke-14 sampai 28
dan usia korpus luteum hanya berlangsung 8-10 hari. Setelah mencapai usia
8-10 hari korpus luteum mengalami kematian, sehingga tidak mengeluarkan
hormon estrogen dan progesteron dan menimbulkan iskemia stratum
kompakta dan stratum spongiosa. Stadium iskemia berlangsung sebentar
dan diikuti stadium vasodilatasi pembuluh darah yang menyebabkan
deskuamasi lapisan endometrium dalam bentuk perdarahan menstruasi.
Setelah deskuamasi berlangsung 4 hari, stadium regenerasi dan siklus
menstruasi berulang kembali (Manuaba, 2010: 72-73).
Menurut Lestari (2011: 100-101), siklus haid di bawah kontrol hormon
seks. Untuk lebih memudahkan pemahaman, siklus ini dibagi dalam dua fase,
yaitu fase sebelum ovulasi dan fase setelah ovulasi.
1) Fase sebelum ovulasi (dikontrol oleh FSH dan estrogen).
Kelenjar pituitary pada dasar otak akan mengeluarkan FSH yang akan
merangsang pematangan folikel di ovarium (indung telur). Pematangan
folikel ini akan meningkatkan produksi estrogen. Pada saat kenaikan
estrogen mendekati ovulasi, terjadi perubahan-perubahan sebagai berikut:
endometrium (selaput lendir rahim) menebal; serviks menjadi panjang dan
lunak serta terbuka; lendir serviks yang diproduksi oleh kelenjar-kelenjar
pada serviks menjadi lendir yang bersahabat dengan sperma; peningkatan
garam, gula, dan asam amino untuk memberikan makanan pada sperma;
peningkatan cairan sampai dengan 1 kali peningkatan volume lender; lendir
yang subur terdiri dari 98% air, transparan, berkilat, licin dan elastik yang
disebut efek spinnbarkeit; struktur lendir yang subur bila dilihat dengan
menggunakan nuclear magnetic resonance memperlihatkan jaringan yang
jarang, sehingga dapat dilewati oleh sperma; dan suhu menetap pada tingkat
yang rendah. Ketika estrogen mencapai tingkat tertentu dalam darah,
kelenjar pituitary distimulasi untuk menghasilkan LH yang meningkat cepat
132
HOSPITAL MAJAPAHIT
h.
133
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
Konsep Remaja.
a. Pengertian remaja.
Remaja (adolescence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan
aspek fisik, psikis dan psikososial (Dariyo, 2004: 13).
Santrock mengemukakan puberty is a rapid change to phisycal maturation
involving hormonal and bodily changes that occur primarily during early
adolescence (masa remaja adalah laju perubahan perkembangan fisik ya ng
menyebabkan perubahan tubuh dan hormonal, terjadi terutama sejak remaja
awal). Menurut WHO (World Health Organization), remaja merupakan individu
yang mengalami masa peralihan yang secara berangsur-angsur mencapai
kematangan seksual, mengalami perubahan jiwa dari jiwa kanak-kanak menjadi
dewasa dan mengalami perubahan keadaan ekonomi dari ketergantungan
menjadi relatif mandiri (Notoatmodjo, 2007: 263).
Menurut Soetjiningsih (2007: 1-2), ada beberapa definisi mengenai remaja,
diantaranya:
1) Pada buku-buku Pediatric, remaja adalah bila seorang anak telah mencapai
umur 10-18 tahun untuk anak perempuan dan 12-20 tahun untuk anak lakilaki.
2) Menurut Undang- undang No 4 Tahun 1979, remaja adalah individu yang
belum mencapai 21 tahun dan belum menikah.
3) Menurut Undang- undang perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah
mencapai umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat
untuk tinggal.
4) Menurut Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, anak dianggap
sudah remaja apabila cukup matang untuk menikah, yaitu umur 16 tahun
untuk anak perempuan dan 19 tahun untuk anak laki- laki.
5) Menurut Diknas, anak dianggap remaja bila anak sudah berumur 18 tahun,
yang sesuai dengan saat lulus sekolah menengah.
6) Menurut WHO, remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun dan
mengalami perkembangan yang penting yaitu kognitif, emosi, sosial dan
seksual.
b. Tahapan remaja.
Menurut Aryani (2010: 5), dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa
berdasarkan kematangan psikososial dan seksual, semua remaja akan melewati
tahapan berikut:
1) Masa remaja awal (10-13 tahun). Pada tahapan ini, remaja mulai berfokus
pada pengambilan keputusan, baik di dalam rumah ataupun di sekolah.
Remaja mulai menunjukkan cara berpikir logis, sehingga sering
menanyakan kewenangan dan standar di masyarakat maupun di sekolah.
Remaja juga mulai menggunakan istilah- istilah sendiri dan mempunyai
pandangan, seperti olah raga yang lebih baik untuk bermain, memilih
kelompok bergaul, pribadi seperti apa yang diinginkan, dan mengenal cara
untuk berpenampilan menarik (Aryani, 2010: 5).
2) Masa remaja tengah (14-16 tahun). Pada tahapan ini, terjadi peningkatan
interaksi dengan kelompok, sehingga tidak selalu tergantung pada keluarga
dan terjadi eksplorasi seksual. Dengan menggunakan pengalaman dan
pemikiran yang lebih kompleks, pada tahap ini remaja sering mengajukan
pertanyaan, menganalisis secara lebih menyeluruh dan berpikir tentang
bagaimana cara mengembangkan identitas siapa saya?. Pada masa ini
135
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
3) Perubahan psikologis.
Pada masa remaja, labilnya emosi anak kaitannya dengan perubahan
hormon dalam tubuh, sering terjadi letusan emosi dalam bentuk amarah,
sensitif bahkan perbuatan nekad. Denis dan Hasol menyebutkan sebagai
time of up heavel and turbulance. Ketidakstabilan emosi menyebabkan
mereka mempunyai rasa ingin tahu dan dorongan untuk mencari tahu
(Notoatmodjo, 2007: 265).
Menurut Mansyur (2009: 108), masalah psikologis pada masa remaja,
diantaranya:
Pertama, timbul rasa malu. Rasa malu dapat digambarkan seperti
semacam perasaan tidak nyaman. Biasanya berkaitan dengan membuka diri
kepada orang lain, jadi rasa malu timbul seolah-olah kita sedang disorot
(diawasi) dan seolah-olah dinilai rendah oleh orang lain. Orang dikatakan
rendah diri jika orang tersebut merasa kurang berharga dibandingkan
dengan orang lain, seperti saat kita terlihat selalu kalah. Antara rasa malu
dengan rendah diri memiliki keterkaitan.
Kedua, emosionalitas. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran
yang khas. Mudah tidaknya perasaan seseorang terpengaruh oleh kesankesan, hal inilah yang disebut emosionalitas. Perkembangan emosi remaja
sangat dipengaruhi oleh faktor kematangan dan faktor belajar. Kemurungan,
merajuk, ledakan marah, dan kecenderungan untuk menangis karena hasutan
yang sangat kecil merupakan ciri-ciri bagian awal masa puber. Pada masa
ini anak merasa khawatir, gelisah, dan cepat marah. Beberapa faktor
penyebab emosionalitas masa puber antara lain: sedih, mudah marah dan
suasana hati yang negatif sangat sering terjadi selama masa pra haid (pre
menstrual syndrome) dan awal periode haid; kurangnya kemampuan untuk
mengontrol diri atau masih lemahnya kemampuan mengendalikan diri; dan
remaja berada di bawah tekanan sosial dan selama masa kanak-kanak, ia
kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan itu; serta dampak
dari penyesuaian diri terhadap pola perilaku baru dan harapan sosial baru.
Ketiga, kurang percaya diri. Percaya diri adalah yakin benar atau
memastikan akan kemampuan dan kelebihan dirinya sendiri dalam
memenuhi semua harapannya. Sikap atau perilaku remaja yang memiliki
harga diri rendah atau kurang adalah sebagai berikut: tidak mau mencoba
sesuatu hal yang baru, merasa tidak dicintai dan tidak diinginkan, punya
kecenderungan untuk melempar kesalahan pada orang lain, memiliki emosi
yang kaku dan disembunyikan, mudah mengalami rasa frustasi dan tertekan,
dan meremehkan bakat dan kemampuannya sendiri.
4) Perubahan psikososial.
Pencarian identitas diri merupakan tugas utama perkembangan
psikososial adolesence. Remaja harus membentuk hubungan sebaya yang
dekat atau tetap terisolasi secara sosial (Potter & Perry, 2005: 693).
Faktor penyebab masalah remaja.
Timbulnya masalah pada remaja disebabkan oleh berbagai faktor yang
sangat kompleks, yang terjadi pada masa remaja. Secara garis besar, faktorfaktor tersebut dapat dikelompokkkan sebagai berikut:
1) Adanya perubahan-perubahan biologis dan psikologis yang sangat pesat
pada masa remaja yang akan memberikan dorongan tertentu yang sifatnya
sangat kompleks.
137
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
2) Orang tua dan pendidik kurang siap untuk memberikan informasi yang
benar dan tepat waktu, karena ketidaktahuannya.
3) Perbaikan gizi yang menyebabkan menars menjadi lebih dini. Kejadian
kawin muda masih banyak, terutama di daerah pedesaan. Sebaliknya di
perkotaan kesempatan untiuk bersekolah dan bekerja menjadi lebih terbuka
bagi wanita dan usia kawin maskin bertambah. Kesenjangan antara menars
dan umur kawin yang makin panjang, apalagi dalam suasana pergaulan yang
makin bebas tidak jarang menimbulkan masalah bagi remaja.
4) Membaiknya sarana komunikasi dan transportasi akibat kemajuan teknologi
menyebabkan membanjirnya arus informasi dari luar yang sulit sekali
diseleksi.
5) Pembangunan ke arah industrialisasi disertai dengan pertambahan penduduk
menyebabkan meningkatnya urbanisasi, berkurangnya sumberdaya alam
dan terjadinya perubahan tata nilai. Ketimpangan sosial dan individualisme
seringkali memicu konflik perorangan maupun kelompok. Lapangan kerja
yang kurang memadai dapat memberikan dampak yang kurang baik bagi
remaja sehingga remaja bisa menderita frustasi dan depresi yang aka n
menyebabkan mereka mengambil jalan pintas dengan tindakan yang bersifat
negatif.
6) Kurangnya pemanfaatan sarana untuk menyalurkan gejolak remaja. Perlu
adanya penyaluran sebagai substansi yang bersifat positif ke arah
pengembangan ketrampilan yang mengandung unsur kecepatan dan
kekuatan misalnya olahraga (IDAI, 2002: 173).
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan remaja
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan remaja bersifat
dikotomi, yaitu endogen dan eksogen.
1) Faktor endogen (nature).
Dalam pandangan ini dinyatakan bahwa perubahan-perubahan fisik
maupun psikis dipengaruhi oleh faktor internal yang bersifat herediter yaitu
yang diturunkan oleh orang tuanya, misalnya postur tubuh, bakat, minat,
kecerdasan, kepribadian, dan sebagainya.
2) Faktor eksogen (nurture).
Pandangan faktor eksogen menyatakan bahwa perubahan dan
perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh faktor- faktor yang berasal
dari luar diri individu. Faktor ini diantaranya berupa lingkungan fisik
maupun lingkungan sosial. Lingkungan fisik berupa tersedianya sarana dan
fasilitas, letak geografis, cuaca, iklim, dan sebagainya. Lingkungan sosial
adalah lingkungan dimana seseorang mengadakan relasi atau interaksi
dengan individu atau sekelompok individu di dalamnya, berupa keluarga,
tetangga, teman, lembaga pendidikan dan sebagainya.
3) Interaksi antara endogen dan eksogen.
Faktor endogen dan eksogen saling berpengaruh, sehingga terjadi
interaksi antara kedua faktor, yang kemudian muncul faktor ketiga sebagai
kombinasi dari kedua faktor tersebut. Para ahli perkembangan (Berk, 1993;
Gunarsa dan Gunarsa, 1991; Papalia, Olds dan Feldman, 2001; dan
Santrock, 1999 dalam Dariyo, 2004: 14-15) meyakini bahwa kedua faktor
internal (endogen) maupun eksternal (eksogen) tersebut mempunyai peran
bagi perkembangan dan pertumbuhan individu.
138
HOSPITAL MAJAPAHIT
Endogen- internal
Eksogen-eksternal
Perkembangan individu
1.
2.
3.
4.
5.
Siklus menstruasi
Variabel perancu:
Aktifitas fisik
Proses ovulasi
Adekuatnya fungsi luteal
Perilaku diet
Stres
Gambar 9. Frame work Hubungan Status Gizi Remaja Putri Dengan Siklus
Menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga
Jatirejo Mojokerto.
3.
4.
Hipotesis Penelitian.
Hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara
terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul
(Arikunto, 2006: 71).
H1 = Ada hubungan status gizi remaja putri dengan siklus menstruasi di MTs Darun
Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto.
Variabel dan Definisi Operasional.
Variabel adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari, sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian
ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009: 2). Variabel independen dalam penelitian ini
adalah status gizi remaja putri dan variabel dependennya adalah siklus menstruasi.
139
HOSPITAL MAJAPAHIT
Dengan
Sumbe r
Skala
Ordinal
Nominal
HOSPITAL MAJAPAHIT
6.
responden tinggal memilih jawaban dari pilihan jawaban yang telah tersedia
(Nursalam, 2008: 109).
b. Meterline dan data umur.
Untuk memperoleh data status gizi digunakan meteran (meterline) dan
data umur.
c. Penelusuran data sekunder.
Data sekunder adalah metode untuk mendapatkan informasi melalui
penelusuran dokumen, publikasi dan catatan klinik maupun pribadi. Metode ini
mengambil data yang berasal dari dokumen asli (Hidayat, 2007: 100). Teknik ini
digunakan untuk mendapatkan data jumlah remaja putri yang menjadi siswi di
MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto.
Instrumen pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan meteran
(meterline) dan data umur untuk mengkaji variabel independen yaitu status gizi
remaja putri serta kuesioner untuk mengkaji variabel dependen yaitu siklus
menstruasi.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data.
a. Pengolahan Data.
Menurut Hidayat (2007: 121), dalam melakukan analisis data, terlebih
dahulu data harus diolah dengan tujuan mengubah data menjadi informasi.
Dalam statistik, informasi yang diperoleh dipergunakan untuk proses
pengambilan keputusan, terutama dalam pengujian hipotesis. Dalam proses
pengolahan data terdapat langkah- langkah awal yang harus ditempuh,
diantaranya:
1) Editing.
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang
diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap
pengumpulan data atau setelah data terkumpul (Hidayat, 2007: 121).
2) Coding.
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka)
terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat
penting dan biasanya dalam pemberian kode dibuat juga daftar kode dan
artinya dalam satu buku untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti
suatu kode dari suatu variabel (Hidayat, 2007: 121).
a) Umur
: 10-13 tahun (kode 1) dan 14-17 tahun (kode 2).
b) Pekerjaan ayah
: tidak bekerja (kode 1), PNS/TNI/Polri (kode 2),
wiraswasta (kode 3) dan swasta (kode 4).
c) Pekerjaan ibu
: ibu rumah tangga (kode 1) dan bekerja (kode 2)
d) Status menstruasi : sudah menstruasi (kode 1) dan belum menstruasi
(kode 2).
e) Status gizi
: normal (kode 1), pendek (kode 2) dan sangat
pendek (kode 3).
f) Siklus menstruasi : oligomenorea (kode 1), polimenorea (kode 2),
amenorea (kode 3) dan normal (kode 4).
3) Scoring.
Memberikan skor pada item- item yang perlu diberi skor (Arikunto,
2006: 236).
Status gizi:
a) Normal
: -2SD
b) Pendek
: -3SD s/d <-2SD
c) Sangat pendek : <-3SD
141
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
4) Tabulating
Merupakan proses data entry, yaitu memasukkan data yang telah
dikumpulkan ke dalam master table (Hidayat, 2007). Pekerjaan tabulasi
adalah pekerjaan membuat tabel. Jawaban-jawaban yang sudah diberi kode
kategori dan skor kemudian dimasukkan dalam tabel (Narbuko dan
Achmadi, 2002: 155).
Analisis Data.
1) Analisis data secara univariat.
Untuk variabel independen (status gizi remaja putri) diukur dengan
melakukan pengukuran tinggi badan dan umur remaja putri tersebut.
Selanjutnya dihitung dengan menggunakan rumus Z skor:
Z-skor = Nilai individu subjek Nilai median baku rujukan
Nilai simpang baku rujukan
Selanjutnya dinilai status gizinya sebagai berikut:
a) Normal
: >-2SD
b) Pendek
: >-3SD s/d <-2SD
c) Sangat pendek : <-3SD
(Depkes, 2010)
Bagi variabel dependen (siklus menstruasi) hanya dibedakan saja,
yaitu:
a) Oligomenorea
b) Polimenorea
c) Amenorea
d) Normal
2) Analisis data secara bivariat.
Uji secara bivariat dilakukan untuk membuktikan adanya hubungan
antara variabel bebas dengan terikat. Pada penelitian ini karena data yang
digunakan adalah data kategorik (ordinal dan nominal) yang menggunakan
desain analitik observasional berbentuk korelasi, maka dilakukan uji
statistik berupa X2 (Chi Square) untuk menguji kesalingtergantungan
dengan rumus:
(f o - f h ) 2
2
fh
Keterangan:
2
HOSPITAL MAJAPAHIT
c)
Apabila: 1) jumlah subjek total n<20 atau 2) jumlah subjek antara 20-40
dengan nilai expected ada yang <5, maka dipakai uji mutlak Fisher
(Sastroasmoro, 2008: 293).
Menurut Arikunto (2002) dalam Cideres (2009) dalam membaca
kesimpulan menggunakan skala sebagai berikut:
100%
: seluruhnya.
76-99% : hampir seluruhnya.
51-75% : sebagian besar.
50%
: setengah.
26-49% : hampir setengah.
1-25% : sebagian kecil.
0%
: tidak satupun.
D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber
Kenanga Jatirejo Mojokerto pada tanggal 4-9 Juni 2012. MTs Darun Najah Gading
Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto berbatasan dengan:
a. Sebelah utara
: perkampungan penduduk
b. Sebelah selatan : perkampungan penduduk
c. Sebelah barat
: lapangan desa
d. Sebelah timur
: jalan raya
Fasilitas yang dimiliki diantaranya gedung sekolah berlantai 1 dan terdiri dari
ruang kelas sejumlah 6 buah, 1 ruang perpustakaan yang digabung dengan UKS, 1
ruang kepala sekolah, 1 ruang guru, 1 ruang BP/BK, 1 ruang Tata Usaha, kamar
mandi guru dan kamar mandi murid.
2. Data Umum.
a. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur.
Tabel 41. Distribusi Frekuensi Umur Responden di MTs Darun Najah
Gading Dusun Sumbe r Kenanga Jatire jo Mojokerto Pada
Tanggal 4-9 Juni 2012.
No.
Umur
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1.
10-13 tahun
16
39,0
2.
14-16 tahun
25
61,0
Jumlah
41
100
b.
143
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
d.
3.
144
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
c.
Siklus Menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo
Mojokerto.
Tabel 46. Distribusi Frekuensi Siklus Menstruasi di MTs Darun Najah
Gading Dusun Sumbe r Kenanga Jatire jo Mojokerto Pada
Tanggal 4-9 Juni 2012.
No.
Siklus Menstruasi
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1.
Oligomenorea
10
24,4
2.
Polimenorea
5
12,2
3.
Amenorea
4
9,8
4.
Normal
22
53,7
Jumlah
41
100
Berdasarkan tabel 46 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden
mengalami siklus menstruasi normal sebanyak 22 responden (53,7%).
Hubungan Status Gizi Remaja Putri Dengan Siklus Menstruasi di MTs Darun
Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto.
Tabel 47. Tabulasi Silang Antara Status Gizi Remaja Putri Dengan Siklus
Menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber
Kenanga Jatire jo Mojokerto Pada Tanggal 4-9 Juni 2012
Siklus menstruasi
Total
Status
Oligome norea Polimenorea Amenorea
Normal
gizi
f
%
f
%
f
%
f
%
f
%
Normal
2
4,9
2
4,9
1
2,4 10 24,4 15 36,6
Pendek
6
14,6
3
7,3
0
0
11 26,8 20 48,8
Sangat
2
4,9
0
0
3
7,3
1
2,4
6 14,6
pendek
Total
10
24,4
5
12,2
4
9,8 22 53,7 41 100
Berdasarkan tabel 47 dapat diketahui bahwa responden yang mempunyai
status gizi normal, sebagian besar mengalami siklus menstruasi normal sebanyak
10 responden (24,4%), responden yang mempunyai status gizi pendek, sebagian
besar mengalami siklus menstruasi normal sebanyak sebanyak 11 responden
(26,8%) dan responden yang mengalami status gizi sangat pendek, sebagian
besar mengalami siklus menstruasi amenorea sebanyak 3 responden (7,3%).
Berdasarkan uji statistik dengan bantuan SPSS versi 17.0 didapatkan 10
sel yang memiliki nilai frekuensi harapan <5, sehingga dilanjutkan
menggunakan uji Fisher Exact hingga didapatkan hasil sig. (2 tailed) = 0,033.
Ketentuan menyatakan H0 ditolak dan H1 diterima jika Sig. (2 tailed) < (0,05).
Karena Sig. (2 tailed) (0,033) < (0,05) artinya H0 ditolak dan H1 diterima, yang
artinya ada hubungan status gizi remaja putri dengan siklus menstruasi di MTs
Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto.
E. PEMBAHASAN
1. Status Gizi Remaja Putri Di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber
Kenanga Jatire jo Mojokerto.
Berdasarkan tabel 45 dapat diketahui bahwa hampir setengah dari responden
mempunyai status gizi pendek sebanyak 20 responden (48,8%). Status gizi adalah
keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi
(Almatsier, 2009: 3). Gibson menyatakan bahwa status gizi adalah keadaan tubuh
145
HOSPITAL MAJAPAHIT
yang merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam
tubuh dan utilisasinya (Waryana, 2010: 7).
Status gizi menunjukkan keseimbangan antara asupan makanan yang
dikonsumsi dengan aktifitas remaja yang makin meningkat seiring bertambahnya
usia. Usia remaja memiliki karakteristik keingintahuan yang tinggi serta kesibukan
belajar yang semakin meningkat. Hal ini menyebabkan aktifitas hariannya juga
relatif semakin meningkat. Saat terjadi peningkatan aktifitas, di sisi lain remaja putri
rentan mengalami kurang asupan zat gizi karena pola makan yang salah, pengaruh
dari lingkungan pergaulan (misalkan ingin langsing). Remaja putri yang kurang gizi
tidak dapat mencapai status gizi yang optimal (kurus, pendek dan pertumbuhan
tulang tidak proporsional). Mereka juga biasanya mengalami kurang zat besi dan gizi
lain yang penting untuk tumbuh kembang serta sering sakit-sakitan. Hal ini
menyebabkan status gizi remaja putrid menjadi pendek. Status gizi remaja putri
dipengaruhi oleh umur, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu dan pendidikan ibu.
Berdasarkan tabel 41 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden berumur
14-16 tahun sebanyak 25 responden (61,0%). Hasil tabulasi silang menunjukkan
responden yang memiliki status gizi pendek sebagian besar berumur 14-16 tahun
sebanyak 14 responden (56,0%). Pada tahapan remaja pertengahan, terjadi
peningkatan interaksi dengan kelompok, sehingga tidak selalu tergantung pada
keluarga dan terjadi eksplorasi seksual. Dengan menggunakan pengalaman dan
pemikiran yang lebih kompleks, pada tahap ini remaja sering mengajukan
pertanyaan, menganalisis secara lebih menyeluruh dan berpikir tentang ba gaimana
cara mengembangkan identitas siapa saya?. Pada masa ini remaja juga mulai
mempertimbangkan masa depan, tujuan dan membuat rencana sendiri (Aryani,
2010: 5).
Ciri remaja pada usia ini adalah adanya peningkatan aktifitas dan eksplorasi
terhadap lingkungan sekitar. Tingginya aktifitas berakibat pada kebutuhan asupan
gizi yang cukup memadai. Namun yang terjadi, responden kurang mendapatkan
asupan gizi yang memadai, sehingga ia mengalami status gizi pendek.
Berdasarkan tabel 42 dapat diketahui bahwa hampir setengah pekerjaan ayah
responden adalah wiraswasta sebanyak 19 responden (46,3%). Hasil tabulasi silang
menunjukkan responden yang memiliki status gizi pendek sebagian besar ayahnya
bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 9 responden (47,4%0 dan sebagai petani
sebanyak 8 responden (66,7%). Anggota keluarga yang menjadi sumber utama
keuangan keluarga disebut pencari nafkah dan biasanya dipegang oleh ayah atau
suami. Dalam hal ini kesanggupan keuangan keluarga akan lebih baik, sehingga lebih
banyak lagi kebutuhan yang dapat dipenuhi. Namun pola pemakaian sumber
keuangan ini sangat dipengaruhi oleh pola atau gaya hidup keluarga (Sediaoetama,
2008: 76). Terdapat hubungan antara pendapatan dan keadaan status gizi. Hal itu
karena tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas
makanan yang dikonsumsi. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar
akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi
kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya. Tingkat pendapatan dapat menentukan pola
makan (FKM UI, 2007: 71).
Pekerjaan sebagai wiraswastawan dan petani khususnya petani penggarap
cukup memiliki keterbatasan sosial ekonomi. Sebab jenis pekerjaan tersebut sangat
tergantung pada kemampuan individu untuk menghasilkan pendapatan. Keterbatasan
pendapatan menyebabkan keterbatasan dalam mengalokasikan uang untuk kebutuhan
konsumsi sehari- hari, sehingga mempengaruhi pula status gizi responden menjadi
pendek.
146
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
HOSPITAL MAJAPAHIT
atau yang menyatakan 4 minggu lebih dua hari dan sebagainya. Hal tersebut
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, diantaranya umur responden, pekerjaan ayah,
pekerjaan ibu dan tingkat pendidikan ibu.
Berdasarkan tabel 41 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden berumur
14-16 tahun sebanyak 25 responden (61,0%). Hasil tabulasi silang menunjukkan
responden yang mengalami siklus menstruasi normal sebagian besar berumur 14-16
tahun sebanyak 12 responden (48,0%). Ketidakteraturan siklus haid sering terjadi
pada remaja muda yang baru mengalami haid karena masih terjadi penyesuaian
dalam tubuh. Selama 2 bulan berturut-turut mungkin mengalami siklus haid 28 hari
namun kemudian tidak datang bulan di bulan berikutnya. Setelah 1 atau 2 tahun
siklus menstruasi akan lebih teratur (Adhi, 2012).
Sebagian besar responden telah mengalami menstruasi selama kurang lebih 1
atau 2 tahun sebelumnya. Lamanya responden mengalami menstruasi membuat
tubuhnya telah beradaptasi secara fisiologis dan hal ini membuat siklus
menstruasinya menjadi normal.
Berdasarkan tabel 42 dapat diketahui bahwa hampir setengah pekerjaan ayah
responden adalah wiraswasta sebanyak 19 responden (46,3%). Hasil tabulasi silang
menunjukkan responden yang mengalami siklus menstruasi normal sebagian besar
ayahnya bekerja sebagai wiraswastawan dan petani masing- masing sebanyak 8
responden (42,1% dan 66,7%). Berdasarkan tabel 43 dapat diketahui bahwa sebagian
besar ibu responden tidak bekerja sebanyak 23 responden (56,1%). Hasil tabulasi
silang menunjukkan responden yang mengalami siklus menstruasi normal sebagian
besar ibu tidak bekerja sebanyak 14 responden (60,9%). Faktor sosial ekonomi dan
juga mempunyai pengaruh terhadap keteraturan siklus menstruasi. Faktor sosial
ekonomi mempengaruhi seseorang dalam kehidupannya, misalnya dalam
menentukan jenis asupan makanan yang akan mempengaruhi nilai gizi seseorang.
Tidak hanya gaya hidup yang positif saja yang dapat mempengaruhi keteraturan
siklus menstruasi, namun juga ditambah dengan gizi dan suplemen nutrisi yang dapat
membuat keseimbangan hormonal tubuh secara alami (Hutomo, 2012).
Siklus menstruasi normal sebagian besar dialami oleh responden yang ayahnya
bekerja sebagai wiraswastawan dan petani. Hal ini disebabkan orang tua sanggup
mendidik anak hidup dalam pola hidup yang sehat dan iklim keluar ga yang
harmonis, sehingga mempengaruhi keseimbangan hormonal dalam diri anak dan
menjadikannya mengalami siklus menstruasi normal.
Berdasarkan tabel 44 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu responden
berpendidikan dasar (SD dan SMP) sebanyak 21 responden (51,2%). Hasil tabulasi
silang menunjukkan responden yang mengalami siklus menstruasi normal sebagian
besar ibunya berpendidikan menengah (SMA) sebanyak 11 responden (64,7%).
Menurut YB Mantra, pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga
perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan
dalam pembangunan. Pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin
mudah menerima informasi (Wawan dan Dewi, 2010: 16).
Meski sebagian besar pendidikan ibu adalah pendidikan dasar, namun yang
mengalami siklus menstruasi normal adalah yang ibunya berpendidikan SMA.
Pendidikan SMA cukup memberikan bekal pada ibu untuk merawat anaknya dengan
lebih baik, misalnya ibu lebih mampu mengatur pola makan anak, membuat suasana
rumah lebih nyaman, mengupayakan pola hidup sehat sehingga mempengaruhi
kenyamanan pada diri anak dan membuat siklus menstruasinya berjalan normal.
148
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
Hubungan Status Gizi Remaja Putri Dengan Siklus Menstruasi Di Mts Darun
Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatire jo Mojoke rto.
Berdasarkan tabel 47 dapat diketahui bahwa responden yang mempunyai status
gizi normal, sebagian besar mengalami siklus menstruasi normal sebanyak 10
responden (24,4%), responden yang mempunyai status gizi pendek, sebagian besar
mengalami siklus menstruasi normal sebanyak sebanyak 11 responden (26,8%) dan
responden yang mengalami status gizi sangat pendek, sebagian besar mengalami
siklus menstruasi amenorea sebanyak 3 responden (7,3%).
Berdasarkan uji statistik dengan bantuan SPSS versi 17.0 didapatkan 10 sel
yang memiliki nilai frekuensi harapan <5, sehingga dilanjutkan menggunakan uji
Fisher Exact hingga didapatkan hasil sig. (2 tailed) = 0,033. Ketentuan menyatakan
H0 ditolak dan H1 diterima jika Sig. (2 tailed) < (0,05). Karena Sig. (2 tailed)
(0,033) < (0,05) artinya H0 ditolak dan H1 diterima, yang artinya ada hubungan
status gizi remaja putri dengan siklus menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun
Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto.
Kualitas asupan nutrisi dan gizi mempengaruhi kinerja kelenjar hipotalamus
yang memiliki peran mengendalikan kelancaran siklus haid yang ada (Klik Dokter,
2011). Berat badan dan perubahan berat badan mempengaruhi fungsi menstruasi.
Penurunan berat badan akut dan sedang menyebabkan gangguan pada fungsi
ovarium, tergantung derajat tekanan pada ovarium dan lamanya penurunan berat
badan. Kondisi patologis seperti berat badan yang kurang atau kurus dan anorexia
nervosa yang menyebabkan penurunan berat badan yang berat dapat menimbulkan
amenorrhea (Kusmiran, 2011: 110). Nutrisi yang baik akan mempengaruhi sekresi
FSH dan LH. Jika terjadi penurunan kalori kronis akan menurunkan sekresi FSH dan
LH, hingga jika terjadi malnutrisi, berat badan rendah atau diet ketat, maka ovulasi
mungkin akan berhenti dan ia menjadi amenorea (Henderson, 2005: 19).
Responden dengan status gizi normal biasanya menerapkan pola makan yang
sesuai dengan kebutuhan maupun berlebih terutama lemak, protein dan karbohidrat
tubuh sebagai sumber energi utama tubuh. Pola makan yang salah dengan tinggi
lemak, karbohidrat dan protein akan meningkatkan berat badan yang lebih sehingga
akan meningkatkan kerja organ-organ tubuh yang tentunya akan berdampak pada
fungsi sistem hormonal pada tubuh. Hal ini menjelaskan alasan responden dengan
status gizi normal sebagian besar mengalami siklus menstruasi normal, namun ada
pula yang mengalami polimenorea. Sedangkan responden yang memiliki status gizi
normal namun mengalami oligomenorea bahkan amenorea khususnya amenore
sekunder dapat disebabkan karena aktifitas yang terlalu berat ataupun tekanan
kejiwaan seperti stres. Hal tersebut terjadi karena aktifitas berlebihan dan stres dapat
mengganggu kerja hipotalamus dalam mengendalikan kerja berbagai hormon
termasuk hormon yang berperan dalam siklus menstruasi.
Begitupun sebaliknya pada responden dengan pola makan kurang
mempengaruhi penurunan status gizi. Status gizi pendek namun masih memiliki
siklus menstruasi yang normal dapat disebabkan karena responden memiliki
keseimbangan hormonal yang cukup baik karena faktor stabilitas emosi, sehingga
tidak mengganggu kerja hipotalamus meski dari sisi status gizi pendek bahkan sangat
pendek. Namun bagi responden dengan status gizi pendek namun mengalami siklus
polimenorea dapat disebabkan karena gangguan keseimbangan hormonal karena
berada pada masa-masa awal menstruasi. Faktor lain yang memungkinkan adalah
penyakit di dalam organ reproduksi, seperti tumor rahim maupun karena faktor
lainnya seperti stress dan kelelahan.
149
HOSPITAL MAJAPAHIT
Jadi adanya gangguan pada fungsi sistem hormonal dari tubuh tersebut yang
salah satunya karena faktor asupan gizi akan menyebabkan gangguan siklus haid
yang terlalu cepat maupun siklus haid yang pendek.
F. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan status gizi remaja putri dengan
siklus menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo
Mojokerto, maka dapat disimpulkan bahwa Status gizi remaja putri di MTs Darun Najah
Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto, hampir setengahnya mempunyai
status gizi pendek sebanyak 20 responden (48,8%), siklus menstruasi di MTs Darun
Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto, sebagian besar mengalami
siklus menstruasi normal sebanyak 22 responden (53,7%) dan Hasil uji statistik Fisher
Exact Test didapatkan sig. (2 tailed) = 0,033 < = 0,05 artinya H0 ditolak dan H1
diterima, yang artinya ada hubungan status gizi remaja putri dengan siklus menstruasi di
MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto.
Remaja putri disarankan untuk meningkatkan pengetahuannya tentang asupan gizi
yang baik dan seimbang sesuai dengan usianya agar ia tidak mengalami gangguan pada
siklus menstruasinya. Bagi responden yang mengalami gangguan siklus menstruasi
sebaiknya segera memeriksakan diri lebih lanjut pada tenaga kesehatan setempat.
Bidan disarankan untuk memberikan penyuluhan gizi bagi para remaja putri
khususnya berkaitan dengan menu harian yang menarik dan bergizi, sehingga memotivasi
remaja putri untuk mengkonsumsi makanan bergizi bagi pertumbuhannya. Bidan juga
dapat memberikan informasi pada ibu- ibu yang mempunyai anak usia remaja awal untuk
lebih memperhatikan asupan gizi yang baik dan lebih memperhatikan siklus menstruasi
anaknya, jika mengalami masalah segera dikonsultasikan pada tenaga kesehatan.
Masyarakat khususnya ibu yang mempunyai remaja putri agar selalu menjaga
asupan gizi anaknya, sehingga tidak mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
anak khususnya siklus menstruasinya.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa status sosial ekonomi memiliki
pengaruh terhadap status gizi remaja putri, namun belum dibuktikan secara ilmiah. Maka
dari itu disarankan peneliti selanjutnya meneliti mengenai pengaruh status sosial ekonomi
terhadap status gizi remaja putri.
DAFTAR PUSTAKA
Adhi (2012). Penyebab Siklus Haid Tidak Teratur. (http://tipskesehatan.web.id, diakses
tanggal 18 April 2012).
Almatsier, Sunita. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Aryani. (2010). Kesehatan Remaja, Problem dan Solusinya. Jakarta: Salemba Medika.
Atmarita dan Tatang S. Fallah. (2004). Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat.
(http://www.gizi.net/kep/download/makalah-wnpg8.doc, diakses tanggal 18 April
2012).
BKKBN Jawa Timur. (2012). Sambut Jambore Nasional, BKKBN Gelar Sosialisasi PIK di
UMM. (http://www.umm.ac.id/id, diakses tanggal 12 April 2012).
Dariyo, A. (2004). Psikologi Perkembangan Remaja. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Departemen Kesehatan RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Jakarta: Depkes RI.
Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto. (2011). Profil Kesehatan Kabupaten Mojokerto
Tahun 2010. Mojokerto: Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto.
150
HOSPITAL MAJAPAHIT
151
HOSPITAL MAJAPAHIT
152
HOSPITAL MAJAPAHIT
153
HOSPITAL MAJAPAHIT
yang dikembangkan. Salah satu metode untuk menganalisa observasi dengan nilai nol yang
lebih banyak adalah dengan model Zero Inflated Poisson Regression.
Analisis faktor yang mempengaruhi jumlah kematian ibu hamil dan nifas yang
dilakukan pada data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur tahun 2010 menunjukkan
ciri-ciri terjadinya overdispersi akibat banyaknya hasil observasi yang bernilai nol, sehingga
ZIP merupakan pilihan yang paling baik untuk memodelkan angka kematian ibu di Propinsi
Jawa Timur tahun 2010. Angka kematian ibu dipengaruhi oleh 3 faktor utama menurut Mc
Charty & Maine dalam Arulita (2007) diantaranya determinan dekat (komplika si kehamilan,
komplikasi persalinan dan nifas), determinan antara ( Status kesehatan ibu yang terdiri dari
anemia, status gizi, penyakit yang diderita ibu, riwayat komplikasi kehamilan dan persalinan
sebelumnya; Status reproduksi yang terdiri dari usia ibu hamil, jumlah kelahiran, jarak
kehamilan, dan status perkawinan ibu; Akses terhadap pelayanan kesehatan; Perilaku
penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan yang terdiri dari perilaku ber KB, perilaku
pemeriksaan kehamilan / antenatal care yang mencakup K1, K4, Fe1, Fe3 dan TT1 sampai
TT5, penolong persalinan dan tempat persalinan), sedangkan determinan jauh meliputi faktor
sosiokultural, ekonomi, agama, tingkat pendidikan ibu serta pengetahuan ibu tentang tanda
bahaya kehamilan.
Salah satu indikator kematian maternal yang lain adalah persalinan oleh tenaga
kesehatan. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah pertolongan persalinan oleh
tenaga ahli yang profesional (dengan kompetensi kebidanan) dimulai dari lahirnya bayi,
pemotongan tali pusat sampai keluarnya plasenta. Komplikasi dan kematian maternal serta
bayi baru lahir sebagian besar terjadi dimasa persalinan. Hal ini disebabkan persalinan yang
tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan (profesional)
(Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2010). Tenaga penolong persalinan yang tidak
profesional akan menyebabkan timbulnya bahaya pada ibu bersalin yang pada akhirnya
berdampak pada terjadinya kematian pada ibu nifas akibat kurang tepat dalam pengendalian
perdarahan yang terjadi pada masa nifas. Komplikasi yang timbul pada persalinan dan masa
nifas merupakan penyebab langsung kematian maternal. Komplikasi yang terjadi menjelang
persalinan, saat dan setelah persalinan terutama adalah perdarahan, partus macet atau partus
lama dan infeksi akibat trauma pada persalinan (Arulita, 2007). Menurut Varney, Kriebs, dan
Gegor (2002), komplikasi yang terjadi pada masa nifas antara lain infeksi puerperium,
mastitis, tromboplebitis dan emboli paru, hematoma, hemoragi pascapartum hebat, sub
involusi dan depresi pasca partum. Selama masa nifas pelayanan kesehatan yang diterima ibu
nifas antara lain pemeriksaan kondisi umum (tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu),
pemeriksaan lokhia, dan pengeluaran per vaginam lainnya, pemeriksaan pa yudara, dan
anjuran ASI eksklusif 6 bulan, pemberian kapsul vitamin A 200.000 IU sebanyak 2 kali ( 2 x
24 jam) dan pelayanan KB pasca persalinan. Perawatan ibu nifas yang tepat akan
memperkecil resiko kelainan atau bahkan kematian pada ibu nifas. Cakupan pelayanan nifas
merupakan salah satu indikator kesehatan. Cakupan pelayanan nifas yang meningkat
menunjukkan bahwa petugas kesehatan semakin proaktif dalam melakukan pelayanan pada
ibu nifas dalam rangka memperkecil resiko kelainan bahkan kematian pada ib u nifas (Dinkes
Propinsi Jawa Timur, 2010).
Analisis kematian ibu Tahun 2010 di Indonesia telah dilakukan oleh Depkes RI dan
dipresentasikan dalam Pertemuan Teknis Kesehatan Ibu di Bandung tahun 2011 oleh Direktur
Bina Kesehatan Ibu, dr. Ina Hernawati, MPH. Analisis kematian ibu di Indonesia dilakukan
menggunakan Regresi Linier dengan variabel prediktor antara lain: cakupan antenatal care
(K1-K4), cakupan penolong persalinan, rasio bidan/ 1000 kelahiran, rasio bidan desa yang
tinggal di desa, persalinan di fasilitas kesehatan, sehingga dapat diperoleh kesimpulan bahwa
untuk mencapai target MDGs maka 7.187 kematian ibu harus dicegah, dan persalinan oleh
tenaga kesehatan 95% hanya dapat mencegah 3.138 kematian (Depkes RI, 2011).
154
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT
melebihi 63,7 % dari total data. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov menghasilkan p value (0,562)
> (0,05), nilai D ekstrim sebesar 0,026 lebih kecil daripada nilai D tabel sebesar 0,0529
sehingga dapat disimpulkan bahwa distribusi kematian ibu di Propinsi Jawa Timur Tahun
2010 mengikuti bentuk distribusi Poisson.
Perhitungan Hasil Koefisien Dispersi menjelaskan bahwa Nilai Devians/ db lebih dari
1 sehingga dapat dikatakan bahwa terjadi overdispersi pada data tersebut. Pengujian
kesesuaian model angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010 dapat dilakukan
dengan berbagai jenis analisis regresi diantaranya regresi linier, regresi Poisson dan ZIP.
Tabel 1 Hasil Analisa Regresi Linier Dalam Pemodelan Angka Kematian Ibu di
Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Parameter
Estimasi
SE
t-value
Pr(>|t|)
Intercept
0.7528273 0.5708559
1.319
0.1876
Linakes (X7)
- 0.0110654 0.0049171 - 2.250
0.0247
Pelayanan Nifas (X8)
0.0063417 0.0035045
1.810
0.0707
SE Residual : 1.984
DF = 937
2
R : 0.01375
Adj R2 : 0.00428
F-statistic : 1.452
P value : 0.1615
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Hasil analisa pada tabel 1 dengan menggunakan regresi linier menunjukkan bahwa F
hitung sama dengan 1.452 dengan nilai p (0,1615) > (0,05). Sehingga disimpulkan bahwa
model tidak signifikan. Selain itu dilihat dari nilai R squared juga menghasilkan nilai yang
sangat kecil yakni sebesar 0,01375. Nilai tersebut berarti bahwa hanya 1,375 % angka
kematian ibu dapat dijelaskan oleh linakes, pelayanan nifas dan komplikasi persalinan.
Sehingga dengan demikian menggunakan regresi linier sederhana tidak mampu menjelaskan
pengaruh variabel prediktor terhadap variabel respons. Penggunaan regresi linier juga tidak
tepat pada model faktor yang mempengaruhi angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur
sebab dalam uji asumsi regresi model tersebut tidak terpenuhi syarat homoscedatisitas pada
residual, dan tidak linier serta mengikuti bentuk distribusi Poisson.
Tabel 2 Hasil Analisa Regresi Poisson Dalam Pemodelan Angka Ke matian Ibu di
Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Parameter
Estimasi
SE
z-value
Pr(>|z|)
Linakes (X7)
- 0.0161938 0.0036319 - 4.459 8.24e-06 ***
Pelayanan Nifas (X8)
0.0020245 0.0012797
1.582 0.113637
Null Deviance : 1564.7
df: 946
Residual Deviance : 1495.3
df: 937
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai null deviance yang menunjukkan sebesar 1564,7
dibandingkan dengan X2 tabel pada sama dengan 5% dan derajat bebas sama dengan 946
sebesar 1018.6630. Nilai p (2.91554E-33) jauh lebih kecil dibandingkan dengan (0.05).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa tanpa melibatkan variabel prediktor, model tersebut
signifikan. Demikian pula dengan Nilai Residual Deviance menunjukkan 1495.3
dibandingkan dengan nilai X2 tabel pada sama dengan 5% dan derajat bebas sama dengan
937 adalah sebesar 1009.3188. Nilai p (2.25521E-28) jauh lebih kecil dari (0.05). Nilai
tersebut menunjukkan bahwa dengan melibatkan semua variabel prediktor maka model
tersebut signifikan. Hasil dari anlisis regresi Poisson didapatkan variabel prediktor yang
valid yaitu cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan sedangkan pelayanan nifas
156
HOSPITAL MAJAPAHIT
tidak mempengaruhi angka kematian ibu. Namun hasil analisa regresi Poisson tidak mungkin
digunakan akibat terjadinya overdispersi dan inflasi dari nilai 0. Estimasi menggunakan
Poisson akan berdampak pada ketidaktepatan hasil estimasi karena dua indikasi tersebut.
Sehingga dilanjutkan pada estimasi menggunakan Zero Inflated Poisson Regression (ZIP
Regression).
Tabel 3 Pengujian Parameter Model Log pada Model 1
Parameter
Estimasi
SE
z-value
Pr(>|z|)
Intercept
4.329987 0.340693
12.709
<2e-16 ***
Linakes (X7)
- 0.050904 0.003584
- 14.201 <2e-16 ***
Pelayanan Nifas (X8)
0.004237 0.001455
2.912
0.0036 **
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Tabel 4 Pengujian Parameter Model Logit pada Model 1
Parameter
Estimasi
SE
z-value
Pr(>|z|)
Intercept
7.178526 1.166170
6.156
7.48e-10 ***
Linakes (X7)
- 0.072675 0.012057 - 6.027 1.67e-09 ***
Pelayanan Nifas (X8)
- 0.014185 0.005327 - 2.663
0.00775 **
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Hasil pengujian parameter model log pada tabel 3 menghasilkan 2 variabel yang
signifikan yaitu cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (X7) dan cakupan pelayanan
nifas (X8) demikian juga pada pengujian parameter model logit pada tabel 4. Sehingga
dapat dirumuskan sebagai berikut.
HOSPITAL MAJAPAHIT
= 1,004 ~ 1. Maka setiap peningkatan 1% cakupan pelayanan masa nifas oleh tenaga
kesehatan maka akan berdampak pada peningkatan rerata kematian ibu sebesar 1 orang.
Hasil parameter model logit didapatkan bahwa jika parameter lain dianggap konstan
maka peningkatan 1% pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak
pada penurunan probabilitas kematian ibu sebanyak 0,5 kali dan peningkatan 1% pelayanan
masa nifas oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak pada penurunan probabilitas
kematian ibu sebanyak 0,5 kali.
Model ke 1 menghasilkan nilai rerata jumlah kematian ibu () sebesar 1,36 dan varian
sebesar 0,92 serta rerata peluang tidak terjadi kematian ibu di puskesmas sebesar 0,5021. Jika
dibandingkan dengan nilai dan varian sebelum menggunakan model maka disimpulkan
model ZIP mampu menekan varian sehingga mengendalikan overdispersi yang terjadi pada
data kematian ibu. Pada pengujian koefisien overdispersi terjadi penurunan koefisien
overdispersi sebelum menggunakan ZIP sebesar 1,59 menjadi 0.000767 menjadi jauh lebih
kecil. Sehingga bisa disimpulkan bahwa ZIP merupakan salah satu metode yang dapat
mengatasi masalah overdispersi pada data yang mengalami banyak inflasi akibat nilai 0
melebihi 63,7% dari total data.
D. PEMBAHASAN
Regresi Zero Inflated Poisson digunakan pada data dengan variable dependen (Y)
yang berdistribusi Poisson. Distribusi Poisson diaplikasikan pada kejadian dalam bentuk
count (jumlah). Angka kematian ibu dalam profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur
merupakan data yang berbentuk jumlah (count). Distribusi Poisson merupakan distribusi
variabel random diskrit namun untuk suatu peristiwa yang jarang terjadi. Kematian ibu
merupakan suatu kejadian yang jarang terjadi. Hal ini terbukti bahwa pada banyak unit
pengamatan terdapat banyak nilai 0 (tidak terjadi kematian ibu).
Distribusi Poisson merupakan distribusi diskrit. Untuk nilai yang kecil maka
distribusinya sangat menceng dan untuk nilai yang besar akan lebih mendekati distribusi
normal. Untuk kasus yang jarang terjadi maka nilai akan kecil. Hal ini juga terjadi pada data
angka kematian ibu dengan nilai rata-rata kurang dari 1 namun standar deviasi lebih dari 1.
Angka ini terjadi karena kasus memang sangat jarang terjadi serta heterogen pada setiap
puskesmas. Nilai pengamatan dalam distribusi Poisson selalu positif dan tidak pernah negatif.
Masalah yang sering terjadi dalam distribusi Poisson adalah inflasi dari nilai 0.
Kasus yang gagal terjadi atau kegagalan suatu pengamatan mengakibatkan munculnya nilai 0
pada data. Nilai 0 pada data mengakibatkan ketidaktepatan dalam melakukan estimasi.
Histogram pada gambar 1 menjelaskan bahwa nilai 0 terdapat pada lebih dari 63,7 % data.
Dua metode yang bisa diaplikasikan untuk inflasi nilai 0 antara lain model Zero Inflated
Poisson (ZIP) dan Zero Inflated Binomial Negatif (ZINB). Tetapi penggunaan ZINB tidak
memungkinkan karena data tidak mengikuti bentuk distrib usi binomial negatif. Keberadaan
inflasi dari nilai 0 adalah menjelaskan bahwa kejadian kematian ibu di Propinsi Jawa Timur
adalah suatu kasus yang sangat jarang terjadi di setiap puskesmas.
Angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010 mempunyai indikasi
mengalami overdispersi. Multikolinieritas merupakan pendorong terjadinya overdispersi.
Hasil analisa asumsi regresi menunjukkan bahwa nilai VIF (Variance Inflation Factor)
menunjukkan nilai < 10. Sehingga pada semua variabel prediktor menunjukkan tidak terjadi
multikolinieritas. Jadi overdispersi dalam kasus di Propinsi Jawa Timur murni terjadi karena
kegagalan terjadinya suatu kasus atau akibat nilai 0 yang berjumlah terlalu banyak pada
variabel kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010.
Kejadian overdispersi dalam distribusi Poisson mengakibatkan ketidaktepatan
model yang dibentuk, selain itu overdispersi mengakibatkan estimasi yang kurang tepat
terhadap parameter model regresi. Implikasi dari tidak terpenuhinya equidispersion adalah
regresi Poisson tidak sesuai lagi untuk memodelkan data. Selain itu, model yang terbentuk
158
HOSPITAL MAJAPAHIT
akan menghasilkan estimasi parameter yang bias. Overdispersion juga akan membawa
konsekuensi pada nilai penduga bagi kesalahan baku yang lebih kecil (underestimate) yang
selanjutnya dapat mengakibatkan kesalahan (misleading) pada inferensia bagi parameternya
(Istiana, 2011). Salah satu alternatif metode yang dapat menyelesaikan masalah over ataupun
underdispersi dalam regresi Poisson adalah ZIP.
Penelitian Raihana (2009), menjelaskan bahwa overdispersi pada regresi Poisson
menyebabkan underestimate standar error yang menyebabkan inferensi yang salah sebagai
konsekuensinya. Regresi Poisson paling sesuai untuk data yang tidak mengalami overdispersi,
sedangkan untuk data yang mengalami overdispersi paling baik menggunakan ZIP dan ZINB.
Pamungkas (2003) menjelaskan bahwa pada data yang mengalami overdispersi dan
dimodelkan dengan Poisson memiliki nilai kesalahan mutlak yang besar dan mendekati 1,
sedangkan pada data yang tidak mengalami overdispersi dan dimodelkan menggunakan
regresi Poisson memiliki kesalahan mutlak yang kecil dan mendekati nol. Pada jumlah data
(n) yang kecil, estimator yang dihasilkan data overdispersi cenderung membesar sedangkan
pada data yang tidak overdispersi cenderung mendekati nilai yang sesungguhnya (kesalahan
mutlak kecil).
Pemilihan model terbaik ditentukan menggunakan Akaikes Information Criterion
(AIC). Bila dibandingkan antara penggunaan Regresi linier, Poisson dengan ZIP, dapat
disimpulkan bahwa penggunaan ZIP jauh lebih bagus dibandingkan linier dan Poisson.
Penggunaan regresi linier tidak dimungkinkan sebab asumsi regresi yang tidak terpenuhi.
Asumsi yang tidak terpenuhi menyebabkan ketidaktepatan pada estimasi yang dihasilkan.
Regresi linier adalah metode statistika yang digunakan untuk membentuk model hubungan
antara variabel terikat (dependen; respon; Y) dengan satu atau lebih variabel bebas
(independen, prediktor, X). Apabila banyaknya variabel bebas hanya ada satu, disebut sebagai
regresi linier sederhana, sedangkan apabila terdapat lebih dari 1 variabel bebas, disebut
sebagai regresi linier berganda. Analisis regresi linier memiliki 3 kegunaan, yaitu untuk
tujuan deskripsi dari fenomena data atau kasus yang sedang diteliti, untuk tujuan kontrol,
serta untuk tujuan prediksi. Regresi linier mampu mendeskripsikan fenomena data melalui
terbentuknya suatu model hubungan yang bersifatnya numerik. Regresi juga dapat
digunakan untuk melakukan pengendalian (kontrol) terhadap suatu kasus atau ha l- hal yang
sedang diamati melalui penggunaan model regresi yang diperoleh. Selain itu, model
regresi juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan prediksi untuk variabel terikat.
Namun yang perlu diingat, prediksi di dalam konsep regresi hanya boleh dilakukan pada data
berskala kontinu, bukan diskrit seperti jumlah kematian ibu.
Sebelum menggunakan ZIP, data angka kematian ibu dipastikan telah mengalami
overdispersi. Koefisien overdispersi pada hasil analisa regresi Poisson lebih tinggi jika
dibandingkan dengan hasil analisa menggunakan ZIP. Walaupun masih ada indikasi terjadi
overdispersi karena nilai 2 / db (1,636) masih lebih besar daripada 1 namun angka ini jauh
lebih menurun dibandingkan nilai 2 / db pada Poisson yaitu 5,913. Nilai deviance
perhitungan model regresi Poisson dengan ZIP juga relatif berbeda. Deviance pada model
yang dihasilkan oleh ZIP jauh lebih besar bila dibandingkan dengan model yang dihasilkan
Poisson. Koefisien overdispersi juga telah mengalami penurunan dibandingkan sebelum
menggunakan ZIP yaitu sebesar 1,59 menjadi 0.000767 menjadi jauh lebih kecil. Hal ini
dapat disimpulkan bahwa ZIP lebih mampu mengendalikan overdispersi pada regresi Poisson,
walaupun kurang maksimal.
Hasil penelitian Loeys, T., Moerkerke, B., De Smet, O., and Buysse, A (2011)
dalam British Journal of Mathematical and Statistical Psychology tentang perbandingan ZIP
dengan berbagai analisis data count yang mengandung nilai 0 menjelaskan bahwa ZIP
memiliki angka AIC yang lebih rendah dibandingkan Poisson, sehingga ZIP jauh lebih baik
dibandingkan dengan Poisson dalam mengestimasi data yang banyak mengandung nilai 0.
159
HOSPITAL MAJAPAHIT
Namun bila dibandingkan dengan hasil penelitian dari Ridout, Hinde, Demtrio, (2001)
tentang perbandingan model antara regresi ZIP dengan ZINB (Zero Inflated Binomial Negatif
) dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien dispersi pada ZIP masih diatas 1 sedangkan
penggunaan ZINB sudah mampu menurunkan nilai koefisien dispersi sampai sedikit dibawah
atau sama dengan 1. Sehingga bisa disimpulkan bahwa ZIP masih kurang baik dalam
mengendalikan koefisien dispersi pada data skor dengan angka nol yang banyak.
Artikel yang ditulis oleh Xue, D.C., Ying, X.F., (2010) tentang model regresi zero
inflated yang digunakan pada missing covariate dengan jumlah nilai missing berkisar antara
12 sampai 27 % menunjukkan bahwa ZIP mempunyai AIC yang relative lebih bagus
dibandingkan dengan Poisson, ZINB, dan Negatif Binomial. Hal ini menegaskan bahwa ZIP
hanya mampu mengendalikan nilai 0 namun belum sepenuhnya mengendalikan overdispersi.
Hal ini bertentangan dengan artikel tentang Zero-Inflated Count Models and their
Applications in Public Health and Social Science yang ditulis Bohning, D., Dietz, E.,
Schlattmann, P., (2012) yang menjelaskan bahwa pada data dengan jumlah nol sebesar kurang
lebih 40%, ZIP dapat menurunkan koefisien overdispersi sebesar 77% (semula sebesar 21.65
menjadi 1,36) pada data prospective study of caries in Belo Horisonte (Brasilian ). Namun
pada hasil tersebut tetap terjadi overdispersi walaupun telah diturunkan.
Model log dan logit pada model 1 berdasarkan AIC disimpulkan sebagai model
yang paling baik dalam menjelaskan angka kematian ibu. Besarnya efek dari cakupan
persalinan adalah -0,050655 terhadap log rata-rata kematian ibu, atau efeknya sama dengan e0,050655
= 0,9506 terhadap rata-rata kematian ibu. Hal tersebut berarti tiap kenaikan jumlah
persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan akan menurunkan angka kematian ibu sebesar
0,9506 kali atau (1-0,9504)*100% sama dengan 4,94%. Sedangkan peningkatan satu unit
pelayanan masa nifas akan mempunyai efek sebesar 1,0045 kali terhadap peningkatan angka
kematian ibu. Peningkatan satu unit komplikasi kehamilan juga berdampak pada peningkatan
angka kematian ibu sebesar 1,0045 kali. Pada model logit hanya terdapat 2 variabel yang
sangat menentukan penurunan probabilitas kejadian kematian ibu yaitu cakupan persalinan
oleh tenaga kesehatan dan pelayanan masa nifas. Kunjungan nifas minimal 3 kali dengan
distribusi waktu : 1). Kunjungan nifas pertama pada 6 jam setelah persalinan sampai 3 hari;
2). Kunjungan nifas yang kedua dilakukan pada minggu ke-2 setelah persalinan; 3).
Kunjungan nifas yang ketiga dilakukan pada minggu ke-6 setelah persalinan. Diupayakan
kunjungan nifas ini dilakukan bersamaan dengan kunjungan neonatus di posyandu ( Kemkes
RI, 2009 dalam Dinkes Propinsi Jawa Timur, 2010).
Komplikasi yang timbul pada persalinan dan masa nifas merupakan penyebab
langsung kematian maternal. Komplikasi yang terjadi menjelang persalinan, saat dan set elah
persalinan terutama adalah perdarahan, partus macet atau partus lama dan infeksi akibat
trauma pada persalinan (Arulita, 2007). Menurut Varney, Kriebs, dan Gegor (2002),
komplikasi yang terjadi pada masa nifas antara lain infeksi puerperium, mastitis,
tromboplebitis dan emboli paru, hematoma, hemoragi pascapartum hebat, sub involusi dan
depresi pasca partum. Pertolongan persalinan menurunkan resiko terjadinya komplikasi akibat
persalinan dan masa nifas, sehingga kematian ibu dapat dicegah. Pelayanan masa nifas yang
tepat mampu mengatasi komplikasi yang terjadi akibat persalinan dan kelainan yang muncul
setelah proses persalinan. Pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang profesional
dapat menurunkan angka kematian ibu.
E. KESIMPULAN
Rerata kejadian kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010 sebesar 1,36 dengan
varian sebesar 0,92. Rerata probabilitas tidak terjadi kematian ibu di setiap puskesmas tahun
2010 adalah sebesar 0,5021. Data angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010
mengikuti bentuk distribusi Poisson dan mengalami overdispersi. Estimasi parameter model
log menunjukkan bahwa pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, dan pelayanan nifas,
160
HOSPITAL MAJAPAHIT
mempengaruhi jumlah kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010, sedangkan estimasi
parameter model logit menunjukkan bahwa probabilitas kejadian kematian ibu di Propinsi
Jawa Timur tahun 2010 dipengaruhi oleh persalinan oleh tenaga kesehatan, dan pelayanan
masa nifas.
DAFTAR PUSTAKA
Andres, N. D. 2011. Pemodelan Penyakit Malaria Di Provinsi Jawa Barat Dengan Regresi
Zero-Inflated Poisson. http://repository.upi.edu (sitasi tanggal 20 Maret 2012. pukul
20.09 WIB))
Arulita. 2007. Faktor-faktor Resiko yang Mempengaruhi Kematian Maternal (Studi Kasus di
Kabupaten Cilacap). Tesis. FKM-Universitas Diponegoro Semarang.
Bohning, D., Dietz, E., Schlattmann, P. 2012. Zero Inflated Count Model and Their
Applications in Public Health and Social Science. Paper dalam http://www.ipn.unikiel.de (sitasi tanggal 06 Maret 2012 pukul 08.03 WIB).
Dinkes Propinsi Jawa Timur. 2011. Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur tahun 2010.
Surabaya: Dinkes Propinsi Jatim
Fauziah dan Sutejo. 2012. Keperawatan Maternitas Kehamilan. Vol 1. Jakarta: Kencana.
Famoye, F., & Singh, K.P. 2006, Zero-Inflated Generalized Poisson Regression Model with
an Application to Domestic Violence Data. Journal of Data Science 4 (2006) 117-130
Hall, BB & Shen J. 2009. Robust Estimation For Zero Inflated Poisson Regression.
Scandinavian Journal of Statistic, Blackwell Publishing Ltd.
Istiana, Nofita. 2011. Overdispersion (overdispersi) pada Regresi Poisson. Dalam
http://www.nofitaistiana.wordpress.com (sitasi tanggal 18 Juni 2012 pukul 9.50 am).
Jansakul N dan Hinde, JP. 2001. Score Test For Zero Inflated Poisson Models. Journal
Computational Statistics & Data Analysis. 40. 75-96.
Khoshgoftaar,T.M.,Gao.K, dan Szabo,R.M. 2004. Comparing Software Fault Prediciton Of
Pure and Zero Inflated Poisson Regression Models. International Journal Of System
Science. 36.(11). 705-715
Loeys, T., Moerkerke, B., De Smet, O., and Buysse, A. 2012. The Analysis of Zero Inflated
Count Data: Beyond Zero-Inflated Poisson Regression. British Journal of
Mathematical and Statistical Psychology, Vol 65. 163-180
Pamungkas, Dimas Haryo. 2003. Kajian Pengaruh Overdispersi dalam Regresi Poisson.
Skripsi. Departemen Statistika, FMIPA. IPB.
Ridout, et all. 2001. A Score Test for Testing a Zero-Inflated Poisson Regression Model
Against Zero-Inflated Negative Binomial Alternatives. Article first published online:
24 MAY 2004. Jurnal Biometrics. Volume 57, Issue 1, pages 219223, March 2001.
Varney, H., Kriebs, J..M., Gegor, C.L. 2002. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 1.
Jakarta: EGC.
Widarjono, A. 2010. Analisis Statistika Multivariate Terapan. Yogyakarta: UPP STIM
YKPN.
Xue, D.C., Ying, X.F. 2010. Model selection for zero-inflated regression with missing
covariates. Computational Statistics and Data Analysis Journal Vol 55. p.765-773.
Tahun 2011.
161