Está en la página 1de 170

ISSN : 2085 - 0204

JURNAL ILMIAH KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN MAJAPAHIT


APRILIA ANGGRAENI
NURUL HIDAYAH, M.Kep
Pengaruh Rangsangan Puting Susu Terhadap Peningkatan Kontraksi Uterus Pada Ibu
Inpartu Kala Ii Di Polindes Anyelir Tunggalpager Pungging Mojokerto
PRIYANTINI
DWIHARINI P, S.Kep, Ns
Sikap Lanjut Usia Tentang Perubahan Fisiologis Dari Aktifitas Seksual Di Desa
Wonokalang Wonoayu Sidoarjo
BAKTI WAHYUDIANTO
SUNYOTO, S.Kep. Ns.
Tingkat Nyeri Lansia Dengan Remathoid Artritis Yang Aktif Dan Tidak Aktif
Melakukan Senam Lansia Di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Kabupaten
Jember
ASRUL ANAM
IKA KHUSNIA, S.Kep. Ns
Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Dan Keluarga Pada Pelayanan
Keperawatan Di Rumah Sakit DKT Mojokerto
ALIF ISROAINI
NUR SAIDAH, M.Kes.
Hubungan Suami Perokok Dengan Terjadinya Bayi Berat Badan Lahir Rendah Di RSUD
Sidoarjo Jenis Persalinan Dengan Skala Nyeri Involusi Uterus Masa Nifas Di RSUD Prof.
Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto
ANA AMALIA
ELYANA MAFTICHA, S.St
Jenis Persalinan Dengan Skala Nyeri Involusi Uterus Masa Nifas Di RSUD Prof. Dr.
Soekandar Mojosari Mojokerto
AGUS DWI RAHAYU
SULISDIANA, M.Kes
Hubungan Status Gizi Remaja Putri Dengan Siklus Menstruasi Di MTs Darun Najah
Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto
EKA DIAH KARTININGRUM, M.Kes
Penggunaan Zero Inflated Poisson Regression Dalam Pemodelan Pengaruh Penolong
Persalinan Dan Pelayanan Nifas Terhadap Angka Kematian Ibu Di Propinsi Jawa Timur
Tahun 2010

HOSPITAL
MAJAPAHIT

VOL 4

NO. 2

Hlm.
1 161

Mojokerto
Nopember 2012

ISSN
2085 - 0204

JURNAL ILMIAH KESEHATAN


POLITEKNIK KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO

HOSPITAL MAJAPAHIT
Media ini terbit dua kali setahun yaitu pada bulan Pebruari dan Bulan Nopember
diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Politeknik Kesehatan Majapahit, berisi artikel hasil penelitian tentang kesehatan
yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris
Pembina
Ketua Yayasan Politeknik Kesehatan Majapahit
Nurwidji
Pelindung
Direktur Politeknik Kesehatan Majapahit
dr. Rahmi, S.A.
Ketua Penyunting
Eka Diah Kartiningrum, SKM., M.Kes.
Wakil Ketua Penyunting
Nurul Hidayah, S.Kep., Ners. M.Kep.
Penyunting Pelaksana
Dwi Helynarti, S.Si.
Anwar Holil, M.Pd.
Penyunting Ahli
Prof. Dr. Moedjiarto, M.Sc.
Sarmini Moedjiarto, S.Pd., MM.Pd.
Nursaidah, M.Kes
Rifaatul Laila Mahmudah, M.Farm.Klin
Distribusi
Indriyanti. T.W, Amd.Akt
Yudha Lagha HK, S.Psi
Alamat Redaksi :
Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Jl. Jabon Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363
Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736
Email : Hospitalmajapahit@yahoo.com
BIAYA BERLANGGANAN
Rp. 20.000,-/Eks + Biaya Kirim

HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4. No. 2, Nopember 2012

ISSN : 2085 - 0204

Pengantar Redaksi,
Hari Kesehatan Nasional Indonesia yang diperingati setiap tanggal 12 November memberikan
makna yang mendalam bagi seluruh tenaga kesehatan dan instansi pendidikan kesehatan yang
terlibat dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia yang seutuhnya.
Tema peringatan HKN Ke-48 Tahun 2012 adalah Indonesia Cinta Sehat diharapkan dapat
meningkatkan semangat, kepedulian, komitmen dan gerakan nyata pembangunan kesehatan
yang harus terus diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa. Oleh sebab itu dalam jurnal
volume 4 no 2 menyajikan 8 artikel hasil penelitian yang dapat menunjang derajat kesehatan
untuk seluruh komponen masyarakat khususnya ibu dan balita serta lanjut usia.
Artikel yang pertama ditulis oleh Aprilia Anggraeni, dan Nurul Hidayah, M.Kep, yang
membahas tentang Pengaruh Rangsangan Puting Susu Terhadap Peningkatan Kontraksi
Uterus Pada Ibu Inpartu Kala Ii Di Polindes Anyelir Tunggalpager Pungging Mojokerto.
Rangsangan putting susu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan
intensitas kontraksi uterus pada saat proses persalinan. Stimulasi atau rangsangan pada puting
susu dapat membantu menambah intensitas kontraksi uterus karena rangsangan ini akan
merangsang pelepasan oksitosin dari hipofisis posterior sehingga terjadi peningkatan
kontraksi uterus dan proses persalinan berjalan lebih cepat setelah dilakukan stimulasi puting
susu.
Artikel yang kedua ditulis oleh Priyantini, dan Dwiharini P, S.Kep, Ns dengan judul Sikap
Lanjut Usia Tentang Perubahan Fisiologis Dari Aktifitas Seksual Di Desa Wonokalang
Wonoayu Sidoarjo. Proses Menua adalah proses alamiah yang berjalan seiring dengan
pemunduran kemampuan fisik dan psikologis seseorang yang dapat berdampak pada
kemampuan interaksi sosial. Penelitian deskriptif yang dilaksanakan terhadap 41 responden
melalui wawancara ini menjelaskan bahwa lansia tidak terlalu peduli terhadap perubahan
aktivitas seksual disebabkan persepsi mereka yang menganggap bahwa kehidupan seksual
yang dialami saat lansia masih sama dengan ketika masih muda. Gairah yang dialami juga
masih sama sehingga tidak ada yang berubah.
Artikel yang ketiga mengenai Tingkat Nyeri Lansia Dengan Remathoid Artritis Yang
Aktif Dan Tidak Aktif Melakukan Senam Lansia Di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul
Kabupaten Jember yang ditulis oleh Bakti Wahyudianto, dan Sunyoto, S.Kep. Ns. Penelitian
deskriptif yang dilakukan terhadap 81 lansia tersebut menjelaskan bahwa mayoritas lansia
yang melakukan senam lansia secara aktif tidak mengalami nyeri artritis yang ringan
sedangkan responden yang tidak aktif melakukan senam mayoritas mengalami nyeri kategori
sedang. Aktivitas senam lansia dapat menurunkan rasa nyeri yang dialami lansia. Semakin
aktif melakukan senam maka semakin menurunkan nyeri yang dirasakan.
Artikel yang keempat ditulis oleh Asrul Anam dan Ika Khusnia dengan judul Tingkat
Kepuasan Pasien Rawat Inap Dan Keluarga Pada Pelayanan Keperawatan Di Rumah
Sakit DKT Mojokerto. Penelitian yang menggunakan pendekatan survey pada 35 pasien dan
keluarganya di RS DKT Mojokerto menjelaskan bahwa terdapat proporsi yang hampir sama
antara kepuasan keluarga dan masyarakat yang menunjukkan persamaan persepsi yang
mereka miliki terhadap pelayanan yang diterima. Persepsi pasien dan keluarga sangat
mempengaruhi jumlah kunjungan ke RS. Semakin negatif persepsi pasien dan keluarga
terhadap pelayanan yang diterima maka motivasi untuk berkunjung ulang juga akan menurun
dan pada akhirnya akan berdampak pada kelangsungan hidup RS.

HOSPITAL MAJAPAHIT
Artikel yang kelima mengenai Hubungan Suami Perokok Dengan Terjadinya Bayi Berat
Badan Lahir Rendah Di RSUD Sidoarjo Yang ditulis oleh Alif Isroaini, dan Nur Saidah,
M.Kes. Tingginya prevalensi perokok di Indonesia tidak hanya berdampak pada peningkatan
infeksi paru-paru dan berbagai jenis kanker namun pengaruh kadar carsinogen dan racun yang
terkandung dalam tembakau dapat berdampak pada rendahnya berat badan bayi pada perokok
pasif. Hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan case control
didapatkan bahwa ada pengaruh kebiasaan merokok dengan berat bayi lahir. Kandungan
karsinogen dan racun pada tembakau dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin,
sehingga berat badan bayi tidak tumbuh dengan sempurna. Sehingga ibu hamil hendaknya
menghindari perokok serta rajin melakukan kunjungan antenatal care untuk memantau
pertumbuhan janinnnya.
Artikel yang keenam ditulis oleh Ana Amalia dan Elyana Mafticha, S.ST yakni Jenis
Persalinan Dengan Skala Nyeri Involusi Uterus Masa Nifas Di RSUD Prof. Dr. Soekandar
Mojosari Mojokerto. Nyeri persalinan merupakan hal yang normal dialami oleh setiap ibu
bersalinm namun banyak ibu yang cenderung menghindari nyeri persalinan dengan
melakukan operasi caesar. Penelitian yang dilakukan pada populasi sebesar 37 orang
menunjukkan hasil bahwa 54,1% responden yang melahirkan dengan cara caesar merasakan
sangat nyeri saat involusi namun dapat dikontrol sedangkan responden yang melahirkan
secara normal tidak merasakan nyeri saat involusi uterus. Nyeri involusi uterus pada
persalinan seksio cesar lebih tinggi daripada persalinan normal,intensitas nyeri involusi uterus
pada persalinan seksio cesar menjadi bertambah karena akibat luka sayat pada uterus terjadi
setelah klien sadar dari narkose dari 24 jam post operasi.
Artikel yang ketujuh ditulis oleh Agus Dwi Rahayu dan Sulisdiana, M.Kes yang berjudul
Hubungan Status Gizi Remaja Putri Dengan Siklus Menstruasi Di MTs Darun Najah Gading
Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto. Artikel ini menjelaskan bahwa status gizi remaja
putri berkaitan erat dengan siklus menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber
Kenanga Jatirejo Mojokerto. Kualitas asupan nutrisi dan gizi mempengaruhi kinerja kelenjar
hipotalamus yang memiliki peran mengendalikan kelancaran siklus haid. Berat badan dan
perubahan berat badan mempengaruhi fungsi menstruasi.
Artikel yang terakhir ditulis oleh Eka diah kartiningrum, Mkes yang menjelaskan tentang
Penggunaan Zero Inflated Poisson Regression Dalam Pemodelan Pengaruh Penolong
Persalinan Dan Pelayanan Nifas Terhadap Angka Kematian Ibu Di Propinsi Jawa Timur
Tahun 2010. Artikel ini membahas bahwa setiap peningkatan 1% cakupan pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak pada penurunan rerata kematian ibu
sebesar 1 orang. Sedangkan setiap peningkatan 1% cakupan pelayanan masa nifas oleh tenaga
kesehatan maka akan berdampak pada peningkatan rerata kematian ibu sebesar 1 orang.
Sedangkan ditinjau dari fungsi logit didapatkan bahwa peningkatan 1% pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak pada penurunan probabilitas
kematian ibu sebanyak 0,5 kali dan peningkatan 1% pelayanan masa nifas oleh tenaga
kesehatan maka akan berdampak pada penurunan probabilitas kematian ibu sebanyak 0,5 kali.
Semua artikel diatas merupakan hasil penelitian civitas akademik Poltekkes Majapahit yang
diharapkan mampu memberikan masukan dan rekomendasi dalam rangka peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan yang pada akhirnya dapat mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Redaksi,

HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4. No. 2, Nopember 2012

ISSN : 2085 - 0204

Kebijakan Editorial dan Pedoman Penulisan Artikel


Kebijakan Editorial
Jurnal Hospital Majapahit diterbitkan oleh Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto secara
berkala (setiap 6 bulan) dengan tujuan untuk menyebarluaskan informasi hasil penelitian,
artikel ilmiah kepada akademisi, mahasiswa, praktisi dan lainnya yang menaruh perhatian
terhadap penelitian-penelitian dalam bidang kesehatan. Lingkup hasil penelitian dan artikel
yang dimuat di Jurnal Hospital Majapahit ini berkaitan dengan pendidikan yang dilakukan oleh
Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto.
Jurnal Hospital Majapahit menerima kiriman artikel yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau
Bahasa Inggris. Penentuan artikel yang dimuat dalam Jurnal Hospital Majapahit dilakukan
melalui proses blind review oleh editor Hospital Majapahit. Hal-hal yang dipertimbangkan
dalam penentuan pemuat artikel, antara lain : terpenuhinya syarat penulisan dalam jurnal
ilmiah, metode penelitian yang digunakan, kontribusi hasil penelitian dan artikel terhadap
perkembangan pendidikan kesehatan. Penulis harus menyatakan bahwa artikel yang dikirim ke
Hospital Majapahit, tidak dikirim atau dipublikasikan dalam majalah atau jurnal ilmiah lainnya.
Editor bertanggung jawab untuk memberikan telaah konstruktif terhadap artikel yang akan
dimuat, dan apabila dipandang perlu editor menyampaikan hasil evaluasi artikel kepada penulis.
Artikel yang diusulkan untuk dimuat dalam jurnal Hospital Majapahit hendaknya mengikuti
pedoman penulisan artikel yang dibuat oleh editor. Artikel dapat dikirim ke editor Jurnal
Hospital Majapahit dengan alamat :

Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto


Jl. Jabon Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363
Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736,
Email : Hospitalmajapahit@yahoo.com

HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4. No. 2, Nopember 2012

ISSN : 2085 - 0204

Pedoman Penulisan Artikel.


Penulisan artikel dalam jurnal kesehatan hospital majapahit yang diharapkan menjadi
pertimbangan penulis.
Format.
1. Artikel diketik dengan spasi ganda pada kertas A4 (210 x 297 mm).
2. Panjang artikel maksimum 7.000 kata dengan Courier atau Times New Roman font 11 12
atau sebanyak 15 sampai dengan 20 halaman.
3. Margin atas, bawah, samping kanan dan samping kiri sekurang kurangnya 1 inchi.
4. Semua halaman sebaiknya diberi nomor urut.
5. Setiap table dan gambar diberi nomor urut, judul yang sesuai dengan isi tabel atau gambar
serta sumber kutipan.
6. Kutipan dalam teks menyebutkan nama belakang (akhir) penulis, tahun, dan nomor
halaman jika dipandang perlu. Contoh :
a. Satu sumber kutipan dengan satu penulis (Rahman, 2003), jika disertai dengan
halaman (Rahman, 2003:36).
b. Satu sumber kutipan dengan dua penulis (David dan Anderson, 1989).
c. Satu sumber kutipan dengan lebih dari satu penulis (David dkk, 1989).
d. Dua sumber kutipan dengan penulis yang sama (David, 1989, 1992), jika tahun
publikasi sama (David, 1989a, 1989b).
e. Sumber kutipan dari satu institusi sebaiknya menyebutkan singkatan atau akronim
yang bersangkutan (BPS, 2007: DIKNAS, 2006).
Isi Tulisan.
Tulisan yang berupa hasil penelitian disusun sebagai berikut :
Abstrak, bagian ini memuat ringkasan artikel atau ringkasan penelitian yang meliputi masalah
penelitian, tujuan, metode, hasil, dan kontribusi hasil penelitian. Abstrak disajikan diawal teks
dan terdiri antara 200 sampai dengan 400 kata (sebaiknya disajikan dalam bahasa inggris).
Abstrak diberi kata kunci (key word) untuk memudahkan penyusunan indeks artikel.
Pendahuluan, menguraikan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi
landasan untuk menjadi hipotesis dan model penelitian.
Kerangka Teoritis, memaparkan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi
landasan untuk mengembangkan hipotesis dan model penelitian.
Metode Penelitian, memuat pendekatan yang digunakan, pengumpulan data, definisi
Dan pengukuran variable serta metode dan teknik analisis data yang digunakan.
Hasil Penelitian, berisi pemaparan data hasil tentang hasil akhir dari proses kerja teknik
analisis data, bentuk akhir bagian ini adalah berupa angka, gambar dan tabel.
Pembahasan, memuat abstraksi peneliti setelah mengkaji hasil penelitian serta teori teori
yang sudah ada dan dijadikan dasar penelitian.

HOSPITAL MAJAPAHIT
Daftar Pustaka, memuat sumber-sumber yang dikutip dalam artikel, hanya sumber yang diacu
saja yang perlu dicantumkan dalam daftar pustaka.
Jurnal :
Berry, L. 1995. Ralationship Marketing of Service Growing Interest, Emerging Perspective.
Journal of the Academy Marketing Science. 23. (4) : 236 245.
Buku :
Asnawi SK dan Wijaya C. 2006. Metodologi Penelitian Keuangan, Prosedur, Ide dan Kontrol.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
Artikel dari Publikasi Elekronik :
Orr. 2002. Leader Should do more than reduce turnover. Canadian HR Reporter. 15, 18,
ABI/INFORM Research. 6 & 14 http://www.proquest.com/pqdauto[06/01/04].
Majalah :
Widiana ME, 2004. Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk Loyalitas
Nasabah pada Bisnis Asuransi. Majalah Ekonomi. Tahun XIV. (3) : 193-209.
Pedoman :
Joreskog and Sorbom. 1996. Prelis 2 : Users Reference Guide, Chicago, SSI International.
Simposium :
Pandey. LM. 2002. Capital Structur and Market Power Interaction : evidence from Malaysia, in
Zamri Ahmad, Ruhani Ali, Subramaniam Pillay. 2002. Procedings for the fourt annual Malaysian
Finance Assiciation Symposium. 31 May-1. Penang. Malaysia.
Paper :
Martinez and De Chernatony L. 2002. The Effect of Brand Extension Strategies Upon Brand
Image. Working Paper. UK : The University of Birmingham.
Undang-Undang & Peraturan Pemerintah :
Widiana ME, 2004. Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk Loyalitas
Nasabah pada Bisnis Asuransi. Majalah Ekonomi. Tahun XIV. (3) : 193-209.
Skripsi, Thesis, Disertasi :
Christianto I. 2008. Penentuan Strategi PT Hero Supermarket Tbk, Khususnya pada Kategori
Supermarket di Kotamadya Jakarta Barat berdasarkan Pendekatan Analisis Konsep Three Stage
Fred R. David (Skripsi). Jakarta : Program Studi Manajemen, Institut Bisnis dan Informatika
Indonesia.
Surat Kabar :
Gito. 26 Mei 2006. Penderes. Perajin Nira Sebagian Kurang Profesional. Kompas: 36 (Kolom 4-5).
Penyerahan Artikel :
Artikel diserahkan dalam bentuk compact disk (CD) dan dua eksemplar cetakan kepada :

Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto


Jl. Jabon Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363
Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736,
Email : Hospitalmajapahit@yahoo.com

HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4. No. 2, Nopember 2012

ISSN : 2085 - 0204

DAFTAR ISI
PENGARUH RANGSANGAN PUTING SUSU TERHADAP PENINGKATAN KONTRAKSI
UTERUS PADA IBU INPARTU KALA II DI POLINDES ANYELIR TUNGGALPAGER
PUNGGING MOJOKERTO ........................................................................................................................................

Aprilia Anggraeni
Nurul Hidayah, M.Kep

Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto


Dosen Politeknik Kesehatan Malang

SIKAP LANJUT USIA TENTANG PERUBAHAN FISIOLOGIS DARI


AKTIFITAS SEKSUAL DI DESA WONOKALANG WONOAYU SIDOARJO ...........
Priyantini

19

Dwi Harini P, Skep.Ns


Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto

TINGKAT NYERI LANSIA DENGAN REMATHOID ARTRITIS YANG


AKTIF DAN TIDAK AKTIF MELAKUKAN SENAM LANSIA DI DESA
TANGGUL KULON KECAMATAN TANGGUL KABUPATEN JEMBER ...................
Bhakti Wahyudianto
Sunyoto, Skep Ns

44

Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto


Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto

TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP DAN KELUARGA PADA


PELAYANAN KEPERAWATAN DI RUMAH SAKIT DKT MOJOKERTO ...............
Asrul Anam
Ika Khusnia, S.Kep.Ns

60

Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto


Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto

HUBUNGAN SUAMI PEROKOK DENGAN TERJADINYA BAYI BERAT


BADAN LAHIR RENDAH DI RSUD SIDOARJO ............................................................................
Alif Isroaini
Nursaidah, Mkes.

81

Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto


Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto

JENIS PERSALINAN DENGAN SKALA NYERI INVOLUSI UTERUS MASA


NIFAS DI RSUD Prof. Dr. SOEKANDAR MOJOSARI MOJOKERTO ...........................
Ana Amalia
Elyana Mafticha, SST.
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto

102

HOSPITAL MAJAPAHIT
HUBUNGAN STATUS GIZI REMAJA PUTRI DENGAN SIKLUS MENSTRUASI
DI MTs DARUN NAJAH GADING DUSUN SUMBER KENANGA JATIREJO
MOJOKERTO ...........................................................................................................................................................
Agus Dwi Rahayu
Sulisdiana, MKes.

122

Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto


Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto

PENGGUNAAN ZERO INFLATED POISSON REGRESSION


DALAM
PEMODELAN PENGARUH PENOLONG PERSALINAN DAN PELAYANAN
NIFAS TERHADAP ANGKA KEMATIAN IBU DI PROPINSI JAWA TIMUR
TAHUN 2010 ................................................................................................................................................................ 153
Eka Diah Kartiningrum, M.Kes
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto

Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto


Jl. Jabon Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363
Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736,
Email : Hospitalmajapahit@yahoo.com

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

PENGARUH RANGSANGAN PUTING SUSU TERHADAP PENINGKATAN


KONTRAKSI UTERUS PADA IBU INPARTU KALA II
DI POLINDES ANYELIR TUNGGALPAGER
PUNGGING MOJOKERTO
Aprilia Anggraeni.1 , Nurul Hidayah, M.Kep.2
1
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit
2
Dosen Politeknik Kesehatan Malang
ABSTRACT
Lack of nipple stimulation treatment is a very influential factor. Phenomenon that usually
occurs in the second stage the mother is less able to push it firmly, it is more common in
primigravid than multigravid mothers. The purpose of this study conducted to determine the
effect of nipple stimulation to increase uterine contractions in pregnant inpartu second stage
can help to increase the intensity of uterine contractions. This research was conducted in a
place Polindes Carnations Tunggalpager Village District Sub Pungging Mojokerto on 23
May to 23 June 2012.
This is an observational research with cross sectional design is an analytical research that
studies the dynamics of the correlation between the effects of risk factors. Independentnya
variable is nipple stimulation and dependentnya variable is the increase in uterine
contractions. Its population is 30 persons Samples taken by 22 persons with Consecutive
Sampling. Primary data collection techniques using observation sheet. Furthermore, the data
analyzed, diinterpresantasikan and presented in the form of a frequency distribution table.
Tested using Fisher exact test.
These results indicate that almost all the respondents have increased kotraksi uterus after the
nipple stimulation (86.3%) while the number of respondents after nipple stimulation did not
have increased had the smallest proportion (13.7%).
After the Test Fisher Exact Probability Test formula obtained 0.01 <pvalue <0.05 the results
obtained 0.01 <0.022 <0.05 so Ho rejected and H1 accepted which means there is the
influence of nipple stimulation to increase uterine contractions in pregnant inpartu second
stage.
The conclusions of this study was no effect relationship nipple stimulation to increase uterine
contractions in pregnant inpartu stage II, and therefore health workers need to do nipple
stimulation is to reduce the Maternal Mortality and Infant Mortality.
Keywords: Stimulation, Nipple Milk, Mom Inpartu Stage II
A. PENDAHULUAN
Persalinan dapat berlangsung dengan baik bila 3P berjalan harmonis artinya
kekuatan His sesuai dengan perjalanan persalinan, power (his dan tenaga meneran),
passanger (janin dan plasentanya) yang besarnya dalam batas normal, dan passage (jalan
lahir) yang tidak terdapat hambatan yang berat sehingga his dapat mengatasinya dengan
baik (Manuaba, 2010 : 385). Kurangnya penanganan stimulasi puting susu merupakan
faktor yang sangat berpengaruh. Fenomena yang biasanya terjadi pada kala II yaitu ibu
kurang bisa mengejan dengan kuat, hal tersebut lebih sering terjadi pada ibu primigravida
daripada multigravida. Dengan adanya fenomena tersebut pengaruh persalinan kala II
mempunyai peranan yang sangat penting, maka dari itu pengaruh stimulasi atau
1

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

rangsangan pada puting susu dapat membantu menambah intensitas ko ntraksi uterus
karena rangsangan reseptor regang ini akan merangsang pelepasan oksitosin dari hipofisis
posterior.
(Bobak, 2005 : 245). Jika kehamilan tergolong sehat, dan tidak mengalami
komplikasi apapun, stimulasi puting susu aman dilakukan. Teknik ini tidak akan
merangsang rahim secara berlebihan, yang mungkin akan berbahaya bagi bayi.
Sebaliknya, jika ibu memiliki kehamilan yang berisiko seperti adanya panggul sempit,
maka stimulasi ini tidak boleh dilakukan pada ibu yang mempunyai panggul sempit
(Anonimity, 2012). Sehingga hasil rangsangan tidak akan membuat janin semakin turun
ke bawah malah bagian terendah bayi akan semakin terdesak ke bawah. His yang
semakin kuat akibat stimulasi tersebut akan meningkatkan kemungkinan terjadinya
rupture uteri dan beresiko pada janin (Sarwono, 2007 : 645).
Penelitian Fraser et al (2002) mengatakan bahwa perangsangan puting susu
mengakibatkan persalinan lebih pendek dengan 60-120 menit
dan penurunan
penggunaan oksitosin, terutama pada ibu nulipara. WHO memperkirakan dengan adanya
stimulasi puting susu menyebabkan sekitar 70 % mengalami peningkatan kontraksi uterus
setelah dilakukan stimulasi puting susu. Sedangkan kurangnya penanganan gerakan
putar-putar puting susu sekitar 30% yang tidak mengalami peningkatan kontraksi
(Anonimity, 2005). Berdasarkan survey demografi dan kesehatan indonesia (SDKI)
2002/2003 disebutkan bahwa proses persalinan yg melalui stimulasi puting susu sebesar
750/1000 ibu bersalin, adapun penyebab tingginya angka kematian pada ibu bersalin
yakni tidak adanya rangsangan puting susu pada saat ibu melahirkan yang mencapai 25%
di indonesia. Dinas Kesehatan Jawa Timur tahun 2010, melaporkan adanya peningkatan
karena rangsangan puting susu sebesar 13 orang atau 280/100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2008, 19 orang atau 278/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2009 dan 29 orang
atau 380/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010. Studi pendahuluan yang dilakukan di
Polindes Anyelir Desa Tunggalpager Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto pada
tanggal 3-10 April 2012 terdapat 8 ibu bersalin, dan diberi pengamatan awal terlebih
dahulu sebelum diberikan stimulasi puting susu. Dari hasil pengamatan terdapat 3
(37,5%) ibu bersalin yang kontraksinya kuat, 4 (50%) ibu bersalin yang kontraksinya
sedang, dan 1 (12,5%) ibu bersalin yang kontraksinya lemah. Setelah itu diberikan
tindakan stimulasi puting susu kemudian dilakukan pengamatan akhir dan hasilnya
terjadi peningkatan lama waktu kontraksi sekitar 75% dan 25% ibu tidak mengalami
peningkatan.
Kejadian di lapangan membuktikan bahwa kebanyakan stimulasi puting susu
dilakukan jika terdapat indikasi seperti cara mengejan ibu bersalin yang kurang kuat
dengan adanya kejadian seperti itu rangsangan puting susu baru dilakukan agar dapat
menambah intensitas kontraksi uterus sehingga kepala bayi dapat semakin turun ke
bawah kemudian persalinan dapat berlangsung lebih cepat dan mengurangi angka
kematian ibu. Rangsangan puting susu dapat dilakukan dengan cara mengusap-usap salah
satu puting ibu melalui bajunya selama 2 menit atau sampai kontraksi muncul kemudian
mengulangi tindakannya setelah 5 menit jika stimulasi puting pertama belum memicu tiga
kali kontraksi dalam 10 menit. Setelah itu rangsangan puting susu dilakukan dan hasilnya
terjadi peningkatan lama waktu kontraksi. Dari hasil kejadian itu kemudian peneliti
2

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

tertarik mengambil masalah tersebut karena berdasarkan teori, stimulasi puting susu akan
menyebabkan ereksi dan ujung saraf peraba yang terdapat pada puting susu akan
terangsang. Rangsangan tersebut oleh serabut afferent dibawa ke hipotalamus di dasar
otak, lalu memicu hipofise anterior untuk mengeluarkan hormon prolaktin ke dalam
darah. Hormon prolaktin ini fungsinya untuk meningkatkan produksi susu (Weni, 2009 :
6). Stimulasi ini juga akan merangsang hipotalamus untuk melepas oksitosin dari
hipofisis posterior. Stimulasi Oksitosin membuat sel-sel mioepitel di sekitar alveoli di
dalam kelenjar mamae dan berkontraksi sehingga peningkatan konraksi uterus mulai
terbentuk (Bobak, 2005 : 462).
Upaya Untuk meningkatkan pengetahuan bagi bidan tentang stimulasi puting susu
yang dapat meningkatkan kontraksi uterus dapat dilakukan dengan seminar atau sharing
antar sesama tenaga kesehatan kemudian peran bidan sebagai pendidik dapat diberikan
melalui penyuluhan-penyuluhan seperti pemberian leaflet dan konseling pada ibu hamil
atau ibu bersalin sehingga pada waktu yang akan datang diharapkan ibu tersebut dapat
mengetahui fungsi dan kegunaan dari stimulasi puting susu yang berpengaruh pada
peningkatan kontraksi sehingga uterus mengalami ketegangan dengan kontraksi yang
paling nyeri maka indikasinya efektifitas stimulasi puting susu sangat berperan penting
dalam membantu proses kelahiran. Bidan juga dapat termotivasi untuk memahami dan
menerapkan pada setiap persalinan yang normal. Begitu juga untuk mengurangi
terjadinya kontraksi yang kurang adekuat yang ditimbulkan akibat tidak adanya stimulasi
puting susu (IBI, 2006 : 121). Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik
untuk mengadakan penelitian dengan judul Pengaruh rangsangan puting susu terhadap
peningkatan kontraksi uterus pada ibu inpartu kala II di Polindes Anyelir Desa
Tunggalpager Kec. Pungging Kabupaten Mojokerto.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep dasar persalinan.
a. Definisi persalinan.
Persalinan adalah pembukaan serviks yang progresif, dilatasi, atau
keduanya akibat kontraksi rahim teratur yang terjadi sekurang-kurangnya setiap
5 menit dan berlangsung sampai 60 detik (Lailiyana, 2011 : 1).
Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban keluar
dari uterus ibu. Persalinan dianggap normal jika prosesnya terjadi terjadi pada
usia kehamilan cukup bulan (setelah 37 minggu) tanpa disertai adanya penyulit.
Persalinan juga dapat diartikan sejak uterus berkontraksi dan menyebabkan
perubahan pada serviks (membuka dan menipis) dan berakhir dengan lahirnya
plasenta secara lengkap (APN, 2008 : 37).
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat
hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar (Sarwono, 2007 : 180).
Persalinan adalah proses pergerakan keluar janin, plasenta, dan membran
dari dalam rahim melalui jalan lahir. (Bobak, 2005 : 245).
Persalinan adalah proses multifaset, kompleks karena kejadian psikologis
dan fisiologis saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan (Chapman, 2006 : 88).
Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan plasenta)
yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir

HOSPITAL MAJAPAHIT

b.

c.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

atau melalui jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan yang dapat diartikan
menggunakan kekuatan sendiri. Bentuk persalinan dibagi tiga yaitu :
1) Persalinan spontan : bila persalinan seluruhnya berlangsung dengan
kekuatan ibu sendiri.
2) Persalinan buatan : bila proses persalinan dengan bantuan tenaga dari luar.
3) Persalinan anjuran atau partus presipitatus.
(Manuaba, 2010 : 164)
Tanda-tanda persalinan semakin dekat.
1) Terjadi lightening.
Menjelang minggu ke-36, pada primigravida terjadi penurunan fundus
uteri karena kepala bayi sudah masuk pintu atas panggul yang disebabkan
oleh kontraksi Braxton Hicks, ketegangan dinding perut, ketegangan
ligamentum rotundum, gaya berat janin dimana kepala ke arah bawah.
Masuknya kepala bayi ke pintu atas panggul dirasakan ibu hamil sebagai
terasa ringan di bagian atas, rasa sesaknya berkurang, di bagian bawah
terasa sesak, terjadi kesulitan saat berjalan, dan sering berkemih. Gambaran
lightening pada primigravida menunjukkan hubungan normal antara ketiga
P yaitu power (kekuatan His), passage (jalan lahir normal), dan passanger
(janinnya dan plasenta). Pada multipara gambarannya tidak jelas karena
kepala janin baru masuk pintu atas panggul menjelang persalinan.
2) Terjadi His Permulaan.
Pada saat hamil muda sering terjadi kontraksi Braxton Hicks.
Kontraksi ini dapat dikemukakan sebagai keluhan, karena dirasakan sakit
dan mengganggu. Kontraksi Braxton Hicks terjadi karena perubahan
keseimbangan estrogen, progesteron, dan memberikan kesempatan
rangsangan oksitosin. Dengan makin tua usia kehamilan, pengeluaran
estrogen dan progesteron makin berkurang, sehingga oksitosin dapat
menimbulkan kontraksi yang lebih sering sebagai his palsu. Sifat his
permulaan (palsu) adalah rasa nyeri ringan di bagian bawah, datangnya
tidak teratur, tidak ada perubahan pada serviks atau pembawa tanda,
durasinya pendek, dan tidak bertambah bila beraktifitas (Manuaba, 2010 :
172).
Pembagian kala dalam persalinan.
1) Kala I.
Kala I adalah kala pembukaan yang berlangsung antara pembukaan
nol sampai pembukaan lengkap. Pada permulaan His, kala pembukaan
berlangsung tidak begitu kuat sehingga pasien masih dapat berjalan-jalan.
Lamanya kala satu untuk primigravida berlangsung 12 jam sedangkan
multigravida sekitar 8 jam. Berdasarkan hasil perhitungan pembukaan
primigravida 1 cm/jam dan pembukaan multigravida 2 cm/jam. Dengan
perhitungan tersebut maka waktu pembukaan lengkap dapat diperkirakan
(Manuaba, 2010 : 173).
Dikarenakan His yang semakin lama semakin bertambah kuat,
tindakan yang perlu dilakukan adalah :
a) Memperhatikan kesabaran pasien.
b) Melakukan pemeriksaan tekanan darah, nadi, temperatur, dan
pernapasan berkala sekitar 2 sampai 3 jam.
c) Pemeriksaan denyut jantung janin setiap sampai 1 jam.
d) Memperhatikan keadaan kandung kemih agar selalu kosong.

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

e)

Memperhatikan keadaan patologis (meningkatnya lingkaran Bandle,


ketuban pecah sebelum waktu atau disertai bagian ja nin yang
menumbung, perubahan denyut jantung janin, pengeluaran mekonium
pada letak kepala, keadaan His yang bersifat patologis, perubahan
posisi atau penurununan bagian terendah janin).
f) Pasien tidak diperkenankan mengejan.
(Manuaba, 2010 : 184)
2) Kala II.
Gejala utama kala II adalah :
a) His semakin sering dan kuat , dengan interval 2 sampai 3 menit,
dengan durasi 50 sampai 100 detik.
b) Menjelang akhir kala I, ketuban pecah dan ditandai dengan pengeluaran
cairan secara mendadak.
c) Ketuban pecah pada pembukaan mendekati lengkap diikuti keinginan
mengejan.
d) Kedua kekuatan, His dan mengejan lebih mendorong kepala bayi
sehingga terjadi kepala membuka pintu, sub oksiput bertindak sebagai
hipomoglion berturut-turut lahir ubun-ubun besar, dahi, hidung, muka
dan kepala seluruhnya.
e) Kepala lahir seluruhnya dan diikuti oleh putar paksi luar, yaitu
penyesuaian kepala terhadap punggung.
f) Setelah putar paksi luar berlangsung, maka persalinan bayi ditolong
dengan jalan : kepala dipegang pada os oksiput dan di bawah dagu,
ditarik curam ke bawah untuk melahirkan bahu depan, dan curam ke
atas untuk melahirkan bahu belakang, setelah kedua bahu lahir ketika
dikait untuk melahirkan sisa badan bayi, bayi lahir diikuti oleh sisa air
ketuban.
g) Lamanya kala II untuk primigravida 1 - 1 jam, pada multi - 1jam.
(Manuaba, 2010 : 173)
3) Kala III.
Kala III disini tebagi dalam dua tahap pada kelahiran plasenta yaitu,
terlepasnya plasenta dari implantasinya pada dinding uterus dan pengeluaran
plasenta dari dalam kavum uteri. Setelah bayi lahir uterus masih
mengadakan kontraksi yang mengakibatkan penciutan permukaan kavum
uteri tempat implantasi plasenta. Oleh karena tempat implantasi plasenta
menjadi semakin kecil, sedangkan ukuran plasenta tidak berubah, maka
plasenta akan menekuk, menebal kemudian dilepaskan dari dinding uterus.
Setelah lepas, plasenta akan turun ke bagian bawah uterus atau bagian atas
vagina. Lepasnya plasenta sudah dapat diperkirakan dengan memperhatikan
tanda-tanda : uterus menjadi bundar, uterus terdorong ke atas karena
plasenta dilepas ke segmen bawah rahim, tali pusat bertambah panjang,
terjadi perdarahan. Melahirkan plasenta dilakukan dengan dorongan ringan
secara Crede pada fundus uteri (Manuaba, 2010 : 174).
4) Kala IV.
Kala IV dimaksudkan untuk melakukan observasi karena perdarahan
post partum paling sering terjadi pada 2 jam pertama. Oleh sebab itu
pemantauan yang cermat selama 2 jam post partum sangat penting.
Observasi yang dilakukan meliputi :
a) Tekanan Darah. Tekanan darah yang normal adalah <140/90 mmHg.
Sebagian wanita mempunyai tekanan darah 90/60 mmHg. Jika denyut
5

HOSPITAL MAJAPAHIT

2.

3.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

nadi normal, tekanan darah yang rendah seperti ini tidak menjadi
masalah. Akan tetapi jika tekanan darah <90/60 mmHg dan nadinya
adalah >100x/menit mengidentifikasi adanya masalah.
b) Suhu. Suhu tubuh yang normal adalah <38C. Jika suhunya >38C,
maka harus mengumpulkan data-data lain untuk memungkinkan
identifikasi masalah. Suhu yang tinggi bisa dikarenakan dehidrasi pada
saat persalinan yang lama, tidak cukup minum atau infeksi.
c) Kontraksi Uterus dan Tinggi Fundus Uteri. Kontraksi uterus yang baik
adalah teraba keras. Tinggi fundus yang normal segera setelah
persalinan adalah kira-kira setinggi umbilikus. Tetapi jika ibu tersebut
berkali kali melahirkan anak, atau jika anaknya kembar atau bayi besar,
maka tinggi fundus yang normal adalah di atas umblikus.
d) Perdarahan. Perdarahan yang normal setelah kelahiran sebanyak satu
pembalut wanita per jam selama enam jam pertama atau seperti darah
haid yang banyak.
e) Kandung Kemih. Kandung kemih setelah proses persalinan diusahakan
harus kosong karena jika kandung kemih penuh dengan air seni, uterus
tidak dapat berkontraksi dengan baik.jika uterus naik di dalam abdomen
dan tergeser ke samping hal ini biasanyamerupakan tanda kandung
kemih penuh.
(Lailiyana, 2011 : 84)
Konsep Dasar Ibu Inpartu.
a. Definisi Inpartu.
Inpartu adalah seorang wanita yang sedang dalam keadaan persalinan
(Sarwono, 2007 : 180).
b. Tanda dan gejala inpartu.
1) Kekuatan His makin sering terjadi dan teratur dengan jarak kontraksi yang
semakin pendek. His persalinan mempunyai ciri khas pinggang terasa nyeri
yang menjalar ke depan, sifatnya teratur, interval makin pendek, dan
kekuatannya makin besar, mempunyai pengaruh terhadap perubahan
serviks, makin beraktifitas (jalan) kekuatan makin bertambah.
2) Dapat terjadi pengeluaran pembawa tanda (pengeluaran lendir, lendir
bercampur darah). Dengan His persalinan terjadi perubahan pada serviks
yang menimbulkan pendataran dan pembukaan. Pembukaan menyebabkan
lendir yang terdapat pada kanalis servikalis lepas. Terjadi perdarahan karena
kapiler pembuluh darah pecah.
3) Pengeluaran cairan. Pada beberapa kasus terjadi ketuban pecah yang
menimbulkan pengeluaran cairan. Sebagian besar ketuban baru pecah
menjelang pembukaan lengkap. Dengan pecahnya ketuban diharapkan
persalinan berlangsung dalam 24 jam.
4) Pada pemeriksaan dalam, dijumpai perubahan serviks seperti perlunakan
serviks, pendataran serviks, terjadi pembukaan serviks.
(Manuaba, 2010 : 169-173)
Konsep Dasar Kontraksi Uterus.
a. Definisi Kontraksi.
Kontraksi adalah salah satu kekuatan pada ibu yang menyebabkan serviks
membuka dan mendorong janin kebawah (Sarwono, 2007 : 188).
Kontraksi adalah gerakan memendek dan menebal otot-otot rahim yang
terjadi untuk sementara (Farer, 2005 : 119).

HOSPITAL MAJAPAHIT
b.

c.

d.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Kriteria tingkatan kontraksi.


Menurut Bobak ( 2005 ) ada 3 tingkatan kontraksi, yaitu:
1) Kontraksi Lemah. Lama kontraksi < 20 detik, itensitas sedikit tegang dan
mudah membentuk lekukan jika di tekan dengan ujung jari-jari.
2) Kontraksi Sedang. Lama kontraksi 20-40 detik, intensitas keras dan sulit
membentuk lekukan jika di tekan dengan ujung-ujung jari.
3) Kontraksi Kuat. Lama kontraksi > 40 detik, itensitas kaku hampir tidak
membentuk lekukan jika di tekan dengan ujung-ujung jari.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada kontraksi persalinan.
Perubahan keseimbangan estrogen dan progesteron menyababkan
oksitosin yang dikeluarkan oleh hipofisis posterior, menimbulkan kontraksi yang
kekuatannya menjadi dominan saat mulainya persalinan. Tetapi terjadinya
persalinan itu sendiri belum di ketahui dengan pasti terjad inya. Sehingga timbul
beberapa teori yang berkaitan dengan mulai terjadinya kekuatan kontraksi.
1) Teori Keregangan. Otot rahim mempunyai kemampuan meregang dalam
batas tertentu. Setelah melewati batas tersebut terjadi kontraksi sehingga
persalinan dapat dimulai. Misalnya, pada hamil ganda sering terjadi
kontraksi setelah keregangan tertentu, sehingga memicu proses persalinan.
2) Teori Penurunan Progesteron. Proses penuaan plasenta mulai terjadi pada
usia kehamilan 28 minggu, ketika terjadi penimbunan jaringan ikat,
pembuluh darah mengalami penyempitan dan buntu. Produksi progesteron
mengalami penurunan, sehingga otot rahim lebih sensitif terhadap oksitosin.
Akibatnya otot rahim mulai berkontraksi setelah penurunan progesteron
pada tingkat tertentu.
3) Teori Oksitosin Internal. Penurunan konsentrasi progesteron akibat usia
kehamilan, aktifitas oksitosin dapat meningkat, sehingga persalinan mulai
terjadi.
4) Teori Prostaglandin. Pemberian prostaglandin saat kehamilan dapat
menimbulkan kontraksi otot rahim sehingga hasil konsepsi dikeluarkan.
5) Teori Hipotalamus-hipofisis dan Glandula Suprarenalis. Pada percobaan
Linggin menunjukan pada kehamilan dengan Anensefalus sering terjadi
kelambatan persalinan karena tidak terbentuk hipotalamus, sehingga
disimpulkan ada hubungan antara hipotalamus dengan persalinan.
(Lailiyana, 2011 : 1-3)
Faktor-faktor Penyebab Kontraksi Uterus Melemah pada Kala II Persalinan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kontraksi melemah pada kala II
persalinan Menurut Chapman (2006).
1) Respons Stres. Stres Psikologi memiliki efek fisik kuat pada persalinan.
Hormon stres, seperti adrenalin berinteraksi dengan reseptor beta di dalam
otot uterus dan menghambat kontraksi, memperlambat persalinan.
2) Faktor Imobilitas. Immobilitas atau posisi terlentang memiliki berbagai efek
samping. Oleh karena itu mobilisasi umum atau posisi tegak dan sering
berganti posisi dapat membantu kontraksi yng buruk. Berjalan-jalan setiap
20 menit atau lebih merupakan intervensi sederhana.
3) Puasa Ketat. Beberapa klinis merekomendasikan puasa dalam persalinan
karena kekhawatiran mengenai bahaya aspirasi lambung. Puasa ketat pada
persalinan dapat mengakibatkan persalinan lama, diagnosis distosia, dan
sederetan intervensi yang berkulminasi.

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

e.

4.

Upaya-upaya meningkatkan kontraksi uterus pada kala II persalinan.


1) Nonfarmakologis.
a) Rangsangan Puting Susu. Upaya yang paling sering dilakukan untuk
meningkatkan kontraksi pada kala II persalinan adalah rangsangan
puting susu, ibu atau pasangannya dapat menggosok satu atau kedua
puting susu karena akan meningkatkan kontraksi uterus dengan
rangsangan oksitosin alamiah.
b) Mobilisasi dan Perubahan Posisi. Mobilisasi meningkatkan
kontraktilitas uterus, maupun pemendekan persalinan. Postur tegak
menyebabkan perbaikan kesegarisan tulang pelvis, sehingga
mengoptimalkan kesempatan pas antara bayi dan pelvis.
c) Dukungan. Kehadiran kontinyu dan dukungan verbal dari bidan
merupakan cara tidak terlihat terhadap sterss dan dapat membantu ibu
melakukan coping pada persalinan dan terbukti mengurangi lamanya
persalinan.
d) Sentuhan Kenyamanan. Menggosok punggung, memegang tangan dan
sebagainya dapat meningkatkan produksi oksitosin endogen sehingga
menstimulasi kontraksi uterus. Memijat leher dan bahu ibu, kaki atau
pinggang atau menasehati pasangan dengan berdekatan dan saling
berpegangan.
e) Kompres Hangat Pada Fundus. Panas yang diberikan lokal dalam
bentuk botol air hangat yang diletakkan pada fundus ternyata dapat
meningkatkan aktifitas uterus. Kompres air hangat juga bisa digunakan.
f) Hidroterapi. Ibu yang tampak tegang atau cemas dapat memperoleh
manfaat dengan beristirahat dalam privasi berendam air hangat yang
merelakskan.
(Chapman, 2006 : 99-100)
2) Farmakologis.
a) Pemberian Oksitosin Intramuscular (IM). Penggunaan Oksitosin
Intramuscular sebelum kelahiran terjadi sangat mungkin menjadi begitu
sensitif terhadap oksitosin.
b) Pemberian Oksitosin Infus/Intravena (IV). Oksitosin hendaknya tidak
diberikan secara intravena dalam bolus dengan dosis tinggi tetapi lebih
baik sabagai larutan yang jauh lebih encer dengan infus intravena
continue.
(Kenneth, 2005 : 352)
Konsep Dasar Payudara.
a. Anatomi Payudara.
Payudara dapat disebut juga sebagai alat reproduksi tambahan. Setiap
Payudara terletak pada setiap sisi sternum dan meluas setinggi antara costa
kedua dan keenam. Payudara terletak pada fascia superficialis dinding rongga
dada di atas musculus pectoralis major dan dibuat stabil oleh ligamentum
suspensorium. Ukuran payudara untuk masing- masing individu berbeda, juga
bergantung pada stadium perkembangan dan umur (Sylvia, 2003 : 1). Ukuran
normalnya 10-12 cm dengan beratnya pada wanita hamil adalah 200 gram, pada
wanita hamil aterm 400-600 gram dan pada masa laktasi sekitar 600-800 gram.
Payudara akan menjadi lebih besar saat hamil dan menyusui dan biasanya
mengecil setelah menopause. Pembesaran ini terutama disebabkan oleh
pertumbuhan struma jaringan penyangga dan penimbunan jaringan lemak.
Struktur payudara wanita terdiri dari tiga bagian yaitu kulit, jaringan sub cutan
8

HOSPITAL MAJAPAHIT

5.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

(jaringan bawah kulit), dan corpus mammae. Bagian-bagian utama payudara


yang perlu diketahui dibagi menjadi 3 macam yaitu korpus (badan), areola,
papilla atau puting (Weni, 2009 : 2).
b. Definisi puting susu.
Puting susu merupakan suatu tonjolan dengan panjang kira-kira 6mm,
tersusun atas jaringan erektil berpigmen dan merupakan bangunan yang sangat
peka. Permukaan papila mamae belubang- lubang berupa ostium papilarre kecilkecil yang merupakan muara ductus lactiferus (Sylvia, 2003 : 1).
Puting susu biasanya mempunyai warna dan tekstur yang berbeda dari
kulit sekelilingnya., warna yang kegelapan itu disebabkan oleh penipisan dan
penimbunan pigmen pada kulitnya. Perubahan warna ini tergantung dari corak
kulit dan adanya kehamilan. Pada wanita yang corak kulitnya kuning langsat
akan berwarna jingga kemerahan, bila kulitnya kehitaman maka warnanya akan
lebih gelap dan kemudian menetap (Weni, 2009 : 2).
Konsep Dasar Rangsangan Puting Susu.
Ada banyak cara melakukan rangsangan untuk persalinan, salah satunya
adalah dengan metode stimulasi puting susu, yaitu perangsangan dengan cara
memilin- milin puting susu ibu sesaat menjelang proses persalinan. Stimulasi atau
rangsangan pada puting susu dapat menambah intensitas kontraksi uterus karena
rangsangan reseptor regang ini akan merangsang pelepasan oks itosin dari hipofisis
posterior (Bobak, 2005 : 245).
Stimulasi puting susu akan menyebabkan ereksi dan ujung saraf peraba yang
terdapat pada puting susu akan terangsang. Rangsangan tersebut oleh serabut afferent
dibawa ke hipotalamus di dasar otak, lalu memicu hipofise anterior untuk
mengeluarkan hormon prolaktin ke dalam darah. Hormon prolaktin ini fungsinya
untuk meningkatkan produksi susu (Weni, 2009 : 6). Stimulasi ini juga akan
merangsang hipotalamus untuk melepas oksitosin dari hipofisis posterior. Stimulasi
Oksitosin membuat sel-sel mioepitel di sekitar alveoli di dalam kelenjar mamae dan
berkontraksi (Bobak, 2005 : 462). Oleh karena itu lubang- lubang kecil yang berada
di sekitar puting susu merupakan muara dari duktus lactiferus, ujung-ujung serat otot
polos yang tersusun secara sirkuler sehingga bila ada kontraksi maka duktus
laktiferus akan memadat dan menyebabkan puting susu ereksi (Weni, 2009 : 4). Uji
Stimulasi puting juga dilakukan oleh wanita dengan mengusap-usap salah satu
putingnya melalui bajunya selama 2 menit atau sampai kontraksi muncul kemudian
mengulangi tindakannya setelah 5 menit jika stimulasi puting pertama belum
memicu 3x kontraksi dalam 10 menit (Kenneth, 2004 : 130).

C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian.
Jenis penelitian dan rancang bangun yang digunakan adalah rancangan
penelitian eksperimental dan jenisnya pra-eksperimental (pretest-post test design)
yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara memberikan pre-test (pengamatan awal)
terlebih dahulu sebelum diberikan intervensi, setelah itu diberikan intervensi,
kemudian dilakukan post-test (pengamatan akhir). Dikumpulkan secara cross
sectional yaitu suatu penelitian analitik yang mempelajari dinamika korelasi antara
faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data
sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2010 : 41).

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Kerangka Kerja
Rangsangan Puting Susu

a.
b.
c.
d.
e.

Peningkatan Kontraksi Uterus

Nonfarmakologis :
Mobilisasi dan Perubahan Posisi
Dukungan
Sentuhan Kenyamanan
Kompres Hangat Pada Fundus
Hidroterapi

Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
Gambar 1. Kerangka Kerja Pengaruh Rangsangan Puting Susu Terhadap
Peningkatan Kontraksi Uterus Pada Ibu Inpartu Kala II.
2.

3.

Hipotesis Penelitian.
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah hipotesis alternatif (H1)
yaitu adanya pengaruh rangsangan puting susu dengan peningkatan kontraksi uterus
pada ibu inpartu kala II.
Variabel dan Definisi Operasional.
a. Jenis Variabel Penelitian.
Dalam penelitian ini variabel independennya adalah rangsangan puting
susu, sedangkan variabel dependennya adalah peningkatan kontraksi uterus pada
ibu inpartu kala II.
b. Definisi Operasional.
Tabel 1. Definisi Ope rasional Pengaruh Rangsangan Puting Susu
Terhadap Peningkatan Kontraksi Uterus Pada Ibu Inpartu Kala
II
Variabel
Variabel
Independen :
Rangsangan
puting susu

Definisi Operasional
Rangsangan puting
susu pada ibu inpartu
oleh peneliti, diukur
dengan menggunakan
lembar observasi.

Krite ria
Skala
1. Sebelum dilakukan
Nominal
rangsangan puting susu.
2. Sesudah dilakukan
rangsangan puting susu.
(Bobak, 2005 : 311)

Variabel
Dependen :
Peningkatan
kontraksi
uterus pada
ibu inpartu
kala II

Peningkatan kontraksi
uterus karena adanya
rangsangan puting
susu, diukur dengan
menggunakan lembar
observasi

1. Meningkat :
jika kriteria lemah
menjadi sedang dan
sedang menjadi kuat
ataupun masih tetap
dalam kontraksi lemah,
sedang, kuat tetapi
lama waktu
kontraksinya
meningkat.

10

Nominal

HOSPITAL MAJAPAHIT
Variabel

Vol 4 No. 2 Nopember 2012


Definisi Operasional

Krite ria

Skala

2. Tidak Meningkat :
tidak mengalami
kenaikan kriteria
(lemah, sedang, kuat)
ataupun tidak
meningkatnya lama
waktu kontraksi
1. Kontraksi Lemah
a. Lama < 20 detik
b. Abdomen Intensitas
lemah sedikit tegang
dan mudah
membentuk lekukan
jika ditekan dengan
ujung- ujung jari.
2. Kontraksi Sedang
a. Lama 20-40 detik
b. Abdomen Intensitas
keras dan sulit
membentuk lekukan
jika ditekan dengan
ujung- ujung jari.
3. Kontraksi Kuat
a. Lama > 40 detik
b. Abdomen Intensitas
kaku hampir tidak
membentuk lekukan
jika ditekan dengan
ujung- ujung jari.
(Bobak, 2005 : 311)
4.

Populasi, Sampel, Teknik dan Instrumen Penelitian.


Penelitian dilakukan pada bulan 23 Mei 2012 23 Juni 2012 di di Polindes
Anyelir Desa Tunggalpager Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto. Populasi
dalam penelitian ini adalah 30 ibu inpartu di Polindes Anyelir Desa Tunggalpager
Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto, sedangkan sampel yang digunakan
yaitu 22 ibu inpartu di Polindes Anyelir Desa Tunggalpager Kecamatan Pungging
Kabupaten Mojokerto yang seu. Pada penelitian ini teknik sampling yang digunakan
adalah teknik non probability sampling yaitu consecutive sampling. Sampel pada
penelitian ini diambil dengan memperhatikan :
1. Kriteria inklusi.
a. Bersedia menjadi responden.
b. Ibu bersalin dengan persalinan normal.
c. Ibu yang bersalin dalam kala II.
2. Kriteria Eksklusi.
a. Ibu bersalin dengan tindakan.
b. Ibu bersalin dalam kala 1,3,4 persalinan.
11

HOSPITAL MAJAPAHIT

5.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data
primer sedangkan yang digunakan adalah observasi yaitu cara pengumpulan data
dengan mengadakan pengamatan secara langsung kepada responden, untuk mencari
perubahan suatu alat hal- hal yang diteliti dengan menggunakan instrumen penelitian
lembar observasi penelitian (Hidayat, 2007 : 87).
Teknik Pengolahan dan Analisis Data.
a. Teknik Pengolahan Data.
Setelah data terkumpul dilakukan pengolahan data dengan tahap-tahap
sebagai berikut :
1) Editing Data
Editing data bertujuan untuk meneliti kembali isian kesioner, dan halhal yang harus diperhatikan dalam mengedit adalah kelengkapan jawaban,
keterbatasan tulisan, kesesuaian jawaban, keseragaman, satuan ukuran.
2) Coding
Coding adalah usaha mengklarifikasi jawaban yang ada menurut
macamnya dengan memberi kode angka yaitu :
a) Umum
Umur
< 20 th
Kode 1
20 35 th
Kode 2
> 35 th
Kode 3
Paritas
Primigravida
Kode 1
Multigravida
Kode 2
b) Khusus
Kontraksi
Meningkat
Kode 1
Tidak Meningkat Kode 2
3) Tabulating
Yaitu dengan menyusun data dalam bentuk tabel-tabel untuk
mengetahui pengaruh dihitung dengan menggunakan tabel distribusi
frekuensi dalam bentuk prosentase.
100%
= Seluruhnya
76-99%
= Hampir Seluruhnya
51-75%
= Sebagian Besar
50%
= Setengahnya
26-49%
= Hampir Setengahnya
1-25%
= Sebagian Kecil
0%
= Tidak Satupun
(Arikunto, 2008)
b. Analisis Data.
1) Analisis Univariat.
a) Analisis Rangsangan puting susu.
Sebelum rangsangan puting susu.
Sesudah rangsangan puting susu.
b) Analisis peningkatan kontraksi uterus pada ibu inpartu kala II.
Meningkat
: Jika kriteria lemah menjadi sedang dan sedang
menjadi kuat ataupun masih tetap dalam kontraksi lemah, sedang, kuat
tetapi lama waktu kontraksinya meningkat.
Tidak Meningkat : Tidak mengalami kenaikan kriteria (lemah, sedang,
kuat) ataupun tidak meningkatnya lama waktu kontraksi.

12

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

2) Analisis Bivariat.
Kemudian data tersebut dilanjutkan dengan analisis data antar variabel
independent dan variabel dependent dengan menggunakan Fisher Exact
Probability Test yang dapat digunakan untuk mengetahui gambaran
mengenai interaksi antara variabel- variabel yang sedang menjadi pusat
perhatian dengan membandingkan Pvalue dan signifikansi ( = 0,05 ) jika :
a) 0,01 < p < 0,05 maka Ho ditolak artinya signifikan.
b) Pvalue > 0,05 maka Ho diterima artinya tidak signifikan.
Rumus Fisher Exact Probability Test :
P = (a+b)! (c+d)! (a+c)! (b+d)!
N! a! b! c! d!
D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Polindes Anyelir Desa Tunggalpager Kec. Pungging Kabupaten Mojokerto
terletak 20 km dari pusat kota dan 5 km dari puskesmas pungging. Terdiri dari 1
lantai terbagi menjadi beberapa ruangan antara lain : 1 ruang periksa, 1 ruang
bersalin, 3 tempat tidur, 1 box bayi, 1 tempat tidur dengan batas wilayah sebelah
utara berbatasan dengan desa Panggreman, sebelah timur berbatasan dengan desa
Bedagas, sebelah selatan berbatasan desa Wonogiri, dan sebelah barat desa Pekojo.
Daerah tersebut mudah dijangkau dengan roda dua maupun empat. Kegiatan di
Polindes Anyelir ini meliputi : Upaya kesehatan keluarga, pemeriksaan ibu hamil,
imunisasi, persalinan, KB, ibu nifas, kesehatan reproduksi, dll.
2. Data Umum.
a. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di Polindes
Anyelir Desa Tunggalpager Kecamatan Pungging Kabupaten
Mojokerto 23 Mei-23 Juni 2012.
No.
Umur
Frekuensi (f) Persentase (%)
1.
< 20 tahun
2
9,1
2.
20-35 tahun
18
81,8
3.
> 35 tahun
2
9,1
Jumlah
22
100
Tabel 2 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden berusia 2035
tahun yaitu (81,8%) sedangkan responden yang berusia lebih dari 35 tahun dan
kurang dari 20 tahun mempunyai proporsi sama yaitu (9,1%).
b. Karakteristik Responden Berdasarkan Paritas.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Partitas di
Polindes Anyelir Desa Tunggalpager Kecamatan Pungging
Kabupate n Mojokerto 23 Mei-23 Juni 2012.
No.
Paritas
Frekuensi (f) Persentase (%)
1.
Primigravida
12
54,5
2.
Multigravida
10
45,5
Jumlah
22
100
Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dengan paritas
primigravida yaitu (54,5%) sedangkan responden dengan paritas multigravida
yaitu (45,5%).

13

HOSPITAL MAJAPAHIT
3.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Data Khusus.
a. Kontraksi Uterus Sebelum Dilakukan Rangsangan Puting Susu.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kontraksi Ute rus Sebelum Dilakukan
Rangsangan Puting Susu di Polindes Anyelir Desa Tunggalpager
Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto 23 Mei-23 Juni
2012.
No.
Kontraksi Uterus
Frekuensi (f) Persentase (%)
1.
Meningkat
10
45,5
2.
Tidak Meningkat
12
54,5
Jumlah
22
100
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden sebelum dilakukan
stimulasi puting susu kontraksi uterusnya tidak meningkat yaitu (54,5%)
sedangkan responden yang kontraksi uterusnya meningkat sebelum dilakukan
stimulasi puting susu yaitu (45,5%).
b. Kontraksi Uterus Setelah Dilakukan Rangsangan Puting Susu.
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kontraksi Uterus Setelah Dilakukan
Rangsangan Puting Susu di Polindes Anyelir Desa Tunggalpager
Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto 23 Mei-23 Juni
2012.
No.
Kontraksi Uterus
Frekuensi (f) Persentase (%)
1.
Meningkat
19
86,3
2.
Tidak Meningkat
3
13,7
Jumlah
22
100
Tabel 5 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden mengalami
peningkatan kotraksi uterus setelah dilakukan rangsangan puting susu yaitu
(86,3%) sedangkan responden yang setelah dilakukan rangsangan puting susu
tidak mengalami peningkatan mempunyai proporsi paling kecil yaitu (13,7%).
c. Tabulasi Silang Antara Stimulasi Puting Susu Terhadap Peningkatan Kontraksi
Uterus Pada Ibu Inpartu Kala II.
Tabel 6. Tabulasi Silang Antara Stimulasi Puting Susu Te rhadap
Peningkatan Kontraksi Ute rus Pada Ibu Inpartu Kala II di
Polindes Anyelir Desa Tunggalpager Kecamatan Pungging
Kabupate n Mojokerto 23 Mei-23 Juni 2012.
Kontraksi
Jumlah
No.
Stimulasi
Meningkat Tidak Meningkat

%
1. Sebelum Dilakukan RPS
10
45,5
12
54,5
22
100
2. Setelah Dilakukan RPS
19
86,3
3
13,7
22
100
Tabel 6 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden yang mengalami
peningkatan kontraksi uterus setelah dilakukan stimulasi puting susu yaitu
(86,3%) dan yang tidak mengalami peningkatan kontraksi uterus setelah
dilakukan stimulasi puting susu yaitu (13,7%) sedangkan responden yang
sebelum dilakukan stimulasi puting susu kontraksi uterusnya meningkat yaitu
(45,5%) dan yang kontraksi uterusnya tidak meningkat sebelum dilakukan
stimulasi puting susu yaitu (54,5%).

E. PEMBAHASAN
1. Sebelum Dilakukan Rangsangan Puting Sus u.
Berdasarkan hasil penelitian terdapat 22 ibu bersalin yang diamati sebelum
diberikan stimulasi puting susu dan diamati setelah diberikan stimulasi puting susu.
14

HOSPITAL MAJAPAHIT

2.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden sebelum


dilakukan stimulasi puting susu kontraksi uterusnya tidak meningkat yaitu (54,5%)
sedangkan responden yang kontraksi uterusnya meningkat sebelum dilakukan
stimulasi puting susu yaitu (45,5%).
Puting susu merupakan suatu tonjolan dengan panjang kira-kira 6mm, tersusun
atas jaringan erektil berpigmen dan merupakan bangunan yang sangat peka (Sylvia,
2003 : 1). Stimulasi atau rangsangan pada puting susu akan menambah intensitas
kontraksi uterus karena rangsangan reseptor regang ini akan merangsang pelepasan
oksitosin dari hipofisis posterior sehingga bisa membantu proses kelahiran (Bobak,
2005 : 245).
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden sebelum
dilakukan stimulasi puting susu kontraksi uterusnya tidak meningkat sehingga kepala
bayi tidak dapat dengan cepat turun ke bawah karena serviks masih belum semakin
menipis dan tidak ada rangsangan yang membuat uterus semakin berkontraksi.
Hasil penelitian pada usia berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa hampir
setengah responden berusia 20-35 tahun kontraksi uterusnya meningkat yaitu
(45,4%) sedangkan responden berusia < 20 tahun dan > 35 tahun yang kontraksi
uterusnya meningkat mempunyai proporsi paling kecil yaitu (0%).
Usia < 20 tahun dan usia > 35 tahun termasuk dalam faktor resiko tinggi yang
harus ditapis sejak dini sehingga dapat dilakukan tindakan persiapan melakukan
observasi ketat untuk menurunkan kejadian persalinan lama (Manuaba, 2010 : 247).
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa usia 20-35 tahun merupakan usia
reproduktif karena organ reproduksi sudah bisa bekerja dengan optimal dibandingkan
dengan usia < 20 tahun dan > 35 tahun yang termasuk dalam faktor resiko tinggi.
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa hampir setengah responden
multigravida yang kontraksi uterusnya meningkat yaitu (27,3%), sedangkan
responden primigravida yang kontraksi uterusnya meningkat mempunyai proporsi
paling kecil yaitu (18,2%).
Menurut Manuaba (2010 : 149) terdapat perbedaan proses pembukaan serviks
uteri antara primigravida dan multigravida. Pada primigravida terjadi perlunakan,
penipisan, dan selanjutnya diikuti pembukaan serviks uteri. Sedangkan pada
multigravida terjadinya pembukaan tidak diikuti oleh perlunakan karena terdapat
jaringan ikat akibat persalinan terdahulu.
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah responden
multigravida mengalami peningkatan kontraksi uterus. Hal ini dikarenakan serviks
semakin tipis dan janin semakin turun ke bawah. Sedangkan pada primigravida
serviks juga semakin tipis tetapi karena jaringan ikat di sekitarnya masih belum
pernah dilalui oleh bayi maka tingkat stimulasi puting susunya lebih cepat pada
multigravida.
Setelah Dilakukan Rangsangan Puting Susu.
Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa hampir seluruh jumlah responden
mengalami peningkatan kotraksi uterus setelah dilakukan rangsangan puting susu
yaitu (86,3%) sedangkan jumlah responden yang setelah dilakukan rangsangan
puting susu tidak mengalami peningkatan mempunyai proporsi paling kecil yaitu
(13,7%).
Stimulasi puting susu akan menyebabkan ereksi dan ujung saraf peraba yang
terdapat pada puting susu akan terangsang. Rangsangan tersebut oleh serabut afferent
dibawa ke hipotalamus di dasar otak, lalu memicu hipofise anterior untuk
mengeluarkan hormon prolaktin ke dalam darah. Stimulasi ini juga akan merangsang
hipotalamus untuk melepas oksitosin dari hipofisis posterior. Stimulasi Oksitosin
15

HOSPITAL MAJAPAHIT

3.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

membuat sel-sel mioepitel di sekitar alveoli di dalam kelenjar mamae dan


berkontraksi (Bobak, 2005 : 462). Oleh karena itu lubang- lubang kecil yang berada
di sekitar puting susu merupakan muara dari duktus lactiferus, ujung-ujung serat otot
polos yang tersusun secara sirkuler sehingga bila ada kontraksi maka duktus
laktiferus akan memadat dan menyebabkan puting susu ereksi (Weni, 2009 : 4).
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa stimulasi atau rangsangan pada
puting susu dapat membantu menambah intensitas kontraksi uterus karena
rangsangan ini akan merangsang pelepasan oksitosin dari hipofisis posterior sehingga
terjadi peningkatan kontraksi uterus dan proses persalinan berjalan lebih cepat
setelah dilakukan stimulasi puting susu.
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden berus ia 2035 tahun mengalami peningkatan kontraksi uterus yaitu (81,8%) sedangkan
responden yang berusia < 20 tahun mengalami peningkatan kontraksi uterus
mempunyai proporsi paling kecil yaitu (0%).
Usia antara 20-35 tahun merupakan usia yang subur karena susunan anatomi
alat reproduksi wanita pada usia tersebut masih sangat reprduktif untuk memiliki
keturunan. Dibandingkan dengan usia < 20 tahun yang alat reproduksinya masih
belum matang sehingga dapat menimbulkan terjadinya penyulit pada saat kehamilan
ataupun persalinan. Sedangkan usia > 35 tahun organ reproduksinya sudah tidak bisa
bekerja optimal lagi. Oleh karena perangsangan stimulasi puting susu dapat lebih
cepat mengalami peningkatan kontraksi pada usia 20-35 tahun (Manuaba, 2010 : 61).
Berdasarkan Penelitian menunjukkan bahwa usia 20-35 tahun merupakan usia
matang, sehingga ibu bisa lebih kooperatif dengan tenaga kesehatan jika di
informasikan tentang proses persalinannya dan organ reproduksinya sudah bisa
bekerja dengan optimal yang sangat mendukung proses kelahiran ditambah lagi ada
stimulasi puting susu yang dapat meningkatkan kontraksi uterus.
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian kecil responden
primigravida yang tidak mengalami peningkatan kontraksi uterus yaitu (9,1%),
sedangkan responden multigravida mempunyai proporsi yang paling kecil yaitu
(4,5%).
Menurut Sarwono (2007) terdapat perbedaan mekanisme persalinan antara
primigravida dengan multigravida. Kontraksi uterus pada multigravida lebih kuat
daripada primigravida. Perubahan keseimbangan estrogen dan progesteron
menyebabkan oksitosin yang dikeluarkan oleh hipofisis posterior, menimbulkan
kontraksi yang kekuatannya menjadi dominan saat mulainya persalinan.
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan setelah
dilakukan stimulasi puting susu pada multigravida daripada primigravida karena
pada multigravida sudah pernah mengalami persalinan masa lampau sehingga bagian
ujung serviks semakin tipis serta effacement dan dilatasi terjadi bersamaan
sedangkan pada primigravida effacement biasanya terjadi lebih dahulu daripada
dilatasi sehingga kontraksi akan semakin meningkat setelah dilakukan stimulasi
puting susu.
Hubungan antara sebelum dilakukan RPS dan setelah dilakukan RPS.
Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden yang
mengalami peningkatan kontraksi uterus setelah dilakukan stimulasi puting susu
yaitu (86,3%) dan yang tidak mengalami peningkatan kontraksi uterus setelah
dilakukan stimulasi puting susu yaitu (13,7%) sedangkan responden yang sebelum
dilakukan stimulasi puting susu kontraksi uterusnya meningkat yaitu (45,5%) dan
yang kontraksi uterusnya tidak meningkat sebelum dilakukan stimulasi puting susu
yaitu (54,5%). Setelah dilakukan Uji Fisher Exact Probability Test didapatkan hasil
16

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

0,01<0,022<0,05 sehingga Ho ditolak H1 diterima yang berarti ada pengaruh


rangsangan puting susu terhadap peningkatan kontraksi uterus pada kala II
persalinan.
Rangsangan yang diberikan pada puting susu bisa membantu proses kelahiran.
Ibu dapat menggosok satu atau dua puting susu karena akan meningkatkan kontraksi
uterus dengan rangsangan alamiah (Chapman, 2006 : 99). Puting susu ini disusun
oleh urat- urat otot yang lembut dan merupakan sebuah jaringan tebal berupa urat
saraf berada di ujungnya, rangsangan yang diberika n pada puting susu bisa
membantu proses kelahiran. Stimulasi puting susu tersebut akan menyebabkan ereksi
dan ujung saraf peraba yang terdapat pada puting susu akan terangsang kemudian
merangsang hipotalamus untuk melepas oksitosin dari hipofisis posterior sehingga
akan menyebabkan kontraksi uterus meningkat (Bobak, 2005 : 462).
Berdasarkan Uji Fisher Exact Probability Test tersebut menunjukkan hasil Ho
ditolak dan H1 diterima maka peneliti berpendapat bahwa ada hubungan rangsangan
puting susu dengan peningkatan kontraksi uterus. Oleh karena itu untuk
meningkatkan kontraksi uterus pada kala II persalinan salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan dilakukan rangsangan puting susu karena puting susu ini
merupakan jaringan lembut yang sangat peka terhadap rangsangan perabaan karena
di dalamnya terdapat saraf-saraf sensorik jika dilakukan stimulasi sehingga dapat
melepaskan oksitosin yang dikeluarkan oleh hipofisis posterior kemudian
merangsang peningkatan kontraksi uterus dan persalinan bisa berlangsung lebih
cepat.
F. PENUTUP
Setiap masyarakat harus selalu tanggap terhadap informasi yang diberikan oleh
tenaga kesehatan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Pada Setiap Pelayanan
Kebidanan sebaiknya perlu diberikan konseling atau penyuluhan bagi ibu hamil, ibu
bersalin maupun pasangan usia subur tentang upaya untuk meningkatkan kontraksi uterus
dengan cara melakukan stimulasi puting susu. Diharapkan Penelitian ini dapat digunakan
sebagai referensi untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan tingkat kesempurnaan
lebih baik agar hasil yang dicapai dapat lebih optimal. Setiap Pelayanan Kebidanan
sebaiknya diberikan pendidikan pada ibu hamil saat ANC tentang upaya- upaya yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan kontraksi uterus pada kala II persalinan, sehingga
dapat menurunkan angka kejadian persalinan dengan kontraksi yang lemah.
DAFTAR PUSTAKA
Baston, Helen, dkk. (2011). Midwifery Essentials Persalinan. Jakarta : EGC.
Bobak, dkk. (2005). Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC.
Chapman, Vicky. (2008). Asuhan Kebidanan Persalinan dan Kelahiran. Jakarta : EGC.
Hidayat, A. Aziz. (2007). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta :
Salemba Medika.
Kristiyansari, Weni. (2009). ASI, Menyusui dan Sadari. Yogyakarta : Nuha Medika.
Lailiyana, dkk. (2011). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Persalinan. Jakarta : EGC.
Leveno, Kenneth. (2004). Obstetri Williams. Jakarta : EGC.
Manuaba, Ida Ayu Chandranita, dkk. (2010). Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan KB.
Jakarta : EGC.
Notoatmojo, Soekidjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rineka Cipta : Jakarta.
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika.

17

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Verrals, Sylvia. (2003). Anatomi dan Fisiologi Terapan Dalam Kebidanan Edisi Tiga. Jakarta
: EGC.
Wiknjosastro, Gulardi, dkk. (2008). Asuhan Persalinan Normal & Inisiasi Menyusui Dini.
Jakarta : JNPK-KR.
Wiknjosastro, Hanifa, dkk. (2007). Imu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

18

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

SIKAP LANJUT USIA TENTANG PERUBAHAN FISIOLOGIS


DARI AKTIFITAS SEKSUAL DI DESA WONOKALANG
WONOAYU SIDOARJO
Priyantini.1 , Dwiharini P, S.Kep, Ns.2
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit
2
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit
1

ABSTRACT
Aging Process (Aging) is a natural process that accompanied the decline of their physical,
psychological and social interact with each other. One problem that often in the elderly
complain about the changes of sexual activity. Therefore this study was conducted to
determine attitudes about the elderly physiological changes of sexual activity.
This reseach uses descriptive study design with a total population of 46 people aged 60-70
years old, the sample totaled 41 respondents using probability sampling technique type
cluster random sampling, the instrument used a structured questionnaire through interviews.
The variables in the elderly is the attitude about the precise physiological changes of sexual
activity, after data analysis of data obtained using the formula T score.
The results showed that more than 50% of respondents being negative towards the
physiological changes of sexual activity were 21 as many respondents (51.2%).
Negative attitudes of respondents toward the physiological changes of sexual actifity is
because that according to their desires and their penggairahan of sexual actifity is still the
same as when ayoung man, nothing has changed.
It is expected that the elderly can comprehend and understand that in old age that there are
some changes among the psyiological changes of sexual actifity that involved several steps
that desire phase, the phase of araosol, orgasmic phase, post orgasmic phase. In order not to
adversely affect both physically and psychologically from the elderly can make healthy sexual
actifity, desired and can be enjoyed together.
Keywords: Attitude, Advanced age, physiological changes, sexual activity.
A. PENDAHULUAN
Dengan semakin baiknya keadaan kesehatan masyarakat, maka penduduk
kelompok usia lanjut semakin banyak di masyarakat. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan yang terlihat dari
Angka Harapan Hidup (AHH). Pada tahun 1971 usia lansia mencapai 46,6 tahun,
sedangkan pada tahun 1999, angka harapan hidup tersebut meningkat sampai 67,5 tahun.
Populasi lansia akan meningkat juga, yaitu pada tahun 1990, dengan jumlah penduduk
usia 60 tahun 10 juta jiwa (5,5%) dari total populasi penduduk. Sedangkan pada tahun
2020 diperkirakan meningkat 3x menjadi 29 juta jiwa (11,4%) dari total populasi
penduduk. Tentunya hal itu tercapai jika lansia mampu untuk menyesuaikan diri secara
terus- menerus, dan apabila proses penyesuaian diri dengan lingkungannya kurang
berhasil maka dapat timbul berbagai masalah (Lembaga demografi FE-UI-1993 dalam
Efendy, 2007).
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi
fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu
cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan
jiwa secara khusus pada lansia. Salah satu masalah yang kerap kali dikeluhkan lansia
yaitu tentang perubahan aktifitas seksual. Seseorang yang mengalami kondisi kronis
19

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

akibat penyakit, depresi, rasa berkabung, atau perubahan gaya hidup, akan beresiko untuk
tidak dapat memenuhi kebutuhan seksualnya, hal itu dikemukakan oleh Depkes.RI
(1992), dalam Arya (2009).
Sikap orang lanjut usia terhadap seksualitas berbeda dengan sikap orang muda,
dikatakan bahwa ada sebagian lansia yang mengharapkan hubungan intim berakhir
dengan kepuasan seks di antara keduanya, meskipun potensi hubungan seks pada lansia
tak lagi seperti saat mereka masih berusia muda. Namun, tak sedikit pula yang melakukan
keintiman itu bukan semata- mata untuk kepuasan seks, tetapi lebih pada rasa saling
memperhatikan, menyayangi dan juga lebih bertujuan membahagiakan pasangannya,
bukan lagi mengarah pada kepentingannya sendiri (Anonim 2009).
Menurut Marcoen (1990) dalam F.J (2006), penelitian mengenai seksualitas pada
usia lanjut dapat dikatakan belum banyak dan sangat dangkal. Di Barat diketemukan
bahwa sesudah usia 50 tahun frekuensi hubungan seks menurun baik pada laki- laki
maupun pada wanita, meskipun pada laki- laki masih lebih aktif sepanjang hidup. Dalam
F.J (2006), Wilson 1975 menemukan bahwa 25 % laki- laki usia 60 tahun ke atas dan 50
% wanita usia 60 tahun ke atas tidak lagi melakukan hubungan seksual. Dari kelompok
laki- laki, 27 % melakukan hubungan seks sekali dalam sebulan, sedangkan pada
kelompok wanita 12 %. Penurunan frekuensi yang drastis dalam hubungan seks ini
diketemukan sekitar usia 75 tahun.
Berkurangnya aktifitas seksual disaat usia lanjut, disebabkan adanya penurunan
daya seksualitas. Di samping adanya perubahan fisik, faktor psikologis juga seringkali
menyebabkan penurunan fungsi dan potensi seksual. Selain itu ada juga fak tor seks di
usia lanjut karena adanya rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual
pada lansia. Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh
tradisi dan budaya. Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
Pasangan hidup yang telah meninggal jaga bisa menjadi penyebab menurunnya aktifitas
seksual dan disfungsi seksual, karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa
lainnya misalnya cemas, depresi, pikun (Ayudea, 2010).
Dampak dari perubahan aktifitas seksual adalah lansia sering menahan diri untuk
melakukan hubungan seksualnya pada usia tua atau menghindari perkawinan ulang,
karena sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap hubungan seksual antara orang
berusia lanjut dan keraguan terhadap kemampuan seksual mereka (Bandiyah 2008).
Disamping itu juga bisa berupa kehampaan emosi dan bersikap negatif terhadap segala
sesuatu yang bersifat seksual. Karena hubungan seksual yang sehat merupakan hubungan
seksual yang dikehendaki, dapat dinikmati bersama dan tidak menimbulkan akibat buruk,
baik fisik maupun psikis (Aswendoclya 2009).
Dari hasil kunjungan awal di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo pada tanggal 02
November 2010 telah dilakukan wawancara tentang perubahan aktifitas seksual pada
lansia, terhadap 6 orang lansia yang mempunyai pasangan berumur 60-70 tahun, didapati
4 orang dari 6 orang lansia di desa tersebut menyatakan sudah tidak pernah melakukan
hubungan seksual dikarenakan sudah tua. Sedangkan 2 orang lansia menyatakan bahwa
masih melakukan hubungan seksual meskipun tidak serutin waktu muda dulu.
Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan agar aktifitas seksual tidak menjadi
masalah pada lansia antara lain memahami perubahan normal yang berhubungan dengan
lansia, saling memberikan perhatian dengan pasangan, melakukan gaya hidup yang sehat,
komunikasi, edukasi dan informasi tentang perilaku seksual di masyarakat. Selain itu juga
melakukan pemeriksaan berkala dan menjalani sex therapy kepada pasutri lansia yang
mengalami masalah (Aufalia, 2008).
Dari uraian di atas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut
mengenai Sikap Lansia Tentang Perubahan fisiologis dari Aktifitas Seksual.
20

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Dasar Sikap.
a. Definisi Sikap.
Pada awalnya, istilah sikap atau attitude digunakan untuk menunjuk status
mental individu. Sikap yang terdapat pada diri individu akan memberi warna
atau corak tingkah laku ataupun perbuatan individu yang bersangkutan. Dengan
memahami atau mengetahui sikap individu, dapat diperkirakan respons ataupun
perilaku yang akan diambil oleh individu yang bersangkutan (Sunaryo, 2004).
Menurut Sunaryo (2004), beberapa ahli psikologi mengemukakan
pendapat yang berbeda mengenai pengertian dari sikap itu sendiri, antara lain:
1) Pendapat dari Notoatmodjo S. (1997), bahwasannya sikap merupakan reaksi
atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau
objek.
2) Menurut Walgito (2001), sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan
seseorang mengenai objek atau situasi yang relative ajeg, yang disertai
adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar pada orang tersebut untuk
membuat respons atau berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya.
3) Sikap adalah kesiapan merespons yang sifatnya positif atau negatif terhadap
suatu objek atau situasi secara konsisten Ahmadi (1999).
4) Menurut Gerungan (1996), attitude diartikan dengan sikap terhadap objek
tertentu, yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi
sikap tersebut disertai oleh kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan
objek tadi.
5) Sedangkan menurut Secord dan Backman (1964) sebagaimana dikemukakan
oleh Saifuddin (1995) adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan
(afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang
terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.
Dari uraian diatas, dalam bukunya, Sunaryo merumuskan bahwa yang
dimaksud sikap adalah kecenderungan bertindak dari individu, berupa tertutup
terhadap stimulus ataupun objek tertentu.
b. Struktur Sikap.
Menurut Kothandapani dalam Sunaryo (2004), bahwa struktur sikap terdiri
dari komponen kognitif (kepercayaan), komponen emosional (perasaan), dan
komponen perilaku (tindakan). Mann menyebutkan bahwa isi dari komponen
kognitif adalah persepsi, kepercayaan, dan stereotype (sesuatu yang sudah
terpolakan) dari individu. Komponen kognitif sering disamaartikan dengan opini
(pandangan), terutama yang menyangkut isu atau masalah yang kontroversial.
Selanjutnya komponen afektif yang berisi perasaan individu terhadap objek dan
menyangkut masalah emosi. Terakhir, isi dari komponen perilaku berisi
kecenderungan untuk bertindak.
Menurut Saifuddin (1995) dalam Sunaryo (2004), bahwa sikap memiliki
tiga komponen yang membentuk struktur sikap, yang ketiganya saling
menunjang, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif.
1) Komponen Kognitif (Cognitive). Dapat disebut juga komponen perseptual,
yang berisi kepercayaan individu. Kepercayaan tersebut berhubungan
dengan hal-hal bagaimana individu mempersepsi terhadap objek sikap,
dengan apa yang diilihat dan diketahui (pengetahuan), pandangan,
keyakinan, pikiran, pengalaman pribadi, kebutuhan emosional, dan
informasi dari orang lain.

21

HOSPITAL MAJAPAHIT

c.

d.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

2) Komponen Afektif (Komponen Emosional). Komponen ini menunjuk pada


dimensi emosional subjektif individu, terhadap objek sikap, baik yang
positif (rasa senang) maupun negatif (rasa tidak senang). Rasa emosional
banyak dipengaruhi oleh apa yang kita percayai sebagai sesuatu yang benar
terhadap objek sikap tersebut.
3) Komponen Konatif. Disebut juga komponen perilaku, yaitu komponen sikap
yang berkaitan dengan predisposisi atau kecenderungan bertindak terhadap
objek sikap yang dihadapinya.
Menurut Allport (1945), sebagaimana dijelaskan oleh Notoatmodjo (1997)
dalam Sunaryo (2004), bahwa struktur sikap terdiri dari 3 pokok, yaitu:
1) Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.
2) Kehidupan emosional atau evaluasi individu terhadap suatu objek sikap.
3) Predisposisi atau kesiapan/kecenderungan individu untuk bertindak (tend to
behave).
Ketiganya membuat total attitude. Dalam hal ini yang menjadi deter minan
sikap adalah penegetahuan, berpikir, keyakinan, dan emosi.
Tingkatan Sikap.
Menurut Saifuddin (2007), menguraikan beberapa tingkatan sikap
diantaranya :
1) Menerima (receiving). Menerima, diartikan bahwa orang (subyek) mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang
terhadap suatu hal dapat dilihat dari kesadaran dan perbuatan terhadap
ceramah-ceramah.
2) Merespons (responding). Memberikan jawaban apabila ditanya,
mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi
dari sikap, karena dengan mengerjakan tugas yang diberikan, lepas
pekerjaan itu benar dan salah adalah berarti orang menerima ide tersebut.
3) Menghargai (valuing). Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah. Adalah suatu
indikasi sikap tingkat tiga, mialnya : seorang ibu yang mengajak ibu yang
lain (tetangganya, saudaranya dan sebagainya) untuk pergi menimbangkan
anaknya ke Posyandu, atau mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti
si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.
4) Bertanggung Jawab (Responsible). Bertanggung jawab atas segala sesuatu
yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah menunjukkan sikap yang
paling tinggi, misalnya : seorang ibu mau menjadi aseptor KB, meskipun
mendapatkan tentangan dari mertua atau orang tuanya sendiri. Sikap
mungkin terarah pada benda, orang, tetapi juga peristiwa, pandangan,
lembaga norma, dan nilai.
Determinan Sikap.
Menurut Walgito (2001) dalam Sunaryo (2004), ada 4 hal penting yang
menjadi determinan (faktor penentu) sikap individu, yaitu:
1) Faktor Fisiologis. Faktor yang penting adalah umur dan kesehatan, yang
menentukan sikap individu.
2) Faktor Pengalaman Langsung Terhadap Objek Sikap. Pengalaman langsung
yang dialami individu terhadap objek sikap, berpengaruh terhadap sikap
individu terhadap objek sikap tersebut.
3) Faktor Kerangka Acuan. Kerangka acuan yang tidak sesuai dengan objek
sikap, akan menimbulkan sikap yang negatif terhadap objek sikap tersebut

22

HOSPITAL MAJAPAHIT

e.

f.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

4) Faktor Komunikasi Sosial. Informasi yang diterima individu akan dapat


menyebabkan perubahan sikap pada diri individu tersebut.
Ciri-Ciri Sikap.
Ciri- ciri sikap sebagaimana dikemukakan beberapa ahli, seperti Gerungan
(1996), Ahmadi ( 1999), Sarwono (2000), Walgito (2001) dalam Sunaryo
(2004), pada intinya sama, yaitu :
1) Sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi dipelajari (learnability) dan dibentuk
berdasarkan pengalaman dan latihan sepanjang perkembangan individu
dalam hubungan dengan objek.
2) Sikap dapat berubah-ubah dalam situasi yang memenuhi syarat untuk itu
sehingga dapat dipelajari.
3) Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi selalu berhungan dengan objek sikap.
4) Sikap dapat tertuju pada satu objek ataupun dapat tertuju pada
sekumpulan/banyak objek.
5) Sikap dapat berlangsung lama atau sebentar.
6) Sikap mengandung faktor perasaan dan motivasi sehingga membedakan
dengan pengetahuan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan dan Pengubahan Sikap.
Sebagaimana diketahui bahwa sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi
dipelajari dan dibentuk berdasarkan pengalaman individu sepanjang
perkembangan selama hidupnya. Pada manusia sebagai makhluk sosial,
pembentukan sikap tidak lepas dari pengaruh interaksi manusia satu dengan
yang lain (eksternal). Disamping itu, manusia juga sebagai makhluk individual
sehingga apa yang datang dari dalam dirinya (internal), juga mempengaruhi
pembentukan sikap Sunaryo (2004).
1) Faktor internal.
Faktor ini berasal dari dalam diri individu. Dalam hal ini individu
menerima, mengolah, dan memilih segala sesuatu yang datang dari luar,
serta menentukan mana yang akan diterima dan mana yang tidak. Hal- hal
yang diterima atau tidak berkaiatan erat dengan apa yang ada dalam diri
individu. Oleh karena itu, faktor individu merupakan faktor penentu
pembentukan sikap, diantaranya :
a) Faktor Fisiologis.
(1) Umur. Menurut Hurlock (1998) yang dikutip Nursalam dan Pariani
(2001), bahwa semakin cukup umur, tingkat kematangan seseorang
akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Notoatmodjo (2005)
berpendapat bahwa semakin cukup usia seseorang, maka semakin
baik cara mengekspresikan atau menggapai masalah, jadi semakin
matang usia seseorang, maka dalam memahami sesuatu masalah
akan lebih mudah.
(2) Kesehatan. Orang yang menderita sakit memiliki sikap lebih
sensitif dibandingkan orang sehat. Perawatan fisik da n kesehatan
secara rutin akan sangat menunjang kemampuan seseorang dalam
menanggapi sesuatu masalah.
b) Faktor Psikologis.
(1) Minat. Minat adalah variabel penting yang berpengaruh terhadap
tercapainya prestasi atau citacita yang diharapkan, seperti yang
dikemukakan Effendi (1995) bahwa belajar dengan minat akan
lebih baik dari pada belajar tanpa minat.

23

HOSPITAL MAJAPAHIT

g.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

(2) Perhatian. Menurut Santoso (2001), Perhatian adalah sebuah


hubungan mental antara seseorang dengan sebuah barang atau
informasi yang memasuki kesadaran dan membuat orang tersebut
memutuskan untuk bertindak akan sesuatu atau tidak.
(3) Motif. Menurut Adi (1994) dalam Uno (2008), motif dapat
diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu, yang
menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat. Motif tidak
dapat diamati secara langsung tetapi dapat diinterprestasikan dalam
tingkah lakunya, berupa rangsangan, dorongan, atau pembangkit
tenaga munculnya suatu tingkah laku tertentu.
2) Faktor eksternal.
Faktor ini berasal dari luar individu, berupa stimulus untuk
membentuk dan merubah sikap. Stimulus tersebut dapat bersifat langsung,
misalnya individu dengan individu, individu dengan kelompok. Dapat juga
bersifat tidak langsung, yaitu melalui perantara, seperti alat komunikasi dan
media masa baik elektronik maupun nonelektronik.
a) Informasi Dan Komunikasi. Menurut Azwar (2005), adanya informasi
baru mengenai suatu hal member landasan kognitif baru. Pesanpesan
sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat akan
member dasar afektif dalam menilai suatu hal.
b) Lingkungan Sekitar Individu. Lingkungan menyangkut segala sesuatu
yang ada disekitar individu, baik fisik, biologis, maupun sosial.
Menurut Soetjiningsih (2000), lingkungan merupakan faktor biologis,
fisik, dan sosial yang mempengaruhi individu setiap hari, mulai dari
konsepsi sampai akhir hayatnya.
c) Pendidikan. Menurut Sunaryo (2004), secara luas pendidikan mencakup
seluruh proses kehidupan individu sejak dalam ayunan hingga liang
lahat, berupa interaksi individu dengan linkungannya, baik secara
formal maupun informal.
d) Pengalaman Yang Diperoleh Individu. Pengalaman mempersiapkan
seseorang untuk mencari orang-orang, hal- hal dan gejalagejala yang
mungkin serupa dengan pengalaman pribadinya.
e) Situasi Yang Dihadapi Individu. Hal ini berupa kondisi yang sehari-hari
dihadapi oleh individu dalam waktu yang berbeda-beda.
f) Norma Dalam Masyarakat. Norma adalah pernyataan yang menekankan
aspek seharusnya atau das solen, dengan menyertakan beberapa
peraturan tentang apa yang haru dilakukanAnon (2008).
g) Hambatan. Menurut Uny (2007), hambatan adalah sebuah tantangan
untuk mencari sebuah peluang menuju kesuksesan, dan merupakan
sesuatu yang tidak menyerang, tapi mempengaruhi pencapaian tujuan.
Pengukuran Sikap.
Menurut Sunaryo (2004), secara garis besar, pengukuran sikap dibedakan
menjadi dua cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung.
1) Secara Langsung.
Dengan cara ini, subjek secara langsung dimintai pendapat bagaimana
sikapnya terhadap suatu masalah atau hal yang dihadapkan kepadanya. Jenis
pengukuran sikap secara langsung, yaitu:
a) Langsung berstruktur . Cara ini mengukur sikap dengan menggunakan
pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sedemikian rupa dalam suatu

24

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

alat yang telah ditentukan dan langsung diberikan kepada subjek yang
diteliti.
(1) Pengukuran sikap dengan skala Bogardus-Menyusun pernyataan
berdasarkan jarak sosial. Seseorang dari sesuatu golongan
dihadapkan pada sesuatu golongan tertentu, bagaimana sikapnya
terhadap golongan tersebut.
(2) Pengukuran sikap dengan skala Thurston-Mengukur sikap juga
menggunakan metode Equal-Appearing Intervals. Skala yang telah
disusun sedemikian rupa sehingga merupakan range dari yang
menyenangkan (favorable) sampai tidak
menyenangkan
(unfavorable). Nilai skala bergerak dari 0,0 merupakan ekstrem
bawah sampai dengan 11,0 sebagai ekstrem atas.
(3) Pengukuran sikap dengan skala Likert-Dikenal dengan teknik
Summated Ratings. Responden diberikan pernyataan-pernyataan
dengan kategori jawaban sebagai berikut.
Tabel 7. Skala Like rt
Pernyataan Positif
Sangat Setuju
Setuju
Ragu-ragu
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
Pernyataan Negatif
Sangat Setuju
Setuju
Ragu-ragu
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju

Nilai
4
3
2
1
0
Nilai
0
1
2
3
4

(SS)
(S)
(E)
(TS)
(STS)
(SS)
(S)
(E)
(TS)
(STS)

Sumber : Hidayat, A.A (2007)


Menurut Azwar (2005), pernyataanpernyataan positif yaitu
berisikan hal hal yang positif mengenai objek sikap atau dengan kata
lain kalimat-kalimatnya bersikap mendukung dan memihak pada objek
sikap. Sedangkan pernyataan negatif, yaitu bersifat tidak mendukung
atau kontra terhadap objek sikap. Jumlah pernyataan positif dan negatif
diusahakan seimbang. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada kesan
seakanakan isi skala yang bersangkutan seluruhnya memihak atau
sebaliknya, tidak memihak objek sikap.
Menurut Azwar (2005), penghitungan nilai sikap dapat dilakukan
dengan rumus berikut :
x- x
Skor T = 50 + 10
s

Keterangan :
x = skor yang didapat responden
x = mean skor
s = deviasi standar skor kelompok

25

HOSPITAL MAJAPAHIT

2.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Untuk mengelompokkan sikap responden termasuk dalam sikap


positif atau negatif tidak cukup hanya dengan mengetahui skor-T saja.
Harus diketahui juga Mean T, yaitu dengan mengetahui jumlah skor-T
kelompok kemudian dibagi dengan jumlah responden (n). Dan cara
untuk menginterprestasikan skor adalah sebagai berikut :
(1) Jika skor T responden > Mean T, maka sikap = positif.
(2) Jika skor T responden Mean T, maka sikap = negatif.
b) Langsung tak berstruktur.
Cara ini merupakan pengukuran sikap yang sederhana dan tidak
diperlukan persiapan yang cukup mendalam, misalnya mengukur sikap
dengan wawancara bebas atau free interview, pengamatan langsung
atau survei.
2) Secara Tidak langsung.
Cara pengukuran sikap dengan menggunakan tes. Umumnya
digunakan skala semantik-diferensial yang terstandar. Cara pengukuran
sikap yang banyak digunakan adalah skala yang dikembangkan oleh
Charles E. Osgood.
Konsep Dasar Lansia.
a. Pengertian.
Proses menua (aging) adalah prose salami yang disertai adanya penurunan
kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain.
Keadan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum
maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia.Arya (2008).
Definisi orang berusia lanjut (tua, pria, wanita), bisa jadi merujuk pada
seseorang yang usianya sangat tua, kalau berjalan sudah tidak tegak lagi hingga
memerlukan bantuan tongkat. Rambutnya sudah memutih atau beruban. Usianya
bisa 60 tahun atau lebih. Secara fisik, dia sudah tidak kuat mengangkat beban
yang berat, susah berlari, jalan pun sebentar-sebentar istirahat.Mangoenprasodjo
(2005).
Dari beberapa uraian tersebut diatas, Menua itu sendiri adalah suatu
proses menghilangnya secara perlahan- lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti diri untuk mempertahankan struktur dan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
memperbaiki kerusakan yang diderita.
b. Teori- Teori Proses Menua.
Menurut Stanley (2007), teori- teori yang menjelaskan bagaimana dan
mengapa penuaan terjadi biasanya dikelompokkan ke dalam dua kelompok
besar, yaitu teori biologis dan psikososial. Penelitian yang terlibat dengan jalur
biologi telah memusatkan perhatian pada indikator yang dapat dilihat dengan
jelas pada proses penuaan, banyak pada tingkat seluler, sedangkan pada ahli
psikososial mencoba untuk menjelaskan bagaimana proses tersebut dipandang
dalam kaitan dengan kepribadian dan perilaku.
1) Teori Biologis.
Teori biologi mencoba untuk menjelaskan proses fisik penuaan,
termasuk perubahan fungsi dan struktur, pengembangan, panjang usia dan
kematian. Perubahan-perubahan dalam tubuh termasuk perubahan
molekular dan seluler dalam sistem organ utama dan kemampuan tubuh
untuk berfungsi secara adekuat dan melawan penyakit. Seiring dengan
berkembangnya kemampuan kita untuk menyelidiki kompone n-komponen
yang kecil dan sangat kecil, suatu pemahaman tentang hubungan hal- hal
26

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

yang mempengaruhi penuaan ataupun tentang penyebab penuaan yang


sebelumnya tidak diketahui, sekarang telah mengalami peningkatan.
Walaupun bukan merupakan suatu definisi penuaan, tetapi lima karakteristik
penuaan telah dapat diidentifikasi oleh para ahli (gambar 2).
Teori biologis juga mencoba untuk menjelaskan mengapa orang
mengalami penuaan dengan cara yang berbeda dari waktu ke waktu dan
faktor apa yang mempengaruhi umur panjang, perlawanan terhadap
organisme, dan kematian atau perubahan seluler. Suatu pemahaman tentang
perspektif biologi dapat memberikan pengetahuan tentang faktor resiko
spesifik dihubungkan dengan penuaan dan bagaimana orang dapat dibantu
untuk meminimalkan atau menghindari resiko dan memaksimalkan
kesehatan.
a) Teori Genetika.
Menurut teori genetika, penuaan adalah suatu proses yang secara
tidak sadar diwariskan yang berjalan dari waktu ke waktu untuk
mengubah sel atau struktur jaringan. Dengan kata lain, per ubahan
rentang hidup dan panjang usia telah ditentukan sebelumnya. Toeri
genetika terdiri dari teori asam deoksiribonukleat (DNA), teori
ketepatan dan kesalahan, mutasi somatik, dan teori glikogen. Teori-teori
ini menyatakan bahwa proses replikasi pada tingkatan seluler menjadi
tidak teratur karena adanya informasi tidak sesuai yang diberikan dari
inti sel. Molekul DNA menjadi saling bersilangan (crosslink) dengan
unsur yang lain sehingga mengubah informasi genetik. Adanya
crosslink ini mengakibatkan kesalahan pada tingkat seluler yang
akhirnya menyebabkan sistem dan organ tubuh gagal untuk berfungsi.
Bukti yang mendukung teori- teori ini termasuk perkembangan radikal
bebas, kolagen, dan lipofusin. Selain itu, peningkatan frekuensi kanker
dan penyakit autoimun yang dihubungkan dengan bertambahnya umur
menyatakan bahwa mutasi atau kesalahan terjadi pada tingkat
molekular dan seluler.
b) Teori Wear-And-Tear.
Teori Wear-And-Tear (Dipakai dan Rusak) mengusulkan bahwa
akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintesis
DNA, sehingga mendorong malfungsi molekuler dan akhirnya
malfungsi organ tubuh. Pendukung teori ini percaya bahwa tubuh akan
mengalami kerusakan berdasarkan suatu jadwal.
Radikal bebas adalah contoh dari produk sampah metabolisme
yang menyebabkan kerusakan ketika akumulasi terjadi. Radikal bebas
adalah molekul atau atom dengan suatu elektron yang tidak
berpasangan. Ini merupakan jenis yang sangat reaktif yang dihasilkan
dari reaksi selama metabolisme. Radikal bebas dengan cepat
dihancurkan dengan sistem enzim pelindung pada kondisi normal.
Beberapa radikal bebas berhasil lolos dari proses perusakan ini dan
berakumulasi di dalam struktur biologis yang penting, saat itulah
kerusakan organ terjadi.
Karena laju metabolisme terkait secara langsung pada
pembentukan radikal bebas, sehingga ilmuwan memilki hipotesis
bahwa tingkat kecepatan produksi radikal bebas berhubungan dengan
penentuan waktu rentang hidup.

27

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

c)

Riwayat Lingkungan.
Menurut teori ini, faktor- faktor didalam lingkungan (misalnya
karsinogen di dalam industri, cahaya matahari, trauma, dan infeksi)
dapat membawa perubahan dalam proses penuaan. Walaupun faktorfaktor ini diketahui dapat mempercepat penuaan, dampak dari
lingkungan lebih merupakan dampak sekunder dan bukan merupakan
faktor utama dalam penuaan.
d) Teori Imunitas.
Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam sistem
imun yang berhubungan dengan penuaan. Ketika orang bertambah tua,
pertahanan mereka terhadap organisme asing mengalami penurunan,
sehingga mereka lebih rentan untuk menderita berbagai penyakit seperti
kanker dan infeksi. Seiring dengan berkurangnya sistem imun,
terjadilah peningkatan dalam respon autoimun tubuh. Ketika orang
mengalami penuaan, mereka mungkin mengalami penyakit autoimun
seperti arthritis rheumatoid dan alergi terhadap makanan dan faktor
lingkungan yang lain. Penganjur teori ini sering memusatkan pada
kelenjar timus. Berat dan ukuran kelenjar timus menyusut seiring
dengan bertambahnya umur, seperti halnya kemampuan tubuh untuk
diferensiasi sel T. karena hilangnya proses diferensiasi sel T, tubuh
salah mengenali sel yang tua dan tidak beraturan sebagai benda asing
dan menyerangnya. Selain itu, tubuh kehilangan kemampuannya untuk
meningkatkan responsnya terhadap sel asing, terutama bila menghadapi
infeksi.
e) Teori Neuroendokrin.
Pada teori ini, para ahli telah memikirkan bahwa penuaan terjadi
karena adanya suatu perlambatan dalam sekresi hormon tertentu yang
mempunyai suatu dampak pada reaksi yang diatur oleh sistem saraf.
Salah satu area neurologi yang mengalami gangguan secara
universal akibat penuaan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk
menerima, memproses dan bereaksi terhadap perintah. Dikenal sebagai
perlambatan tingkah laku, respon ini kadang-kadang diinterprestasikan
sebagai tindakan melawan, ketulian, atau kurangnya pengetahuan. Pada
umumnya, sebenarnya yang terjadi bukan satupun dari hal- hal tersebut,
tetapi orang lanjut usia sering dibuat untuk merasa seolah-olah mereka
tidak kooperatif atau tidak patuh.
2) Teori Psikososiologis
Teori psikososial memusatkan perhatian pada perubahan sikap dan
perilaku yang menyertai peningkatan usia, sebagai lawan dari implikasi
pada kerusakan anatomis. Contoh dari teori-teori ini antara lain :
a) Teori Kepribadian.
Kepribadian manusia adalah suatu wilayah pertumbuhan yang
subur dalam tahun-tahun akhir kehidupannya dan telah merangsang
penelitian yang pantas dipertimbangkan. Teori kepribadian
menyebutkan
aspek-aspek
pertumbuhan
psikologis
tanpa
menggambarkan harapan atau tugas spesifik lansia. Jung dalam Stanley
(2007), mengembangkan suatu teori pengembangan kepribadian
sebagai ekstrovert atau introvert. Ia berteori bahwa keseimbangan
antara dua hal tersebut adalah penting bagi kesehatan. Dengan
menurunnya tanggung jawab dan tuntutan dari keluarga dan ikatan
28

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

sosial, yang sering terjadi di kalangan lansia, Jung percaya bahwa orang
akan menjadi lebih introvert. Didalam konsep inteoritas dari Jung,
separuh kehidupan manusia berikutnya digambarkan dengan memiliki
tujuannya sendiri, yaitu untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri
melalui aktifitas yang dapat merefleksikan dirinya sendiri.
Jung melihat tahap akhir kehidupan sebagai waktu ketika orang
mengambil suatu inventaris dari hidup mereka, suatu waktu untuk lebih
melihat ke belakang dari pada melihat ke depan. Selama proses refleksi
ini, lansia harus menghadapi kenyataan hidupnya secara retrospektif.
Lansia sering menemukan bahwa hidup telah memberikan satu
rangkaian pilihan yang sekali dipilih, akan membawa orang tersebut
pada suatu arah yang tidak bisa diubah. Walaupun penyesalan terhadap
berbagai aspek kehidupan yang sering terjadi, tetapi banyak lansia
menyatakan suatu perasaan kepuasan dengan apa yang telah mereka
penuhi.
b) Teori Tugas Perkembangan.
Tugas perkembangan adalah aktivitas dan tantangan yang harus
dipenuhi oleh seseorang pada tahap-tahap spesifik dalam kehidupannya
untuk mencapai penuaan yang sukses. Erickson dalam Stanley (2007),
menguraikan tugas utama lansia adalah mampu melihat kehidupan
seseorang sebagai kehidupan yang dijalani dengan integritas. Pada
kondisi tidak adanya pencapaian bahwa ia telah menikmati kehidupan
yang baik, maka lansia tersebut beresiko untuk disibukkan dengan rasa
penyesalan atau putus asa.
c) Teori Disangagement.
Teori
disangagement
(teori
pemutusan
hubungan),
menggambarkan proses penarikan oleh lansia dari pera bermasyarakat
dan tanggung jawabnya. Menurut ahli teori ini, proses penarikan diri ini
dapat diprediksi, sistematis, tidak dapat dihindari, dan penting untuk
fungsi yang tepat dari masyarakat yang sedang tumbuh. Lansia
dikatakan akan bahagia apabila kontak sosial telah berkurang dan
tanggung jawab telah diambil oleh generasi yang lebih muda. Manfaat
pengurangan kontak sosial bagi lansia adalah agar ia dapat
menyediakan waktu untuk merefleksikan pencapaian hidupnya dan
untuk menghadapi harapan yang tidak terpenuhi, sedangkan manfaatnya
bagi masyarakat adalah dalam rangka memindahkan kekuasaan
generasi tua kepada generasi muda.
d) Teori Aktifitas.
Teori ini berpendapat bahwa jalan yang menuju penuaan yang
sukses adalah dengan cara tetap aktif. Havighurst dalam Stanley (2007),
yang pertama menulis tentang pentingnya tetap aktif secara sosial
sebagai alat untuk penyesuaian diri yang sehat untuk lansia pada tahun
1952. Sejak saat itu, berbagai penelitian telah memvalidasi hubungan
positif antara mempertahankan interaksi yang penuh arti dengan orang
lain dan kesejahteraan fisik dan mental orang tersebut. Gagasan
pemenuhan kebutuhan seseorang harus seimbang dengan pentingnya
perasaan dibutuhkan oleh orang lain. Kesempatan untuk turut berperan
dengan cara yang penuh arti bagi kehidupan seseorang yang penting
bagi dirinya adalah suatu komponen kesejahteraan yang penting bagi
lansia.
29

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

e)

c.

Teori Kontinuitas.
Teori kontinuitas juga dikenal sebagai suatu teori perkembangan.
Teori ini menekankan pada kemampuan koping individu sebelumnya
dan kepribadian sebagai dasar untuk memprediksi bagaimana seseorang
akan dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan akibat penuaan. Ciri
kepribadian dasar dikatakan tetap tidak berubah walaupun usianya telah
lanjut. Selanjutnya, ciri kepribadian secara khas menjadi lebih jelas
pada saat orang tersebut bertambah tua.
Faktor Yang Mempengaruhi Penuaan.
Menurut Sri Surini (2003), penuaan dapat terjadi secara fisiologis dan
patologis. Perlu hati- hati dalm mengidentifikasi penuaan. Bila seseorang
mengalami penuaan fisiologis (fisiological aging), diharapkan mereka tua dalam
keadaan sehat (healthy aging). Penuaan itu sesuai dengan kronologis usia
(penuaan primer), dipengaruhi oleh faktor endogen, perubahan dimulai dari sel
jaringan organ sistem pada tubuh.
Bila penuaan banyak dipengaruh oleh faktor eksogen, yaitu lingkungan,
sosial budaya, gaya hidup disebut penuaan sekunder. Penuaan itu tidak sesuai
dengan kronologis usia dan patologis. Faktor eksogen juga dapat mempengaruhi
faktor endogen sehingga dikenal dengan faktor resiko. Faktor resiko tersebut
yang menyebabkan terjadinya penuaan patologis (pathological aging).
Penuaan sekunder yaitu ketidakmampuan yang disebabkan oleh trauma
atau penyakit kronis, mungkin pula terjadi perubahan degenaratif yang timbul
karena stress yang dialami oleh individu. Stress itu dapat mempercepat proses
penuaan dalam waktu tertentu. Degenerasi akan bertambah apabila terjadi
penyakit fisik yang berinteraksi dengan lansia.
Penuaan Primer
Sel
Jaringan

Faktor Endogen
Organ
Sistem
Penuaan
Sehat

Lingkungan
Penuaan Sekunder

Gaya Hidup
Faktor Eksogen

Gambar 2. Proses Penuaan Sehat Dengan Faktor Yang Mempengaruhi.


Sumber : Pudjiastuti, S.S, 2003
d.

Batasan-Batasan Lanjut Usia.


Batasan-batasan lanjut usia menurut beberapa ahli yang dikutip dari
Nugroho (2000).
1) Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Lanjut usia meliputi:
a) Usia Pertengahan (Middle Age) adalah kelompok usia 45-59 tahun.
b) Usia lanjut (Elderly) = antara 60-70 tahun.
c) Usia lanjut tua (Old) = antara 75-90 tahun.
d) Usia sangat tua (Very Old) = diatas 90 tahun.
2) Menurut Prof. Dr. Ny. Sumiati Ahmad Mohamad.
Prof. Dr. Ny. Sumiati Ahmad Mohamad (Alm.) Guru Besar
Universitas Gajah Mada pada Fakultas Kedokteran, membagi periodesasi
biologis perkembangan manusia sebagai berikut:
30

HOSPITAL MAJAPAHIT

e.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

a) 0-1 tahun = masa bayi


b) 1-6 tahun = masa pra sekolah
c) 6-10 tahun = masa sekolah
d) 10-20 tahun = masa pubertas
e) 20-40 tahun = masa dewasa
f) 40-65 tahun = masa setengah umur (Prasenium)
g) 65 tahun ke atas = masa lanjut usia (Senium)
3) Menurut Dra. Ny. Jos Masdani (Psikolog Dari UI).
Lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa. Kedewasaan
dapat dibagi menjadi empat bagian:
a) Fase iuventus, antara 25 sampai 40 tahun.
b) Fase vertilitas, antara 40 sampai 50 tahun.
c) Fase prasenium, antara 55 sampai 65 tahun.
d) Fase senium, 65 tahun hingga tutup usia.
4) Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro.
Pengelompokan lanjut usia sebagai berikut:
a) Usia dewasa muda (Elderly Adulhood), 18 atau 29-25 tahun.
b) Usia dewasa penuh (Middle Years) atau maturitas, 25-60 tahun atau 65
tahun.
c) Lanjut usia (Geriatric Age) lebih dari 65 tahun atau 70 tahun.
(1) 70-75 tahun (young old).
(2) 75-80 tahun (old).
(3) Lebih dari 80 (very old).
5) Menurut UU No. 13/Th.1998, Bab 1 Pasal 1 Ayat 2, tentang kesejahteraan
lanjut usia, yang berbunyi: bahwa lanjut usia adalah seseorang yang
mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas.
Birren and Jenner (1997) dalam Nugroho (2000), membedakan usia
menjadi tiga, antara lain :
1) Usia biologis. Yang menunjuk kepada jangka waktu seseorang sejak
lahirnya berada dalam keadaan hidup tidak mati.
2) Usia psikologis. Yang menunjuk pada kemampuan seseorang untuk
mengadakan penyesuaian-penyesuaian kepada situasi yang dihadapinya.
3) Usia sosial. Yang menunjuk kepada peran-peran yang diharapkan atau
diberikan masyarakat kepada seseorang sebungan dengan usianya.
Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Lanjut Usia.
1) Perubahan-perubahan fisik
Dalam Pudjiastuti (2003), bahwasannya pada penuaan, perubahan
fisiologis mengenai sistem muskuloskeletal, saraf, kardio-vaskular-respirasi,
indra, dan integument.
2) Perubahan Mental.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental:
a) Perubahan fisik, khususnya organ perasa.
b) Kesehatan umum.
c) Tingkat pendidikan.
d) Keturunan (Hereditas).
e) Lingkungan.
Perubahan kepribadian yang drastis, keadaan ini jarang terjadi. Lebih
sering berupa ungkapan yang tulus dari perasaan seseorang, kekakuan
mengkin karena faktor lain seperti penyakit-penyakit.
a) Kenangan (Memory)
31

HOSPITAL MAJAPAHIT

3.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

(1) Kenangan jangka panjang. Berjam-jam sampai berhari- hari yang


lalu mencakup berbagai perubahan.
(2) Kenangan jangka pendek atau seketika. 0-10 menit, kenangan
buruk.
b) I.Q. (Intellgentia Quantion)
(1) Tidak berubah dengan informasi matematik dan perkataan verbal.
(2) Berkurangnya penampilan, persepsi dan ketrampilan psikomotor;
terjadi perubahan pada daya membayangkan karena tekanantekanan dari faktor waktu.
3) Perubahan psikososial
a) Pensiun:
Nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas
dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pensiun
(Purna Tugas), ia akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain:
(1) Kehilangan finansial (income berkurang).
(2) Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup
tinggi, lengkap dengan segala fasilitasnya).
(3) Kehilangan teman/kenalan atau relasi.
(4) Kehilangan pekerjaan atau kegiatan.
b) Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of mortality)
c) Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan
bergerak lebih sempit.
d) Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic deprivation).
Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit, mengakibatkan
bertambahnya biaya pengobatan.
e) Penyakit kronis dan ketidakmampuan.
f) Gangguan saraf pancaindera, timbul kebutaan dan ketulian.
g) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.
h) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan temanteman dan keluarga.
i) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran
diri, perubahan konsep diri.
Konsep Dasar Seksualitas.
a. Pengertian seksualitas.
Seksualitas menyangkut berbagai dimensi yang sangat luas, yaitu dimensi
biologis, sosial, perilaku dan kultural. Seksualitas dari dimensi biologis
berkaitan dengan organ reproduksi dan alat kelamin, termasuk bagaimana
menjaga kesehatan dan memfungsikan secara optimal organ reproduksi dan
dorongan seksual.
Seksualitas dari dimensi psikologis erat kaitannya dengan bagaimana
menjalankan fungsi sebagai makhluk seksual, identitas peran atau jenis. Dari
dimensi sosial dilihat pada bagaimana seksualitas muncul dalam hubungan antar
manusia, bagaimana pengaruh lingkungan dalam membentuk pandangan tentang
seksualitas yang akhirnya membentuk perilaku seks. Dimensi perilaku
menerjemahkan seksualitas menjadi perilaku seksual, yaitu perilaku yang
muncul berkaitan dengan dorongan atau hasrat seksual. Dimensi kultural
menunjukkan perilaku seks menjadi bagian dari budaya yang ada di masyarakat.
Admin (2009).
b. Perubahan seksual pada lansia.

32

HOSPITAL MAJAPAHIT

c.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Menurut Sijabat (2008) masa berhentinya reproduksi (klimakterik) pada


pria datang belakangan dibanding masa menopause pada wanita, dan
memerlukan masa yang lebih lama. Pada umumnya ada penurunan potensi
seksual selama enam puluhan, kemudian berlanjut sesuai dengan bertambahnya
usia. Seperti masa menopause, masa klimakterik disertai menurunnya fungsi
gonadal karena gonadal adalah yang bertanggung jawab terhadap berbagai
perubahan yang terjadi selama masa klimakterik. Klimakterik pada pria
mempunyai dua efek umum, antara lain :
1) Terjadi penurunan atau penyusutan ciri-ciri seks sekunder. Misalnya
perubahan suara, titik nada suara tinggi, rambut pada bagian wajah dan
badan menjadi berkurang keindahannya dan kekerasan otot secara umum
menurun menjadi lembek. Secara umum orang berusia lanjut berkurang
vitalitasnya, dibanding pada masa sebelumnya. Begitu juga wanita
berkurang keluwesannya setelah masa menopause terjadi.
2) Klimakterik pada pria mempengaruhi fungsi seksual. Walaupun potensi
seksual telah berkurang tetapi tidak berarti bahwa keinginan seksua lnya
menurun. Terdapat bukti bahwa pengaruh budaya terhadap menurun atau
meningkatnya kemampuan dan keinginan untuk melakukan hubungan
seksual lebih besar dibanding perubahan fisik. Pengaruh kebudayaan
terhadap seseorang atau masyarakat menimbulkan kecemasan yang
berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seksual pria maupun wanita. Pria
dan wanita sering menahan diri untuk melakukan hubungan seksualnya pada
usia tua dan menghindari perkawinan ulang, karena sikap sosial yang tidak
menyenangkan terhadap hubungan seksual antara orang berusia lanjut dan
keraguan terhadap kemampuan seksual mereka. Untuk menghindari
gangguan terhadap rasa bangga akan kepuasan seksual terutama pria,
menahan diri untuk melakukan kegiatan seksual ketika mereka bertambah
tua.
Kekuatan terhadap keinginan seksual pada usia lanjut sangat tergantung
pada kesehatan seseorang secara umum dan cara penyesuaian seksual yang
dilakukan pada awal masa kehidupan. Bagi mereka yang penyesuaian
seksualnya dimasa remaja buruk, terbukti akan lebih cepat kehilangan
kemampuan seksual dibanding mereka melakukan penyesuaian dengan baik.
Perbedaan pola seksual antara pria dan wanita.
Menurut Bandiyah (2009) perbedaan pola seksual antara pria dan wanita
adalah sebagai berikut :
1) Pria.
Pada usia 40 tahun, kaum pria pada umumnya mulai mengalami
penurunan dalam hal respon psikologi, gairah dan fungsi seksual. Pada usia
50-an, penurunan secara bertahap akan terus berlangsung. Meskipun ada
banyak variasi, pada usia ini kapasitas kaum pria untuk aktif dalam hal seks
pada umumnya hanya tinggal separuh bila dibandingkan dengan kapasitas
mereka ketika berusia akhir belasan atau awal dua puluhan dimana kapasitas
mereka berada di puncak. Pada usia akhir 40-an, dorongan seksual akan
menurun, ereksi kurang sering terjadi dan semakin sulit untuk bisa bertahan
lama, ejakulasi kurang kuat dan masa refraktori semakin lama. Setelah usia
40, banyak kaum pria mulai mengalami ketidakmampuan untuk mencapai
ereksi secara periodik dan frekuensi ketidakmampuan ini akan semakin
meningkat seiring berjalannya waktu dan menjadi hal yang biasa pada usia
60an. Namun demikian, mekipun perubahan ini terlihat jelas pada pria
33

HOSPITAL MAJAPAHIT

d.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

berusia 60-an, kenikmatan yang mereka rasakan karena seks tidak


terpengaruh secara signifikan.
2) Wanita.
Saat memasuki menopause, wanita dilanda rasa takut karena
berhentinya masa subur. Mereka kurang percaya diri dalam berhubungan
seks. wanita yang mengalami menopause biasanya mengalami perubahan
hormonal dalam tubuhnya. Artinya, kadar hormon dalam tubuhnya
menurun. Akibatnya, si wanita menjadi kering kulitnya dan mudah keriput.
Selain itu, vagina juga cenderung kering.
Menopause adalah kekurangan hormon estrogen. Dan itu kaitannya
dengan haid serta berkurangnya produksi cairan yang berfungsi sebagai
pelumas saat berhubung. Dalam berhubungan seks dibutuhkan pelumas agar
vagina tidak kering. Jika kering, yang terjadi adalah rasa sakit. Salah satu
solusinya adalah menggunakan bahan cairan pelumas semacam jeli,
berbahan dasar air yang banyak di jual di apotek. Wanita menopause, hasrat
seksual menjadi meningkat dan bisa dilakukan kapan saja tanpa terhalang
menstruasi.
Pembagian tahapan seksual menurut Kaplan.
Menurut Montessori (2009) Perubahan fisiologik yang terjadi pada
aktifitas seksual pada usia lanjut biasanya berlangsung seca ra bertahap dan
menunjukkan status dasar dari aspek vaskuler, hormonal dan neurologiknya.
Untuk suatu pasangan suami istri,bila semasa usia dewasa dan pertengahan
aktivitas seksual mereka normal, akan kecil sekali kemungkinan mereka akan
mendapatkan masalah dalam hubungan seksualnya.
Kaplan membagi siklus tahapan seksual dalam beberapa tahap, yaitu fase
desire (hasrat) dimana organ targetnya adalah otak. Fase kedua atau fase arousal
(penggairahan) dengan organ targetnya adalah sistem vaskuler dan fase ketiga
atau fase orgasmik dengan organ target medula spinalis dan otot dasar perinium
yang berkontraksi selama orgasme.
Tabel 8. Perubahan Fisiologi Dari Aktivitas Seksual Yang Diakibatkan
Oleh Proses Menua Menurut Kaplan.
Fase Tahapan
Pada Wanita Lansia
Pada Pria Lansia
Seksual
Fase Desire
Terutama dipengaruhi oleh
Interval untuk
penyakit baik dirinya
meningkatkan hasrat
sendiri atau pasangan,
melakukan kontak seksual
masalah hubungan antar
meningkat;hasrat sangat
keduanya, harapan kultural dipengaruhi oleh penyakit;
dan hal- hal tentang harga
kecemasan akan
diri. Desire pada lansia
kemampuan seks dan
wanita mungkin menurun
masalah hubungan antara
dengan makin lanjutnya
pasangan. Mulai usia 55
usia, tetapi hal ini bisa
tahun testosteron menurun
bervariasi.
bertahap yang akan
mempengaruhi libido.

34

HOSPITAL MAJAPAHIT
Fase Tahapan
Seksual
Fase arousal

Fase orgasmik
(fase muskular)

Fase pasca
orgasmik

e.

f.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012


Pada Wanita Lansia

Pada Pria Lansia

Pembesaran payudara
berkurang, semburat panas
dikulit menurun; elastisitas
dinding vagina menurun;
iritasi uretra dan kandung
kemih meningkat;otot-otot
yang menegang pada fase
ini menurun.

Membutuhkan waktu lebih


lama untuk ereksi; ereksi
kurang begitu kuat;
testosteron menurun;
produksi sperma menurun
bertahap mulai usia 40 th;
elevasi testis ke perinium
lebih lambat dan sedikit;
penguasaan atas ejakulasi
biasanya membaik.
Kemampuan mengontrol
ejakulasi membaik;
kekuatan kontraksi otot
dirasakan berkurang;
jumlah kontraksi menurun;
volume ejakulat menurun.

Tanggapan orgasmik
mungkin kurang intens
disertai sedikit kontraksi;
kemampuan untuk
mendapatkan orgasme
multipel berkurang dengan
makin lanjutnya usia.
Mungkin terdapat periode
refrakter, dimana
pembangkitan gairah secara
segera lebih sukar.

Periode refrakter
memanjang secara
fisiologis, dimana ereksi
dan orgasme berikutnya
lebih sukar terjadi.

Faktor psikologi penyebab penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut
usia.
Faktor psikologi juga sering kali menyebabkan penurunan fungsi dan
potensi seksual pada lanjut usia seperti :
1) Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia.
2) Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh
tradisi dan budaya.
3) Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
4) Pasangan hidup telah meninggal.
5) Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa
lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb.
Smallcrab (2008).
Penatalaksanaan Masalah Seksual pada usia lanjut.
Sikap hubungan seksual yang dapat meingkatkan partisipasi seksual pada
lansia adalah sebagai berikut:
1) Memahami perubahan normal yang berhubugan dengan lansia.
2) Meningkatkan pada masalah non-seksual sama baiknya dengan komunikasi
seksual.
3) Menikmati setiap kejadian, dan kurangi ketakutan.
4) Saling memberikan perhatian, dapat memberikan kenikmatan hubungan
seksual pada lansia pria maupun wanita.
5) Lakukan pelukan, ciuman, usapan, rayuan, dan canda.
6) Lakukan gaya hidup yang sehat, yaitu cukup istirahat, olahraga secukupnya,
jangan merokok, serta jangan makan dan minum berlebihan.

35

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

7) Ciptakan suasana yang romantis (lampu, pakaian, bunga, lokasi, mus ik,
perjalanan, dan pujian)
8) Perhatikan kebersihan diri (mandi, mencukur rambut, kuku, kumis, dll) dan
penampilan diri agar pasangan tertarik.
(Aufalia, 2008).
C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian, Variabel Dan Definisi Operasional.
Jenis desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskriptif, yaitu
suatu penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau
deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif. Pada penelitian ini, peneliti akan
menggambarkan mengenai Sikap Lansia Tentang Perubahan Fisiologis Dari Aktifitas
Seksual di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo.
Dalam penelitian ini terdapat satu variabel, yaitu variabel independen (bebas)
adalah sikap lansia tentang perubahan fisiologis dari aktifitas seksual.
Lansia
Proses menua
Faktor yang mempengaruhi
perubahan seksual lansia:
1. Rasa tabu atau malu
2. Sikap keluarga dan masyarakat
yang kurang menunjang
3. Kelelahan atau kebosanan
4. Pasangan hidup telah meninggal
5. Disfungsi seksual karena
perubahan hormonal
6. Masalah kesehatan jiwa
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Pembentukan Dan Pengubahan Sikap :
1. Faktor Internal
2. Faktor Eksternal
Determinan sikap :
1. Faktor fisiologis
2. Faktor pengalaman langsung
dengan objek sikap
3. Faktor komunikasi sosial
4. Faktor kerangka acuan

(aging
process)dari aktivitas
Perubahan fisiologi
seksual :
1. Fase desire
2. Fase arousal
3. Fase orgasmik (fase muskular)
4. Fase pasca orgasmik

Sikap :
1. Menerima
2. Merespon
3. Menghargai
4. Bertanggung Jawab

Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
Gambar 3. Kerangka Konseptual Sikap Lansia Tentang Perubahan Fisiologis
Dari Aktifitas Seksual.
36

HOSPITAL MAJAPAHIT
Tabel 9.

2.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Definisi Ope rasional Sikap Lansia Tentang Perubahan Fisiologis


Dari Aktifitas Seksual.

Variabel

Definisi Operasional

Sikap
lansia
tentang
perubahan
fisiologis
dari
aktifitas
seksual

Reaksi atau respon yang masih


tertutup dari orang yang berusia lebih
dari 60 tahun, yang dapat diartikan
bahwa orang ( subyek ) mau dan
memperhatikan stimulus yang di
berikan obyek terhadap perubahan
fisiologik yang terjadi pada aktifitas
seksual pada lansia biasanya
berlangsung secara bertahap dan
menunjukkan status dasar dari aspek
vascular, hormonal dan
neurologiknya, dengan parameter :
1. Fase desire
2. Fase aurosol
3. Fase orgasmik
4. Fase pasca orgasmik

Krite ria

Skala

T > 50 = Positif Nominal


T < 50 = Negatif
(Azwar, 2005)

Populasi, Sampel, Teknik dan Instrumen Penelitian.


Pada penelitian ini, populasinya adalah semua lansia yang tinggal di Desa
Wonokalang Wonoayu Sidoarjo yang berjumlah 46 orang. Sampel yang digunakan
adalah lansia yang tinggal di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo yang memenuhi
kriteria inklusi.
a. Kriteria inklusi
1) Lansia yang berusia antara 60 70 tahun (Elderly).
2) Lansia yang mempunyai pasangan.
b. Kriteria eksklusi.
1) Lansia yang tuna wicara dan tuna rungu.
2) Lansia yang mengalami gangguan jiwa.
3) Lansia yang tidak berada ditempat saat dilakukan penelitian.
4) Lansia yang sakit.
Penentuan besar sampling dengan menggunakan rumus :
n=
N
.
1 + N ( d )
Keterangan :
n = Besar sampel
N = Besar populasi
D = Tingkat signifikan = 0,05 (derajat kebebasan) (Nursalam, 2008)
Sehinga diperoleh jumlah 41 responden yang akan diteliti, dan untuk menentukan
besar sampel tiap RW maka dimasukkan dalam persemaan sebagai berikut :
ni =
Ni
n
N
Keterangan :
ni = Ukuran sampel pada strata ke I
N = Ukuran populasi
n = Ukuran sampel keseluruhan (Sumantri, 2006)
37

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Dari populasi :
RW I terdiri atas

: 12 x 41 = 11
46
RW II terdiri atas : 16 x 41 = 14
46
RW III terdiri atas : 18 x 41 = 16
46
Penelitian ini menggunakan probability sampling tipe cluster random
sampling, yaitu teknik yang digunakan apabila ukuran populasinya tidak diketahui
dengan pasti, sehingga tidak memungkinkan untuk dibuat kerangka samplingnya,
dan keberadaannya tersebar secara geografis atau terhimpun dalam klaster-klaster
yang berbeda-beda. Teknik dan langkah pengambilan sampel :
a. Mendata semua lansia yang tinggal di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo.
b. Lansia yang sudah di data dipilih sesuai dengan kriteria inklusi.
c. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi kemudian diambil secara acak untuk
menjadi sampel terpilih.
Dari jumlah populasi yang ada di Desa Wonokalang Desa Wonokalang
Wonoayu Sidoarjo (heterogen), akan disaring kembali menurut kriteria inklusi
sehingga didapatkan sub populasi (homogen). Dari sub populasi tersebut, kemudian
diambil sampel untuk mewakili populasi dalam penelitian, yaitu dengan cara cluster
random sampling. Pengambilan sampel ini bisa berupa pencatatan nama-nama lansia
ditiap-tiap RW yang termasuk sub populasi pada secarik kertas, kemudian
diletakkkan pada kotak, diaduk dan diambil secara acak pada masing- masing RW,
sampai tercapai jumlah sampel yang dikehendaki oleh peneliti.
Penelitian dilaksanakan di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo pada tanggal
14 20 Februari 2011.
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini berupa kuesioner melalui teknik
wawancara terstruktur (structured). Dilakukan wawancara tertutup, di dalam ruang
terpisah dari pasangannya. Instrumen ini dipakai oleh peneliti karena subjek dalam
penelitian ini adalah orang lanjut usia. Pada jenis pengukuran kuesioner ini, peneliti
mengumpulkan data secara formal, melalui subjek yang diberi pertanyaan yang akan
dijawab secara terstruktur. Jadi, pertanyaan diajukan secara langsung kepada subjek
atau disampaikan secara lisan oleh peneliti dari pertanyaan yang sudah tertulis.
Instrumen belum dilakukan uji validitas dan reabilitas sehingga hasilnya belum bisa
di generalisasikan.
Untuk pengukuran sikap, peneliti memakai Skala Likert (Hidayat, 2007), yaitu
dengan kategori jawaban sebagai berikut:
Pernyataan Positif
Sangat Setuju
Setuju
Ragu - Ragu
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju

Nilai
4
3
2
1
0

Pernyataan Negatif
Sangat setuju
Setuju
Ragu - Ragu
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju

38

Nilai
0
1
2
3
4

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Penghitungan nilai sikap dilakukan dengan rumus menurut Azwar (2005) :


Skor T = 50 + 10

x- x
s

Keterangan :
x = skor yang didapat responden
x = mean skor
s = deviasi standar skor kelompok
Dari skala tersebut dapat dirumuskan bahwa jika skor T responden. > Mean T
maka sikap = positif terhadap perubahan aktifitas seksual dan jika skor T responden
Mean T, maka sikap = negatif terhadap perubahan aktifitas seksual.
3.

Analisis Data.
yang sudah di dapat dari jawaban pertanyaan yang sudah di ajukan melalui kuisioner
di ringkas dalam bentuk tabel. Yaitu melalui beberapa proses atau tahap yaitu :
a. Editing. Langkah awal adalah editing, bertujuan untuk meneliti kembali data dan
diperbaiki jika masih terdapat hal- hal yang salah atau meragukan. Pada
penelitian ini ada 4 lansia atau responden yang dlakukan wawancara ulang etelah
proses editing.
b. Coding. Kemudian dilakukan coding, yaitu membandingkan hasil wawancara
dengan karakteristik kode, Dalam penelitian ini yang di beri kode hanya pada
nama responden di ganti dengan nomor. Hal ini dimaksudkan untuk
mempermudah dalam melakukan tabulasi dan analisa data.
c. Scoring. Setelah itu, dilakukan skoring dengan cara pemberian skor pada setiap
jawaban yang menunjukkan sikap sangat setuju (4), setuju (3), raguragu (2)
tidak setuju (1), dan sangat tidak setuju (0). Setelah itu di jumlah dan di
masukkan dalam rumus skor T.
d. Tabulating. Bila data sudah jelas, akan dilakukan tabulating, dengan cara
memasukkan hasil skoring kedalam tabel untuk menentukan hasil dari sikap
lansia tersebut positif atau negatif, yaitu dengan menggunakan rumus skor T.
Untuk hasil tabulasinya terdapat pada lampiran tabulasi data.

D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Desa Wonokalang merupakan bagian dari kecamatan Wonoayu yang terdiri
dari 5 dusun yaitu Dusun Karang Kletak, Dusun Nyamplung, Dusun Wantil, Dusun
Cere dan Dusun Plombokan. Batas- batas wilayah Desa Wonokalang adalah sebagai
berikut :
a. Sebelah Utara
: Persawahan Desa Wonokalang.
b. Sebelah Timur : Desa Pager Ngumbuk, Wonoayu.
c. Sebelah Selatan : Persawahan Desa Semambung Wonoayu.
d. Sebelah Barat
: Desa Kalongan Jeruk Gamping.
Jumlah penduduk Desa Wonokalang pada tahun 2010 berjumlah 3945 jiwa
dengan proporsi laki- laki berjumlah 1984 orang (50,3%) dan perempuan 1961 orang
(49,7%)
Desa Wonokalang mempunyai luas wilayah 201.635 Ha yang terletak dengan
ketinggian 60 m dari permukaan laut. Banyaknya cura h hujan yang ada di Desa
39

HOSPITAL MAJAPAHIT

2.

3.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Wonokalang yaitu 558 mm/th dengan jenis topografinya merupakan dataran rendah
dengan suhu rata-rata 31-320 C.
Fasilitas Pendidikan yang terdapat di Desa Wonkalang yaitu: satu TK, SD/MI
1:1, sedangkan fasilitas Kesehatan yang ada di Desa Wonokalang yaitu; 1 Bidan
Desa dan 1 Perawat Poskesdes, namun tidak terdapat posyandu lansia.
Data Umum.
a. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia.
Dalam penelitian ini responden yang memenuhi kriteria inklusi yaitu
responden yang berusia 60 74 tahun (Elderly) menurut Organisasi Kesehatan
(WHO), yaitu berjumlah 41 responden.
b. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan.
Tabel 10. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di
Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo pada tanggal 14-20
Februari 2011.
No.
Pendidikan
Frekuensi (f) Persentase (%)
1.
Tidak Sekolah
16
39
2.
SD/Sederajat
25
61
3.
SMP/Sederajat
0
0
4.
SMA/Sederajat
0
0
5.
Akademi/PT
0
0
Jumlah
41
100
Tabel 10 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden berpendidikan
SD/Sederajat yaitu sebanyak 25 responden (61%).
c. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan.
Tabel 11. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Desa
Wonokalang Wonoayu Sidoarjo pada tanggal 14-20 Februari
2011.
No.
Pekerjaan
Frekuensi (f) Persentase (%)
1.
Tidak Bekerja
10
24,4
2.
Swasta
4
9,7
3.
Wiraswasta
3
7,3
4.
Petani
24
58,6
Jumlah
41
100
Tabel 11 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden adalah bekerja
sebagai petani yaitu sebanyak 24 responden (58,6%).
Data Khusus.
Dalam penelitian ini, didapatkan data mengenai sikap lansia terhadap
perubahan fisiologis dari aktifitas seksual, yang terdapat dalam tabel berikut :
Tabel 12. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap Lansia
Terhadap Perubahan Fisiologis Dari Aktifitas Seksual di Desa
Wonokalang Wonoayu Sidoarjo pada tanggal 14-20 Februari 2011.
No.
Sikap Lansia Terhadap Perubahan
Frekuensi (f) Persentase (%)
Fisiologis Dari Aktifitas Seksual
1.
Positif
20
48,8
2.
Negatif
21
51,2
Jumlah
41
100
Tabel 12 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden bersikap Negatif
terhadap perubahan fisiologis dari aktifitas seksual yaitu sebanyak 21 responden
(51,2%).
40

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

E. PEMBAHASAN
Hasil penelitian tentang sikap lansia dalam menghadapi perubahan fisiologis dari
aktifitas seksual di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo pada bulan Februari 2011
didapatkan lebih dari 50 % responden cenderung bersikap negatif atau tidak mendukung
terhadap perubahan fisiologis dari aktifitas seksual, yaitu sebanyak 21 respo nden
(51,2%). Hal ini sesuai dengan pendapat Sijabat (2008) tentang perubahan seksual pada
lansia, meskipun potensi seksual telah berkurang tetapi tidak berarti bahwa keinginan/
hasrat seksualnya menurun.
Lansia lebih bersikap bahwa hasrat dan penggairaha n mereka masih bisa tercapai
atau dengan kata lain, tidak terdapat perubahan fisiologis pada hasrat dan penggairahan
mereka. Hal ini bisa dibuktikan dengan pengelompokan data menurut fase atau tahapan
seksual, yaitu fase desire dan fase arousal. Pada fase desire, ada 25 responden dari 41
responden (61%) yang bersikap tidak mendukung terhadap perubahan fisiologis pada
aktifitas seksual mereka. Sedangkan pada fase arousal, didapatkan 23 responden dari 41
responden (56%) yang bersikap tidak mendukung.
Dalam kaitannya dengan hal itu, sikap adalah reaksi atau respon dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau obyek ,Notoatmodjo S (1997) dalam Sunaryo (2004). Ada
juga yang mengartikan bahwa sikap adalah kesiapan merespons yang sifatnya positif atau
negatif terhadap suatu objek atau situasi secara konsisten.Ahmadi (1999) dalam sunaryo
(2004). Pada masa lanjut usia, terdapat perubahan yang terjadi secara fisiologis pada
aktifitas seksual lansia. Menurut Sijabat (2008), masa berhentinya reproduksi
(klimakterik) pada pria datang belakangan dibanding masa menopause pada wanita, dan
memerlukan masa yang lebih lama. Dan pada umumnya, penurunan potensi seksual pada
usia enam puluhan, kemudian berlanjut sesuai dengan bertambahnya usia. Seperti masa
menopause, masa klimakterik disertai menurunnya fungsi gonadal karena gonadal adalah
yang bertanggung jawab terhadap berbagai perubahan yang terjadi selama masa
klimakterik. Menurut Montessori (2009) Perubahan fisiologik yang terjadi pada aktifitas
seksual pada usia lanjut biasanya berlangsung secara bertahap dan menunjukkan status
dasar dari aspek vaskuler, hormonal dan neurologiknya.
Hasil penelitian ini bisa ditelaah kembali berdasarkan teori mengenai tahapan seksual
menurut Montessori (2009), yaitu : Fase Desire, fase Arousal, Fase Orgasmik, Fase pasca
Orgasmik. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan data bahwa lebih dari 50% responden
bersikap Negatif atau tidak mendukung mengenai perubahan pada fase desire yaitu
sebanyak 61% (25 responden). Hal ini menunjukkan bahwa hasrat lansia tentang
seksualitas masih ada dan tidak mengalami perubahan. Pada teori dikatakan bahwa pada
lansia pria maupun wanita akan mengalami perubahan fisiologis dari aktifitas seksual
mereka, yang bisa dipengaruhi oleh keadaan penyakit, kecemasan akan kema mpuan seks,
penurunan libido, masalah harga diri, ataupun masalah hubungan antar pasangan. Selama
lansia tidak dipengaruhi akan faktor- faktor tersebut diatas, maka fase ini pun akan
berjalan dengan semestinya tanpa mengalami perubahan, mengingat tidaklah semua dari
individu akan mengalami perubahan yang sama. Sedangkan pada Fase Arousal
berdasarkan hasil penelitian, didapatkan data bahwa lebih dari 50 % responden bersikap
negatif atau tidak mendukung mengenai perubahan pada fase arousal yaitu sebanyak 56%
(23 responden). Hal ini menunjukkan bahwa sistem vaskuler atau penggairahan pada
lansia tidak terlalu mengalami perubahan.Menurut Kaplan Dalam Montessori (2009),
perubahan pada fase arousal ini dapat berupa pembesaran payudara yang berkurang,
elastisitas dinding vagina menurun, iritasi uretra dan kandung kemih meningkat pada
lansia wanita. Sedangkan pada lansia pria, akan membutuhkan waktu lebih lama untuk
ereksi, dan ereksi kurang begitu kuat, testosteron menurun, produksi sperma menurun
bertahap mulai usia 40 th, serta elevasi testis ke perinium lebih lambat dan sedikit.
41

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Perubahan-perubahan fisiologis yang kemungkinan bisa terjadi pada organ-organ seksual


tiap individu tidaklah sama antara lansia satu dengan yang lainnya. Jadi, besar
kemungkinan juga pada lansia yang bugar, yang pandai menjaga kondisi tubuhnya tidak
mengalami sebagian besar dari perubahan pada organ-organ seksualnya.
Pada Fase Orgasmik berdasarkan hasil penelitian, didapatkan data bahwa lebih dari
50 % responden bersikap positif atau menduk ung mengenai perubahan pada fase
orgasmik yaitu sebanyak 63 % (26 responden). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan
atau tanggapan orgasmik pada lansia memang mengalami perubahan.Dalam teori Kaplan
dijelaskan bahwa pada fase ini, baik lansia pria maupun wanita akan mengalami
tanggapan orgasmik yang berkurang intensnya dan disertai penurunan kontraksi, ataupun
kemampuan untuk mendapatkan orgasme multipel yang berkurang. Proses degenaratif
merupakan hal yang sewajarnya terjadi pada lansia. Hal itu pula yang mendasari
perubahan fase orgasmik pada aktifitas seksual lansia. Semakin tua seseorang, bisa jadi
semakin menurun pula kualitas dari organ-organ tubuhnya.
Pada Fase Pasca Orgasmik berdasarkan hasil penelitian didapatkan data bahwa lebih
dari 50% responden bersikap positif atau mendukung mengenai perubahan pada fase
pasca orgasmik yaitu sebanyak 63% (26 responden). Di fase ini, terdapat keterkaitan
dengan fase orgasmik. Karena fase ini merupakan kelanjutan dari fase orgasmik.
Menurut Kaplan, pada tahap ini, lansia akan mengalami perubahan pada sistem
vaskulernya, seperti sukarnya pembangkitan gairah secara segera, baik pada pria lansia
maupun wanita.Sekali lagi, proses degeneratiflah yang berperan dalam hal ini. Bisa jadi
karena penuruan hormon dan akan berakibat pada penurunan libido.
Sikap negatif yang di tunjukan oleh lansia terhadap perubahan fisiologis dari aktifitas
seksual ini erat kaitannya dengan tidak adanya posyandu lansia di desa Wonokalang
Wonoayu Sidoarjo, sehingga lansia tidak mendapatkan informasi tentang perubahanperubahan yang wajar terjadi pada lansia baik itu perubahan fisik, psikis dan juga
perubahan pda aktifitas seksual.
F. PENUTUP
Diharapkan, lansia bisa mengerti tentang perubahan fisiologis yang terjadi pada diri
mereka. Namun disamping itu, tidak seharusnya pula lansia patah arang atau berhenti
untuk memperdulikan kebutuhan seksual meraka. Karena bisa jadi pada lansia, bukan
hubungan seksual yang sesungguhnyalah yang diharapkan, namun kasih sayang, sikap
pengertian, dan saling menghargai pasangan yang akan membuat hidup lansia lebih
berarti hinga akhir hayat.
Institusi pendidikan pada saat melakukan praktek keperawatan gerontik supaya
lebih di tekankan pengetahuan terhadap mahasiswa tentang perubahan- perubahan yang
terjadi pada lansia, Khususnya pada aktifitas seksual, bagaimana solusi dan pendekatan
yang harus dilakukan terhadap lansia. Sehingga mahasiswa bisa memberikan pelayan
kesehatan secara tepat terhadap lansia.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta.
Azwar Saifuddin. (2007). Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya (Edisi 2).
Bandiyah. (2009). Lanjut Usia Dan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta. Nuha Medika
Beccary. (2008) Disfungsi Seksual Pada Lansia. (http://aufalia.wordpress.com/
2008/08/02/disfungsi-seksual-pada-lansia, diakses 02 Desember 2010).
Budiarto. (2002). Biostatistika Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC.
Darmojo. R.Boedhi, Martono hadi. (2004). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi 2.
Jakarta : FKUI.
42

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Ferry Efendi. (2007). Keperawatan Gerontik Be The Best. (http://ferryefendi.blogspot.com/


2007/11/keperawatan-gerontik.html, diakses 3 Desember 2010).
Hidayat, A.A. (2007). Riset Keperawatan Dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba
Medika.
Kaplan & Saddock. (2007). Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta : EGC.
Kuntjoro,
ZH.
(2002).
Masalah
Kesehatan
Jiwa
Lansia.
(http://www.epsikologi.com/masalah-kesehatan-jiwa-lansia.html, diakses 3 Desember 2010).
Mangoenprasodjo. A.Setiono (2004). Sehat Di Usia Lanjut. Penerbit : Think Fresh
Monks.F.J, Knoers.A.M.P, Haditono.S.R.(2006). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Nevid, S jerfry. (2005). Psikologi Abnormal Edisi 5. Jakarta : PT Gelora Aksara Pratama.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi. Jakarta :
Rineka Cipta.
Nugroho, Wahjudi. (2000). Keperawatan Gerontik, Edisi 2. Jakarta : EGC.
Nursalam. (2003). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta
: Salemba Medika.
Nursalam. (2008). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Edisi 2.
Jakarta : Salemba Medika.
Potter & Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC.
Pudjiastuti. S.R, Utomo Budi. (2003). Fisioterapi Pada Lansia. Jakarta : EGC.
Stanley. M, Beare. P.G. (2007). Buku Ajar Keperawatan Gerontik (Edisi 2). Jakarta : EGC.
Stuart. Gail.W. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa (Edisi 5). Jakarta : EGC
Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.
Watson Roger. (2003). Perawatan Pada Lansia. Jakarta : EGC.

43

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

TINGKAT NYERI LANSIA DENGAN REMATHOID ARTRITIS


YANG AKTIF DAN TIDAK AKTIF MELAKUKAN SENAM LANSIA
DI DESA TANGGUL KULON KECAMATAN TANGGUL
KABUPATEN JEMBER
Bhakti Wahyudianto.1 , Sunyoto, S.Kep. Ns.2
1
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit
2
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit
ABSTRACT
Gymnastics seniors is a series of regular motion tone and direction is done by yours elf or a
group that aims to improve the functional ability of exercise to achieve that goal. Number of
patients with arthritis remathoid in the world today, has exceeded 355 million. The purpose of
this study was to determine the level of arthritis pain remathoid elderly with active and
inactive elderly Jember do gymnastics.
The design study is a descriptive study. The population in this study as many as 81, the
sample is divided into two active respondents doing exercise 23 and 58 are not active at the
gym by using purposive sampling techniques. The collected data is processed by way of
Editing, Coding, Sorting, Data Entry, Tabulating.
The results meninjukkan majority of respondents who actively participates in gymnastics
experience mild pain which is as many as 14 respondents (60.9%). And most of the
respondents who did not actively follow the gymnastics experience severe pain as many as 38
respondents (65.5%).
Gymnastics seniors can reduce the pain experienced by the elderly. The less active elderly
doing exercise pain experienced by the elderly will increasingly elderly berat.pentingnya
exercises to reduce pain remathoid elderly with arthritis should be applied with a charity
such as the elderly do gymnastics program once a week.
Keywords: remathoid arthritis, gymnastics elderly, pain.
A. PENDAHULUAN
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri / mengganti dan mempertahankan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan
yang diderita (Nugroho, 2000). Adanya nyeri yang dirasakan lansia menyebabkan ADL
nya menurun. Salah satu golongan penyakit yang sering menyertai usia lanjut yang
menimbulkan gangguan musculoskeletal terutama adalah rheumatoid atritis. rheumatoid
atritis memang lebih sering dialami oleh lansia, untuk itu perlu perawatan dan perhatian
khusus bagi lansia dengan rheumatoid arthritis terutama dalam keluarga (Rezi, 2012).
Salah satu golongan penyakit yang sering menyertai usia la njut yang menimbulkan
gangguan musculoskeletal terutama adalah remathoid artritis. Remathoid artritis
memang lebih sering dialami oleh lansia, untuk itu perlu perawatan dan perhatian khusus
bagi lansia dengan remathoid artritis terutama dalam keluarga (Rezi, 2012). Salah satu
upaya untuk mengurangi penyakit tersebut adalah dengan melakukan senam lansia.
Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa di tahun 2025, Indonesia
akan mengalami peningkatan jumlah warga lansia sebesar 41,4%, yang merupakan
sebuah peningkatan tertinggi di dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan
bahwa di tahun 2025 jumlah warga lansia di Indonesia akan mencapai 60 juta jiwa. Ini
menyebabkan Indonesia berada pada peringkat ke- 4 untuk jumlah penduduk lansia
44

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

terbanyak setelah China, India, dan Amerika Serikat. Meningkatnya jumlah penduduk
usia lanjut (lansia) menimbulkan masalah terutama dari segi kesehatan dan kesejatraan
lansia. Jumlah penderita remathoid arthritis di dunia saat ini, telah melebihi angka 355
juta jiwa. Artinya, satu dari 6 orang penduduk bumi ini menderita penyakit remathoid
arthritis (Prayitno, 2012). Di Kabupaten Jember remathoid artritis diperkirakan dialami
oleh sekitar 40% lansia (Infokita, 2012). Di Desa Tanggul Kulon Jember masih banyak
ditemui lansia yang mengalami remathoid artritis hebat seperti linu dan nyeri sendi.
Kebanyakan dari mereka tidak aktif bergerak dan tidak aktif me lakukan senam
lansia. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti tanggal 14 Mei 2012 di
Desa Tanggul Kulon Jember menunjukkan dari 6 lansia terdapat 2 lansia (33.3%)
yang mengalami remathoid artritis ringan aktif melakukan senam lansia tidak
sedangkan yang 4 lansia yang tidak aktif melakukan senam lans ia mengalami nyeri
remathoid artritis (66.7%) hebat seperti linu dan nyeri sendi.
Pada periode selama usia lanjut, kemunduran fisik dan mental terjadi secara
perlahan dan bertahap (Hurlock, 2009). Pada lansia proses menua dapat menimbulkan
berbagai masalah baik fisik- biologis, mental maupun social ekonomis. Dengan semakin
lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami kemunduran terutama di bidang
kemampuan fisik, yang dalam mengakibatkan penurunan peranan peranan sosialnya
(Nugroho, 2000). Salah satu penyakit yang sering diderita lansia adalah remathoid
artritis. Kejadian penyakit tersebut akan makin meningkat sejalan dengan meningkatnya
usia manusia. remathoid artritis dapat mengakibatkan perubahan otot, hingga fungsinya
dapat menurun bila otot pada bagian yang menderita tidak dilatih guna mengaktifkan
fungsi otot (Rezi, 2012).
Senam lansia merupakan suatu bentuk latihan fisik yang berpengaruh terhadap
kemampuan fisik lansia. Aktifitas dasar sehari hari yang dilakukan lansia masih
membutuhkan bantuan dan sebagian besar lansia membutuhkan perhatian lebih. Kondisi
ini akan membawa dampak buruk pada lansia yaitu tingkat ketergantungan lansia. Senam
lansia yang dilakukan secara aktif akan berpengaruh positif terhadap tingkat kemandirian
lansia dalam memenuhi aktifitas sehari hari dan dapat mengurangi rasa nyeri (Anita,
2011). Untuk melakukan pencegahan terhadap remathoid artritis, perawat hendaknya
menganjurkan kepada lansia untuk melakukan senam lansia. Senam lansia dilakukan
selama 30 menit yang terdiri dari pemanasan dan inti yang terdiri dari aerobik ringan
yang berfungsi menguatkan kerja jantung dan paruh. Senam lansia ditutup dengan
pernafasan sekaligus sebagai pendingin tubuh. Senam lansia bisa dilakukan dengan
berdiri.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Dasar Nyeri.
a. Definisi Nyeri.
Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial. Ketika suatu jaringan
mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan bahan
yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium,
bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respon
nyeri. Nyeri juga dapat disebabkan stimulus mekanik seperti pembengkakan
jaringan yang menekan pada reseptor nyeri (Stira, 2012).
Persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan dan
pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata. Jadi
nyeri terjadi karena adanya kerusakan jaringan yang nyata atau perasaan yang

45

HOSPITAL MAJAPAHIT

b.

c.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

sama juga dapat timbul tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata (Rujito,
2012).
Proses Terjadinya Nyeri (Nociceptive Pathway).
Antara kerusakan jaringan (sebagai sumber stimuli nyeri) sampai
dirasakan sebagai persepsi nyeri terdapat suatu rangkaian proses
elektrofisiologik yang secara kolektif disebut sebagai nosisepsi (nociception).
Ada empat proses yang jelas yang terjadi pada suatu nosisepsi, yakni ;
1) Proses Transduksi (Transduction), merupakan proses dimana suatu stimuli
nyeri (noxious stimuli) di rubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan
diterima ujung- ujung saraf (nerve ending). Stimuli ini dapat berupa stimuli
fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).
2) Proses Transmisi (Transmison), dimaksudkan sebagai penyaluran impuls
melalui saraf sensoris menyusul proses transduksi. Impuls ini akan
disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron pertama,
dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami modulasi
sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai
neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah
somato sensoris di korteks serebri melalui neuron ketiga, dimana impuls
tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.
3) Proses Modulasi (Modulation), adalah proses dimana terjadi interaksi antara
sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tub uh kita dengan imput
nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Jadi merupakan
proses acendern yang di kontrol oleh otak. Sistem analgesik endogen ini
meliputi enkefalin, endorfin, serotonin, dan noradrenalin memiliki efek yang
dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Kornu
posterior ini dapat diiabaratkan sebagai pintu yang dapat tertetutup atau
terbukanya pintu nyeri tersebut diperankan oleh sistem analgesik endogen
tersebut di atas. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri
menjadi sangat subyektif.
4) Persepsi (perception), adalah hasil akhir dari proses interaksi yang
kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan
modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif
yang dikenal sebagai persepsi nyeri.
(Rujito, 2012)
Faktor Yang Mempengaruhi Respon Nyeri.
1) Usia. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus
mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan
nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia
cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap
nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau
mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin. Laki- laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam
merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas
kalo laki- laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Kultur. Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka
berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut
kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka
melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri. Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang
terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
46

HOSPITAL MAJAPAHIT

d.

2.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

5) Perhatian. Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri


dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan
dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi d ihubungkan
dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery
merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas. Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa
menyebabkan seseorang cemas.
7) Pengalaman masa lalu. Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri
dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih
mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri
tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
8) Pola koping. Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi
nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan
seseorang mengatasi nyeri.
9) Support keluarga dan sosial. Individu yang mengalami nyeri seringkali
bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh
dukungan dan perlindungan.
(Qittun, 2012)
Parameter Nyeri dan Pengukurannya.

Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi
nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang dan distraksi.
10 : Nyeri sangat berat :Kx sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.
Smeltzer, dkk (2002)
Konsep Remathoid Artritis.
a. Definisi.
Artritis rematoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dengan
manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh
(Mansjoer, dkk, 2009).
Artritis rematoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang
tidak diketahui penyebabnya, dikarakteristikan oleh kerusakan dan proliferasi
membran sinovial, yang menyebabkan kerusakan pada tulang sendi, ankilosis,
dan deformitas (Doenges, 2000).

47

HOSPITAL MAJAPAHIT
b.

c.

d.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Etiologi.
Faktor pencetus terbesar adalah faktor infeksi seperti bakteri, mikoplasma
dan virus (Burke, 2012). Penyebab artritis rematoid, yaitu:
1) Infeksi Streptokkus hemolitikus dan Streptococcus non- hemolitikus.
2) Endokrin.
3) Autoimmun.
4) Metabolik.
5) Faktor genetik.
Manifestasi Klinis (Prayitno, 2012).
1) Poliartritis simetris (peradangan sendi pada sisi kiri dan kanan) terutama
pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di tangan.
2) Deformitas.
3) Nyeri persendian.
4) Terbatasnya pergerakan.
5) Sendi-sendi terasa panas.
6) Anemia.
7) Tampak warna kemerahan di sekitar sendi.
8) Perubahan ukuran pada sendi dari ukuran normal.
Kriteria Artritis rematoid menurut American Reumatism Association
adalah :
1) Kekakuan sendi jari-jari tangan pada pagi hari (Morning Stiffness).
2) Nyeri pada pergerakan sendi atau nyeri tekan sekurang-kurangnya pada satu
sendi.
3) Pembengkakan (oleh penebalan jaringan lunak atau oleh efusi cairan) pada
salah satu sendi secara terus-menerus sekurang-kurangnya selama 6 minggu.
4) Pembengkakan pada sekurang-kurangnya salah satu sendi lain.
5) Pembengkakan sendi yanmg bersifat simetris.
6) Nodul subcutan pada daerah tonjolan tulang didaerah ekstensor.
7) Gambaran foto rontgen yang khas pada arthritis rheumatoid.
8) Uji aglutinnasi faktor rheumatoid.
9) Pengendapan cairan musin yang jelek.
10) Perubahan karakteristik histologik lapisan sinovia.
11) Gambaran histologik yang khas pada nodul.
Berdasarkan kriteria ini maka disebut :
1) Klasik : Bila terdapat 7 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama
6 minggu.
2) Definitif : Bila terdapat 5 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya
selama 6 minggu.
3) Kemungkinan rheumatoid : Bila terdapat 3 kriteria dan berlangsung
sekurang-kurangnya selama 4 minggu.
Patofisiologi.
Cidera mikro vascular dan jumlah sel yang membatasi dinding sinovium
merupakan lesi paling dini pada sinovisis remotoid. Sifat trauma yang
menimbulkan respon ini masih belum diketahui. Kemudian, tampak peningkatan
jumlah sel yang membatasi dinding sinovium bersama sel mononukleus
privaskular. Seiring dengan perkembangan proses sinovium edematosa dan
menonjol kedalam rongga sendi sebagai tonjolan-tonjolan vilosa.

48

HOSPITAL MAJAPAHIT

e.

f.

g.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Pada penyakit Rematoid Artritis terdapat 3 stadium yaitu :


1) Stadium Sinovisis. Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan
sinovial yang ditandai hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat
istirahat maupun saat bergerak, bengkak dan kekakuan.
2) Stadium Destruksi. Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan
sinovial terjadi juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi
tendon.
3) Stadium Deformitas. Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif
dan berulang kali, deformitas dan gangguan fungsi secara menetap.
Pemeriksaan Diagnostik (Prayitno, 2012).
1) Faktor Reumatoid : positif pada 80-95% kasus.
2) Fiksasi lateks: Positif pada 75 % dari kasus-kasus khas.
3) Reaksi-reaksi aglutinasi : Positif pada lebih dari 50% kasus-kasus khas.
4) LED : Umumnya meningkat pesat ( 80-100 mm/h) mungkin kembali normal
sewaktu gejala-gejala meningkat
5) Protein C-reaktif: positif selama masa eksaserbasi.
6) SDP: Meningkat pada waktu timbul proses inflamasi.
7) JDL : umumnya menunjukkan anemia sedang.
8) Ig (Ig M dan Ig G); peningkatan besar menunjukkan proses autoimun
sebagai penyebab AR.
9) Sinar X dari sendi yang sakit : menunjukkan pembengkakan pada jaringan
lunak, erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan ( perubahan
awal ) berkembang menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi
dan subluksasio. Perubahan osteoartristik yang terjadi secara bersamaan
10) Scan radionuklida : identifikasi peradangan sinovium
11) Artroskopi Langsung : Visualisasi dari area yang menunjukkan irregularitas/
degenerasi tulang pada sendI
12) Aspirasi cairan sinovial : mungkin menunjukkan volume yang lebih besar
dari normal: buram, berkabut, munculnya warna kuning ( respon inflamasi,
produk-produk pembuangan degeneratif ); elevasi SDP dan lekosit,
penurunan viskositas dan komplemen ( C3 dan C4 ).
13) Biopsi membran sinovial : menunjukkan perubahan inflamasi dan
perkembangan panas.
Komplikasi.
1) Dapat menimbulkan perubahan pada jaringan lain seperti adanya proses
granulasi di bawah kulit yang disebut subcutan nodule.
2) Pada otot dapat terjadi myosis, yaitu proses granulasi jaringan otot
3) Pada pembuluh darah terjadi tromboemboli
4) Terjadi splenomegali.
(Prayitno, 2012)
Penatalaksanaan.
Tujuan penatalaksanaan reumatoid artritis adalah mengurangi nyeri,
mengurangi inflamasi, menghentikan kerusakan sendi dan meningka tkan fungsi
dan kemampuan mobilisasi penderita (Lemone, 2012).
Adapun penatalaksanaan umum pada rheumatoid arthritis antara lain :
1) Pemberian terapi. Pengobatan pada rheumatoid arthritis meliputi pemberian
aspirin untuk mengurangi nyeri dan proses inflamasi, NSAIDs untuk
mengurangi inflamasi, pemberian corticosteroid sistemik untuk
memperlambat destruksi sendi dan imunosupressive terapi untuk
menghambat proses autoimun.
49

HOSPITAL MAJAPAHIT

3.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

2) Pengaturan aktivitas dan istirahat. Pada kebanyakan penderita, istirahat


secara teratur merupakan hal penting untuk mengurangi gejala penyakit.
Pembebatan sendi yang terkena dan pembatasan gerak yang tidak perlu akan
sangat membantu dalam mengurangi progresivitas inflamasi. Namun
istirahat harus diseimbangkan dengan latihan gerak untuk tetap menjaga
kekuatan otot dan pergerakan sendi.
3) Kompres panas dan dingin. Kompres panas dan dingin digunakan untuk
mendapatkan efek analgesic dan relaksan otot. Dalam hal ini kompres
hangat lebih efektive daripada kompres dingin.
4) Diet. Untuk penderita rheumatoid arthritis disarankan untuk mengatur
dietnya. Diet yang disarankan yaitu asam lemak omega-3 yang terdapat
dalam minyak ikan.
5) Pembedahan. Pembedahan dilakukan apabila rheumatoid arthritis sudah
mencapai tahap akhir. Bentuknya dapat berupa tindakan arhthrodesis untuk
menstabilkan sendi, arthoplasty atau total join replacement untuk mengganti
sendi.
Konsep Lansia.
a. Pengertian Lansia.
Menurut Maryam (2008) usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir
perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat
(2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia
lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.
Menurut Nugroho (2000) menurut Masdani (Psikolog UI) mengatakan:
Lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa. Kedewasaan dapat dibagi
menjadi empat bagian. Pertama = fase inventus, antara 25 dan 40 tahun, Kedua =
fase verilitas, antara 40 dan 50 tahun. Ketiga = fase pra senium antara 55 dan 65
tahun dan keempat fase senium, antara 65 tahun hingga tutup usia.
Menurut Setyonegoro, pengelompokkan lanjut usia sebagai berikut : Usia
dewasa muda (elderly adulhood): 18 atau 20-25 tahun. Usia dewasa penuh
(middle years) atau maturitas: 25-60 atau 65 tahun. Lanjut usia (geriatric age)
lebih dari 65 atau 70 tahun. Terbagi untuk umur 7075 tahun (young old), 7580 tahun (old), dan lebih dari 80 tahun (very old) (Nugroho, 2000).
Kalau dilihat pembagian umur dari beberapa ahli tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa yang disebut lanjut usia adalah orang yang te lah berumur 65
tahun ke atas.
Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak bisa dihindari, berjalan
secara terus- menerus, dan berkesambungan. Selanjutnya akan menyebabkan
perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh, sehingga akan
mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Maryam,
2008).
Menjadi tua ditandai dengan adanya kemunduran biologis yang terlihat
sebagai gejala- gejala kemunduran fisik, antara lain kulit mulai mengendur,
timbul keriput, rambut beruban, gigi mulai ompong, pendengaran dan
pengelihatan berkurang, mudah lelah, gerakan menjadi lamban dan kurang
lincah, serta terjadi penimbunan lemak terutama di perut dan pinggul.
Kemunduran lain yang terjadi adalah kemampuan-kemampuan kognitif seperti
suka lupa, kemunduran orientasi terhadap waktu, ruang, tempat, serta tidak
mudah menerima hal/ide baru (Maryam, 2008).

50

HOSPITAL MAJAPAHIT
b.

c.

d.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Proses Menua (Aging Process) (Nugroho, 2000).


Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahanlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita.
Proses menua merupakan proses yang terus- menerus (berlanjut) secara
alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup.
Proses menua setiap individu pada organ tubuh juga tidak sama cepatnya.
Adakalanya orang belum tergolong lanjut usia (masih muda) tetapi kekurangankekurangan yang menyolok (deskripansi).
Berdasarkan pernyataan ini, lanjut usia dianggap sebagai semacam
penyakit. Hal ini tidak benar. Gerontologi berpendapat lain, sebab lanjut usia
bukan suatu penyakit, melainkan suatu masa atau tahap hidup manusia, yaitu:
Bayi, kanak-kanak, dewasa, tua, dan lanjut usia.
Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya
daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dan dalam maupun luar tubuh.
Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakt yang
sering menghinggapi kaum lanjut usia.
Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia
dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan
syaraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit.
Sebenarnya, tidak ada batas yang tegas. pada usia berapa penampilan
seseorang mulai menurun. Pada setiap orang, fungsi fisiologis alat tubuhnya
sangat berbeda, baik dalam hal pencapaian puncak maupun saat menurunnya.
Hal ini juga sangat individu. Namun umumnya, fungsi fisiologis tubuh mencapai
puncaknya pada umur antara 20 dan 30 tahun. Setelah mencapai puncak, fungsi
alat tuhuh akan berada dalam kondisi tetap utuh beberapa saat, kemudian
menurun sedikit demi sedikit sesuai bertambahnya umur.
Sampai saat ini banyak sekali teori yang menerangkan proses menua.
mulai dari teori degeneratif yang didasari oleh habisnya daya cadangan vital,
teori terjadinya atrofi, vaitu: teori yang mengatakan bahwa proses menua adalah
proses evolusi, dan teori imunologik, yaitu: teori adanya produk sampah/waste
products dari tubuh sendiri yang makin bertump uk. Tetapi seperti diketahui,
lanjut usia akan selalu bergandengan dengan perubahan fisiologik maupun
psikologik. Yang penting untuk diketahui bahwa aktivitas fisik dapat
menghambat atau memperlambat kemunduran fungsi alat tubuh yang
disebabkan bertambahnya umur.
Klasifikasi Lansia.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia Lanjut usia meliputi :
1) Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.
2) Lanjut usia (elderly) = antara 60 dan 74 tahun
3) Lanjut usia tua (old) = antara 75 dan 90 tahun
4) Usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun
(Nugroho, 2000).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketuaan (Nugroho, 2000).
1) Hereditas = Keturunan/Genetik.
2) Nutrisi = Makanan.
3) Status Kesehatan.
4) Pengalaman hidup.
5) Lingkungan.
51

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

6) Stres.
Batasan - Batasan Lanjut Usia.
Menurut Nugroho (2000) pengelompokkan lanjut usia sebagai berikut:
Usia dewasa muda (elderly adulhood) : 18 atau 20-25 tahun. Usia dewasa penuh
(middle years) atau maturitas: 25-60 atau 65 tahun. Lanjut usia (geriatric age)
lebih dari 65 atau 70 tahun. Terbagi untuk umur 70-75 tahun (young old), 75-80
tahun (old), dan lebih dari 80 tahun (very old).
Kalau dilihat pembagian umur dari beberapa ahli tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa yang disebut lanjul usia adalah orang yang telah berumur 65
tahun ke atas.
f. Tugas Perkembangan Lansia.
Menurut Erickson, kesiapan lansia untuk beradaptasi atau menyesuaikan
diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut dipengaruhi oleh proses tumbuh
kembang pada tahap sebelumnya.
Apabila seseorang pada tahap tumbuh kembang sebelumnya melakukan
kegiatan sehari- hari dengan teratur dan baik serta membina hubungan yang
serasi dengan orang-orang di sekitarnya, maka pada usia lanjut ia akan tetap
melakukan kegiatan yang biasa ia lakukan pada tahap perkembangan
sebelumnya seperti olahraga, mengembangkan hobi bercocok tanam, dan lainlain.
Adapun tugas perkembangan lansia Maryam (2008) adalah sebagai
berikut :
1) Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun.
2) Mempersiapkan diri untuk pensiun.
3) Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya.
4) Mempersiapkan kehidupan baru.
5) Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat secara
santai.
6) Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan.
Konsep Senam Lansia.
a. Definisi Senam Lansia.
Senam lansia adalah serangkaian gerak nada yang teratur dan searah yang
dilakukan secara sendiri atau kelompok dengan maksud meningkatkan
kemampuan fungsional raga untuk mencapai tujuan tersebut (Anita, 2011).
Senam lansia adalah serangkaian gerak nada yang teratur dan terarah serta
terencana yang diikuti oleh orang lanjut usia yang dilakukan dengan maksud
meningkatkan kemamp meningkatkan kemampuan fungsional raga untuk
mencapai tujuan tersebut (Angloo, 2012).
b. Manfaat Senam Lansia.
1) Memperlancar proses degenerasi karena perubahan usia.
2) Mempermudah untuk menyesuaikan kesehatan jasmani dalam kehidupan.
3) Fungsi melindungi, yaitu memperbaiki tenaga cadangan dalam fungsinya
terhadap bertambahnya tuntutan.
4) Memperlancar proses degenerasi karena perubahan usia.
5) Fungsi melindungi, yaitu memperbaiki tenaga cadangan dalam fungsinya
terhadap bertambahnya tuntutan, misalya sakit (Anita, 2011).
6) Sebagai Rehabilitas. Pada lanjut usia terjadi penurunan masa otot serta
kekuatannya, laju denyut jantung maksimal, tolerasnsi latihan, kapasitas
aerobik dan terjadinya peningkatan lemak tubuh. Dengan melakukan
olahraga seperti senam lansia dapat mencegah atau melambatkan kehilangan
e.

4.

52

HOSPITAL MAJAPAHIT

c.

d.

e.

f.

g.

h.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

fungsional tersebut. Bahkan dari berbagai penelitian menunjukan bahwa


latihan/olah raga seperti senam lansia dapatmengeliminasi berbagai resiko
penyakit seperti hipertensi, diabetes melitus, penyakit arteri koroner dan
kecelakaan (Angloo, 2012).
Langkah Langkah Senam Lansia.
1) Kepala dan leher.
2) Lihat ke atap kemudian menunduk sampai dagu dan dada.
3) Putar kepala dengan melihat bahu sebelah kanan lalu sebe lah kiri.
4) Miringkan kepala ke bahu sebelah kanan lalu sebelah kiri.
Latihan Bahu Dan Lengan.
1) Angkat kedua bahu ke atas mendekati telinga, kemudian turunkan lagi
perlahan lahan.
2) Tepukkan kedua telapak tangan dan renggangkan lengan ke depan lurus
dengan bahu. Pertahankan bahu tetap lurus dan kedua tangan bertepuk
kemudian angkat lengan ke atas kepala.
3) Satu tangan menyentuh bagian belakang dari leher kemudian raihlah
punggung sejauh mungkin yang dapat dicapai, bergantian tangan kanan dan
kiri.
4) Letakkan tangan di punggung kemudian coba raih ke atas sedapatnya.
Latihan Tangan.
1) Letakkan tangan diatas meja, kemudian lebarkan jari jarinya kemudian
tekan kemeja, balikan telapak tangan.
2) Tariklah ibu jari melintasi telapak tangan untuk menyentuh jari kelingking.
3) Kemudian tarik kembali, kemudian lanjutkan sampai meyentuh tiap tiap
jari dengan ibu jari kepalkan tangan sekuatnya kemudian renggangkan jari
jari seluas mungkin.
Latihan Punggung.
1) Dengan tangan di samping, bengkokkan badan ke satu sisi kemudian ke satu
sisi lainnya.
2) Letakkan tangan di pinggang dan tekan ke dua kaki, putar tubuh dengan
melihat bahu kiri ke kanan.
3) Tepukkan ke dua tangan ke belakang dan renggangkan kedua bahu
kebelakang.
Latihan Paha.
1) Latihan ini dapat dilakukan dengan berdiri dan memegang sandaran kurse
dengan posisi sambil tiduran.
2) Lipat satu lutut sampai pada dada dimana pada kaki yang lain tetap lurus
dan tahan beberapa waktu.
3) Duduklah dengan kedua kaki lurus ke depan, tekankan kedua lutut pada
tempat tidur hingga bagian lutut menyentuh tempat tidur.
4) Pertahankan kaki lurus tanpa membengkokkan lutut, kemudian tarik telapak
kaki ke arah kita d an renggangkan kembali.
5) Tekuk dan renggangkan jari jari kaki tanpa menggerakkan lutut.
6) Pertahankan lutut tetap lurus, putar telapak kaki ke dalam sehingga
permukaannya saling bertemu dan kembalikan lagi.
7) Berdiri dengan kaki lurus dan berpegangan pada bagian belakang kursi,
angkat tumit tinggi tinggi kemudian putarkan.
Latihan Pernafasan.
1) Duduklah di kursi dengan punggung bersandar dan bahu relak sasi.

53

HOSPITAL MAJAPAHIT

5.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

2) Letakkan kedua telapak tangan pada kedua rusuk tarik nafas dalam dalam
maka terasa mengambang.
3) Sekarang, keluarkan nafas perlahan dan sedapatnya.
i. Kategori Keaktifan Senam Lansia.
Senam lansia adalah serangkaian gerak nada yang teratur dan searah yang
dilakukan secara sendiri atau kelompok dengan maksud meningkatkan
kemampuan fungsional raga untuk mencapai tujuan tersebut.
Manfaat senam lansia :
1) Memperlancar proses degenerasi karena perubahan usia.
2) Mempermudah untuk menyesuaikan kesehatan jasmani dalam kehidupan.
3) Fungsi melindungi, yaitu memperbaiki tenaga cadangan dalam fungsinya
terhadap bertambahnya tuntutan.
4) Memperlancar proses degenerasi karena perubahan usia
5) Fungsi melindungi, yaitu memperbaiki tenaga cadangan dalam fungsinya
terhadap bertambahnya tuntutan, misalya sakit sebagai rehabilitas.
Langkah langkah senam lansia :
1) Latihan bahu dan lengan.
2) Latihan tangan.
3) Latihan punggung.
4) Latihan paha.
Lansia mengikuti senam lansia untuk setiap minggunya, selama tiga
bulan Dalam 3 bulan 10 kali senam sehingga dapat dikategorikan :
1) Aktif
: 7-10 kali.
2) Cukup Aktif : 4-6 kali.
3) Kurang Aktif : 1-3 kali.
4) tidak aktif
: 0.
Hubungan Senam Lansia Dalam Menurunkan Nyeri.
Senam lansia adalah suatu bentuk latihan fisik yang berpengaruh terhadap
kemampuan fisik lansia. Senam lansia yang dilakukan secara aktif akan berpengaruh
positif terhadap tingkat kemandirian lansia ndalam memenuhi aktifitas dasar sehari
hari. Senam lansia yang berdurasi 30 menit ini telah diprogram menjadi olah raga
ringan yang terdiri atas latihan pemanasan dan latihan inti yang terdiri aerobik
ringan. Manfaat yang bisa diperoleh setelah melakukan senam lansia adalah
membuat lebih rileks dan terasa ringan di gerakan (Anita, 2011).
Senam lansia sangat berhubungan dengan nyeri rematho id artitis. Artritis
reumatoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dengan manifestasi utama
poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh. Artritis reumatoid adalah
suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang tidak diketahui penyebabnya,
dikarakteristikan oleh kerusakan dan proliferasi membran sinovial, yang
menyebabkan kerusakan pada tulang sendi, ankilosis, dan deformitas (Prayitno,
2012).
Jenis olahraga yang bisa dilakukan pada Lansia antara lain adalah senam
lansia. Aktivitas olahraga ini akan membantu tubuh tetap bugar dan segar karena
melatih tulang tetap kuat, mendorong jantung bekerja optimal, dan membantu
menghilangkan radikal bebas yang berkeliaran di dalam tubuh. Dapat dikatakan
bugar, atau dengan perkataan lain mempunyai kesegaran jasmani yang baik bila
jantung dan peredaran darah baik sehingga tubuh seluruhnya dapat menjalankan
fungsinya dalam waktu yang cukup lama Senam lansia disamping memiliki dampak
positif terhadap peningkatan fungsi organ tubuh juga berpengaruh dalam
meningkatkan imunitas dalam tubuh manusia setelah latihan teratur (Nursing, 2012).
54

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Hal ini menunjukkan bahwa Artritis Reumatoid sangat memerlukan perhatian


yang serius. Meskipun penderita Artritis Reumatoid jarang yang sampai
menimbulkan kematian namun apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan
gejala deformitas/cacat yang menetap. Selain itu karena penyakit ini bersifat kronis
dan sering kambuh, maka penderita akan mengalami penurunan produktivitas
pekerjaan karena gejala dan keluhan yang timbul menyebabkan gangguan aktivitas
fisik, psikologis, dan kualitas hidup menurun (Sari, 2012).
C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian, Variabel Dan Definisi Operasional.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan
untuk menerangkan atau menggambarkan masalah penelitian yang terjadi
berdasarkan karakteristik tempat, waktu, umur, jenis kelamin, sosial, ekonomi,
pekerjaan, status perkawinan, cara hidup (pola hidup) dan lain lain. Atau rancangan
ini digunakan untuk mendeskripsikan seperangkat peristiwa atau kondisi populasi
saat itu. Deskripsi tersebut dapat terjadi pada lingkup individu di suatu daerah
tertentu, atau lingkup kelompok pada masyarakat di daerah tertentu (Hidayat, 2009).
Tujuan peneliti memilih jenis penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat
nyeri lansia dengan remathoid artitis yang aktif dan tidak aktif melakukan senam
lansia di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember.
Dalam penelitian ini variabel yang digunakan adalah tingkat nyeri lansia
dengan remathoid artitis yang aktif dan tidak aktif melakukan senam lansia.
Lansia

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Aktifitas lansia :
1. ADL
2. Senam Lansia

Faktor penyebab nyeri :


Usia
Jenis kelamin
Kultur
Makna nyeri
Perhatian
Ansietas
Pengalaman masa lalu
Pola koping
Support keluarga dan sosial

Nyeri ringan

Nyeri

Nyeri

Nyeri sedang

Tidak Nyeri

Nyeri berat

Nyeri sangat berat

Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
Gambar 4. Kerangka Konseptual Tingkat Nyeri Lansia Dengan Remathoid
Artitis Yang Aktif Dan Tidak Aktif Melakukan Senam Lansia di
Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Jember.
Sumber : Stira (2012), Rujito, (2012), Smeltzer, dkk (2002), (Mansjoer, dkk, 2009).

55

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Tabel 13. Definisi Ope rasional Tingkat Nyeri Lansia Dengan Remathoid
Artitis Yang Aktif Dan Tidak Aktif Melakukan Senam Lansia di
Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Jember.

2.

Variabel

Definisi Operasional

Tingkat nyeri
lansia
dengan
remathoid
artitis yang
aktif dan
tidak aktif
melakukan
senam lansia

Sensasi subjektif, rasa yang


tidak nyaman biasanya
berkaitan dengan kerusakan
jaringan aktual atau potensial
yang dialami lansia karena
proses menua pada lansia yang
ikut senam aktif (7-10 kali)
tidak aktif (0)
Diukur dengan observasi dan
wawancara

Krite ria

Skala

Tidak nyeri : 0
Ordinal
Nyeri ringan : 1-3
Nyeri Sedang : 4-6
Nyeri Berat : 7-9
Nyeri tak tertahankan : 10
Smeltzer, dkk (2002)

Populasi, Sampel, Teknik dan Instrumen Penelitian.


Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Jember
pada tanggal 11-25 Juni 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia
yang bertempat tinggal di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Jember
sebanyak 320 responden. Teknik sampling yang dipakai adalah cara purposive
sampling yaitu pengambilan sampel dengan cara mengambil seluruh popupasi
dijadikan sampel (Hidayat, 2007). Sampel yang digunakan adalah yang memenuhi
kriteria sebagai berikut :
a. Kriteria inklusi.
1) Bersedia diteliti dan kooperatif.
2) Lansia yang ikut senam Aktif lansia 7-10x.
3) Lansia tidak ikut senam 0x.
b. Kriteria eksklusi.
1) Lansia dengan dimensia.
2) Lansia yang aktif mengikuti senam dengan duduk.
Sehingga sampel yang di pakai dalam penelitian ini sebanyak 81responden.
Pengumpulan data dilakukan dengan mengajukan surat permohonan ijin
penelitian kepada Kepala Desa, selanjutnya peneliti melakukan penelitian dengan
cara meminta data usila ke puskesmas terlebih dahulu kemudian peneliti mendatangi
rumah usila untuk meminta persetujuan responden sambil melakukan wawancara
tentang nyeri yang dirasakan lansia tersebut. Instrumen pengumpulan data yang
digunakan adalah pengukuran nyeri skala numerik.

D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul
Kabupaten Jember. Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul terletak di wilayah
selatan Kabupaten Jember. Luas wilayah desa ini 505.890 Ha. Terdiri dari 2 dusun
yaitu dusun Tekoan dan dusun Krajan.
Jumlah tenaga kesehatan yang ada sebanyak 5 orang, dengan perincian bidan ;
2 orang, perawat kesehatan : 3 orang. Adapun fasilitas kesehatan yang di miliki
sebanyak 10 fasilitas dengan perincian klinik kesehatan : 1 buah, Posyandu : 7 buah,
Polindes : 2 buah, dan BPS 1 buah Posyandu lansia : 1 buah . Jarak yang harus di
tempuh masyarakat untuk ke puskesmas adalah 2 km.
56

HOSPITAL MAJAPAHIT

2.

3.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember berbatasan


dengan sebelah utara berbatasan dengan desa Patemon, Sebelah timur berbatasan
dengan desa Tanggul Wetan, Sebelah selatan berbatasan dengan desa Sidomulyo
dan Sebelah barat
berbatasan dengan desa Pondok dalem.
Data Umum.
a. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis kelamin.
Tabel 14. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarka n Jenis Kelamin di
Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember
Pada Tanggal 11-25 Juni 2012.
No.
Jenis Kelamin
Frekuensi (f) Persentase (%)
1.
Laki-Laki
34
41,9
2.
Perempuan
47
49,1
Jumlah
81
100
Tabel 14 menunjukkan bahwa
sebagian besar responden adalah
perempuan yaitu sebanyak sebanyak 47 responden (49.1%).
Data Khusus.
a. Tingkat Nyeri Lansia Yang Aktif Mengikuti Senam.
Tabel 15. Tingkat Nyeri Lansia Yang Aktif Mengikuti Senam di Desa
Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember Pada
Tanggal 11-25 Juni 2012.
No.
Nyeri Lansia Yang Aktif
Frekuensi (f) Persentase (%)
Mengikuti Senam
1.
Tidak Nyeri
9
39,1
2.
Nyeri Ringan
14
40,9
3.
Nyeri Sedang
0
0
4.
Nyeri Berat
0
0
5.
Nyeri Sangat Berat
0
0
Jumlah
81
100
Tabel 15 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami nyeri
ringan yaitu sebanyak sebanyak 14 responden (60.9%).
b. Tingkat Nyeri Lansia Yang Tidak Aktif Mengikuti Senam.
Tabel 16. Tingkat Nyeri Lansia Yang Tidak Aktif Mengikuti Senam di
Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember
Pada Tanggal 11-25 Juni 2012.
No.
Nyeri Lansia Yang Tidak
Frekuensi (f) Persentase (%)
Aktif Mengikuti Senam
1.
Tidak Nyeri
0
0
2.
Nyeri Ringan
0
0
3.
Nyeri Sedang
18
31
4.
Nyeri Berat
38
65,5
5.
Nyeri Sangat Berat
2
3,4
Jumlah
81
100
Tabel 15 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami nyeri
berat yaitu sebanyak 38 responden (65.5%).

E. PEMBAHASAN
a. Tingkat Nyeri Lansia Yang Aktif Mengikuti Senam.
Berdasarkan tabel 14 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden mengalami
nyeri ringan yaitu sebanyak sebanyak 14 responden (60.9%).
57

HOSPITAL MAJAPAHIT

b.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Salah satu penyakit yang sering diderita lansia adalah remathoid artritis.
Kejadian penyakit tersebut akan makin meningkat sejalan dengan meningkatnya usia
manusia. remathoid artritis dapat mengakibatkan perubahan otot, hingga fungsinya
dapat menurun bila otot pada bagian yang menderita tidak dilatih guna mengaktifkan
fungsi otot (Rezi, 2012). Senam lansia merupakan suatu bentuk latihan fisik yang
berpengaruh terhadap kemampuan fisik lansia (Anita, 2011). Senam lansia yang
dilakukan secara aktif akan berpengaruh positif terhadap tingkat kemandirian lansia
dalam memenuhi aktifitas sehari hari dan dapat mengurangi rasa nyeri (Anita,
2011).
Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa responden yang mengalami nyeri
ringan kebanyakan adalah responden yang aktif melakukan se nam lansia. Dengan
demikian bisa disimpulkan bahwa senam lansia berpengaruh terhadap nyeri yang
dialami oleh lansia. Keaktifan lansia daam mengikuti senam biasanya dilakukan di
rumah setiap 2 hari sekali atau kadang kadang ikut kegiatan senam lansia yang
dilakukan di Puskesmas. Semakin aktif lansia mengikuti senam lansia menyebabkan
nyeri yang dialami akan semakin berkurang. Hal ini diperkuat selama dari
pengamatan peneliti bahwa lansia yang aktif melakukan senam lansia mengalami
nyeri ringan seperti munculnya rasa nyeri masih bisa dikomunikasikan secara
obyektif meskipun biasanya lansia juga tampak menyeringai saat menahan nyeri.
Akan tetapi secara umum lansia bisa dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat
mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah untuk me lakukan aktifitas dengan
baikdengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa senam lansia berpengaruh menekan
nyeri menjadi ringan sehingga tidak mengaggu aktifitas sehari hari lansia.
Tingkat Nyeri Lansia Yang Tidak Aktif Mengikuti Senam.
Berdasarkan tabel 15 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden mengalami
nyeri berat yaitu sebanyak 38 responden (65.5%).
Senam lansia merupakan suatu bentuk latihan fisik yang berpengaruh terhadap
kemampuan fisik lansia. Aktifitas dasar sehari hari yang dilakukan lansia masih
membutuhkan bantuan dan sebagian besar lansia membutuhkan perhatian lebih.
Lansia yang tidak aktif melakukan senam lansia cenderung mengalami nyeri berat.
(Anita, 2011). Nyeri berat didefinisikan sebagai pengakuan secara obyektif klien
terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi (Smeltzer, dkk, 2002).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang tidak aktif melakukan
senam lansia, mengalami nyeri berat. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa
senam lansia berpengaruh terhadap nyeri yang dialami oleh lansia. Hasil kesimpulan
ini didukung oleh pengamatan peneliti terhadap responden yang mangalami nyeri
berat. Responden tidak lagi menuruti beberapa perintah dan saran karena menahan
nyeri yang hebat, responden tidak mampu lagi mendeskripsikan perasaan nyeri dan
rasa nyeri yang dialami dianggap sudah sulit diatasi. Semakin tidak aktif lansia
mengikuti senam lansia nyeri yang dialami akan semakin berat karena otot atau
anggota tubuh yang tidak pernah digerakkan akan mengalami atrofi hal ini juga bisa
terjadi pada persendian,selain karena berkurangnya cairan sinovial kekakuan pada
sendi bisa disebabkan karena sendi tersebut jarang dilatih untuk bergerak sehingga
lama kelamaan sendi tersebut bisa kaku dan akan terasa nyeri pada saat digerakkan.

F. PENUTUP
Diharapkan penelitian ini dijadikan bahan masukan bagi profesi dalam
pengembangan perencanaan keperawatan mengenai pentingnya senam lansia untuk
58

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

meredam nyeri lansia dengan remathoid artritis. Masukan untuk lebih menggalakkan lagi
promosi tentang senam lansia untuk mencegah remathoid artritis serta dimasukkan dalam
jadwal posyandu lansia. Memahami tentang pentingnya senam lansia sebagai upaya
mengurangi nyeri lansia dengan remathoid artritis dan menyarankan untuk ikut senam
lansia. Peneliti selanjutnya hendaknya melakukan penelitian tentang senam lansia dalam
upaya penurunan nyeri remathoid arthritis sambil melakukan observasi secara intensif
untuk memaksimalkan hasil penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta.
Doenges, M.E, dkk. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.
Hidayat, A.A. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba
Medika.
Hidayat, A.A. (2009). Metode Penelitian Kebidanan & Teknik Analisis Data. Jakarta :
Salemba Medika.
Hidayat, A.A. (2010). Metode Penelitian Kebidanan & Teknik Analisis Data. Jakarta :
Salemba Medika.
Hurlock, E.B. (2003). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga.
Mansjoer,A,dkk. (2001). Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta : Media Aesculapius.
Mansjoer, A. (2009). Kapita Selekta Kdokteran Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius.
Maryam, R.S, dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta : Salemba
Medika.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Nugroho, W. (2000). Keperawatan Genrontik. Jakarta : EGC.
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika.
Nursing.
(2012).
Asuhan
Keperawatan
Rheumatoid
Artritis.
(http://www.nurse87.wordpress.com/asuhan-keperawatan-rheumatoid-artritis., diakses
tanggal 08 Mei 2012).
Potter & Perry. ( 2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC.
Prayitno. (2012). Rematoid Artritis. (www.prayitno-com.blogspot.com/rematiod-artritis.,
diakses tanggal 08 Mei 2012).
Qittun. (2012). Konsep Dasar Nyeri. (www.qittun.blogspot.com/konsep-dasar-nyeri., diakses
tanggal 08 Mei 2012).
Rezi, F. (2012). Asuha Keperawatan Lansia dengan Reumatroid Artritis.
(www.febriyanisyafrian.blogspot.com/asuhan-keperawatan-dengan-reumatroidartritis., diakses tanggal 08 Mei 2012).
Rujito. (2012). Konsep Nyeri. (www.binhasyi.wordpress.com/konsep-nyeri., diakses tanggal
08 April 2012.
Stira, U. (2012). Kosep Nyeri. (http://www.ruslanpinrang.blogspot.com/konsep-nyeri.html.,
diakses tanggal 08 Mei 2012).
Sugiyono. (2009). Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.

59

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP DAN KELUARGA PADA


PELAYANAN KEPERAWATAN DI RUMAH SAKIT DKT M OJOKERTO
Asrul Anam.1 , Ika Khusnia, S.Kep. Ns.2
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit
2
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit
1

ABSTRACT
Patient satisfaction is the patient's feelings that arise due to the performance of health care
that is obtained after comparing with their perceived, so it is necessary to clear efforts from
the hospital to provide a conceptual and integrated services to ensure patient satisfaction, but
it is not easily earned. One way is to improve the performance of nurses. Resear ch purpose to
determine the level of satisfaction of inpatients and their families in nursing care in DKT
Mojokerto Hospital.
This is a descriptive research design using public opinion survey. The variable in this study is
a single variable the level of satisfaction of inpatients and their families in nursing care in
DKT Mojokerto Hospital. The population in this study were all patients hospitalized in DKT
Mojokerto Hospital. The technique sampling use total sampling technique with a sample of 35
patients and 35patients families. The study was 12 - 28 February 2011 in DKT Mojokerto
Hospital. Technique and instrument data collection using questionnaires. Having collected
data were analyzed by using the formula linkert scale.
The results obtained more than 50% of patients expressed satisfaction on the inpatient
nursing service as many as 18 respondents (51.4%), while the rest are not satisfied. More
than 50% of the families of inpatients expressed his satisfaction at the nursing service that is
as much as 19 respondents (54.3%).
Customers and their family have same proportion that they felt satisfaction about nursing
services. It means that they got same services from nurse.
Customers in nursing services not only patients but also patients' families to consider.
Therefore, when the family also felt satisfied, others would follow them, so that the daily
coverage in DKT Mojokerto Hospital could increase.
Keywords: nursing, satisfaction, patients, families.
A. PENDAHULUAN
Keperawatan adalah komponen utama dalam sistem pelayanan kesehatan, dan
perawat merupakan kelompok pekerja yang paling besar dalam sistem tersebut.
Pelayanan keperawatan diperlukan sikap klien yang mencari jenis perawatan yang
sesungguhnya yang tercakup pelayanan primer, sekunder dan restorative. Perawat perlu
memahami sistem yang ada agar mampu memberikan pelayanan keperawatan yang
berkualitas secara efektif dalam sistem tersebut. Setiap perawat yang sedang bekerja
perlu menghargai bahwa pelayanan kesehatan bergantung pada partisipasi setiap perawa t
dalam menciptakan sistem yang diperlukan untuk memberikan perawatan dengan biaya
yang efektif dan menciptakan strategi untuk memastikan bahwa klien akan menerima
perawatan yang berkualitas (Potter dan Perry, 2005).
Suryawati, dkk. (2008) mengatakan bahwa sebagian besar keluhan pasien dalam
suatu survei kepuasan menyangkut tentang keberadaan petugas yang tidak profesional
dalam memberikan pelayanan kesehatan diantaranya masih terdengar keluhan akan
petugas yang tidak ramah dan acuh terhadap keluhan pasiennya. Selain itu juga masih
sering terdengar tentang sulitnya meminta informasi dari tenaga kesehatan terutama
60

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

dokter dan perawat, sulitnya untuk berkomunikasi dua arah dengan dokter, dan lain
sebagainya yang mencerminkan betapa lemahnya posisi pasien sebaga i penerima jasa
pelayanan kesehatan (Muhaj, 2010).
Penelitian Pardani tahun 2001 di rumah sakit Pemerintah kelas A di Surabaya tahun
2001, dengan menggunakan 100 orang pasien rawat inap menunjukkan bahwa 50%
mengatakan puas terhadap pelaksanaan asuhan keperawatan; 25% cukup puas 25% dan
tidak puas sebesar 25%. Penelitian Wirawan tahun 2000 tentang tingkat kepuasan pasien
rawat inap terhadap asuhan keperawatan di sebuah rumah sakit di Jawa Timur juga
menunjukkan hanya 17% dari seluruh pasien rawat inap yang mengatakan puas terhadap
asuhan keperawatan, sedangkan 83% menyatakan tidak puas. Penelitian tersebut juga
memberikan informasi bahwa keluhan utama pasien terhadap pelayanan keperawatan
adalah kurangnya komunikasi perawat (80%), kurang perhatian (66,7%) dan kurang
ramah (33,3%) (Muhaj, 2010).
Kemudian penelitian Damayanti tentang harapan dan kepuasan pasien di sebuah
rumah sakit pemerintah di Surabaya pada tahun 2000 yaitu dengan mengambil sampel 48
responden di UPF interna dan Paviliun menunjukkan bahwa pasien lebih mengharapkan
kesabaran dan perhatian dari kinerja tenaga keperawatan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa 41% responden mengatakan kurang puas dengan pelayanan rumah
sakit dan sebanyak 59% sisanya menyatakan puas. Khusus terhadap kinerja per awat,
keluhan terbesar adalah perawat jarang menengok pasien bila tidak diminta dan bila
dipanggil tidak segera datang (perawat datang sekitar 10 menit) (Muhaj, 2010).
Jumlah pengunjung/pasien rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto dari tahun
2008 sampai dengan tahun 2009 terjadi penurunan. Pada tahun 2009, total jumlah pasien
rawat inap 760 orang dan hal ini mengalami penurunan dibandingkan dua tahun
sebelumnya yaitu pada tahun 2008 yang pengunjungnya mencapai 864 orang. Hasil studi
pendahuluan yang dilakukan pada 10 orang yang rawat inap di Rumah Sakit DKT
Mojokerto pada tanggal 5 Januari 2011 terdapat 8 orang yang menyatakan kurang puas
terhadap pelayanan perawat dan 2 orang menyatakan sangat puas terhadap pelayanan
perawat pada saat rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto.
Pada saat ini kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan termasuk
pelayanan keperawatan akan terus meningkat, masyarakat akan terus menuntut
tersedianya pelayanan kesehatan dan keperawatan dengan kualitas yang profesional dan
dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan standart pelayanan keperawatan yang telah
diakui sebagai profesi dan telah melaksanakan praktik keperawatan, secara tidak
langsung melekat tanggung jawab (responsibilitas) dan tanggung gugat (accountabilitas)
di atas segala keputusan dan tindakan di dalam lingkup peran dan fungsinya sebagai
perawat (Kusnanto, 2004). Untuk menciptakan kepuasan pasien maka Tenaga kesehatan
harus memperhatikan hak pasien termasuk hak menerima informasi secara jelas sehingga
pasien dan keluarganya akan merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan. Selain itu,
apabila setiap profesi kesehatan memegang teguh kode etik profesi yang telah
dirumuskan oleh masing- masing profesi dan menerapkannya di dalam pemberian
pelayanan kepada pasien maka komplain tidak akan terjadi. Disamping itu, setiap profesi
kesehatan harus meningkatkan motivasi internalnya untuk menolong sesama manusia.
Tidak sekedar motivasi material tapi juga keikhlasan berbuat menolong sesama manusia
dalam rangka beribadah kepada-Nya (Khoiriyati, 2010). Oleh sebab itu perawat harus
senantiasa menerapkan asuhan keperawatan kepada pasien dengan berdasarkan pada kode
etik profesi dan kebutuhan menolong sesama manusia. Selain itu memperbaiki bentuk
komunikasi kepada pasien dapat meningkatkan kepuasan pasien (Muhaj, 2010).
61

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Kepuasan
a. Pengertian
Menurut beberapa tokoh adalah sebagai berikut :
1) Kepuasan adalah respon pemenuhan dari konsumen bahwa produk atau
pelayanan telah memberikan tingkat kenikmatan. Tingkat pemenuhan ini
bisa lebih atau kurang (Richard dalam Irawan, 2003).
2) Kepuasan adalah sebagai persepsi terhadap produk atau jasa yang telah
memenuhi harapannya. Oleh karena itu pelanggan tidak akan puas apabila
pelanggan mempunyai persepsi bahwa harapannya belum terpenuhi (Irawan,
2003).
Jadi kepuasan adalah respon pemenuhan dari konsumen yang
menunjukkan bahwa pelayanan yang diberiakan telah memenuhi kebutuhan
pelanggan sesuai dengan harapannya.
b. Kepuasan Pelanggan (Irawan, 2003)
1) Kepuasan pelanggan adalah suatu keadaan dimana keinginan/harapan dan
kebutuhan pelanggan terpenuhi. Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila
pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan.
2) Pengukuran kepuasan pelanggan merupakan elemen penting dalam
menyediakan pelayanan yang lebih baik/lebih efisien dan lebih efektif
apabila pelanggan merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan yang
disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan tidak
efisien. Dalam hal ini terutama sangat penting bagi pelayanan publik.
3) Beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan oleh pelanggan dalam menilai
suatu pelayanan yaitu: ketepatan waktu, dapat dipercaya, kemampuan
tekhnis, diharapkan, berkualitas dan harga yang sepadan. Dalam rangka
mengembangkan suatu mekanisme pemberian pelayanan yang memenuhi
kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan, perlu mengetahui hal- hal
berikut :
a) Mengetahui apa pelanggan pikirkan tentang anda, pelayanan anda dan
pesaing anda.
b) Mengukur dan meningkatkan kinerja anda.
c) Memanfaatkan kelemahan anda ke dalam peluang pengembangan,
sebelum orang lain memulainya.
d) Membangun wahana komunikasi internal sehingga setiap orang tahu
apa yang mereka kerjakan.
e) Menunjukkan komitmen anda terhadap kualitas dan pelanggan anda.
f) Umpan balik dan informasi merupakan elemen yang penting dalam
membangun sistem pemberian pelayanan yang efektif.
4) Pelanggan Yang Puas (Irawan, 2003)
Definisi pelanggan yang puas dapat diartikan dalam beberapa
pengertian, diantaranya :
a) Seorang pelanggan yang puas adalah pelanggan yang merasa
mendapatkan value dari pemasok, produsen dan penyedia jasa.
b) Pelanggan akan merasa puas jika puasnya sama atau lebih dari yang
diharapkan.
c) Pelanggan yang puas adalah pelanggan yang akan berbagi kepuasan
dengan produsen atau penyedia jasa, bahkan pelanggan yang puas akan
berbagi rasa dan pengalaman dengan pelanggan lain.

62

HOSPITAL MAJAPAHIT
c.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Dimensi Kepuasan
Menurut Azwar (2003) mengatakan bahwa dimensi kepuasan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Kepuasan mengacu hanya pada penerapan standart dan kode etik profesi.
Kepuasan pemakai jasa kesehatan terbatas hanya pada kesesuaian
dengan standart dan kode etik profesi saja. Suatu pelayanan kesehatan
tersebut sebagai pelayanan kesehatan yang bermutu apabila penerapan
standart dan kode etik profesi dapat memuaskan klien, ukuran yang
dimaksud pada dasarnya mencakup penilaian tehadap kepuasan mengenai :
a) Hubungan Perawat Pasien. Terbinanya hubungan perawat-pasien
yang baik adalah salah satu memberikan perhatian yang cukup kepada
kliennya secara pribadi, menampung dan mendengarkan seruan,
keluhan serta menjawab dan memberikan keterangan yang sejelasjelasnya tentang segala hal yang ingin diketahui oleh klien.
b) Kenyamanan Pelayanan. Kenyamanan yang dimaksud di sini tidak
menyangkut masalah fasilitas yang tersedia, tetapi yang terpenting yang
menyangkut sikap serta tindakan para pelaksana ketika
menyelenggarakan pelayanan.
c) Kebebasan Melakukan Pilihan. Pelayanan kesehatan disebut bermutu
bila kebebasan memilih ini dapat diberikan karena itu dapat
dilaksanakan oleh setiap penyelenggara pelayanan kese hatan. Oleh
karena itu informasi yang lengkap dan jelas sangat diperlukan sebelum
pasien menentukan pilihan.
d) Pengetahuan dan Kompetensi Teknik. Semakin tinggi tingkat
pengetahuan dan tingkat kompetensi tekhnis maka semakin tinggi pula
mutu pelayanan.
e) Efektifitas Pelayanan. Semakin tinggi pelayanan maka semakin tinggi
pula mutu pelayanan.
f) Keamanan Tindakan. Untuk dapat terselenggaranya pelayanan
kesehatan yang bermutu, aspek keamanan tindakan ini harus
diperhatikan, pelayanan yang membahayakan pasien adalah pelayanan
yang tidak baik dan karena itu tidak boleh dilakukan.
2) Kepuasan yang mengacu pada penerapan semua persyaratan pelayanan
kesehatan yaitu mengenai :
a) Tersedianya Pelayanan Kesehatan. Pelayanan kesehatan yang bermutu
apabila pelayanan itu tersedia di masyarakat.
b) Keseimbangan Pelayanan Kesehatan. Pelayanan kesehatan disebut
bermutu apabila pelayanan bersifat wajar dalam arti dapat mengatasi
masalah kesehatan yang dihadapi.
c) Kesinambungan Pelayanan Kesehatan. Pelayanan kesehatan dikatakan
bermutu apabila pelayanan tersebut bersifat kesinambungan dalam arti
tersedia setiap saat baik menurut waktu atau kebutuhan pelayanan
kesehatan.
d) Penerimaan Pelayanan Kesehatan. Untuk dapat menjamin munculnya
kepuasan yang terkait dengan mutu pelayanan kesehatan tersebut harus
dapat diupayakan sehingga dapat dinerima oleh pemakai pelayanan
kesehatan.
e) Ketercapaian Pelayanan Kesehatan. Pelayanan kesehatan yang
lokasinya terlalu jauh dari tempat tinggal terutama yang mudah dicapai,
apabila keadaan itu terjadi, maka tidak akan memuaskan klien.
63

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

f)

2.

Efisiensi Pelayanan Kesehatan. Azwar mengatakan puas atau tidaknya


pemakai jasa pelayanan mempunyai kaitan erat dengan baik atau
tidaknya mutu pelayanan, maka pelayanan kesehatan disebut bermutu
bila pelayanan diselenggarakan secara efisien.
g) Keterjangkauan
Pelayanan
Kesehatan.
Azwar
mengatakan
keterjangkauan pelayanan kesehatan erat hubungannya dengan
kepuasan pasien berhubungan dengan mutu pelayanan, maka suatu
pelayanan dikatakan bermutu apabila pelayanan dapat dijangkau oleh
pemakai jasa pelayanan.
h) Mutu Pelayanan Kesehatan. Mutu pelayanan kesehatan yang dimaksud
di sini adalah menunjukkan pada kesembuhan serta keamanan tindakan
yang apabila berhasil pasti akan memuaskan.
d. Faktor yang me mpengaruhi Kepuasan
Lupiyoadi (2001) yang menyatakan bahwa dalam menentukan tingkat
kepuasan, terdapat lima faktor yang berpengaruh, yaitu : 1. Faktor Reliability
(produk atau jasa dapat disampaikan, diandalkan, dipercaya dan dapat
dipertanggung jawabkan atau memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan
pelanggan; 2. Faktor Insurance (dalam penyampaian produk atau jasa disertai
rasa hormat, sopan); 3. Faktor Tangiable (tampilan fisik fasilitas, alat dan tenaga
yang meliputi kebersihan, penerangan, kebisingan, dari kerapian pakaian,
keramahan; 3. Faktor Emphaty (kesediaan pemberi jasa untuk mendengarkan
dan adanya perhatian akan keluhan, kebutuhan, keinginan dan harapan pasien);
4. Faktor Responsiveness (kemauan untuk menyediakan pelayanan dengan cepat
dan mau membantu pasien).
Konsep Pelayanan
a. Pengertian
Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam
interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik,
dan menyediakan kepuasan pelanggan (Tjiptono, 2000).
Dalam kamus bahasa Indonesia dijelaskan pelayanan sebagai usaha
melayani kebutuhan orang lain. Sedangkan melayani adalah membantu
menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan seseorang (Tjiptono, 2005).
b. Konsep Kualitas Pelayanan (Servqual)
Parasuraman et.al (1985) mengatakan ada dua faktor utama yang
mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expective service (pelayanan yang
diharapkan), perceived service (pelayanan yang diterima). Karena kualitas
pelayanan berpusat pada upaya pemenuhan dan keinginan pelanggan serta
ketepatan penyampaian untuk mengimbangi harapan pelanggan (Tjiptono,
2005).
c. Dimensi Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Kepe rawatan
Menurut Nursalam (2003), ada lima dimensi tingkat kepuasan pasien
terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan, yaitu :
1) Dimensi tangiable (kenyataan)
Dimensi tangiable (kenyataan) ini mencakup informasi tarif/biaya
perawatan, prosedur pelayanan rawat inap, kondisi ruangan yang selalu
bersih, kondisi peralatan yang digunakan selalu bersih, kondisi kamar mandi
yang bersih.
2) Dimensi reliability (kepercayaan)
Dimensi reliability (kepercayaan) ini mencakup rasa kepercayaan
pasien terhadap perawat, secara keseluruhan perawat di rumah sakit tersebut
64

HOSPITAL MAJAPAHIT

3.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

baik, perawat memberi tahu tentang hal yang harus dipatuhi pasien selama
perawatan, perawat mengupayakan agar pasien merasa puas.
3) Dimensi responsivenes (tanggung jawab)
Yang termasuk dalam dimensi ini adalah : perawat membantu pasien
memperoleh obat, pelayanan laboratorium, pelayanan radiologi, ketika
pasien sampai di ruangan perawat segera menangani.
4) Dimensi insurance (jaminan)
Dimensi Insurance ini mencakup pelayanan perawat membuat
keluhan dan kecemasan pasien makin berkurang.
5) Dimensi emphaty (keperdulian)
Cakupan dimensi empati meliputi perilaku perawat saat dibutuhkan
pasien dan kemampuan perawat untuk selalu berusaha perduli dan
memuaskan pasien.
Konsep Keperawatan
a. Pengertian Keperawatan
Menurut :
1) Florence Nightingale (1985). Keperawatan adalah suatu proses menciptakan
kondisi pasien dalam kondisi yang baik untuk beraktivitas.
2) King (1971). Keperawatan adalah proses aksi dan interaksi untuk membantu
individu dalam berbagai kelompok umur dalam memenuhi kebutuhannya
dan menangani status kesehatan mereka pada saat tertentu dalam suatu
siklus kehidupan.
3) Dorothea Orem (1921). Keperawatan adalah pelayanan yang bersifat
manusia berfokus pada pemenuhan kebutuhan manusia untuk merawat dari
kesembuhan penyakit dan cidera, penanggulangan komplikasinya sehingga
dapat menunjang kehidupan.
Jadi keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang bersifat
profesional dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia (biologis, psikologis,
sosial dan spiritual) yang dapat ditujukan kepada individu, keluarga dan atau
masyarakat dalam rentang sehat sakit.
b. Pengertian Pe rawat
1) International Counsil of Missing (1965). Perawat adalah seseorang yang
telah menyelesaikan program pendidikan keperawtan, berwenang di Negara
yang bersangkutan untuk memberikan pelayanan dan bertanggung jawab
dalam meningkatkan kesehatan, pencegahan penyakit serta pelayanan
kepada pasien.
2) V. Handerson (1980). Perawat mempunyai fungsi yang unik, yaitu
membantu individu baik yang sehat maupun yang sakit dan lahir sampai
meninggal agar dapat melaksanakan aktifitas sehari hari secara mandiri.
3) Taylor C. Lilis C. Lemon (1989). Perawat adalah seseorang yang berperan
dalam merawat dan membantu seseorang dengan melindungi dari sakit,
luka-luka dan proses penuaan.
Jadi perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan program
pendidikan keperawtan dan membantu individu yang sehat maupun yang
sakit, proses penuaan dan memberi pelayanan yang bertanggung jawab
(Zaidin, 2001).
c. Praktek Keperawatan Profesional dan Sasaran Pelayanan Keperawatan
1) Praktek Keperawatan Profesional
Praktek keperawatan profesional merupakan perwujudan pelayanan
dan asuhan keperawatan yang bertanggung jawab dan bertanggung gugat
65

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

pelayanan asuhan keperawatan diberikan oleh perawat yang mempunyai


kemampuan intelektual, tekhnikal, interpersonal, dan dasar etik yang sehat.
Menurut Handerson (1980) pelayanan keperawatan (Nursing Service)
adalah upaya untuk membantu individu baik sakit maupun sehat, dari lahir
sampai meninggal dunia dalam bentuk peningkatan pengetahuan dan
kemampuan yang dimiliki sehingga individu tersebut dapat secara optimal
melakukan kegiatan sehari- hari secara mandiri.
2) Sasaran Pelayanan Keperawatan
Sasaran pelayanan keperawatan adalah individu keluarga, dan
masyarakat baik yang sehat maupun yang sakit.
a) Individu sasaran pelayanan keperawatan
Individu yang menjadi sasaran pelayanan keperawatan adalah
individu yang dianggap sebagai makhluk bio-psiko-sosio-spiritual.
b) Individu sebagai makhluk biologis
Biologis berasal dari bahasa Yunani yang tediri dari bios dan
logos. Bios sendiri artinya hidup sehingga dapat dikatakan bahwa
individu adalah makhluk yang hidup yang tumbuh dan berkembang
sehingga makhluk hidup individu mempunyai ciri-ciri terdiri dari
susunan sel sel hidup yang membentuk suatu kesatuan yang utuh
(sistem tubuh) dalam pertumbuhannya sehingga dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu :
(1) Faktor lingkungan meliputi faktor idiologi politik, ekonomi,
budaya dan agama.
(2) Faktor sosial meliputi sosiologi keluarga, kawan sejawat,
pendidikan dan lain- lain.
(3) Faktor fisik meliputi geografis, iklim dan cuaca.
(4) Faktor fisiologis meliputi genetik, neorologi, kelenjar-kelenjar,
kardiovaskuler, alat gerak, maturitas, kemamp uan menyesuaikan
diri.
(5) Faktor psikodinamik meliputi bentuk pribadi, konsep diri, cita-cita
identitas dan lain- lain.
c) Individu sebagai makhluk psikologis ciri cirinya adalah mempunyai
struktur kepribadian yang terdiri dari id, ego, dan super ego,
mempunyai daya pikir dan kecerdasan serta mempunyai kebutuhan
fisiologis agar kepribadian dapat berkembang dan juga mempunyai
suatu pribadi yang begitu unik karena tidak ada dua individu di dunia
ini yang sama.
d) Individu sebagai makhluk sosial ciri cirinya adalah rasa, cipta dan
karsa. Rasa mencakup suka duka dan cemas, selanjutnya cipta
mencakup kesanggupan badan untuk menyentuh sesuatu dan sedangkan
karsa mencakup kehendak dan harapan.
e) Individu sebagai makhluk spiritual dengan ciri ciri yang diciptakan
oleh Tuhan dalam bentuk yang sempurna dibanding makhluk ciptaan
lainnya. Selain itu juga memiliki rohani / jiwa yang sempurna
contohnya akal pikiran, perasaan dan kemauan. Selanjutnya individu
diciptakan sebagai khalifah (penguasa dan pengatur) di muka bumi dan
makhluk spiritual juga terdiri dari atas unsur bio, psiko, yang utuh
(Zaidin, 2001).

66

HOSPITAL MAJAPAHIT

d.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

3) Individu Sebagai Sasaran Unit Pelayanan Keperawatan


Keluarga adalah kumpulan individu yang hidup bersama sebagai satu
kesatuan dengan atau tanpa ikatan darah sebagai unit terkecil dalam
masyarakat, keluarga memiliki ikatan yang kuat diantara anggotanya dan
rasa ketergantungan dalam menghadapi berbagai masalah yang timbul
termasuk masalah kesehatan keluarga sebagai unit pelayanan keperawatan.
4) Masyarakat Dengan Sasaran Pelayanan Keperawatan
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut
salah satu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat
oleh suatu rasa identitas bersama. Dengan demikian masyarakat memiliki
unsur sebagai berikut :
a) Sejumlah orang yang terkumpul di tempat tertentu.
b) Saling berinteraksi dalam waktu yang relatif lama.
c) Pada interaksinya menurut sistem adat istiadat.
d) Terdapat keterikatan dalam rasa identitas bersama.
Pengertian asuhan keperawatan dan model pemberian asuhan
keperawatan.
1) Pengertian Asuhan Keperawatan
a) Proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan yang
diberikan secara langsung kepada klien/ pasien di berbagai tatanan
pelayanan kesehatan.
b) Dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah keperawatan sebagai profesi
yang berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, bersifat Humanistik dan
berdasarkan pada kebutuhan obyektif klien untuk mengatasi masalah
yang dihadapi klien.
c) Merupakan inti pelayanan (praktik keperawatan yang berupaya untuk
membantu melayani kebutuhan dasar melalui bentuk-bentuk tindakan
keperawatan, menggunakan ilmu kiat keperawatan dalam setiap
tindakan, memanfaatkan potensi dari berbagai sumber) (Nursalam,
2002).
2) Model Pemberian Asuhan Keperawatan
Model memberikan asuhan keperawatan yang lazim dipakai meliputi
metode kasus, metode fungsional, tim keperawatan, keperawatan primer,
sistem manajemen kasus.
a) Metode kasus merupakan metode client entered, dimana seorang
perawat bertanggung jawab untuk memberikan perawatan pada
sejumlah pasien dalam waktu 8 atau 12 jam setiap shift. Perawat
mengkaji sampai dengan evaluasi pada setiap pasien-pasien dirawat
oleh orang yang berbeda pada setiap pergantian shift.
b) Metode fungsional : sistem ini berfokus pada tugas/ pekerjaan yang
harus diselesaikan. Metode penugasan setiap staf perawat melaksanakan
1-2 fungsi keperawatan pada semua pasien yang ada di ruangan. Misal
fungsi suntik dan fungsi keperawatan luka. Metode ini cukup efisien
dan ekonomi serta mengarah pemusatan dan pengendalian.
Kelemahannya munculnya pragmentasi keperawatan, tidak dapat
menerapkan proses keperawatan, tidak memberikan kepuasan.
c) Tim Keperawatan : Metode ini mengatasi fragmentasi dari metode pada
orientasi tugas. Tim keperawatan merupakan pemberian asuhan
keperawatan pada setiap pasien oleh tim keperawatan yang dipimpin
oleh perawat profesional.
67

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

d) Perawat ruangan di bagi 2-3 tim yang terdiri dari tenaga profesional,
tehnikal dan pembantu dalam satu group kecil yang saling membantu.
Ketua tim sebagai perawat profesional harus mampu menggunakan
berbagai teknik kepemimpinan, pentingnya komunikasi yang efektif
agar kontinuitas rencana keperawatan terjamin. Anggota harus
menghargai kepemimpinan ketua tim.
e) Keperawatan Primer : Metode penugasan di mana satu orang perawat
bertanggung jawab penuh selama 24 jam terhadap asuhan keperawatan
pasien mulai dari masuk sampai keluar rumah sakit. Metode primer
ditandai dengan adanya keterkaitan kuat dan terus menerus antara
pasien dan perawat yang tugasnya untuk merencanakan, melakukan dan
koordinasi asuhan keperawatan selama pasien dirawat (Nursalam,
2002).
f) Kelebihan bertempat kontinuitas dan komprehensif, akuntabilitas tinggi,
terhadap hasil dokter merasa puas. Pasien merasa dimanusiakan karena
terpenuhinya kebutuhan secara individu, asuhan keperawatan yang
diberikan bermutu tinggi, tercapai pelayanan yang efektif pengobatan,
dukungan, proteksi, informasi, dan advokasi. Kiat keperawatan
(Nursing arts) lebih difokuskan pada kemampuan perawat untuk
memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif dengan sentuhan
seni dalam arti menggunakan kiat-kiat tertentu di dalam upaya
memberikan kepuasan dan kenyamanan pada klien, berikut ini
diuraikan kiat-kiat dalam keperawatan :
(1) Nursing is caring : perawat berperan memberikan asuhan
keperawatan tidak ada kasus pribadi semua diperlakukan sama.
(2) Nursing is sharing : selalu melakukan sharing antara semua
perawat dengan tim kesehatan.
(3) Nursing is laughing : perawat meyakini bahwa senyum merupakan
kiat dalam asuhan keperawatan untuk meningkatkan rasa nyaman
klien.
(4) Nursing is crying : Perawat menerima respon emosional dari orang
lain sebagai hal biasa pada situasi senang/ atau duka.
(5) Nursing is touching : sentuhan untuk meningkatkan rasa nyaman
pada saat melakukan masase atau saat menyatakan saya
memahami anda.
(6) Nursing is helping : asuhan keperawatan dilakukan untuk
menolong klien sepenuhnya memahami kondisi klien.
(7) Nursing is believing in others : meyakini bahwa orang lain
memiliki hasrat dan kemampuan meningkatkan status
kesehatannya.
(8) Nursing is trusting : perawat menjaga kepercayaan orang lain untuk
menjaga mutu asuhan keperawatan.
(9) Nursing is learning : selalu belajar mengembangkan pengetahuan
dan ketrampilan keperawatan profesional melalui asuhan
keperawatan.
(10) Nursing is respecting : hormat dan menghargai klien dan
keluarganya dengan menjaga kepercayaan dan rahasia klien.
(11) Nursing is listening : perawat harus mau menjadi pendengar yang
baik ketika klien berbicara atau mengeluh.

68

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

(12) Nursing is doing : perawat melakukan pengkajian dan intervensi


keperawatan berdasarkan pengetahuannya, untuk memberikan rasa
aman dan nyaman serta asuhan keperawatan secara komprehensif
(13) Nursing is feeling : perawat dapat menerima, merasakan, dan
memahami perasaan duka, senang, frustasi dan rasa puas klien.
(14) Nursing is accepting : perawat harus menerima diri sendiri sebelum
dapat menerima orang
(15) Nursing is believing in self: perawat yakin bahwa dirinya memiliki
pengetahuan dan mampu untuk menolong orang lain dalam
memelihara kesehatannya (Gaffar, 2003).
C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian, Variabel dan definisi Operasional.
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif. Rancangan
penelitian deskriptif adalah rancangan penelitian yang bertujuan untuk menerangkan
atau menggambarkan masalah penelitian yang terjadi berdasarkan karakteristik
tempat, waktu, umur, jenis kelamin, sosial, ekonomi, pekerjaan, status perkawinan,
cara hidup (pola hidup) dan lain- lain atau dengan kata lain rancangan ini
mendeskripsikan seperangkat peristiwa atau kondisi populasi saat itu (Hidayat,
2007). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode publik opinion survey
dengan tujuan untuk memperoleh gambaran tentang pendapat umum terhadap suatu
program pelayanan kesehatan yang sedang berjalan (Nursalam, 2001).
Input:
SDM:
pengetahuan, kesopanan,
keramahan, kemampuan
diagnosis, ketrampilan
dan keahlian, emphati dan
respons
Fasilitas:
Kebersihan, kenyamanan,
keamanan, kelengkapan
fasilitas

Proses
Pelayanan
Keperawatan

Output:
Kepuasan Pasien :
1. Puas
2. Tidak Puas

Lima dimensi penentu tingkat kepuasan :


a. Tangiable (Kenyataan)
b. Reliability (Kepercayaan)
c. Responsiveness (Tanggung Jawab)
d. Insurance (Jaminan)
e. Emphaty (Keperdulian)

Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
Gambar 5. Kerangka Konseptual Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Dan
Keluarga Pada Pelayanan Keperawatan Di Rumah Sakit DKT
Mojokerto.
Variabel dalam penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu tingkat kepuasan
pasien rawat inap dan keluarga pada pelayanan keperawatan di Rumah Sakit DKT
Mojokerto.

69

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Tabel 16. Definisi Operasional Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Dan
Keluarga Pada Pelayanan Keperawatan Di Rumah Sakit DKT
Mojokerto.
Variabel
Kepuasan
pasien dan
keluarga pada
pelayanan
keperawatan

2.

Definisi Operasional
Kepuasan adalah respon dari
konsumen (pasien dan
keluarga) yang menunjukkan
bahwa pelayanan yang
diberikan telah memenuhi
kebutuhan pelanggan sesuai
dengan harapan, dengan
parameter lima dimensi
kualitas layanan yang menjadi
penentu tingkat kepuasan :
1. Reliability
2. Insurance
3. Tangiable
4. Emphaty
5. Responsiveness
Yang diukur dengan
menggunakan kuesioner.

Krite ria
Skala
Penilaian tingkat kepuasan : Nominal
1. T50 puas,
2. T<50 tidak puas
Dengan menggunakan skala
likert.
(Azwar, 2007)

Populasi, Sampel, Teknik dan Instrumen Penelitian.


Penelitian ini dilakukan di Poli Rawat Inap Rumah Sakit DKT Mojokerto.
Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 16 Februari 2011 - 12 Maret 2011.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien rawat inap yang d i Rumah
Sakit DKT Mojokerto pada tahun 2010 sebanyak 804 pasien.
Dalam penelitian ini menggunakan Consecutive Sampling yaitu pemilihan
sampel dengan menetapkan subjek yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan
dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah pasien yang
diperlukan terpenuhi (Nursalam, 2003). Sampel dalam penelitian ini adalah semua
pasien rawat inap dan keluarga pasien rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto
yang dijumpai peneliti selama penelitian.
a. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :
1) Pasien rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto.
2) Pasien yang dirawat dengan lama rawat inap lebih dari 3 hari.
3) Pasien dengan kesadaran penuh.
4) Semua pasien yang ditunggui keluarga.
5) Pasien yang bersedia menjadi responden dan kooperatif.
b. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah :
1) Pasien tuli.
2) Pasien dengan gangguan psikologis.
Setelah dilakukan pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi,
maka ditentukan jumlah sampel sebanyak 35 responden dari pasien dan 35 responden
dari keluarga.
Teknik pengumpulan data dari pasien adalah angket (Quesionery), sedangkan
kuesioner pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner yang terdiri dari
25 pertanyaan yang terbagi atas 5 pertanyaan tentang tangiable (kebersihan,
kenyamanan, keamanan, kelengkapan fasilitas), 5 pertanyaan tentang reliability
(kepercayaan), 5 pertanyaan tentang responsivenes (tanggung jawab), 5 pertanyaan
70

HOSPITAL MAJAPAHIT

3.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

tentang insurance (pengetahuan, kesopanan, keramahan, kemampuan diagnosis,


ketrampilan dan keahlian), dan 5 pertanyaan tentang emphaty (keperdulian).
Responden diminta memberikan penilaian tentang kenyataan dan harapan yang
diterima akan layanan rawat inap di Poli Rawat inap Rumah Sakit DKT Mojokerto
kemudian kuesioner dibagikan kepada responden, dalam pengisian kuisioner
responden ada yang di bantu apabila terdapat kesulitan dalam pengisian.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data.
Setelah data terkumpul kemudian dilakukan pengolahan data dengan tahap
tahap sebagai berikut.
a. Editing. Editing adalah memeriksa kembali semua data yang dikumpulkan
melalui kuesioner (Nazir, 2005). Jika terdapat kuesioner yang belum diisi /
pengisian tidak sesuai dengan petunjuk maka kuesioner tersebut dikembalikan
kepada responden untuk mengisinya kembali dengan disertai penjelasan ke mbali
tentang informasi yang dibutuhkan oleh responden. Dalam penelitian, ternyata
ada beberapa responden yang kurang lengkap dalam mengisi kuesioner dan itu
ditemukan setelah peneliti melakukan editing. Ketika dikonfirmasi ulang, alasan
responden tidak mengisi adalah karena kurang konsentrasi. Setelah diberi
kesempatan untuk membaca ulang, responden bisa menjawab pertanyaan dengan
baik.
b. Coding. Coding adalah tahap kedua setelah editing. Dimana penelitian memberi
kode pada setiap kategori pada setiap variabel (Nazir, 2005). Hal ini
dimaksudkan untuk memperoleh dalam tabulasi dan analisis data
pengklasifikasian untuk informasi, meliputi klasifikasi umur responden
berdasarkan Hurlock (2001), dimana umur 20 29 tahun diberi kode 1, umur 30
39 tahun diberi kode 2, 40 49 tahun diberi kode 3, umur 50 - 59 diberi kode
4, umur 60 tahun diberi kode 5. Klasifikasi tingkat pendidikan responden
berdasarkan Susenas yang diadakan BPS (2003), dimana tidak / belum tamat SD
diberi kode 1, tingkat SD diberi kode 2, SMP diberi kode 3, SLTA diberi kode 4,
Diploma diberi kode 5, dan universitas diberi kode 6. Begitu juga untuk
klasifikasi pekerjaan responden berdasarkan BPS (2003), dimana Tidak Bekerja
diberi kode 1, Wiraswasta diberi kode 2, Swasta diberi kode 3, Tani diberi kode
4, Polri/TNI diberi kode 5, dan PNS diberi kode 6. Klasifikasi penghasilan
responden digunakan berdasarkan JPS (2009), dimana Rp. 1.009.150,- diberi
kode 1 dan > Rp. 1.009.150,diberi kode 2. Kode yang diberikan dalam proses
coding dicantumkan dalam master tabel. Kode yang digunakan dalam kuesioner
juga digunakan untuk scoring. Ini dilakukan untuk mempermudah analisa data
yang dilakukan peneliti.
c. Scoring. Setelah angket dikumpulkan, kemudian pengolahan data dilakukan
dengan pemberian skor dan penilaian (Nursalam, 2003).
d. Penilaian tingkat kepuasan T 50 puas dan T < 50 tidak puas, dengan memberi
skor pada setiap jawaban :
1) Sangat puas
(4)
2) Puas
(3)
3) Tidak puas
(2)
4) Sangat tidak puas (1)
Data yang telah terkumpul melalui kuesioner kemudian dianalisa secara
sistematik agar bisa ditabulasi dan dikelompokkan dengan sub variabel yang
diteliti dengan menggunakan skor T yaitu :

71

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012


T

e.

f.

g.

h.

50 10

y x
SD

Keterangan :
y
= Skor responden pada skala sikap yang diubah menjadi skor T
x
= mean skor kelompok
SD = Standar deviasi skor kelompok.
Data yang telah diolah dibuat distribusi frekuensi (Azwar, 2007).
Tabulasi
Tabulasi adalah pengelompokan dengan membuat analisis yang
dibutuhkan (Nazir, 2005). Cara pembacaan hasil tabulasi yang dimuat dalam
tabel berdasarkan Nursalam (2003) yaitu :
a. < 50 %
= Paling banyak
b. 50 69
= Lebih dari 50 %
c. 70 89
= Sebagian besar
d. > 90 %
= Mayoritas
Cleanning Data. Cleanning data adalah proses untuk meyakinkan bahwa data
yang telah di entry/dimasukkan betul - betul bersih dari kesalahan. Kesalahan
biasa saja terjadi karena si pemasuk data salah ketik (Budijanto, 2007). Pada saat
cleaning data peneliti meyakinkan data telah dientry dengan benar.
Shorting. Shorting adalah
mensortir
dengan cara
memilah atau
mengelompokkan data menurut jenis yang dikehendaki (klasifikasi data)
(Budijanto, 2007). Pada saat shorting peneliti sudah mengklasifikasikan data
responden.
Mengeluarkan informasi yang diinginkan. (Budijanto, 2007).
Dengan hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan penilaian tingkat
kepuasan pasien rawat inap dan keluarga pada pelayanan keperawatan.

D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Rumah Sakit DKT Mojokerto didirikan oleh BKR pada tahun 1946 dengan
pimpinan dr. Hadiono Singgih yang kemudian namanya diabadikan menjadi nama
Rumah Sakit sejak tahun 1976 dengan nama Rumah Sakit TK. IV dr. Hadiono
Singgih. Pada tahun 1986 berubah status menjadi Poliklinik Induk dan pada tahun
2001 berubah menjadi Rumah Sakit DKT Mojokerto/Rumkitban dr. Hadiono
Singgih Mojokerto yang bertugas dibawah naungan Mabes TNI AD dan Kemenhan
RI.
Visi yang dimiliki Rumah Sakit DKT Mojokerto adalah memberikan
pelayanan kesehatan terhadap prajurit, PNS TNI AD dan keluarganya secara tepat,
cepat dan profesional, sedangkan misinya adalah melaksanakan pembangunan
bidang kesehatan terhadap prajurit, PNS TNI AD dan keluarganya serta bereran aktif
mensukseskan pembangunan nasional dibidang kesehatan.
Rumah Sakit DKT terletak di Jalan R. Wijaya No. 58 Kelurahan Kranggan
Kecamatan Prajurit Kulon Kota Mojokerto dan menempati bangunan seluas 1.087 m2
pada area seluas 13.599 m2 . Jenis pelayanan yang ada di Rumah Sakit DKT
Mojokerto diantaranya adalah UGD, rawat inap (rawat inap pria dan rawat inap
wanita), rawat jalan (poli umum, poli gigi dan poli KIA), kamar operasi,
laboratorium medis, instalasi farmasi dan BKIA. Kapasitas tempat tidur di Rumah
Sakit DKT Mojokerto terdiri dari kelas 1 (10 tempat tidur), kelas 2 (10 tempat tidur)
dan kelas 3 (32 tempat tidur) dengan rata-rata penggunaan tempat tidur per tahun
(BOR / Bed Occupancy Rate) sebesar 85 %.
72

HOSPITAL MAJAPAHIT

2.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Ketenagaan yang ada di Rumah Sakit DKT Mojokerto sebanyak 65 orang,


yang terdiri dari : 2 orang dokter umum, 2 orang dokter gigi, 23 orang perawat, 6
orang bidan, 2 orang analis kesehatan dan 1 orang asisten apoteker dan 28 tenaga
umum lainnya.
Data Umum
a. Distribusi Frekuensi Pasien dan Keluarga Berdasarkan Umur.
Tabel 17 Distribusi Frekuensi Pasien dan Keluarga Berdasarkan Umur Di
Rumah Sakit DKT Mojokerto Pada Tanggal 16 Februari 2011
12 Maret 2011.
Pasien
Keluarga
No.
Umur
Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase
(f)
(%)
(f)
(%)
1.
20 29 tahun
11
31,4
15
42,9
2.
30 39 tahun
14
40
11
31,4
3.
40 49 tahun
6
17,1
5
14,3
4.
50 59 tahun
4
11,4
4
11,4
5.
60 tahun
0
0
0
0,0
Jumlah
35
100
35
100
Berdasarkan tabel 17 diatas dapat diketahui bahwa paling banyak pasien
berumur 30 - 39 tahun yaitu sebanyak 14 responden (40%), sedangkan keluarga
pasien paling banyak berumur 20 - 29 tahun yaitu sebanyak 15 responden
(42,9%).
b. Distribusi Frekuensi Pasien dan Keluarga Berdasarkan Pendidikan.
Tabel 18 Distribusi Frekuensi Pasien dan Keluarga Berdasarkan
Pendidikan Di Rumah Sakit DKT Mojokerto Pada Tanggal 16
Februari 2011 12 Maret 2011.
Pasien
Keluarga
No.
Pendidikan
Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase
(f)
(%)
(f)
(%)
Tidak/Belum
1.
0
0
0
0,0
Tamat SD
2.
SD
0
0
0
0,0
3.
SMP
6
17,1
14
40,0
4.
SLTA
20
57,1
14
40,0
5.
Diploma
4
11,4
3
8,6
6.
Universitas
5
14,3
4
11,4
Jumlah
35
100
35
100
Berdasarkan tabel 18 diatas dapat diketahui bahwa lebih dari 50% pasien
berpendidikan SLTA yaitu sebanyak 20 responden (57,1%) sedangkan keluarga
pasien paling banyak berpendidikan SMP dan SLTA yaitu sebanyak 14
responden (40%).

73

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

c.

3.

Distribusi Frekuensi Pasien dan Keluarga Berdasarkan Pekerjaan.


Tabel 19 Distribusi Frekuensi Pasien dan Keluarga Berdasarkan Pekerjaan
Di Rumah Sakit DKT Mojokerto Pada Tanggal 16 Februari 2011
12 Maret 2011.
Pasien
Keluarga
No.
Pekerjaan
Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase
(f)
(%)
(f)
(%)
1.
Tidak Bekerja
2
5,7
17
48,6
2.
Wiraswasta
4
11,4
5
14,3
3.
Swasta
6
17,1
10
28,6
4.
Tani
0
0
0
0,0
5.
Polri/TNI
18
51,4
2
5,7
6.
PNS
5
14,3
1
2,8
Jumlah
35
100
35
100
Berdasarkan tabel 19 diatas dapat diketahui bahwa lebih dari 50% pasien
bekerja sebagai Polri/TNI yaitu sebanyak 18 responden (51,4%) sedangkan pada
keluarga paling banyak tidak bekerja yaitu sebanyak 17 responden (48,6%).
d. Distribusi Frekuensi Pasien dan Keluarga Berdasarkan Penghasilan.
Tabel 20 Distribusi Frekuensi Pasien dan Keluarga Berdasarkan
Penghasilan Di Rumah Sakit DKT Mojokerto Pada Tanggal 16
Februari 2011 12 Maret 2011.
Pasien
Keluarga
No.
Penghasilan
Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase
(f)
(%)
(f)
(%)
1. < Rp. 1.009.150,6
17,1
6
17,1
2. > Rp. 1.009.150,29
82,9
29
82,9
Jumlah
35
100
35
100
Berdasarkan tabel 20 diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar pasien
dan keluarga berpenghasilan > Rp. 1.009.150,- yaitu sebanyak 29 responden
(82,9%).
Data Khusus
a. Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Pada Pelayanan Keperawatan.
Tabel 21 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Pada
Pelayanan Keperawatan Di Rumah Sakit DKT Mojokerto Pada
Tanggal 16 Februari 2011 12 Maret 2011.
No. Tingkat Kepuasan
Frekuensi (f)
Persentase (%)
1.
Puas
18
51,4
2.
Tidak Puas
17
48,6
Jumlah
35
100
Berdasarkan tabel 21 diatas dapat diketahui bahwa lebih dari 50% pasien
rawat inap menyatakan puas pada pelayanan keperawatan yaitu sebanyak 18
responden (51,4%).

74

HOSPITAL MAJAPAHIT
b.

c.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Tingkat Kepuasan Keluarga Pasien Rawat Inap Pada Pelayanan Keperawatan.


Tabel 22 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Keluarga Pasien Rawat
Inap Pada Pelayanan Kepe rawatan Di Rumah Sakit DKT
Mojokerto Pada Tanggal 16 Februari 2011 12 Maret 2011.
No. Tingkat Kepuasan
Frekuensi (f)
Persentase (%)
1.
Puas
19
54,3
2.
Tidak Puas
16
45,7
Jumlah
35
100
Berdasarkan tabel 22 diatas dapat diketahui bahwa lebih dari 50%
keluarga pasien rawat inap menyatakan puas pada pelayanan keperawatan yaitu
sebanyak 19 responden (54,3%).
Tingkat Kepuasan Pasien Dan Keluarga
Tabel 23 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Pasien Dan Keluarga
Pasien Rawat Inap Pada Pelayanan Kepe rawatan Di Rumah Sakit
DKT Mojokerto Pada Tanggal 16 Februari 2011 12 Maret 2011.
Keluarga
Pasien
TOTAL
Tingkat
Pasien
No.
Kepuasan
f
%
f
%
f
%
1.
Puas
18
51,4
19
54,3
37
52,9
33
2.
Tidak Puas
17
48,6
16
45,7
47,1
Jumlah
35
100
35
100
70
100
Berdasarkan tabel 23 diatas dapat diketahui bahwa terdapat proporsi yang
hampir sama banyaknya antara pasien dan keluarga yang puas da n demikian
juga pada kelompok yang tidak puas. Keduanya menunjukkan proporsi yang
hampir sama besar.

E. PEMBAHASAN
1. Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Pada Pelayanan Keperawatan.
Berdasarkan tabel 20 diatas dapat diketahui bahwa lebih dari 50% pasien rawat
inap menyatakan puas pada pelayanan keperawatan yaitu sebanyak 18 responden
(51,4%). Jika ditinjau dari tabel 17 sampai 20 diatas diketahui bahwa paling banyak
pasien berusia 30 - 39 tahun (dewasa muda), berpendidikan SLTA dan bekerja
sebagai Polri/TNI serta berpenghasilan > Rp. 1.009.150,-.
Seorang pelanggan yang puas adalah pelanggan yang merasa mendapatkan
value dari pemasok, produsen dan penyedia jasa. Pelanggan akan merasa puas jika
puasnya sama atau lebih dari yang diharapkan dan pelanggan yang puas adalah
pelanggan yang akan berbagi kepuasan dengan produsen atau penyedia jasa, bahkan
pelanggan yang puas akan berbagi rasa dan pengalaman dengan pelanggan lain
(Irawati, 2003).
Jadi seorang pasien rawat inap akan menyatakan puas terhadap pelayanan
keperawatan yang diterimanya jika pasien merasa mendapatkan nilai dari penyedia
jasa dalam hal ini adalah perawat. Pasien merasa mendapatkan manfaat dari
pelayanan perawat yang diterimanya baik ditinjau dari segi pemberian pelayanan
ataupun dari segi etestika yaitu bagaimana perawat memberikan penanganan yang
cepat, kemudahan dalam memenuhi kebutuhan pasien dan juga keluarga,
kenyamanan yang diberikan meliputi keramahan perawat, kebersihan kelengkapan
sarana dan prasarana yang ada.
Lupiyoadi (2001) menyatakan bahwa dalam menentukan tingkat kepuasan,
terdapat lima faktor yang berpengaruh, yaitu : 1. Faktor Reliability (produk atau jasa
dapat disampaikan, diandalkan, dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan atau
75

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan pelanggan; 2. Faktor Insurance


(dalam penyampaian produk atau jasa disertai rasa hormat, sopan); 3. Faktor
Tangiable (tampilan fisik fasilitas, alat dan tenaga yang meliputi kebersihan,
penerangan, kebisingan, dari kerapian pakaian, keramahan; 3. Faktor Emphaty
(kesediaan pemberi jasa untuk mendengarkan dan adanya perhatian akan keluhan,
kebutuhan, keinginan dan harapan pasien); 4. Faktor Responsiveness (kemauan untuk
menyediakan pelayanan dengan cepat dan mau membantu pasien).
Tingkat kepuasan pasien ditinjau dari dimensi tangible menunjukkan bahwa
54,3% dari responden menyatakan puas sedangkan 45,7% menyatakan tidak puas.
Menurut Nursalam (2003), Dimensi tangiable (kenyataan) ini mencakup informasi
tarif/biaya perawatan, prosedur pelayanan rawat inap, kondis i ruangan yang selalu
bersih, kondisi peralatan yang digunakan selalu bersih, kondisi kamar mandi yang
bersih.
Sesuai dengan teori tersebut dilihat dari segi penampilan fisik dari fasilitas
yang ada, pasien merasa puas karena tidak merasa tertipu oleh tar if yang ditetapkan
pihak Rumah Sakit DKT Mojokerto, prosedur pelayanan dianggap baik oleh pasien,
serta perawat senantiasa menjaga kebersihan peralatan dan ruang rawat pasien. Dari
segi peralatan dan personalia, pasien merasa puas karena peralatan yang digunakan
modern ataupun penunjang medis yang lain tersedia dalam 24 jam sehingga
diharapkan mampu menangani keluhan pasien sedangkan dari segi personalianya
terlihat bagus. Dari segi kerapian dan penampilan karyawan, seluruh karyawan
mengenakan seragam kerja yang dilengkapi dengan atribut lengkap serta nama atau
identitas.
Apabila ditinjau dari segi reability didapatkan bahwa lebih dari 50% responden
merasa puas yaitu sebanyak 21 orang (60%) sedangkan sisanya merasa tidak puas.
Menurut Nursalam (2003), Dimensi reliability (kepercayaan) ini mencakup rasa
kepercayaan pasien terhadap perawat, secara keseluruhan perawat di rumah sakit
tersebut baik, perawat memberi tahu tentang hal yang harus dipatuhi pasien selama
perawatan, perawat mengupayakan agar pasien merasa puas. Jadi kepuasan
responden terbentuk sebab responden merasa bahwa perawat mampu menangani
masalah yang dihadapinya dengan baik serta senantiasa memberikan informasi
tentang pelayanan yang diberikan terhadap pasien atau dengan kata lain perawat
Rumah Sakit DKT Mojokerto dianggap responden sangat mengutamakan kepuasan.
Apabila ditinjau dari segi Responsiveness didapatkan hasil bahwa lebih dari
50% responden merasa puas yaitu sebanyak 18 orang (51,4%) sedangkan sisanya
merasa tidak puas. Nursalam (2003) menyatakan bahwa yang termasuk dalam
dimensi Responsiveness ini adalah : perawat membantu pasien memperoleh obat,
pelayanan laboratorium, pelayanan radiologi, ketika pasien sampai di ruangan
perawat segera menangani.
Pasien rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto merasa bahwa perawat
senantiasa mampu dan cepat dalam memberikan pelayanan perawatan dan
pengobatan serta pelayanan penunjang yakni laboratorium. Perawat tidak pernah
menelantarkan pasien. Pasien dengan keluhan apapun yang datang langsung
ditangani dengan baik.
Apabila ditinjau dari segi Insurance didapatkan bahwa lebih dari 50%
responden merasa puas yaitu sebanyak 18 orang (51,4%) sedangkan sisanya merasa
tidak puas. Nursalam (2003) menyatakan bahwa dimensi insurance ini mencakup
pelayanan perawat membuat keluhan dan kecemasan pasien makin berkurang. Pasien
rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto merasa bahwa perawat senantiasa
memberikan pelayanan keperawatan dengan baik dan sopan serta menjalankan
76

HOSPITAL MAJAPAHIT

2.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

prosedur yang ada sehingga keluhan yang berkaitan dengan masalah kesehatan yang
dialaminya cenderung dirasakan berkurang.
Apabila ditinjau dari segi empaty didapatkan bahwa lebih dari 50% responden
atau sebanyak 21 orang merasa puas sedangkan sisanya tidak puas. Nursalam (2003)
menyatakan bahwa cakupan dimensi empati meliputi perilaku perawat saat
dibutuhkan pasien dan kemampuan perawat untuk selalu berusaha perduli dan
memuaskan pasien. Pasien rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto merasa
bahwa perawat senantiasa memberikan pelayanan dengan dengan penuh kesabaran
dan perhatian yang cukup dalam setiap kebutuhan pasien diantaranya kebutuhan
BAB (Buang Air Besar) dan BAK (Buang Air Kecil).
Tingkat Kepuasan Keluarga Pasien Rawat Inap Pada Pelayanan Keperawatan.
Berdasarkan tabel 22 diatas dapat diketahui bahwa bahwa lebih dari 50%
keluarga pasien rawat inap menyatakan puas pada pelayanan keperawatan yaitu
sebanyak 19 responden (54,3%). Jika ditinjau dari tabel 17 sampai 20 diatas
diketahui bahwa paling banyak pasien berusia 20-29 tahun (juga kategori usia
dewasa muda), berpendidikan SMP dan SLTA, tidak bekerja serta berpenghasilan >
Rp. 1.009.150,-.
Menurut Orem (1921) Perawat tidak hanya memberikan pelayanan kepada
pasien namun juga pada keluarga. Kepuasan pelanggan adalah suatu keadaan dimana
keinginan/harapan dan kebutuhan pelanggan terpenuhi. Suatu pelayanan dinilai
memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan
pelanggan.
Tingkat kepuasan keluarga pasien bila ditinjau dari dimensi tangible
menunjukkan bahwa 54,3% dari keluarga menyatakan puas sedangkan 45,7%
menyatakan tidak puas. Menurut Nursalam (2003), Dimensi tangiable (kenyataan)
ini mencakup informasi tarif/biaya perawatan, prosedur pelayanan rawat inap,
kondisi ruangan yang selalu bersih, kondisi peralatan yang digunakan sela lu bersih,
kondisi kamar mandi yang bersih. Keluarga pasien merasa puas karena menurut
persepsi keluarga tarif atau biaya perawatan terjangkau serta kondisi kamar untuk
menunggu pasien juga selalu bersih.
Tingkat kepuasan keluarga pasien bila ditinjau dari dimensi reability
menunjukkan bahwa 48,6% keluarga pasien merasa puas sedangkan sisanya merasa
tidak puas. Menurut Nursalam (2003), Dimensi reliability (kepercayaan) ini
mencakup rasa kepercayaan keluarga pasien terhadap perawat, secara keseluruhan
perawat di rumah sakit tersebut baik, perawat memberi tahu tentang hal yang harus
dipatuhi keluarga pasien selama perawatan, perawat mengupayakan agar keluarga
pasien merasa puas. Dalam pelayanan keperawatan, keluarga pasien akan merasakan
kepuasan terhadap pelayanan yang diberikan pada anggota keluarganya yang
menjadi pasien, apabila keluarga juga mendapatkan informasi tentang seluruh
pelayanan yang diberikan pada pasien serta keluarga yakin dengan kemampuan
perawat dalam memberikan pelayanan. Sehingga ketidakpuasan keluarga pasien
terhadap pelayanan keperawatan pada saat rawat inap di Rumah Sakit DKT
Mojokerto terbentuk karena selama menunggu pasien, keluarga tidak pernah diberi
penjelasan tentang pelayanan yang diterima anggota keluarganya.
Apabila ditinjau dari responsiveness didapatkan hasil bahwa 15 orang (42,9%)
keluarga merasa puas sedangkan sisanya tidak puas. Nursalam (2003) menyatakan
bahwa yang termasuk dalam dimensi Responsiveness ini adalah : perawat membantu
pasien memperoleh obat, pelayanan laboratorium, pelayanan radiologi, ketika pasien
sampai di ruangan perawat segera menangani. Kelurga merasa tidak puas karena

77

HOSPITAL MAJAPAHIT

3.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

perawat tidak segera menangani pasien yang datang ke Rumah Sakit DKT Mojokerto
dengan baik.
Apabila ditinjau dari Insurance didapatkan hasil bahwa 18 orang (51,4%)
keluarga merasa puas sedangkan sisanya tidak puas. Nursalam (2003) menyatakan
bahwa dimensi insurance ini mencakup pelayanan perawat membuat keluhan dan
kecemasan pasien makin berkurang.
Kepuasan keluarga pasien rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto
terbentuk karena keluarga merasa pelayanan yang diberikan perawat dapat
menurunkan kecemasan dan keluhan pasien. Jadi keluarga pasien akan merasa puas
terhadap pelayanan perawat jika pelayanan yang diberikan perawat dapat
menurunkan frekuensi keluhan dari pasien, misalnya pada pasien post operasi,
karena pelayanan perawat dianggap tepat, dan pasien tidak merasa nyeri pada luka
bekas operasi maka pasien dan keluarga akan merasa puas terhadap pelayanan
perawat.
Ditinjau dari segi empaty didapatkan bahwa 21 orang (60%) keluarga pasien
merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan perawat selama rawat inap di Rumah
Sakit DKT Mojokerto sedangkan sisanya tidak puas. Nursalam (2003) menyatakan
bahwa cakupan dimensi empati meliputi perilaku perawat saat dibutuhkan pasien dan
kemampuan perawat untuk selalu berusaha perduli dan memuaskan pasien.
Kepuasan keluarga juga terbentuk karena perawat memberikan perhatian terhadap
pasien dan keluarganya. Perawat berusaha peduli dengan semua kebutuhan pasien.
Pengukuran kepuasan pelanggan merupakan elemen penting dalam
menyediakan pelayanan yang lebih baik/lebih efisien dan lebih efektif apabila
pelanggan merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan yang disediakan, maka
pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan tidak efisien. Dalam hal ini
terutama sangat penting bagi pelayanan publik. Beberapa faktor yang dapat
dipertimbangkan oleh pelanggan dalam menilai suatu pelayanan yaitu: ketepatan
waktu, dapat dipercaya, kemampuan tekhnis, diharapkan, berkualitas dan harga yang
sepadan. Dalam rangka mengembangkan suatu mekanisme pemberian pelayanan
yang memenuhi kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan, perlu mengetahui halhal berikut : Mengetahui apa pelanggan pikirkan tentang anda, pelayanan anda dan
pesaing anda, Mengukur dan meningkatkan kinerja anda, Memanfaatkan kelemahan
anda ke dalam peluang pengembangan, sebelum orang lain memulainya,
Membangun wahana komunikasi internal sehingga setiap orang tahu apa yang
mereka kerjakan, Menunjukkan komitmen anda terhadap kualitas dan pelanggan
anda, Umpan balik dan informasi merupakan elemen yang penting dalam
membangun sistem pemberian pelayanan yang efektif (Irawan, 2003).
Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Dan Keluarga Pada Pelayanan
Keperawatan.
Ditinjau dari hasil tabel 23 tentang tabel kepuasan pasien dan keluarga dalam
menerima pelayanan keperawatan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit DKT
Mojokerto menunjukkan bahwa terdapat proporsi yang hampir sama antara kepuasan
dan ketidak puasan pasien dan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
kesamaan cara pandang pasien dan keluarga terhadap pelayanan keperawatan.
Pelayanan yang diterima oleh pasien sama dnegan yang diterima oleh keluarganya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan pelayanan yang diberikan
oleh perawat Rumah Sakit DKT baik pada pasien maupun pada keluarga pasien.
Pelanggan dalam pelayanan keperawatan tidak hanya pasien, namun keluarga
pasien juga perlu dipertimbangkan dalam pelayanan keperawatan. Menurut Irawan
(2003) Pelanggan yang puas adalah pelanggan yang akan berbagi kepuasan dengan
78

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

produsen atau penyedia jasa, bahkan pelanggan yang puas akan berbagi rasa dan
pengalaman dengan pelanggan lain.
Sehingga apabila keluarga juga merasa puas dengan pelayanan keperawatan di
Rumah Sakit DKT Mojokerto maka akan menceritakan hal tersebut dengan orang
lain sehingga cakupan pelayanan harian di Rumah Sakit DKT Mojokerto bisa
meningkat.
F. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian tingkat kepuasan pasien rawat inap dan keluarga pada
pelayanan keperawatan di Rumah Sakit DKT Mojokerto yang dilakukan pada tanggal 16
Februari 12 Maret 2011 dapat diambil kesimpulan bahwa lebih dari 50% pasien rawat
inap menyatakan puas pada pelayanan keperawatan yaitu sebanyak 18 responden (51,4%)
sedangkan sisanya merasa tidak puas. Lebih dari 50% keluarga pasien rawat inap
menyatakan puas pada pelayanan keperawatan yaitu sebanyak 19 responden (54,3%).
Ada persamaan proporsi antara yang puas dan tidak puas antara pasien rawat inap dengan
keluarga pasien rawat inap.
Rumah Sakit hendaknya membuat kebijakan biaya manajemen rumah sakit yang
sesuai dengan jasa yang diberikan, selain itu menetapkan standar penampilan fisik,
meningkatkan kebersihan dan kenyaman ruang perawatan serta juga memperhatikan
kepuasan dan kebutuhan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.
Azwar, Azrul. (2003). Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Azwar, Saifuddin. (2007). Manusia Dan Pengukurannya. Jogjakarta : Pustaka Pelajar.
BPS. (2003). Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Jakarta : Biro Pencatat Statistik.
Effendi, Nasrul, Drs. (2004). Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, Edisi 2.
Jakarta : EGC.
Gaffar, Laode, Jumadi. (2003). Pengantar Keperawatan Profesional. Jakarta : Rineka Cipta.
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Pembahasan Ilmiah. Jakarta
: Salemba Medika.
Hurlock, Elizabeth B. (2001). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga.
Irawan, Handi. (2003). 10 Prinsip Kepuasan Pelanggan. Jakarta : EGC.
JPS. (2009). Tahun 2010 Upah Terendah Surabaya Rp. 1031500 Bulan.
(http://www.surya.co.id./2009/11/19/Tahun 2010 Upah Terendah Surabaya Rp.
1031500 Bulan.html, diakses 06 Desember 2010).
Kompas. (2009). Tingkat Kepuasan Kerja. (http://www.kompas.com.cetak/0705/ 14
humaniora/3531067.htm, diakses 27 Oktober 2010).
Khoiriyati, Azizah. (2010). Komunikasi therapeutik dalam pemberian pelayanan di rumah
sakit. (http://azizahkh.wordpress.com/komunikasi-keperawatan/, diakses 06 Desember
2010).
Kusnanto, M.Kes, S.Kep. (2004). Pengantar Profesi dan Praktek Keperawatan Profesional.
Jakarta : EGC.
Muhaj, Khaidir. (2010). Gambaran Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan
Keperawatan. (http://khaidirmuhaj.blogspot.com/2010/04/ gambaran-tingkat-kepuasanpasien.html, diakses 27 Nopember 2010).
Nazir, Mohammad. (2005). Metode Penelitian. Bogor : Ghalia Indonesia.
Nursalam, Siti Pariani. (2001). Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta :
CV. Sagung Seto.
Nursalam. (2002). Manajemen Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
79

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Nursalam. (2003). Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Pedoman
Skripsi, Tesis dan Instrument Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Potter dan Perry. (2005). Fundamental Keperawatan, Edisi IV Vol.1. Jakarta : EGC.
Sleman,
Dinkes.
(2007).
Tuntutan
Masyarakat
Terhadap
Kepuasan.
(http://dinas%20kesehatan%20kabupaten%20sleman.htm, Diakses 27 Oktober 2010).
Supranto. (2001). Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikkan Pangsa
Pasar. Jakarta : Rineka Cipta.
Supriyanto, S. (2003). Manajemen Pemasaran Jasa Pelayanan Kesehatan. Diktat Fakultas
Pasca Sarjana Universitas Airlangga. Surabaya : Airlangga University Press.
Supriyanto, S. (2005). Manajemen Mutu. Diktat Fakultas Pasca Sarjana Universitas
Airlangga. Surabaya : Airlangga University Press.
Supriyanto, S. (2002). Faktor Dominan Kepuasan Pasien Sebagai Dasar Penyusunan Upaya
Pengembangan Mutu Pelayanan Kesehatan di RSUD Kabupaten Sidoarjo. Surabaya :
Penelitian Ilmiah FKM Unair.
Wijono, Djoko. (2000). Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Vol. 1.
Surabaya :
Airlangga University Press.
Zaidin, Ali. (2001). Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta : Widya Medika.

80

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

HUBUNGAN SUAMI PEROKOK DENGAN TERJADINYA


BAYI BERAT BADAN LAHIR RENDAH
DI RSUD SIDOARJO
Alif Isroaini.1 , Nur Saidah, M.Kes.2
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit
2
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit
1

ABSTRACT
Sulawesi in Indonesia, especially in the south most of the 79.2% were low birth weight in term
pregnancies. This is caused by misuse of smoking is often done. Cigarette smoke contains
over 4000 chemicals in cigarettes by 20 species of which are carcinogenic and toxic
ingredients found in tobacco smoke a lot. The purpose of this study to determine the
relationship of husband and smokers with low birth weight in Sidoarjo Hospital.
This type of research is the use of analytical case-control study design. Independent variable
is the husband of smokers and the occurrence of low birth weight is the dependent variable.
The study population was all infants born incidence in Sidoarjo District Hospital with a
population of 20 and 20 LBW BBLN in a month ie on 23 May-23 June 2012 by using primary
and secondary data, the study sample using probability sampling with a purposive sampling,
this study used data analysis techniques in a way that the data processing Editing, Coding,
Scoring, Tabulating. Chi-square teststatistic (X2 ) with = 0.05.
From the result showed that a minority with a very heavy smoker category husband of 20
respondents (50%). Minority of respondents in the category of LBW by 20 respondents (50%).
Based on the results of statistical tests by using a manual with the chi square test (X2 ) with
= 5% with 3 dk X2 table value 7,81 which count 8 > 7,81 then the value dk rejected h1 ho
accepted means there is a relationship of husband and smokers LBW in Sidoarjo Hospital.
The conclusion of the study is affecting your relationship smokers LBW incidence is caused by
toxins found in cigarette smoke that causes damage and is carcinogenic. Need for additional
information dangers of smoking and secondhand smoke especially for the mother to the fetus
health professions in addition to the need for additional education on the dangers of
secondhand smoke to pregnant women during ANC visits.
Keywords : Husband Smokers, BBLN, LBW
A. PENDAHULUAN
Meski semua orang tahu akan bahaya yang ditimbulkan akibat rokok, perilaku
merokok belum juga surut dan tampaknya merupakan perilaku yang masih dapat ditolerir
oleh masyarakat. Hal ini dapat dirasakan dalam kehidupan seharihari di lingkungan
rumah, kantor, angkutan umum maupun di jalan-jalan. Hampir setiap saat dapat
disaksikan dan dijumpai orang yang sedang merokok di sebelah ibu yang sedang
menggendong bayi sekalipun, orang tersebut tetap tenang menghembuskan asap
rokoknya. Selama beberapa tahun terakhir, para ilmuwan telah membuktikan bahwa zatzat kimia yang dikandungnya asap rokok dapat memengaruhi orangorang yang tidak
merokok di sekitarnya. Orangorang yang tidak merokok, namun menjadi korban
perokok karena turut mengisap asap sampingan (di samping asap utama yang di
hembuskan baik oleh perokok). Perokok pasif memiliki resiko yang cukup tinggi atas
kanker, paruparu, ibu hamil yang merokok atau perokok pasif, menyalurkan zatzat
beracun dari asap rokok kepada janin yang dikandungnya melalui peredaran darah.
Nikotin rokok menyebabkan denyut jantung janin bertambah cepat, sedangkan karbon
monoksida menyebabkan berkurangnya oksigen yang diterima janin (Trim, 2006:13).
81

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

BBLR adalah keadaan dimana bayi yang baru dilahirkan memiliki berat badan
kurang dari 2500 gram. American Lung Association di Amerika Serikat, merokok
bertanggung jawab terhadap sekitar 30% kejadian bayi dengan berat lahir rendah
(Dcirf.2012).Dewasa ini diperkirakan sekitar 17 juta bayi lahir BBLR setiap tahun dan
16% diantaranya lahir di negara berkembang. Dari jumlah tersebut sekitar 80% lahir di
Asia. BBLR menjadi masalah kesehatan masyarakat utama berdasarkan rekomendasi
internasional pada cut of 15%, (De Onis et al). Dan jumlah BBLR di Indonesia
diperkirakan mencapai 350 ribu bayi setiap tahunnya. BBLR menurut propinsi di
Indonesia dengan rentang 2,0 % -15,1% terendah di propinsi Sumatera Utara dan
tertinggi di Sulawesi Selatan. Berdasarkan umur kehamilan ditemukan 20,8% BBLR
yang dilahirkan kurang bulan dan sebagian besar (79,2%) adalah BBLR pada kehamilan
cukup bulan dengan proporsi terbesar di daerah pedesaan.(Ridwanaminuddin, 2011).
Rokok merupakan bentuk penyalahgunaan yang sering dilakukan. Insidensi
perempuan hamil yang merokok sekitar 16,3 52%, tergantung populasi yang diteliti
(Sarwono, 2008). Asap rokok mengandung lebih dari 4.000 bahan kimia dalam rokok,
dengan 20 jenis di antaranya bersifat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker),
dimanabahan racun ini lebih banyak didapatkan pada asap rokok (Trim, 2006). Efek ini
dapat menyebabkan kerusakan dalam beberapa hal : BBLR, kelahiran prematur, bayi
lahir mati (Janet, 2011). Perokok pasif pada ibu hamil memiliki resiko yang cukup tinggi
atas perdarahan, lebih sering keguguran, kehamilan prematur (Suryati, 2011:114).
Berdasarkan pada hasil Studi pendahuluan pada tanggal 28 April 2012 di RSUD
Sidoarjo.diperoleh dari hasil wawancara bahwa ada 12 BBL di ruang neonatus terdapat 6
BBLR dan 5 diantaranya adalah ayahnya perokok dan 6 BBLN 3 diantara ayahnya
perokok.
Cara pencegahan terjadinya kelahiran BBLR, yakni diperlukan kerjasama dari
berbagai pihak baik keluarga, teman teman kerja dan orang orang disekitar ibu hamil
untuk tidak merokok. Serta membuat peraturan yang lebih jelas mengenai tempat
tempat mana saja yang boleh dan tidak boleh merokok, bila dilingkungan sekitar banyak
yang merokok dan tidak bisa dilarang, pakailah masker atau jauhi orang-orang yang
merokok (dcirt, 2012). Sebagai bidan berada pada posisi yang unik untuk memberikan
informasi dan dukungan kepada ibu yang perokok pasif. Jika ibu mampu berhanti
mengisap asap rokok di awal kehamilan maka peluangnya untuk melahirkan seorang bayi
yang sehat akan semakin tinggi. Banyak tempat yang kini memiliki seorang bidan yang
berdedikasi untuk memberikan dukungan berhenti menjadi perokok pasif (Janet,2011 :52).
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan
suami perokok dengan terjadinya BBLR di RSUD Sidoarjo.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Dasar Suami.
a. Definisi.
Suami adalah pasangan hidup istri (ayah dari anak-anak), suami
mempunyai suatu tanggung jawab yang penuh dalam suatu keluarga tersebut dan
suami mempunyai peranan yang penting, dimana suami sangat dituntut bukan
hanya sebagai pencari nafkah akan tetapi suami sebagai motivator dalam
berbagai kebijakan yang akan di putuskan termasuk merencanakan keluarga
(Chaniago, 2011).
b. Suami Sebagai Pemimpin.
1) Menggauli Istri Dengan Sebaik-Baiknya. Menggauli maka suami harus
berusaha semaksimal mungkin menghindari melakukan perbuatan yang
tidak disukai istri, menghargai pendapat dia, bersikap santun serta penuh
82

HOSPITAL MAJAPAHIT

c.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

kasih sayang. Saat konflik terjadi maka harus lebih bijaksana, tidak egois
dan tidak terpancing emosi istri, Sebagai wanita yang mempunyai dua mulut
pasti lebih cerewet jadi maklumlah, Itulah mungkin Tuhan memberi kuasa
hukum talak ada pada suami bukan pada istri yang mudah meluncurkan
kata-kata.
2) Sabar. Saat dulu pacaran atau berkenalan pasti yang ada dan terlihat hanya
yang indah- indah, tentu saja karena setan sangat berperan disini untuk
menghias perempuan agar nafsu kelaki- lakian anda tak terkendali, maka
usai menjadi istri dan menemukan kekurangan dalam bentuk apapun baik
fisik maupun karakter maka bersabarlah membimbingnya karena istri
terbuat dari tulang rusuk paling atas yang paling bengkok maka luruskanlah
dengan nasehatmu, jadikan dia sebagai ladang ibadah anda.
3) Nafkah. Status istri yang disandang seorang perempuan maka beralih pula
tanggungan hidup dari orang tuanya pada sang suami. seperti memberi
makan dan membelikan pakaian serta memberikan kepuasan yang lain.
4) Menyediakan Tempat Tinggal. Kewajiban lain seorang suami menyediakan
rumah dan jangan lupa isinya, jika memang belum menjadi milik sendiri
bolehlah menyewa, mengontrak atau kost, perabotanpun tidak harus mewah
dan komplit.
5) Memimpin Jalannya Roda Rumah Tangga. Mengatur kehidupan sehari- hari,
tata cara hidup anak dan istri dan pastinya seorang pemimpin/suami akan
dimintai pertanggung jawabannya baik di dunia dan di akhiratatas yang
dipimpinnya.
6) Menjaga Keselamatan. tidak diragukan lagi bahwa kekuatan tubuh suami
lebih kuat dibanding anggota rumah tangga yang lain maka dia wajib
memberikan perlindungan untuk keselamatan keluarganya.
7) Berlaku Jujur. Rasa Takut kepada Allah akan menjauhkan suami dari
berbohong pada istri, ingat, satu kebohongan akan terus beranak pinak
menjadi kebohongan-kebohongan yang lain.
8) Memberi Teladan. Perkataan kadang tidak cukup untuk meluruskan tulang
rusuk yang bengkok (istri) dan anak maka keteladanan sangat berperan.
berilah contoh yang baik seperti berbahasa santun, tertib beribadah, bergaul
dengan tetangga dan akhlak mulia yang lain (Chaniago, 2011).
Suami Yang Memenuhi Kewajiban.
1) Suami Teladan ialah :
Suami yang selalu mengerjakan perintah Allah dan menjauhkan
larangannya. Selalu menjaga hubungan dengan isterinya serta melaksanakan
tanggung jawab sesuai dengan kemampuannya. Ia selalu berterus te rang
dengan isterinya. Jika ia mempunyai kekurangan, ia akan menyatakan
kepada isterinya.
Suami yang baik, tidak menyembunyikan rahasia yang tidak disenangi
isterinya. Apabila berkata-kata dengan isterinya dengan cara lembut dan
bersopan santun.
Suami yang soleh, selalu membimbing isterinya, menghiburkan
isterinya, berbincang-bincang, menghargai pandangan isterinya dan
sebagainya.
Suami yang menganggap isterinya sebagai kekasih dan sahabat. Tidak
mudah cemburu. Mempunyai keyakinan dan menaruh kepercayaan terhadap
isterinya.

83

HOSPITAL MAJAPAHIT

2.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Suami yang bijaksana, suami yang sanggup menjadi pemimpin


rumahtangga. Suami yang layak menjadi pemimpin sekurang-kurangnya
mempunyai ciri-ciri berikut yaitu :
a) Tubuh badan yang sempurna sanggup melaksanakan tanggugjawabnya
dengan kesempurnaan anggotanya. Ini bermaksud selagi mampu
memenuhi keperluan zahir dan batin.
b) Akal fikiran yang sempurna berfikiran positif
c) Pengetahuan agama yang sempurna untuk membimbing ahli
keluarganya mengamalkan ajaran agama sebagai panduan hidup.
d) Membelanjakan sebahagian harta, mencari nafkah untuk menyara hidup
ahli keluarganya.
2) Keperibadian Suami Yang Menjadi Impian Isteri
a) Penuh kerinduan dan kasih saying
b) Mencintai
c) Gagah dan berakhlak mulia
d) Kaya dan bijaksana
e) Memberikan cahaya kehidupan
f) Menegakkan kebenaran
g) Mulia di sisi Allah
3) Ciri-ciri Suami Teladan
a) suami yang soleh yang sentiasa menjalankan perintah Allah
b) suami yang tidak sanggup melihat isterinya meringankan perintah Allah
c) suami yang bersikap mau memaafkan dan membetulkan kesalahan
isterinya.
4) Ciri-ciri suami yang soleh ialah :
a) Mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya dengan mengerjakan segala
perintah dan menjauhi segala larangan.
b) Mendirikan rumah tangga semata-mata kerana Allah SWT
c) Melayani dan menasihati isteri dengan sebaik-baiknya
d) Menjaga hati dan perasaan isteri
e) Sentiasa bertolak ansur dan tidak meminta sesuatu yang diluar
kemampuan isteri.
f) Bersabar dan menghin dari pada memukul isteri dengan pukulan yang
memudaratkan
g) Jangan mengejiisteri di hadapan orang lain atau pun memuji wanita lain
di hadapan isteri.
h) Bersabar dan menerima kelemahan isteri dengan hati yang terbuka.
i) Mengelakkan dari pada terlalu mengikut kemauan isteri kerana ia akan
menjelaskan imege dan prestasi suami sebagai pemimpin.
j) Memberi nafkah kepada keluarga mengikut kemampuan.
k) Menyediakan keperluan dan tempat tinggal yang selera.
l) Bertanggung jawab mendidik akhlak keluarganya.
m) Senantiasa mengambil berat tentang keselamatan mereka.
n) Memberikan kasih saying dan berkorban untuk kepentingan dan
kebahagiaan bersama (Alhalmi, 2011).
Konsep Dasar Rokok.
a. Definisi.
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang sekitar 120 milimeter
dengan diameter sekitar 10 milimeter yang berisi daundaun tembakau yang

84

HOSPITAL MAJAPAHIT

b.

c.

d.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara
agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lain (Trim, 2006:2).
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga
120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang
berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu
ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada
ujung lainnya (Umar, 2011).
Rokok adalah silinder kertas yang berisi daun-daun tembakau yang telah
dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan (Detik, 2012).
Zat kimia berbahaya dalam rokok.
1) Tar. Mengandung kimia beracun yang merusak sel paru-paru dan
menyebabkan kanker. Tar bersifat lengket dan menempel pada paru-paru.
2) Karbon Monoksida (CO). Gas beracun yang dapat mengakibatkan
berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen. Zat ini mengikat
hemoglobin dalam darah sehingga membuat darah tidak mampu mengikat
oksigen.
3) Nikotin. Zat kimia perangsang yang dapat merusak jantung dan sirkulasi
darah serta membuat pemakaiannya menjadi kecanduan. Zat ini bersifat
karsinogen (merusak sel tubuh), dan mampu memicu kanker paru-paru yang
mematikan.(Trim, 2006:16).
Asap rokok
Ada dua macam asap rokok yang mengganggu kesehatan :
1) Asap utama (mainstream). Adalah asap yang dihisap oleh siperokok.
2) Asap samping (sidestream), Adalah asap yang merupakan pembakaran dari
ujung rokok, kemudian menyebar ke udara. Asap sampingan memiliki
konsentrasi yang lebih tinggi, karena tidak melalui proses penyaringan yang
cukup. Dengan demikian pengisapan asap sampingan memiliki resiko yang
lebih tinggi untuk menderita gangguan kesehatan akibat rokok. Asap utama
merupakan asap tembakau yang dihirup langsung oleh perokok, sedangkan
asap samping merupakan asap tembakau yang disebarkan ke udara bebas,
yang akan dihirup oleh orang lain atau perokok pasif (Trim, 2006:24).
Menurut penelitian yang dilakukan Silvan Tomkins, ada 4 tipe perilaku
merokok. Keempat tipe tersebut adalah :
1) Tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif. Artinya dengan
merokok ia akan merasakan penambahan rasa positif yang membuat dirinya
tenang dan bahagia. Pada umumnya, ada beberapa alasan dari perokok ini,
yaitu :
a) Relaksasi untuk kesenangan, perilaku merokok hanya untuk
menambahkan atau meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat.
Misalnya: merokok setelah minum kopi atau makan.
b) Rangsangan untuk meningkatkan kepuasan. Perilaku merokok hanya
dilakukan sekedarnya untuk menyenangkan perasaan.
c) Kesenangan memegang rokok. Kenikmatan yang diperoleh dengan
memegang rokok. Sangat spesifik pada pipa. Perokok pipa akan
menghabiskan waktu untuk mengisapnya hanya dibutuhkan waktu
beberapa menit saja. Atau perokok lebih senang berlama- lama untuk
memainkan rokoknya dengan jari-jarinya lama sebelum ia nyalakan
dengan api.
2) Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif. Banyak orang
yang menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan negatif. Misalnya:
85

HOSPITAL MAJAPAHIT

e.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

jika ia marah, cemas, atau gelisah, rokok dianggap seb agai penyelamat.
Mereka menggunakan rokok jika perasaan tidak enak terjadi sehingga
terhindar dari perasaan yang lebih tidak enak.
3) Perilaku merokok karena kecanduan psikologis (psychological addiction).
Mereka yang sudah kecanduan, akan menambahkan dosis rokok yang
digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang diisapnya berkurang.
Mereka umumnya akan pergi keluar rumah membeli rokok, walau tengah
malam sekalipun, karena ia khawatir kalau rokok tidak tersedia setiap saat ia
menginginkannya.
4) Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan. Mereka menggunakan
rokok sama sekali bukan karena untuk mengendalikan perasaan mereka,
tetapi karena benar-benar sudah manjadi kebiasaannya rutin. Dapat
diaktakan pada orang-orang tipe ini merokok sudah merupakan suatu
perilaku yang bersifat otomatis, acap kali tanpa dipikirkan dan tanpa
disadari. Ia menghidupkan api rokoknya bila rokok yang terdahulu telah
benar-benar habis (Trim, 2006:6).
Bahaya yang sangat besar bagi orang yang merokok dan perokok pasif.
1) Asap rokok mengandung kurang lebih 4000 bahan kimia yang 200
diantaranya beracun dan 43 jenis lainnya dapat menyebabkan kanker bagi
tubuh. Beberapa zat yang sangat berbahaya yaitu tar, nikotin, karbon
monoksida, dsb. Ibu hamil yang merokok atau menjadi perokok pasif,
menyalurkan zat-zat baracun dari asap rokok kepada janin yang
dikandungnya melalui peredaran darah. Nikotin rokok menyebabkan denyut
jantung janin bertambah cepat, sedangkan karbon monoksida menyebabkan
berkurangnya oksigen yang diterima janin. (Trim, 2006:13). Carbon
monoksida dan nikotin adalah 2 bahan kimia yang paling berpengaruh
terhadap janin. Co menurunkan kemampuan membawa oksigen yang cukup
pada jaringan janin. Nikotin meningkatkan tekanan darah dan menurunkan
angka pernafasan, nikotin berefek pada sistem saraf pusat, genetalia, saluran
cerna, sistem urinari janin, fetal hypoxemi melalui reduksi darah dari
placenta (Ridwannuddin, 2011).
Bahaya ibu hamil yang terkena asap rokok antara lain :
a) Asap rokok bisa menyebabkan kematian dini (Premature death) pada
bayi yang sedang dikandung dan menimbulkan penyakit ketika bayi
tersebut lahir.
b) Berisiko melahirkan bayi yang berat badan lahir rendah (BBLR) karena
racun dalam rokok bisa menghambat aliran darah yang merupakan
sumber nutrisi bagi bayi.
c) Asap rokok bisa meningkatkan resiko bayi meninggal akibat mengalami
SIDS (Sudden Infant Death Syndrome), dibandingkan bayi yang tidak
terpapar asap rokok.
d) Meningkatkan resiko bayi terkena bronkitis, pneumonia, infeksi telinga
dan memperlambat pertumbuhan paru-paru.
e) Asap rokok selam hamil bisa menyebabkan perubahan dalam struktur
DNA bayi yang nantinya dapat melemahkan sistem kekebalan
tubuhnya.
f) Mengganggu pertumbuhan otak janin selama di dalam kandungan, serta
beresiko mengalami keterbelakangan mental.
g) Sering terpapar asap rokok bisa membuat bayi lahir prematur yang
umumnya memiliki perkembangan organ tubuh yang belum sempurna.
86

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

h)
i)

f.

g.

h.

Meningkatkan resiko bayi yang dikandungnya memiliki asma.


Meningkatkan resiko bayi lahir cacat seperti bibir sumbing akibat
adanya kelainan pada sperma sang ayah yang merokok.
j) Pengaruh asap rokok bisa menyebabkan bayi mengalami penyakit
jantung bawaan hingga keguguran (Forum vivanews, 2011).
2) Asap rokok yang baru mati di asbak mengandung 3 kali lipat bahan pemicu
kanker di udara dan 50 kali mengandung bahan mengiritasi mata dan
pernafasan. Semakin pendek rokok semakin tinggi kadar racun yang disiap
melayang ke udara. Suatu tempat yang dipenuhi polusi asap rokok adalah
tempat yang lebih berbahaya daripada polusi di jalanan raya yang macet.
3) Seseorang yang mencoba merokok biasanya akan ketagihan karena rokok
bersifat candu yang sulit dilepaskan dalam kondisi apapun. Seorang perokok
berat akan memilih merokok daripada makan jika uang yang dimilikinya
terbatas.
4) Harga rokok yang mahal akan sangat memberatkan orang yang tergolong
miskin, sehingga dana kesejahteraan dan kesehatan keluarganya sering
dialihkan untuk membeli rokok. Rokok dengan merk terkenal biasanya
dimiliki oleh perusahaan rokok asing yang berasal dari luar negeri, sehingga
uang yang dibelanjakan perokok sebagian akan lari ke luar negeri yang
mengurangi devisa negara. Pabrik rokok yang mempekerjakan banyak
buruh tidak akan mampu meningkatkan taraf hidup pegawainya, sehingga
apabila pabrik rokok ditutup parah buruh dapat dipekerjakan di tempat
usaha lain yang lebih kreatif dan mendatangkan devisa.
5) Sebagian perokok biasanya akan mengajak orang lain yang belum merokok
untuk merokok agar merasakan penderitaan yang sama dengannya, yaitu
terjebak dalam ketagihan asap rokok yang jahat. Sebagian perokok juga ada
yang secara sengaja sengaja merokok ditempat umum agar asap yang
dihembuskan dapat dihirup orang lain, sehingga orang lain akan terkena
penyakit kanker.
6) Kegiatan yang merusak tubuh adalah perbuatan dosa, sehingga rokok dapat
dikategorikan sebagai benda atau barang haram yang harus dihindari dan
dijahui sejauh mungkin (Umar, 2001).
Resiko setiap perokok.
1) 14 kali menderita kanker paru-paru, mulut, dan tenggorokan.
2) 4 kali menderita kanker esophagus
3) 2 kali kanker kandung kemih
4) 2 kali serangan jantung(Windi, 2009).
Kategori rokok.
Tabel 24. Kategori Rokok
Kategori
Jumlah Rokok Yang Dihisap
Sangat berat 31 batang / hari, selang 5 menit setelah bangun tidur.
Berat
21-30 batang / hari selang 6-30 menit sejak bangun tidur.
Sedang
11-21 batang / hari selang 31-60 menit setelah bangun tidur.
Ringan
10 batang / hari dengan selang waktu 60 menit dari bangun tidur.
Makanan dan minuman penetralisir asap rokok.
1) Seafood. Makanan yang kaya akan omega 3 dapat memperbaiki fungsi paruparu. Makanan yang kaya omega 3 diantaranya adalah seafood. Seafood
yang kaya omega 3 diantaranya: ikan, salem (salmon), ikan teri, tuna sirip
biru, tuna sirip kuning, ikan sarden, ikan forel (trout), kepiting, ikan kerapu
(cod), kerang, lobster, ikan nila, dan udang.
87

HOSPITAL MAJAPAHIT

i.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

2) Kedelai. Mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung banyak


kedelai dapat memperbaiki fungsi paru-paru dan mengurangi serangan
penyakit sesak nafas kronis. Flavonoid yang terdapat dalam makanan
kedelai bertindak sebagai anti-peradangan pada paru-paru serta dapat
melindungi paru-paru dari tembakau yang menyebabkan kanker bagi para
perokok.
3) Makanan kaya antioksidan. Brokoli, apel, serta sayur dan buah lainnya yang
kaya oksidan bisa membantu memperbaiki dan melindungi paru-paru anda.
Satu studi telah menunjukkan bahwa paru-paru orang yang mengkonsumsi
lebih dari 5 apel dalam seminggu berfungsi lebih baik dari paru-paru mereka
yang sama sekali tidak mengkonsumsi apel.
4) Jeruk nipis. Air jeruk nipis mampu menurunkan kadar nikotin hingga 70,65.
Namun air jeruk nipis disini hanya alat bantu untuk dapat berhenti merokok.
5) Air putih. Air putih akan membantu untuk mengeluarkan racun dan nikotin
yang telah terakumulasi dalam tubuh anda setelah bertahuntahun.(chenkgelate, 2012).
Akibat kalau tidak berhenti merokok.
1) Impotensi. Merokok akan mengurangi aliran darah yang diperlukan untuk
mencapai suatu keadaan ereksi. Karena hal tersebutlah rokok dapat
mempengaruhi days ereksi penis.
2) Wajah keriput. Merokok dapat mengurangi aliran aliran oksigen dan zat gizi
yang diperlukan sel kulit anda dengan jalan menyempitkan pembuluh darah
disekitar wajah. Sehingga akan menyebabkan keriput.
3) Gigi bebercak dan bau nafas. Partikel dari rokok sigaret dapat memberi
bercak kuning hingga cokelat pada gigi anda, dan ini juga akan
memerangkap bakteri penghasil bau dimulut anda. Kelainan gusi dan gigi
tanggal juga lebih sering terjadi pada perokok.
4) Anda dan sekitanya menjadi bau. Rokok sigaret memiliki bau yang tidak
menyenangkan dan menempel pada segala sesuatu, dari kulit dan rambut
anda sampai pakaian dan barang-barang di sekitar anda. Dan bau ini sama
sekali bukan hal yang membangkitkan selera pasangan maupun temanteman.
5) Tulang rapuh. Sejumlah penelitian menemukan hubungan antara merokok
dengan osteoporosis pada pria dan wanita. Sebuah penelitian mengamati
kasus patah tulang pinggul pada wanita lansia, dan menyimpulkan bahwa 1
dari 8 kasus patah tulang itu disebabkan oleh kehilangan massa tulang yang
disebabkan oleh merokok.
6) Depresi. Sebagian ilmuwan menganggap rokok mengandung zat yang
mampu menyebabkan peningkatan mood. Zat inilah yang biasanya
kandungannya berkurang saat seseoranmg menderita depresi. Itulah juga
penyebabnya mengapa orang yang sedang stres atau depresi cenderung
mencari pelarian ke rokok.
7) Panutan yang buruk bagi anak. Setiap hari, diperkirakan 3000 anak di AS
yang menjadi ketagihan merokok sigaret, bila mereka terus merokok, 1000
diantaranya akan meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan
merokok.
8) Kebakaran. Jika anda ceroboh, saat merokok clan membuang puntung rokok
yang masih menyala ke sembarang tempat dapat menyebabkan kebakaran.
9) Sirkulasi darah yang buruk. Sel darah merah telah dirancang dari sananya
untuk mrngangkut oksigen ke seluruh tubuh. Pada perokok, molekul
88

HOSPITAL MAJAPAHIT

3.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

oksigen digantikan oleh konponen dari asap rokok, sehingga mengha mbat
transportasi oksigen yang penting bagi kehidupan sel.
10) Terkesan bodoh. Jika perokok membela ketergantungannya, ada satu
kebenaran yang tak mampu mereka pungkiri, seperti slogan, rokok itu
pembunuh jadi, bila masih ada yang meneruskan kebiasaan itu, te ntunya
akan terlihat bodoh kan (Windi,2009).
Konsep Dasar BBLR
a. Definisi.
BBLR adalah bayi yang lahir rendah berat badan kurang dari 2500 gram
tanpa memandang masa kehamilan (Atikah Dkk,2011:1)
BBLR adalah bayi baru lahir yang berat badannya saat lahir kurang dari
2500 gram sampai dengan 1500 gram (Saifudin, 2002).
BBLR adalah bayi baru lahir dengan berat antara 1500 2500 gram
(Prawirohardjo, 2008).
Jadi dapat di simpulkan, BBLR adalah bayi dengan berat lahir kurang dari
2500 gram yang ditimbang pada saat lahir sampai 24 jam pertama setelah lahir.
b. Klasifikasi BBLR (Atikah Dkk, 2010:4).
1) Menurut harapan hidupnya :
a) Bayi berat lahir rendah (BBLR) berat lahirnya 15002500 gram.
b) Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) berat lahir 1000-1500 gram.
c) Bayi berat lahir ekstrim rendah (BBLER) berat lahir <1000 gram.
2) Menurut masa gestasinya :
a) Prematuritas murni. Masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat
badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi berat atau biasa
disebut neonates kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan (NKB
SMK).
b) Dismaturitas. Bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan
seharusnya untuk masa gestasi itu. Berat bayi mengalami retardasi
pertumbuhan intruterin dan merupakan bayi yang kecil untuk masa
kehamilannya (KMK).
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi BBLR.
1) Faktor Ibu.
a) Gizi Ibu Hamil. Gizi ibu yang buruk sebelum kehamilan maupun pada
wanita sedang hamil, lebih sering menghasilkan bayi BBLR atau lahir
mati dan menyebabkan cacat bawaan. Disamping itu, BBLR dapat pula
menyebabkan hambatan pertumbuhan otak, anemia pada bayi baru
lahir, dan mudah terkena infeksi. Keadaan gizi meliputi proses
penyediaan dan penggunaan gizi untuk pertumbuhan, perkembangan,
pemeliharaan dan aktivitas. Kurang gizi dapat terjadi dari beberapa
akibat yaitu ketidakseimbangan asupan zat- zat gizi, faktor penyakit
pencernaan, absorpsi dan penyakit infeksi (Melinda, 2009).
b) Umur Ibu Hamil. Anak perempuan berusia 15 tahun atau kurang, lebih
rentan terhadap terjadinya pre eklamsi(suatu keadaan yang ditandai
dengan tekanan darah tinggi, protein dalam kemih dan penimbunan
cairan selam kehamilan) dan eklamsi (kejang akibat preeklamsi),
mereka juga lebih mungkin melahirkan bayi dengan berat badan rendah
atau bayi kurang gizi.
Wanita yang berusia 35 tahun atau lebih. Lebih rentan terhadap
tekanan darah tinggi, diabetes di dalam rahim serta rentan terhadap
gangguan persalinan dan resiko memiliki bayi dengan kelainan
89

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

kromosom(misalnya sindron down) semakinmeningkat (Suryati, 2011).


Jarak Kehamilan. Jarak kehamilan terlalu dekat dan kelahiran prematur
juga BBLR , disebabkan kekurangan protein yang membantu kehamilan
lahir secara normal. Lebih lanjut, interval yang pendek dari jarak
kehamilan, mengakibatkan protein ini tidak mempunyai kemampuan
untuk mempertahankan usia kecukupan kehamilan. Penelitian lebih
lanjut masih diperlukan untuk membuktikan teori ini untuk menafsirkan
hubungan antara interval kehamilan dan problem kehamilan (Meiwanto,
2007). Penelitian The Demographic and Health Survey, menyebutkan
bahwa anak-anak yang dilahirkan 3-5 tahun setelah kakaknya, memiliki
kemungkinan hidup sehat 2,5 kali lebih tinggi daripada yang berjarak
kelahiran 2,5 tahun.(Ghozali, 2007).
d) Tinggi Badan Ibu Hamil. Para ahli dari pusat kesehatan di Universitas
Harvard menemukan bahwa terdapat hubungan antara tinggi badan bayi
dengan kesehatan bayi. Para ahli ini meyakini bahwa tinggi badan
wanita berdampak pada ukuran dari rahim atau uterus mereka. Tubuh
wanita yang berukuran lebih kecil akan menyebabkan beberapa
komplikasi selama kehamilan mereka dan mempengaruhi
perkembangan bayi dalam rahim.Data yang disediakan oleh para
peneliti orang Indian, kemudian dibandingkan dan kemudian mereka
mencapai pada kesimpulan bahwa tinggi badan sang ibulah yang
mempengaruhi beberapa indikator yang berhubungan dengan kesehatan
bayi baru lahir, termasuk adanya resiko obesitas, atau sebaliknya
kurangnya berat badan bayi, perkembangan anemia dan peluang hidup
bayi. (Melinda, 2009).
e) Penyakit Ibu Hamil. Penyakit pada ibu hamil dapat menyebabkan bayi
lahir mati, keguguran, dan lahir mati. Sekitar 5% dari wanita hamil
mengalami preeklamsia, suatu kondisi abnormal kehamilan yang
ditandai dengan kenaikan tekanan darah (hipertensi) disertai adanya
protein di dalam urin. Penyebabnya belum diketahui secara pasti, tetapi
hal ini biasa terjadi pada wanita yang pertama kali mengandung, pernah
mengalami preeklamsia pada kehamilan sebelumnya, atau wanita hamil
yang sudah menderita hipertensi. Bayi yang terlahir dari ibu yang
mengalami preeklamsia diduga 4-5 kali lebih rentan terhadap masalah
di kemudian hari dibanding bayi pada wanita hamil tanpa komplikasi
ini. Berat badan si bayi mungkin lebih kecil karena malfungsi plasenta
maupun karena kelahiran prematur.
Sebanyak 1-3 % wanita menderita diabetes selama masa
kehamilan (diabetes gestational). Gangguan ini umumnya terjadi pada
wanita kegemukan atau dari kelompok etnik tertentu seperti wanita ras
meksiko, amerika dan asia. Diabetes gestational terjadi akibat
ketidakmampuan tubuh memproduksi insulin yang kebutuhannya
bertambah seiring usia kehamilan (Permata, 2009)
f) Kebiasaan ibu.
(1) Pekerjaan Ibu. Jenis pekerjaan yang dilakukan ibu hamil akan
berpengaruh terhadap kehamilan dan persalinannya. Beban kerja
yang berlebihan menyebabkan ibu hamil kurang beristirahat, yang
berakibat produksi sel darah merah tidak terbentuk secara
maksimal dan dapat mengakibatkan ibu kurang darah atau disebut
sebagai anemia. Hal serupa dikuatkan oleh Koblinsky, et al., bahwa
c)

90

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

anemia yang diderita ibu hamil menyebabkan kelemahan,


kelelahan, produktivitas yang rendah. (Suryati, 2011).
(2) Merokok. Resiko yang dihadapi bayi selama kehamilan, saat ini
lebih kecil dibandingkan dengan menghadapi seratus tahun yang
lalu. Saat ini, para ibu kekurangan gizi atau bekerja terlalu keras
dan perawatan medis masih intensif. Sekarang, lebih banyak hal
diketahui tentang penyebab permasalahan pada bayi selama
kehamilan. Jadi adalah bijaksana untuk mengurangi atau
menghindari resiko-resiko yang memungkinkan.
Kehamilan terlihat seperti sebuah daftar panjang berisi halhal yang tidak boleh dilakukan karena calon bayi dalam
kandungan. Namun jika gaya hidup kita secara umum sehat dan
kita mangambil pendekatan yang bijaksana untuk menghindari
resiko tanpa obsesif, kita akan tahu bahwa kita telah mengambil
langkah paling jitu. Mengamati gaya hidup secara keseluruhan
adalah salah satu cara untuk menjadi bugar selam kehamilan.
Berhenti merokok atau menghindari ruangan yang penuh
asap rokok adalah merupakan salah satu gaya hidup yang perlu
diperhatikan awal yang baik bagi bayi. Merokok selama ha mil
berkaitan dengan keguguran, perdarahan vagina, kelahiran
prematur, dan BBLR (200 gram lebih ringan dari bayi bukan
perokok). Jika usia ibu diatas 35 tahun ada juga kenaikan berarti
dalam resiko bayi menderita malformasi minor dan resiko BBLR,
dengan segala bahaya yang menyertainya, sebanyak 5 kali lipat dari
peroko muda.
Bayi-bayi dari perokok 3 bungkus sehari juga mengandung
resiko 4 kali lipat mengalami skor apgar yang rendah (standar
ukuran yang digunakan untuk mengevaluasi bayi pada saat lahir),
yang berarti bahwa mereka tidak sesaat bayi lain. Sebuah penelitian
menunujukkan bahwa pada usia 14 tahun anak-anak dari ibu
perokok atau perokok pasif cenderung rentan terhadap penyakit
saluran nafas, lebih pendek dari pada anak-anak dari ibu yang
bukan perokok atau bukan perokok pasif dan kurang berhasil dalam
sekolah (suryati, 2011:112).
(3) Minum-Minuman Beralkohol. Penggunaan alkohol oleh wanita
hamil membawa resiko yang berat. Penggunaan alkohol dalam
jumlah sedang dikaitkan dengan meningkatnya resiko keguguran.
Konsumsi alkohol yang berlebihan selam kehamilan seringkali
mengakibatkan abnormalitas pada janin. Penggunaan alkohol yang
kronis selam kehamilan dapat menimbulkan perkembangan janin
abnormal yang disebut sindrom alkohol janin (SAJ). SAJ ditandai
dengan keterlambatan pertumbuhan sebelum dan setelah lahir, dan
cacat pada anggita gerak, jantung dan wajah yang merupakan criri
anak-anak yang lahir dari ibu pecandu alkohol (Suryati, 2011:111).
2) Faktor lingkungan.
Mekanisme mengenai terjadinya BBLR dari paparan karbon
monoksida diduga terjadi karena adanya hipoxia, dan ini ada
hubungannya dengan plasenta. Beberapa pokok dalam sirkulasi darah fetus
adalah :
a) Oleh karena fetus menerima oksigen dan makanan dari plasenta , maka
91

HOSPITAL MAJAPAHIT

d.

e.

f.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

seluruh darah fetus harus melalui plasenta.


b) Fungsi paru dijalankan oleh plasenta. In utero (di dalam uterus) fetus
tidak mempunyai sirkulasi pulmoner seperti siklus pada orang dewasa.;
pemberian darah secara terbatas mencapai paru-paru, cukup hanya
untuk makan dan pertumbuhan paru-paru itu sendiri.
c) Saluran pencernaan pada fetus juga tidak berfungsi , karena plasenta
menyediakan makanan dan menyingkirkan bahan buangan keluar dari
fetus.
Dampak BBLR.
1) Jangka Pendek.
a) Hipotermia. Hipotermia (suhu bayi 37,5C) dapat meningkatkan
metabolisme, dan menyebabkan dehidrasi.
b) Hipoglikemia (Kadar Gula darah kurang dari normal).
c) Paru belum berkembang (bayi menjadi sesak napas).
d) Gangguan Pencernaan (mudah kembung karena fungsi usus belum
cukup baik).
e) Mudah terkena infeksi (Sistem imunitas bayi belum matang).
f) Anemia (bayi kelihatan pucat oleh karena kadar hemoglobin darah
rendah).
g) Mudah kuning.
h) Perdarahan otak.
i) Gangguan jantung.
2) Jangka Panjang.
a) Gangguan pertumbuhan.
b) Gangguan perkembangan.
c) Gangguan penglihatan (retinopati akibat prematur).
d) Gangguan pendengaran.
e) Penyakit paru kronik.
Semakin muda usia kehamilan semakin besar resiko jangka pendek dan
panjang tersebut terjadi (Atikah,2011:23)
Gejala klinis.
1) Sebelum bayi lahir.
a) Pada anamnese sering dijumpai adanya riwayatabortus, partus
prematurus dan lahir mati.
b) Pembesaran uterus tidak sesuai tuanya kehamilan.
c) Pergerakan janin yang pertama terjadi lebih lambat, gerakan janin lebih
lambat walaupun kehamilannya sudah agak lanjut.
d) Pertambahan berat badan ibu lambat dan tidak sesuai menurut yang
seharusnya.
e) Sering dijumpai kehamilan dengan oligradramnion gravidarum atau
perdarahan anterpartum.
2) Setelah bayi lahir.
a) Bayi dengan retadasi pertumbuhan intra uterin.
b) Bayi premature yang lahir sebelum kehamilan 37 minggu.
c) Bayi small for date sama dengan bayi dengan retardasi pertumbuhan
intrauterine.
d) Bayi prematur kurang sempurna pertumbuhan alat-alat dalam tubuhnya.
Penanganan.
1) Mempertahankan suhu dengan ketat.
a) Bayi berat badan dibawah 2 kg 35 c.
92

HOSPITAL MAJAPAHIT

g.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

b) Bayi berat badan 2 kg 2,5 kg 34 c.


c) Suhu incubator diturunkan 1 c setiap minggu sampai bayi dapat
ditempatkan pada suhu sekitar 24-27 c.
2) Mencegah infeksi dengan ketat.
a) Pemberian O2.
b) Pemberian O2 untuk bayi ini harus dikendalikan denganseksama
konsentrasi yang tinggi dalam masa yang panjang akan menyebabkan
timbulnya kerusakan jaringan pada retina bayi sehingga menimbulkan
kebutaan. Bisa diberikan melalui kateter hidung.
c) Pengawasan nutrisi / ASI.
d) Reflek menelan BBLR belum sempurna. Oleh sebab itu pemberian
nutrisi harus dilakukan dengan cermat.
Pencegahan BBLR.
1) Mengupayakan agar melakukan antenatal care (ANC) yang baik, segera
melakukan konsultasi dan merujuk penderita bila terdapat kelainan.
2) Meningkatkan gizi masyarakat sehingga dapat mencegah terjadinya
persalinan dengan berat badan lahir rendah (BBLR).
3) Meningkatkan penerimaan gerakan keluarga berencana (KB).
4) Menganjurkan lebih banyak istirahat, bila kehamilan mendekati aterm atau
istirahat baring bila terjadi keadaan yang menyimpang dari kehamilan
normal.
5) Meningkatkan kerjasama dengan dukun beranak yang masih mendapat
kepercayaan masyarakat (Suryati, 2011).

C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian.
Desain penelitian yang digunakan adalah Analitik yang bertujuan untuk
mencoba mencari hubungan antara variabel dimana perlu dilakukan analisis
terhadap data yang dikumpulkan, seberapa besar hubungan antar variabel yang ada
(Setiadi, 2007:133).
Cara pengambilan data pada penelitian ini menggunakan pendekatan
pengambilan data secara case control. Penelitian case control adalah suatu
penelitian analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan
menggunakan pendekatan retrospektive. Dengan kata lain, efek BBLR diidentifikasi
pada ini, kemudian faktor resiko rokok diindentifikasi ada atau terjadinya pada
waktu yang lalu (Notoatmodjo, 2010:43).

93

HOSPITAL MAJAPAHIT
2.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Frame Work.
Sangat berat
Berat
Suami perokok

BBLR

Sedang
Ringan
Sangat berat
Berat
Suami perokok

Tidak BBLR

Sedang
Ringan
Gambar 6. Kerangka Kerja Hubungan Suami Perokok Dengan Te rjadinya
Bayi Berat Badan Lahir Rendah Di RSUD Sidoarjo.
3.

4.

Hipotesis Penelitian.
Hipotesis suatu pernyataan asumsi tentang hubungan antara dua atau lebih
variabel yang diharapkan bisa menjawab suatu pernyataan Dalam penelitian
(Nursalam, 2011:56). Hipotesis penelitian ini sebagai berikut :
H : Ada hubungan antara suami perokok dengan terjadinya BBLR.
Variabel dan Definisi Operasional.
a. Jenis variabel Dalam penelitian ini adalah :
1) Variabel Independen (Bebas) yaitu suatu kegiatan stimulus yang
dimanipulasi oleh peneliti menciptakan suatu dampak pada variabe l
dependen (Nursalam, 2011:97). Dalam penelitian ini variabel independe n
adalah terjadinya suami perokok.
2) Variabel Dependen (Terikat) yaitu faktor yang diamati dan diukur untuk
menentukan ada tidaknya hubunganan atau pengaruh dari variabel bebas
(Nursalam, 2011:98). Dalam penelitian ini variabel dependent adala h
BBLR.
b. Definisi Operasional.
Tabel 24. Definisi Operasional Hubungan Suami Perokok Dengan
Terjadinya Bayi Berat Badan Lahir Rendah Di RSUD
Sidoarjo.
Variabel
Definisi Operasional
Krite ria
Skala
Dependen
Bayi dengan berat lahir 1. BBLR Rendah :
Nominal
BBLR
kurang dari 2500 gram
(1500-2500 gram)
yang ditimbangkan pada 2. Sangat berat :
saat lahir sampai 24 jam
(1000-1500 gram)
pertam setelah lahir.
3. Ekstrim berat :
Alat ukur yang
(<1000 gram)
digunakan adalah
BBLN : (2500-4000 gram)
status pasien.
(Atikah Dkk, 2010: 4)
94

HOSPITAL MAJAPAHIT
Variabel
Independen
Merokok

Vol 4 No. 2 Nopember 2012


Definisi Operasional
Melakukan sesuatu
yang dipengaruhi oleh
perasaan positif yang
membuat dirinya
tenang dan bahagia.

Parameter rokok:
Jumlah batang dalam 1
hari
Alat ukur yang
digunakan adalah
kuesioner.

5.

4.

Krite ria
Skala
Merokok
Ordinal
1. Sangat berat : 31
batang/hari, selang 5
menit setelah bangun
tidur
2. Berat : 21-30
batang/hari, selang 6-30
menit sejak bangun tidur
3. Sedang : 11-21
batang/hari, selang
waktu 31-60 menit
setelah bangun tidur
4. Ringan : 2 batang / hari,
selang waktu 60 menit
setelah bangun tidur
(Trim, 2006: 9).

Populasi, Sampel, Teknik dan Instrumen Penelitian.


Populasi penelitian ini adalah semua kejadian bayi lahir yang ada di RSUD
Sidoarjo dengan jumlah populasi 20 BBLN dan 20 BBLR 23 Mei 23 Juni 2012.
a. Kriteria Inklusi. Adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap
anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010:130).
1) Ibu yang melahirkan bayi dengan BBLN dan BBLR.
2) Ibu yang bisa baca tulis.
3) Ibu mau menjadi responden.
b. Kriteria Eksklusi. Adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil
sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010:130).
1) Ibu tidak mau menandatangani lembar persetujuan
2) Ibu yang kondisinya masih lemah
Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Suatu teknik
penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang
dikehendaki peneliti atau (tujuan atau masalah dalam penelitian), sehingga sampel
tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya
(Nursalam, 2008: 94).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan data primer dari kuesioner dan
data sekunder dari status pasien. Untuk variabel dependen alat yang digunakan
adalah kuesioner dengan menggunakan pertanyaan tertutup (closed ended) dan
untuk variabel independen menggunakan data sekunder yang dari status pasien.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data.
a. Pengolahan Data.
Pengolahan data dilakukan dengan langkah- langkah sebagai berikut :
1) Editing. Data yang diperoleh akan diedit terlebih dahulu oleh peneliti.
2) Coding. Pada pengumpulan data penelitian akan diberikan kode untuk
mempermudah analisis data yang diperoleh.
a) Untuk kode umur :
< 20 tahun
:1
20-35 tahun : 2
>35 tahun
:3
95

HOSPITAL MAJAPAHIT

b.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

b) Untuk kode pendidikan :


SD
:1
SMP
:2
SMA
:3
PT
:4
c) Untuk kode pekerjaan :
Ibu rumah tangga
:1
Swasta
:2
Wiraswasta
:3
PNS
:4
d) Paritas :
Primigravida
:1
Multigravida
:2
Grandemultigravida : 3
e) Kategori rokok :
Rendah
:1
Sedang
:2
Berat
:3
Sangat Berat : 4
f) Kategori BBLR :
BBLN
:1
BBLR
:2
3) Scoring. Diberikan skor atau nilai pada data yang diperoleh kemudian dapat
dianalisis secara statistik.
a) Rokok :
Ringan
(10 batang)
Sedang
(11-21 batang)
Berat
(21-31 batang)
Sangat berat (< 31 batang)
b) Klasifikasi berat badan :
BBLN
: (2500-4000 gram)
BBLR
: (1500-2500 gram)
4) Tabulating. Menurut Setiadi (2007: 89), ketentuan dari pembacaan tabe l
sebagai berikut:
a) Jika nilai penelitian : < 56 % maka dikatakan kurang (sebagian kecil).
b) Jika nilai penelitian: 56% - 78% maka dikatakan cukup (rata - rata).
c) Jika nilai penelitian: 79% - 100% maka dikatakan baik (sebagian besar)
Data yang diperoleh kemudian akan ditabulasikan baik pada variabel bebas
maupun variabel terikat.
Analisa Data.
1) Bivariat.
Untuk mengetahui hubungan antara dua variabel, sesuai dengan skala
pengukuran maka dilakukan uji statistik dengan rumus Chi-Square, yaitu
digunakan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan atau tidak yang
signifikan pada penelitian menggunakan data nominal.
Dengan rumus :
X2 =
Keterangan :
X2 = Chi Kuadrat
96

HOSPITAL MAJAPAHIT
f0
fh

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

= Frekuensi yang diobservasi


= Frekuensi yang diharapkan

jika chi-square hitung > chi-square table maka h0 ditolak artinya ada
hubungan antara variabel independent dengan variabel dependen dan jika
chi square hitung < chi-square table h0 diterims maka artinya tidak ada
hubungan antara variabel dependen dan independent.
Mencari Nilai X table dengan rumus:
dk = (k-1)(b-1)
Keterangan:
k = banyaknya kolom
b = banyaknya baris
D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Penelitian ini dilakukan di ruang VK yaitu ruangan yang khusus digunakan
untuk perawatan dan penangan masalah obstetri dan genekologi. Rungan VK satu
unit dengan rungan neonatus yaitu ruangan yang digunakan untuk merawat bayi baru
lahir.penelitian dilaksanakan pada 23 Mei 23 juni 2012dengan jumlah responden
40 orang dibagi menjadi di RSUD Sidoarjo.
Batas batas ruangan VK, sebelah timur berbatasan dengan ruangan farmasi,
sebelah barat berbatasan dengan mawar putih, sebelah utara berbatasan dengan
mawar ungu dan sebelah selatan berbatasan dengan poli.
2. Karakteristik Responden (Data Umum).
a. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur.
Tabel 25. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di RSUD Sidoarjo
Pada Tanggal 23 Mei - 23 Juni 2012.
No.
Umur
Frekuensi (f)
Prosentasi (%)
1.
< 20 tahun
2
5
2.
20-35 Tahun
32
80
3.
>35 tahun
6
15
Jumlah
40
100
Dari tabel dapat diketahui bahwa sebagian besar responden berumur 20-35
tahun sebanyak 32 orang (80%).
b. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan.
Tabel 26. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan di RSUD
Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei 23 Juni 2012.
No.
Pendidikan
Frekuensi (f)
Prosentasi (%)
1.
SD
6
15
2.
SMP
6
15
3.
SMA
25
62,5
4.
PT
3
7,5
Jumlah
40
100
Berdasarkan tabel 26 dapat diketahui bahwa rata rata responden
berpendidikan SMA yaitu sebanyak 25 responden (62,5%).
c. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan.
Tabel 27. Karakteristk Responden Berdasarkan Pekerjaan di RSUD
Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei - 23 Juni 2012.
No.
Pekerjaan
Frekuensi (f)
Prosentasi (%)
1.
IRT
25
62,5
97

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

2.
3.
4.

3.

Swasta
12
30
Wiraswasta
0
PNS
3
7,5
Jumlah
40
100
Dari tabel dapat diketahui bahwa rata rata responden tidak bekerja
sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak 25 responden (62,5%).
d. Karakteristik Responden Berdasarkan Paritas.
Tabel 28. Karakteristik Responden Berdasarkan Paritas di RSUD
Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei - 23 Juni 2012.
No.
Paritas
Frekuensi (f)
Prosentasi (%)
1.
Primigravida
19
47,5
2.
Multigravida
19
47,5
3.
Grandemuntigravida
2
5
Jumlah
40
100
Berdasarkan tabel 28 dapat diketahui bahwa sebagian kecil responden
primigravida sebanyak 19 responden (47,5%) dan multigravida sebanyak 19
responden (47,5%).
Data Khusus.
a. Kategori Rokok.
Tabel 29. Karakteristik Responden Berdasarkan Kategori Rokok di
RSUD Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei 23 Juni 2012.
No.
Suami Pe rokok
Frekuensi (f)
Prosentasi (%)
1.
Ringan
18
45
2.
Sedang
1
2,5
3.
Berat
1
2,5
4.
Sangat Berat
20
50
Jumlah
40
100
Berdasarkan tabel 29 Dari dapat diketahui bahwa sebagian kecil
responden suaminya perokok sangat berat sebanyak 20 responden (50%).
b. Klasifikasi Berat Badan.
Tabel 30. Karakteristik Responden Berdasarkan Klasifikasi Berat Badan
di RSUD Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei 23 Juni 2012.
No. Klasifikasi Berat Badan
Frekuensi (f)
Prosentasi (%)
1.
BBLN
20
50
2.
BBLR
20
50
Jumlah
40
100
Berdasarkan tabel 30 dapat diketahui bahwa sebagian kecil responden
melahirkan bayi berat lahir rendah sebanyak 20 responden (50%).
c. Hubungan Suami Perokok Dengan Terjadinya BBLR di RSUD Sidoarjo.
Tabel 31. Tabulasi Silang Hubungan Suami Pe rokok Dengan Terjadinya
BBLR di RSUD Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei 23 Juni 2012.
Klasifikasi Berat Badan
Jumlah
No.
Suami Rokok
BBLN
BBLR
F
%
f
%
f
%
1.
Ringan
18
45
0
0
18
45
2.
Sedang
1
2,5
0
0
1
2,5
3.
Berat
1
2,5
0
0
1
2,5
4.
Sangat Berat
0
0
20
50
20
50
Jumlah
20
50
20
50
40
100
98

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Dari tabel 31 dapat diketahui bahwa sebagian kecil responden dengan


suami perokok sangat berat yang mempunyai bayi dengan berat badan rendah
(BBLR) sebanyak 20 responden (50%).
Uji statistik yang digunakan adalah Uji Chi Kuadrat pada signifikasi 0,05
dengan jumlah responden 40 didapatkan hasil chi-square (X2 ) hitung = 8 > nilai
chi-square (X2 ) tabel = 7,81 maka H0 ditolak dan H1 diterima atau signifikan
berarti bahwa terdapat hubungan suami perokok dengan terjadinya BBLR di
RSUD Sidoarjo.
E. PEMBAHASAN
1. Suami Pe rokok.
Berdasarkan tabel 29 dapat diketahui bahwa dari 40 responden sebagian kecil
suami perokok responden dikategorikan perokok sangat berat sebanyak 20 responden
(50%), dan rata-rata suami merokok 5 menit setelah bangun tidur, perokok ringan
sebanyak 18 responden (45%),dan rata rata suami merokok 60 menit setelah
bangun tidur, perokok sedang sebanyak 1 responden (2,5%), perokok berat sebanyak
1 responden (2,5%).
Menurut Bambang Trim (2006), rokok termasuk silinder dari kertas berukuran
panjang sekitar 120 milimeter dengan diameter sekitar 10 milimeter yang berisi
daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya
dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lainnya.
Asap rokok dibagi menjadi 2 yaitu asap utama (mainstream). Adalah asap yang
dihisap oleh siperokok. Dan asap sampingan (sidestream). Adalah asap yang
merupakan pembakaran dari ujung rokok, kemudian menyebar ke udara. Asap
sampingan memiliki konsentrasi yang lebih tinggi, karena tidak melalui proses
penyaringan yang cukup. Dengan demikian pengisapan asap sampingan memiliki
resiko yang lebih tinggi untuk menderita gangguan kesehatan akibat rokok.
Rokok termasuk bahan kimia yang beracun tetapi para suami tidak menyadari
bahwa kandungan rokok itu dapat meneyebabkan kanker bagi tubuh.. Hampir
seluruh masyarakat Indonesia merokok dengan frekuensi yang berbeda, antara lain
perokok ringan, sedang, berat dan sangat berat. Namun para laki- laki tidak
menyadari bahaya dan efek samping tersebut.
2. Klasifikasi Berat Badan Berat Rendah.
Berdasarkan tabel 30 dapat diketahui bahwa sebagian kecil responden
melahirkan bayi dengan berat badan rendah yaitu sebanyak 20 responden (50%)
Menurut Atikah, dkk. (2011:1) BBLR adalah bayi yang lahir rendah berat
badan kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa kehamilan. Berhenti merokok
atau menghindari ruangan yang penuh asap rokok adalah merupakan salah satu gaya
hidup yang perlu diperhatikan awal yang baik bagi bayi. Merokok selama hamil
berkaitan dengan keguguran, perdarahan vagina, kelahiran prematur, dan BBLR
(2000 gram lebih ringan dari bayi bukan perokok). jika usia ibu diatas 35 tahun ada
juga kenaikan berarti dalam resiko bayi menderita malformasi minor dan resiko
BBLR, dengan segala bahaya yang menyertainya, sebanyak 5 kali lipat dari perokok
muda.
. Bayi yang lahir dengan berat badan rendah maupun normal tidak semuanya
disebabkan oleh asap rokok maupun ibu dengan suami perokok, ada juga yang
disebabkan karena gizi ibu hamil, umur ibu hamil, jarak kehamilan, tinggi badan ibu
hamil, penyakit ibu hamil, kebiasaan ibu hamil sehari- hari, faktor lingkungan.

99

HOSPITAL MAJAPAHIT
3.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Hubungan Suami Pe rokok Dengan Terjadinya BBLR.


Dari tabel 31 dapat diketahui bahwa sebagian kecil responden dengan suami
perokok sangat berat yang mempunyai bayi dengan berat badan rendah (BBLR)
sebanyak 20 responden (50%).
Uji statistik yang digunakan adalah Uji Chi Kuadrat pada signifikasi 0,05
dengan jumlah responden 40 didapatkan hasil chi-square (X2 ) hitung = 8 > nilai chisquare (X2 ) tabel = 7,81 maka H0 ditolak dan H1 diterima atau signifikan berarti
bahwa terdapat hubungan suami perokok dengan terjadinya BBLR di RSUD
Sidoarjo..
Menurut Suryati (2011), berhenti merokok atau menghindari asap rokok yang
penuh asap rokok adalah merupakan salah satu gaya hidup yang perlu diperhatikan
awal yang baik bagi bayi. Merokok selama kehamilan ataupun menghisap asap rokok
selama kehamilan berkaitan dengan keguguran, perdarahan vagina, kelahiran
prematur, dan BBLR (2000 gram lebih ringan dari bukan bayi bukan perokok). Jika
usia diatas 35 tahun ada juga kenaikan berarti dalam resiko bayi menderita
malformasi minor dan resiko BBLR. Bayi-bayi dari perokok 3 bungkus sehari juga
mengandung resiko 4 kali lipat mengalami skor apgar yang rendah (standar ukuran
yang digunakan untuk mengevaluasi bayi pada saat lahir), yang berarti bahwa
mereka tidak sesaat bayi lain. Sebuah penelitian menunujukkan bahwa pada usia 14
tahun anak-anak dari ibu perokok atau perokok pasif cenderung rentan terhadap
penyakit saluran nafas, lebih pendek dari pada anak-anak dari ibu yang bukan
perokok atau bukan perokok pasif dan kurang berhasil dalam sekolah.
Gaya hidup yang sehat dan mengambil keputusan yang bijaksana dapat
menghindari resiko ibu hamil dengan kelahiran bayi berat rendah. Mengamati gaya
hidup secara keseluruhan merupakan salah satu cara untuk menjadi bugar selama
kehamilan. Suami yang berhenti merokok atau menghindari asap rokok merupakan
awal yang baik bagi bayi maupun ibu hamil dalam menjalankan kehidupan seharihari.

F. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan suami perokok dengan terjadinya
BBLR di RSUD Sidoarjo dapat disimpulkan bahwa berdasarkan 40 responden sebagian
kecil suami responden dikategorikan perokok sangat berat sebanyak 20 responden (50%),
berdasarkan sebagian kecil Responden yang melahirkan bayi dengan berat lahir rendah
yaitu sebanyak 20 responden (50%), Uji statistik yang d igunakan adalah Uji Chi Kuadrat
pada signifikasi 0,05 dengan jumlah responden 40 didapatkan hasil chi-square (X2 ) hitung
= 8 > nilai chi-square (X2 ) tabel = 7,81 maka H0 ditolak dan H1 diterima atau signifikan
berarti bahwa terdapat hubungan suami perokok dengan terjadinya BBLR di RSUD
Sidoarjo.
Perlu adanya penambahan informasi tentang bahaya rokok maupun asap rokok baik
bagi ibu maupun kesehatan janin dan adanya suatu penambahan penyuluhan tentang
bahaya asap rokok bagi ibu hamil pada saat melakukan kunjungan antenatal di RSUD
Sidoarjo. Perlu diperhatikan bagi pengelola program rumah sakit dalam rangka
meningkatkan kegiatan penyuluhan khususnya tentang hubungan suami perokok dengan
terjadinya BBLR. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah informasi baru bagi
perkembangan pengetahuan khususnya di bidang ilmu kebidanan yang berkaitan dengan
bahaya asap rokok dengan terjadinya BBLR.
DAFTAR PUSTAKA
Alhelmi. (2011). Suami

yang

memenuhi
100

kewajiban.

(http://alhelmi.tripod.com/

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

tip/terbaru/suami1.htm/2011., diakses pada tanggal 16 April 2012).


Chaniago. (2011). Pengertian Suami. (http://tutorialkuliah.blogspot.com/2010/04/pengertiansuami.html., diakses pada tanggal 16 April 2012).
Dcirf. (2012). Bahaya Rokok bagi janin. (http://doktercare.com/kehamilan-bahaya-rokokbagi-janin.html., diakses pada tanggal 5 April 2012).
Detik. (2012). Bahaya perokok pasif. (http://www.chenkgelate.com/2012/02/bahaya-bagiperokok-aktif-dan-perokok.html., diakses pada tanggal 9 April 2012).
Ellizabet, Lisa. (2010). Stop merokok. Jogjakarta: Garailmu.
Forum. (2011). Bahaya ibu hamil yang kena asap rokok. (http://forum.vivanews.com/
kesehatan/117840-bahaya-ibu-hamil-yang-kena-asap-rokok-html., diakses pada tanggal
9 April 2012).
Hidayat, Aziz Alimul. (2010). Metode penelitian kebidanan dan teknik analisis data. Jakarta:
salemba Medika.
Medforth, Janet, Dkk. (2011). Kebidanan oxford dari bidan untuk bidan. Jakarta: EGC.
Melinda. 2009. Asuhan Kebidanan Pada BBLR. (http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/doc.pdf,
diakses pada tanggal 9 April 2012).
Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Metode penelitian kesehatan. Jakarta: rineka Cipta.
Nursalam. (2011). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. Jakarta:
salemba Medika.
Prawirohardjo, Sarwono. (2008). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Proverawati, Atikah, Dkk. (2010). BBLR berat badan lahir rendah. Yogyakarata: Nuha
Medika.
Ridwannuddin. (2011). Penanggulangan BBLR. (http://ridwannuddin.com/2011/03/15/
pendekatan-epidemiologi-genetik-dalam-penanggulangan-bblr-bayi-berat-lahirrendah-di-indonesia., diakses pada tanggal 7 April 2012).
Romauli, Suryati. (2011). Asuhan kebidanan 1Konsep dasar Asuhan Kehamilan. Yogyakarta:
Nuha Medika.
Saifuddin. (2002). Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiharjo.
Trim, bambang. (2006). Merokok itu konyol. Jakarta: Ganeca Exact.
Umar.(2011). Pengertian rokok dan akibat yang ditimbulkan. (http://www.chenkgelate.com/
2012/02/bahaya-bagi-perokok-aktif-dan-perokok.html., diakses pada tanggal 9 April
2012).
Windi. (2009). Bahaya merokok bagi kesehatan. (http://www.google.com/bahaya-merokokbagi-kesehatan., diakses pada tanggal 9 April 2012).

101

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

JENIS PERSALINAN DENGAN SKALA NYERI INVOLUSI UTERUS MASA NIFAS


DI RSUD Prof. Dr. SOEKANDAR MOJOSARI MOJOKERTO
Ana Amalia.1 , Elyana Mafticha, S.ST.2
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit
2
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit
1

ABSTRACT
Pain in childbirth, often makes mothers give to birth normally. Many mothers who decide to
do the cesarean section after a normal birth half way through, so this study to identify the
type of labor with a pain scale of involution of the uterus during childbirth in hospitals Prof.
Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto.
Type of the Analytic Observational study with cross sectional design. The population in this
study were postpartum mothers at delivery and Caesarean section deliveries in hospitals
normally the first day of Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto. Population of 37 people.
Sampling technique with the purposive sampling method. Collecting data using
questionnaires. Data processing techniques through Editing, Coding, Tabulating. The
research was conducted on May 22 to June 7.
The results that are almost entirely in pain with uterine involution category Very Painful but
can still be controlled on the type of cesarean section delivery of 20 respondents (54.1%), and
none who have pain with uterine involution category Very Painful but can still be controlled
in labor normal. Mean values recorded for the type of cesarean section delivery is greater
than the normal type of labor (23.56> 6.70). Results Statistical 0.00 <0.05 hence H0 refused
and H1 accepted that there is a relationship between type of delivery with a pain scale
involution of the uterus during childbirth in hospitals Prof. Dr. Soekandar Mojosari
Mojokerto.
Normal type of labor will reduce the pain scale involution of the uterus during childbirth,
along with a range of factors that exist, namely age and parity.
In this study the uterine involution pain scale on the type of cesarean delivery cesarean
delivery is higher than normal. This is because the wound incision in cesarean section
deliveries increase the intensity of pain during childbirth uterine involution. Health workers
are expected to provide new information on uterine involution pain scale on each type of
labor.
Keyword: Type of Labor, Pain Scale.
A. PENDAHULUAN
Nyeri persalinan perlu diatasi supaya memudahkan proses persalinan, mengurangi
kesakitan dan kematian ibu maupun bayi serta agar ibu dan bayi terbebas dari rasa
depresi (Anon, 2011).
Nyeri saat melahirkan, seringkali membuat ibu menyerah untuk melahirkan secara
normal. Menurut dr. Irham Suhemi, Sp.OG, banyak ibu yang memutuskan melakukan
operasi cesar setelah setengah jalan menjalani kelahiran normal (pervaginam) karena
tidak tahan menahan sakit. Tetapi hal terpenting tidak diketahui para wanita bahwa Sectio
Caesaria berhubungan dengan peningkatan 2 kali lipat resiko mortalitas ibu dibandingkan
pada persalinan Vaginal,dan banyak wanita yang tidak mrngetahui bahwa kelahiran
normal mempunyai dampak positif yang akan bisa dirasakan ibu dan anak sepanjang
hidup (Mubarok, 2009).
Data di indonesia menunjukkan bahwa angka persalinan SC mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Data SDKI yang pertama yaitu tahun 1987 hingga yang
102

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

kelima yaitu SDKI 2002-2003, terjadi peningkatan angka persalinan SC secara nasional
berjumlah kurang dari 4% dari jumlah total persalinan. Tercatat persalinan dengan SC atas
permintaan sendiri sejumla h 60% dan 40% atas indikasi pada tahun 2003. (umy,2007).
Pada seminar Nasional teknologi du Yogyakarta Prosentase tingkat nyeri pada
masing- masing kelompok pada persalinan yaitu : 46,7% nyeri sedang dan 53,3% nyeri
berat pada kelompok eksperimen, sedangkan 3,3% nyeri ringan, 60% nyeri sedang dan
36,7% nyeri berat Hingga saat ini Indonesia tercatat sebagai negara tertinggi di kawasan
Asia (SNT, 2007).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa persalinan dengan bedah
caesar adalah sekitar 10-15 % dari semua proses persalinan di negara-negara
berkembang. Di Indonesia sendiri, presentasi operasi caesar sekitar 5%. Menurut data di
propinsi jawa timur,tercatat 90% dari proses persalinan adalah persalinan normal
walaupun memang akhir-akhir ini angka itu kadang terbalik menjadi 90% persalinan SC
atau dengan tindakan(Vacum, Forcep, Epidural atau induksi). Pada 2010 di wilayah
daerah mojokerto didapatkan jumlah persalinan 526 orang dengan rincian persalinan
fisiologis 8,94 % (47 orang), persalinan SC 23,95 % (126 orang) atas indikasi permintaan
sendiri (APS).(Anon,2008). Berdasarkan studi pendahuluan pada 14 April 2012 di RSUD
prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto,dari 5 ibu nifas dengan persalinan
normal,tercatat 4 orang mengalami nyeri ringan,1 orang mengalami nyeri sedang dan
tidak ada yang mengalami nyeri berat.Disamping itu,tercatat pula dari 5 ibu nifas dengan
persalinan seksio cesar,tercatat 3 orang mengalami nyeri berat,2 orang mengalami nyeri
sedang dan tidak ada yang mengalami nyeri ringan.
Pasien Post SC akan mengeluh nyeri pada daerah incisi yang disebabkan oleh
robeknya jaringan pada dinding perut dan dinding uterus.Prosedur pembedahan yang
menambah rasa nyeri seperti infeksi, distensi,spasmus otot sekitar daerah torehan. Rasa
nyeri yang dirasakan post SC lebih meningkat dari pada proses persalinan fisiologis,hal
ini akan akan menimbulkan berbagai masalah, salah satunya masalah laktasi. Rasa nyeri
tersebut akan menyebabkan pasien menunda pemberian ASI sejak awal pada bayinya,
karena rasa tidak nyaman/peningkatan intensitas nyeri setelah operasi (Purwandari,
2009).
Lebih dari 90% wanita mengalami nyeri persalinan yang cukup berat, Umumnya
dipengaruhi oleh keadaan sosial dan kultural, nullipara, drip oksitosin, ibu yang berusia
muda, berat badan ibu dan janin yang meningkat. Dan sebenarnya Nyeri bukanlah bagian
dari proses persalinan itu sendiri, rasa nyeri terjadi pada dasarnya adalah akumulasi dari
beberapa faktor pengaruh seperti tingkat psikologis seseorang, rasa panik, rasa takut juga
traumaa masa lalu. bahkan karena terlalu takut sampai-sampai banyak calon ibu yang
memutuskan untuk melakukan operasi SC hanya gara-gara takut sakit. Dan memang saat
pproses operasinya si ibu tidak merasakan sakit sama sekali, namun sayang, > 90% ibu
yang mengeluh sakit post operasi dan berlangsung lebih lama pemulihannya (Anon,
2011).
Upaya-upaya untuk mengatasi nyeri pada ibu post SC adalah dengan menggunakan
farmakologis dan nonfarmakologis. Penalaksanaan nyeri dengan farmakologis yaitu
dengan menggunakan obat-obat ananalgesik narkotik baik secara intravena maupun
intramuskuler. Pemberian secara intravena maupun intramuskuler misalnya dengan
meperidin 75-100 mg atau dengan morfin sulfat 10-15 mg, namun penggunaan analgesik
yang secara terus menerus dapat mengakibatkan ketagihan obat (Cunningham et al,
2006).
Penatalaksanaan nyeri secara nonfarmakologis antara lain menggunakan sentuhan
afektif, sentuhan terapeutik, akupresur, relaksasi dan tehnik imajinasi, distraksi,

103

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

hipnosis,kompres dingin atau kompres hangat,stimulasi/message kutaneus,TENS


(transcutaneous eletrical nervestimulation)dan relaksasi Benson (Potter dan Perry, 2006).
Nyeri persalinan yang hebat dapat menyebabkan terjadinya stres emosional jangka
panjang pada ibu, Selama persalinan, ibu hamil diharapkan dapat melalui proses
persalinan dengan nyaman tanpa menimbulkan cacat emosional. Oleh karena itu
diperlukan suatu penatalaksanaan nyeri persalinan yang efektif,disamping itu,perlu
adanya peningkatan pemantauan pascapersalinan oleh tenaga kesehatan,pemantauan
tersebut lebih mengacu pada nyeri involusi uterus beserta tinggi fundus uteri ibu (Anon,
2011).
Berdasarkan fenomena diatas,maka peneliti tertarik mengadakan penelitian dengan
judul Jenis Persalinan Dengan Skala Nyeri Involusi Uterus Masa Nifas di RSUD Prof.
Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto .
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Pe rsalinan.
a. Definisi Persalinan.
Persalinan adalah proses pergerakan keluar janin, plasenta, dan membran
dalam lahir melalui jalan lahir(Bobak, 2004).
Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks,dan janin turun
kedalam jalan lahir (Prawirohardjo, 2007).
Persalinan dianggap normal jika :
1) Wanita berada pada atau dekat masa aterm.
2) Tidak terjadi komplikasi.
3) Terdapat satu janin dengan presentasi puncak kepala.
4) Dan persalinan selesai dalam 24 jam (Bobak, 2004).
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi persalinan.
1) Pessenger (Penumpang).
Cara penumpang atau janin bergerak disepanjang jalan lahir
merupakan akibat interaksi beberapa faktor, yaitu ukuran kepala janin,
presentasi, letak, sikap, dan posisi janin. Pessenger terdiri dari janin dan
plasenta.
2) Jalan Lahir (Passegeway).
Jalan lahir terdiri dari panggul ibu, yakni bagian tulang yang padat,
dasar panggul, vagina, dan introitus. Tempat jenis panggul dasar
dikelompokkan sbb:
a) Ginekoid (tipe wanita klasik).
b) Android (mirip panggul wanita).
c) Antropoid (mirip panggul kena atropoid).
d) Platipeloid (panggul pipih).
3) Kekuatan (power).
Ibu melakukan kontraksi involunter dan volunter secara bersamaan
untuk mengeluarkan janin dan plasenta dari uterus. Kontraksi uterus
involunter yang disebut kekuatan primer, menandai dimulainya persalinan.
Apabila servik dilatasi usaha volunter dimulai untuk mendorong yang
disebut kekuatan sekunder yang memperbesar kekuatan kontraksi
involunter.
4) Posisi Ibu.
Posisi Ibu mempengaruhi adaptasi anatomi dan fisiologi persalinan,
posisi tegak memberi sejumlah keuntungan. Mengubah posisi membuat rasa
letih hilang, memberi rasa nyaman dan memperbaiki sirkulasi
104

HOSPITAL MAJAPAHIT

c.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

(Melzack,dkk,1991). Posisi tegak meliputiposisi berdiri, berjalan, duduk,


dan jongkok.
5) Psychologi Respon (Respon psikologi).
Psikologi ibu merupakan faktor terpenting dalam kelancaran proses
persalinan. Apabila ibu yang menghadapi proeses persalinan mengalami
stress/cemas, takut, serta kekurangan pengetahuan ibu tentang persalinan,
maka proses persalinan ibu tersebut, akan tidak lancar atau terlambat.
Karena stress yang dialami ibu akan meningkatkan kadar hormon ACTH,
kortisol, dan sebagainya. Sedangkan kadar hormon akan menghambat
persalinan (Bobak 2004).
Tahap Persalinan.
1) Kala I.
Klinis dapat dinyatakan partus dimulai bila timbul his dan wanita
tersebut mengeluarkan lendir yang bersemu darah (bloody show).
Proses membukanya servik sebagai akibat his di bagi dalam 2 fase
a) Fase Laten : berlangsung selama 8 jam. Pembukaan terjadi sangat
lambat sampai mencapai ukuran diameter 3 cm.
b) Fase Aktif dibagi dalam 3 fase lagi, yaitu :
(1) Fase akselerasi : dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm tadi, menjadi
4 cm.
(2) Fase dilatasi maksimal : dalam waktu 2 jam pembukaan
berlangsung sangat cepat, dari 4 cm menjadi 9 cm.
(3) Fase deselerasi : pembukaan menjadi lambat kembali. Dalam
waktu 2 jam, pembukaan dari 9 cm menjadi 10 cm.
(4) Sedangkan menurut skala Fredman, pada ibu primigravida
pembukaan 1 cm/jam dan multigravida 2 cm/jam.
2) Kala II.
Pada kala II, his menjadi lebih kuat dan lebih cepat kira-kira 2-3 menit
sekali. Karena biasanya dalam hal ini kepala janin sudah masuk pintu atas
panggul yang secara reflektoris menimbulkan rasa mengedan. Wanita
merasa pula tekanan pada rektum dan hendak BAB. Kemudian periniem
menonjol dan menjadi lebar dan anus membuka. Labia mulai membuka dan
tidak lama kemudian, kepala janin tidak tampak pada vulva pada waktu his.
Bila dasar panggul sudah lebih berileksasi, kepala janin tidak masuk lagi
diluar his, dan dengan his dan kekuatan mengedan maksimum, kepala janin
dilahirkan dengan sub oksiput di bawah simpisisdan dahi mukan dan daya
melalui perinium. Setelah istirahat sebentar, his mulai lagi untuk
mengeluarkan badan, dan anggota bayi. Pada primigravida kala II,
berlangsung rata-rata 1,5 jam dan multipara rata-rata 0,5 jam.
3) Kala III.
Setelah bayi lahir, uterus teraba keras dan fundus uteri agak diatas
perut. Beberapa menit kemudian, uterus berkontraksi lagi untuk melepaskan
plasenta dari dindingnya. Biasanya plasenta lepas dalam 6-15 menit setalah
bayi lahir dan keluar spontan atau dengan tekanan pada fundus uteri.
Pengeluran plasenta disertai dengan pengeluaran darah.
4) Kala IV.
Mulai dari lahirnya plasenta dan lamanya 1 jam. Dalam kala ini, perlu
untuk mengamati apakah ada perdarahan postpartum (Sulistyawati, 2010).

105

HOSPITAL MAJAPAHIT
d.

e.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Sebab-sebab timbulnya persalinan.


Bagaimana terjadinya persalinan belum diketahui dengan pasti sehingga
menimbulkan beberapa teori yang berkaitan mulai terjadinya kekuatan his.
Perlu dikatahui ada 2 hormon yang dominan saat hamil yaitu :
1) Estrogen.
a) Meningkatkan sensitivitas otot rahim.
b) Memudahkan penerimaan rangsangan dari luar seperti rangsangan
oksitosin, rangsangan prostaglandin, rangsangan mekanis.
2) Progesteron.
a) Menurunkan sensitivitas otot rahim.
b) Menyulitkan penerimaan rangsangan dari luar seperti rangsangan
oksitosin, rangsangan prostaglandin, rangsangan mekanis.
c) Menyebabkan otot rahim dan otot polos relaksasi.
Estrogen dan progesteron terdapat dalam keseimbangan sehingga kehamilan
dapat dipertahankan. Perubahan keseimbangan estro gen dan progesteron
menyebabkan oksitosin yang dikeluarkan oleh hipofise parsa posterior dapat
menimbulkan kontraksi dalam bentuk Braxton Hicks. Kontraksi Braxton Hicks
akan menjadi kekuatan dominan saat mulainya persalinan. Oleh karena itu,
makin tua hamil frekuensi kontraksi makin sering (Prawirohardo,2007).
Jenis persalinan beserta efeknya.
1) Persalinan normal.
Persalinan normal adalah bayi lahir melalui vagina dengan letak
belakang kepala/ubun-ubun kecil, tanpa memakai alat bantu, serta tidak
melukai ibu maupun bayi (kecuali episiotomi). Proses persalinan normal
biasanya berlangsung dalam waktu kurang dari 24 jam.
Efek samping : terjadinya robekan vagina pada saat lahir yang
disebabkan oleh tindakan episiotomi untuk mempermudah persalinan atau
robek dengan sendirinya.
2) Persalinan ekstraksi vacuum.
Vakum adalah seatu alat yang menggunakan cup penghisap yang
dapat menarik bayi keluar dengan lembut. Persalinan dengan vakum
dilakukan bila ada indikasi membahayakan kesehatan serta nyawa ibu atau
anak, maupun keduanya. Jika proses persalinan cukup lama sehingga ibu
sudah kehilangan banyak tenaga, maka dokter akan melakukan tindakan
segera untuk mengeluarkan bayi.
Efek samping : terjadi perlukaan yang lebih luas pada jalan lahir, juga
pendarahan dijalan lahir. Sedangkan pada bayi, resiko vakum secara umum
adalah terjadinya luka atau lecet dikulit kepala. Inipun dapat diobati dengan
obat anti septik. Kondisi ini biasanya akan hilang sendiri setelah bayi usia
seminggu. Resiko yang lebih berat adalah terjadinya pendarahan diantara
tulang-tulang kepala (cephal hematome), juga terjadi pendarahan dalam
otak.
3) Persalinan Ekstraksi forcep.
Forsep digunakan pada ibu pada keadaan sangat lemah, tidak ada
tenaga, atau ibu dengan penyakit hipertensi yang tidak boleh mengejan,
forsep dapat menjadi pilihan. Demikian pula jika terjadi gawat janin ketika
janin kekurangan oksigen dan harus segera dikeluarkan. Apabila persalinan
yang dibantu forsep telah dilakukan dan tetap tidak bisa mengeluarkan bayi,
maka operasi caesar harus segera dilakukan.

106

HOSPITAL MAJAPAHIT

2.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Efek samping : Pada bayi dapat terjadi kerusakan saraf ketujuh


(nervus fasialis), luka pada wajah dan kepala, serta patah tulang wajah dan
tengkorak. Jika hal itu terjadi, bayi harus diawasi dengan ketat selama
beberapa hari. Tergantung derajat keparahannya, luka tersebut akan sembuh
sendiri. Sedangkan pada ibu, dapat terjadi luka pada jalan lahir atau
robeknya rahim (ruptur uteri).
4) Persalinan Operasi Caesar.
Operasi caesar adalah proses persalinan dengan melalui pembedahan
dimana irisan dilakukan di perut ibu (laparatomi) dan rahim (histerotomi)
untuk mengeluarkan bayi.
Efek samping : Komplikasi yang timbul setelah dilakukannya SC pada
ibu seperti nyeri pada daerah incisi, potensi terjadinya thrombosis, potensi
terjadinya penurunan kemampuan fungsional,penurunan elastisitas otot
perut dan otot dasar panggul, perdarahan, luka kandung kemih, infeksi,
bengkak pada extremitas bawah, dan gangguan laktasi (Kurniawati, 2008).
Konsep Nyeri.
a. Pengertian Nyeri.
Nyeri merupakan kondisi
berupa perasaan
yang tidak
menyenangkan.sifatnya sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada
setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya,dan hanya orang tersebutlah yang
dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang di alaminya (Hidayat,
2008).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait
dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan.
b. Reseptor jaringan kulit (kutaneus).
1) Reseptor A delta. Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi
6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat
hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan
2) Serabut C. Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5
m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat
tumpul dan sulit dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi
reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan
jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri
yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
3) Reseptor visceral. Reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung,
hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini
biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif
terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
c. Respon fisiologis terhadap nyeri.
1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial).
a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate.
b) Peningkatan heart rate.
c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP.
d) Peningkatan nilai gula darah.
e) Diaphoresis.
f) Peningkatan kekuatan otot.
g) Dilatasi pupil.
h) Penurunan motilitas GI.
107

HOSPITAL MAJAPAHIT

d.

e.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam).


a) Muka pucat.
b) Otot mengeras.
c) Penurunan HR dan BP.
d) Nafas cepat dan irreguler.
e) Nausea dan vomitus Kelelahan dan keletihan.
Respon tingkah laku terhadap nyeri.
1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur).
3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir).
Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan
jari & tangan.
4) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,
Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas
menghilangkan nyeri) (Ittun,2008).
Faktor yang mempengaruhi respon nyeri.
1) Usia. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus
mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan
nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia
cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap
nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau
mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin. Gill (1990) mengungkapkan laki- laki dan wnita tidak
berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi
faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki- laki mengeluh nyeri, wanita boleh
mengeluh nyeri).
3) Kultur. Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka
berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut
kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka
melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri. Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang
terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
5) Perhatian. Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri
dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang
meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya
distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi,
guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas. Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa
menyebabkan seseorang cemas.
7) Pengalaman masa lalu. Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri
dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih
mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri
tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
8) Pola koping. Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi
nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan
seseorang mengatasi nyeri.
9) Support keluarga dan sosial. Individu yang mengalami nyeri seringkali
bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh
dukungan dan perlindungan.
(Hidayat, 2008)
108

HOSPITAL MAJAPAHIT
f.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Intensitas Nyeri.
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan
oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh
dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nye ri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik
tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga
tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri,
2007).
1) Intensitas nyeri Deskriptif.

2) Intensitas nyeri numerik.

3) Skala analog visual.

g.

4) Skala Nyeri.
0
: Tidak nyeri.
1-3 : Nyeri ringan.
4-6 : Nyeri Sedang.
7-9 : Sangat nyeri, tapi masih dapat di control.
10 : Sangat nyeri dan tidak bisa dikontrol
(Smeltzer, 2002)
Penyebab Nyeri pasca bersalin.
1) Nyeri perut (rahim).
Pada saat hamil, rahim seorang ibu akan membesar sesuai ukuran
janin yang dikandung. Begitu bayi lahir maka perlahan- lahan rahim akan
menyusut dan mengecil hingga sebesar buah pir kecil. Proses kembalinya ke
bentuk semula dari rahim ini disertai dengan rasa seperti kram pada
perut.Dalam kebidanan disebut dengan kontraksi rahim. Kontraksi rahim ini
diperlukan agar rahim dapat segera mengecil dan pembuluh darah yang
terluka saat lepasnya ari-ari dari dinding rahim dapat segera menutup
kembali, sehingga tidak terjadi perdarahan. Kadang, sensasi nyeri seperti
kram ini semakin terasa saat menyusui, ibu tak perlu cemas karena justru
dengan rangsangan hisapan bayi akan membantu keluarnya hormon
oksitosin yang membantu proses kontraksi rahim tersebut. Maka, tidak
mengherankan bila ibu menyusui akan lebih cepat pulih rahimnya dan
terhindar dari risiko perdarahan juga. Gunakan gurita yang nyaman, sering
109

HOSPITAL MAJAPAHIT

2)

3)

4)

5)

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

buang air kecil dan lakukan relaksasi nafas bila nyeri atau kram tersebut
muncul.
Nyeri payudara.
Paska persalinan setelah dua atau tiga hari seorang ibu nifas akan
merasakan payudaranya mulai sedikit tegang dan penuh. Sekitar payudara
terasa nyeri sedikit dan membengkak. Pada keadaan ini, payudara telah
memulai fungsinya memproduksi air susu bagi bayi. Produksi ASI semakin
hari akan semakin banyak. Oleh karena itu, dibutuhkan penghisapan yang
teratur dari bayi sejak lahir, yakni dengan inisiasi menyusu dini.Pada
beberapa ibu nifas, ada yang mengalami pembesaran kelenjar susu hingga di
area sekitar ketiak. Tidak perlu khawatir itu bukan penyakit atau kelainan,
namun karena aktivitas hormon yang memproduksi ASI bagi bayi. Bagian
puting payudara juga akan sedikit keras dan sensitif. Gunakan bra yang
nyaman, lakukan kompres hangat pada sekitar payudara dan sering
kosongkan ASI dengan menyusui untuk meredakan keluhan nyeri.
Nyeri perineum dan bengkak pada vagina.
Pada saat latihan duduk dan berjalan pascabersalin, ibu nifas mungkin
akan mengalami keluhan sedikit nyeri pada sekitar jalan lahir baik bekas
luka jahitan maupun keluhan bengkak atau lecet pada vagina. Tidak perlu
cemas, pada keadaan dimana bagian tubuh mengalami robekan maka saraf
di sekitar luka akan menjadi sangat peka dan timbul nyeri, namun semakin
aktif bergerak, rasa nyeri akan semakin berkurang. Pada keadaaan bengkak
atau lecet pada sekitar vagina mungkin sementara akan sedikit mengganggu
kenyamanan ibu, tak perlu cemas hal ini akibat penekanan kepala bayi saat
lahir. Keadaan bengkak pada vagina secara perlahan akan mengempis dan
kembali ke bentuk semula. Lakukan relaksasi nafas panjang saat latihan
duduk atau jalan agar mengurangi nyeri. Yang perlu dilakukan adalah
mengenakan pembalut dengan tepat, menjaga kebersihan luka jahitan, bila
perlu lakukan rendam air hangat untuk mengurangi keluhan nyeri.
Nyeri hemoroid atau ambeien.
Pada saat mengejan melahirkan tak jarang menimbulkan hemoroid
(ambeien) yang diderita ibu sebelumnya menjadi keluar dari dubur dan
terasa nyeri. Dengan penanganan kompres rendam a ir hangat akan sangat
membantu mengurangi nyeri. Bila memang diperlukan bidan dan dokter
akan membantu menggunakan jelly pelumas untuk memasukkan kembali
hemoroid tersebut. Tetap menjaga kebersihan area sekitar dubur dan jangan
takut untuk buang air besar atau mengejan.
Nyeri pembedahan.
Nyeri bukanlah akibat sisa pembedahan yang tak dapat dihindari
tetapi ini merupakan komplikasi bermakna pada sebagian besar pasien.
Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi kualitas, intensitas dan
lamanya nyeri pasca bedah dapat disebutkan sebagai berikut :
a) Lokasi operasi, jenis operasi dan lamanya operasi serta berapa besar
kerusakan ringan akibat operasi tersebut.
b) Persiapan operasi baik psychologik, fisik dan pharmakologik dari
penderita oleh anggota/team pembedahan atau dengan kata lain disebut
pelaksanaan perioperatif dan premedikasi.
c) Adanya komplikasi yang erat hubungannya dengan pembedahan.
d) Pengelolaaan anestasi baik sebelum, selama, sesudah pembedahan.
e) Kwalitas dari perawatan pasca bedah.
110

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

f)
g)
h)
i)

3.

Suku, ras, warna kulit, karakter dan sosiokultural penderita


Jenis kelamin, perempuan lebih cepat merasakan nyeri
Umur, ambang rangsang orang tua lebih tinggi.
Kepribadian, pasien neurotik lebih merasakan nyeri bila dibandingkan
dengan pasien dengan kepribadian normal
j) Pengalaman pembedahan sebelumnya, bila pembedahan di tempat
yang sama rasa nyeri tidak sehebat nyeri pembedahan sebelumnya.
k) Motivasi pasien, pembedahan paliatif tumor ganas lebih nyeri dari
pembedahan tumor jinak walaupun luas yang diangkat sama besar.
l) Fisiologik, psychologik dari penderita.
Dari segi pembedahan, lokasi nyeri pasca bedah yang paling sering
terjadi dan sifat nyerinya paling hebat (severe) adalah sebagai berikut :
a) Operasi daerah Thocaro abdominal.
b) Operasi ginjal.
c) Operasi Columna vertebralis (spine).
d) Operasi Sendi besar.
e) Operasi tulang panjang (large Bone) di extrimitas.
(Iffan, 2010).
Konsep Involusi Uterus.
Involusi uterus adalah kembalinya uterus pada organ panggul (Bick at al,
2008). Involusi uterus adalah kembalinya uterus keukuran,tonus dan posisi sebelum
hamil (Medforth, 2012). Involusi uterus adalah keadaan kembalinya uterus kedalam
bentuk semula (Wirahkusuma, 2011).
a. Faktor Faktor yang mempengaruhi involusi uterus.
1) Ambulasi
2) Senam nifas
3) Proses laktasi
4) Komplikasi persalinan
5) Anestesi
6) Lamanya persalinan
7) Usia
8) Nutrisi
9) Paritas
10) Pekerjaan
(Wirahkusuma, 2011)
b. Sub- involusi uterus.
Sub involusi uterus adalah uterus gagal mengalami involusi pada
kecepatan yang di perkirakan,teraba lebar dan menggembung saat di palpasi.
1) Hemoragi pasca partum primer.
Hemoragi pasca partum primer adalah perdarahan berat dari saluran
genetalia sejak selesainya kala 3 persalinan sampai 24 jam setelah kelahiran.
Tanda dan gejala :
a) Kehilangan darah pervagina secara mendadak atau berlebihan.
b) Uterus dapat teraba membesar,lunak,dan menggembung di palapasi.
c) Pucat.
d) Peningkatan denyut nadi.
e) Penurunan tekanan darah.

111

HOSPITAL MAJAPAHIT

4.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

2) Hemoragi pasca partum sekunder.


Hemoragi pasca partum sekunder adalah perdarahan hebat dari
genetalia yang terjadi setelah 24 jam pertama sampai 6 minggu setelah
kelahiran.perdarahan ini sering terjadi antara 7-14 hari setelah kelahiran.
Tanda dan gejala :
a) Sering kali di dahului oleh peneluaran darah hebat,yang mungkin
berbau tidak sedap dan disertai oleh sub involusi uterus, beberapa
bekuan atau potongan membran dapat terlihat.
b) Takikardia dan pireksia derajat rendah akan mengindikasikan
keberadaan infeksi (Medford, 2012).
Konsep Masa Nifas.
a. Pengertian.
Masa nifas (peurperium) dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika
alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil (Saifuddin, 2002).
Masa nifas atau peurperium dimulai setelah plasenta lahir daan berakhir
ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas
berlangsung kira-kira 6 minggu (Wiknjosastro, 2005).
b. Waktu pembagian masa nifas.
1) Puerperium dini yaitu kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan
berjalan-jalan, dalam agama Islam dianggap telah bersih dan boleh bekerja
setelah 40 hari.
2) Puerperium intermedial yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genitalia
yang lamanya 6-8 minggu.
3) Remote puerperium adalah waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat
sempurna terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mengalami
komplikasi, waktu untuk sehat sempurna bisa berminggu- minggu, bulanan
atau tahunan (Bahiyatun, 2009).
c. Perubahan fisiologis pada masa nifas.
1) Perubahan fisik.
a) Oedema. Selama hamil tubuh mengalami peningkatan sejumlah lemak
juga cairan. Itu sebabnya itu mengapa ketika hamil, jari-jari tangan
ataupun kaki membengkak (oedema) sampai melahirkan hal ini belum
juga pulih. Pembengkaan ini akan selama beberapa hari, dan akan
menurun secara bertahap dengan pengeluaran air seni ( Kasdu, 2007).
b) Dinding Perut. Perubahan fisik lainnya yang tampak nyata setelah bayi
lahir adalah perut menjadi tampak kempis kembali. Sekalipun bentuk
perut belum kembali seperti sebelum hamil, terutama dekat pusat masih
tampak menonjol agak besar, hal ini karena bentuk rahim yang belum
seluruhnya pulih kebentuk semula (Kasdu, 2007).
c) Perubahan kulit. Pada waktu hamil terjadi pigmentasi kulit pada
beberapa tempat karena proses hormonal. Setelah persalinan hormon
berkurang dan hiperpigmentasi menghilang. Pada diding perut akan
menjadi putih mengkilat yaitu strie albikan.
d) Sistem Perkemihan. Diuresis dapat terjadi setelah 2-3 hari postpartum.
Diureis dapat terjadi karena saluran urinaria mengalami dilatasi.
Kondisi ini akan kembali normal setelah 4 minggu post partum. Pada
awal post partum, kandung kemih mengalami edema, kongesti, dan
hipotonik. Hal ini disebabkan oleh adanya overdistensi pada saat kala II
persalinan dan pengeluaran urine yang tertahan selama proses
persalinan. Sumbatabn pada ureter disebabkan oleh adanya trauma saat
112

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

persalinan berlangsung dan trauma ini dapat berlangsung setelah 24 jam


post partum (Bahiyatun, 2009).
Mekanisme tubuh untuk mengurangi kelebihan cairan yang
tertimbun selama hamil melalui diaforesis dan diuresis. Trauma jalan
lahir, efek anastesi, dan rasa takut berkemih dapat mengakibatkan
distensi kandung kemih, menghambat kontraksi uterus dan
mengakibatkan perdarahan ( Bobak, 2004).
2) Perubahan normal pada uterus selama nifas.
Tabel 32. Tabel Perubahan Uterus Pada Masa Nifas .
Involusi Tinggi Fundus Berat Uterus Diameter Palpasi Servik
Uteri
Uteri
Uterus
Plasenta
Setinggi
1000 gr
12,5 cm
Lembut/lunak
lahir
pusat
7 hari
Pertengahan 500 gr
7,5 cm
2 cm
(minggu 1) antara pusat
dan sympisis
14 hari
Tidak teraba 350 gr
5 cm
1 cm
(minggu 2)
3 minggu
Normal
60 gr
2,5 cm
Menyempit
Sumber: Ambarwati (2010)
3) Lochea adalah cairan sekret yang berasal dari kavum uteri dan vagina dalam
masa nifas. Lochea mengandung darah dan sisa jaringan desidua yang
nekrotik dari dalam uterus. Lochea mempunyai reaksi basa/alkalis yang
dapat membuat organisme berkembang lebih cepat dari pada kondisi asam
yang ada pada vagina normal. Lochea mempunyai perubahan karena proses
involusi (Ambarwati, 2010). Lochea pada masa nifas dibagi menjadi:
a) Lochea rubra (cruenta). Lochea ini muncul pada hari 1 sampai hari ke
4 masa postpartum. Cairan yang keluar berwarna merah karena berisi
darah segar, jaringan sisa-sisa plasenta, dinding rahim, lemak bayi,
lanugo (rambut bayi) dan mekonium.
b) Lochea sanguinolenta. Cairan yang keluar berwarna merah kecoklatan
dan berlendir. Berlangsung dari hari ke 4 sampai hari ke 7 postpartum.
c) Lochea serosa. Lochea ini berwarna kuning kecoklatan karena
mengandung serum, leukosit dan robekan/laserasi plasenta. Muncul
pada hari ke 7 sampai hari ke 14 postpartum.
d) Lochea alba. Mengandung leukosit, sel desidua, sel epitel, selaput
lendir serviks dan serabut jaringan yang mati. Lochea alba bisa
berlangsung selama 2 sampai 6 minggu postpartum.
e) Servik. Servik mengalami involusi bersama dengan uterus,
konsistensinya lunak, kadang terdapat laserasi/perlukaan kecil. Karena
robekan kecil yang terjadi selama dilatasi, servik tidak pernah kembali
pada keadaan sebelum hamil. Muara servik yang berdilatasi 10 cm pada
waktu persalinan menutup bertahap. Setelah bayi lahir, tangan masih
bisa masuk rongga rahim, setelah 2 jam dapat dimasuki 2-3 jari, pada
minggu keenam nifas, servik menutup
(Ambarwati, 2010).

113

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian.
Jenis penelitian menggunakan analitik. Selanjutnya peneliti ini menggunakan
pendekatan cross sectional yaitu peneliti ini menggunakan observasi satu kali
variabel atau pengukuran pada suatu waktu.
Pada penelitian ini desain yang di gunakan adalah desain korelasi untuk
mengetahui adanya jenis persalinan dengan skala nyeri involusi uterus masa nifas di
RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto.
2. Frame Work.
Variabel Independen
Jenis persalinan

a.
b.
c.
d.
e.

Variabel Dependen
Tingkat Nyeri

Variabel Perancu
Nyeri perut(rahim)
Nyeri payudara
Nyeri perineum dan bengkak pada vagina
Nyeri hemoroid
Nyeri pembedahan

Gambar 7. Kerangka Ke rja Jenis Persalinan Dengan Skala Nyeri Involusi


Uterus Masa Nifas.
3.
4.

Hipotesis Penelitian.
H1 = Ada pengaruh jenis persalinan dengan skala nyeri involusi uterus masa nifas.
Variabel dan Definisi Operasional.
a. Jenis Variabel.
1) Variabel Independen/Variabel Bebas.
Pada penelitian ini variabel independent atau bebas adalah jenis persalinan.
2) Variabel Dependen/Variabel Terikat.
Pada penelitian ini variabel dependent atau tergantung adalah skala nyeri
involusi uterus masa nifas.
b. Definisi Operasional.
Tabel 33. Definisi Operasional Jenis Persalinan Dengan Skala Nyeri
Involusi Uterus Masa Nifas.
Variabel
Definisi Operasional
Krite ria
Skala
Independen : Jenis Peraslinan adalah Seksio cesar (SC)
Nominal
jenis
berbagai macam cara
Persalinan normal
persalinan
yang dapat digunakan
(Kurniawati, 2008)
dalam persalinan
(prawirohardjo, 2007).
Alat ukur: Kuesioner
Dependen : Nyeri merupakan
0 : Tidak nyeri
Ordinal
tingkat
kondisi berupa perasaan 1-3 : Nyeri ringan
nyeri
yang tidak
4-6 : Nyeri Sedang
menyenangkan
7-9 : Sangat nyeri, tapi
(Hidayat, 2008).
masih bisa dikontrol
Alat ukur: Kuesioner
10 : Sangat nyeri dan
tidak bisa dikontrol
(smeltzer, 2002)
114

HOSPITAL MAJAPAHIT
5.

6.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Populasi, Sampel, Teknik dan Instrumen Penelitian.


Populasi dalam penelitian ini adalah semua Ibu nifas hari pertama di RSUD
Prof. Dr.Soekandar Mojosari Mojokerto. Populasi pada 22 Mei - 07 Juni 2012
sebanyak 37 responden. Sampel dalam penelitian ini adalah Ibu Nifas pada hari
pertama. Penelitian ini menggunakan teknik Non Probability Sampling dengan jenis
Purposiive sampling yaitu cara pengambilan sampel dengan tujuan tertentu (Hidayat,
2007). Sehingga ditentukan samplingnya adalah setiap ibu nifas hari pertama yang
memenuhi kriteria inklusi dimasukkan dalam penelitian. Jumlah sampel pada
penelitian ini adalah 37 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
a. Kriteria inklusi.
Kriteria inklusi adalah karakteristik sampel yang dapat dimasukkan atau
layak untuk diteliti. Yang termasuk kriteria inklusi adalah
1) Ibu nifas hari pertama
2) Ibu nifas yang melakukan persalinan normal dan persalinan seksio cesar.
3) Ibu nifas yang bersedia untuk menjadi responden.
b. Kriteria eksklusi.
Ibu nifas yang melakukan persalinan dibantu dengan alat.
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan data primer dimana data
jenis persalinan diambil melalui angket dan data skala nyeri diambil melalui angket
pula.Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei. Survei adalah
penelitian yang dilakukan dengan memberikan kuesioner,wawancara langsung atau
tidak langsung (Hidayat, 2007).
Instrumen pengumpulan data jenis persalinan pada penelitian ini menggunakan
kuesioner dengan 1 pertanyaan dan instrumen pengumpulan data skala nyeri
menggunakan VAS. VAS adalah jenis pengukuran yang digunakan untuk mengukur
pengalaman subyektif dapat digunakan dengan menggunakan suatu gar is yang
dimulai dengan garis awal (paling ringan) sampai paling nyeri (paling berat)
(Nursalam,2009). Pengukuran VAS pada nyeri biasanya digunakan sebagai garis 0,
1-3, 4-6, 7-9, 10 untuk mengetahui skala nyeri pada involusi uterus masa nifas hari
pertama.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data.
a. Teknik Pengolahan Data.
1) Editing.
Editing adalah memeriksa kembali data yang telah dikumpulkan, ini
berarti pada format pengumpulan data kemudian memindah ke dalam tabel
distribusi bantu penelitian sesuai keinginana peneliti.
2) Coding.
Coding adalah memberikan kode dengan mengubah kata menjadi
angka pada variabel data.
a) Data umum :
(1) Umur
20
: kode 1
20-35
: kode 2
35
: kode 3
(2) Paritas
1
: kode 1
2-4
: kode 2
5
: kode 3

115

HOSPITAL MAJAPAHIT

b.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

b) Data khusus :
(1) Jenis persalinan
SC
: kode 1
Normal
: kode 2
(2) Skala nyeri
Skala nyeri 0
: kode 1
Skala nyeri 1-3 : kode 2
Skala nyeri 4-6 : kode 3
Skala nyeri 7-9 : kode 4
Skala nyeri 10
: kode 5
3) Tabulating.
Tabulating adalah memindahkan data menurut data jenisnya ke dalam
tabel. Cara membaca bab kesimpulan menggunakan skala sebagai berikut :
100%
: Seluruhnya
76-99%
: Hampir seluruhnya
51-75%
: Sebagian besar
50%
: Setengah
26-49%
: Hampir setengah
1-25%
: Sebagian kecil
0%
: Tidak satupun
(Arikunto, 2002)
Teknik Analisis Data.
1) Analisis Univariat.
Jenis persalinan.
Untuk kode sub variabel jenis persalinan sebagai berikut:
pernyataan: persalinan normal : 1
persalinan SC
:2
(Nursalam, 2008)
Kemudian jawaban tersebut diubah menjadi persentase dengan rumus:
P = f x100%
N
Keterangan :
P : Prosentase
F : Jumlah jawaban yang benar
N : Jumlah skor maksimal
2) Analisis Bivariat.
Dilakukan untuk melihat hubungan antara 2 variabel yaitu variabel
independen dan variabel dependen. Pada penelitian ini peneliti mengunakan
uji Wilcoxon yaitu, dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan :
U : Nilai uji Mann-Whitney
N1 : sampel 1
N2 : sampel 2
Ri : Ranking ukuran sampel
116

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

E. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Tempat Penelitian.
Penelitian ini dilakukan di RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto
tanggal 22 Mei 07 Juni 2012 dengan jumlah responden 37 orang. RSUD Prof. Dr.
Soekandar terletak di Jl. Hayam Wuruk No. 25 kecamatan Mojosari Kabupaten
Mojokerto. Luas lahan yang dimiliki 10.672 m2 sedangkan luas bangunan yang
dimiliki 8854,85 m2 . RSUD Prof. Dr. Soekandar memiliki batas wilayah sebelah
Sebelah utara berbatasan dengan Jl. Hayam wuruk, Sebelah timur berbatasan dengan
rumah warga, sebelah selatan berbatasan dengan Jl. Kauman dan sebelah barat
berbatasan dengan rumah warga.
Kapasitas tempat tidur sebanyak 206, dengan Fasilitas yang ada di RSUD
Prof. Dr. Soekandar terdiri dari :
a. 1 Gedung IRJA, Laborat, Radiologi, & Sekretariat
b. 1 Gedung IRD-ODC
c. 1 Gedung Pelayanan Obstetri dan Neonatus Komprehensif ( PONEK)
d. 7 Gedung IRNA
e. 1 Gedung IBS & ICU
f. 1 Gedung CSSD
g. 1 Gedung Dapur & Gizi
h. 1 Gedung IPS
i. 1 Gedung Mushola
j. 1 Gedung Aula
k. 1 Gedung Pemulasaraan jenazah
l. 1 Bangunan Parkir
m. 4 Bangunan Rumah Dinas
Instalasi rawat inap:
a. Paviliun Majapahit ( Kelas Utama dan VIP )
b. Paviliun Mataram ( Kelas I )
c. Paviliun Pajajaran ( Kelas II )
d. Paviliun Dhoho ( Penyakit Dalam Kelas I dan III )
e. Paviliun Blambangan ( Anak )
f. Paviliun Kahuripan ( Bedah Kelas III )
g. Paviliun Sriwijaya ( VK dan Bersalin )
h. Paviliun Kutai ( Neonatus )
i. ICU-ICCU/ RR
Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Prof. Dr. Soekandar karena jumlah
pasiennya dapat mencukupi sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini, di samping
itu juga dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan di RSUD Prof. Dr.
Soekandar Mojosari Mojokerto.
2. Data Umum.
a. Karakteristik responden berdasarkan umur.
Tabel 34. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di RSUD
Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto Pada Tanggal 22 Mei
07 Juni 2012
No.
Usia
Frekuensi (f) Prosentase (%)
1.
20 tahun
6
16,2
2.
20 35 tahun
27
73
3.
35 tahun
4
10,8
Jumlah
37
100

117

HOSPITAL MAJAPAHIT

b.

3.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Berdasarkan tabel 34 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar responden


berumur 20-35 tahun yaitu 27 orang (73%) dan sebagian kecil responden
berumur 35 tahun yaitu 4 orang (10,8%).
Karakteristik responden berdasarkan paritas.
Tabel 35. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Paritas di RSUD
Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto Pada Tanggal 22 Mei
07 Juni 2012
No.
Paritas
Frekuensi (f) Prosentase (%)
1.
1
15
43,2
2.
23
21
56,8
3.
5
1
2,7
Jumlah
37
100

Berdasarkan tabel 35 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar paritas


responden 2-3 yaitu 20 orang (56,8%) dan sebagian kecil responden dengan
paritas 5 yaitu 1 orang (2,7%).
Data Khusus
a. Karakteristik responden berdasarkan jenis persalinan.
Tabel 36. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Persalinan
di RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto Pada
Tanggal 22 Mei 07 Juni 2012
No.
Jenis Persalinan
Frekuensi (f) Prosentase (%)
1.
SC
27
73
2.
Normal
10
27
Jumlah
37
100

b.

Berdasarkan tabel 36 diatas menunjukkan bahwa hampir seluruhnya


adalah jenis persalinan seksio cesar yaitu 27 responden (73%).
Karakteristik responden berdasarkan nyeri persalinan.
Tabel 37. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Nyeri Persalinan
di RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto Pada
Tanggal 22 Mei 07 Juni 2012
No.
Nyeri Persalinan
Frekuensi (f) Prosentase (%)
1.
Tidak Nyeri
0
0
2.
Nyeri Ringan
2
5,4
3.
Nyeri Sedang
11
29,7
4.
Sangat nyeri tapi masih
20
54,1
bisa dikontrol
5.
Sangat Nyeri dan tidak
4
10,8
bisa dikontrol
Jumlah
37
100
Berdasarkan tabel 37 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar responden
mengalami nyeri dengan kategori sangat nyeri tapi masih bisa dikontrol yaitu 20
responden (54,1%) dan tidak satupun yang mengalami nyeri dengan kategori
Tidak nyeri.

118

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

c.

Jenis Persalinan dan Nyeri Persalinan Dengan Skala Nyeri Involusi Uterus Masa
Nifas.
Tabel 38. Tabulasi Silang Jenis Persalinan dan Nyeri Persalinan Dengan
Skala Nyeri Involusi Uterus Masa Nifas di RSUD Prof. Dr.
Soekandar Mojosari Mojokerto Pada Tanggal 22 Mei 07 Juni
2012
Nyeri Persalinan
Tidak
Nyeri
Nyeri
Sangat
Sangat
Jenis
nyeri
Ringan
sedang Nyeri tapi Nyeri tapi
Total
No.
Persalinan
masih bisa tidak bisa
dikontrol dikontrol
f
%
f
%
f
%
f
%
f
%
F
%
1. SC
0
0
0
0
3
8,1 20 54,1 4 10,8 27
73
2. Normal
0
0
2
5,4
8 21,6 0
0
0
0
10
27
Jumlah
0
0
2
5,4 11 29,7 20 54,1 4 10,8 37 100
Berdasarkan tabel 38 diatas menunjukkan bahwa hampir seluruhnya
mengalami nyeri involusi uterus dengan kategori Sa ngat Nyeri tapi masih bisa
dikontrol pada jenis persalinan seksio cesar yaitu 20 responden (54,1%), dan
tidak satupun yang mengalami nyeri involusi uterus dengan kategori Sangat
Nyeri tapi masih bisa dikontrol pada persalinan normal.
Sedangkan Dari output Rank, tercatat bahwa nilai mean untuk jenis
persalinan seksio cesar lebih besar daripada nilai mean jenis persalinan normal
(23,56>6,70).Dari Nilai uji Mann-Whitney U, tercatat dimana nilai statistik uji Z
yang kecil yaitu -4.660 dan tercatat pula hasil uji signifikan secara statistic
adalah 0,00<0,05, dengan demikian H0 ditolak dan H1 diterima yaitu ada
hubungan antara jenis persalinan dengan skala nyeri involusi uterus masa nifas.
F. PEMBAHASAN
1. Jenis Persalinan.
a. Berdasarkan tabel 36 hampir seluruhnya adalah jenis persalinan seksio cesar
yaitu 27 responden (73%). Operasi caesar adalah proses persalinan dengan
melalui pembedahan dimana irisan dilakukan di perut ibu (laparatomi) dan
rahim (histerotomi) untuk mengeluarkan bayi. (Kurniawati, 2008).praktis dan
singkatnya persalinan seksio sesar membuat para ibu tertarik memilih jenis
persalinan ini, dengan hal ini terjadilah peningkatan jumlah persalinan seksio
cesar.
b. Umur juga mempengaruhi jenis persalinan yaitu berdasarkan tabel tabulasi
silang didapatkan bahwa sebagian besar responden berumur 20-35 tahun yatiu
sebanyak 22 responden (59,5%) dengan jenis persalinan Seksio Cesar. Dari segi
kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya
daripada orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat
dari kematangan jiwanya (Hurlock, 1998 dalam Nursalam, 2008). Makin tua
usia seseorang, maka makin konstruktif dalam menggunakan koping terhadap
masalah yang dihadapi. Sehingga seseorang pada usia dewasa akan semakin
mudah dalam menerima informasi yang memberi dampak positif bagi dirinya
(Long, 1996 dalam Nursalam, 2008). Semakin banyak umur atau semakin tua
seseorang maka semakin bertambah pengetahuannya tentang berbagai macam
jenis persalinan. Dengan demikian semakin tua umur responden maka semakin

119

HOSPITAL MAJAPAHIT

2.

3.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

bijak mengambil keputusan dalam memilih jenis persalinan yang terbaik bagi
dirinya.
c. Selain usia, paritas juga mempengaruhi persalinan,hampir seluruhnya pada
paritas 2-4 yaitu 16 responden (43,2%) dengan persalinan seksio cesar.
Pengalaman masa lalu juga mempengaruhi persepsi terhadap nyeri. Keberhasilan
atau kegagalan metode penanganan nyeri sebelumnya juga berpengaruh terhadap
harapan individu terhadap penanganan nyeri saat ini (Smeltzer, 2002).
Kemungkinan besar Mereka memilih persalinan seksio cesar pada persalinan ke
2-4 karena mereka telah menjalani persalinan secara normal,persepsi mereka
bahwa waktu yang dibutuhkan pada jenis persalinan seksio cesar lebih singkat
dan nyeri persalinan seksio cesar lebih ringan dari pada persalinan normal.
Nyeri Involusi Uterus.
Tercatat bahwa sebagian besar nyeri involusi uterus sebesar 20
Responden(54,1%) yaitu dengan kategori sangat nyeri tapi masih bisa dikontrol dan
tidak ada satupun yang mengalami nyeri dengan kategori tidak nyeri. Intensitas
kontraksi uterus meningkat secara bermakna setelah persalinan bayi, yang
merupakan respons untuk segera mengurangi jumlah volume intra uterin. Selama 1
2 jam pertama post partum, aktivitas uterin menurun secara progressif dan stabil.
Pada waktu pertama keadaan uterin ibu ditingkatkan sehingga fundus menetap
dengan tegas. Periode relaksasi dan kontraksi dengan kuat adalah lebih umum pada
kehamilan dan mungkin menyebabkan nyeri perut yang tidak nyaman yang disebut
after pains dimana terus berlangsung sampai masa puerperium. (pherba, 2010). Nyeri
involusi uterus bisa juga disebabkan karena kontraksi uterus yang terlalu kuat,selain
itu hal tersebut bisa juga disebabkan karena terjadi perlukaa n pada uterus,hal ini
menyebabkan nyeri involusi uterus bertambah.
Jenis Persalinan Dengan Nyeri Involusi Ute ri.
Berdasarkan tabel 38 tercatat bahwa hampir seluruhnya mengalami nyeri
involusi uterus dengan kategori sangat nyeri tapi masih bisa dikontrol pada jenis
persalinan seksio cesar yaitu 20 responden (54,1%) dan tidak satupun yang
mengalami nyeri involusi uterus dengan kategori sangat nyeri tapi masih bisa
dikontrol pada jenis persalinan normal. Dari segi pembedahan, lokasi nyeri pasca
bedah yang paling sering terjadi dan sifat nyerinya paling hebat (severe) salah
satunya terdapat pada daerah Thocaro abdominal(iffan,2010). Nyeri involusi uterus
pada persalinan seksio cesar lebih tinggi daripada persalinan normal,intensitas nyeri
involusi uterus pada persalinan seksio cesar menjadi bertambah karena akibat luka
sayat pada uterus terjadi setelah klien sadar dari narkose dari 24 jam post operasi.
Dari output Rank, tercatat bahwa nilai mean untuk jenis persalinan seksio cesar
lebih besar daripada nilai mean jenis persalinan normal (23,56>6,70).Dari Nilai uji
Mann-Whitney U, tercatat dimana nilai statistik uji Z yang kecil yaitu -4.660 dan
tercatat pula hasil uji signifikan secara statistic adalah 0,00<0,05 , dengan demikian
H0 ditolak dan H1 diterima yaitu ada hubungan antara jenis persalinan dengan skala
nyeri involusi uterus masa nifas.

G. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang berjudul Jenis Persalinan
Dengan Skala Nyeri Involusi Uterus Masa Nifas di RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari
Mojokertopada tanggal 07 Mei-07 Juni 2012 didapatkan simpulan bahwa:
1. Jumlah jenis persalinan di RSUD Prof. Dr. Soekandar mojosari Mojokerto hampir
seluruhnya adalah jenis persalinan seksio cesar yaitu 27 responden(73%).

120

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

2.

Sebagian besar responden mengalami nyeri dengan kategori sangat nyeri tapi masih
bisa dikontrol yaitu 20 responden (54,1%) dan tidak satupun yang mengalami nyeri
dengan kategori Tidak nyeri.
3. Dari output Rank, tercatat bahwa nilai mean untuk jenis persalinan seksio cesar lebih
besar daripada nilai mean jenis persalinan normal (23,56>6,70).Dari Nilai uji MannWhitney U, tercatat dimana nilai statistik uji Z yang kecil yaitu -4.660 dan tercatat
pula hasil uji signifikan secara statistic adalah 0,00<0,05 , dengan demikian H0
ditolak dan H1 diterima yaitu ada hubungan antara jenis persalinan dengan skala
nyeri involusi uterus masa nifas.
Dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan diharapkan tenaga kesehatan lebih
meningkatkan materi yang dapat menunjang, materi yang diperoleh baik melalui
penelitian, seminar atau juga dari literatur kepustakaan lainnya sehingga ibu nifas lebih
memahami tentang skala nyeri involusi uterus dari masing masing jenis persalinan.
Memberikan informasi baru tentang skala nyeri involusi uterus pada masing masing jenis
persalinan karena ini bertujuan untuk melaksanakan program asuhan sayang ibu pada
masa nifas juga kepada PUS (Pasangan Usia Subur) dan bagi para calon ibu lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anon. (2008). (http://bidan-paramithasarifamuzi.blogspot.com/., diakses 06 April 2012).
Anon. (2011). (http://babyorchestra.wordpress.com, diakses 12 April 2012).
Anon. (2011). (http://bidankita.com., diakses 10 April 2012).
Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta.
Bobak. (2004). Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC.
Baston, Helen. (2012). Midwifery Essentials Postnatal. Jakarta: EGC.
Cunningham, gary dkk. (2006). Obstetri Williams. Jakarta : EGC.
Fraser, Diane. (2009). Buku Ajar Bidan Myles ed 14. Jakarta. EGC.
Hidayat, Alimul, A.(2007). Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisis Data. Jakarta :
Salemba Medika.
Hidayat, Alimul, A.(2008). Konsep Dasar Asuhan kebidanan. Jakarta. EGC.
Medforth, janet dkk. (2012). Kebidanan Oxford. Jakarta. EGC.
Mubarok. (2009). (http://ivanmubarok.blogspot.com., diakses 03 April 2012).
Prawirohardjo, Sarwono. (2006). Ilmu Kebidanan. Jakarta : YBP-SP.
Smeltzer, suzanne C. (2002). Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : EGC.
Sulistiawati, Ari dkk. (2010). Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin. Jakarta : Salemba
Medika.
Umy. (2007). (http://publikasi.umy.ac.id, diakses 11 April 2012).
Wirakusuma, firman dkk. (2011). Obstetri Fisiologi Ilmu Kesehatan Reproduksi Ed 2.
Jakarta : EGC.

121

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

HUBUNGAN STATUS GIZI REMAJA PUTRI DENGAN SIKLUS MENSTRUASI


DI MTs DARUN NAJAH GADING DUSUN SUMBER KENANGA
JATIREJO MOJOKERTO
Agus Dwi Rahayu.1 , Sulisdiana, M.Kes.2
1
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit
2
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit
ABSTRACT
One of the risk factors of variability of the menstrual cycle is the nutritional status of young
adolescents. Because the quality of nutrition and nutrition affect the performance of the
hypothalamus gland which has a role to control the smoothness of the menstrual cycle there.
The research objective was to determine the relationship with the nutritional status of young
women in the menstrual cycle of MTs Darun Najah Gading Jatirejo Mojokerto.
Research design is observational analytic study with cross sectional approach. The
independent variable was the nutritional status of young adolescents and the dependent
variable is the menstrual cycle. The population was all young adolescents class VII and VIII
as many as 41 people, then the total sampling technique is taken entirely as a sample.
Nutritional status were collected using a meter (meterline) and age data, while menstrual
cycle data was taken using a questionnaire on December 4 to 9 June 2012. Furthermore, the
data were processed and analyzed using the Chi square test.
The results showed almost half of respondents have a short nutritional status of 20
respondents (48.8%) and the majority of respondents had normal menstrual cycles were 22
respondents (53.7%). Chi square statistical test results obtained Sig. (2 tailed) (0.033) <
(0.05) means H0 rejected and H1 accepted, meaning that there is a link the nutritional status
of young adolescents with menstrual cycle in MTs Darun Najah Gading Jatirejo Mojokerto.
Family socioeconomic status background of the nutritional status of young women to be
short, but even under conditions that completely limited, parents are quite capable of
maintaining a comfortable home atmosphere for children, so that respondents can experience
a normal menstrual cycle.
Conclusion of this study is that there is a correlation between nutritional status of young
adolescents with the menstrual cycle in MTs Darun Najah Gading Jatirejo Mojokerto. Young
adolescents are advised to increase their knowledge about good nutrition and balanced.
Health professionals can work with a tutor Business School Health to provide counseling on
nutrition and menstruation.
Keywords: nutritional status, menstrual cycle, young adolescent
A. PENDAHULUAN
Karakteristik remaja (adolescence) adalah tumbuh menjadi dewasa. Secara fisik,
remaja ditandai dengan ciri perubahan pada penampilan fisik dan fungsi fisiologis,
terutama yang terkait dengan kelenjar seksual. Sementara itu, secara psikologis remaja
merupakan masa dimana individu mengalami perubahan-perubahan dalam aspek kognitif,
emosi, sosial dan moral antara masa anak-anak menuju dewasa (Kusmiran, 2011: 8).
Menstruasi pertama (menarche) merupakan peristiwa yang penting pada pubertas anak
gadis yang menjadi pertanda biologis dari kematangan seksual (Kartono, 2006: 111).
Siklus menstruasi normal terjadi setiap 22-35 hari, dengan lamanya menstruasi selama 27 hari (Kusmiran, 2011: 19). Status gizi remaja sangat mempengaruhi terjadinya
menarche baik dari faktor usia terjadinya menarche, adanya keluhan-keluhan selama
menarche maupun lamanya hari menarche (Paath, dkk., 2004: 70). Panjang siklus
122

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

menstruasi dipengaruhi oleh usia seseorang dan dukungan gizi (Hanafiah dalam Lusiana
dan Dwiriani, 2007: 26).
Data demografi menunjukkan bahwa remaja merupakan populasi yang besar dari
penduduk di dunia. Menurut World Health Organization sekitar seperlima dari penduduk
dunia adalah remaja berumur 10-19 tahun. Sekitar sembilan ratus juta berada di negara
sedang berkembang. Data demografi di Asia Pasifik jumlah penduduknya merupakan
60% dari penduduk dunia, seperlimanya adalah remaja umur 10-19 tahun (Soetjiningsih,
2007: 1). Menurut sensus penduduk pada tahun 2010, jumlah remaja di Indonesia usia
10-24 tahun adalah sebesar 64 juta jiwa, artinya 27,6% dari total penduduk Indonesia
(237,6 jiwa). Sedangkan jumlah remaja di Jawa Timur usia 10-24 tahun adalah sebesar
8,747 juta jiwa atau 23,35% dari jumlah penduduk Jawa Timur (37.477 juta jiwa)
(BKKBN Jawa Timur, 2012). Data Profil Kesehatan Kabupaten Mojokerto tahun 2010
menunjukkan jumlah remaja perempuan (10-14 tahun) di Kabupaten Mojokerto sebanyak
41.914 orang (Dinkes Kabupaten Mojokerto, 2011).
Data yang didapat dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia, khususnya hasil
Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 diketahui di Indonesia prevalensi status gizi umur 1315 tahun berdasarkan TB/U adalah sangat pendek (13,1%), pendek (22,1%), normal
(64,9%). Berdasarkan sumber yang sama diketahui prevalensi untuk Propinsi Jawa Timur
adalah sangat pendek (10,5%), pendek (20,2%) dan normal (69,3%) (Depkes, 2010).
Studi pendahuluan dilakukan di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga
Jatirejo Mojokerto pada tanggal 17 April 2012 dengan teknik wawancara untuk
memperoleh data lama siklus menstruasi serta mengukur tinggi badan per umur untuk
mengetahui status gizi pada 6 remaja putri. Hasil studi pendahuluan didapatkan 3 remaja
putri (50%) mengaku mengalami siklus mentruasi yang tidak teratur, bahkan tiga bulan
berturut-turut belum mengalami menstruasi hanya spotting sesekali, sedangkan 2 remaja
putri (33%) mengalami lama siklus menstruasi lebih dari 35 hari dan hanya satu remaja
putri (17%%) mengalami siklus menstruasi normal yaitu + 28-30 hari. Hasil pengukuran
status gizi didapatkan 4 remaja putri (67%) termasuk dalam kategori pendek dan 2 remaja
putri (33%) termasuk dalam kategori normal.
Faktor risiko dari variabilitas siklus menstruasi adalah pengaruh dari berat badan,
aktifitas fisik, serta proses ovulasi dan adekuatnya fungsi luteal. Perhatian khusus saat ini
juga ditekankan pada perilaku diet dan stres pada atlet wa nita (Kusmiran, 2011: 110).
Kualitas asupan nutrisi dan gizi mempengaruhi kinerja kelenjar hipotalamus yang
memiliki peran mengendalikan kelancaran siklus haid yang ada (Klik Dokter, 2011).
Berat badan dan perubahan berat badan mempengaruhi fungsi menstruasi. Penurunan
berat badan akut dan sedang menyebabkan gangguan pada fungsi ovarium, tergantung
derajat tekanan pada ovarium dan lamanya penurunan berat badan. Kondisi patologis
seperti berat badan yang kurang atau kurus dan anorexia nervosa yang menyebabka n
penurunan berat badan yang berat dapat menimbulkan amenorrhea (Kusmiran, 2011:
110). Nutrisi yang baik akan mempengaruhi sekresi FSH dan LH. Jika terjadi penurunan
kalori kronis akan menurunkan sekresi FSH dan LH, hingga jika terjadi malnutrisi, berat
badan rendah atau diet ketat, maka ovulasi mungkin akan berhenti dan ia menjadi
amenorea (Henderson, 2005: 19).
Remaja wanita perlu mempertahankan status gizi yang baik, dengan cara
mengkonsumsi makanan seimbang karena sangat dibutuhkan pada saat haid, terb ukti
pada saat haid tersebut terutama pada fase luteal akan terjadi peningkatan kebutuhan
nutrisi. Apabila hal ini diabaikan, maka dampaknya akan terjadi keluhan-keluhan yang
menimbulkan rasa ketidaknyamanan selama siklus haid (Paath, dkk., 2004: 70-71).
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai

123

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

hubungan status gizi remaja putri dengan siklus menstruasi di MTs Darun Najah Gading
Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Status Gizi.
a. Pengertian status gizi.
Idrus, dkk dalam Supariasa, dkk. (2002: 17) menyatakan nutrisi atau yang
juga dikenal sebagai gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan
yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absobsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk
mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ,
serta menghasilkan energi. Gizi berasal dari bahasa Arab ghidza yang berarti
makanan (Almatsier, 2009: 3). Istilah gizi merupakan terjemahan dari kata
bahasa Inggris nutrition. Jadi gizi terkadang disebut pula nutrisi (Yuniastuti,
2008: 1).
Zat gizi (nutrient) adalah ikatan kimia yang diperlukan oleh tubuh untuk
melakukan fungsinya yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara
jaringan, serta mengatur proses-proses kehidupan (Almatsier, 2009: 3). Zat gizi
atau dikenal sebagai nutrisi adalah bahan dasar yang menyusun bahan makanan.
Zat gizi yang dikenal ada lima, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan
mineral (FKM UI, 2007: 14).
Status gizi (nutrition status) adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan
atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, dkk.,
2002: 18). Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan
dan penggunaan zat- zat gizi (Almatsier, 2009: 3). Gibson dalam Waryana (2010:
7) menyatakan bahwa status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan hasil
akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan
utilisasinya.
b. Pengelompokan gizi.
Menurut Paath, dkk. (2004: 9), secara garis besar zat gizi dibagi dalam dua
golongan besar yaitu:
1) Makronutrien (zat gizi makro).
Merupakan komponen terbesar dari susunan diet serta berfungsi
menyuplai energi dan zat-zat gizi esensial yang berguna untuk keperluan
pertumbuhan sel atau jaringan, fungsi pemeliharaan maupun aktifitas tubuh.
Kelompok makronutrien terdiri dari karbohidrat (hidrat arang), lemak,
protein (zat putih telur), makromineral dan air (ada yang tidak memasukkan
air dalam unsur zat gizi). Karbohidrat selanjutnya akan dipecah menjadi
glukosa dan monosakarida lain. Lemak diuraikan menjadi asam-asam lemak
dan gliserol, sedangkan protein lebih lanjut terurai menjadi peptide dan
asam-asam amino.
2) Mikronutrien (zat gizi mikro).
Termasuk dalam golongan ini adalah vitamin (baik yang larut dalam
air maupun yang larut dalam lemak), dan sejumlah mineral yang hanya
dibutuhkan dalam kuantitas yang sangat sedikit. Vitamin larut air yaitu
vitamin C dan B kompleks (meliputi vitamin B2 [riboflavin], niasin, vitamin
B6 [piridoksin], asam folat, biotin, asam pantotenat dan vitamin B12
[kobalamin]).
Berdasarkan fungsi zat gizi, penggolongan bahan makanan dibagi
menjadi (FKM UI, 2007: 17) :
124

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

a)

c.

d.

Zat gizi penghasil energi ialah karbohidrat, lemak dan protein. Zat gizi
ini sebagian besar dihasilkan dari makanan pokok.
b) Zat gizi pembangun sel, terutama diperankan protein. Oleh karena itu,
bahan pangan lauk pauk digolongkan makanan sumber zat pembangun.
c) Zat gizi pengatur, termasuk di dalamnya vitamin dan mineral. Bahan
pangan sumber mineral dan vitamin adalah buah dan sayur.
Manfaat gizi.
Makanan setelah dikonsumi mengalami proses pencernaan di dalam alat
pencernaan. Bahan makanan diuraikan menjadi zat gizi atau nutrien. Zat tersebut
selanjutnya diserap melalui dinding usus dan masuk ke dalam cairan tubuh.
Manfaat umum zat gizi (FKM UI, 2007: 17) adalah:
1) Sebagai sumber energi atau tenaga.
2) Menyumbang pertumbuhan badan.
3) Memelihara jaringan tubuh, mengganti sel yang rusak atau aus.
4) Mengatur metabolisme dan mengatur keseimbangan air, mineral dan asam
basa di dalam cairan tubuh.
5) Berperan dalam mekanime pertahanan tubuh terhadap penyakit sebagai
antibodi dan antitoksin.
Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi
Menurut Daly, et. al dalam Supariasa, dkk. (2002: 42) bahwa konsep
terjadinya keadaan gizi mempunyai dimensi yang sangat kompleks. Ia membuat
faktor- faktor yang mempengaruhi status gizi, yaitu konsumsi makanan dan
tingkat kesehatan (lingkungan, sanitasi, dan sebagainya). Konsumsi makanan
dipengaruhi oleh pendapatan, pekerjaan, pendidikan, kemampuan sosial;
kemampuan keluarga menggunakan makanan; dan tersedianya bahan makanan
dan dapat diperolehnya bahan makanan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi ditinjau dari sistem pangan
dan gizi terdiri dari empat komponen, yaitu (1) penyediaan pangan, (2) distribusi
pangan, (3) konsumsi makanan dan (4) utilisasi makanan (Almatsier, 2009: 13).
Penyediaan pangan yang cukup diperoleh melalui produksi pangan dalam negeri
melalui upaya pertanian dalam menghasilkan bahan makanan pokok, la uk pauk,
sayur mayur dan buah-buahan. Agar sampai pada masyarakat dengan baik,
distribusi pangan perlu memperhatikan aspek transportasi, penyimpanan,
pengolahan, pengemasan, dan pemasaran. Sampai di tingkat keluarga, konsumsi
makanan bergantung pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan,
distribusi dalam keluarga dan kebiasaan makan secara perorangan. Penggunaan
makanan oleh tubuh bergantung pada pencernaan dan penyerapan serta
metabolisme gizi. Hal ini bergantung pada kebersihan lingkungan dan ada
tidaknya penyakit yang berpengaruh terhadap penggunaan zat- zat gizi oleh
tubuh (Almatsier, 2009: 13).
Anggota keluarga yang menjadi sumber utama keuangan keluarga disebut
pencari nafkah dan biasanya dipegang oleh ayah atau suami. Pada waktu ini,
pencari nafkah sumber keuangan keluarga banyak yang terdiri atas suami istri,
karena keduanya mempunyai pekerjaan. Dalam hal ini kesanggupan keuangan
keluarga akan lebih baik, sehingga lebih banyak lagi kebutuhan yang dapat
dipenuhi. Namun pola pemakaian sumber keuangan ini sangat dipengaruhi oleh
pola atau gaya hidup keluarga. Peningkatan sumber daya uang dan barang akan
merangsang sektor kebutuhan keluarga, hingga lambat laun akan meningkat
pula. Sebaliknya bila sumber daya ini menyusut, perlahan akan menurun pula
tingkat kebutuhan keluarga tersebut (Sediaoetama, 2008: 76). Terdapat
125

HOSPITAL MAJAPAHIT

e.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

hubungan antara pendapatan dan keadaan status gizi. Hal itu karena tingkat
pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan
yang dikonsumsi. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar akan
kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi
kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya. Tingkat pendapatan dapat menentukan pola
makan (FKM UI, 2007: 71).
Selain mempunyai tugas untuk reproduksi, seorang wanita terkadang juga
memiliki peran sosial yang mengakibatkan beban kerja yang sangat berat dalam
kehidupannya. Peran sosial wanita, antara lain bertanggung jawab atas keluarga,
seperti merawat anggota keluarga lain, mengelola rumah tangga, menyediakan
makanan, melakukan tugas-tugas kebersihan, mendatangi pelayanan kesehatan,
melakukan pendidikan, dan mengawasi anak. Selain tugas-tugas tersebut,
seorang wanita juga mempunyai peran dalam keluarga besarnya dan masyarakat.
Beberapa tugas produktif yang dilakukan oleh wanita adalah di bidang pertanian,
pasar, rumah produksi, pabrik, atau lainnya (Noorkasiani, dkk., 2009: 68).
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan
perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan
seseorang
atau
masyarakat
untuk
menyerap
informasi
dan
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari- hari, khususnya
dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan
wanita mempengaruhi derajat kesehatan (Atmarita dan Fallah, 2004).
Pengukuran status gizi.
Dapat dilakukan dengan menggunakan indeks antropometri. Indeks
antropometri yang umum digunakan dalam menilai status gizi adalah berat
badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) dan lingkar lengan atas menurut umur (LiLA/U).
Dari berbagai jenis indeks antropometri tersebut, untuk menginterpretasikannya
dibutuhkan ambang batas. Penentuan ambang batas diperlukan kesepakatan para
ahli gizi (Supariasa, dkk., 2002: 82). Ambang batas dapat disajikan dalam tiga
cara, yaitu:
1) Persen terhadap median.
Median adalah nilai tengah dari suatu populasi. Dalam antropometri
gizi, median sama dengan persentil 50. Nilai median ini dinyatakan sama
dengan 100% (untuk standar). Setelah itu dihitung persentase terhadap nilai
median untuk mendapatkan ambang batas.
2) Persentil.
Cara lain untuk menentukan ambang batas selain persen terhadap
median adalah persentil. Para pakar merasa kurang puas dengan persen
terhadap median untuk menentukan ambang batas. Akhirnya mereka
memilih cara persentil. Persentil 50 sama dengan median atau nilai tengah
dari jumlah populasi berada di atasnya dan setengahnya berada di
bawahnya. National Center for Health Statistic (NCHS) merekomendasikan
persentil ke 50 sebagai batas gizi baik dan kurang, serta persentil 95 sebagai
batas gizi lebih dan gizi baik.
3) Standar deviasi unit.
Standar deviasi unit disebut juga Z-skor. WHO menyarankan
menggunakan cara ini untuk meneliti dan untuk memantau pertumbuhan,
dengan hitungan sebagai berikut: 1 SD unit (1 Z-skor) kurang lebih sama
dengan 11% dari median BB/U, 1 SD unit (1 Z-skor) kira-kira 10% dar i

126

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

median BB/TB, dan 1 SD unit (1 Z-skor) kira-kira 5% dari median TB/U.


Cara menghitung status gizi dengan Z-skor:
Z-skor = Nilai individu subjek Nilai median baku rujukan
Nilai simpang baku rujukan
Tabel 39. Klasifikasi Status Gizi
Indeks
Status Gizi
Ambang Batas
BB/U Gizi Lebih
> +2 SD
Gizi Baik
>-2 SD s/d <+2 SD
Gizi Kurang
>-3 SD s/d <-2 SD
Gizi Buruk
<-3 SD
TB/U Normal
>-2 SD
Pendek
>-3 SD s/d <-2 SD
Sangat pendek
<-3SD
BB/TB Gemuk
> +2 SD
Normal
>-2 SD s/d <+2 SD
Kurus
>-3 SD s/d <-2 SD
Sangat kurus
<-3 SD
Sumber: Depkes (2010)
2.

Konsep Menstruasi.
a. Pengertian menstruasi.
Menstruasi atau haid merupakan peristiwa yang penting pada pubertas
anak gadis yang menjadi pertanda biologis dari kematangan seksual (Kartono,
2006: 111).
Menstruasi adalah proses alamiah yang terjadi pada perempuan.
Menstruasi merupakan perdarahan yang teratur dari uterus sebagai tanda bahwa
organ kandungan telah berfungsi matang (Kusmiran, 2011: 19).
b. Usia menstruasi awal (menarche).
Usia saat seorang anak perempuan saat pertama kali mendapatkan
menstruasi sangatlah bervariasi. Namun seiring perubahan pola hidup, saat ini
ada kecenderungan anak perempuan mendapat menstruasi yang pertama kali
usianya makin lebih muda. Hal tersebut merupakan bentuk menstruasi dini
(Laurier, 2010).
Menarche yaitu haid pertama yang terjadi pada stadium lanjut dari
pubertas dan sangat bervariasi pada umur berapa masing- masing individu
mengalaminya, rata-rata pada umur 10,5-15,5 tahun (Soetjiningsih, 2007: 14).
c. Faktor yang mempengaruhi menarche
Usia untuk mencapai fase terjadinya menarche dipengaruhi oleh banyak
faktor, antara lain: faktor suku, genetik, gizi, sosial, ekonomi, dan lain- lain
(Proverawati dan Misaroh, 2009: 64).
1) Faktor internal.
a) Faktor genetik. Faktor genetik mempengaruhi usia awitan menarche.
Anak dari seorang ibu yang perkembangannya cepat atau lambat
biasanya juga akan mengalami hal yang serupa (Henderson, 2005: 19).
b) Status gizi. Nutrisi yang baik akan mempengaruhi sekresi FSH dan LH.
Jika terjadi penurunan kalori kronis akan menurunkan sekresi FSH dan
LH, hingga jika terjadi malnutrisi, berat badan rendah atau diet ketat,
maka ovulasi mungkin akan berhenti dan ia menjadi amenorea
127

HOSPITAL MAJAPAHIT

d.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

(Henderson, 2005: 19). Tingkat kualitas gizi yang lebih baik pada
masyarakat saat ini memicu menstruasi dini (Proverawati dan Misaroh,
2009: 65).
c) Kelainan dalam diri anak. Anak wanita yang menderita kelainan
tertentu selama dalam kandungan mendapatkan menarche pada usia
lebih muda dari usia rata-rata. Sebaliknya anak wanita yang menderita
cacat mental dan mongolisme akan mendapat menarche pada usia yang
lebih lambat (Proverawati dan Misaroh, 2009: 64).
2) Faktor eksternal.
a) Faktor suku. Di Inggris, usia rata-rata untuk mencapai menarche adalah
13,1 tahun, sedangkan suku Bundi di Papua Nugini, menarche dicapai
pada usia 18,8 tahun (Proverawati dan Misaroh, 2009: 66). Kultur dan
peradaban dapat memperlambat atau mempercepat tempo kematangan
seksual anak, termasuk masalah menstruasi (Kartono, 2006: 112).
b) Status sosial ekonomi. Rata-rata usia menarche pada remaja putri
dengan tingkat kesejahteraan menengah ke atas adalah 11,45 tahun.
Sementara itu usia menarche pada kelompok dengan tingkat
kesejahteraan menengah ke bawah adalah 12,9 tahun (Pulungan, 2009
dalam Roveny, 2010: 2).
Menurut YB Mantra, pendidikan dapat mempengaruhi seseorang
termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam
memotivasi untuk sikap berperan dalam pembangunan. Pada umumnya
makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi
(Wawan dan Dewi, 2010: 16).
c) Faktor iklim. Iklim atau cuaca ini dapat berperan dalam pertumbuhan
dan perkembangan. Hal ini dapat dilihat pada musim tertentu,
kebutuhan gizi dapat mudah diperoleh. Demikian juga terd apat musim
tertentu pula terkadang kesulitan mendapat makanan yang bergizi,
seperti saat musim kemarau, penyediaan air bersih atau sumber
makanan sangat sulit didapat (Hidayat, 2005: 20).
d) Faktor lingkungan. Budaya lingkungan dalam hal ini adalah masyarakat
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak dalam
memahami atau mempersepsikan pola hidup sehat (Hidayat, 2005: 19).
Menurut sebuah penelitian menyatakan bahwa lingkungan sosial
berpengaruh terhadap waktu terjadinya menarche. Salah satunya yaitu
lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga yang harmonis dan adanya
keluarga besar yang baik dapat memperlambat terjadinya menarche
dini, sedangkan anak yang tinggal di tengah-tengah keluarga yang tidak
harmonis dapat mengakibatkan terjadinya menarche dini. Beberapa
aspek struktur dan fungsi keluarga berpengaruh terhadap kejadian
menarche dini antara lain ketidakhadiran seorang ayah ketika ia masih
kecil, kekerasan seksual pada anak dan adanya konflik dalam keluarga
(Proverawati dan Misaroh, 2009: 71).
Hormon yang berperan dalam siklus menstruasi.
Siklus menstruasi dikontrol oleh lengkung umpan balik yang melibatkan
hormon hypothalamus, hipofisis dan ovarium. Hypothalamus mengatur hormon
hipofisis melalui hormon pelepas gonadotropin (GnRH) pada awal siklus. GnRH
menstimulasi hipofisis untuk melepaskan:
1) FSH (Follicle Stimulating Hormone) yang menstimulasi perkembangan
folikel de Graf dalam ovarium. Dengan maturnya folikel tersebut, estrogen
128

HOSPITAL MAJAPAHIT

e.

f.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

dari ovarium dihasilkan dan mempengaruhi hipofisis untuk menekan FSH


dan meningkatkan produksi LH (Potter & Perry, 2005: 530).
2) LH (Luteinizing Hormone) menginduksi ovum untuk pecah dari folikel de
Graf (kejadian ini disebut ovulasi). Setelah ovulasi, folikel yang pecah
disebut dengan korpus luteum yang banyak progesteron (Potter & Perry,
2005: 530-531).
Siklus menstruasi.
Siklus menstruasi ialah jarak antara hari pertama menstruasi dengan hari
pertama menstruasi berikutnya. Panjang siklus menstruasi wanita bervariasi baik
antar individu maupun pada individu yang sama. Siklus menstruasi pendek
antara 15-23 hari dan siklus panjang antara 35-45 hari. Ada sejumlah perempuan
yang siklusnya teratur, sementara adapula yang bervariasi sampai dengan 7 hari.
Namun, panjang siklus menstruasi yang dianggap rata-rata normal adalah 28 hari
(Indiarti, 2007: 23-24). Siklus haid adalah jarak antara hari pertama haid dengan
hari haid berikutnya. Siklus haid normal ialah 15-45 hari. Jadi, misalnya pada
bulan April hari pertama haid jatuh pada tanggal 16 dan pada bulan Mei hari
pertama haidnya jatuh pada tanggal 12, maka siklus haid yang terjadi adalah 27
hari. Panjang siklus haid yang dianggap rata-rata ialah 28 hari (Suryoprajogo,
2008: 16).
Pada umumnya menstruasi akan berlangsung setiap 28 hari selama + 7
hari. Lama perdarahan sekitar 3-5 hari dan tidak terasa nyeri. Jumlah darah yang
hilang sekitar 30-40 cc. Puncaknya hari kedua atau ketiga dengan jumlah
pemakaian pembalut sekitar 2-3 buah. Diikuti fase proliferasi sekitar 6-8 hari.
Ovulasi akan berlangsung sekitar pertengahan menstruasi yaitu hari ke-13, 14
atau 15. Sejak terjadi ovulasi artinya pelepasan ovum disebut dengan masa
subur, dalam arti bila melakukan hubungan seksual dapat terjadi kehamilan.
Masa subur hanya berlangsung singkat sekitar 3 hari yaitu hari ke-13, 14 atau
15. Endometrium akan mengalami perubahan dari fase proliferasi menjadi fase
sekresi yang merupakan persiapan untuk menerima hasil konsepsi bila terjadi
pembuahan. Bila terjadi pembuahan, fase sekresi akan berubah lagi menjadi fase
desiduanisasi, yang merupakan kelanjutan fase sekresi dengan gembur dan siap
menerima hasil konsepsi. Bila tidak terjadi konsepsi, korpus luteum yang
memelihara fase sekresi akan mengalami kemunduran, artinya hormon estrogen
dan progesteron yang dikeluarkan makin menurun. Penurunan pengeluaran
estrogen dan progesteron korpus luteum yang menyebabkan endometrium tidak
dapat mempertahankan diri dan terjadilah menstruasi. Siklus ini akan berulang
kembali setiap 28 hari yang menunjukkan bahwa wanita ini mempunyai siklus
menstruasi yang normal (Manuaba, 2008: 282-283).
Faktor risiko dari variablitas siklus menstruasi
Faktor risiko dari variablitas siklus menstruasi adalah pengaruh dari berat
badan, aktifitas fisik, serta proses ovulasi dan adekuatnya fungsi luteal. Perhatian
khusus saat ini juga ditekankan pada perilaku diet dan stress pada atlet wanita
(Kusmiran, 2011: 110).
1) Berat badan.
Berat badan dan perubahan berat badan mempengaruhi fungsi
menstruasi. Penurunan berat badan akut dan sedang menyebabkan
gangguan pada fungsi ovarium, tergantung derajat tekanan pada ovarium
dan lamanya penurunan berat badan. Kondisi patologis seperti berat badan
yang kurang atau kurus dan anorexia nervosa yang menyebabkan penurunan
berat badan yang berat dapat menimbulkan amenorrhea.
129

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Gangguan menstruasi pada dasarnya berhubungan erat dengan adanya


gangguan hormon terutama yang berhubungan dengan hormon seksual pada
perempuan yaitu progesteron, estrogen, LH dan FSH. Hormon-hormon
seksual tersebut sangat berfungsi pada sistem reproduksi perempuan.
Namun pada beberapa kejadian terjadi peningkatan salah satu saja yang
menunjukkan ketidakseimbangan sintesis hormon dalam tubuh dan hal ini
akan mempengaruhi fungsi kerja hormon lain termasuk kerja organ
reproduksi yang mempengaruhi perangsangan terjadinya gangguan
menstruasi.
Adanya gangguan dari kerja sistem hormonal ini terkait dengan status
gizi. Dimana status gizi akan mempengaruhi kerja berupa peningkatan,
keseimbangan ataupun penurunan hormon. Status gizi sendiri pada dasarnya
dipengaruhi oleh banyak faktor namun secara umum dipengaruhi oleh
adanya infeksi dan asupan makan. Pola makan yang tidak seimbang akan
mempengaruhi penurunan dan peningkatan status gizi. Mereka dengan
status gizi lebih sudah pada tentunya menerapkan pola makan berlebih
terutama lemak, protein dan karbohidrat tubuh sebagai sumber energi utama
tubuh.
Begitupun sebaliknya pada penerapan pola makan yang rendah energi
akan mempengaruhi penurunan status gizi. Secara normal, fungsi organ
tubuh akan dipengaruhi oleh perilaku yang diterapkan manusia. Pola makan
merupakan wujud perilaku manusia pada makanan. Pola makan yang salah
dengan tinggi lemak, karbohidrat dan protein akan meningkatkan berat
badan yang lebih dan hal ini secara langsung akan meningkatkan status gizi
pada kondisi lebih (obesitas pun dapat terjadi). Penerapan pola makan yang
berlebih tentunya akan meningkatkan kerja organ-organ tubuh sebagai
bentuk haemodialisa (kemampuan tubuh untuk menetralisir pada keadaan
semula) dalam rangka pengeluaran kelebihan tersebut. Dan hal ini tentunya
akan berdampak pada fungsi sistem hormonal pada tubuh.
Adanya gangguan dari fungsi sistem hormonal dari tubuh tersebut
tentunya akan mempengaruhi kerja organ-organ tubuh secara maksimal
termasuk organ seksual perempuan baik berupa peningkatan progesteron,
estrogen, FSH dan LH sendiri akan berdampak pada gangguan siklus haid
yang terlalu cepat maupun siklus haid yang pendek. Sedangkan pada
penerapan pola makan yang kurang sendiri (paling banyak diterapkan pada
perempuan) akan mempengaruhi kemampuan kerja organ tubuh secara
langsung dimana tubuh tidak memiliki kemampuan yang normal karena
energi yang sebahagian besar bersumber dari makan tidak mencukupi dan
hal ini juga tentunya akan mempengaruhi maksimalisasi kerja organ sendiri
(Joeharno, 2007).
2) Umur.
Ketidakteraturan siklus haid sering terjadi pada remaja muda yang
baru mengalami haid karena masih terjadi penyesuaian dalam tubuh. Selama
2 bulan berturut-turut mungkin mengalami siklus haid 28 hari namun
kemudian tidak datang bulan di bulan berikutnya. Setelah 1 atau 2 tahun
siklus menstruasi akan lebih teratur (Adhi, 2012).
3) Aktifitas fisik.
Tingkat aktifitas fisik yang sedang dan berat dapat membatasi fungsi
menstruasi. Atlet wanita seperti pelari, senam balet memiliki risiko untuk
mengalami amenorrhea, anovulasi dan defek pada fase luteal. Aktifitas fisik
130

HOSPITAL MAJAPAHIT

g.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

yang berat merangsang inhibisi gonadotropin releasing hormone (GnRH)


dan aktifitas gonadotropin sehingga menurunkan level dari serum estrogen.
4) Stres.
Stres menyebabkan perubahan sistemik dalam tubuh, khususnya
system persarafan dalam hipotalamus melalui perubahan prolaktin atau
endogenous opiate yang dapat mempengaruhi elevasi kortisol basal dan
menurunkan hormon lutein (LH) yang menyebabkan amenorrhea.
5) Diet.
Diet dapat mempengaruhi fungsi menstruasi. Vegetarian berhub ungan
dengan anovulasi, penurunan respon hormon pituitary, fase folikel pendek,
tidak normalnya siklus menstruasi (kurang dari 10 kali/tahun). Diet rendah
lemak berhubungan dengan panjangnya siklus menstruasi dan periode
perdarahan. Diet rendah kalori seperti daging merah dan rendah lemak
berhubungan dengan amenorrhea.
6) Paparan lingkungan dan kondisi kerja.
Beban kerja yang berat berhubungan dengan jarak menstruasi yang
panjang dibandingkan dengan beban kerja ringan dan sedang.
7) Sinkronisasi proses menstrual (interaksi sosial dan lingkungan).
Interaksi manusia dengan lingkungan merupakan siklus yang
sinkron/berirama. Proses interaksi tersebut melibatkan fungsi hormonal.
Salah satu fungsi hormonal adalah hormon-hormon reproduksi. Adanya
pherohormon yang dikeluarkan oleh setiap individu yang dapat
mempengaruhi perilaku individu lain melalui persepsi dari penciuman baik
melalui interaksi dengan individu jenis kelamin sejenis maupun lawan jenis
serta dapat menurunkan variabilitas dari siklus menstruasi dan sinkronisasi
dari onset menstruasi (Kusmiran, 2011: 110-111).
Fase dalam siklus menstruasi.
Uterus dengan lapisan lendirnya (endometrium) merupakan organ akhir
proses siklus menstruasi, dimana hormon estrogen dan progesteron
mempengaruhi pertumbuhannya. Selama pertumbuhan dan perkembangan,
folikel primordial mengeluarkan hormon estrogen yang mempengaruhi
endometrium ke dalam proses proliferasi sejak akhir menstruasi sampai terjadi
ovulasi. Korpus rubrum yang segera menjadi korpus luteum mengeluarkan
hormon estrogen dan progesteron yang makin lama makin tinggi kadarnya.
Hormon estrogen dan progesteron menyebabkan endometrium dalam fase
sekresi. Usia korpus luteum sekitar 8-10 hari dan selanjutnya akan mengalami
regresi sehingga pengeluaran hormon estrogen dan progesteron makin berkurang
sampai berhenti. Akibat pengeluaran estrogen dan progesteron turun dan
berhenti, terjadi vasokonstriksi pembuluh darah dan segera diikuti vasodilatasi.
Situasi demikian menyebabkan pelepasan lapisan endometrium dalam bentuk
serpihan dan perdarahan yang disebut menstruasi. Menstruasi terjadi dalam
empat fase, yaitu stadium menstruasi, stadium regenerasi, stadium proliferasi,
dan stadium pramenstruasi (sekresi).
1) Stadium menstruasi.
Stadium ini berlangsung sekitar 3 sampai 5 hari. Darah keluar
bersama lapisan stratum kompakta dan spongiosa dari endometrium dan
menyisakan lapisan stratum basalis setebal 0,5 mm. Jumlah darah
menstruasi sekitar 50 ml dan bersifat tidak dapat membeku karena
mengandung banyak fermen. Bila terdapat gumpalan darah, menunjukkan
perdarahan menstruasi cukup banyak.
131

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

2) Stadium regenerasi.
Stadium ini dimulai pada hari keempat menstruasi ketika luka bekas
deskuamasi endometrium ditutup kembali oleh epitel selaput lendir
endometrium. Sel basalis mulai berkembang mengalami mitosis dan
kelenjar endometrium mulai tumbuh kembali.
3) Stadium proliferasi.
Pada stadium proliferasi, pertumbuhan kelenjar lapisan endometrium
lebih cepat daripada jaringan ikatnya sehingga berkelok-kelok. Lapisan
atasnya, tempat saluran kelenjar yang tampak lebih padat disebut stratum
kompakta, sedangkan lapisan yang mengandung kelenjar yang berkelok,
menjadi lebih longgar disebut stratum spongiosa. Stadium proliferasi
berlangsung sejak hari kelima sampai 14 dan tebal endometrium sekitar 3,5
cm.
4) Stadium pramenstruasi (sekresi).
Pada stadium regenerasi sampai stadium proliferasi, endometrium
dipengaruhi oleh hormon estrogen dan sejak saat ovulasi korpus luteum
mengeluarkan hormon estrogen dan progesteron yang mempengaruhi
stadium sekresi endometrium. Dalam stadium sekresi, tebal endometrium
tetap, hanya kelenjarnya lebih berkelok-kelok dan mengeluarkan sekret. Di
samping itu, sel endometrium mengandung banyak glikogen, protein, air,
dan mineral, sehingga siap untuk menerima implantasi dan memberikan
nutrisi pada zigot. Stadium sekresi berlangsung sejak hari ke-14 sampai 28
dan usia korpus luteum hanya berlangsung 8-10 hari. Setelah mencapai usia
8-10 hari korpus luteum mengalami kematian, sehingga tidak mengeluarkan
hormon estrogen dan progesteron dan menimbulkan iskemia stratum
kompakta dan stratum spongiosa. Stadium iskemia berlangsung sebentar
dan diikuti stadium vasodilatasi pembuluh darah yang menyebabkan
deskuamasi lapisan endometrium dalam bentuk perdarahan menstruasi.
Setelah deskuamasi berlangsung 4 hari, stadium regenerasi dan siklus
menstruasi berulang kembali (Manuaba, 2010: 72-73).
Menurut Lestari (2011: 100-101), siklus haid di bawah kontrol hormon
seks. Untuk lebih memudahkan pemahaman, siklus ini dibagi dalam dua fase,
yaitu fase sebelum ovulasi dan fase setelah ovulasi.
1) Fase sebelum ovulasi (dikontrol oleh FSH dan estrogen).
Kelenjar pituitary pada dasar otak akan mengeluarkan FSH yang akan
merangsang pematangan folikel di ovarium (indung telur). Pematangan
folikel ini akan meningkatkan produksi estrogen. Pada saat kenaikan
estrogen mendekati ovulasi, terjadi perubahan-perubahan sebagai berikut:
endometrium (selaput lendir rahim) menebal; serviks menjadi panjang dan
lunak serta terbuka; lendir serviks yang diproduksi oleh kelenjar-kelenjar
pada serviks menjadi lendir yang bersahabat dengan sperma; peningkatan
garam, gula, dan asam amino untuk memberikan makanan pada sperma;
peningkatan cairan sampai dengan 1 kali peningkatan volume lender; lendir
yang subur terdiri dari 98% air, transparan, berkilat, licin dan elastik yang
disebut efek spinnbarkeit; struktur lendir yang subur bila dilihat dengan
menggunakan nuclear magnetic resonance memperlihatkan jaringan yang
jarang, sehingga dapat dilewati oleh sperma; dan suhu menetap pada tingkat
yang rendah. Ketika estrogen mencapai tingkat tertentu dalam darah,
kelenjar pituitary distimulasi untuk menghasilkan LH yang meningkat cepat

132

HOSPITAL MAJAPAHIT

h.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

yang kemudian akan menimbulkan ovulasi (pecahnya folikel yang matang


dan mengeluarkan ovum) dalam 36 jam kemudian.
2) Fase setelah ovulasi (dikontrol oleh progesteron).
Setelah ovulasi, LH menyebabkan pecahnya folikel yang kemudian
folikel tersebut akan berkembang menjadi korpus luteum, yang
memproduksi progesteron. Di bawah pengaruh progesteron, terjadi
perubahan-perubahan sebagai berikut: endometrium melunak guna
mempersiapkan diri untuk menerima implantasi (penempelan) telur yang
telah dibuahi; serviks memendek, keras, dan tertutup; lendir serviks menjadi
tidak bersahabat untuk mencegah penetrasi sperma; setelah ovulasi terdapa t
perubahan status kesuburan jaringan filamen- filamen menjadi lebih padat
membentuk lendir yang tebal yang mencegah penetrasi sperma. Sperma
secara cepat akan dirusak oleh cairan vagina yang bersifat asam; dan suhu
akan meningkat sekitar 0,20 C atau lebih. Korpus luteum akan bertahan
sekitar 14 hari, kemudian akan kisut dan mati; progesterone akan turun;
suhu turun; dan endometrium akan mengalami disintegrasi sehingga
terjadilah menstruasi dan lengkaplah satu siklus.
Macam- macam gangguan haid
1) Oligomenorrhea (jangka waktu haid terlalu lama).
Oligomenorrhea tidak berbahaya, namun perempuan dapat memiliki
potensi sulit hamil, karena tidak terjadi ovulasi. Oligomenorrhea biasanya
berhubungan dengan anovulasi atau dapat juga disebabkan kelainan
endokrin seperti kehamilan, gangguan hipofise-hipotalamus, dan menopouse
atau sebab sistemik seperti kehilangan berat badan berlebih.
Oligomenorrhea sering terdapat pada wanita astenis. Dapat juga
terjadi pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik dimana pada keadaan
ini dihasilkan androgen yang lebih tinggi dari kadara pada wanita normal.
Oligomenorrhea dapat juga terjadi pada stress fisik dan emosional, penyakit
kronis, tumor yang mensekresikan estrogen dan nutrisi buruk.
Oligomenorrhe dapat juga disebabkan ketidakseimbangan hormonal seperti
pada awal pubertas.
Oligomenorrhea yang menetap dapat terjadi akibat perpanjangan
stadium folikular, perpanjangan stadium luteal, ataupun perpanjang kedua
stadium tersebut. Bila siklus tiba-tiba memanjang maka dapat disebabkan
oleh pengaruh psikis atau pengaruh penyakit.
Oligemenorea adalah panjang siklus haid yang memanjang dari
panjang siklus haid klasik, yaitu lebih dari 35 hari per siklusnya. Volume
perdarahannya umumnya lebih sedikit dari volume perdarahan haid
biasanya. Siklus haid biasanya juga bersifat ovulatoar dengan fase
proliferasi yang lebih panjang dibanding fase proliferasi siklus haid klasik
(Hendrik, 2006: 122).
2) Polimenorrhea (terlalu sering haid).
Polimenorrhea adalah gangguan menstruasi yang berbahaya. Terlalu
sering haid, misalnya 2 minggu sekali, dapat menyebabkan anemia. Bila
siklus pendek namun teratur ada kemungkinan stadium proliferasi pendek
atau stadium sekresi pendek atau kedua stadium memendek. Yang paling
sering dijumpai adalah pemendekan stadium proliferasi. Bila siklus lebih
pendek dari 21 hari kemungkinan melibatkan stadium sekresi juga dan hal
ini menyebabkan infertilitas.

133

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Siklus yang tadinya normal menjadi pendek biasanya disebabkan


pemendekan stadium sekresi karena korpus luteum lekas mati. Hal ini sering
terjadi pada disfungsi ovarium saat klimakterium, pubertas atau penyakit
kronik seperti TBC.
Polimenorea adalah panjang siklus haid yang memendek dari panjang
siklus haid klasik, yaitu kurang dari 21 hari per siklusnya, sementara volume
perdarahannya kurang lebih sama atau lebih banyak dari volume perdarahan
haid biasanya (Hendrik, 2006: 122).
3) Menorrhagia (darah haid terlalu banyak).
Menorrhagia adalah istilah medis untuk perdarahan menstruasi yang
berlebihan. Dalam satu siklus menstruasi normal, peremp uan rata-rata
kehilangan sekitar 30 ml darah selama sekitar 7 hari haid. Bila perdarahan
melampaui 7 hari atau terlalu deras (melebihi 80 ml), maka dikategorikan
menorrhagia.
Penyebab utama menorrhagia adalah ketidakseimbangan jumlah
estrogen dan progesteron dalam tubuh. Ketidakseimbangan tersebut
menyebabkan endometrium terus terbentuk. Ketika tubuh membuang
endometrium melalui menstruasi, perdarahan menjadi parah.
Menorrhagia juga bisa disebabkan oleh gangguan tiroid, penyakit
darah, dan peradangan/infeksi pada vagina atau leher rahim. Menorrhagia
biasanya berhubungan dengan nocturrhagia yaitu suatu keadaan dimana
menstruasi mempengaruhi pola tidur wanita dimana wanita harus mengganti
pembalut pada tengah malam. Menorrhagia juga berhubungan dengan kram
selama haid yang tidak bisa dihilangkan dengan obat-obatan. Penderita juga
sering merasakan kelemahan, pusing, muntah dan mual berulang selama
haid.
4) Hipomenorrhea (darah haid terlalu sedikit).
Hipomenorrhea adalah suatu keadan dimana jumlah darah haid sangat
sedikit (<30cc), kadang-kadang hanya berupa spotting. Dapat disebabkan
oleh stenosis pada himen, servik atau uterus. Pasien dengan obat kontrasepsi
kadang memberikan keluhan ini. Hal ini juga dapat terjadi pada hipoplasia
uteri dimana jaringan endometrium sedikit
5) Amenorrhea (tidak haid sama sekali).
Amenorrhea adalah tidak ada menstruasi. Istilah ini digunakan untuk
perempuan yang belum mulai menstruasi setelah usia 15 tahun (amenore
primer) dan yang berhenti menstruasi selama 3 bulan, padahal sebelumnya
pernah menstruasi (amenore sekunder). Amenore primer biasanya
disebabkan oleh gangguan hormon atau masalah pertumbuhan. Amenore
sekunder dapat disebabkan oleh rendahnya hormon pelepas gonadotropin
(pengatur siklus haid), stres, anoreksia, penurunan berat badan yang
ekstrem, gangguan tiroid, olahraga berat, pil KB, dan kista ovarium (Erida,
2011).
Amenorea adalah panjang siklus haid yang memanjang dari panjang
siklus haid klasik (oligemenorea) atau tidak terjadinya perdarahan haid,
minimal 3 bulan berturut-turut. Amenorea dibedakan menjadi dua jenis:
a) Amenorea primer. Amenorea primer yaitu tidak terjadinya haid
sekalipun pada perempuan yang mengalami amenorea.
b) Amenorea sekunder. Amenorea sekunder yaitu tidak terjadinya haid
yang diselingi dengan perdarahan haid sesekali pada perempuan yang
mengalami amenorea (Hendrik, 2006: 122-123).
134

HOSPITAL MAJAPAHIT
3.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Konsep Remaja.
a. Pengertian remaja.
Remaja (adolescence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan
aspek fisik, psikis dan psikososial (Dariyo, 2004: 13).
Santrock mengemukakan puberty is a rapid change to phisycal maturation
involving hormonal and bodily changes that occur primarily during early
adolescence (masa remaja adalah laju perubahan perkembangan fisik ya ng
menyebabkan perubahan tubuh dan hormonal, terjadi terutama sejak remaja
awal). Menurut WHO (World Health Organization), remaja merupakan individu
yang mengalami masa peralihan yang secara berangsur-angsur mencapai
kematangan seksual, mengalami perubahan jiwa dari jiwa kanak-kanak menjadi
dewasa dan mengalami perubahan keadaan ekonomi dari ketergantungan
menjadi relatif mandiri (Notoatmodjo, 2007: 263).
Menurut Soetjiningsih (2007: 1-2), ada beberapa definisi mengenai remaja,
diantaranya:
1) Pada buku-buku Pediatric, remaja adalah bila seorang anak telah mencapai
umur 10-18 tahun untuk anak perempuan dan 12-20 tahun untuk anak lakilaki.
2) Menurut Undang- undang No 4 Tahun 1979, remaja adalah individu yang
belum mencapai 21 tahun dan belum menikah.
3) Menurut Undang- undang perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah
mencapai umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat
untuk tinggal.
4) Menurut Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, anak dianggap
sudah remaja apabila cukup matang untuk menikah, yaitu umur 16 tahun
untuk anak perempuan dan 19 tahun untuk anak laki- laki.
5) Menurut Diknas, anak dianggap remaja bila anak sudah berumur 18 tahun,
yang sesuai dengan saat lulus sekolah menengah.
6) Menurut WHO, remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun dan
mengalami perkembangan yang penting yaitu kognitif, emosi, sosial dan
seksual.
b. Tahapan remaja.
Menurut Aryani (2010: 5), dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa
berdasarkan kematangan psikososial dan seksual, semua remaja akan melewati
tahapan berikut:
1) Masa remaja awal (10-13 tahun). Pada tahapan ini, remaja mulai berfokus
pada pengambilan keputusan, baik di dalam rumah ataupun di sekolah.
Remaja mulai menunjukkan cara berpikir logis, sehingga sering
menanyakan kewenangan dan standar di masyarakat maupun di sekolah.
Remaja juga mulai menggunakan istilah- istilah sendiri dan mempunyai
pandangan, seperti olah raga yang lebih baik untuk bermain, memilih
kelompok bergaul, pribadi seperti apa yang diinginkan, dan mengenal cara
untuk berpenampilan menarik (Aryani, 2010: 5).
2) Masa remaja tengah (14-16 tahun). Pada tahapan ini, terjadi peningkatan
interaksi dengan kelompok, sehingga tidak selalu tergantung pada keluarga
dan terjadi eksplorasi seksual. Dengan menggunakan pengalaman dan
pemikiran yang lebih kompleks, pada tahap ini remaja sering mengajukan
pertanyaan, menganalisis secara lebih menyeluruh dan berpikir tentang
bagaimana cara mengembangkan identitas siapa saya?. Pada masa ini
135

HOSPITAL MAJAPAHIT

c.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

remaja juga mulai mempertimbangkan masa depan, tujuan dan membuat


rencana sendiri (Aryani, 2010: 5).
3) Masa remaja akhir (17-19 tahun). Pada tahap ini, remaja lebih
berkonsentrasi pada rencana yang akan datang dan meningkatkan pergaulan.
Selama masa remaja akhir, proses berpikir secara kompleks digunakan
untuk memfokuskan diri masalah- masalah idealisme, toleransi, keputusan
untuk karier dan pekerjaan, serta peran orang dewasa dalam masyarakat
(Aryani, 2010: 6).
Perubahan-perubahan selama masa remaja.
Remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa,
tentunya masa remaja identik dengan berbagai perubahan. Perubahan yang
terjadi pada remaja putri antara lain:
1) Perubahan fisik.
Perubahan fisik remaja yaitu terjadinya perubahan secara biologis
yang ditandai dengan kematangan organ seks primer maupun organ seks
sekunder (Dariyo, 2004: 16). Para ahli psikologi perkembangan (Berk,
1993; Papalia, Olds dan Fieldman, 1998; Santrock, 1999 yang dikutip oleh
Dariyo, 2004: 17) menyatakan ada 2 karakteristik seks yang dimiliki oleh
seorang remaja sebagai tanda perubahan fisik untuk memasuki masa remaja,
meliputi karakteristik seks primer dan sekunder remaja putri.
Karakteristik primer berupa perubahan fisik yang ditandai dengan
menarche (haid pertama) dan perubahan hormonal. Perubahan hormonal
merupakan awal dari masa pubertas remaja yang terjadi sekitar usia 11-12
tahun. Perubahan ini erat hubungannya dengan perubahan di dalam otak
yakni hypothalamus, suatu bagian organ otak yang berfungsi untuk
mengkoordinasi atau mengatur fungsi- fungsi seluruh sistem jaringan organ
tubuh. Salah satu diantaranya ialah merangsang hormon Luteinizing
Hormone Releasing Hormone (LHRH) dan kelenjar pituitary (pituitary
gland) untuk melepaskan hormon gonadotropin. Hormon gonadotropin ini
merangsang gonader (testis dan ovaries) untuk memproduksi hormon
seksual. Hormon seks pada remaja wanita disebut estrogen atau estradiol.
Hormon ini berperan penting dalam perkembangan karakteristik seks
sekunder (Dariyo, 2004: 17).
Perubahan karakteristik seks sekunder ialah perubahan tanda-tanda
identitas seks seseorang yang diketahui melalui penampakan postur fisik
akibat kematangan seks primer (Dariyo, 2004: 18). Ciri seks sekunder
remaja putri diantaranya: tubuh bertambah besar dan tinggi, lengan dan
tungkai kaki bertambah panjang, tangan dan kaki bertambah besar, tumbuh
payudara, puting menonjol keluar, pantat berkembang lebih besar, tulang
wajah memanjang dan membesar, tumbuh rambut-rambut di ketiak dan
kemaluan, vagina mulai mengeluarkan cairan, keringat bertambah banyak,
kulit dan rambut mulai berminyak (Okanegara, 2008).
2) Perubahan kognitif.
Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget, kemampuan kognitif
remaja berada dalam tahap formal operasional. Remaja harus mampu
mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan masalah dan
mempertanggungjawabkannya. Berkaitan dengan perkembangan kognitif,
umumnya remaja menampilkan tingkah laku sebagai berikut: kritis, rasa
ingin tahu yang kuat, jalan pikiran egosentris, imagery audience, personal
fables (Kusmiran, 2011: 15).
136

HOSPITAL MAJAPAHIT

d.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

3) Perubahan psikologis.
Pada masa remaja, labilnya emosi anak kaitannya dengan perubahan
hormon dalam tubuh, sering terjadi letusan emosi dalam bentuk amarah,
sensitif bahkan perbuatan nekad. Denis dan Hasol menyebutkan sebagai
time of up heavel and turbulance. Ketidakstabilan emosi menyebabkan
mereka mempunyai rasa ingin tahu dan dorongan untuk mencari tahu
(Notoatmodjo, 2007: 265).
Menurut Mansyur (2009: 108), masalah psikologis pada masa remaja,
diantaranya:
Pertama, timbul rasa malu. Rasa malu dapat digambarkan seperti
semacam perasaan tidak nyaman. Biasanya berkaitan dengan membuka diri
kepada orang lain, jadi rasa malu timbul seolah-olah kita sedang disorot
(diawasi) dan seolah-olah dinilai rendah oleh orang lain. Orang dikatakan
rendah diri jika orang tersebut merasa kurang berharga dibandingkan
dengan orang lain, seperti saat kita terlihat selalu kalah. Antara rasa malu
dengan rendah diri memiliki keterkaitan.
Kedua, emosionalitas. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran
yang khas. Mudah tidaknya perasaan seseorang terpengaruh oleh kesankesan, hal inilah yang disebut emosionalitas. Perkembangan emosi remaja
sangat dipengaruhi oleh faktor kematangan dan faktor belajar. Kemurungan,
merajuk, ledakan marah, dan kecenderungan untuk menangis karena hasutan
yang sangat kecil merupakan ciri-ciri bagian awal masa puber. Pada masa
ini anak merasa khawatir, gelisah, dan cepat marah. Beberapa faktor
penyebab emosionalitas masa puber antara lain: sedih, mudah marah dan
suasana hati yang negatif sangat sering terjadi selama masa pra haid (pre
menstrual syndrome) dan awal periode haid; kurangnya kemampuan untuk
mengontrol diri atau masih lemahnya kemampuan mengendalikan diri; dan
remaja berada di bawah tekanan sosial dan selama masa kanak-kanak, ia
kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan itu; serta dampak
dari penyesuaian diri terhadap pola perilaku baru dan harapan sosial baru.
Ketiga, kurang percaya diri. Percaya diri adalah yakin benar atau
memastikan akan kemampuan dan kelebihan dirinya sendiri dalam
memenuhi semua harapannya. Sikap atau perilaku remaja yang memiliki
harga diri rendah atau kurang adalah sebagai berikut: tidak mau mencoba
sesuatu hal yang baru, merasa tidak dicintai dan tidak diinginkan, punya
kecenderungan untuk melempar kesalahan pada orang lain, memiliki emosi
yang kaku dan disembunyikan, mudah mengalami rasa frustasi dan tertekan,
dan meremehkan bakat dan kemampuannya sendiri.
4) Perubahan psikososial.
Pencarian identitas diri merupakan tugas utama perkembangan
psikososial adolesence. Remaja harus membentuk hubungan sebaya yang
dekat atau tetap terisolasi secara sosial (Potter & Perry, 2005: 693).
Faktor penyebab masalah remaja.
Timbulnya masalah pada remaja disebabkan oleh berbagai faktor yang
sangat kompleks, yang terjadi pada masa remaja. Secara garis besar, faktorfaktor tersebut dapat dikelompokkkan sebagai berikut:
1) Adanya perubahan-perubahan biologis dan psikologis yang sangat pesat
pada masa remaja yang akan memberikan dorongan tertentu yang sifatnya
sangat kompleks.

137

HOSPITAL MAJAPAHIT

e.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

2) Orang tua dan pendidik kurang siap untuk memberikan informasi yang
benar dan tepat waktu, karena ketidaktahuannya.
3) Perbaikan gizi yang menyebabkan menars menjadi lebih dini. Kejadian
kawin muda masih banyak, terutama di daerah pedesaan. Sebaliknya di
perkotaan kesempatan untiuk bersekolah dan bekerja menjadi lebih terbuka
bagi wanita dan usia kawin maskin bertambah. Kesenjangan antara menars
dan umur kawin yang makin panjang, apalagi dalam suasana pergaulan yang
makin bebas tidak jarang menimbulkan masalah bagi remaja.
4) Membaiknya sarana komunikasi dan transportasi akibat kemajuan teknologi
menyebabkan membanjirnya arus informasi dari luar yang sulit sekali
diseleksi.
5) Pembangunan ke arah industrialisasi disertai dengan pertambahan penduduk
menyebabkan meningkatnya urbanisasi, berkurangnya sumberdaya alam
dan terjadinya perubahan tata nilai. Ketimpangan sosial dan individualisme
seringkali memicu konflik perorangan maupun kelompok. Lapangan kerja
yang kurang memadai dapat memberikan dampak yang kurang baik bagi
remaja sehingga remaja bisa menderita frustasi dan depresi yang aka n
menyebabkan mereka mengambil jalan pintas dengan tindakan yang bersifat
negatif.
6) Kurangnya pemanfaatan sarana untuk menyalurkan gejolak remaja. Perlu
adanya penyaluran sebagai substansi yang bersifat positif ke arah
pengembangan ketrampilan yang mengandung unsur kecepatan dan
kekuatan misalnya olahraga (IDAI, 2002: 173).
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan remaja
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan remaja bersifat
dikotomi, yaitu endogen dan eksogen.
1) Faktor endogen (nature).
Dalam pandangan ini dinyatakan bahwa perubahan-perubahan fisik
maupun psikis dipengaruhi oleh faktor internal yang bersifat herediter yaitu
yang diturunkan oleh orang tuanya, misalnya postur tubuh, bakat, minat,
kecerdasan, kepribadian, dan sebagainya.
2) Faktor eksogen (nurture).
Pandangan faktor eksogen menyatakan bahwa perubahan dan
perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh faktor- faktor yang berasal
dari luar diri individu. Faktor ini diantaranya berupa lingkungan fisik
maupun lingkungan sosial. Lingkungan fisik berupa tersedianya sarana dan
fasilitas, letak geografis, cuaca, iklim, dan sebagainya. Lingkungan sosial
adalah lingkungan dimana seseorang mengadakan relasi atau interaksi
dengan individu atau sekelompok individu di dalamnya, berupa keluarga,
tetangga, teman, lembaga pendidikan dan sebagainya.
3) Interaksi antara endogen dan eksogen.
Faktor endogen dan eksogen saling berpengaruh, sehingga terjadi
interaksi antara kedua faktor, yang kemudian muncul faktor ketiga sebagai
kombinasi dari kedua faktor tersebut. Para ahli perkembangan (Berk, 1993;
Gunarsa dan Gunarsa, 1991; Papalia, Olds dan Feldman, 2001; dan
Santrock, 1999 dalam Dariyo, 2004: 14-15) meyakini bahwa kedua faktor
internal (endogen) maupun eksternal (eksogen) tersebut mempunyai peran
bagi perkembangan dan pertumbuhan individu.

138

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Endogen- internal

Eksogen-eksternal
Perkembangan individu

Gambar 8. Skema interaksi endogen-eksogen dalam perke mbangan


individu (Dariyo, 2004: 14-15)
C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian.
Jenis penelitian adalah analitik observasional (Setiadi, 2007: 133). Rancang
bangun yang digunakan adalah cross sectional. Penelitian cross sectional adalah
jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel
independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat. Pada jenis ini, variabel
independen dan dependen dinilai secara simultan pada suatu saat, jadi tidak ada
tindak lanjut (Nursalam, 2008: 83).
2. Frame Work.
Status gizi remaja putri

1.
2.
3.
4.
5.

Siklus menstruasi

Variabel perancu:
Aktifitas fisik
Proses ovulasi
Adekuatnya fungsi luteal
Perilaku diet
Stres

Gambar 9. Frame work Hubungan Status Gizi Remaja Putri Dengan Siklus
Menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga
Jatirejo Mojokerto.
3.

4.

Hipotesis Penelitian.
Hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara
terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul
(Arikunto, 2006: 71).
H1 = Ada hubungan status gizi remaja putri dengan siklus menstruasi di MTs Darun
Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto.
Variabel dan Definisi Operasional.
Variabel adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari, sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian
ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009: 2). Variabel independen dalam penelitian ini
adalah status gizi remaja putri dan variabel dependennya adalah siklus menstruasi.

139

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Tabel 40. Definisi Operasional Hubungan Status Gizi Remaja Putri


Siklus Menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun
Kenanga Jatire jo Mojokerto.
Variabel
Definisi Operasional
Krite ria
Independen: Perwujudan dari keadaan 1. Normal: -2SD
Status gizi
keseimbangan konsumsi 2. Pendek: -3SD s/d <-2SD
remaja putri remaja putri yang
3. Sangat pendek: <-3SD
didasarkan pada kategori (Depkes, 2010)
yang digunakan, yaitu
tinggi badan dan umur.

Dengan
Sumbe r
Skala

Ordinal

Alat ukur: meteran


(meterline) dan data
umur remaja dari register
sekolah
Dependen:
Siklus
menstruasi

Jarak antara hari pertama 1. Oligomenorea : >35 hari


menstruasi dengan hari
2. Polimenorea : <21 hari
pertama menstruasi
3. Amenorea
: 3 bulan
berikutnya yang dibagi
berturut-turut tidak
dalam oligomenorea,
menstruasi
polimenorea dan
4. Normal
: 28 hari
amenorea.
(Hendrik, 2006)

Nominal

Alat ukur: lembar


kuesioner
5.

Populasi, Sampel, Teknik dan Instrumen Penelitian.


Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009: 61). Pada penelitian
ini, populasinya adalah seluruh remaja putri kelas VII dan VIII di MTs Darun Najah
Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto sebanyak 41 orang.
Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang
diteliti dan dianggap mewakili populasi (Notoatmodjo, 2005: 79). Sampel dalam
penelitian ini adalah sebagian remaja putri di MTs Darun Najah Gading Dusun
Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto sebanyak 41 orang.
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis non
probability sampling. Non probability sampling adalah teknik pengambilan sampel
dengan tidak memberikan peluang yang sama dari setiap anggota populasi, yang
bertujuan tidak untuk generalisasi (Hidayat, 2007: 82). Tipe non probability
sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe sampling jenuh atau total
sampling. Sampling jenuh adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota
populasi digunakan sebagai sampel (Setiawan dan Saryono, 2010: 97).
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diantaranya :
a. Kuesioner.
Kuesioner merupakan daftar pertanyaan yang disusun secara tertulis dalam
rangka pengumpulan data suatu penelitian. Kuesioner yang digunakan adalah
kuesioner tertutup. Kuesioner tertutup merupakan bentuk kuesioner dimana
140

HOSPITAL MAJAPAHIT

6.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

responden tinggal memilih jawaban dari pilihan jawaban yang telah tersedia
(Nursalam, 2008: 109).
b. Meterline dan data umur.
Untuk memperoleh data status gizi digunakan meteran (meterline) dan
data umur.
c. Penelusuran data sekunder.
Data sekunder adalah metode untuk mendapatkan informasi melalui
penelusuran dokumen, publikasi dan catatan klinik maupun pribadi. Metode ini
mengambil data yang berasal dari dokumen asli (Hidayat, 2007: 100). Teknik ini
digunakan untuk mendapatkan data jumlah remaja putri yang menjadi siswi di
MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto.
Instrumen pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan meteran
(meterline) dan data umur untuk mengkaji variabel independen yaitu status gizi
remaja putri serta kuesioner untuk mengkaji variabel dependen yaitu siklus
menstruasi.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data.
a. Pengolahan Data.
Menurut Hidayat (2007: 121), dalam melakukan analisis data, terlebih
dahulu data harus diolah dengan tujuan mengubah data menjadi informasi.
Dalam statistik, informasi yang diperoleh dipergunakan untuk proses
pengambilan keputusan, terutama dalam pengujian hipotesis. Dalam proses
pengolahan data terdapat langkah- langkah awal yang harus ditempuh,
diantaranya:
1) Editing.
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang
diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap
pengumpulan data atau setelah data terkumpul (Hidayat, 2007: 121).
2) Coding.
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka)
terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat
penting dan biasanya dalam pemberian kode dibuat juga daftar kode dan
artinya dalam satu buku untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti
suatu kode dari suatu variabel (Hidayat, 2007: 121).
a) Umur
: 10-13 tahun (kode 1) dan 14-17 tahun (kode 2).
b) Pekerjaan ayah
: tidak bekerja (kode 1), PNS/TNI/Polri (kode 2),
wiraswasta (kode 3) dan swasta (kode 4).
c) Pekerjaan ibu
: ibu rumah tangga (kode 1) dan bekerja (kode 2)
d) Status menstruasi : sudah menstruasi (kode 1) dan belum menstruasi
(kode 2).
e) Status gizi
: normal (kode 1), pendek (kode 2) dan sangat
pendek (kode 3).
f) Siklus menstruasi : oligomenorea (kode 1), polimenorea (kode 2),
amenorea (kode 3) dan normal (kode 4).
3) Scoring.
Memberikan skor pada item- item yang perlu diberi skor (Arikunto,
2006: 236).
Status gizi:
a) Normal
: -2SD
b) Pendek
: -3SD s/d <-2SD
c) Sangat pendek : <-3SD
141

HOSPITAL MAJAPAHIT

b.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

4) Tabulating
Merupakan proses data entry, yaitu memasukkan data yang telah
dikumpulkan ke dalam master table (Hidayat, 2007). Pekerjaan tabulasi
adalah pekerjaan membuat tabel. Jawaban-jawaban yang sudah diberi kode
kategori dan skor kemudian dimasukkan dalam tabel (Narbuko dan
Achmadi, 2002: 155).
Analisis Data.
1) Analisis data secara univariat.
Untuk variabel independen (status gizi remaja putri) diukur dengan
melakukan pengukuran tinggi badan dan umur remaja putri tersebut.
Selanjutnya dihitung dengan menggunakan rumus Z skor:
Z-skor = Nilai individu subjek Nilai median baku rujukan
Nilai simpang baku rujukan
Selanjutnya dinilai status gizinya sebagai berikut:
a) Normal
: >-2SD
b) Pendek
: >-3SD s/d <-2SD
c) Sangat pendek : <-3SD
(Depkes, 2010)
Bagi variabel dependen (siklus menstruasi) hanya dibedakan saja,
yaitu:
a) Oligomenorea
b) Polimenorea
c) Amenorea
d) Normal
2) Analisis data secara bivariat.
Uji secara bivariat dilakukan untuk membuktikan adanya hubungan
antara variabel bebas dengan terikat. Pada penelitian ini karena data yang
digunakan adalah data kategorik (ordinal dan nominal) yang menggunakan
desain analitik observasional berbentuk korelasi, maka dilakukan uji
statistik berupa X2 (Chi Square) untuk menguji kesalingtergantungan
dengan rumus:
(f o - f h ) 2
2
fh
Keterangan:
2

= nilai Chi Square.


fo = frekuensi yang diperoleh berdasarkan data.
fh = frekuensi yang diharapkan (Sugiyono, 2009: 328).
Pada penelitian ini menggunakan program SPSS (Statistical Package
For The Social Sciences) for Windows seri 17.0. Ketentuan =0,05 dimana
H1 diterima jika Sig. (2-tailed) < dan H1 ditolak jika Sig. (2-tailed) > .
Jika tidak memenuhi syarat uji chi square, maka uji dapat dilanjutkan
dengan menggunakan uji fisher exact.
Syarat uji Chi Square:
a) Bila jumlah subjek total >40, tanpa melihat nilai expected, yaitu nilai
yang dihitung bila hipotesis 0 benar.
b) Bila jumlah subjek antara 20-40, dan semua nilai expected >5.
142

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

c)

Apabila: 1) jumlah subjek total n<20 atau 2) jumlah subjek antara 20-40
dengan nilai expected ada yang <5, maka dipakai uji mutlak Fisher
(Sastroasmoro, 2008: 293).
Menurut Arikunto (2002) dalam Cideres (2009) dalam membaca
kesimpulan menggunakan skala sebagai berikut:
100%
: seluruhnya.
76-99% : hampir seluruhnya.
51-75% : sebagian besar.
50%
: setengah.
26-49% : hampir setengah.
1-25% : sebagian kecil.
0%
: tidak satupun.
D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber
Kenanga Jatirejo Mojokerto pada tanggal 4-9 Juni 2012. MTs Darun Najah Gading
Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto berbatasan dengan:
a. Sebelah utara
: perkampungan penduduk
b. Sebelah selatan : perkampungan penduduk
c. Sebelah barat
: lapangan desa
d. Sebelah timur
: jalan raya
Fasilitas yang dimiliki diantaranya gedung sekolah berlantai 1 dan terdiri dari
ruang kelas sejumlah 6 buah, 1 ruang perpustakaan yang digabung dengan UKS, 1
ruang kepala sekolah, 1 ruang guru, 1 ruang BP/BK, 1 ruang Tata Usaha, kamar
mandi guru dan kamar mandi murid.
2. Data Umum.
a. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur.
Tabel 41. Distribusi Frekuensi Umur Responden di MTs Darun Najah
Gading Dusun Sumbe r Kenanga Jatire jo Mojokerto Pada
Tanggal 4-9 Juni 2012.
No.
Umur
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1.
10-13 tahun
16
39,0
2.
14-16 tahun
25
61,0
Jumlah
41
100

b.

Berdasarkan tabel 41 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden


berumur 14-16 tahun sebanyak 25 responden (61,0%).
Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Ayah.
Tabel 42. Distribusi Frekuensi Pekerjaan Ayah Responden di MTs Darun
Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatire jo Mojokerto Pada
Tanggal 4-9 Juni 2012.
No.
Pekerjaan Ayah
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1.
Tidak bekerja
0
0
2.
PNS/TNI/Polri
4
9,8
3.
Wiraswasta
19
46,3
4.
Swasta
6
14,6
5.
Petani
12
29,3
Jumlah
41
100

143

HOSPITAL MAJAPAHIT

c.

d.

3.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Berdasarkan tabel 42 dapat diketahui bahwa hampir setengah pekerjaan


ayah responden adalah wiraswasta sebanyak 19 responden (46,3%).
Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Ibu.
Tabel 43. Distribusi Frekuensi Pekerjaan Ibu Responden di MTs Darun
Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatire jo Mojokerto Pada
Tanggal 4-9 Juni 2012.
No.
Pekerjaan ibu
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1.
Tidak bekerja
23
56,1
2.
Bekerja
18
43,9
Jumlah
41
100
Berdasarkan tabel 43 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu responden
tidak bekerja sebanyak 23 responden (56,1%).
Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu.
Tabel 44. Distribusi Frekuensi Pendidikan Ibu Responden di MTs Darun
Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatire jo Mojokerto Pada
Tanggal 4-9 Juni 2012.
No.
Pendidikan
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1.
Tidak sekolah
0
0
2.
Pendidikan dasar
21
51,2
(SD dan SMP)
3.
Pendidikan menengah
17
41,5
(SMA)
4.
Pendidikan tinggi
3
7,3
(Akademi/PT)
Jumlah
41
100

Berdasarkan tabel 44 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu responden


berpendidikan dasar (SD dan SMP) sebanyak 21 responden (51,2%).
Data Khusus.
a. Status Gizi Remaja Putri di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga
Jatirejo Mojokerto.
Tabel 45. Distribusi Frekuensi Status Gizi Remaja Putri di MTs Darun
Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatire jo Mojokerto Pada
Tanggal 4-9 Juni 2012.
No.
Status Gizi
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1.
Normal
15
36,6
2.
Pendek
20
48,8
3.
Sangat pendek
6
14,6
Jumlah
41
100
Berdasarkan tabel 45 dapat diketahui bahwa hampir setengah dari
responden mempunyai status gizi pendek sebanyak 20 responden (48,8%).

144

HOSPITAL MAJAPAHIT
b.

c.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Siklus Menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo
Mojokerto.
Tabel 46. Distribusi Frekuensi Siklus Menstruasi di MTs Darun Najah
Gading Dusun Sumbe r Kenanga Jatire jo Mojokerto Pada
Tanggal 4-9 Juni 2012.
No.
Siklus Menstruasi
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1.
Oligomenorea
10
24,4
2.
Polimenorea
5
12,2
3.
Amenorea
4
9,8
4.
Normal
22
53,7
Jumlah
41
100
Berdasarkan tabel 46 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden
mengalami siklus menstruasi normal sebanyak 22 responden (53,7%).
Hubungan Status Gizi Remaja Putri Dengan Siklus Menstruasi di MTs Darun
Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto.
Tabel 47. Tabulasi Silang Antara Status Gizi Remaja Putri Dengan Siklus
Menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber
Kenanga Jatire jo Mojokerto Pada Tanggal 4-9 Juni 2012
Siklus menstruasi
Total
Status
Oligome norea Polimenorea Amenorea
Normal
gizi
f
%
f
%
f
%
f
%
f
%
Normal
2
4,9
2
4,9
1
2,4 10 24,4 15 36,6
Pendek
6
14,6
3
7,3
0
0
11 26,8 20 48,8
Sangat
2
4,9
0
0
3
7,3
1
2,4
6 14,6
pendek
Total
10
24,4
5
12,2
4
9,8 22 53,7 41 100
Berdasarkan tabel 47 dapat diketahui bahwa responden yang mempunyai
status gizi normal, sebagian besar mengalami siklus menstruasi normal sebanyak
10 responden (24,4%), responden yang mempunyai status gizi pendek, sebagian
besar mengalami siklus menstruasi normal sebanyak sebanyak 11 responden
(26,8%) dan responden yang mengalami status gizi sangat pendek, sebagian
besar mengalami siklus menstruasi amenorea sebanyak 3 responden (7,3%).
Berdasarkan uji statistik dengan bantuan SPSS versi 17.0 didapatkan 10
sel yang memiliki nilai frekuensi harapan <5, sehingga dilanjutkan
menggunakan uji Fisher Exact hingga didapatkan hasil sig. (2 tailed) = 0,033.
Ketentuan menyatakan H0 ditolak dan H1 diterima jika Sig. (2 tailed) < (0,05).
Karena Sig. (2 tailed) (0,033) < (0,05) artinya H0 ditolak dan H1 diterima, yang
artinya ada hubungan status gizi remaja putri dengan siklus menstruasi di MTs
Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto.

E. PEMBAHASAN
1. Status Gizi Remaja Putri Di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber
Kenanga Jatire jo Mojokerto.
Berdasarkan tabel 45 dapat diketahui bahwa hampir setengah dari responden
mempunyai status gizi pendek sebanyak 20 responden (48,8%). Status gizi adalah
keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi
(Almatsier, 2009: 3). Gibson menyatakan bahwa status gizi adalah keadaan tubuh
145

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

yang merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam
tubuh dan utilisasinya (Waryana, 2010: 7).
Status gizi menunjukkan keseimbangan antara asupan makanan yang
dikonsumsi dengan aktifitas remaja yang makin meningkat seiring bertambahnya
usia. Usia remaja memiliki karakteristik keingintahuan yang tinggi serta kesibukan
belajar yang semakin meningkat. Hal ini menyebabkan aktifitas hariannya juga
relatif semakin meningkat. Saat terjadi peningkatan aktifitas, di sisi lain remaja putri
rentan mengalami kurang asupan zat gizi karena pola makan yang salah, pengaruh
dari lingkungan pergaulan (misalkan ingin langsing). Remaja putri yang kurang gizi
tidak dapat mencapai status gizi yang optimal (kurus, pendek dan pertumbuhan
tulang tidak proporsional). Mereka juga biasanya mengalami kurang zat besi dan gizi
lain yang penting untuk tumbuh kembang serta sering sakit-sakitan. Hal ini
menyebabkan status gizi remaja putrid menjadi pendek. Status gizi remaja putri
dipengaruhi oleh umur, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu dan pendidikan ibu.
Berdasarkan tabel 41 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden berumur
14-16 tahun sebanyak 25 responden (61,0%). Hasil tabulasi silang menunjukkan
responden yang memiliki status gizi pendek sebagian besar berumur 14-16 tahun
sebanyak 14 responden (56,0%). Pada tahapan remaja pertengahan, terjadi
peningkatan interaksi dengan kelompok, sehingga tidak selalu tergantung pada
keluarga dan terjadi eksplorasi seksual. Dengan menggunakan pengalaman dan
pemikiran yang lebih kompleks, pada tahap ini remaja sering mengajukan
pertanyaan, menganalisis secara lebih menyeluruh dan berpikir tentang ba gaimana
cara mengembangkan identitas siapa saya?. Pada masa ini remaja juga mulai
mempertimbangkan masa depan, tujuan dan membuat rencana sendiri (Aryani,
2010: 5).
Ciri remaja pada usia ini adalah adanya peningkatan aktifitas dan eksplorasi
terhadap lingkungan sekitar. Tingginya aktifitas berakibat pada kebutuhan asupan
gizi yang cukup memadai. Namun yang terjadi, responden kurang mendapatkan
asupan gizi yang memadai, sehingga ia mengalami status gizi pendek.
Berdasarkan tabel 42 dapat diketahui bahwa hampir setengah pekerjaan ayah
responden adalah wiraswasta sebanyak 19 responden (46,3%). Hasil tabulasi silang
menunjukkan responden yang memiliki status gizi pendek sebagian besar ayahnya
bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 9 responden (47,4%0 dan sebagai petani
sebanyak 8 responden (66,7%). Anggota keluarga yang menjadi sumber utama
keuangan keluarga disebut pencari nafkah dan biasanya dipegang oleh ayah atau
suami. Dalam hal ini kesanggupan keuangan keluarga akan lebih baik, sehingga lebih
banyak lagi kebutuhan yang dapat dipenuhi. Namun pola pemakaian sumber
keuangan ini sangat dipengaruhi oleh pola atau gaya hidup keluarga (Sediaoetama,
2008: 76). Terdapat hubungan antara pendapatan dan keadaan status gizi. Hal itu
karena tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas
makanan yang dikonsumsi. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar
akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi
kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya. Tingkat pendapatan dapat menentukan pola
makan (FKM UI, 2007: 71).
Pekerjaan sebagai wiraswastawan dan petani khususnya petani penggarap
cukup memiliki keterbatasan sosial ekonomi. Sebab jenis pekerjaan tersebut sangat
tergantung pada kemampuan individu untuk menghasilkan pendapatan. Keterbatasan
pendapatan menyebabkan keterbatasan dalam mengalokasikan uang untuk kebutuhan
konsumsi sehari- hari, sehingga mempengaruhi pula status gizi responden menjadi
pendek.
146

HOSPITAL MAJAPAHIT

2.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Berdasarkan tabel 43 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu responden


tidak bekerja sebanyak 23 responden (56,1%). Hasil tabulasi silang menunjukkan
responden yang memiliki status gizi pendek sebagian besar ibu tidak bekerja
sebanyak 11 responden (47,8%). Selain mempunyai tugas untuk reproduksi, seorang
wanita terkadang juga memiliki peran sosial yang mengakibatkan beban kerja yang
sangat berat dalam kehidupannya. Peran sosial wanita, antara lain bertanggung jawab
atas keluarga, seperti merawat anggota keluarga lain, mengelola rumah tangga,
menyediakan makanan, melakukan tugas-tugas kebersihan, mendatangi pelayanan
kesehatan, melakukan pendidikan, dan mengawasi anak. Selain tugas-tugas tersebut,
seorang wanita juga mempunyai peran dalam keluarga besarnya dan masyarakat.
Beberapa tugas produktif yang dilakukan oleh wanita adalah di bidang pertanian,
pasar, rumah produksi, pabrik, atau lainnya (Noorkasiani, dkk., 2009: 68).
Kondisi ibu responden sebagian besar berperan pada sektor domestik sebagai
ibu rumah tangga. Peran sebagai ibu rumah tangga membutuhkan tanggung jawab
besar untuk merawat keluarga, termasuk memberikan pola asuh makan yang baik.
Namun dapat disebabkan karena keterbatasan ekonomi keluarga, menyebabkan ibu
responden juga mengalami keterbatasan dalam mengalokasikan keuangan yang
dimiliki untuk mencukupi kebutuhan makan setiap hari, sehingga mempengaruhi
pula status gizi responden menjadi pendek.
Berdasarkan tabel 44 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu responden
berpendidikan dasar (SD dan SMP) sebanyak 21 responden (51,2%). Hasil tabulasi
silang menunjukkan responden yang memiliki status gizi pendek sebagian besar
ibunya berpendidikan dasar (SD dan SMP) sebanyak 11 responden (52,4%). Tingkat
pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat.
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat
untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya
hidup sehari- hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan,
khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kese hatan (Atmarita dan
Fallah, 2004).
Pendidikan dasar (SD dan SMP) menunjukkan keterbatasan kemampuan dalam
memahami masalah dan kebutuhan termasuk kebutuhan anak akan zat gizi yang
baik. Hal ini menyebabkan ibu kurang mampu memberikan asupan gizi sesuai
kebutuhan anak, sehingga menyebabkan anak mengalami status gizi pendek.
Siklus Menstruasi Di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumbe r Kenanga
Jatirejo Mojokerto.
Berdasarkan tabel 46 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden
mengalami siklus menstruasi normal sebanyak 22 responden (53,7%). Siklus
menstruasi ialah jarak antara hari pertama menstruasi dengan hari pertama
menstruasi berikutnya. Panjang siklus menstruasi wanita bervariasi baik antar
individu maupun pada individu yang sama. Siklus menstruasi pendek antara 15-23
hari dan siklus panjang antara 35-45 hari. Ada sejumlah perempuan yang siklusnya
teratur, sementara adapula yang bervariasi sampai dengan 7 hari. Namun, panjang
siklus menstruasi yang dianggap rata-rata normal adalah 28 hari (Indiarti, 2007: 2324).
Data tiga siklus terakhir menunjukkan sebagian besar mengalami siklus
menstruasi normal yaitu kurang lebih 28 hari atau 4 minggu. Siklus menstruasi yang
normal, secara fisiologis menggambarkan organ reproduksi cenderung sehat dan
tidak bermasalah. Sistem hormonalnya baik yang ditunjukkan dengan sel telur yang
terus diproduksi dan siklus menstruasinya teratur. Meski keteraturan tersebut
tidaklah sama pada setiap responden, ada yang menyatakan setiap 4 minggu sekali
147

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

atau yang menyatakan 4 minggu lebih dua hari dan sebagainya. Hal tersebut
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, diantaranya umur responden, pekerjaan ayah,
pekerjaan ibu dan tingkat pendidikan ibu.
Berdasarkan tabel 41 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden berumur
14-16 tahun sebanyak 25 responden (61,0%). Hasil tabulasi silang menunjukkan
responden yang mengalami siklus menstruasi normal sebagian besar berumur 14-16
tahun sebanyak 12 responden (48,0%). Ketidakteraturan siklus haid sering terjadi
pada remaja muda yang baru mengalami haid karena masih terjadi penyesuaian
dalam tubuh. Selama 2 bulan berturut-turut mungkin mengalami siklus haid 28 hari
namun kemudian tidak datang bulan di bulan berikutnya. Setelah 1 atau 2 tahun
siklus menstruasi akan lebih teratur (Adhi, 2012).
Sebagian besar responden telah mengalami menstruasi selama kurang lebih 1
atau 2 tahun sebelumnya. Lamanya responden mengalami menstruasi membuat
tubuhnya telah beradaptasi secara fisiologis dan hal ini membuat siklus
menstruasinya menjadi normal.
Berdasarkan tabel 42 dapat diketahui bahwa hampir setengah pekerjaan ayah
responden adalah wiraswasta sebanyak 19 responden (46,3%). Hasil tabulasi silang
menunjukkan responden yang mengalami siklus menstruasi normal sebagian besar
ayahnya bekerja sebagai wiraswastawan dan petani masing- masing sebanyak 8
responden (42,1% dan 66,7%). Berdasarkan tabel 43 dapat diketahui bahwa sebagian
besar ibu responden tidak bekerja sebanyak 23 responden (56,1%). Hasil tabulasi
silang menunjukkan responden yang mengalami siklus menstruasi normal sebagian
besar ibu tidak bekerja sebanyak 14 responden (60,9%). Faktor sosial ekonomi dan
juga mempunyai pengaruh terhadap keteraturan siklus menstruasi. Faktor sosial
ekonomi mempengaruhi seseorang dalam kehidupannya, misalnya dalam
menentukan jenis asupan makanan yang akan mempengaruhi nilai gizi seseorang.
Tidak hanya gaya hidup yang positif saja yang dapat mempengaruhi keteraturan
siklus menstruasi, namun juga ditambah dengan gizi dan suplemen nutrisi yang dapat
membuat keseimbangan hormonal tubuh secara alami (Hutomo, 2012).
Siklus menstruasi normal sebagian besar dialami oleh responden yang ayahnya
bekerja sebagai wiraswastawan dan petani. Hal ini disebabkan orang tua sanggup
mendidik anak hidup dalam pola hidup yang sehat dan iklim keluar ga yang
harmonis, sehingga mempengaruhi keseimbangan hormonal dalam diri anak dan
menjadikannya mengalami siklus menstruasi normal.
Berdasarkan tabel 44 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu responden
berpendidikan dasar (SD dan SMP) sebanyak 21 responden (51,2%). Hasil tabulasi
silang menunjukkan responden yang mengalami siklus menstruasi normal sebagian
besar ibunya berpendidikan menengah (SMA) sebanyak 11 responden (64,7%).
Menurut YB Mantra, pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga
perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan
dalam pembangunan. Pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin
mudah menerima informasi (Wawan dan Dewi, 2010: 16).
Meski sebagian besar pendidikan ibu adalah pendidikan dasar, namun yang
mengalami siklus menstruasi normal adalah yang ibunya berpendidikan SMA.
Pendidikan SMA cukup memberikan bekal pada ibu untuk merawat anaknya dengan
lebih baik, misalnya ibu lebih mampu mengatur pola makan anak, membuat suasana
rumah lebih nyaman, mengupayakan pola hidup sehat sehingga mempengaruhi
kenyamanan pada diri anak dan membuat siklus menstruasinya berjalan normal.

148

HOSPITAL MAJAPAHIT
3.

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Hubungan Status Gizi Remaja Putri Dengan Siklus Menstruasi Di Mts Darun
Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatire jo Mojoke rto.
Berdasarkan tabel 47 dapat diketahui bahwa responden yang mempunyai status
gizi normal, sebagian besar mengalami siklus menstruasi normal sebanyak 10
responden (24,4%), responden yang mempunyai status gizi pendek, sebagian besar
mengalami siklus menstruasi normal sebanyak sebanyak 11 responden (26,8%) dan
responden yang mengalami status gizi sangat pendek, sebagian besar mengalami
siklus menstruasi amenorea sebanyak 3 responden (7,3%).
Berdasarkan uji statistik dengan bantuan SPSS versi 17.0 didapatkan 10 sel
yang memiliki nilai frekuensi harapan <5, sehingga dilanjutkan menggunakan uji
Fisher Exact hingga didapatkan hasil sig. (2 tailed) = 0,033. Ketentuan menyatakan
H0 ditolak dan H1 diterima jika Sig. (2 tailed) < (0,05). Karena Sig. (2 tailed)
(0,033) < (0,05) artinya H0 ditolak dan H1 diterima, yang artinya ada hubungan
status gizi remaja putri dengan siklus menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun
Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto.
Kualitas asupan nutrisi dan gizi mempengaruhi kinerja kelenjar hipotalamus
yang memiliki peran mengendalikan kelancaran siklus haid yang ada (Klik Dokter,
2011). Berat badan dan perubahan berat badan mempengaruhi fungsi menstruasi.
Penurunan berat badan akut dan sedang menyebabkan gangguan pada fungsi
ovarium, tergantung derajat tekanan pada ovarium dan lamanya penurunan berat
badan. Kondisi patologis seperti berat badan yang kurang atau kurus dan anorexia
nervosa yang menyebabkan penurunan berat badan yang berat dapat menimbulkan
amenorrhea (Kusmiran, 2011: 110). Nutrisi yang baik akan mempengaruhi sekresi
FSH dan LH. Jika terjadi penurunan kalori kronis akan menurunkan sekresi FSH dan
LH, hingga jika terjadi malnutrisi, berat badan rendah atau diet ketat, maka ovulasi
mungkin akan berhenti dan ia menjadi amenorea (Henderson, 2005: 19).
Responden dengan status gizi normal biasanya menerapkan pola makan yang
sesuai dengan kebutuhan maupun berlebih terutama lemak, protein dan karbohidrat
tubuh sebagai sumber energi utama tubuh. Pola makan yang salah dengan tinggi
lemak, karbohidrat dan protein akan meningkatkan berat badan yang lebih sehingga
akan meningkatkan kerja organ-organ tubuh yang tentunya akan berdampak pada
fungsi sistem hormonal pada tubuh. Hal ini menjelaskan alasan responden dengan
status gizi normal sebagian besar mengalami siklus menstruasi normal, namun ada
pula yang mengalami polimenorea. Sedangkan responden yang memiliki status gizi
normal namun mengalami oligomenorea bahkan amenorea khususnya amenore
sekunder dapat disebabkan karena aktifitas yang terlalu berat ataupun tekanan
kejiwaan seperti stres. Hal tersebut terjadi karena aktifitas berlebihan dan stres dapat
mengganggu kerja hipotalamus dalam mengendalikan kerja berbagai hormon
termasuk hormon yang berperan dalam siklus menstruasi.
Begitupun sebaliknya pada responden dengan pola makan kurang
mempengaruhi penurunan status gizi. Status gizi pendek namun masih memiliki
siklus menstruasi yang normal dapat disebabkan karena responden memiliki
keseimbangan hormonal yang cukup baik karena faktor stabilitas emosi, sehingga
tidak mengganggu kerja hipotalamus meski dari sisi status gizi pendek bahkan sangat
pendek. Namun bagi responden dengan status gizi pendek namun mengalami siklus
polimenorea dapat disebabkan karena gangguan keseimbangan hormonal karena
berada pada masa-masa awal menstruasi. Faktor lain yang memungkinkan adalah
penyakit di dalam organ reproduksi, seperti tumor rahim maupun karena faktor
lainnya seperti stress dan kelelahan.

149

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Jadi adanya gangguan pada fungsi sistem hormonal dari tubuh tersebut yang
salah satunya karena faktor asupan gizi akan menyebabkan gangguan siklus haid
yang terlalu cepat maupun siklus haid yang pendek.
F. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan status gizi remaja putri dengan
siklus menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo
Mojokerto, maka dapat disimpulkan bahwa Status gizi remaja putri di MTs Darun Najah
Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto, hampir setengahnya mempunyai
status gizi pendek sebanyak 20 responden (48,8%), siklus menstruasi di MTs Darun
Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto, sebagian besar mengalami
siklus menstruasi normal sebanyak 22 responden (53,7%) dan Hasil uji statistik Fisher
Exact Test didapatkan sig. (2 tailed) = 0,033 < = 0,05 artinya H0 ditolak dan H1
diterima, yang artinya ada hubungan status gizi remaja putri dengan siklus menstruasi di
MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto.
Remaja putri disarankan untuk meningkatkan pengetahuannya tentang asupan gizi
yang baik dan seimbang sesuai dengan usianya agar ia tidak mengalami gangguan pada
siklus menstruasinya. Bagi responden yang mengalami gangguan siklus menstruasi
sebaiknya segera memeriksakan diri lebih lanjut pada tenaga kesehatan setempat.
Bidan disarankan untuk memberikan penyuluhan gizi bagi para remaja putri
khususnya berkaitan dengan menu harian yang menarik dan bergizi, sehingga memotivasi
remaja putri untuk mengkonsumsi makanan bergizi bagi pertumbuhannya. Bidan juga
dapat memberikan informasi pada ibu- ibu yang mempunyai anak usia remaja awal untuk
lebih memperhatikan asupan gizi yang baik dan lebih memperhatikan siklus menstruasi
anaknya, jika mengalami masalah segera dikonsultasikan pada tenaga kesehatan.
Masyarakat khususnya ibu yang mempunyai remaja putri agar selalu menjaga
asupan gizi anaknya, sehingga tidak mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
anak khususnya siklus menstruasinya.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa status sosial ekonomi memiliki
pengaruh terhadap status gizi remaja putri, namun belum dibuktikan secara ilmiah. Maka
dari itu disarankan peneliti selanjutnya meneliti mengenai pengaruh status sosial ekonomi
terhadap status gizi remaja putri.
DAFTAR PUSTAKA
Adhi (2012). Penyebab Siklus Haid Tidak Teratur. (http://tipskesehatan.web.id, diakses
tanggal 18 April 2012).
Almatsier, Sunita. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Aryani. (2010). Kesehatan Remaja, Problem dan Solusinya. Jakarta: Salemba Medika.
Atmarita dan Tatang S. Fallah. (2004). Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat.
(http://www.gizi.net/kep/download/makalah-wnpg8.doc, diakses tanggal 18 April
2012).
BKKBN Jawa Timur. (2012). Sambut Jambore Nasional, BKKBN Gelar Sosialisasi PIK di
UMM. (http://www.umm.ac.id/id, diakses tanggal 12 April 2012).
Dariyo, A. (2004). Psikologi Perkembangan Remaja. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Departemen Kesehatan RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Jakarta: Depkes RI.
Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto. (2011). Profil Kesehatan Kabupaten Mojokerto
Tahun 2010. Mojokerto: Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto.

150

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Erida. (2011). Macam-macam Gangguan Menstruasi. (http://duniaerida.blogspot.com,


diakses tanggal 14 April 2012).
FKM UI. (2007). Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa.
Henderson, C. (2005). Buku Ajar Keperawatan Kebidanan. Jakarta: EGC.
Hendrik. (2006). Problema Haid: Tinjauan Syariat Islam dan Media. Solo: Tiga Serangkai.
Hidayat, A.A.A. (2005). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta: EGC Salemba
Medika.
______________. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta:
Salemba Medika.
Hutomo. (2012). Hubungan antara Tingkat Depresi Remaja dengan Keteraturan Siklus
Menstruasi Mahasiswi Pendidikan Dokter FKIK UMY. (http://digilib.fk.umy.ac.id,
diakses tanggal 21 April 2012).
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). (2002). Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jilid 1.
Jakarta: IDAI.
Indiarti, M.T. (2007). Kalender Seksual Anda. Jakarta Plamatera Publishing.
Kartono, Kartini. (2006). Psikologi Wanita: Mengenal Gadis Remaja dan Wanita Dewasa.
Bandung: Mandar Maju.
Klik Dokter. (2011). Telat Haid. (http://www.klikdokter.com, diakses tanggal 2 Mei 2012).
Kusmiran, E. (2011). Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta: Salemba Medika.
Lestari, N. (2011). Tips Praktis Mengetahui Masa Subur. Jakarta: Kata Hati.
Lusiana dan Dwiriani. (2007). Usia Menarche, Konsumsi Pangan, dan Status Gizi Anak
Perempuan Sekolah Dasar di Bogor. (http://repository.ipb.ac.id, diakses tanggal 14
April 2012).
Mansyur, H. (2009). Psikologi Ibu dan Anak untuk Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
Manuaba, I.A.C. (2008). Gawat Darurat Obstetri Ginekologi dan Obstetri Ginekologi Sosial
untuk Profesi Bidan. Jakarta: EGC.
_____________. (2010). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB. Jakarta: EGC.
Narbuko, Cholid, Abu Achmadi. (2002). Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.
Noorkasiani, dkk. (2009). Sosiologi Keperawatan. Jakarta: EGC.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
___________________. (2007). Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Edisi 2.
Jakarta: Salemba Medika.
Okanegara. (2008). Remaja dan Perubahan Biopsikososial. (http://okanegara.wordpress.com,
diakses tanggal 12 April 2012).
Paath, Erna Francin, et. al. (2004). Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta: EGC.
Potter & Perry. (2005). Fundamental Keperawatan. Volume I. Jakarta: EGC.
Proverawati, A dan Misaroh, S. (2009). Menarche, Menstruasi Pertama Penuh Makna.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Riduwan dan Akdon. (2007). Rumus dan Data dalam Analisis Statistika. Bandung: Alfabeta.
Roveny. (2010). Hubungan Status Nutrisi dengan Usia Menarche pada Siswi SMP dan SMA
Ahmad Yani Binjai Tahun Ajaran 2010-2011. (http://repository.usu.ac.id, diakses
tanggal 15 April 2012)
Sastroasmoro, Sudigdo dan Sofyan Ismael. (2008). Dasar-dasar Metodologi Penelitian
Klinis. Jakarta: Sagung Seto.
Sedyaoetama, Achmad Djaeni. (2008). Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jilid II.
Jakarta: Dian Rakyat.
Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

151

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Soetjiningsih. (2007). Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: Sagung


Seto.
Sugiyono. (2009). Statistik Non Parametris untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sunarto dan Mayasari. (2010). Hubungan Kelebihan Berat Badan dan Menarche Dini.
Jakarta: Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes. Vol. 1 No. 4 Oktober 2010.
Supariasa, I Dewa Nyoman, dkk. (2002). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Suryoprajogo, N. (2008). Kamasutra for Pregnancy. Yogyakarta: Golden Books.
Waryana. (2010). Gizi Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Rihama.
Wawan, A. dan Dewi M. (2010). Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku
Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika.
Yuniastuti, Ari. (2008). Gizi dan Kesehatan. Jakarta: Graha Ilmu.

152

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

PENGGUNAAN ZERO INFLATED POISSON REGRESSION DALAM PEMODELAN


PENGARUH PENOLONG PERSALINAN DAN PELAYANAN NIFAS TERHADAP
ANGKA KEMATIAN IBU DI PROPINSI JAWA TIMUR TAHUN 2010
Eka Diah Kartiningrum
Dosen Poltekkes Majapahit
ABSTRACT
The objective of this research was to model the factors that affecting maternal mortality rate
in East Java in 2010 using ZIP. This was a non reactive research with profile of East Java
Provincial Health Office in 2010 as the secondary data. The profile data were the results of
health centers routine recapitulation from information and Research and Development
Section on the whole regencies/cities in East Java. The unit analysis in this research was 950
health centers in the regions of East Java. The estimated results of ZIP log model parameter
showed that childbirth assistance by health practitioners (7 = -0.050655), postnatal care
(8 = 0.004500), while the estimated parameter logit model showed that occurrence
probability of maternal mortality in East Java in 2010 was determined by the delivery helped
by health practitioners (7 = -0.0662297) and care during postnatal period (7 = 0.012563). Each increase in birth numbers helped by health practitioners would reduce
maternal mortality by 0.9506 times. Postnatal services would influence about 1.0045 times
on the increased risk of maternal death, the increased pregnancy complications, and also the
increased of maternal mortality probability by 1.0045 times. The conclusion is that ZIP
estimates the incidence of maternal mortality far better than other forms of discrete data
with many 0 values on the dependent variable.
Keyword: Maternal Mortality, ZIP,delivery, postnatal.
A. PENDAHULUAN
Analisis regresi merupakan metode statistika yang populer untuk mengkaji hubungan
antara variabel respon Y dengan variabel prediktor X, sedangkan regresi Poisson merupakan
salah satu analisis regresi yang dapat menggambarkan hubungan antara variabel respon (Y)
dimana variabel respon berdistribusi Poisson dengan variabel prediktor (X). Model Poisson
banyak digunakan dalam berbagai bidang termasuk kesehatan masyarakat, epidemiologi,
sosiologi, psikologi, teknik, pertanian dan lainnya (Bohning, Dietz, Schlattmann , 2012).
Khoshgoftaar, Gao, Szabo (2004) dalam Andres (2011) menyatakan bahwa metode
regresi Poisson mensyaratkan adanya equidispersi yaitu kondisi dimana nilai mean dan
varians dari variabel respon bernilai sama. Namun adakalanya terjadi fenomena overdispersi
dalam data yang dimodelkan dengan distribusi Poisson. Overdispersi berarti data memiliki
varians yang lebih besar daripada mean. Bohning, dkk (2012) menyatakan bahwa overdispersi
terjadi karena parameter tunggal dalam distribusi Poisson yaitu seringkali tidak cukup
berarti untuk mendeskripsikan populasi. Overdispersi menunjukkan bahwa terdapat
heterogenitas populasi atau dengan kata lain populasi terdiri dari berbagai sub populasi,
dimana sub populasi tersebut tidak terobservasi dalam sampel. Akibatnya estimasi parameter
pada data dengan kondisi yang demikian menjadi tidak tepat. Jansakul dan Hinde (2001)
dalam Andres (2011) menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya overdispersi adalah
lebih banyak observasi yang bernilai nol. Loeys, T., Moerkerke, B., De Smet, O., and Buysse,
A, (2012) menyatakan bahwa dalam regresi Poisson, banyaknya nilai nol pada hasil observasi
akan melampaui nilai prediksi (terjadi inflasi). Untuk mengatasi hal ini maka banyak metode

153

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

yang dikembangkan. Salah satu metode untuk menganalisa observasi dengan nilai nol yang
lebih banyak adalah dengan model Zero Inflated Poisson Regression.
Analisis faktor yang mempengaruhi jumlah kematian ibu hamil dan nifas yang
dilakukan pada data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur tahun 2010 menunjukkan
ciri-ciri terjadinya overdispersi akibat banyaknya hasil observasi yang bernilai nol, sehingga
ZIP merupakan pilihan yang paling baik untuk memodelkan angka kematian ibu di Propinsi
Jawa Timur tahun 2010. Angka kematian ibu dipengaruhi oleh 3 faktor utama menurut Mc
Charty & Maine dalam Arulita (2007) diantaranya determinan dekat (komplika si kehamilan,
komplikasi persalinan dan nifas), determinan antara ( Status kesehatan ibu yang terdiri dari
anemia, status gizi, penyakit yang diderita ibu, riwayat komplikasi kehamilan dan persalinan
sebelumnya; Status reproduksi yang terdiri dari usia ibu hamil, jumlah kelahiran, jarak
kehamilan, dan status perkawinan ibu; Akses terhadap pelayanan kesehatan; Perilaku
penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan yang terdiri dari perilaku ber KB, perilaku
pemeriksaan kehamilan / antenatal care yang mencakup K1, K4, Fe1, Fe3 dan TT1 sampai
TT5, penolong persalinan dan tempat persalinan), sedangkan determinan jauh meliputi faktor
sosiokultural, ekonomi, agama, tingkat pendidikan ibu serta pengetahuan ibu tentang tanda
bahaya kehamilan.
Salah satu indikator kematian maternal yang lain adalah persalinan oleh tenaga
kesehatan. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah pertolongan persalinan oleh
tenaga ahli yang profesional (dengan kompetensi kebidanan) dimulai dari lahirnya bayi,
pemotongan tali pusat sampai keluarnya plasenta. Komplikasi dan kematian maternal serta
bayi baru lahir sebagian besar terjadi dimasa persalinan. Hal ini disebabkan persalinan yang
tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan (profesional)
(Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2010). Tenaga penolong persalinan yang tidak
profesional akan menyebabkan timbulnya bahaya pada ibu bersalin yang pada akhirnya
berdampak pada terjadinya kematian pada ibu nifas akibat kurang tepat dalam pengendalian
perdarahan yang terjadi pada masa nifas. Komplikasi yang timbul pada persalinan dan masa
nifas merupakan penyebab langsung kematian maternal. Komplikasi yang terjadi menjelang
persalinan, saat dan setelah persalinan terutama adalah perdarahan, partus macet atau partus
lama dan infeksi akibat trauma pada persalinan (Arulita, 2007). Menurut Varney, Kriebs, dan
Gegor (2002), komplikasi yang terjadi pada masa nifas antara lain infeksi puerperium,
mastitis, tromboplebitis dan emboli paru, hematoma, hemoragi pascapartum hebat, sub
involusi dan depresi pasca partum. Selama masa nifas pelayanan kesehatan yang diterima ibu
nifas antara lain pemeriksaan kondisi umum (tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu),
pemeriksaan lokhia, dan pengeluaran per vaginam lainnya, pemeriksaan pa yudara, dan
anjuran ASI eksklusif 6 bulan, pemberian kapsul vitamin A 200.000 IU sebanyak 2 kali ( 2 x
24 jam) dan pelayanan KB pasca persalinan. Perawatan ibu nifas yang tepat akan
memperkecil resiko kelainan atau bahkan kematian pada ibu nifas. Cakupan pelayanan nifas
merupakan salah satu indikator kesehatan. Cakupan pelayanan nifas yang meningkat
menunjukkan bahwa petugas kesehatan semakin proaktif dalam melakukan pelayanan pada
ibu nifas dalam rangka memperkecil resiko kelainan bahkan kematian pada ib u nifas (Dinkes
Propinsi Jawa Timur, 2010).
Analisis kematian ibu Tahun 2010 di Indonesia telah dilakukan oleh Depkes RI dan
dipresentasikan dalam Pertemuan Teknis Kesehatan Ibu di Bandung tahun 2011 oleh Direktur
Bina Kesehatan Ibu, dr. Ina Hernawati, MPH. Analisis kematian ibu di Indonesia dilakukan
menggunakan Regresi Linier dengan variabel prediktor antara lain: cakupan antenatal care
(K1-K4), cakupan penolong persalinan, rasio bidan/ 1000 kelahiran, rasio bidan desa yang
tinggal di desa, persalinan di fasilitas kesehatan, sehingga dapat diperoleh kesimpulan bahwa
untuk mencapai target MDGs maka 7.187 kematian ibu harus dicegah, dan persalinan oleh
tenaga kesehatan 95% hanya dapat mencegah 3.138 kematian (Depkes RI, 2011).
154

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Dampak ketidaktepatan pemilihan penggunaan regresi adalah ketidaktepatan dalam


estimasi parameter sehingga pada akhirnya berdampak pada pengambilan kesimpulan dan
keputusan pada program, sehingga perencanaan program pencegahan kematian ibu
menggunakan parameter yang sesuai dengan regresi linier menjadi tidak tepat. Regresi ZIP
mampu mengendalikan overdispersi dalam distribusi Poisson dan inflasi nilai 0 sehingga
akurasi estimasi parameter dapat terjamin. Secara umum model regresi ZIP masih jarang
digunakan untuk data count yang menunjukkan adanya inflasi akibat nilai 0 dan overdispersi.
Sehingga peneliti tertarik untuk mengaplikasikan regresi ZIP dalam menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur pada tahun 2010.
B. METODE
Penelitian ini merupakan penelitian non reaktif atau unobstrusif measures karena pada
pengukuran variable penelitian yang akan digunakan peneliti menggunakan data sekunder.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah data ibu tiap puskesmas baik pustu maupun
puskesmas pembina di seluruh Propinsi Jawa Timur yang terdapat di Profil Dinas Kesehatan
Propinsi Jawa Timur tahun 2010 yang terdiri dari data tentang jumlah kematian ibu (Y),
Persalinan oleh Nakes (X7), dan Pelayanan Nifas (X8). Langkah awal dalam penelitian ini
adalah dimulai dengan pengujian distribusi data menggunakan uji Kolmogorov Smirnov 1
sampel. Pengujian dilakukan untuk membuktikan bahwa bentuk distribusi variabel angka
kematian ibu (Y) mengikuti distribusi Poisson.
Apabila data berdistribusi Poisson maka dilanjutkan dengan analisis regresi Poisson.
Dalam analisis regresi Poisson dilakukan penaksiran parameter model regresi Poisson dan
ditentukan model yang paling fit terhadap data. Kemudian menghitung nilai Devians untuk
mengidentifikasi overdispersi. Jika terjadi overdispersi maka dilanjutkan dengan estimasi
parameter model log dan logit, menguji kesesuaian model serta menguji parameter secara
parsial menggunakan regresi ZIP. Langkah selanjutnya adalah pengujian model terbaik yang
dilakukan dengan menggunakan AIC.
C. HASIL
Uji distribusi Poisson dilakukan dengan menggunakan histogram sebagai berikut:

Gambar 1 Diagram Batang Angka Kematian Ibu


Gambar 1 menjelaskan bahwa nilai 0 mendominasi data angka kematian ibu di
Propinsi Jawa Timur tahun 2010. Pada data tersebut juga tidak terdapat data yang memiliki
nilai dibawah 0. Bentuk frekuensi diatas sama dengan bentuk distribusi Poisson dengan nilai 0
155

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

melebihi 63,7 % dari total data. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov menghasilkan p value (0,562)
> (0,05), nilai D ekstrim sebesar 0,026 lebih kecil daripada nilai D tabel sebesar 0,0529
sehingga dapat disimpulkan bahwa distribusi kematian ibu di Propinsi Jawa Timur Tahun
2010 mengikuti bentuk distribusi Poisson.
Perhitungan Hasil Koefisien Dispersi menjelaskan bahwa Nilai Devians/ db lebih dari
1 sehingga dapat dikatakan bahwa terjadi overdispersi pada data tersebut. Pengujian
kesesuaian model angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010 dapat dilakukan
dengan berbagai jenis analisis regresi diantaranya regresi linier, regresi Poisson dan ZIP.
Tabel 1 Hasil Analisa Regresi Linier Dalam Pemodelan Angka Kematian Ibu di
Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Parameter
Estimasi
SE
t-value
Pr(>|t|)
Intercept
0.7528273 0.5708559
1.319
0.1876
Linakes (X7)
- 0.0110654 0.0049171 - 2.250
0.0247
Pelayanan Nifas (X8)
0.0063417 0.0035045
1.810
0.0707
SE Residual : 1.984
DF = 937
2
R : 0.01375
Adj R2 : 0.00428
F-statistic : 1.452
P value : 0.1615
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Hasil analisa pada tabel 1 dengan menggunakan regresi linier menunjukkan bahwa F
hitung sama dengan 1.452 dengan nilai p (0,1615) > (0,05). Sehingga disimpulkan bahwa
model tidak signifikan. Selain itu dilihat dari nilai R squared juga menghasilkan nilai yang
sangat kecil yakni sebesar 0,01375. Nilai tersebut berarti bahwa hanya 1,375 % angka
kematian ibu dapat dijelaskan oleh linakes, pelayanan nifas dan komplikasi persalinan.
Sehingga dengan demikian menggunakan regresi linier sederhana tidak mampu menjelaskan
pengaruh variabel prediktor terhadap variabel respons. Penggunaan regresi linier juga tidak
tepat pada model faktor yang mempengaruhi angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur
sebab dalam uji asumsi regresi model tersebut tidak terpenuhi syarat homoscedatisitas pada
residual, dan tidak linier serta mengikuti bentuk distribusi Poisson.
Tabel 2 Hasil Analisa Regresi Poisson Dalam Pemodelan Angka Ke matian Ibu di
Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Parameter
Estimasi
SE
z-value
Pr(>|z|)
Linakes (X7)
- 0.0161938 0.0036319 - 4.459 8.24e-06 ***
Pelayanan Nifas (X8)
0.0020245 0.0012797
1.582 0.113637
Null Deviance : 1564.7
df: 946
Residual Deviance : 1495.3
df: 937
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai null deviance yang menunjukkan sebesar 1564,7
dibandingkan dengan X2 tabel pada sama dengan 5% dan derajat bebas sama dengan 946
sebesar 1018.6630. Nilai p (2.91554E-33) jauh lebih kecil dibandingkan dengan (0.05).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa tanpa melibatkan variabel prediktor, model tersebut
signifikan. Demikian pula dengan Nilai Residual Deviance menunjukkan 1495.3
dibandingkan dengan nilai X2 tabel pada sama dengan 5% dan derajat bebas sama dengan
937 adalah sebesar 1009.3188. Nilai p (2.25521E-28) jauh lebih kecil dari (0.05). Nilai
tersebut menunjukkan bahwa dengan melibatkan semua variabel prediktor maka model
tersebut signifikan. Hasil dari anlisis regresi Poisson didapatkan variabel prediktor yang
valid yaitu cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan sedangkan pelayanan nifas
156

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

tidak mempengaruhi angka kematian ibu. Namun hasil analisa regresi Poisson tidak mungkin
digunakan akibat terjadinya overdispersi dan inflasi dari nilai 0. Estimasi menggunakan
Poisson akan berdampak pada ketidaktepatan hasil estimasi karena dua indikasi tersebut.
Sehingga dilanjutkan pada estimasi menggunakan Zero Inflated Poisson Regression (ZIP
Regression).
Tabel 3 Pengujian Parameter Model Log pada Model 1
Parameter
Estimasi
SE
z-value
Pr(>|z|)
Intercept
4.329987 0.340693
12.709
<2e-16 ***
Linakes (X7)
- 0.050904 0.003584
- 14.201 <2e-16 ***
Pelayanan Nifas (X8)
0.004237 0.001455
2.912
0.0036 **
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Tabel 4 Pengujian Parameter Model Logit pada Model 1
Parameter
Estimasi
SE
z-value
Pr(>|z|)
Intercept
7.178526 1.166170
6.156
7.48e-10 ***
Linakes (X7)
- 0.072675 0.012057 - 6.027 1.67e-09 ***
Pelayanan Nifas (X8)
- 0.014185 0.005327 - 2.663
0.00775 **
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Hasil pengujian parameter model log pada tabel 3 menghasilkan 2 variabel yang
signifikan yaitu cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (X7) dan cakupan pelayanan
nifas (X8) demikian juga pada pengujian parameter model logit pada tabel 4. Sehingga
dapat dirumuskan sebagai berikut.

log( i ) 4.329987 0,050904 X 7 0,004237 X 8

log( i ) 4.329987 0,050904 Linakes 0,004237cakupan _ pelayanan _ nifas

log it( pi ) 7,178526 0,072675 X 7 0,014185 X 8

log it( pi ) 7,178526 0,072675 Linakes 0,014185cakupan _ pelayanan _ nifas


Pemilihan model terbaik anlisis regresi menggunakan AIC (Akaike Information
Criterion). Jika nilai AIC mendekati nol maka semakin baik model yang digunakan (Hall
& Shen, 2009). Perbandingan model yang terbaik antara hasil analisa regresi linier,
Poisson dan ZIP dapat dilihat dalam Tabel 5
Tabel 5 Perbandingan Nilai AIC pada Regresi Linier, Poisson dan ZIP
Model
AIC
Model Regresi Linier
3996.563
Model Regresi Poisson
2392.636
Model Regresi ZIP
2199.391
Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
Nilai AIC pada ZIP dalam tabel 5 jauh lebih rendah dibandingkan kedua jenis regresi
lainnya pada pengujian model secara lengkap. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika
dibandingkan dengan bentuk regresi linier dan Poisson, ZIP jauh lebih baik dalam
mengendalikan inflasi dari nilai 0 dan overdispersi, sebab model yang terbaik dalam
menggambarkan faktor yang mempengaruhi kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010
adalah ZIP. Perhitungan besarnya pengaruh setiap parameter terhadap kematian ibu
berdasarkan model ke 2 dapat dijelaskan bahwa Jika variabel yang lain adalah konstan maka
peranan cakupan penolong persalinan dapat dihitung sebesar exp (-0,050904)= 0,95 ~ 1.
Maka setiap peningkatan 1% cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan maka
akan berdampak pada penurunan rerata kematian ibu sebes ar 1 orang. Sedangkan peranan
cakupan pelayanan nifas oleh tenaga kesehatan dapat dijelaskan berdasarkan exp (0,004237)
157

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

= 1,004 ~ 1. Maka setiap peningkatan 1% cakupan pelayanan masa nifas oleh tenaga
kesehatan maka akan berdampak pada peningkatan rerata kematian ibu sebesar 1 orang.
Hasil parameter model logit didapatkan bahwa jika parameter lain dianggap konstan
maka peningkatan 1% pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak
pada penurunan probabilitas kematian ibu sebanyak 0,5 kali dan peningkatan 1% pelayanan
masa nifas oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak pada penurunan probabilitas
kematian ibu sebanyak 0,5 kali.
Model ke 1 menghasilkan nilai rerata jumlah kematian ibu () sebesar 1,36 dan varian
sebesar 0,92 serta rerata peluang tidak terjadi kematian ibu di puskesmas sebesar 0,5021. Jika
dibandingkan dengan nilai dan varian sebelum menggunakan model maka disimpulkan
model ZIP mampu menekan varian sehingga mengendalikan overdispersi yang terjadi pada
data kematian ibu. Pada pengujian koefisien overdispersi terjadi penurunan koefisien
overdispersi sebelum menggunakan ZIP sebesar 1,59 menjadi 0.000767 menjadi jauh lebih
kecil. Sehingga bisa disimpulkan bahwa ZIP merupakan salah satu metode yang dapat
mengatasi masalah overdispersi pada data yang mengalami banyak inflasi akibat nilai 0
melebihi 63,7% dari total data.
D. PEMBAHASAN
Regresi Zero Inflated Poisson digunakan pada data dengan variable dependen (Y)
yang berdistribusi Poisson. Distribusi Poisson diaplikasikan pada kejadian dalam bentuk
count (jumlah). Angka kematian ibu dalam profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur
merupakan data yang berbentuk jumlah (count). Distribusi Poisson merupakan distribusi
variabel random diskrit namun untuk suatu peristiwa yang jarang terjadi. Kematian ibu
merupakan suatu kejadian yang jarang terjadi. Hal ini terbukti bahwa pada banyak unit
pengamatan terdapat banyak nilai 0 (tidak terjadi kematian ibu).
Distribusi Poisson merupakan distribusi diskrit. Untuk nilai yang kecil maka
distribusinya sangat menceng dan untuk nilai yang besar akan lebih mendekati distribusi
normal. Untuk kasus yang jarang terjadi maka nilai akan kecil. Hal ini juga terjadi pada data
angka kematian ibu dengan nilai rata-rata kurang dari 1 namun standar deviasi lebih dari 1.
Angka ini terjadi karena kasus memang sangat jarang terjadi serta heterogen pada setiap
puskesmas. Nilai pengamatan dalam distribusi Poisson selalu positif dan tidak pernah negatif.
Masalah yang sering terjadi dalam distribusi Poisson adalah inflasi dari nilai 0.
Kasus yang gagal terjadi atau kegagalan suatu pengamatan mengakibatkan munculnya nilai 0
pada data. Nilai 0 pada data mengakibatkan ketidaktepatan dalam melakukan estimasi.
Histogram pada gambar 1 menjelaskan bahwa nilai 0 terdapat pada lebih dari 63,7 % data.
Dua metode yang bisa diaplikasikan untuk inflasi nilai 0 antara lain model Zero Inflated
Poisson (ZIP) dan Zero Inflated Binomial Negatif (ZINB). Tetapi penggunaan ZINB tidak
memungkinkan karena data tidak mengikuti bentuk distrib usi binomial negatif. Keberadaan
inflasi dari nilai 0 adalah menjelaskan bahwa kejadian kematian ibu di Propinsi Jawa Timur
adalah suatu kasus yang sangat jarang terjadi di setiap puskesmas.
Angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010 mempunyai indikasi
mengalami overdispersi. Multikolinieritas merupakan pendorong terjadinya overdispersi.
Hasil analisa asumsi regresi menunjukkan bahwa nilai VIF (Variance Inflation Factor)
menunjukkan nilai < 10. Sehingga pada semua variabel prediktor menunjukkan tidak terjadi
multikolinieritas. Jadi overdispersi dalam kasus di Propinsi Jawa Timur murni terjadi karena
kegagalan terjadinya suatu kasus atau akibat nilai 0 yang berjumlah terlalu banyak pada
variabel kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010.
Kejadian overdispersi dalam distribusi Poisson mengakibatkan ketidaktepatan
model yang dibentuk, selain itu overdispersi mengakibatkan estimasi yang kurang tepat
terhadap parameter model regresi. Implikasi dari tidak terpenuhinya equidispersion adalah
regresi Poisson tidak sesuai lagi untuk memodelkan data. Selain itu, model yang terbentuk
158

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

akan menghasilkan estimasi parameter yang bias. Overdispersion juga akan membawa
konsekuensi pada nilai penduga bagi kesalahan baku yang lebih kecil (underestimate) yang
selanjutnya dapat mengakibatkan kesalahan (misleading) pada inferensia bagi parameternya
(Istiana, 2011). Salah satu alternatif metode yang dapat menyelesaikan masalah over ataupun
underdispersi dalam regresi Poisson adalah ZIP.
Penelitian Raihana (2009), menjelaskan bahwa overdispersi pada regresi Poisson
menyebabkan underestimate standar error yang menyebabkan inferensi yang salah sebagai
konsekuensinya. Regresi Poisson paling sesuai untuk data yang tidak mengalami overdispersi,
sedangkan untuk data yang mengalami overdispersi paling baik menggunakan ZIP dan ZINB.
Pamungkas (2003) menjelaskan bahwa pada data yang mengalami overdispersi dan
dimodelkan dengan Poisson memiliki nilai kesalahan mutlak yang besar dan mendekati 1,
sedangkan pada data yang tidak mengalami overdispersi dan dimodelkan menggunakan
regresi Poisson memiliki kesalahan mutlak yang kecil dan mendekati nol. Pada jumlah data
(n) yang kecil, estimator yang dihasilkan data overdispersi cenderung membesar sedangkan
pada data yang tidak overdispersi cenderung mendekati nilai yang sesungguhnya (kesalahan
mutlak kecil).
Pemilihan model terbaik ditentukan menggunakan Akaikes Information Criterion
(AIC). Bila dibandingkan antara penggunaan Regresi linier, Poisson dengan ZIP, dapat
disimpulkan bahwa penggunaan ZIP jauh lebih bagus dibandingkan linier dan Poisson.
Penggunaan regresi linier tidak dimungkinkan sebab asumsi regresi yang tidak terpenuhi.
Asumsi yang tidak terpenuhi menyebabkan ketidaktepatan pada estimasi yang dihasilkan.
Regresi linier adalah metode statistika yang digunakan untuk membentuk model hubungan
antara variabel terikat (dependen; respon; Y) dengan satu atau lebih variabel bebas
(independen, prediktor, X). Apabila banyaknya variabel bebas hanya ada satu, disebut sebagai
regresi linier sederhana, sedangkan apabila terdapat lebih dari 1 variabel bebas, disebut
sebagai regresi linier berganda. Analisis regresi linier memiliki 3 kegunaan, yaitu untuk
tujuan deskripsi dari fenomena data atau kasus yang sedang diteliti, untuk tujuan kontrol,
serta untuk tujuan prediksi. Regresi linier mampu mendeskripsikan fenomena data melalui
terbentuknya suatu model hubungan yang bersifatnya numerik. Regresi juga dapat
digunakan untuk melakukan pengendalian (kontrol) terhadap suatu kasus atau ha l- hal yang
sedang diamati melalui penggunaan model regresi yang diperoleh. Selain itu, model
regresi juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan prediksi untuk variabel terikat.
Namun yang perlu diingat, prediksi di dalam konsep regresi hanya boleh dilakukan pada data
berskala kontinu, bukan diskrit seperti jumlah kematian ibu.
Sebelum menggunakan ZIP, data angka kematian ibu dipastikan telah mengalami
overdispersi. Koefisien overdispersi pada hasil analisa regresi Poisson lebih tinggi jika
dibandingkan dengan hasil analisa menggunakan ZIP. Walaupun masih ada indikasi terjadi
overdispersi karena nilai 2 / db (1,636) masih lebih besar daripada 1 namun angka ini jauh
lebih menurun dibandingkan nilai 2 / db pada Poisson yaitu 5,913. Nilai deviance
perhitungan model regresi Poisson dengan ZIP juga relatif berbeda. Deviance pada model
yang dihasilkan oleh ZIP jauh lebih besar bila dibandingkan dengan model yang dihasilkan
Poisson. Koefisien overdispersi juga telah mengalami penurunan dibandingkan sebelum
menggunakan ZIP yaitu sebesar 1,59 menjadi 0.000767 menjadi jauh lebih kecil. Hal ini
dapat disimpulkan bahwa ZIP lebih mampu mengendalikan overdispersi pada regresi Poisson,
walaupun kurang maksimal.
Hasil penelitian Loeys, T., Moerkerke, B., De Smet, O., and Buysse, A (2011)
dalam British Journal of Mathematical and Statistical Psychology tentang perbandingan ZIP
dengan berbagai analisis data count yang mengandung nilai 0 menjelaskan bahwa ZIP
memiliki angka AIC yang lebih rendah dibandingkan Poisson, sehingga ZIP jauh lebih baik
dibandingkan dengan Poisson dalam mengestimasi data yang banyak mengandung nilai 0.
159

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

Namun bila dibandingkan dengan hasil penelitian dari Ridout, Hinde, Demtrio, (2001)
tentang perbandingan model antara regresi ZIP dengan ZINB (Zero Inflated Binomial Negatif
) dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien dispersi pada ZIP masih diatas 1 sedangkan
penggunaan ZINB sudah mampu menurunkan nilai koefisien dispersi sampai sedikit dibawah
atau sama dengan 1. Sehingga bisa disimpulkan bahwa ZIP masih kurang baik dalam
mengendalikan koefisien dispersi pada data skor dengan angka nol yang banyak.
Artikel yang ditulis oleh Xue, D.C., Ying, X.F., (2010) tentang model regresi zero
inflated yang digunakan pada missing covariate dengan jumlah nilai missing berkisar antara
12 sampai 27 % menunjukkan bahwa ZIP mempunyai AIC yang relative lebih bagus
dibandingkan dengan Poisson, ZINB, dan Negatif Binomial. Hal ini menegaskan bahwa ZIP
hanya mampu mengendalikan nilai 0 namun belum sepenuhnya mengendalikan overdispersi.
Hal ini bertentangan dengan artikel tentang Zero-Inflated Count Models and their
Applications in Public Health and Social Science yang ditulis Bohning, D., Dietz, E.,
Schlattmann, P., (2012) yang menjelaskan bahwa pada data dengan jumlah nol sebesar kurang
lebih 40%, ZIP dapat menurunkan koefisien overdispersi sebesar 77% (semula sebesar 21.65
menjadi 1,36) pada data prospective study of caries in Belo Horisonte (Brasilian ). Namun
pada hasil tersebut tetap terjadi overdispersi walaupun telah diturunkan.
Model log dan logit pada model 1 berdasarkan AIC disimpulkan sebagai model
yang paling baik dalam menjelaskan angka kematian ibu. Besarnya efek dari cakupan
persalinan adalah -0,050655 terhadap log rata-rata kematian ibu, atau efeknya sama dengan e0,050655
= 0,9506 terhadap rata-rata kematian ibu. Hal tersebut berarti tiap kenaikan jumlah
persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan akan menurunkan angka kematian ibu sebesar
0,9506 kali atau (1-0,9504)*100% sama dengan 4,94%. Sedangkan peningkatan satu unit
pelayanan masa nifas akan mempunyai efek sebesar 1,0045 kali terhadap peningkatan angka
kematian ibu. Peningkatan satu unit komplikasi kehamilan juga berdampak pada peningkatan
angka kematian ibu sebesar 1,0045 kali. Pada model logit hanya terdapat 2 variabel yang
sangat menentukan penurunan probabilitas kejadian kematian ibu yaitu cakupan persalinan
oleh tenaga kesehatan dan pelayanan masa nifas. Kunjungan nifas minimal 3 kali dengan
distribusi waktu : 1). Kunjungan nifas pertama pada 6 jam setelah persalinan sampai 3 hari;
2). Kunjungan nifas yang kedua dilakukan pada minggu ke-2 setelah persalinan; 3).
Kunjungan nifas yang ketiga dilakukan pada minggu ke-6 setelah persalinan. Diupayakan
kunjungan nifas ini dilakukan bersamaan dengan kunjungan neonatus di posyandu ( Kemkes
RI, 2009 dalam Dinkes Propinsi Jawa Timur, 2010).
Komplikasi yang timbul pada persalinan dan masa nifas merupakan penyebab
langsung kematian maternal. Komplikasi yang terjadi menjelang persalinan, saat dan set elah
persalinan terutama adalah perdarahan, partus macet atau partus lama dan infeksi akibat
trauma pada persalinan (Arulita, 2007). Menurut Varney, Kriebs, dan Gegor (2002),
komplikasi yang terjadi pada masa nifas antara lain infeksi puerperium, mastitis,
tromboplebitis dan emboli paru, hematoma, hemoragi pascapartum hebat, sub involusi dan
depresi pasca partum. Pertolongan persalinan menurunkan resiko terjadinya komplikasi akibat
persalinan dan masa nifas, sehingga kematian ibu dapat dicegah. Pelayanan masa nifas yang
tepat mampu mengatasi komplikasi yang terjadi akibat persalinan dan kelainan yang muncul
setelah proses persalinan. Pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang profesional
dapat menurunkan angka kematian ibu.
E. KESIMPULAN
Rerata kejadian kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010 sebesar 1,36 dengan
varian sebesar 0,92. Rerata probabilitas tidak terjadi kematian ibu di setiap puskesmas tahun
2010 adalah sebesar 0,5021. Data angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010
mengikuti bentuk distribusi Poisson dan mengalami overdispersi. Estimasi parameter model
log menunjukkan bahwa pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, dan pelayanan nifas,
160

HOSPITAL MAJAPAHIT

Vol 4 No. 2 Nopember 2012

mempengaruhi jumlah kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010, sedangkan estimasi
parameter model logit menunjukkan bahwa probabilitas kejadian kematian ibu di Propinsi
Jawa Timur tahun 2010 dipengaruhi oleh persalinan oleh tenaga kesehatan, dan pelayanan
masa nifas.
DAFTAR PUSTAKA
Andres, N. D. 2011. Pemodelan Penyakit Malaria Di Provinsi Jawa Barat Dengan Regresi
Zero-Inflated Poisson. http://repository.upi.edu (sitasi tanggal 20 Maret 2012. pukul
20.09 WIB))
Arulita. 2007. Faktor-faktor Resiko yang Mempengaruhi Kematian Maternal (Studi Kasus di
Kabupaten Cilacap). Tesis. FKM-Universitas Diponegoro Semarang.
Bohning, D., Dietz, E., Schlattmann, P. 2012. Zero Inflated Count Model and Their
Applications in Public Health and Social Science. Paper dalam http://www.ipn.unikiel.de (sitasi tanggal 06 Maret 2012 pukul 08.03 WIB).
Dinkes Propinsi Jawa Timur. 2011. Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur tahun 2010.
Surabaya: Dinkes Propinsi Jatim
Fauziah dan Sutejo. 2012. Keperawatan Maternitas Kehamilan. Vol 1. Jakarta: Kencana.
Famoye, F., & Singh, K.P. 2006, Zero-Inflated Generalized Poisson Regression Model with
an Application to Domestic Violence Data. Journal of Data Science 4 (2006) 117-130
Hall, BB & Shen J. 2009. Robust Estimation For Zero Inflated Poisson Regression.
Scandinavian Journal of Statistic, Blackwell Publishing Ltd.
Istiana, Nofita. 2011. Overdispersion (overdispersi) pada Regresi Poisson. Dalam
http://www.nofitaistiana.wordpress.com (sitasi tanggal 18 Juni 2012 pukul 9.50 am).
Jansakul N dan Hinde, JP. 2001. Score Test For Zero Inflated Poisson Models. Journal
Computational Statistics & Data Analysis. 40. 75-96.
Khoshgoftaar,T.M.,Gao.K, dan Szabo,R.M. 2004. Comparing Software Fault Prediciton Of
Pure and Zero Inflated Poisson Regression Models. International Journal Of System
Science. 36.(11). 705-715
Loeys, T., Moerkerke, B., De Smet, O., and Buysse, A. 2012. The Analysis of Zero Inflated
Count Data: Beyond Zero-Inflated Poisson Regression. British Journal of
Mathematical and Statistical Psychology, Vol 65. 163-180
Pamungkas, Dimas Haryo. 2003. Kajian Pengaruh Overdispersi dalam Regresi Poisson.
Skripsi. Departemen Statistika, FMIPA. IPB.
Ridout, et all. 2001. A Score Test for Testing a Zero-Inflated Poisson Regression Model
Against Zero-Inflated Negative Binomial Alternatives. Article first published online:
24 MAY 2004. Jurnal Biometrics. Volume 57, Issue 1, pages 219223, March 2001.
Varney, H., Kriebs, J..M., Gegor, C.L. 2002. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 1.
Jakarta: EGC.
Widarjono, A. 2010. Analisis Statistika Multivariate Terapan. Yogyakarta: UPP STIM
YKPN.
Xue, D.C., Ying, X.F. 2010. Model selection for zero-inflated regression with missing
covariates. Computational Statistics and Data Analysis Journal Vol 55. p.765-773.
Tahun 2011.

161

También podría gustarte