Está en la página 1de 3

Aliran Estetika Posmodernisme

Post Modern bila diartikan secara harafiah kata-katanya terdiri atas Post yang artinya masa
sesudah dan Modern yang artinya Era Modern maka dapat disimpulkan bahwa Post Modern
adalah masa sesudah era Modern ( era diatas tahun 1960 an ) .Post Modernism sendiri
merupakan suatu aliran baru yang menentang segala sesuatu kesempurnaan dari Modernism,
bahkan tak jarang menentang aturan yang ada dan mencampurkan berbagai macam gaya . Post
Modernism tidak hanya di bidang arsitektur tetapi meliputi segala bidang kehidupan seperti sosial
,politik , dan budaya .
Era posmodern diawali dengan konsep adanya suatu wilayah yang tidak lagi dibatasi oleh satu
negara, melainkan sistem informasi dan komunikasi yang dapat menembus dinding geografis
dan politik. Postmodern menunjuk kepada suasana intelektual dan sederetan wujud kebudayaan
yang meragukan ide-ide, prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh modernisme.
Postmodernisme merupakan konsep periodiasi yang berfungsi untuk menghubungkan
kemunculan bentuk-bentuk formal baru dalam sendi kultural dengan kelahiran sebuah tipe
kehidupan sosial dan sebuah orde ekonomi yang baru; apa yang secara eufismistis disebut
sebagai modernisasi masyarakat pasca industri atau konsumer, masyarakat media atau tontonan
atau kapitalisme multinasional.
Bila perupa modernis mencari hal-hal yang bersifat universal, maka perupa posmodernis
malahan berupaya mengidentifikasikan perbedaan. Kalau modernis percaya pada kemungkinan
seni sebagai komunikasi universal, posmodernis justru tidak percaya bahwa seni mampu
mengemban misi sebagai bahasa komunikasi universal. Mereka bukan mencari hal-hal yang
bersifat universal seperti yang dilakukan perupa modernis melainkan mencari perbedaan spesifik
dan khusus dengan memperlihatkan pluralisme pandangan, provisional, variabel, pergeseran
dan perubahan. Gerakan modernisme kurang menghargai atau memandang rendah nilai
keagungan budaya, mereka merasa terpisah dari peristiwa nyata di tengah masyarakat dan
peradaban. Sementara gerakan posmodernisme, kendati memiliki sikap skeptis dan kritis
terhadap zamannya, tetapi sangat aktif merespons situasi sosial dan politik.
Medium dalam seni posmodern yang terjadi adalah anything goes, yaitu segala material bisa
dijadikan sebagai media dalam berkarya, berbagai materi menjadi simbol untuk menemukan
petanda-petanda yang baru. Implikasinya hasil karya seni rupa cenderung bisa menusuk tatanan
yang telah dibakukan dan cenderung tidak lazim dan aneh bahkan membingungkan dalam
menafsirkan.
Postmodern sering didefinisikan sebagai krisis modernisme atau krisis yang disebabkan oleh
modernisasi. Postmodern muncul karena budaya modern menghadapi suatu kegagalan dalam
strategi visualisasinya. Kegagalan modernisasi bukan terletak pada tekstualitasnya tetapi pada
strategi visualisasinya yang seragam dan membosankan. Jika sebelumnya budaya barat
didominasi oleh budaya verbal maka kini budaya visual menggantikannya. Program aplikasi
komputer yang sebelumnya banyak menggunakan bahasa verbal dan sulit dihafal, kini bahasa

gambar atau ikon banyak digunakan sebagai pengganti bahasa tersebut dan ternyata mudah
dipahami.
Kelemahan dalam postmodernisme ialah mencampurkan gramatika dan tata bahasa visual yang
tidak proporsional, contoh yang paling kentara adalah suguhan acara media tayang televisi yang
menawarkan berbagai hal tanpa mencermati subjek, hierarki sosial ataupun budaya masyarakat,
terlihat pada tayangan iklan rokok dilihat oleh anak-anak ataupun peristiwa serius dapat menjadi
dagelan konyol ketoprak humor.
11111Wacana postmodernisme, menjadi suatu budaya-sekaligus-nilai dan tujuan dalam
perkembangan estetika seni postmodern. Setelah kehausanya akan sesuatu yang selalu bersifat
baru, modernisme meremajakan keinginan-keinginannya dalam proyeksi lanjutan, yaitu
postmodern. Dalam fram yang baru inilah kemudian, modernisme berharap keluar dari
kejumudannya. Kejumudan yang selama ini, tidak pernah bisa membawa keindahan yang
absolut dan subtil.
Sejarah estetika seni modern pada dasarnya, merupakan jejak sejarah tentang kemajuan
(progress), dan keautentikan (authenticity). Maka wajar jika kemudian, dalam kaidah estetika
seni modern, karya seni yang samasekali tidak menyiratkan suatu yang baru dan
keterputusannya dengan yang lama, mutlak tidak mendapat tempat dalam ruang sejarah
estetika seni modern. Maka, dirasa penting sekali untuk mengetahui prinsip estetika modern ini,
mengutip Habermas dalam karyanya Modernity: An Incomplate Project (1988), adalah prinsip
sesuatu yang baru. Maka, inilah prinsip yang mencerminkan kerinduan manusia modern
terhadap keindahan dan keautentikan.
Akhirnya, penjelajahan artistik seni modernitas ke masa depan yang utopis, telah menemui jalan
buntu. Setelah gairah yang dibangun adalah nafsu yang enggan berdiaspora dengan sesuatu
yang sudah ada-apalagi dengan masalalu-maka akhirnya tidak ada lagi daerah baru untuk
dijelahi atau dieksploitasi, tidak ada lagi kebaruan yang baru. Sementara itu, di sisi yang lain
kebudayaan modern yang didominasi oleh budaya massa dan kebudayaan populer, telah
terdesak oleh keinginan-keinginan yang menuntut suatu hal yang bersifat baru, berpindah dari
satu komoditas ke komoditas yang lain, telah menjadi keharusan dan nilai paten, agar tidak
terpinggirkan atau bahkan tersingkirkan dalam peradaban modern. Maka tampil selalu
menawan, merupakan wujud dari masyarakat modern ini.
Dalam pandangan Adorno, seni modern kini juga tengah terseret dalam mekanisme fesyen,
dengan model daur ulang fesyen, maka seni dapat diproduksi secara massal dan kontinu sesuai
kehendak produsen, (Menggugat Modernisme: Yogyakarta, 2012). maka tidak berlebihan jika
kemudian, kita mengatakan bahwa, seni-bahkan juga-budaya telah digadaikan dan tengah
menjadi barang yang begitu digemari dalam komoditas industri. Maka pada titik ini pula, terjadi
apa yang disebut Adorno sebagai proses industrialisasi budaya (the culture industry), ketika
segala sesuatu dipandang dalam kacamata komoditas.
Cita-cita modernisme pada akhirnya telah sampai pada satu titik tertingginya, yaitu matinya
sesuatu yang bernilai baru. Realita pun tidak lagi berpihak pada nafsu modernisme, sebab
seluruh sudut bingkai seni telah selesai dijelajahi, dan penjelajahan itu hanya berujung pada
jalan buntu, maka jelas sudah tidak ada lagi yang bisa dikatakan baru. Nah, pada titik ini pula
tidak ada yang dapat dilakukan modernisme, untuk menjawab ketergantungan masyarakat
modern kepada hal-hal yang progress dan bersifat baru kecuali, mengombinasikan kembali, dan

berdiaspora dengan seni yang sudah ada, yang sudah diwariskan, atau semacam dialog dengan
masa lalu, kurang lebih.
Berangkat dari kenyataan inilah kemudian, tugas pengembaraan estetika seni postmodern ke
dalam akar masa lalu, yang menjadi nilai tawar tersendiri bagi estetika seni postmodernisme.
Namun pertanyaanya, bernakah estetika seni postmodern itu betul adanya, atau hanya sekedar
wacana yang telah kehilangan tujuannya saja?
Wacana estetika seni postmodern, lebih jauh menurut Baudrillard, tak lebih hanya sekedar
wacana, di mana realitas telah kehilangan dimensi rahasianya; sebuah informasi telah
kehilangan dimensi maknanya; dan sebuah seni telah kehilangan dimensi auranya. Dan segala
wacana, termasuk wacana seni, telah mencari jalannya masing-masing, untuk menghindarkan
diri dari dialektika makna, dari dialektika komunikasi dan proses sosialisasi.
Wacana estetika seni kini, telah terlampau jauh menyetubuhi citra-citra dan tanda yang tanpa
batas, dengan cara menghancurkan makana-makna, memanjakan dimensi ekstrimnya, yang
selama ini terlihat tabu. Estetika seni modern membukakan pintu bagi manusia, untuk terlempar
dari kebudayaannya sendiri, maka realitas estetika seni postmodern tidak lagi membedakan
mana yang indah, mana yang jelek; mana yang bermoral, dan mana yang amoral. Dengan kata
lain, wacana estetika seni postmodern mencari sudut yang paling tersembunyi di antara yang
lebih tersembunyi, dan yang lebih jelek di antara yang paling jelek (Mehdi Aginta H, 2012: 128).
Maka kemudian, muncullah bahasa estetika seni postmodern, yang tampil dalam tanda dan
makna-makna seni yang bersifat tidak stabil, mendua dan plural, diutamakannya permainan
tanda, ketakjuban dan ketertarikannya pada penampakan dan diferensiasi, ketimbang makna
yang bersifat ideologis dan stabil serta abadi (Pilliang, 1988: 307).

Desain produk

También podría gustarte