Está en la página 1de 49

HUBUNGAN IBU HAMIL SEBAGAI PEROKOK PASIF DENGAN BERAT BADAN

BAYI BARU LAHIR DI RSD. KALISAT KABUPATEN JEMBER


TAHUN 2013

The correlation between Pregnancy For Passive Smokers WithWeight New borns
in RSD. Kalisat, Jember 2013.
Sutrisno, Jamhariyah, Syiska Atik Maryanti
Abstract

Number of cigarette producens in Jember district increased the number of active smokers
and passive smokers in Jember district. Cigarette smoke inhaled by pregnant women
increases the risk of LBW. The research haims to determine the relationship of passive
smoking pregnant women with weight new borns. Research design using a correlation study
with cross sectional approach, the entire population of mothers giving birth at RSD. Kalisat
in April-May 2013 obtained 148 respondents, the data collection technique using saturated
sampling, data collection using a questionnaire, and data analysis using chi square then
contingency coefficient. The results showed the majority of pregnant women as passive
smokers and 66.2% of babies born with low birth weight 29%. Based on chi square test
value 2 hitung > of 2 tabel, so Ho is rejected and the coefficient of contingency means
weak but definite. There is a weak but definite relationship between the pregnant woman as
a passive smokers with LBW in RSD. Kalisat, meaning that the longer the exposure of
pregnant women smoke cigarettes everyday will be more at risk for low birth weight babies.
Pregnant women are expected to be able to keep her pregnancy from cigarette smoke that
are around.
Keywords: passive smokers, pregnant women and low birth weight
PENDAHULUAN
Berdasarkan data Susenas (Survei
Sosial Ekonomi Nasional), penduduk
Indonesia usia dewasa yang mempunyai
kebiasaan merokok sebanyak 31,6%.
Dengan besarnya jumlah dan tingginya
prosentase penduduk yang mempunyai
kebiasaan merokok, Indonesia merupakan
konsumen rokok tertinggi kelima di dunia
dengan jumlah rokok yang dikonsumsi
(dibakar) pada tahun 2002 sebanyak 182
milyar batang rokok setiap tahunnya.
Di Indonesia, sekitar 65,6 juta
wanita dan 43 juta anak-anak terpapar asap
rokok atau menjadi perokok pasif.
Soewarno Kosen mengungkapkan bahwa
banyak warga Indonesia terpapar asap
rokok karena 91,8% perokok merokok di
rumah. Asap rokok yang terhirup oleh ibu

hamil
dapat
meningkatkan
risiko
terjadinya abortus, solusio plasenta,
plasenta previa, insufisiensi plasenta,
kelahiran prematur, kecacatan pada janin,
dan BBLR. Hal ini dapat meningkatkan
kematian neonatus dan sindroma kematian
bayi mendadak (Prawirohardjo, 2009).
Bayi dikatakan BBLR jika bayi baru lahir
berat badannya < 2500 gram.
Profil Kesehatan Indonesia 2006
(2008, dalam Depkes RI), AKB di
Indonesia sebesar 35/1000 kelahiran
hidup. Penyebab kematian bayi yaitu
BBLR sebesar 38,94% (Subhan, 2012).
Dari laporan rutin tahun 2010 di Jawa
Timur terjadi 5.533 kematian bayi dari
589.482 kelahiran hidup. Jumlah kematian
bayi tahun 2010 terbanyak di Kabupaten
Jember 427 bayi (Dinkes jatim, 2010).

51

Dari laporan Kabupaten/Kota tahun


2010 diketahui jumlah bayi BBLR di Jawa
Timur mencapai 16.565 bayi dari 591.746
bayi lahir hidup (2,79%) (Dinkes 2010 di
dalam Kartikasari, 2013).
Hasil
perhitungan
statistik
menunjukkan rokok yang dihisap 1-10
batang per hari oleh perokok aktif di dalam
rumah selama ibu hamil, berisiko bagi ibu
hamil untuk melahirkan BBLR sebesar
2,47 kali. Paparan asap rokok oleh perokok
aktif yang merokok di dalam rumah lebih
dari 11 batang, berisiko 3,33 kali lebih
besar bagi ibu hamil untuk melahirkan
BBLR dibandingkan dengan ibu hamil
yang tidak ada perokok di dalam rumahnya
(Irnawati, 2011).
Radikal bebas yang terkandung
dalam asap rokok dapat menyebabkan
kerusakan
endotel,
peningkatan
vasokonstriktor,
dan
penurunan
vasodilator sehingga terjadi PPOK
(penyakit paru obstruktif kronik), selain itu
radikal bebas juga dapat menyebabkan
defisiensi asam folat. Sedangkan nikotin
yang juga terkandung dalam asap rokok
dapat
menyebabkan
vasokonstriksi
pembuluh darah yang dapat menyebabkan
hipertensi sehingga terjadi penurunan
suplai makanan dan oksigen fetus.
Akibatnya
secara
tidak
langsung,
hipertensi, PPOK, dan defisiensi asam
folat akan menimbulkan gangguan
pertumbuhan fetus yang pada akhirnya
akan dapat mempengaruhi BBL.
Berdasarkan studi pendahuluan yang
telah penulis lakukan di RSD. Kalisat,
jumlah ibu bersalin secara pervaginam
maupun perabdominal pada tahun 2011
sebanyak 819 ibu bersalin, dari 819 ibu
bersalin terdapat ibu yang melahirkan bayi
dengan BBLR sebanyak 139 bayi atau
16,9%. Sedangkan pada tahun 2012
jumlah ibu bersalin secara pervaginam
maupun perabdominal sebanyak 1084 ibu
bersalin, dan dari 1084 ibu bersalin
terdapat ibu yang melahirkan bayi dengan
BBLR sebanyak 251 bayi 23,2%. dari data
di atas menunjukkan peningkatan jumlah
BBLR pada tahun 2011 dan tahun 2012.

Solusi untuk mencegah semakin


banyak ibu hamil sebagai perokok pasif
kebijakan dari pemerintah adalah dilarang
merokok disembarang tempat seperti di
ruangan yang tertutup, terminal, kendaraan
umum, halte, di dalam rumah, rumah sakit
dan disarankan untuk merokok di udara
bebas serta tidak ada orang disekitarnya.
Akan tetapi pada prakteknya, kebijakan
tersebut masih sering dilanggar oleh
perokok karena masih belum ada sanksi
yang berlaku sehingga masih banyak
perokok yang merokok disembarang
tempat.
Berdasarkan fenomena tersebut
sehingga penulis melakukan penelitian
hubungan antara ibu hamil sebagai
perokok pasif dengan berat badan bayi
baru lahir.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian ini menggunakan
studi korelasi dengan pendekatan cross
sectional. Pada penelitian ini populasinya
adalah semua ibu bersalin yang melahirkan
di RSD. Kalisat pada bulan April-Mei
2013. Teknik sampling yang digunakan
dalam penelitian ini adalah total sampling
sehingga didapatkan sampel sejumlah 148
responden. Analisis data yang digunakan
adalah analisis bivariat. Sedangkan uji
statistik yang digunakan yaitu koefisiensi
kontingensi. Teknik ini mempunyai kaitan
erat dengan Chi Square.
HASIL PENELITIAN
Data umum
Umur
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Umur Ibu Bersalin
di RSD. Kalisat Kabupaten
Jember Periode April-Mei 2013

52

No
1.
2.

Umur
<16th
/
>35th
16th - 35th

Jumlah Persentase
31
117

20,9%
79,1%

148
100%
Berdasarkan tabel di atas diperoleh
distribusi frekuensiUmur Ibu Bersalin usia
<16th / >35th sebanyak 31orang ( 20,9%)
dan 16th - 35th sebanyak 117 orang
(79,1%).
Jenis Kehamilan
Tabel 2. Distribusi FrekuensiResponden
Berdasarkan
Jenis
KehamilanIbu Bersalin di RSD.
Kalisat
Kabupaten
Jember
Periode April-Mei 2013
No
1.
2.

Kehamilan
Primi gravida
Multi gravid

Jumlah Persentase
67
45,3%
81
54,7%
148
100%
Berdasarkan tabel di atas diperoleh
distribusi frekuensi responden berdasarkan
jenis kehamilannya ibu dengan hamil
primi gravida sebanyak 67 orang (45,3%)
dan ibu hamil multi gravida sebanyak 81
orang (54,7%).
Usia Gestasi
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Usia Gestasi Ibu
Bersalin di RSD. Kalisat
Kabupaten Jember Periode
April-Mei 2013
No
1.
2.

UK
Prematur
Aterm

Jumlah Persentase
25
16,9%
123
83,1%
148
100%
Berdasarkan tabel di atas diperoleh
distribusi frekuensi responden berdasarkan
usia kehamilannya ibu yang hamil
prematur sebanyak 25 orang (16,9%) dan
ibu yang hamil aterm sebanyak 123 orang
(83,1%).
Sikap dalam Menghadapi Perokok

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden


Berdasarkan
Sikap
dalam
Menghadapi
Perokok
Ibu
Bersalin di RSD. Kalisat
Kabupaten Jember Periode
April-Mei 2013
No

Sikap

1.
2.
3.

Selalu
menjauh
Selalu di
dekat
Kadang
menjauh

Jumlah
56
22
20

Persentase
57,1%
22,5%
20,4%

98
100%
Berdasarkan tabel di atas diperoleh
data distribusi frekuensi responden
berdasarkan sikap dalam menghadapi
perokok selama hamil, dari 98 orang ibu
bersalin yang selama hamil sebagai
perokok pasif yang selalu menjauh
sebanyak 56 orang (57,1%), ibu hamilyang
selalu di dekat perokok sebanyak 22 orang
(22,5%), dan ibu hamil yang kadangkadang menjauh sebanyak 20 orang
(20,4%).
Lama Responden Terpapar Asap Rokok
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Lama Responden
Terpapar Asap Rokok Ibu
Bersalin di RSD. Kalisat
Kabupaten Jember Periode
April-Mei 2013
No
1.
2.
3.
4.

Waktu
1-3 jam
3-5 jam
5-6 jam
> 7 jam

Jumlah Persentase
56
57,1%
3
3,1%
17
17,3%
22
22,5%
98
100%
Berdasarkan tabel di atas diperoleh
data distribusi frekuensi responden
berdasarkan lama waktu terpapar asap
rokok setiap harinya, dari 98 ibu bersalin
yang selama hamil sebagai perokok pasif
yang terpapar asap rokok per hari selama
1-3 jam sebanyak 56 orang (57,1%), 3-5
jam sebanyak 3 orang (3,1%), 5-6 jam
53

sebanyak 17 orang (17,3%), dan yang


terpapar >7 jam sebanyak 22 orang
(22,5%).
Yang Memiliki Riwayat Melahirkan
BBLR
Tabel 6 Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Yang Memiliki
Riwayat Melahirkan BBLR Ibu
Bersalin di RSD. Kalisat
Kabupaten Jember Periode
April-Mei 2013
No

1.
2.

Riwayat
BBLR

Jumlah Persentase

Ya
Tidak

6
4,1%
142
95,9%
148
100%
Berdasarkan tabel di atas diperoleh
distribusi frekuensi responden berdasarkan
riwayat melahirkan bayi dengan BBLR
sebanyak 6 orang (4,1%) dan yang tidak
memiliki riwayat melahirkan bayi dengan
BBLR sebanyak 142 orang (95,9%).
Komplikasi Kehamilan yang di Alami
Tabel 7 Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan
Komplikasi
Kehamilan yang di Alami
Responden Selama Hamil Ini
Ibu Bersalin di RSD. Kalisat
Kabupaten Jember Periode
April-Mei 2013
No
1.
2.

Komplikasi
Ya
Tidak

Jumlah Persentase
2
1,4%
146
98,6%
148
100%
Berdasarkan tabel di atas diperoleh
distribusi frekuensi responden berdasarkan
komplikasi kehamilan yang di alami
responden selama hamil ini yaitu yang
mengalami komplikasi ada 2 orang (1,4%)
dan yang tidak mengalami komplikasi
sebanyak 146 orang (98,6%).

Data khusus

Identifikasi ibu bersalin selama hamil


Sebagai Perokok Pasif di RSD. Kalisat
Kabupaten Jember
Tabel 8 Distribusi
Frekuensi
Ibu
Bersalin Selama Hamil Sebagai
Perokok Pasif di RSD. Kalisat
Kabupaten Jember Periode
April-Mei 2013
No
1.
2.

Perokok
pasif
Ya
Tidak

Jumlah Persentase

98
66,2%
50
33,8%
148
100%
Berdasarkan tabel di atas diperoleh
distribusi frekuensi responden ibu bersalin
selama hamil sebagai perokok pasif
sebanyak 98 orang (66,2%) dan yang
bukan sebagai perokok pasif adalah
sebanyak 50 orang (33,8%).
Identifikasi Berat Badan Bayi Baru Lahir
di RSD. Kalisat Kabupaten Jember
Tabel 9 Distribusi
Frekuensi
Berat
Badan Bayi Baru Lahir di RSD.
Kalisat
Kabupaten
Jember
Periode April-Mei 2013
No
1.
2.

BBL
BBLR
BBLN

Jumlah
Persentase
43
29,0%
105
71,0%
148
100%
Berdasarkan tabel di atas didapatkan
distribusi frekuensi responden berdasarkan
berat badan bayi baru lahir saat ini yang
melahirkan bayi dengan BBLR sebanyak
43 orang (29,0%) dan yang melahirkan
bayi dengan BBLN sebanyak 105 orang
(71,0%).
Dari hasil penelitian diatas analisa
yang digunakan yaitu menggunakan
perhitungan chi squaredan dilanjutkan
dengan rumus koefisien kontingensi
sebagai berikut

Perokok

BBL

54

pasif
YA
TIDAK

BBLR
Fo
Fh
41 28,5

BBLN
Fo
Fh
57 69,5

98

48

50

14,5

35,5

Total
43
105
Berdasarkan hasil penghitungan
manual dan SPSS di dapatkan 222,995
(data terlampir) sehingga hasil 2 hitung
>2 tabel yaitu 22,995 > 3,841. Ho ditolak
karena harga Chi Square hitung lebih besar
(>) dari harga Chi Square tabel. Untuk
mengetahui
kekuatan
atau
derajat
hubungan digunakan rumus koefisiensi
kontingensi. Dari hasil penghitungan
koefisien kontingensi didapatkan hasil
0,36yang
artinya
mempunyai
hubunganlemah tapi pasti.
Dari hasil penelitian didapatkan
adanya hubungan lemah tapi pasti antara
ibu hamil sebagai perokok pasif dengan
berat badan bayi baru lahir di RSD. Kalisat
Kab. Jember periode April-Mei 2013.
PEMBAHASAN
Ibu hamil sebagai perokok pasif di RSD.
Kalisat Kabupaten Jember pada bulan
April-Mei 2013
Dari hasil penelitian diperoleh hasil
bahwa mayoritas ibu bersalin selama hamil
menjadi perokok pasif (66,2%).
Merokok sudah menjadi kebiasaan
penduduk kalisat baik remaja maupun
orang tua. Kebiasaan perokok aktif untuk
merokok di dalam rumah dan di tempattempat umum masih cukup banyak,
sehingga meningkatkan jumlah perokok
pasif penduduk kalisat terutama para ibu
hamil. Oleh karena itulah, akibat
meningkatnya jumlah perokok pasif
khususnya ibu hamil maka dapat
meningkatkan jumlah ibu yang melahirkan
bayi prematur dengan berat badan lahir
rendah.
Secara singkat dapat dijelaskan
bahwa radikal bebas yang terkandung
dalam asap rokok dapat menyebabkan

kerusakan
endotel,
peningkatan
vasokonstriktor,
dan
penurunan
vasodilator sehingga terjadi PPOK
(penyakit paru obstruktif kronik), selain itu
radikal bebas juga dapat menyebabkan
defisiensi asam folat.Sedangkan nikotin
yang juga terkandung dalam asap rokok
dapat
menyebabkan
vasokonstriksi
pembuluh darah yang dapat menyebabkan
hipertensi sehingga terjadi penurunan
suplai makanan dan oksigen fetus.
Akibatnya
secara
tidak
langsung,
hipertensi, PPOK, dan defisiensi asam
folat akan menimbulkan gangguan
pertumbuhan fetus yang pada akhirnya
akan dapat mempengaruhi BBL.
Berat badan bayi baru lahir di RSD.
Kalisat Kab. Jember periode April-Mei
2013
Dari hasil penelitian berat badan bayi
baru lahir di RSD. Kalisat Kab. Jember
periode April-Mei 2013 yang tergolong
BBLR (29,0%) dari keseluruhan bayi baru
lahirdi RSD. Kalisat periode April-Mei
2013. Dari 43 BBLR yang dilahirkan oleh
ibu hamil sebagai perokok pasif (95,3%).
Menurut penelitian yang telah
dilakukan oleh peneliti dapat dibuktikan
bahwa bayi BBLR dapat dilahirkan oleh
ibu dengan komplikasi kehamilan yaitu
PEB dan kelahiran prematur, selain itu
terdapat faktor usia ibu < 16 melahirkan
bayi BBLR dikarenakan ibu masih dalam
masa pertumbuhan sehingga organ
reproduksi ibu masih belum siap untuk
tempat perkembangan janin oleh karena itu
janin
kekurangan
nutrisi
selama
pertumbuhan dan perkembangannya di
dalam rahim.
Penyebab BBLR dari faktor janin
diperoleh data bahwa bayi BBLR akibat
usia gestasi yang kurang bulan serta dari
faktor lingkungan antara lain akibat dari
paparan asap rokok. Lama terjadinya
paparan asap rokok pada ibu hamil setiap
harinya mempengaruhi besarnya risiko
terjadinya BBLR, ibu hamil yang terpapar

55

asap rokok > 7 jam per hari lebih banyak


melahirkan bayi dengan BBLR.

berat lahir rendah (BBLR) (Irnawati,


2011).

BBLR disebabkan oleh 7 (tujuh)


faktor yaitu : genetik (faktor gen, interaksi
lingkungan, berat badan ayah, jenis
kelamin), kecukupan gizi (nutrisi ibu
ketika hamil, kecukupan protein dan
energi, kekurangan nutrisi), karakteristik
dan berat ibu (berat ibu ketika hamil,
paritas, jarak kelahiran), penyakit (infeksi
di masyarakat seperti malaria, anaemia,
syphilis, rubella), komplikasi kehamilan
(eklamsi, infeksi ketika melahirkan), gaya
hidup ibu (merokok dan mengkonsumsi
alkohol) dan lingkungan (polusi, faktor
sosial ekonomi) (WHO, 2007).

KESIMPULAN

Hubungan ibu hamil sebagai perokok


pasif dengan berat badan bayi baru lahir
di RSD. Kalisat Kab. Jember periode
April-Mei 2013
Berdasarkan hasil penghitungan
manual dan SPSS di dapatkan 2 22,995
(data terlampir) sehingga hasil 2 hitung >
2 tabel yaitu 22,995 > 3,841. Ho ditolak
karena harga Chi Square hitung lebih besar
(>) dari harga Chi Square tabel. Untuk
mengetahui
kekuatan
atau
derajat
hubungan digunakan rumus koefisiensi
kontingensi. Dari hasil penghitungan
koefisien kontingensi didapatkan hasil
0,36 yang artinya mempunyai hubungan
lemah tapi pasti antara ibu hamil sebagai
perokok pasif dengan berat badan bayi
baru lahir di RSD. Kalisat Kab. Jember
periode April-Mei 2013.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa semakin lama ibu hamil bersama
perokok aktif di dalam rumah dengan ratarata ibu terpapar asap rokok > 7 jam setiap
harinyamaka risiko melahirkan bayi
dengan berat badan lahir rendah semakin
tinggi.
Hasil penelitian menggambarkan ibu
hamil perokok pasif yang terpapar asap
rokok 1-10 batang per hari berisiko 2,4
kali lebih sering untuk terjadinya bayi

1. Sebagian besar ibu bersalin di RSD.


Kalisat selama hamil sebagai perokok
pasif (66,2%).
2. Berat badan bayi baru lahir di RSD.
Kalisat periode April-Mei 2013 (29%)
tergolong BBLR.
3. Sebagian besar bayi BBLR dilahirkan
oleh ibu hamil sebagai perokok pasif
sebanyak (95,3%).
4. Terdapat hubungan ibu hamil sebagi
perokok pasif dengan berat badan bayi
baru lahir di RSD. Kalisat Kab. Jember
periode April-Mei 2013, artinya
semakin lama ibu hamil terpapar asap
rokok setiap harinya maka akan
semakin berisiko untuk melahirkan bayi
BBLR.
SARAN
1. Bagi peneliti
Untuk peneliti selanjutnya diharapkan
peneliti mampu mengulas lebih dalam
lagi mengenai penyebab dari BBLR dan
mampu mengkaji jumlah batang rokok
yang dikonsumsi perokok aktif yang
tinggal serumah dengan ibu hamil serta
perbedaan
kadar
nikotin
yang
terkandung dalam asap rokok setiap
batangnya
sehingga
penelitian
selanjutnya lebih spesifik dan lebih
terperinci.
2. Bagi IPTEK
Kepada pemerintah diharapkan mampu
lebih selektif dalam membuat kebijakan
mengenai ijin produksi rokok sehingga
mampu meminimalisir jumlah rokok
yang beredar dimasyarakat serta
meningkatkan biaya pajak bagi
produsen
rokok
yang
mampu
menghambat laju peredaran rokok.
Selain itu, pemerintah diharapakan
lebih menekankan kembali mengenai
larangan perniakahan usia dini.
Sedangkan kepada produsen rokok
diharapkan mencantumkan gambar
56

mengenai bahaya rokok sehingga


mampu meningkatkan kesadaran para
perokok aktif untuk mengurangi
kebiasaan
merokok
bahkan
berhentimerokok.
3. Bagi institusi
Kepada petugas kesehatan diharapkan
memberikan informasi kepada pasien
terutama ibu hamil tentang bahaya dari
asap rokok dan penyebab dari BBLR
serta menganjurkan para perokok aktif
untuk tidak merokok di dalam rumah
dan tidak merokok di sekitar ibu hamil.
DAFTAR PUSTAKA
Ana puspita. (2010)Pengaruh paparan asap

rokok pada ibu hamil (perokok


pasif) terhadap terjadinya bayi
berat badan lahir rendah (bblr)
(studi di ird obgyn dan irna obgyn
rsu
dr.
Soetomo
surabaya).http://adln.fkm.unair.ac
.id/gdl.php?mod=browse&op=rea
d&id=adlnfkm-adln-anapuspita1475. 24/11/20120 7:37
Arikunto, Suharsimi. (2006)Prosedur

Penelitian Suatu Pendekatan


Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
Badriyah,
Fase.
(2005)Boyz
Only
Petunjuk
Islami
Kesehatan
Reproduksi Bagi Remaja Cowok.
Jakarta: Gema Insani Press
Dariyo,
Agoes.
(2004)Psikologi
Perkembangan Remaja Muda.
Jakarta: Grasindo
Dinkes jatim. (2010)Profil Kesehatan
Provinsi Jawa Timur 2010.
Google. Com. 5/2/2013 11:56
Gayatri. (2007)Buku Pintar Cewek Pintar.
Tanggerang: Gagas Media
Harsono dan Sabri. (2006)Statistik
Kesehatan. Jakarta: Rajawali Pers
Hidayat, A Aziz. (2008)Pengantar Ilmu

Kesehatan
Anak
untuk
Pendidikan Kebidanan. Jakarta:
Salemba Medika
Hull, david dan jonston, D. (2008)DasarDasar Pediatri Edisi 3. Jakarta:
EGC

Husaini, Aiman. (2007)Tobat Merokok.


Surabaya: Pustaka Iman
Irnawati, dkk. (2011)Ibu hamil perokok

pasif sebagai faktor risiko bayi


berat lahir rendah. Jurnal gizi
klinik indonesia Vol. 8, no. 2,
oktober 2011: 54-59. 22/2/2013
12:00
Jabbar, Abdul. (2008)Ngerokok Bikin
Kamu Kaya. Jakarta: Samudera
Jiu, Wei Sheng Yan. (2009)Meta analysis
of effects on maternal passive
smoking during pregnancy on
fetal low birth weight. US
National
Library
of
MedicineNational Institutes of
Health. 26/9/2012 11:44
JNPK-KR. (2008)Pelatihan klinik layanan
obstetri-neonatal emergensi dasar.
Jakarta: Bakti Husada
Kartikasari, Rozanur vionita. (2013)Studi

Tentang Pertumbuhan Bb Dan Tb


Pada Bayi Dengan Riwayat Berat
Badan Lahir Rendah (Bblr) Di
Puskesmas Jagir Surabaya Tahun
2012. Surabaya: apps. UM
Surabayahttp://apps.umsurabaya.ac.id/digilib/gdl.php?mo
d=browse&op=read&id=perpusta
kaan%20umsurabaya-rozanurvio-39922/2/2013 12:18
Manuaba.
(2007)Pengantar
Kulyah
Obstetri. Jakarta: EGC
Notoatmodjo,
S.
(2005)Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta
Nursalam. (2008)Konsep dan Penerapan

Metodologi
Penelitian
Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika
Patricia, dkk. (2006)Buku Saku Asuhan
Ibu dan Bayi Baru Lahir. Jakarta:
EGC
Prawirohardjo, Sarwono. (2009)Ilmu
kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Prawirohardjo, Sarwono. (2009)Buku

Acuan
Nasional
Pelayanan
Kesehatan
Maternal
dan

57

Neonatal. Jakarta: Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo
Rafael, romy. (2007)Hipnoterapi Quit
Smoking. Jakarta: Gagas Media
Safrudin dan hamidah. (2009)Kebidanan
Komunitas. Jakarta: EGC
Sinclair, constance. (2010)Buku Saku
Kebidanan. Jakarta: EGC
Subhan, febrian. (2012)Permasalahan

Angka Kematian Ibu dan Bayi di


Kabupaten
Jember.
Wordpress.com
Sugiyono. (2004)Statistik Nonparametris
untuk Penelitian. Bandung: CV
ALFABETA
Sugiyono.
(2011)Meode
Peneitian
Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: ALFABETA
Suririnah. (2008)Buku pintar kehamilan
dan persalinan. Jakarta. PT
Gramedia Pustaka Utama
Waluya, Bagja. (2007)Sosiologi untuk

kelas XII Sekolah Menengah


Atas/Madrasah Aliyah Program
Ilmu
Pengetahuan
Sosial.
World

Bandung: PT Setia Purna Inves


Health Organization (WHO).

Development of a strategy
towards promoting optimal fetal
growth. Avaliable from :
http://www.who.int/nutrition/topi
cs/feto_maternal/en.html.
Last
update : January
Windham, dkk. (2000)Prenatal Active Or

Passive Tobacco Smoke Exposure


And The Risk Of Preterm
Delivery
Or
Low
BirthWeighthttp://www.ncbi.nlm.
nih.gov/pubmed/10874550Epide
miology. 1/10/2012 21:39
Yuliana. (2009)Merokok Meingkatkan
Terjadinya Kelahiran BBLR.
Pediatric Info. 18/9/2012 10:28

58

HUBUNGAN PEMBERIAN MgSO4 PADA IBU DENGAN PREEKLAMPSIA BERAT


TERHADAP KONTRAKSI UTERUS di RSD KALISAT KABUPATEN JEMBER
TAHUN 2013

The Relationship between MgSO4 Treatment to Women with Severe Preeclampsia and
Uterine Contraction in Kalisat General Hospital, Jember, 2013
Moh.Wildan, Yuniasih Purwaningrum, Susilawati

According to Demografi Kesehatan Indonesia survey in 2010, bleeding is the major cause of
maternal death. In the recent years, the higher incidence of preeclampsia- eclampsia is the
main cause of the death. Early treatment with magnesium sulfate (MgSO4) is effective in
reducing the recurrence of convulsions and maternal deaths. However, it will impinge on
lessening the uterine contractions. The goal of this study is to analyze the relationship
between MgSO4 treatment to women with severe preeclampsia and uterine contraction in
Kalisat General Hospital, Jember, 2013. The research design is an analytic correlation with
cohort approach. The samples are 30 in partus mothers with severe preeclampsia which
collected by accidental sampling technique. The data are gathered through observation and
analyzed statistically by one sample chi square. The result shows that 66.67% respondents are
exhibit weak uterine contraction, 30% good contraction and 3.33% with no contraction. By
chi square correlation computation with 0.05, it can be concluded that there is a significance
correlation between MgSO4 treatment to women with severe preeclampsia and uterine
contractions. It is suggested that midwives should always prepare a complete bleeding
apparatus management when they provide some interventions to the in partus mothers with
severe preeclampsia.
Key words: MgSO4, severe preeclampsia, uterine contractions

PENDAHULUAN
Salah satu bentuk dari upaya
pembangunan di bidang kesehatan adalah
peningkatan kesehatan ibu dengan
program
yang
bertujuan
untuk
menurunkan angka kematian ibu (AKI).
Dimana target yang akan dicapai sampai
tahun 2015 adalah menurunkan AKI
menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup.
millenium masih membutuhkan komitmen
dan usaha keras yang terus menerus.
World Health Organization (WHO) di
seluruh dunia lebih dari 585 per 100.000
kelahiran hidup setiap tahunnya ibu
meninggal saat bersalin. Di Negara maju
indeks AKI mencapai 20 kematian per
100.000 kelahiran hidup. Sedangkan ratarata di Negara berkembang 440 per
100.000 kelahiran hidup (Depkes RI,
2010).
Berdasarkan Survey Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI), AKI di
Indonesia pada tahun 2010 adalah

228/100.000 kelahiran hidup. Penyebab


AKI diantaranya Pendarahan (28%),
eklampsia
(24%),
infeksi
(11%),
komplikasi masa puerperium (8%), abortus
(5%), partus lama (5%), emboli obstetri
(3%) dan lain-lain (11%) (Depkes RI,
2010).
AKI di Propinsi Jawa Timur pada
tahun 2011 terdapat 105 per 100.000
kelahiran hidup. Angka ini lebih
meningkat dibandingkan tahun 2010 yaitu
101 per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini
menunjukkan target MDGs sebesar 102
per 100.000 kelahiran hidup masih sulit
untuk dicapai (Dinkesjatim, 2011).
Jumlah AKI di Kabupaten Jember
dapat diketahui dari studi pendahuluan di
Dinas Kesehatan terdapat 116,4 per
100.000 kelahiran hidup tahun 2012.
Sedangkan untuk kejadian preeklampsia
eklamsia ditemukan 575 dari 49
puskesmas di kabupaten Jember. Hal ini
menunjukkan bahwa AKI di Kabupaten
59

Jember menjadi penyumbang tertinggi di


Propinsi Jawa Timur.
Saat ini kasus preeklampsia menjadi
trend tertinggi di Kabupaten Jember
dibandingkan dengan kasus perdarahan.
Dapat dilihat dari jumlah kasus perdarahan
pada
tahun 2012 sebanyak 289
dibandingkan dengan jumlah kasus
preeklampsia eklamsia sebanyak 575.
Berdasarkan studi pendahuluan di RSD
Kalisat Jember pada tahun 2011 ditemukan
angka kejadian preeklampsia-eklamsia
156. Kejadian ini meningkat lagi pada
tahun 2012 yaitu ditemukan 260 ibu
inpartu dengan preeklampsia eklamsia.
Sedangkan untuk ibu preeklampsia
eklamsia yang mengalami perdarahan
sebanyak 125. Penyebab preeklampsia
sampai sekarang masih belum jelas, namun
terdapat beberapa teori yang telah
dikemukakan, tetapi tidak ada satupun
teori yang dianggap benar benar mutlak:
(1) teori kelainan vaskularisasi plasenta;
(2) teori iskemia plasenta, radikal bebas,
dan disfungsi endotel; (3) teori intoleransi
imunologik antara ibu dan janin; (4) teori
adaptasi kardiovaskular genetik; (5) teori
defisiensi gizi; (6) teori inflamasi
(Wiknjosastro, 2009: 532).
Salah satu upaya pengobatan
medikamentosa
untuk
megendalikan
preeklamsi supaya tidak menjadi eklamsia
yaitu dengan pemberian Magnesium Sulfat
(MgSO4). MgSO4 menghambat atau
menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan
serat
saraf
dengan
mengahambat transisi neuromuskular.
Pada pemberian MgSO4 akan menggeser
kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak
terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara
ion kalsium dan ion magnesium). Kadar
kalsium yang tinggi dalam darah dapat
menghambat kerja magnesium sulfat dan
sebaliknya. Dikarenakan efek MgSO4 itu
sendiri untuk merelaksasikan otot polos
pada uterus. Sehingga kala IV pada ibu
yang sudah terpapar oleh MgSO4 memiliki
resiko lebih tinggi untuk terjadi perdarahan
postpartum yang disebabkan oleh kelainan

kontraksi uterus (Wiknjosastro, 2009:


547).
Dari beberapa penyebab perdarahan
postpartum, ada salah satu yang perlu
mendapatkan perhatian yang serius yaitu
atonia uteri, karena bila penanganannya
lambat maka dapat mengancam nyawa ibu.
Atonia uteri adalah uterus tidak
berkontraksi dalam 15 detik setelah
dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta
telah lahir) (JNPKR: 2002) Kontraksi
uterus merupakan mekanisme utama untuk
mengontrol perdarahan setelah melahirkan.
Atonia
terjadi
karena
kegagalan
mekanisme ini.
Banyak faktor faktor yang
mempengaruhi kejadian atonia itu sendiri
yaitu uterus membesar lebih dari normal,
kala satu atau kala dua memanjang, partus
presipitatus, persalinan yang diinduksi
dengan oksitosin, infeksi intrapartum,
multiparitas tinggi, magnesium sulfat yang
digunakan untuk mengendalikan kejang
pada preeklampsia atau eklamsia, umur
yang terlalu tua atau terlalu muda (<20
tahun dan >35 tahun), hipertensi dalam
kehamilan.
Berdasarkan latar belakang dan
fenomena tersebut, menunjukkan bahwa
banyaknya ibu bersalin yang mengalami
preeklamisa sampai eklamsia. Sedangkan
penatalaksanaan ibu inpartu dengan pre
eklasia sampai eklamsia yaitu diberikan
MgSO4 yang berdampak pada kelemahan
otot sehingga dapat menyebabkan atonia
uteri. Oleh karena itu, peneliti sangat
tertarik untuk meneliti tentang Hubungan
pemberian MgSO4 pada ibu dengan
preeklampsia berat terhadap kontraksi
uterus di RSD Kalisat Tahun 2013.

METODE PENELITIAN
Desain yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah analitik korelasional.
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh ibu inpartu dengan preeklampsia
berat yang diberi MgSO4 di RSD Kalisat
pada tahun 2013. Teknik sampling dalam
penelitian ini yaitu accidental sampling
60

yaitu pengambilan sampel yang ada pada


saat penelitian sebanyak 30 responden. Uji
hipotesa pada penelitian ini menggunakan
chi-kuadrat satu sampel.

Protein Urin
Tabel 3.

Distribusi
Ibu
inpartu
Preeklampsia
Berat
Berdasarkan Tingkatan Protein
Urin di Ruang Bersalin RSD
Kalisat Jember Bulan April
Mei 2013.

HASIL PENELITIAN
Data Umum
Umur Ibu
Tabel 1. Distribusi
Ibu
inpartu
Preeklampsia
Berat
Berdasarkan Umur di Ruang
Bersalin RSD Kalisat Jember
Bulan April Mei 2013.
Umur Ibu
(Tahun)
<20
20-35
>35
Jumlah

Jumlah
4
15
11
30

Persentase
(%)
13,33
50
36,67
100

Berdasarkan tabel 1 menunjukkan


karakteristik
umur
ibu
inpartu
Preeklampsia Berat dari 30 ibu terbanyak
pada kelompok umur 20-35 tahun yaitu 15
ibu inpartu (50%).
Jumlah Anak Yang Dilahirkan Ibu
Tabel2.

Distribusi
Ibu
inpartu
Preeklampsia
Berat
Berdasarkan Jumlah Paritas di
Ruang Bersalin RSD Kalisat
Jember Bulan April Mei
2013.
Anak Yang
Persentase
Jumlah
Dilahirkan
(%)
Primigravida
7
23,33
Multigravida
20
66,67
Grandemulti
3
10
Jumlah
30
100

Berdasarkan tabel 2 menunjukkan


bahwa karakteristik jumlah paritas ibu
terbanyak adalah multigravida sebanyak
20 ibu inpartu (66,67%).

Tingkatan
Protein Urin
Negatif
Positif 1
Positif 2
Positif 3
Positif 4
Jumlah

Jumlah
1
1
6
20
2
30

Persentase
(%)
3,33
3,33
20
66,67
6,67
100

Berdasarkan tabel 3 menunjukkan


bahwa karakteristik kadar protein urine ibu
inpartu dengan Preeklampsia Berat
terbanyak positif 3 sebanyak 20 ibu inpartu
(66,67%).
Data Khusus
Kejadian
Ibu
inpartu
dengan
Preeklampsia Berat yang diberi MgSO4
Tabel 4. Distribusi Responden Ibu
Inpartu Dengan Preeklampsia
Berat Yang Diberi MgSO4 di
Ruang Bersalin RSD Kalisat
Jember April Mei 2013.
Distribusi Data

Jumlah

Persentase
(%)

Ibu Preeklampsia
Berat yang diberi
MgSO4

30

100

Berdasarkan Tabel 4. dapat


diketahui bahwa ibu inpartu dengan
Preeklampsia Berat yang diberi MgSO 4
sebanyak 30 orang (100%).
Kelainan Kontraksi Uterus Pada Ibu
Preeklampsia Berat Yang Diberi MgSO4
Tabel

5.

Distribusi Responden Ibu


Preeklampsia Berat Yang
61

Mengalami
Kelainan
Kontraksi
Uterus
Setelah
Pemberian MgSO4 di Ruang
Bersalin RSD Kalisat April Mei 2013.
Kelainan
Kontraksi Uterus
Tidak Ada
Kontraksi
Lemah
Baik
Jumlah

Persentase
Jumlah
(%)
1
20
9
30

3,33
66,67
30
100

Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa


mayoritas responden mengalami kontraksi
uterus yang lemah setelah pemberian
MgSO4 sebanyak 20 ibu inpartu (66,67%).
Hubungan Pemberian MgSO4 Pada Ibu
Preeklampsia Berat Terhadap Kontraksi
Uterus

Tabel 7 Tabel Perhitungan Chi-Kuadrat


Kelaina
n
Kontrak
si
Uterus
Tidak
Ada
Kontrak
si

Lemah

2
0

Baik

Jumlah

3
0

1
0
1
0
1
0
1
0

-9

81

8,1

10

100

10

-1

0,1

182

18,2

Berdasarkan tabel 4.7 diperoleh nilai


hitung sebesar 18,2.
Analisa Data

Tabel 6

Tabel
Silang
Hubungan
Pemberian MgSO4 Pada Ibu
dengan Preeklampsia Berat
Terhadap Kontraksi Uterus di
RSD
Kalisat
Kabupaten
Jember yang dilakukan pada
bulan April Mei 2013.
Kelainan
Pemberian MgSO4
Kontraksi
fo
%
Fh %
Uterus
Tidak Ada
33,
1
3,33 10
Kontraksi
33
33,
Lemah
20 66,67 10
33
33,
Baik
9
30
10
33
10
Jumlah
30
100
30
0

Berdasarkan tabel 4.6 mayoritas


responden mengalami kontraksi uterus
yang lemah setelah pemberian MgSO 4
sebanyak 20 ibu inpartu (66,67%) dan
frekuensi harapan masing masing hasil
kelainan kontraksi sebanyak 10 ibu
inpartu.

Analisa data yang akan digunakan


oleh peneliti adalah uji Chi Kuadrat Satu
Sample. Berdasarkan perhitungan manual
hasil uji Chi Kuadrat satu sample
diperoleh hitung sebesar 18,2 sedangkan
nilai tabel dengan dk = 2 dan taraf
kesalahan 0,05 sebesar 5,991. Dengan
demikian hitung lebih besar dari tabel
maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya
ada hubungan antara pemberian MgSO4
pada ibu dengan preeklampsia berat
terhadap kontraksi uterus di RSD Kalisat
Kabupaten Jember yang dilakukan pada
bulan April Mei 2013.
Setelah dilakukan uji Koefisien
Kontingensi diperoleh hasil 0,61 artinya
61% penyebab kelainan kontraksi uterus
dipengaruhi oleh pemberian MgSO4 dan
39% adalah faktor yang lain pada ibu
preeklampsia berat. Yang berarti bahwa
kekuatan hubungan antara variabel ibu
preeklampsia berat yang diberi MgSO4 dan
kontraksi uterus cukup berarti atau sedang.
PEMBAHASAN

62

Mengidentifikasi Kejadian Preeklampsia


Berat Yang Diberi MgSO4
Berdasarkan
hasil
penelitian
menunjukkan bahwa ibu inpartu dengan
preeklampsia berat yang diberi MgSO4
sebanyak 30 ibu inpartu (100%).
Sampai
saat
ini
penanganan
penderita preklampsia berat menurut
Saifuddin, 2006: 211-212 yaitu dengan
cara pemberian obat antikonvulsan
(MgSO4). Namun pemberian obat ini harus
memenuhi syarat yakni refleks patela (+),
frekuensi pernapasan >16 kali per menit,
tidak ada tanda distress nafas, pengeluaran
urin minimal 100 cc/ 4 jam, harus tersedia
antidotum MgSO4 bila terjadi intoksikasi
yaitu kalsium glukonas 10% = 1 gram
(10% dalam 10 cc) diberikan intravena 3
menit. Efek samping obat ini dapat
menghambat kontraktilitas uterus karena
MgSO4 menghambat atau menurunkan
kadar asetilkolin pada rangsangan serat
saraf dengan menghambat transisi
neuromuskular dan akan menggeser
kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak
terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara
ion kalsium dan ion magnesium). Kadar
kalsium yang tinggi dalam darah dapat
menghambat kerja magnesium sulfat dan
sebaliknya (Winkjosastro, 2009 : 547).
Berdasarkan fakta dan teori diatas
menunjukkan bahwa seluruh ibu inpartu
dengan preeklamsia berat harus diberikan
MgSO4 supaya tidak terjadi kemungkinan
terburuk yaitu menjadi eklampsia. Karena
jika ibu dibiarkan eklampsia akan
berbahaya bagi ibu dan janinya. Selain itu
seorang bidan harus tanggap dalam
menyiapkan penanganan dampak terburuk
yang
diakibatkan pemberian MgSO 4.
Penanganan awal mencegah hal yang lebih
buruk merupakan salah satu bentuk
penatalaksanaan
yang
seharusnya
dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan
terutama dalam hal ini bidan.
Mengidentifikasi Kelainan Kontraksi
Uterus Pada Ibu Preeklampsia Berat
Yang Diberi MgSO4

Dari hasil penelitian didapatkan


jumlah ibu inpartu dengan preeklampsia
berat yang diberi MgSO4 yang mengalami
kelainan kontraksi uterus sebanyak 21
orang (70%).
Pemberian MgSO4 pada ibu
preeklampsia ini menyumbang salah satu
penyebab perdarahan kala IV, karena kerja
MgSO4 menghambat atau menurunkan
kadar asetilkolin pada rangsangan serat
saraf dengan menghambat transmisi
neuromuskuler. Transmisi neuromuskuler
membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada
pemberian magnesium sulfat, magnesium
akan menggeser kalsium, sehingga aliran
rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif
inhibition antara ion kalsium dan ion
magnesium) (Wiknjosastro, 2009: 547).
Bila konsentrasi ion Ca2+ ekstraselular
turun hingga nilai yang rendah, kontraksi
otot polos biasanya hampir tidak ada sama
sekali. Pada kenyataannya, setelah
beberapa menit dalam keadaan Ca2+ yang
rendah, bahkan retikulum sarkoplasma
pada serat otot polos pun akan kehilangan
suplai kalsiumnya. Karena itu, kekuatan
kontraksi otot polos sangat bergantung
pada konsntrasi ion kalsium ekstraselular
(Guyton, 2000).
Faktor yang dapat mempengaruhu
frekuensi dan kekuatan kontraksi otot
uterus yaitu peregangan mekanis, hormon
tertentu, metabolit lokal, dan obat tertentu.
Semua faktor ini bekerja dengan
memodifikasi permeabilitas saluran Ca2+
di
membran
plasma,
retikulum
sarkoplasma, atau keduanya, melalui
berbagai mekanisme. Karena itu, otot
polos lebih dipengaruhi oleh faktor
eksternal dibandingkan otot rangka,
meskpun otot polos dapat berkontraksi
sendiri dan otot rangka tidak (Guyton,
2000).
Berdasarkan fakta dan teori diatas
menunjukkan bahwa kontraksi otot polos
dalam hal ini otot pada uterus lebih banyak
dipengaruhi oleh faktor eksternal,karena
faktor eksternal ini yang mengambat
masuknya kadar Ca2+ ekstraselular.
Observasi
yang dilakukan peneliti
63

menunjukkan sebagian besar responden


mengalami kelainan kontraksi uterus pada
persalinan kala IV. Yang ditandai dengan
tidak adanya kontraksi rahim yang kuat
setelah dilakukan pemijatan uterus 15 kali
setelah plasenta lahir, bentuk atau
konsistensi rahim kurang keras lunak,
sehingga responden banyak mengeluarkan
darah yang cukup banyak. Oleh karena itu
bidan harus menyiapkan penanganan
perdarahan
sejak
awal
untuk
mengantisipasi kemungkinan efek terburuk
yang dihasilkan oleh pemberian MgSO4.
Menganalisa Hubungan Pemberian
MgSO4 pada Ibu Preeklampsia Berat
Terhadap Kontraksi Uterus
Berdasarkan analisa data secara
manual menggunakan Chi Kuadrat satu
sample dengan dk = 2 dan taraf kesalahan
0,05 didapatkan hitung (18,2) lebih besar
dari tabel (5,991) maka Ho ditolak dan Ha
diterima, artinya ada hubungan antara
pemberian MgSO4 pada ibu dengan
preeklampsia berat terhadap kontraksi
uterus di RSD Kalisat Kabupaten Jember
yang dilakukan pada bulan April Mei
2013.
Adanya hubungan antara pemberian
MgSO4 pada ibu dengan preeklampsia
berat terhadap kontraksi uterus ini
disebabkan
karena
kerja
MgSO4
menghambat atau menurunkan kadar
asetilkolin pada rangsangan serat saraf
dengan
menghambat
transmisi
neuromuskuler. Transmisi neuromuskuler
membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada
pemberian magnesium sulfat, magnesium
akan menggeser kalsium, sehingga aliran
rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif
inhibition antara ion kalsium dan ion
magnesium). Kadar kalsium yang tinggi
dalam darah dapat menghambat kerja
magnesium
sulfat
dan
sebaliknya
(Wiknjosastro,
2009:
547).
Efek
pemberian MgSO4 pada uterus dapat
menurunkan amplitude serta frekuensi
kontraksi rahim, karena itu digunakan

sebagai tokolitik di Negara AS sejak tahun


1925 (Jordan, 2004).
Mekanisme
MgSO4
dapat
menghambat kontraktilitas uterus masih
belum diketahui, tetapi secara umum
dianggap bahwa hal ini disebabkan oleh
efek magnesium terhadap kalsium
intraselular. Jalur regulatorik yang
mengarah pada kontraksi uterus berawal
dari peningkatan konsentrasi Ca2+ bebas
intraselular, yang mengaktifkan rantai
pendek miosin kinase. Konsentrasi
magnesium ekstraselular yang tinggi
dilaporkan tidak saja menghambat
masuknya kalsium ke dalam sel
miometrium tetapi juga menyebabkan
kadar magnesium intraselular meningkat.
Peningkatan
kadar
magnesium
intraselular
ini
dilaporkan
dapat
menghambat masuknya kalsium ke dalam
sel. Dengan menyekat saluran kalsium.
Mekanisme inhibisi kontraktilitas uterus
ini tampaknya bergantung pada dosis
karena untuk menghambat kontraksi uterus
diperlukan kadar magnesium serum
minimal 8 10 mEq/l. Toksisitas
magnesium dalam darah akan terjadi bila
kadar magnesium serum lebih dari 10
mEq/l.
Berdasarkan fakta dan teori di atas
menunjukkan bahwa pemberian MgSO4
selain dipakai untuk mengendalikan kejang
juga dapat mengangguan kontraktilitas
uterus, sehingga dapat menyebabkan
perdarahan post partum. Oleh karena itu
bidan harus mampu menyiapkan peralatan
penanganan
perdarahan
postpartum
apabila menemukan ibu inpartu dengan
preeklampsia berat. Agar jika terjadi efek
samping obat terburuk yaitu penurunan
kontraktilitas uterus dapat ditangani
dengan cepat dan tepat.
KESIMPULAN
1. Kejadian
ibu
inpartu
dengan
preeklampsia berat yang diberi MgSO4
di RSD Kalisat sebanyak 100%.
2. Kelainan kontraksi uterus pada ibu
preeklampsia berat yang diberi MgSO4
di RSD Kalisat sebanyak 70% dan
64

yang tidak mengalami kelainan


kontraksi uterus sebanyak 30%.
3. Ada hubungan antara pemberian
MgSO4 pada ibu preeklampsia berat
terhadap kontraksi uterus di RSD
Kalisat Kabupaten Jember dengan
kekuatan hubungan 0,61 cukup berarti
atau sedang. Artinya sebanyak 61%
penyebab kelainan kontraksi uterus
dipengaruhi oleh pemberian MgSO4
dan 39% adalah faktor yang lain pada
ibu preeklampsia berat. Dengan
demikian petugas kesehatan harus
mampu menangani akibat yang
ditimbulkan pemberian MgSO4 dan
dapat harus menyiapkan peralatan
penanganan perdarahan postpartum
apabila terjadi penurunan kontraksi
uterus yang semakin memburuk.
SARAN
1. Bagi Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan terutama bidan
diharapkan dapat menyiapkan peralatan
penanganan
perdarahan
untuk
menangani efek samping terburuk yang
dihasilkan oleh pemberian MgSO4.
2. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan menjadi masukan untuk
dapat membuat Standar Operasional
Prosedur yang tetap untuk menangani
pasien inpartu dengan preeklampsia
berat.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan pada penelitian selanjtnya
lebih
mengontrol
ke
variabel
pengganggu untuk ditiadakan, sehingga
penelitian akan bersifat lebih homogen
dan hasil penelitian sesuai harapan dan
memuaskan.
4. Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat khususnya ibu
bersalin dapat mengetahui informasi
tentang efek samping yang ditimbulkan
oleh pemberian MgSO4.

Cipta
Bobak dkk. 2005. Buku Ajar Keperawatan
Maternitas. Jakarta : Buku Kedokteran
EGC
Cunningham, F. Gary, dkk.. 2006. Obstetri
William. Jakarta : Buku Kedokteran
EGC
Destin, Rizwesta. 2011. Tugas Mandiri Blok
Dorland. 2009. Kamus Kedokteran.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC
JNPKR. 2002. Asuhan Persalinan Normal.
Jakarta: JNPKR
Jordan,
Sue.
2004.
Farmakologi
Kebidanan.
Jakarta:
Buku
Kedokteran EGC
Leveno. 2009. Obstetri Williams Panduan
Ringkas. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Manuaba, IBG. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Mochtar. 1998: Sinopsis Obstetri Jilid 1. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC
Notoadmojo. 2010. Metodologi Penelitian
Kesehatan.Jakarta : PT Rineka Cipta
Nursalam. 2009. Konsep Dan Penerapan
Metodologi
Penelitian
Ilmu
Keperawatan.Jakarta : Salemba
Merdeka
Saifuddin, dkk. 2006. Buku Acuan

Nasional Pelayanan Kesehatan


Maternal Dan Neonatal. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Sugiyono. 2004. Statistik Non Parametris
Untuk
Penelitian.
Bandung:
Alfabeta
Sugiyono.
2011.
Statistika
Untuk
Penelitian. Bandung: Alfabeta
Wiknjosastro, dkk.. 2009. Ilmu Kebidanan.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiraharjo..

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktik.Jakarta : PT Rineka
65

KEPATUHAN ORANGTUA DALAM MEMBERIKAN TERAPI DIET PADA ANAK AUTIS

Sutrisno, Jenie Palupi, Dian Aby Restanty

Abstract: Autism is a condition that is about one child from birth or infancy moment that makes him
unable to form social relationships or normal communication. WHO report of 2005 shows ratio of
100:1. The results by Nanin and Umi (2010) mentions that there is that of 55 children with autism
who were treated in a foundation, as many as 35 children are also gluten-free diet and biomedical
therapies casein. Give a especially glutein free and casein free will be very helpful in improving
digestion children autism are impaired.This study aims to determine the level of compliance of
parents in providing diet therapy in children with autism. This study uses a descriptive research
method. The population are parents who have children with autism by 30 parents. Samples taken by
30 parents in SLB-B Bintoro landfill. Sampling technique is used is total sampling. In collecting data
using questionnaires sheet, the percentage of data processed. The results in SLB-B Bintoro shows that
parents are not obedient in giving diet therapy is as much as 17 (56.66%). This means that there are
many parents who do not comply in providing diet therapies. It is recommended for parents to provide
biomedical therapy to children every day.
Key word : autism, diet therapy

PENDAHULUAN
Setiap Orang Tua di Indonesia
menginginkan
anaknya
tumbuh
dan
berkembang sesuai tahapan umurnya. Tetapi
masih banyak pula anak yang mengalami
kelainan dalam perkembangannya yang sering
kita sebut Autis.
Kejadian anak autis di dunia semakin
meningkat. Laporan WHO tahun 2005
menunjukkan perbandingan 100:1 dan
memprediksi pada tahun 2020 gangguan
neuropsikiatrik termasuk autisme terhadap
anak di seluruh dunia akan meningkat 50 %.
Jumlah anak autis di seluruh dunia pada tahun
2007 sebanyak 35 juta dan pada tahun 2008
mencapai 60 juta setiap tahun. Amerika dapat
menentukan bahwa kejadian di negaranya
adalah 1:150 (satu anak autis per seratus lima
puluh anak) dan Inggris berani mengeluarkan
angka 1:100. Sedangkan di Indonesia, pada
tahun 2000 menurut Ika Widyawati, staf
bagian psikiatri fakultas kedokteran universitas
Indonesia memperkirakan terdapat kurang
lebih 6900 anak penyandang autis di
Indonesia. Dr. Melly Budhiman Psikiater
Anak dan Ketua Yayasan Autisme Indonesia
mengatakan Bila sepuluh tahun yang lalu
jumlah penyandang autisme diperkirakan satu
per 5.000 anak, saat ini meningkat menjadi
satu per 500 anak .Menurut mantan menteri
kesehatan Siti Fadillah Supari mengatakan

bahwa penderita autis pada tahun 2004 tercatat


475.000. (Kompas, 2010). Untuk wilayah
Jawa Timur, menurut Kepala Dinas
Pendidikan Jawa Timur tahun 2009 terdapat
388 SLB dengan jumlah siswa 13.159 orang.
Selain itu terdapat 93 sekolah inklusi dengan
siswa berkebutuhan khusus.
Beberapa
ahli
berpendapat
autis
merupakan sindroma yang disebabkan oleh
berbagai penyebab salah satunya seperti faktor
genetik diduga karena adanya kromosom
(ditemukan 5-20 % penyandang autisme).
Namun studi baru menunjukkan heritabilitas
genetik hanya menempati 37 % variasi risiko
autisme dan 38 % gangguan spektrum autisme
lainnya, factor kedua adalah faktor peradangan
pada dinding usus yang dikemukakan oleh Dr.
Andrew Wakefield yang melakukan endoskopi
pada 16 anak autis yang kondisinya
memburuk,
Wakefield
menemukan
peradangan usus pada sebagian anak anak
itu. Dr. Timothy Buie, seorang ahli pencernaan
anak dari Harvard / massa chussets General
Hospital, melakukan riset terhadap 400 anak
autis dengan metode yang sama dengan
Wakefield. Dokter Timothy menemukan
bahwa banyak anak anak mengalami
peradangan di usus, persis seperti laporan
Wakefield. Penemuannya itu kemudian
dialanjutkan dengan riset mengenai terapi diet
pada anak autis Gluten Free- Casein Free
66

(GFCF) diet. Dr. Karoly Horvath dan kawan


kawan dari University of Maryland juga
melakukan riset yang sama dan mendapatkan
hasil yang tidak berbeda dengan Wakefield
dan Buie. Sekitar 60% penyandang autisme
mempunyai sistem pencernaan yang tidak
sempurna. Sekitar 95% alergi terhadap susu
sapi dan jenis gandum.
Gangguan di dalam tubuh anak
dampaknya bisa mempengaruhi fungsi
otaknya,
sehingga
timbul
gangguan
perkembangan di bidang mental yang muncul
dalam bentuk gangguan perilaku, emosi,
kecerdasan, kemampuan berinteraksi dan
berkomunikasi.perkembangan dan fungsi
susunan saraf pusat yang menyebabkan
gangguan fungsi otak, terutama pada fungsi
mengendalikan pikiran, pemahaman dan
komunikasi dengan orang lain. Gangguan
pertumbuhan sel otak ini terjadi pada saat
kehamilan 3 bulan pertama. 60 % anak autis
mempunyai IQ di bawah 50, sedangkan 20 %
antara 50 -70 dan hanya 20% yang mempunyai
IQ lebih dari 70. Penyandang autis tidak
identik dengan bodoh.Memang sekitar 70 %
penderitanya dinyatakan mengalami retardasi
mental.(Indiarti, 2007).Dengan terungkapnya
hal tersebut maka timbul kesadaran bahwa
anak anak ini tidak saja harus di tangani
gangguan perkembangannya, namun seluruh
metabolisme
tubuh
anak
ini
harus
dibenahi.Berbagai terapi dilakukan sebagai
solusi pengobatan.Salah satunya solusinya
adalah terapi diet atau terapi diet.Pada
umumnya, orang tua mulai dengan diet tanpa
gluten dan kasein, yang berarti menghindari
makanan dan minuman yang mengandung
gluten dan kasein (Nora, 2010).Orang tua
merupakan salah satu faktor yang sangat
berpengaruh terhadap penerapan terapi diet
pada anak autisme, karena pola makan anak
autis tidak terlepas dari peran seorang ibu
dalam menyediakan makanan yang baik serta
bergizi
dan
sesuai
dengan
kebutuhannya.Orang tua harus patuh dalam
memberikan terapi diet glutein dan kasein
(diet) kepada anak. Tetapi sebagian orang tua
tidak patuh dalam memberikan terapi tersebut.
Hasil penelitian Amilia (2012) menunjukkan
bahwa dari 15 orang tua yang di wawancarai
10 orang diantaranya mengaku tidak
melakukan diet secara konsisten dan analisis
univariat menunjukkan bahwa sebagian kecil
responden (15 %) yang patuh dalam
menerapkan diet glutein dan kasein (terapi

diet).Kepatuhan orang tua sangat diperlukan


dalam terapi diet.
Meskipun orang tua mengerti tentang
terapi diet tetapi sebagian besar tidak
menjalankannya atau tidak patuh dalam
menerapkannya pada anaknya. Dari hasil
penelitian oleh Nanin dan Umi (2010)
menyebutkan bahwa terdapat bahwa dari 55
anak autisme yang diterapi di yayasan
tersebut, sebanyak 35 anak juga menjalani diet
bebas gluten dan kasein. Dari 35 anak yang
menjalani diet bebas gluten dan kasein hanya
sebagian kecil yang menjalani diet dengan
ketat dan disiplin yaitu sebanyak 19 anak.Hasil
penelitian oleh Sabri, dkk (2006) menyebutkan
bahwa dari 35 anak yang menjalani diet CFGF
hanya sebagian kecil yang menjalani diet
dengan ketat dan disiplin yaitu sebanyak 19
anak. Dari catatan yang ada di yayasan
didapatkan anak autisme yang menjalani diet
CFGF (Casein Free Glutin Free ) rata-rata
sudah menjalani selama lebih kurang satu
tahun ini.Hasil dari penelitian Koka (2011),
menunjukkan bahwa pengetahuan, sikap dan
tindakan ibu dalam pemberian makan pada
anak autisme berada dalam kategori cukup
yaitu 68,8% untuk pengetahuan, 59,4% untuk
sikap, dan 43,8% untuk tindakan.
Berdasarkan study pendahuluan yang
dilakukan di SLB-B TPA Bintoro di
Kecamatan Patrang Kabupaten Jember
diperoleh data tahun 2013 dari seluruh jumlah
54 siswa terdapat 30 siswa autis. Dan dari 30
siswa 11 (36.7 %) orang tua siswa mengaku
patuh memberikan terapi diet (terapi diet).
Sedangkan 19 siswa (63.3 % ) orang tua siswa
tidak patuh dalam memberikan terapi diet.
Berdasarkan permasalahan diatas peneliti ingin
meneliti mengenai kepatuhan orang tua
terhadap pemberian terapi diet pada anak autis.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi kepatuhan orang tua dalam
menerapkan terapi diet pada anak autis di
SLB-B TPA Bintoro di Kecamatan Patrang
Kabupaten Jember tahun 2013.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini metode yang
digunakan adalah metode dekriptif Populasi
dalam penelitian ini adalah orang tua yang
memiliki anak yang sudah terdiagnosa autis
dan telah mendapatkan pengetahuan tentang
terapi diet di SLB-B TPA Bintoro Kecamatan
Patrang Kabupaten Jember sejumlah 30 orang
67

tua. Dalam penelitian ini teknik sampling yang


digunakan adalah total sampling.
HASIL PENELITIAN
Data Umum
Umur Anak
Karateristik anak berdasarkan Jenis Kelamin
anak di SLB B TPA Bintoro Kecamatan
Patrang Kabupaten Jember pada bulan Juli
2013
Tabel 1. Distribusi frekuensi karateristik
anak berdasarkan umur anak di SLB B
TPA Bintoro Kecamatan Patrang Kabupaten
Jember
Umur (th)
2-7
8-11
12-20
Jumlah

Jumlah anak
autis
10
7
13
30

Prosentase
(%)
33,33
23,33
43,33
100

Jenis kelamin
Karakteristik anak Berdasarkan berdasarkan
Jenis Kelamin anak di SLB B TPA Bintoro
Kecamatan Patrang Kabupaten Jember
Tabel 2. Distribusi frekuensi karateristik
anak berdasarkan Jenis Kelamin anak di
SLB B TPA Bintoro Kecamatan Patrang
Kabupaten Jember
Jenis
Kelamin
Laki - Laki
Perempuan
Jumlah

Jumlah anak
autis
25
5
30

Prosentase
(%)
83,33
16,66
100

Pendidikan Orangtua
Karakteristik
Responden
Berdasarkan
berdasarkan Pendidikan Orangtua di SLB B
TPA Bintoro Kecamatan Patrang Kabupaten
Jember
Tabel 3. Distribusi frekuensi karateristik
responden berdasarkan Pendidikan
Orangtua anak di SLB B TPA Bintoro
Kecamatan Patrang Kabupaten Jember
Pendidikan
Orang
tua
Dasar (SMP)
Menengah
(Umum/Kejuruan)
Tinggi
Jumlah

Jumlah
(orang)
2
19
9
30

Prosentase
(%)
6,66 %
63,33 %
30,00 %
100

Pendapatan Orangtua
Karakteristik
Responden
Berdasarkan
berdasarkan Pendapatan Orangtua di SLB B
TPA Bintoro Kecamatan Patrang Kabupaten
Jember
Tabel 4. Distribusi frekuensi karateristik
responden berdasarkan Pendapatan
Orangtua anak di SLB B TPA Bintoro
Kecamatan Patrang Kabupaten Jember
Pendapatan
Orang tua/ bulan
< 1 juta
>1 juta
Jumlah

Jumlah
(Rp.)
3
27
30

Prosentase
(%)
10 %
90 %
100

Data Khusus
Tabel 5. Kepatuhan orangtua dalam
memberikan terapi diet pada anak Autis di
SLB-B Bintoro Kecamatan Patrang
Kabupaten Jember
Pendidikan Orang
tua
Patuh
Tidak Patuh
Jumlah

Jumlah
(orang)
13
17
30

Prosentase
(%)
43,33
56,66
100

PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian di SLB-B TPA
Bintoro Kecamatan Patrang Kabupaten Jember
dengan jumlah responden 30 anak di dapatkan
orangtua yang patuh sebanyak 13 (43,33 %),
dan orangtua yang tidak patuh sebanyak 17
(56,66 %). Sebagian besar responden
berpendidikan SMA / MA sebanyak 63,33 % .
Sebagian besar orangtua berpendapatan lebih
dari 1.091.000. Menurut pernyataan Puspita
dalam Ratnadewi (2012) yang menyebutkan
bahwa orangtua di katakan patuh jika
melaksanakan
diet
yang
meliputi
kemampuannya dalam memilih makanan
untuk anak, Mencatat makanan dan minuman
yang di konsumsi anak agar orangtua dapat
menimbulkan alergi pada anak. Hal ini
diperkuat dengan pernyataan Budhiman 2002,
yang menyatakan Mencatat makanan menjadi
lebih penting ketika kasein dan glutein
dihilangkan. Dan menurut Budhiman 2002
menambahkan Banyak zat yang tidak
termasuk dalam daftar obat dan disebut
sebagai Nutritional Suplements atau Food
Suplements yaitu dijual secara bebas, misalnya
68

ginko biloba.. Pemberian flaxseed oil yang


kaya asam lemak pada anak autistik bertujuan
agar membran dinding usus (Budhiman,
2002). Menurut Soenardi, 2009 Gula
sebaiknya dihindari, khususnya bagi yang
hiperaktif dan ada infeksi jamur.
Orangtua yang patuh dalam memberikan
terapi diet pada anak akan berpengaruh pada
anak dalam hal misalnya peningkatan dalam
komunikasi dalam bersosialisasi anak tersebut,
kontak mata, konsentrasi membaik, hiperaktif
berkurang, dan jam tidur anak membaik. Pada
anak autis yang diberi terapi diet dengan baik
akan berperilaku dengan baik, tampak
berperilaku normal, berkomunikasi dengan
normal juga. Dalam keseharian anak autis
yang diberikan terapi tampak berbeda dengan
yang tidak melaksanakan terapi diet. Orang tua
di anggap patuh karena orangtua selalu
memberikan makanan yang tepat dengan
kebutuhan anak. Kesulitan orangtua di SLB-B
Bintoro adalah orangtua kurang mencari
informasi tentang terapi diet bebas glutein dan
kasein. Orangtua hanya mengikuti informasi
dari dokter dan informasi dari sekolah.
Semakin tinggi pendidikan orangtua mungkin
akan semakin banyak orangtua mencari
informasi tentang terapi diet glutein free and
casein free. Dan membuat orangtua semakin
mengerti pentingnya pemberian terapi diet
pada anak. Bagi orangtua yang tidak patuh
kesulitan yang di alami karena orangtua harus
mencari makanan pengganti glutein dan casein
yang harganya relative lebih mahal dan untuk
melengkapi gizi anak dengan menambahkan
suplemen kesehatan anak yang harganya
mahal. Orangtua mungkin merasa keberatan
untuk membeli makanan pengganti anak yang
lain dan mungkin merasa banyak kebutuhan
yang lain yang lebih penting. Kesulitan
orangtua juga karena kurang memberi
penjelasan pada anak bahwa makanan tersebut
tidak baik untuk anak autis sehingga orang tua
tetap memberikan makanan tersebut ketika si
anak mulai merengek atau menangis.
KESIMPULAN
Terdapat perbedaan yang tidak significant
(berarti) pada tingkat kepatuhan orang tua
dalam menerapkan terapi diet pada anak autis
di SLB-B TPA Bintoro Kabupaten Jember.

SARAN
1. Bagi Orang tua
Untuk orangtua yang sudah patuh
sebaiknya
tetap
mempertahankan
pemberian terapi diet dapat memberikan
informasi kepada orangtua yang masih
tidak patuh dalam memberikan terapi
tersebut. Bagi orang tua yag belum patuh
sebaiknya menaati anjuran dokter untuk
memberikan diet secara benar.
2. Bagi Terapis
Di harapkan bagi terapis untuk selalu
memberikan konseling kepada orangtua
tentang terapi diet sehingga orangtua lebih
mengerti tentang terapi biomeis untuk anak
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan
sebagai data awal penelitian selanjutnya.
DAFTAR RUJUKAN
Amilia Destiani Sofi. (2012). Kepatuhan

Orang Tua Dalam Menerapkan Terapi


Diet Gluten Free Casein Free Pada Anak
Penyandang Autisme Di Yayasan Pelita
Hafizh Dan Slbn Cileunyi Bandung
.<http://www.journals.unpad.ac.id(diakse
s 14 Februari 2013)
Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka
Cipta
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek.. Jakarta : Rineka
Cipta
Budhiman, Melly. (2002). Langkah Awal
Menanggulangi Autisme. Jakarta :
Majalah Nirmala
Danuatmaja, B. (2003). Terapi Anak Autis di
Rumah. Jakarta: Puspa Sehat
Departemen Kesehatan RI. (2005). Pedoman

Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan


Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak.
Jakarta : Depkes RI
Indiarti, MT. (2007). Ma, Aku Sakit
Lagi.Yogyakarta: Penerbit Andi.
Mahfoed,
Ichram.
(2005).
Pendidikan
Kesehatan
Bagian
Dari
Promosi
Kesehatan.Yogyakarta: Fitramaya
Mahfoed, Ichram. (2005). Teknik Membuat
Alat Ukur Penelitian Bidang Kesehatan
Keperawatan dan Kebidanan. Jogjakarta :
Fitramaya
Nototamodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan
dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka
Cipta
69

Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metodologi


Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka
Cipta
Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta : Saleba Medika
Ratnadewi. (2007). Peran Orangtua Pada

Terapi Diet Untuk Anak Autis.


<http://www.gunadarma.ac.id > ( diakses
10 Desember 2012)
Rohimahyati. (2010). Perkembangan Autisme
<http ://www.kompas.com > (diakses 30
Januari 2013)
Sugiyono.
(2012).
Metode
Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R &B. Jakarta :
Alfabeta
Soenardi, T. (2009). Terapi Makanan Anak
Dengan
Gangguan
Autisme.
<
http://www.autis.info > (diakses 27 Maret
2013)
Sunu,C.
(2012).
Unlocking
Autisme.
Yogyakarta: Lintang Terbit.
Wong,dkk. (2009). Buku Ajar Keperawatan
Pediatrik Volume 1. Jakarta:EGC
Wong,dkk. (2009). Buku Ajar Keperawatan
Pediatrik Volume 2. Jakarta:EGC
Yuwono,J. (2012). Memahami Anak Autistik.
Bandung: Alfabeta.

70

PENGARUH PEMBERIAN KAPSUL BAWANG PUTIH TERHADAP PENURUNAN


TEKANAN DARAH PADA WANITA MENOPAUSE DENGAN HIPERTENSI DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS KENCONG

Effect Giving of Garlic Capsules To Decrease Blood Pressure In Menopausal Women


With Hypertension in Work Region Puskesmas Kencong
Kiswati, Eni Subiastutik, Dian Aby Restanty
Abstract

Prevalence of hypertension at menopausal women in Indonesia based Health Research


Association 2010 increased 17,4% in the 45 49 age group and 17,1% in the 50 -54 age
group. Garlic bulbs contain substances that are hypotensive. The purpose of this research
was to determine the effect of garlic capsules to decrease blood pressure in menopausal
women with hypertension in work region Puskesmas Kencong. The research used pre
experimental design with 12 respondens for sample. Research instrument using mercury
tensimeter. Analysis of data using t - test and the t value obtained for systolic pressure
before and after giving garlic capsuler 1,36 and for diastolic pressure 1,01, this value is
smaller than t table (2,074) then Ho is accepted, there is no effect giving garlic capsules to
decrease blood pressure in menopausal women with hypertension. Other factors such as
salt intake, stress, regularity and timeliness of capsules consumption can affect blood
pressure. Garlic capsules will be effective to decrease blood pressure when a regular and
timely white taking it. As well, need to control stress and salt intake.
Keywords : hypertension, menopause, garlic capsules

PENDAHULUAN
Hipertensi atau penyakit tekanan
darah tinggi sebenarnya adalah suatu
gangguan pada pembuluh darah yang
mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi,
yang dibawa oleh darah terhambat sampai
ke jaringan tubuh yang membutuhkannya.
Gejala hipertensi pada umumnya antara
lain : sakit kepala, jantung berdebar
debar, sulit bernapas setelah bekerja keras
atau mengangkat beban berat, dan mudah
lelah (Vitahealth, 2004). Secara sederhana
seseorang disebut hipertensi apabila
tekanan darah sistolik diatas 140 mmHg
dan tekanan diastolik lebih besar dari 90
mmHg. Menurut WHO, batas tekanan
darah yang masih dianggap normal adalah
140/90 mmHg. Batasan tersebut adalah
untuk orang dewasa atau diatas umur 18
tahun (Sunardi, 2005).
Angka prevalensi hipertensi di
Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan

Dasar tahun 2007 mencapai 30 % dari


populasi hipertensi dan 54 % diantaranya
adalah wanita menopause, 60 % penderita
dari jumlah itu berakhir dengan stroke, 5,1
% berakhir dengan penyakit jantung
iskemik dan 4,6 % penyakit jantung
(Kemenkes, 2012). Angka prevalensi
hipertensi pada wanita menopause di
Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar tahun 2010 meningkat sebanyak
17,4% pada kelompok usia 45-49 tahun
dan pada kelompok usia 50-54 tahun
meningkat sebanyak 17,1 % dibandingkan
dengan tahun 2007 (Riset Kesehatan
Dasar, 2010).
Setidaknya
terdapat
21
ribu
penderita kasus hipertensi setiap bulan
yang tersebar di Jawa Timur. Data Dinas
Kesehatan
(Dinkes)
Jawa
Timur
menyebutkan total penderita hipertensi di
Jawa Timur tahun 2011 sebanyak 285.724
pasien. Data ini diambil menurut
71

Surveilans Terpadu Penyakit (STP)


Puskesmas di Jawa Timur (Surabaya post,
2011).
Dari data yang dihimpun oleh RSD
dr, Soebandi Jember, jumlah penderita
penyakit
degeneratif
non
infeksi
jumlahnya terusbertambah dari tahun ke
tahun. Hasil evaluasi menyebutkan, pada
tahun 2012 saja 12 ribu pasien penderita
penyakit ini mendapatkan perawatan medis
oleh RSD dr. Soebandi. Penderita
hipertensi menempati urutan pertama
dengan jumlah 8.619 pasien (Soka, 2013).
Berdasarkan data hasil studi
pendahuluan yang dilakukan pada tanggal
20 Februari 2013 di posyandu lansia
Dusun Kencong dan Dusun Wonorejo,
terdapat 22 peserta wanita menopause dan
didapatkan 15 diantaranya menderita
hipertensi.
Faktor
yang
mempengaruhi
terjadinya hipertensi salah satunya adalah
faktor usia (Lolipoly, 2012). Dibandingkan
dengan wanita pre menopause, wanita
menopause memiliki tekanan darah yang
lebih tinggi. Menopause dihubungkan
dengan pengurangan pada estradiol dan
penurunan rasio estrogen dan testosteron
(Widanti, 2006). Menurunnya kadar
estrogen menimbulkan kecenderungan
menurunnya kadar HDL ( High Density
Lipoprotein), jenis kolesterol baik dan
bersifat protektif serta meningkatkan kadar
LDL ( Low Density Lipoprotein), jenis
kolesterol buruk. Kondisi inilah yang
menaikkan resiko hipertensi dan penyakit
jantung. Dalam jangka panjang dapat
mengakibatkan kematian (Lestary, 2010).
Bawang putih (Allium Sativum)
sudah dikenal manusia sejak 4000-an
tahun silam. Kandungan Allicin dan
Ajoene dalam bawang putih dapat
meningkatkan fungsi kardiovaskuler dan
mencegah penggumpalan darah sehingga
dapat menurunkan kadar fibrinogen,
mencegah serangan hiperkolesterolemik
dan atherosklerosis. Berdasarkan hasil uji
klinis yang dilakukan oleh F. G.
Piotrowski di Universitas Genewa
menyebutkan, kapsul bawang putih efektif

untuk menjaga normalitas tekanan darah


pasien hipertensi. Dalam sebuah percobaan
terbukti bahwa 40% dari 100 orang
mengalami penurunan tekanan darah
sebesar 20 mmHg setelah satu minggu
mengkonsumsi kapsul bawang putih
(Lingga, 2012).
Berdasarkan masalah diatas, peneliti
melakukan penelitian tentang pengaruh
kapsul bawang putih terhadap wanita
menopause dengan hipertensi.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan
adalah pre-experimental design. Bentuk
pre-experimental design yang digunakan
dalam penelitian ini adalah one group pretest post-test. Populasinya adalah semua
wanita menopause dengan hipertensi yang
melakukan kunjungan posyandu lansia di
Desa Kencong, Jember pada bulan Juni
2013 yang berjumlah 12 orang.
Teknik sampling yang digunakan adalah
non
probability
sampling
dengan
menggunakan metode sampling jenuh atau
total sampling sehingga didapatkan sampel
berjumlah 12 orang.
Penelitian ini dilaksanakan di posyandu
lansia Dusun Kencong dan Dusun
Wonorejo pada bulan Juni Juli 2013. Uji
statistik yang digunakan adalah Paired T-

test.
HASIL PENELITIAN
Data Umum
Umur
Tabel 1. Distribusi
Frekuensi
Umur
Responden Pada Posyandu Lansia
Dusun Kencong dan Wonorejo
bulan Juni Juli 2013
Umur lansia
50 55 tahun
56 60 tahun
61 65 tahun
66 70 tahun
Jumlah

Jumlah
3
4
2
3
12

(%)
25
33,3
16,7
25
100

72

Tabel 1. diatas menunjukkan bahwa


dari 12 responden terdapat 33,3% lansia
yang berumur 56 60 tahun, 25 % lansia
yang berumur 50 55 tahun dan 66 70
tahun, 16,7% lansia yang berumur 61 65
tahun
Kategori Status Gizi
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kategori
Status Gizi Responden Pada
Posyandu Lansia Dusun Kencong
dan Wonorejo Bulan Juni Juli
2013
Kategori
Jumlah (%)
Status Gizi
Underweight
1
8,3
Normal
9
75
Obesitas tk I
1
8,3
Obesitas tk II
1
8,3
12
100
Jumlah
Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa
75% responden dalam kategori status gizi
normal, dan 8,3% responden masing
masing dalam kategori status gizi
underweight, obesitas tingkat I, dan
obesitas tingkat II.
Kebiasaan
Merokok
dan
minum
minuman beralkohol
Dalam penelitian ini, mayoritas
responden (100%) tidak merokok dan
tidak mengkonsumsi minum minuman
beralkohol.
Data Khusus
Identifikasi Tekanan Darah Sistolik
Responden Sebelum dan Sesudah Diberi
Kapsul Bawang Putih
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Tekanan
Darah
Sistolik
Responden
Sebelum dan Sesudah Diberi
Kapsul Bawang Putih Pada
Posyandu Lansia Dusun Kencong
dan Wonorejo Bulan Juni Juli
2013

Tekanan
Sebelum
Sesudah
Sistolik
N %
N %
160
2 16,7
2 16,7
170
3 25
5 41,6
180
5 41,6
3 25
190
2 16,7
2 16,7
12 100
12 100
Jumlah
Berdasarkan
tabel
3
diatas
diketahui bahwa tekanan darah sistolik
responden sebelum pemberian kapsul
bawang putih adalah 180 mmHg sebanyak
41,6%, 170 mmHg sebanyak 25%, 160
mmHg dan 190 mmHg sebanyak 16,7%,
dan tekanan darah sistolik responden
setelah pemberian kapsul bawang putih
adalah 170 mmHg sebanyak 41,6%, 180
mmHg sebanyak 25%, 160 mmHg dan 190
mmHg sebanyak 16,7%.
Identifikasi Tekanan Darah Diastolik
Responden Sebelum dan Sesudah Diberi
Kapsul Bawang Putih
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Tekanan
Darah
Diastolik
Responden
Sebelum dan Sesudah Diberi
Kapsul Bawang Putih Pada
Posyandu Lansia Dusun Kencong
dan Wonorejo Bulan Juni Juli
2013
Tekanan Sebelum
Sesudah
Diastolik N
%
N %
90
1
8,3
1 8,3
100
5
41,7
7 58,4
110
5
41,7
3 25
120
1
8,3
1 8,3
12
100
12 100
Jumlah
Berdasarkan tabel 4. diatas
diketahui
tekanan
darah
diastolik
responden sebelum pemberian kapsul
bawang putih adalah 100 mmHg dan 110
mmHg sebanyak 41,7%, 90 mmHg dan
120 mmHg sebanyak 8,3%. Sedangkan
tekanan darah diastolik responden setelah
pemberian kapsul bawang putih adalah
100 mmHg sebanyak 58,4%, 110 mmHg
sebanyak 25%, 90 mmHg dan 120 mmHg
sebanyak 8,3 %.

73

Analisis Penurunan Tekanan Darah


Sistolik Responden Sebelum dan Setelah
Pemberian Kapsul Bawang Putih
Tabel 5. Tabel Penghitungan T Perbedaan
Tekanan
Darah
Sistolik
Responden Sebelum dan Setelah
Pemberian Kapsul Bawang Putih
Pada Posyandu Lansia Dusun
Kencong dan Wonorejo Bulan
Juni Juli 2013
N
o
1
.
.
.
12

1091,68
= 12
= 175,8
=9,96
=99,24

1091,68
= 12
= 174,2
=9,96
=99,24

Berdasarkan tabel 4.5 di atas, rata


rata tekanan darah sistolik lansia sebelum
dan sesudah diberi kapsul bawang putih
adalah 175,8 mmHg dengan standar
deviasi 9,96. Kemudian setelah lansia
mengkonsumsi kapsul bawang putih
selama 4 minggu, didapatkan rata rata
tekanan darah sistolik lansia sebesar 174,2
mmHg.
Dari uji T berpasangan secara
manual, diketahui nilai mean perbedaan
tekanan darah sistolik sebelum dan
sesudah pemberian kapsul bawang putih
yaitu 1,6 dengan standar deviasi 9,96.
Perbedaan ini diuji dengan uji T
menghasilkan nilai t = 1,36. Nilai t tabel
dengan dk = n1 + n2 2 = 22 dan = 5%
adalah sebesar 2,074. Nilai thitung < ttabel
sehingga Ho diterima dan H1 ditolak. Dari
hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat pengaruh terhadap tekanan
darah sistolik lansia sebelum dan sesudah
pemberian kapsul bawang putih.

Analisis Penurunan Tekanan Darah


Diastolik Responden Sebelum dan
Setelah Pemberian Kapsul Bawang Putih
Tabel 6. Tabel Penghitungan T Perbedaan
Tekanan
Darah
Diastolik
Responden Sebelum dan Setelah
Pemberian Kapsul Bawang Putih
Pada Posyandu Lansia Dusun
Kencong dan Wonorejo Bulan
Juni Juli 2013
No
1
.
.
.
12

= 12
= 105
=7,97
=63,63

700

666,68
= 12
= 103,3
=7,78
=60,60

Berdasarkan tabel 6 di atas, rata


rata tekanan darah diastolik lansia sebelum
pemberian kapsul bawang putih adalah
105 mmHg dengan standar deviasi 7,97.
Kemudian setelah lansia mengkonsumsi
kapsul bawang putih didapatkan rata rata
tekanan darah diastolic sebesar 103,3
mmHg.
Dari uji T berpasangansecara
manual, diketahui nilai mean perbedaan
tekanan darah diastolik lansia sebelum dan
sesudah pemberian kapsul bawang putih
yaitu 1,7. Perbedaan ini di uji dengan uji T
berpasangan menghasilkan nilai t = 1,01.
Nilai ttabel dengan dk = n1 + n2 2 = 22 dan
= 5% adalah sebesar 2,074. Selanjutnya
nilai thitung dibandingkan dengan nilai ttabel.
Nilai thitung < ttabel sehingga H0 diterima.
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan
bahwa tidak terdapat pengaruh terhadap
penurunan tekanan darah diastolik lansia
sebelum dan sesudah pemberian kapsul
bawang putih.
PEMBAHASAN

74

Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik


Pada Wanita Menopause Sebelum
Pemberian Kapsul Bawang Putih
Dari hasil penelitian berdasarkan
tabel 3 dan 4, didapatkan 41,6% responden
memiliki tekanan sistolik 180 mmHg dan
41,7 responden memiliki tekanan diastolik
100 mmHg dan 110 mmHg. Tekanan
darah responden sebelum mengkonsumsi
kapsul bawang putih selama 4 minggu
yaitu tekanan darah sistolik rata rata
sebesar 175,8 mmHg dan tekanan diastolik
rata rata sebesar 105 mmHg.
Menurut WHO (World Health
Organization), batas tekanan darah yang
masih dianggap normal adalah 140 mmHg
untuk tekanan sistolik dan 90 mmHg untuk
tekanan diastolik. Sedangkan menurut
kamus kedokteran Dorland (2007)
hipertensi merupakan keadaan dimana
tekanan arteri tinggi, berbagai kriteria
sebagai batasannya telah diajukan berkisar
dari tekanan sistole 140 200 mmHg dan
tekanan diastolik 90 110 mmHg.
Hipertensi
pada
menopause
berhubungan
dengan
semakin
berkurangnya hormon estrogen didalam
tubuh
yang
diakibatkan
semakin
bertambahnya usia. Hormon estrogen
berperan untuk mengatur keseimbangan air
dalam tubuh, mengatur keseimbangan
kolesterol baik (HDL) dalam tubuh.
Apabila jumlah HDL menurun, maka
jumlah kolesterol jahat (LDL) akan
meningkat. Meningkatnya kolesterol jahat
(LDL) dapat menyumbat pembuluh darah.
Apabila terjadi penyumbatan pada
pembuluh darah maka aliran darah
menjadi tidak lancar. Aliran darah yang
tidak lancar dapat menyebabkan jantung
bekerja lebih keras untuk memompa darah.
Kerja jantung yang lebih berat ini dapat
menyebabkan tekanan darah tinggi atau
hipertensi.
Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik
Pada Wanita Menopause Setelah
Pemberian Kapsul Bawang Putih
Berdasarkan tabel 3 dan 4
didapatkan 41,6% responden memiliki

tekanan sistolik 170 mmHg dan 58,4%


memiliki tekanan diastolic 100 mmHg.
Tekanan
darah
responden
setelah
mengkonsumsi kapsul bawang putih
selama 4 minggu yaitu tekanan darah
sistolik rata rata sebesar 174,2 mmHg
dan tekanan diastolik rata rata sebesar
103,3 mmHg.
Ekstrak umbi bawang putih mampu
menurunkan tekanan darah penderita
hipertensi. Mekanisme penurunan tekanan
darah berkaitan dengan vasodilatasi otot
pembuluh darah yang dipengaruhi
senyawa dalam ekstrak umbi bawang
putih. Pertama, kalsium yang ada dalam
bawang
putih
akan
menurunkan
ketegangan saraf. Penurunan ketegangan
saraf akan meningkatkan aktivitas jantung
dalam memompa oksigen, sehingga
asupan darah bersih terpenuhi dan tekanan
darah pun menurun. Kedua, bawang putih
bersifat sebagai peluruh kencing (diuretik).
Apabila kencing lancar, sisa metabolism
termasuk lemak tidak tertimbun dalam
tubuh, akibatnya pembuluh arteri menjadi
bersih. Hal ini menyebabkan sirkulasi
darah menjadi lancar, sehingga tidak
terjadi retensi (penahanan) air pada ginjal
yang menyebabkan kenaikan tekanan
darah. Ketiga, beberapa senyawa aktif
dalam bawang putih mampu mengaktifkan

adenosine diaminase cyclic AMP


phosphodiesterase
yang
bekerja
menghambat enzim yang mengganggu
sirkulasi darah yaitu (ACE angiotensin I)
converting enzyme. Peningkatan sirkulasi
darah akan menyebabkan tekanan darah
menjadi lancar (Lingga, 2012).
Dari hasil penelitian, konsumsi
kapsul bawang putih selama 4 minggu
dapat membantu menurunkan tekanan
darah. Ini dibuktikan dengan adanya
penurunan tekanan sistolik dan diastolik
rata rata antara sebelum dan sesudah
pemberian kapsul bawang putih. Tekanan
sistolik rata rata sebelum pemberian
kapsul bawang putih sebesar 175,8 mmHg
menurun
menjadi
174,2
mmHg.
Sedangkan tekanan diastolik rata rata
sebelum pemberian kapsul bawang putih
75

sebesar 105 mmHg menurun menjadi


103,3 mmHg.
Menganalisis Tekanan Darah Sistolik
dan Diastolik Pada Wanita Menopause
Sebelum dan Sesudah Pemberian Kapsul
Bawang Putih
Setelah
dilakukan
pengukuran
tekanan darah sebelum dan sesudah
pemberian kapsul bawang putih pada
lansia di posyandu lansia Desa Kencong
didapatkan hasil rata rata penurunan
tekanan darah sistolik sebesar 1,6 mmHg,
dan penurunan tekanan darah diastolik
sebesar 1,7 mmHg.
Berdasarkan hasil uji statistik t test
2 sampel berpasangan secara SPSS, hasil
penghitungan untuk nilai t hitung sistolik
sebelum dan sesudah pemberian kapsul
bawang putih adalah 1,483. Sedangkan t
hitung diastolik sebelum dan sesudah
pemberian kapsul bawang putih adalah
1,000. Nilai t tabel dengan dk = 22 adalah
sebesar 2,074. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa Ho diterima, tidak terdapat
pengaruh pemberian kapsul bawang putih
terhadap penurunan tekanan sistolik dan
diastolik pada wanita menopause dengan
hipertensi.
Menurut Karyadi (2002) dalam
penelitian Rahmayanti (2007) didapatkan
bahwa pada umumnya hipertensi pada
wanita terjadi pada masa menopause.
Prevalensi hipertensi di kalangan usia
lanjut cukup tinggi. Hal itu sejalan dengan
bertambahnya usia yang mengakibatkan
perubahan struktur pada pembuluh darah
besar dan hilangnya elastisitas pembuluh
darah, yang terutama menyebabkan
peningkatan tekanan darah.
Status gizi juga berpengaruh
terhadap tekanan darah terutama jika
obesitas. Dari hasil penelitian didapatkan 1
orang memiliki status gizi obesitas tingkat
I dan 1 orang memiliki status gizi tingkat
II. Menurut Karyadi (2002) dalam
penelitian Rahmayanti (2007), beberapa
studi telah melaporkan tentang kaitan erat
antara kelebihan berat badan dan kenaikan
tekanan darah. Berat badan dan IMT

berkorelasi langsung dengan tekanan


darah. Resiko relative untuk menderita
hipertensi pada orang gemuk 5 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan orang yang
berat badannya normal.
Bila dibandingkan dengan tekanan
darah normal yang direkomendasikan oleh
WHO, yaitu tekanan sistolik sebesar 140
mmHg dan tekanan diastolik sebesar 90
mmHg, tekanan darah sistolik dan
diastolik rata rata pada lansia di
posyandu lansia Dusun Kencong dan
Wonorejo setelah pemberian kapsul
bawang putih selama 4 minggu masih
berada di atas nilai tersebut. Hal ini dapat
dikarenakan oleh faktor lain yang juga
dapat mempengaruhi tekanan darah selama
dilakukan penelitian, misalnya stress,
jumlah asupan garam, keteraturan dan
ketepatan waktu konsumsi kapsul bawang
putih. Faktor faktor tersebut juga
berpengaruh terhadap peningkatan tekanan
darah, karena apabila konsumsi kapsul
bawang putih tidak teratur dan tidak sesuai
dengan waktu ( setiap 8 jam), hal ini dapat
berpengaruh terhadap efektifitas kinerja
dari kapsul tersebut.
KESIMPULAN
1. Tekanan darah sistolik dan diastolik
pada wanita menopause sebelum
pemberian kapsul bawang putih yaitu
sebagian besar responden memiliki
tekanan sistolik 180 mmHg (41,6%)
dan tekanan diastolik 100 mmHg dan
110 mmHg (41,7%). Sedangkan rata rata tekanan sistolik sebesar 175 mmHg
dan tekanan diastolik sebesar 105
mmHg.
Penyebab tingginya tekanan darah pada
wanita menopause disebabkan oleh
faktor usia dan faktor hormonal. Karena
berkurangnya hormon estrogen dapat
menyebabkan
berbagai
masalah
kesehatan dalam tubuh yang salah
satunya
dapat
mengakibatkan
hipertensi.
2. Tekanan darah sistolik dan diastolik
pada wanita menopause setelah
76

pemberian kapsul bawang putih yaitu


sebagian besar tekanan sistolik 170
mmHg (41,6%) dan tekanan diastolik
100 mmHg (58, 4%). Sedangkan rata
rata tekanan sistolik sebesar 174,2
mmHg dan tekanan diastolik sebesar
103,3 mmHg. Penurunan tersebut
disebabkan adanya kandungan zat zat
aktif dalam umbi bawang putih yang
mempunyai efek hipotentif sehingga
dapat membantu menurunkan tekanan
darah.
3. Rata rata penurunan tekanan sistolik
sebelum dan setelah pemberian kapsul
bawang putih sebesar 1,6 mmHg dan
penurunan tekanan diastolik sebesar 1,7
mmHg. Secara klinis terjadi penurunan
tekanan sistolik maupun diastolik, tetapi
apabila diuji secara statistik tidak
terdapat pengaruh pemberian kapsul
bawang putih dengan penurunan
tekanan darah. Penurunan yang terjadi
sangat kecil karena terdapat beberapa
faktor lain yang mempengaruhi, antara
lain stress, asupan garam, keteraturan
dan
ketepatan
waktu
untuk
mengkonsumsi kapsul bawang putih.

kejadian penyakit jantung sebagai


dampak umum dari hipertensi.
4. Bagi Pembaca atau Masyarakat
Penelitian ini
diharapkan dapat
memperluas wawasan dan pengetahuan
pembaca tentang cara menurunkan
tekanan darah pada penderita hipertensi
dengan menggunakan bahan bahan
herbal di sekitar kita dan berpola hidup
sehat
untuk
mengurangi
resiko
hipertensi.

SARAN

Yogyakarta. Kanisius.
Hernawan, Udhi Eko & Ahmad Dwi
Setyawan.
2003.
Senyawa

1. Bagi Peneliti Selanjutnya


Hasil penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai referensi bagi
peneliti
selanjutnya
Selain
itu
diharapkan juga mengkaji faktor yang
mempengaruhi hipertensi yang lain
seperti stress dan konsumsi garam agar
hasil yang didapatkan lebih baik.
2. Bagi Pengembang Bidang Kesehatan
Penelitian ini
diharapkan dapat
digunakan sebagai upaya dalam
meningkatkan kualitas sumber daya
manusia dengan meningkatkan derajat
kesehatan
khususnya
dalam
menurunkan angka kejadian penyakit
jantung.
3. Bagi Sistem Pendidikan
Penelitian ini dapat memberikan
gambaran serta informasi mengenai
salah satu cara untuk mengurangi

DAFTAR PUSTAKA
Apriadji, Wied Harry. 2007. Makan Enak

Untuk Sehat, Bahagia, dan Awet


Muda.
Jakarta.
Gramedia
Pustaka Utama.
Cunningham, Gary. Dkk. 2011. Obstetri
Williams. Jakarta. ECG.
Dalimartha, Setyawan. 2008. Care Your
Self Hipertensi. Jakarta. Penebar
Plus.
Dorland, Newman . 2007.
Kamus

Kedokteran Dorland Edisi 29.


Gunawan,

Jakarta . EGC
Lany. 2007.

Penyakit

Darah

Hipertensi,
Tinggi.

Organosulfur Bawang Putih


(Allium Sativum L.) dan
Aktivitas Biologinya. Jurnal
Biologi FMIPA UNS Surakarta.
Elsa Diana. 2010. Bebas
Hipertensi Dengan Jus. Jakarta.
Niaga Swadaya.
Kemenkes. 2012. Masalah Hipertensi di
Indonesia.http://www.depkes.go
.id/index.php/berita/pressrelease/1909-masalahhipertensi-di-indonesia.html.
Diakses tanggal 29 Januari
2013.
Lestary, Dwi. 2010. Seluk Beluk
Menopause. Yogyakarta. Graha
Ilmu.
Lingga, Lanny. 2010. Cerdas Memilih
Sayuran. Jakarta. PT Elex Media
Komputindo.
Julianti,

77

Lingga, Lanny. 2012. Terapi Bawang


Putih Untuk Kesehatan. Jakarta.
PT Elex Media Komputindo.
Lolypoly. 2012. Faktor Faktor Yang
Mempengaruhi
Hipertensi.
http://www.id.shvoong.com/med
icine-and-health/medicinehistory/2282617-faktor-faktoryang-mempengaruhi-hipertensi.
Diakses tanggal 25 Januari 2013
Madina, 2013. Prevalensi Hipertensi di

Indonesia

17

21%.

http://www.madina.co.id/indexphp/nasional/520-menkesprevalensi-hipertensi-diindonesia-17-21.
Diakses
tanggal 18 Januari 2013.
Notoadmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta.
Rineka Cipta.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan

Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Pedoman Skripsi,
Tesis, dan Instrumen Penelitian
Keperawatan Edisi 2. Jakarta.
Salemba Medika.
Proverawati, Atikah. 2010. Menopause
dan Sindrom Premenopause.
Yogyakarta. Nuha Medika.
Rahmayanti, Ervina. 2007. Perbedaan

Perubahan Tekanan Darah Pada


Wanita Menopause Dengan
Hipertensi yang Diberi Anjuran
Kombinasi Diet DASH (Dietary
Approaches
to
Stop
Hypertension) dan Diet Rendah
Garam Dibandingkan Dengan
Anjuran Diet Rendah Garam
(Konvensional). Jurnal Ilmu

Mengobati Dengan Cara Medis


dan
Herbal.
Yogyakarta.
Soka,

Sakkhasukma.
Radio. 2013. Pasien

Penyakit
Degeneratif Paling Banyak
Dirawat di RSUD dr. Soebandi.

http://www.sokaradio.com/jurna
l.html?x=QXCsO6lpfD3ZtGPK
2pBJB2KQqSzJ3r%2BN&categ
ory=. Diakses tanggal 28 Januari
2013.
Sugiyono.
2012.
Statistika
Untuk
Penelitian.
Bandung.
CV
Alfabeta.
Sunardi, Tuti. 2005. Hidangan Sehat
Untuk Penderita Hipertensi.
Jakarta. Niaga Swadaya.
Surabaya post. 2011. Banyak Orang Stres
di
Jatim.
http://www.sbypost.co.id/?mnoberita&act=view&id. Diakses
tanggal 27 Januari 2013.
Syamsiyah, Iyam Siti. 2008. Khasiat dan

Manfaat Bawang Putih : Raja


Antibiotik
Alam.
Jakarta.
Agromedia Pustaka.
Vitahealth, 2004. Hipertensi. Jakarta.
Gramedia Pustaka Utama.
Widanti, Okrina Tri. 2006. Hubungan
Hipertensi dan Menopause.
http://www.deherba.com/hiperte
nsi-dan-menopause.html.
Diakses tanggal 30 Januari
2013.
Yovina, Santi. 2012. Kolesterol? Siapa

takut!! Panduan Hidup Sehat


Tanpa Kolesterol. Yogyakarta.
Pinang Merah Publisher.

Gizi
Kesehatan
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Brawijaya Malang.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2010.
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Kesehatan
Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.
Rudianto, Budi. 2013. Menaklukan

Hipertensi
Mendeteksi,

dan
Diabetes.
Mencegah dan
78

PENGARUH PEMIJATAN PERINEUM TERHADAP RUPTUR PERINEUM


PADA PRIMIGRAVIDA DI BPS Ny. R
DI KECAMATAN SUMBERSARI
KABUPATEN JEMBER
Riningsih Hidayati1, Sultanah Zahariah2
1

Poli Hamil dan Kandungan


RSUD dr. Soebandi Jember

Program Studi Diploma III Kebidanan


STIKES dr. Soebandi Jember

Abstract
Objective: To determine the effect of perineal massage to perineal rupture in
primigravida in BPS ny. "R" District Sumbersari Jember.
Methode: correlation with the cohort approach / prospective sample of 30
respondents who met the inclusion criteria. Sampling technique that used was purposive
sampling and consecutive sampling.
Result: By chi square test (x2) with dk = 1 and 5% error rates, calculated chi square
value = 4.800. Apparently the value of calculate chi square was greater than the table
(4.800> 3.841), It mean Ho was refused and Ha was received.
Conclusion: Perineal massage was very effective in preventing the incidence of
ruptured perineum. Important to be informed and apply that massage is one non
farmakologik intervention to prevent perineal rupture in different order to better health
services in hospitals, clinics, health centers and community.
Keyword: Massage the Perineum, Ruptured Perineum

Pendahuluan
Berdasarkan Survey Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun
2010 Angka Kematian Ibu (AKI) di
Indonesia yaitu 228 per 100.000 kelahiran
hidup. Penyebab utama dari kematian ibu
di Indonesia tersebut adalah perdarahan
(28%), dimana salah satunya dapat
disebabkan oleh rupture jalan lahir
termasuk didalamnya ruptur perineum
Error! Reference source not found..
Perineum adalah area diantara vulva dan
anus, panjangnya rata-rata 4 cm. Dalam
persalinan sering mengalami laserasi,
kecuali dilakukan episiotomi yang adekuat
(Rachimhadhi, 2008). Angka kejadian
ruptur perineum pada primipara (73,53%)
dan multipara (57,14%) (Didi, 2008). Dari

studi pendahuluan yang dilakukan pada


bulan Januari 2012 di BPS Ny. R
Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember
dari 10 ibu bersalin, terdapat 5 ibu (50%)
memerlukan tindakan episiotomi karena
mengalami perineum kaku, 3 ibu (30%)
mengalami robekan perineum derajat
kedua, sedangkan 20% lainnya tidak
mengalami laserasi perineum.
Laserasi perineum merupakan
robekan yang terjadi pada perineum
sewaktu proses persalinan. Persalinan
dengan tindakan seperti ekstraksi forsep,
ekstraksi vakum, versi ekstraksi, kristeller
(dorongan pada fundus uteri) dan
episiotomi dapat menyebabkan robekan
jalan lahir. Laserasi perineum dapat
diklasifikasikan
berdasarkan
derajat
79

laserasi yaitu derajat I, derajat II, derajat


III dan derajat IV. Perdarahan postpartum
sering terjadi pada laserasi perineum
derajat III dan IV.
Laserasi perineum dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu faktor maternal,
faktor janin, dan faktor penolong. Faktor
janin meliputi janin besar, posisi abnormal
seperti oksipitoposterior, presentasi muka,
presentasi dahi, presentasi bokong,
distosia bahu dan anomali kongenital
seperti hidrosefalus. Faktor penolong
meliputi cara memimpin mengejan, cara
berkomunikasi dengan ibu, ketrampilan
menahan perineum pada saat ekspulsi
kepala, episiotomi dan posisi meneran.
Sedangkan Faktor maternal meliputi
primigravida, kelenturan perineum, odema
perineum, kesempitan pintu bawah
panggul, kelenturan jalan lahir, mengejan
terlalu kuat, partus presipitatus, persalinan
dengan tindakan seperti ekstraksi vakum,
ekstraksi forsep, versi ekstraksi dan
embriotomi, varikosa pada pelvis maupun
jaringan parut pada perineum dan vagina.
Error! Reference source not found..
Perineum, walaupun bukan alat
kelamin, namun selalu terlibat dalam
proses persalinan. Apabila perineum
cukup lunak dan elastis, maka lahirnya
kepala tidak mengalami kesukaran.
Biasanya perineum robek dan paling
sering terjadi ruptur perineumderajat I dan
derajat II Error! Reference source not
found.. Sedangkan perineum yang kaku
dapat menghambat persalinan Kala II
yang meningkatkan resiko kematian bayi
dan menyebabkan kerusakan kerusakan
jalan lahir yang luas. Perineum kaku
adalah tidak elastisnya lantai falfis dan
struktur sekitarnya yang menempati pintu
bawah panggul di sebalah anterior dibatasi
oleh simpisis pubis, disebelah posterior
oleh OS cogcigis. Keadaan demikian
dapat dijumpai pada primigravida yang
umurnya lebih dari 35 tahun yang lazim
disebut
primitua.
Dengan
adanya
perineum kaku maka robekan sewaktu
kepala lahir tidak dapat dihindarkan,
dengan membuat episiotomi mediolateral

yang cukup luas 5-6 cm ruptur perineum


derajat III dan derajat IV dapat dihindari..
Error! Reference source not found..
Untuk meminimalkan kejadian
laserasi perineum perlu dilakukan
pencegahan salah satunya dengan
pemijatan perineum. Pemijatan perineum
adalah salah satu cara yang paling kuno
dan paling pasti untuk meningkatkan
kesehatan, aliran darah, elastisitas, dan
relaksasi otot-otot dasar panggul .
Pemijatan perineum adalah teknik
memijat perineum pada saat hamil dengan
usia Kehamilan >34 minggu atau 6
minggu sebelum persalinan. Pemijatan
perineum dapat meningkatkan elastisitas
perineum. Manfaat pemijatan perineum
adalah perineum tidak ruptur baik spontan
maupun episiotomy, bila sampai ruptur
perineum tidak sampai melebihi derajat 2
(selaput lendir vagina, kulit perineum dan
otot perineum).
Pemijatan perineum membantu
menyiapkan mental ibu pada saat
dilakukan pemeriksaan dalam (VT) dan
mempersiapkan
jaringan
perineum
menghadapi situasi saat proses persalinan
terutama pada saat kepala janin crowning
perineum lebih rileks (Beckmann and
Andrea J, 2006). Jika sampai terjadi ruptur
perineum, pemijatan perineum dapat
mempercepat
proses
penyembuhan
perineum. Penelitian yang diterbitkan di
Amerika Journal Obstetrician and
Gynecology
menyimpulkan
bahwa
pemijatan perineum selama kehamilan
dapat melindungi fungsi perineum paling
tidak dalam 3 bulan pascamelahirkan. The
Cochrane Review merekomendasikan
bahwa pemijatan perineum ini harus
selalu dijelaskan pada ibu hamil agar
mereka mengetahui keuntungan dari
pemijatan perineum ini. Pemijatan
perineum ini sangat aman dan tidak
berbahaya Error! Reference source not
found.. Namun Ibu hamil dengan infeksi
herpes aktif di daerah vagina, infeksi
saluran kemih, infeksi jamur, atau infeksi
menular yang dapat menyebar dengan
kontak langsung dan memperparah
80

penyebaran infeksi, tidak dianjurkan


melakukan pemijatan perineum.
Metode
Penelitian ini menggunakan design
penelitian corelasional dengan pendekatan
cohort/ prospektif. Subyek penelitian
adalah seluruh ibu primigravida dengan
usia kehamilan > 34 minggu yang
diberikan pemijatan perineum di BPS Ny.
R di Kecamatan Sumbersari Kabupaten
Jember pada bulan Maret 2012 yaitu
sejumlah 30 ibu hamil. Pemilihan sampel
berdasarkan kriteria inklusi yaitu: Ibu
primigravida dengan usia kehamilan > 34
minggu pada bulan Maret 2012 dan
bersedia diteliti. Melalui teknik sampling
non probability sampling dengan teknik
purposive sampling dan consecutive
sampling, didapatkan sampel penelitian
sejumlah 30 responden.
Pengumpulan data pada penelitian
ini dilakukan setelah mendapat ijin dari
responden. Responden diberi lembar
persetujuan Informed Consent kemudian
responden diajarkan teknik pemijatan
perineum. Pemijatan perineum selanjutnya
dilakukan sendiri oleh responden di
rumah, dipantau oleh peneliti melalui
wawancara
terstruktur
dengan
menggunakan quesioner. Selanjutnya pada
saat persalinan, dinilai kejadian ruptur
perineum melalui lembar observasi.
Analisa data yang dilakukan
dengan menggunakan teknik analitik yang
disesuaikan dengan skala pengukuran dan
jenis penelitian. Dalam penelitian ini
peneliti menggunakan klasifikasi skala
pengukuran nominal, Uji statistik yang
digunakan adalah Chi-Kuadrat satu
sampel.
Hasil dan Pembahasan
A. Karakteristik sampel penelitian
Karakteristik usia subjek penelitian
di BPS Ny. R Kecamatan Sumbersari
Kabupaten Jember

Tabel 1. Karakteristik usia responden


Usia

Jumlah

< 20 tahun

30%

21-35 tahun

21

70%

> 35 tahun

0%

Jumlah

30

100%

Berdasarkan
tabel
tersebut
diketahui bahwa sebagian besar
responden berada pada usia 21-35
tahun, yang mana kelompok usia
tersebut merupakan kelompok usia
reproduktif sehat.
Karakteristik pendidikan responden
di BPS Ny. R Kecamatan Sumbersari
Kabupaten Jember.
Tabel 2. Karakteristik pendidikan
responden
Pendidikan

Jumlah

SD

17%

SMP

20%

SMA

15

50%

S1

13%

Jumlah

30

100%

Diketahui bahwa sebagian besar


responden berpendidikan menengah ke
atas, sehingga lebih kooperatif untuk
menjalankan prosedur yang telah
ditentukan peneliti.
Karakteristik
responden
berdasarkan berat lahir bayi di BPS Ny.
R Kecamatan Sumbersari Kabupaten
Jember
Tabel 3. Karakteristik Berat bayi yang
dilahirkan
Berat badan

Jumlah

<3500

29

97%

>3500

3%

Jumlah

30

100%

lahir

81

Dari 30 responden, didapatkan


97% melahirkan dengan berat bayi <
3500 gr. Hal ini menyingkirkan faktor
predisposisi bayi besar yang dapat
menyebabkan ruptura perineum.
Tabel 4. Karakteristik dukungan
suami/keluarga responden di BPS Ny.
R Kecamatan Sumbersari Kabupaten
Jember
Dukungan
suami/keluarga

Jumlah

Ya

30

100%

Jumlah

30

100%

Berdasarkan tabel di atas, diketahui


100%
responden
mendapatkan
dukungan dari suami/ keluarga. Secara
psikologis,
ibu
bersalin
yang
didampingi oleh suami/ keluarga
terdekat, memiliki kesiapan lebih baik
menghadapi persalinannya.
Tabel 5. Karakteristik cara meneran
responden di BPS Ny. R Kecamatan
Sumbersari Kabupaten Jember
Cara meneran

Jumlah

Benar

30

100%

Jumlah

30

100%

Berdasarkan tabel di atas, diketahui


100% responden meneran dengan cara
yang benar. Cara meneran yang baik
sangat penting saat kelahiran bayi,
karena akan membantu kelancaran
persalinan. Hal ini didapatkan melalui
edukasi dan bimbingan bidan selama
ibu tersebut hamil.
Cara menunjang perineum juga
merupakan salah satu faktor penting
yang dapat mempengaruhi kejadian
ruptur
perineum.
Penunjangan
perineum
secara
benar
dapat
mengendalikan saat kepala bayi
defleksi. Tabel berikut menunjukkan

cara bidan menunjang perineum


responden saat bersalin.
Tabel 6. Karakteristik cara menunjang
perineum responden di BPS Ny. R
Kecamatan Sumbersari Kabupaten
Jember
Cara menunjang
perineum

Jumlah

Benar

30

100%

Jumlah

30

100%

Berdasarkan tabel di atas, diketahui


100% responden mendapat cara
menunjang perineum yang benar.
B. Pemijatan Perineum
Kepatuhan responden terhadap
pelaksanaan pemijatan perineum di
BPS Ny. R Kecamatan Sumbersari
Kabupaten Jember ditunjukkan pada
tabel berikut:
Tabel
7.
Pelaksanaan
pemijatan perineum
Pemijatan
Perineum

Jumlah

Rutin

30

100%

Tidak Rutin

0%

Jumlah

30

100%

Berdasarkan
tabel
di
atas,
menunjukkan bahwa 100% responden
melakukan pemijatan perineum secara
rutin. Hal tersebut menunjukkan bahwa
edukasi yang diberikan oleh tenaga
kesehatan
mengenai
pemijatan
perineum cukup mampu memberikan
kesadaran akan manfaat pemijatan
perineum kepada ibu-ibu hamil,
sehingga semua responden bersedia
melakukan pemijatan perineum secara
rutin dan mandiri di rumah. Hal ini
mungkin juga ditunjang dengan tingkat
pendidikan sebagaimana disebutkan
sebelumnya sehingga responden lebih
mudah menerima informasi baru yang
diberikan.
82

Herdiana (2007) menyebutkan


bahwa pemijatan perineum merupakan
teknik memijat perineum di kala hamil
atau beberapa minggu sebelum
melahirkan guna meningkatkan aliran
darah ke daerah ini dan meningkatkan
elastisitas
perineum.
Pemijatan
perineum
memiliki
beberapa
keuntungan
diantaranya
(1)
menstimulasi aliran darah ke perineum
yang akan membantu mempercepat
proses
penyembuhan
setelah
melahirkan; (2) membantu ibu lebih
santai di saat pemeriksaan vagina
(Vaginal Touche); (3) membantu
menyiapkan mental ibu terhadap
tekanan dan regangan perineum di kala
kepala bayi
akan keluar;
(4)
menghindari kejadian episiotomi atau
robeknya perineum di kala melahirkan
dengan
meningkatkan
elastisitas
perineum; (5) membantu otot-otot
perineum dan vagina jadi elastis
sehingga memperkecil risiko perobekan
dan episiotomy; (6) melancarkan aliran
darah di daerah perineum dan vagina,
serta aliran hormon yang membantu
melemaskan otot-otot dasar panggul
sehingga proses persalinan jadi lebih
mudah; (7) mempercepat pemulihan
jaringan dan otot-otot di sekitar jalan
lahir setelah bersalin; (8) membantu ibu
mengontrol diri saat mengejan, karena
jalan keluar untuk bayi sudah
disiapkan
dengan
baik;
(9)
meningkatkan kedekatan hubungan
dengan pasangan, bila kita melibatkan
suami untuk melakukan pemijatan
perineum ini.
Pemijatan perineum sebaiknya
sudah mulai dilakukan sejak enam
minggu sebelum hari-H persalinan, ibu
bisa mulai memijat daerah perineum,
area di antara vagina dan anus.
Pemijatan yang dilakukan selama 6
minggu
atau
dilakukan
pada
primigravida dengan usia kehamilan
>34 minggu sangat berpengaruh sekali
terhadap kondisi perineum.

C. Ruptura Perineum
Kejadian ruptur perineum pada
responden penelitian di BPS Ny. R
Kecamatan Sumbersari Kabupaten
Jember di tunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 8. Tingkat Kejadian ruptura
perineum
Ruptur
perineum

Jumlah

Tidak ruptur

21

70%

Ruptur

30%

Jumlah

30

100%

Berdasarkan
tabel
di
atas
menunjukkan bahwa sebagian besar
responden tidak mengalami ruptura
perineum yaitu sejumlah 21 responden
(70%) dan hanya 9 responden yang
terjadi ruptur perineum (30%).
Kejadian ini mungkin berkaitan
dengan pijat perineum yang dilakukan
secara rutin oleh seluruh responden.
Teori menyebutkan bahwa dengan
melakukan pemijatan perineum secara
rutin setelah usia kehamilan 34
minggu, dapat membantu otot-otot
perineum dan vagina menjadi elastis
sehingga memperkecil risiko robekan
dan episiotomi. Hal ini mungkin juga
didukung oleh karena 100% responden
meneran
dengan
benar
dan
mendapatkan
cara
menunjang
perineum secara tepat saat persalinan.
Disamping itu berat badan bayi yang
dilahirkan juga mempengaruhi kejadian
ruptur perineum, yang mana sebagian
besar atau 97% dari responden
melahirkan bayi dengan berat < 3500
gram. Hal ini sesuai dengan pendapat
Prawirohardjo (2010) yang menyatakan
bahwa berat badan bayi lahir, cara
meneran dengan benar dan cara
menunjang perineum dengan benar,
akan mempengaruhi kejadian ruptur
perineum pada saat persalinan.
Pada penelitian ini, sebagian besar
responden berada pada rentang usia
reproduktif antara 20-35 tahun yaitu
83

sejumlah 21 responden. Hal ini juga


yang mungkin menyebabkan prevalensi
kejadian ruptura perineum jauh lebih
rendah dibandingkan dengan yang
tidak ruptur. Hal ini menguatkan
pendapat Prawiroharjo (2005) yang
menyebutkan bahwa pada primigravida
yang umurnya lebih dari 35 tahun
(primitua) sering ditemui kondisi
perineum yang kaku, yang mana
kondisi
perineum
berkontribusi
terhadap kejadian ruptura perineum,
dimana
perineum
yang
kaku
menghambat persalinan Kala II yang
meningkatkan resiko kematian bayi dan
menyebabkan kerusakan kerusakan
jalan lahir yang luas.
Dari hasil penelitian didapatkan 9
responden yang mengalami ruptur
perineum (30%). Responden yang
100%
adalah
primigravida
berkontribusi terhadap kejadian ruptura
perineum walaupun nilainya tidak
terlalu besar. Hal ini sesuai dengan
teori yang menyatakan bahwa pada
primipara robekan perineum hampir
selalu terjadi dan tidak jarang berulang
pada persalinan berikutnya .
D. Pengaruh
Pemijatan
Perineum
terhadap Ruptura Perineum
Distribusi frekuensi Pengaruh
pemijatan perineum terhadap ruptur
perineum pada primigravida di BPS
Ny. R Kecamatan Sumbersari
Kabupaten Jember di perlihatkan pada
tabel berikut:
Tabel 9. Pengaruh pemijatan perineum
terhadap ruptura perineum
Ruptur
perineum
Tidak

fo
21

Ruptur

fh

fo - fh

( fofh)2

(fo-fh)2
fh

15

6,00

36,00

2,400

-6,00

36,00

2,400

72,00

4,800

Ruptur

15

Jumlah

30

30

Dari hasil pengujian dengan uji


statistik chi square (x2) 1 sampel dan

berdasarkan dk = 1 dan kesalahan 5 %


maka didapatkan harga chi kuadrat
hitung = 4,800. Ternyata harga chi
square hitung lebih besar dari chi
square tabel ( 4,800 > 3,841 ). Karena
x2 hitung > x2 tabel, maka Ho ditolak
dan Ha diterima yang artinya ada
pengaruh pemijatan perineum terhadap
ruptur perineum pada primigravida di
BPS Ny. R Kecamatan Sumbersari
Kabupaten Jember.
Hal ini membuktikan manfaat
pemijatan perineum yang dapat
membantu
melunakkan
jaringan
perineum sehingga jaringan tersebut
akan membuka tanpa resistensi saat
persalinan,
untuk
mempermudah
lewatnya bayi. Pemijatan perineum ini
memungkinkan untuk melahirkan bayi
dengan perineum tetap utuh.
Pemijatan perineum adalah teknik
memijat perineum di kala hamil atau
beberapa minggu sebelum melahirkan
guna meningkatkan aliran darah ke
daerah ini dan meningkatkan elastisitas
perineum.
Peningkatan
elastisitas
perineum akan mencegah kejadian
robekan perineum maupun episiotomi .
Pemijatan
perineum
apabila
dilakukan selama 6 minggu dan teratur
1 hari l x lama 5 10 menit, maka
kejadian ruptur perineum dapat
dihindari.
Menurut
Labrecque
didukung riset serupa oleh dr. Richard
Johanson, MRCOG, dokter kandungan
dari North Staffordshire Maternity
Hospital, Inggris. Ia mencatat, ibu-ibu
yang rajin melakukan pemijatan
perineum sejak 3 bulan sebelum hari-H
persalinan, terbukti hampir tidak ada
yang memerlukan tindakan episiotomi.
Kalaupun terjadi perobekan perineum
secara alami, maka luka pulih dengan
cepat .

Penutup
Penelitian ini dilakukan pada
sampel yang terbatas yaitu 30 responden.
84

Diharapkan penelitian ini dapat digunakan


sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya
dengan sampel yang lebih besar sehingga
lebih
representatif
untuk
digeneralisasikan.
Berdasarkan
hasil
penelitian ini, efektifitas pemijatan
perineum terhadap pencegahan ruptura
perineum dapat diterapkan oleh bidan
untuk pemberian sosialisasi/ penyuluhan
baik bagi ibu hamil maupun kelompok
seperti kelompok pengajian, PKK, BKB,
Dasawisma, Kelas ibu hamil serta
melakukan sosialisasi akan pentingnya
pemijtan perineum selama 6 minggu dan
teratur 1 hari 1 x dengan lama pemijatan 5
10 menit untuk mencegah terjadinya
ruptur perineum.
Daftar Pustaka
Arifia, M. (2012). Pijat Perineum Untuk

Bebas Robekan Saat Persalinan.


http://www.babyorchestra.wordpress
.com: diakses tanggal 29 Januari
2012.
Aziz,

Metode Penelitian
Kebidanan & Teknik Analisis Data.
A.

(2007).

Jakarta: Salemba Medika.


Cunningham, F. (2005). Obstetri Williams.
Jakarta: EGC.
(2008). Panduan Pelayanan
Antenatal. Jakarta: Depkes RI.

Depkes.

Herdiana. (2007). Tips Pijat Perineum.


http://www.klikdokter.com: diakses
tanggal 29 Januari 2012.
Herdiana. (2009). Tips Pijat Perineum.
http://www.klikdokter.com: Diakses
tanggal 25 Januari 2012.
Jhonson, R. (2004). Buku Ajar Praktik
Kebidanan, Edisi I. Jakarta: EGC.
Mansjoer, A. (2002). Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta: EGC.
Mochtar, R. (1998). Sinopsis obstetri Jilid
1. Jakarta: EGC.
Mongan. (2007). Hypnobrithing. Jakarta:
PT. Bhuana Ilmu Popular.
M. (2003). Kehamilan
Kelahiran. Jakarta: Arcan.

Nolan,

Notoatmodjo,

S.

(2005).

dan

Metodologi

penelitian Kesehatan. Jakarta: PT.


Rineka Cipta.
Nursalam. (2008). Konsep & Penerapan

Metodologi
Keperawatan.

Penelitian
Jakarta:

Ilmu
Salemba

Medika.
H. (2003). Ilmu Kebidanan
Patologi dan Fisiologi Persalinan.

Oxorn,

Jakarta: Yayasan Essential Medika.

Depkes. (2007). Perawatan Kehamilan.


Jakarta: Depkes RI.

Prawirohardjo, S. (2005). Ilmu Kebidanan


. Jakarta: PT. Bina Pustaka .

Depkes RI. (2004). Panduan Lengkap


Pencegahan
Infeksi.
Jakarta:
Diknakes
bekerjasama
dengan
JHPIEGO/MNH, JNPK-KR.

Rayburn,

(1998). Kamus Kedokteran


Dorland. Jakarta: EGC.

Dorland.

Friedman, M. M. (2003). Keperawatan


Keluarga Teori dan Praktek. Jakarta:
EGC.

W. (2001). Obstetri dan


Ginekologi. Jakarta: Widya Medika.

Saifudin, A. (2007). Standar Pelayanan

Medik Obstetri dan Ginekologi,


Bagian I. Jakarta: Gaya Baru.
(2009).
Statistik
Parametrik. Jakarta: CV. Alfabeta.
Sugiyono.

85

Non

STUDI EVALUASI RESPON ANAK RETARDASI MENTAL PADA PROSES


KOMUNIKASI DALAM PROGRAM ADL (ACTIFITY OF DAILY LIVING)
DI SDLB C TPA KECAMATAN SUMBERSARI KABUPATEN JEMBER

Lutfi Evanurari*
*Dosen Akademi Kebidanan dr. Soebandi Jember

Abstract: The results of Indonesia Demographic and Health Surveys (IDHS) which is
conducted by the Central Statistics Agency (BPS) and the National Family Planning
Coordinating Board (BKKBN) MOH show that the populance whom suffered by mental
disabilities (mental retardation) and brain defects in Indonesia are 1,324,410 people. 3 (20%)
mental retardation students are suffered by disturbance communication. As a result the teacher
of SDLB implementing a therapeutic by using ADL (Actifity of Daily Living) approach. This
research was conducted to evaluate the children mentally retarded in communication process to
ADL program (Actifity of Daily Living) in SDLB "C" TPA Sumbersari Jember Regency.
This research design which is used by the researcher is evaluation study. In this population
study of 15 children acquired mental retardation and large samples used 3 children with
severe mental retardation using purposive sampling technique sampling. As a result of
research show that respons of mental retardation children heavy on process communication
and all respons that to fill criteria, 3 children of mental retardation are sufficient. There for this
case harmonize withteory had been before. Children of mental retardation have some limit
main function experience. This abnormality show with lowaverage intelectual
function together with difficult to make relationship, to adapted in his environment and to
communicate with others. This research is expected to provide input and information as well as
in the improvement of education policy for children with mental retardation and impart
knowledge to the community, especially for the parents in educating and training support
representative and provide the children with mental retardation.
Keywords : Communication process, verbal and non verbal respons, ADL (actifity of daily
living) program.

PENDAHULUAN
Retardasi mental adalah gangguan
yang telah tampak sejak masa anak-anak
dalam bentuk fungsi intelektual dan
adaptif yang secara signifikan berada
dibawah rata-rata (Luckasson,1992, dalam
Durand 2007). Menurut American
Association On Mental Retardation (Aamr)
1992 retardasi mental yaitu : kelemahan
atau ketidakmampuan kognitif muncul
pada masa kanak-kanak (sebelum 18
tahun) ditandai
dengan
fase
kecerdasan
dibawah normal (IQ 70-75
atau kurang) dan disertai keterbatasan lain
pada sedikitnya dua area berikut :
berbicara dan berbahasa; keterampilan
merawat
diri;
keterampilan sosial;

penggunaan sarana masyarakat; kesehatan


dan keamanan; akademik fungsional;
bekerja dan rileks dan lain-lain.
Menurut kriteria DSM-IV-TR untuk
gejala anak retardasi mental terbagi dalam
tiga kelompok yaitu : Kriteria pertama,
seseorang harus memiliki intelektual yang
secara signifikan berada di tingkatan sub
average (dibawah
rata-rata),
yang
ditetapkan berdasarkan satu tes IQ atau
lebih. Dengan cutoff score yang oleh
DSM-IV-TR ditetapkan sebesar 70 atau
kurang. Kriteria Kedua, adanya defisit
dalam fungsi adaptif yang muncul
beragam setidaknya dua bidang yakni
komunikasi,
merawat
diri
sendiri,
mengurus rumah, keterampilan sosial,

86

interpersonal, pemanfaatan sumber daya di


masyarakat,
keterampilan
akademis,
pekerjaan, kesehatan, dan keselamatan.
Kriteria Ketiga, anak dengan retardasi
mental ciri intelektual dan kemampuan
adaptif
itu harus muncul sebelum
mencapai 18 tahun.
Hasil
Sensus
Demografi
dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) yang
dilakukan antara Badan Pusat Statistik
(BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) Depkes RI
diketahui jumlah penyandang cacat
mental (retardasi mental) dan cacat otak
di Indonesia sebanyak 1.324.410 jiwa,
dengan jumlah penyandang retardasi
mental dan cacat otak di Provinsi Jawa
Timur sebanyak 74.880 jiwa (KAPCI,
2005).
Berdasarkan data dokumentasi di
SDLB C TPA tahun ajaran 20122013 jumlah guru pengajar di SDLB
sebanyak 5 orang dan siswa SDLB C
penyandang cacat mental keseluruhan
sebanyak 15 siswa dengan standar rasio
pengajar 1: 3 di setiap kelasnya. Dari hasil
studi pendahuluan yang penulis lakukan
pada bulan Mei 2013, sebanyak 3 (20%)
siswa retardasi mental dengan tingkat berat
mengalami
gangguan
komunikasi,
sehingga tenaga pendidik di SDLB
melaksanakan terapi berupa program
khusus bina diri/ADL (Actifity of Daily
Living) yang terdiri dari beberapa aspek
pengembangan yang salah satunya adalah
berkomunikasi, 3 anak retardasi mental
berat yang telah mendapatkan pendidikan
dan pelatihan ADL (Actifity of Daily
Living) dalam aspek pengembangan
berkomunikasi selama 1 semester masih
belum bisa dikatakan mampu untuk
berkomunikasi dengan baik, seharusnya
mereka sudah bisa berkomunikasi dengan
baik.
Pendekatan ADL merupakan terapi
yang dilakukan untuk memandirikan anak
tunagrahita, mereka harus diberikan
pengetahuan dan keterampilan tentang
kegiatan kehidupan sehari-hari (ADL) agar
mereka dapat merawat diri sendiri tanpa
bantuan orang lain dan tidak tergantung
kepada orang lain. Kemampuan Bina Diri
terbagi menjadi
tujuh macam, yaitu :

kebutuhan merawat diri, kebutuhan


mengurus diri, kebutuhan menolong diri,
kebutuhan
komunikasi,
kebutuhan
sosialisasi, kebutuhan keterampilan hidup,
kebutuhan mengisi waktu luang dimana
satu sama lainnya berhubungan dan ada
keterkaitan.
Tujuan umum penelitian ini yaitu
untuk Mengevaluasi respon anak retardasi
mental pada proses komunikasi dalam
program ADL (Actifity of Daily Living) di
SDLB C TPA Kecamatan Sumbersari
Kabupaten Jember.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan penelitian
evaluasi yaitu
suatu penelitian yang
dilakukan untuk melakukan penilaian
terhadap suatu pelaksanaan kegiatan atau
program yang sedang dilakukan dalam
rangka mencari umpan balik yang akan
dijadikan dasar untuk memperbaiki suatu
program atau sistem. Subyek penelitian
adalah anak retardasi mental berat di
SDLB C TPA Kecamatan Sumbersari
Tahun Ajaran 2012-2013 yang berjumlah
3 anak. Teknik pengambilan sampel
dengan menggunakan purposive sampling.
Pengumpulan data dengan menggunakan
lembar observasi yang berjumlah 10 item
pengamatan, yaitu 5 item pengamatan
proses komunikasi secara verbal dan 5
item pengamatan komunikasi secara non
verbal. Pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan analisa univariate
yaitu suatu data yang hanya menghasilkan
distribusi dan prosentase dari tiap variabel
yang diteliti.
HASIL
Karakteristik responden berusia > 10 tahun
sebanyak 100 %. Jenis kelamin laki-laki
66,7 % dan perempuan 33,3 %.
Selengkapnya lihat tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Distribusi frekuensi respon

87

komunikasi verbal anak retardasi mental


pada program ADL di SDLB C TPA
Sumbersari Jember
Respon
Komunikasi
Sangat Baik
Baik
Cukup
Total

Jumlah
3
3

Presentase
(%)
100 %
100 %

Tabel 2. Distribusi frekuensi respon


komunikasi non verbal anak retardasi
mental pada program ADL di SDLB C
TPA Sumbersari Jember
Respon
Komunikasi
Sangat Baik
Baik
Cukup
Total

Jumlah
3
3

Presentase
(%)
100 %
100 %

PEMBAHASAN
Berdasarkan
hasil
penelitian
didapatkan anak retardasi mental berat
dengan usia > 10th - < 18th sejumlah
100 %. Hal ini menunjukkan bahwa
retardasi mental merupakan disabilitas
kognitif yang muncul pada masa kanakkanak (sebelum usia 18th) atau bisa
dikatakan retardasi mental bermanifestasi
sebelum usia 18th. Dapat dijelaskan juga
bahwa hasil penelitian didapatkan jumlah
anak laki-laki lebih banyak daripada
anak perempuan yaitu jumlah anak lakilaki sebanyak 66,7%, sedangkan anak
perempuan sebanyak 33,3%. Hal ini
menunjukkan bahwa retradasi mental 1,5
kali lebih banyak pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan dengan
rasio laki-laki perempuan adalah 1,6 : 1,3
(Betz. C. Lynn. 2009).
Dapat dijelaskan juga bahwa hasil
penelitian didapatkan anak retardasi
mental ringan sebanyak 46,7%, retardasi
mental sedang 33,3 %, dan retardasi
mental berat sebanyak 20%. Hal ini
menunjukkan bahwa dari hasil perhitungan
statistik dunia menyatakan sekitar 3 %
anak dari populasi mengalami retardasi
mental (7,5 juta orang) dengan definisi
hanya menggunakan standar IQ. Yang

lebih mencengangkan lagi adalah fakta


bahwa kira-kira setiap lima atau enam
menit, seorang anak terlahir dengan
retardasi mental (9.000 per bulan).
Diantaranya 90% tergolong ringan, 6 %
sedang dan 5 % tergolong retardasi mental
berat.
Dari hasil penelitian dalam proses
komunikasi anak retardasi mental pada
program ADL yang dilakukan oleh guru
saat pembelajaran ADL pada anak
retardasi mental berat sebanyak 3 (100%)
didapati daya kemampuan mereka dalam
merespon isi pesan cukup.
Sunarjo dan Djoenaisih Sunarjo
dalam
Sari
Ilmu
Komunikasi
memberikan gambaran definisi komunikasi
bahwa komunikasi adalah penyampaian
informasi dan pengertian dari seseorang
kepada orang lain. Komunikasi akan dapat
berhasil apabila sekiranya timbul saling
pengertian, yaitu jika kedua belah pihak,
si pengirim dan si penerima informasi
dapat memahaminya. Hal ini tidak berarti
bahwa kedua belah pihak harus menyetujui
sesuatu gagasan tersebut, tetapi yang
penting adalah kedua belah pihak samasama memahami gagasan tersebut. Dalam
keadaan seperti inilah baru dapat dikatakan
komunikasi telah berhasil
baik
(komunikatif). Dalam suatu model
proses komunikasi yaitu model Shannon
dan Weaver mengemukakan bahwa
terdapat lima elemen dalam berkomunikasi,
seperti information Source adalah yang
memproduksi pesan, transmitter yang
menyandikan pesan dalam bentuk sinyal,
channel adalah saluran pesan, receiver
adalah pihak yang menguraikan atau
mengkonstruksikan pesan dari sinyal dan
destination adalah dimana pesan sampai.
Suatu konsep penting dalam model ini
adalah gangguan (noise), yakni setiap
rangsangan
tambahan
dan
tidak
dikehendaki yang dapat mengganggu
kecermatan pesan yang disampaikan.
Konsep-konsep lain yang merupakan andil
Shannon dan Weaber adalah entropi dan
redudansi. Model ini diterapkan pada
konteks-konteks
komunikasi
lainnya
seperti
komunikasi
antarpribadi,
komunikasi publik atau komunikasi massa.
Anak retardasi mental mengalami

88

keterbatasan beberapa fungsi utama.


Kelainan ini ditandai dengan fungsi
intelektual yang sangat di bawah rata-rata
dan secara bersamaan disertai dengan
(ditambah penekanan pada) keterbatasan
yang berhubungan dengan dua atau lebih
area penerapan kemampuan adaptasi
yang salah satunya adalah komunikasi.
Dimana sudah terdapat gangguan (noise)
dalam diri anak retardasi mental, sehingga
perlu adanya teknik untuk berkomunikasi
dengan mereka, teknik yang dilakukan
sangat sederhana namun sukar untuk
dilakukan. Jangan menganggap anak
sebagai orang yang rendah, mereka sama
seperti kita, namun mereka memiliki
kekurangan
yang
tidak
dapat
berkomunikasi layaknya orang normal.
Jadi, agar pesan pada saat
proses
pembelajaran dapat tersampaikan dengan
baik dan dapat di respon dengan baik
oleh anak retardasi mental, diperlukan
seorang guru SLB yang profesional serta
lebih telaten dan sabar dalam membimbing
dan melatih anak retardasi mental agar
dapat tercipta dukungan yang representatif
dalam program Actifity of Daily living.
KESIMPULAN
Hasil penelitian studi evaluasi proses
komunikasi anak retardasi mental pada
program actifity of daily living Kecamatan
Sumbersari Kabupaten Jember, diperoleh
respon anak retardasi mental berat pada
proses komunikasi didapati semua
responden
yang memenuhi kriteria
inklusi sebanyak 3 anak adalah cukup.
Dimana hal ini sesuai dengan teori yang
telah ada bahwa anak retardasi mental
mengalami keterbatasan beberapa fungsi
utama. Kelainan ini ditandai dengan
fungsi intelektual yang sangat di bawah
rata-rata dan secara bersamaan disertai
dengan (ditambah penekanan pada)
keterbatasan yang berhubungan dengan
dua atau lebih area penerapan kemampuan
adaptasi yang salah satunya adalah
komunikasi.

sampaikan yaitu : Pertama, diharapkan


dapat
memberikan
tambahan
pengetahuan yang dapat menambah
wawasan bagi penelitian selanjutnya.
Kedua, dapat memberikan pengetahuan
kepada masyarakat khususnya para orang
tua dalam mendidik dan melatih serta
memberikan dukungan yang representatif
pada anak retardasi mental. Ketiga, dapat
memberikan masukan dan informasi serta
kebijakan dalam peningkatan pendidikan
kepada anak retardasi mental.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. (2009). Dasar - Dasar
Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara
Arwani. (2003). Komunikasi Dalam
Keperawatan. Jakarta: EGC
Betz. C. Lynn.(2009). Buku Saku
Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC
Dalami, dkk.(2009). Komunikasi dan
Konseling dalam Praktek Kebidanan.
Jakarta: TIM (Trans Info Media)
Hidayat, Aziz Alimul.(2007). Metode

Penelitian Kebidanan Teknik Analisis


Data. Jakarta: Rineka Cipta
Hidayat, Aziz Alimul.(2009). Metode
Penelitian
Kebidanan
Teknik
Analisa
Data. Jakarta: Salemba
Medika
Maramis .W.F. 2009. Ilmu Kedokteran Jiwa.
Surabaya : Airlangga University.
Notoatmodjo, Soekidjo.(2010). Metode
Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta
Nursalam.(2009). Konsep dan Penerapan

Metodologi
Keperawatan.

Penelitian
Jakarta:

Ilmu
Salemba

Medika
Schwartz. M. William.(2005). Pedoman
Klinis Pediatri. EGC
Sibagariang. Ellya. E. (2010). Metode

Penelitian Untuk Mahasiswa Diploma


Kesehatan. Jakarta: TIM (Trans Info
Media)
Yulifah, dkk.(2009).

Komunikasi dan
Konseling dalam Kebidanan. Jakarta:
Salemba Medika

SARAN
Beberapa saran yang dapat peneliti

89

STUDI KOMPARASI SUHU BAYI BARU LAHIR SEBELUM DAN SESUDAH


INISIASI MENYUSU DINI DI KABUPATEN JEMBER 2012
Rizki Fitrianingtyas
Abstract: World Health Organization (WHO) reported that more or less 4,608,000 newborns

were delivered alive annually in Indonesia. Out of this number, about 100,454 died before
they reached the age of 28 days. According to many researches, the risk of neonatal mortality
can be reduced significantly by applying early initiation of breastfeeding to the newborns.
During this contact the body temperature of the newborns will automatically adjust to the
mothers body temperature. The objective of this research was to find out the body
temperatures of the newborns prior and post to early initiations of breastfeeding which were
practiced by the mothers in Jember district 2012. This research was comparative study which
used cross sectional approach. The population of the study was 34 newborns. Out of this
number, 31 were taken as samples based on cluster random sampling technique. The
collected data were then analyzed using Paired sample T test and Z test. The results showed
that the average body temperature of the newborns prior to early initiations of breastfeeding
was 36.89 o C, whereas the average body temperature of the newborns post to early
initiations was 37.09 o C. The computation using Z test resulted a value of 3.659, which
was higher than 2.042 (the value stipulated in Z table) so that the Ho was rejected. This
meant that there was a significant difference between the body temperature of the newborns
before and after obtaining early initiations of breastfeeding in Jember district. The above
results indicated that the temperature of the newborns adapted to the body temperature of the
mothers and even helped to stabilize the body temperature of the newborns during the early
initiation of breastfeeding, hence, practices of early initiations to the newborns by mothers
are highly encouraged.
Keywords: Early Initiation of Breastfeeding, the Body Temperature of Newborns
PENDAHULUAN
Di Indonesia setiap satu jam delapan
bayi berumur kurang dari seminggu
meninggal. Angka kematian bayi sangat
memprihatinkan, yang dikenal dengan
fenomena 2/3. Fenomena itu terdiri dari, 2/3
kematian bayi (berusia 0-1 tahun) terjadi
pada umur kurang dari satu bulan
(neonatal), 2/3 kematian terjadi pada umur
kurang dari seminggu (neonatal dini) dan
2
/3 kematian pada masa neonatal dini
terjadi pada hari pertama.
Menurut laporan WHO di Indonesia,
setiap tahun ada 4.608.000 bayi lahir
hidup. Dari jumlah itu sebanyak 100.454
meninggal sebelum berusia 28 hari. Berarti
275 neonatal meninggal setiap hari/sekitar

184 neonatal dini meninggal setiap hari


atau setiap satu jam ada delapan bayi
neonatal dini meninggal. Tingginya AKB
berusia kurang dari setahun di Indonesia
secara langsung disebabkan oleh faktor
medis, diantaranya infeksi dan hipotermi
(Anton, Setiap Jam Delapan Bayi
Meninggal,2007).
Seharusnya bayi-bayi baru lahir
langsung diletakkan di dada ibunya
minimal 30 menit, pada usia 20 menit dia
akan merangkak sendiri ke payudara
ibunya. Pada usia 50 menit dengan susah
payah dia akan menemukan puting susu
ibunya. Dengan begitu akan terjadi contact
skin to skin, maka 22% nyawa bayi di
bawah 28 hari dapat diselamatkan.

90

Inisiasi
sebenarnya
telah
dilaksanakan di Indonesia. Namun,
ternyata belum benar. Bayi baru lahir
biasanya sudah dibungkus sebelum
diletakkan di dada ibunya, akhirnya tak
terjadi skin to skin contact. Kasalahan
kedua, bukan menyusu, melainkan disusui.
Selain memberikan inisiasi dini, ibu
yang baru melahirkan juga perlu
memberikan ASI ekslusif hingga bayi
berumur enam bulan. Pemberian ASI
eksklusif ini mampu menekan kematian
bayi hingga 13% (Bambang, Meraih
Manfaat inisiasi ASI, 2007).
Dari hasil mengamatan sementara
dari 10 bayi yang dilakukan inisiasi
menyusu dini, terdapat perbedaan suhu
sebelum dan sesudah dilakukan inisiasi.
Berdasarkan teori Kecepatan Metabolisme
dan Suhu tubuh menunjukkan pada bayi
yang normal sekalipun sering turun
beberapa derajat selama beberapa jam
beberapa jam pertama setelah lahir, tetapi
kembali normal dalam 7 sampai 10 jam.
Walaupun
demikian,
mekanisme
pengaturan suhu tubuh masih kurang
selama
hari
pertama
kehidupan
(Guyton,1997: 1331).
Berdasarkan Uraian di atas maka
timbul suatu masalah yang sangat penting
untuk diangkat yaitu adakah perbedaan
suhu bayi baru lahir sebelum dan sesudah
inisiasi menyusu dini di Kabupaten
Jember.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian yang dipakai oleh
peneliti adalah studi komparasi analitik
yaitu penelitian dengan menggunakan
metode studi perbandingan yang dilakukan
dengan cara membandingkan perbedaan
sebagai fenomena untuk mencari faktor
faktor apa atau situasi bagaimana yang
menyebabkan timbulnya suatu peristiwa
tertentu (Notoatmodjo, 2005 : 142). Dalam
penelitian ini dimulai dengan mengadakan
pengumpulan fakta tentang perbedaan
suhu bayi baru lahir sebelum dan sesudah
inisiasi menyusu dini.

Pada penelitian ini menggunakan


metode pendekatan Cross Sectional.
Langkah-langkah
penelitian
Cross
Sectional yang digunakan dalam penelitian
ini adalah mengidentifikasi variabel
variabel penelitian yang merupakan faktor
resiko yaitu suhu sebelum dan sesudah
inisiasi menyusu dini.
Populasi dalam penelitian ini adalah
bayi baru lahir yang dilakukan inisiasi
menyusu dini di Kabupaten Jember yang
lahir pada bulan 2012
Sampel yang diambil adalah 31 bayi
yang berhasil melakukan inisiasi menyusu
dini pada bulan 2012 di beberapa
Puskesmas dan BPS di Kabupaten Jember
dengan klasifikasi random.
Penelitian
ini
menggunakan
pedoman menentukan jumlah sampel
dengan pendapat SLOVIN.
Rumus :
Besar populasi 34 bayi, kemudian
dimasukkan dalam rumus SLOVIN.
=

34
1+34(0.05)2

= 31, 336
Obyek yang diteliti atau sumber data
sangat luas dan besar, oleh karena itu
teknik Sampling yang kita gunakan adalah

Cluster random Sampling.


Cluster dilakukan

dengan cara
randomisasi dalam dua tahap yaitu
randomisasi untuk cluster/menentukan
sampel
daerah
kemudian
randomisasi/menentukan orang/unit yang
ada di wilayahnya/dari populasi cluster
yang dipilih.
Variabel pada penelitian ini adalah
Suhu bayi baru lahir sebelum dan sesudah
inisiasi dini yang merupakan 2 sampel
berpasangan.
Analisis yang digunakan untuk menguji
perbedaan suhu bayi baru lahir sebelum
dan sesudah inisiasi menyusu dini dengan
hipotesis sebagai berikut:
Ho: Tidak ada perbedaan suhu bayi baru
lahir sebelum dan sesudah inisiasi
menyusu dini.
91

Ha: Ada perbedaan suhu bayi baru lahir


sebelum dan sesudah inisiasi menyusu
dini.
Oleh karena skala masing-masing
variabel berbentuk interval maka uji
komparasi yang mungkin digunakan
adalah t-test dengan rumus sebagai
berikut:
Rumus yang digunakan :

x1
s12
n1

s 22
n2

2r

x2
s1
n1

z tabel maka Ho ditolak dengan nilai z


adalah mutlak (3.659 > 2.042).
Jika z hitung > z tabel dengan taraf
signifikansi 0.05 maka dengan demikian
Ho di tolak.
Artinya ada perbedaan suhu sebelum
dan sesudah inisiasi menyusu dini di
Kabupaten Jember April- Mei 2008.
PEMBAHASAN

s2
n2

Jika z hitung > z tabel maka Ho


ditolak yang berarti ada perbedaan suhu
bayi baru sebelum dan sesudah inisiasi
menyusu dini
Jika z hitung < z tabel maka Ho
diterima berarti tidak ada perbedaan suhu
bayi baru sebelum dan sesudah inisiasi
menyusu dini.
(Sugiono,2006:133)
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian yang dilaksanakan
pada bayi baru lahir yang berhasil
melakukan inisiasi menyusu dini di
Kabupaten Jember
2012, tentang
perbedaan suhu bayi baru lahir sebelum
dan sesudah inisiasi menyusu dini dengan
jumlah sampel 31 bayi yang memenuhi
kriteria inklusi, data yang diperoleh adalah
data umum dan data khusus.
Rata-rata sampel Suhu Bayi Baru
lahir sebelum dilakukan Inisiasi Menyusu
Dini di Kabupaten Jember 2012adalah
36.89 0C.
Rata-rata sampel Suhu Bayi Baru
lahir sesudah dilakukan Inisiasi Menyusu
Dini di Kabupaten Jember 2012adalah
37.090C.
Berdasarkan taraf signifikansi 0.05
dan karena uji t bersifat dua sisi, maka
nilai signifikansi yang dirujuk adalah
0.025. Maka harga z tabel. Berdasarkan
hasil perhitungan diatas ternyata z hitung >

Dari hasil penelitian, rata-rata Suhu


Bayi Baru Lahir
sebelum dilakukan
Inisiasi Menyusu Dini di Kabupaten
Jember 2012adalah 36.890 C, sedangkan
Modus adalah 36.30C.
Bayi Baru Lahir mempunyai suhu
sekitar 37 0C. Segera setelah lahir bayi
langsung terpapar oleh suhu lingkungan
pada
saat
penolong
melakukan
penyuntikan oksitosin pada ibu, menjepit
tali pusat, mengikat tali pusat dan
pemotongan tali pusat atau bila terjadi
penatalaksanaan Bayi Baru Lahir yang
salah.
Mekanisme kehilangan panas pada
bayi baru lahir antara lain dengan cara
Konveksi, Radiasi, Evaporasi, Konduksi.
Konveksi melalui aliran udara panas dari
permukaan tubuh ke udara yang lebih
dingin sehingga diperlukan pertahanan
suhu udara diruang rawat sekitar 24 derajat
C. Mekanisme kehilangan panas pada bayi
baru lahir dapat terjadi melalui mekanisme
berikut.

Evaporasi adalah cara kehilangan


panas yang utama pada tubuh bayi.
Kehilangan
panas
terjadi
karena
menguapnya
cairan
ketuban
pada
permukaan tubuh bayi setelah lahir karena
bayi tidak cepat dikeringkan.

Konduksi adalah kehilangan panas


melalui kontak langsung antara tubuh bayi
dengan tempat tidur, timbangan dsb.

Konveksi adalah kehilangan panas


yang terjadi saat bayi terpapar dengan
udara sekitar yang lebih dingin. Bayi yang
dilahirkan atau ditempatkan dalam ruang

92

yang dingin akan cepat mengalami


kehilangan panas.

Radiasi adalah kehilangan panas


yang terjadi saat bayi ditempatkan dekat
dengan benda yang mempunyai temperatur
lebih rendah dari temperatur tubuh bayi.
Hal ini dikarenakan Insulasi
(pertahanan tubuh terhadap temperatur)
suhu pada bayi baru lahir kurang, jika di
bandingkan insulasi pada orang dewasa.
Pembuluh darah lebih dekat di permukaan
kulit. Perubahan temperatur lingkungan
akan
mengubah
darah,
sehingga
mempengaruhi pusat pengaturan suhu di
hipotalamus.

Pusat
pengaturan
suhu
di
hipothalamus
belum
berkembang,
walaupun sudah aktif. Kelenjar keringat
belum
berfungsi
normal,
mudah
kehilangan panas tubuh (perbandingan luas
permukaan dan berat badan lebih besar,
tipisnya lemak subkutan, kulit lebih
permeable
terhadap air),
sehingga
neonatus sulit mengatur suhu tubuh dan
sangat terpengaruh oleh suhu lingkungan
(bersifat poikilotermik). Produksi panas
mengandalkan pada proses non-shivering
thermogenesis yang dihasilkan oleh
jaringan lemak coklat yang terletak
diantara scapula, axila, mediastinum dan
sekitar ginjal (Morgan HAH,1993).
Adapun hipotermia bisa disebabkan
oleh suhu lingkungan yang rendah,
permukaan tubuh terbuka. Posisi fleksi
bayi baru lahir diduga berfungsi sebagai
sistem pengamanan untuk mencegah
pelepasan panas karena sikap ini
mengurangi pemajanan permukaan tubuh
pada suhu lingkungan.
Kontrol vasomotor bayi baru lahir
belum berkembang dengan baik untuk
mengonstriksi pembuluh darah subkutan

dan kulit. Bayi baru lahir memproduksi


panas
terutama
melalui
upaya
termogenesis tanpa menggigil.
Bayi normal mungkin mencoba
untuk meningkatkan suhu tubuh dengan
menangis atau meningkatkan aktifitas
motorik
dalam
berespon
terhadap
ketidaknyamanan karena suhu lingkungan
lebih rendah. Menangis meningkatkan
beban kerja, dan penyerapan energi
(kalori)
mungkin berlebihan, terutama pada
bayi
yang
mengalami
gangguan.
Temperature
lingkungan
yang
direkomendasikan untuk neonatus adalah
27C. Ada sumber lain yang mengatakan 24
C.
Stres
dingin
(cold
stress)
menimbulkan masalah fisiologis dan
metabolisme pada semua bayi baru lahir,
tanpa memandang usia kehamilan dan
kondisi lain. Kecepatan pernafasan
meningkat sebagai respon terhadap
kebutuhan oksigen ketika konsumsi
oksigen meningkat secara bermakna pada
stres dingin. Konsumsi oksigen dan energi
pada bayi baru lahir yang mengalami stres
dingin dialihkan dari fungsi untuk
mempertahankan pertumbuhan, fungsi sel
otak, dan fungsi jantung normal menjadi
fungsi termogenesis agar bayi dapat tetap
hidup.
Dari hasil penelitian, rata-rata Suhu
Bayi Baru Lahir
sebelum dilakukan
Inisiasi Menyusu Dini di Kabupaten
Jember 2012 adalah 37.09 C, sedangkan
Modus adalah 37.1 C.
Pada inisiasi menyusu dini terjadi
contact skin to skin antara ibu dan bayi.
Bayi berada dalam suhu yang aman jika
melakukan kontak kulit dengan ibu. Suhu
payudara ibu meningkat 0.5 derajat dalam
dua menit jika bayi diletakkan didada ibu.
Berdasarkan hasil penelitian Dr.
Niels Bergman (2005), ditemukan bahwa
suhu dada ibu yang melahirkan menjadi
1oC lebih panas dari pada suhu dada ibu

93

yang tidak melahirkan. Jika bayi yang


diletakkan di dada ibu ini kepanasan, suhu
dada ibu akan turun 1oC. Jika bayi
kedinginan, suhu dada ibu akan meningkat
2oC untuk menghangatkan bayi. Jadi, dada
ibu yang melahirkan merupakan tempat
terbaik bagi bayi yang baru lahir
dibandingkan tempat tidur yang canggih
dan mahal.
Hal ini dikarenakan ibu yang baru
melahirkan telah bekerja keras dan
mengalami metabolisme. Produksi panas
adalah merupakan tambahan metabolisme
yang utama. Salah satu faktor yang
mempengaruhi laju metabolisme tubuh
adalah metabolisme tambahan yang
disebabkan oleh meningkatnya aktivitas
kimiawi dalam sel itu sendiri, terutama
bila temperatur sel meningkat.
Jika bayi yang diletakkan di dada ibu
suhunya terlalu panas, suhu dada ibu akan
turun 1oC. Jika bayi terlalu dingin, suhu
dada ibu akan meningkat 2 oC untuk
menghangatkan bayi. Hal ini disebabkan
laju hilangnya panas ditentukan hampir
seluruhnya oleh dua faktor (1) seberapa
cepat panas dapat dikonduksikan dari
tempat panas dihasilkan dari tubuh ke kulit
dan (2) seberapa cepat kemudian panas
dapat dihantarkan dari kulit ke sekitarnya.
Aliran darah ke kulit
dari tubuh
menyediakan pemindahan panas.
Pembuluh darah menembus jaringan
penyekat subkutan dan dengan segera
menyebar sebanyak-banyaknya dibawah
kulit. Yang penting terutama adalah
pleksus venosus yang disuplai oleh aliran
darah dari kapiler kulit.
Kecepatan aliran darah ke dalam
pleksus venosa dapat sangat berbeda dari
sedikit diatas nol sampai setinggi 30
persen dari total curah jantung. Kecepatan
aliran darah yang tinggi menyebabkan
konduksi panas yang disalurkan dari
tubuh ke kulit sangat efisien, sedangkan
reduksi
kecepatan
aliran
darah
menurunkan efisiensi konduksi panas dari
inti tubuh. Oleh karena itu, kulit

merupakan sistem pengatur radiator


panas yang efektif, dan aliran darah ke
kulit adalah mekanisme penyebaran panas
yang paling efektif dari dalam tubuh ke
kulit.
Konduksi panas ke kulit oleh aliran
darah oleh tingkat vasokontriksi arteriol
dan anastomosis arteriovenosa yang
menyuplai darah ke pleksus venosa kulit.
Selanjutnya vasokontriksi ini hampir
seluruhnya dikontrol oleh sistem saraf
simpatis dalam memberikan respon
terhadap perubahan suhu inti tubuh dan
perubahan suhu lingkungan. Sewaktu
pusat temperatur hipotalamus mendeteksi
bahwa temperatur tubuh terlalu panas atau
terlalu dingin, pusat akan memberikan
prosedur penurunan atau peningkatan
temperatur yang sesuai.
Lemak
coklat
(brown
fat)
mempunyai jumlah mitokondria yang
lebih banyak dari lemak biasa, sehingga
kecepatan metabolisme pun semakin cepat.
Beberapa reaksi kimia yang memerlukan
energi ATP hanya menggunakan beberapa
ratus kalori dari 8000 kalori yang tersedia
dan sisa energi ini kemudian hilang dalam
bentuk panas.
Sebagian besar energi untuk aktifitas
otot dengan mudah melawan viskositas
otot
itu sendiri atau jaringan
sekelilingnya sehingga
anggota badan
dapat bergerak. Pergerakan liat ini
selanjutnya menyebabkan gesekan dalam
jaringan yang menyebabkan panas
Panas sebagai sebutan umum dari
semua Energi yang dikeluarkan Tubuh.
Telah diketahui bahwa tidak semua energi
dalam makanan ditransfer menjadi ATP,
sebagai gantinya, sebagian besar energi
menjadi panas. Rata-rata, sekitar 55 persen
energi dalam makanan menjadi panas
selama pembentukan ATP. Oleh sebab
Inisiasi
bayi
baru
lahir
dapat
menyebabkan kestabilan suhu.
Rata-rata Suhu Bayi Baru Lahir
sebelum dilakukan Inisiasi Menyusu Dini
di Kabupaten Jember 2012 adalah 36.890
94

C, sedangkan rata-rata Suhu Bayi Baru


Lahir sebelum dilakukan Inisiasi Menyusu
Dini di Kabupaten Jember 2012adalah
37.090 C. Uji statistik yang digunakan
adalah menggunakan uji z dan diperoleh
signifikansi 0.05.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa
suhu bayi baru lahir sebelum dan sesudah
inisiasi menyusu dini di Kabupaten Jember
memang berbeda dan hampir bisa
dipercaya sekitar 95 %.
Menurunnya suhu saat bayi baru
lahir dikarenakan oleh paparan lingkungan
yang lebih dingin terhadap tubuh bayi.
Selain itu juga dikarenakan Insulasi pada
bayi buru lahir masih belum sempurna
seperti di jelaskan di atas.
Inisiasi Menyusu Dini terjadi contact
skin to skin antara ibu dan bayi dan adanya
metabolisme lemak coklat sehingga akan
terjadi kestabilan suhu bayi baru lahir
tersebut.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan di Kabupaten Jember dapat
disimpulkan bahwa Suhu Bayi Baru Lahir
sebelum dilakukan inisiasi menyusu dini di
Kabupaten Jember 2012 36.89 0C. Hal ini
karena paparan suhu lingkungan terhadap
tubuh bayi dan insulasi tubuh bayi yang
kurang. Suhu Bayi Baru Lahir sesudah
dilakukan inisiasi menyusu dini di
Kabupaten Jember 2012 37.09 OC. Hal ini
dikarenakan
adanya
kecepatan
metabolisme dan adanya contact skin to
skin. Pada Penelitian ini didapatkan ada
perbedaan suhu bayi baru lahir sebelum
inisiasi menyusu dini dan sesudah inisiasi
menyusu dini di Kabupaten Jember 2012.

khususnya pada ibu dan calon ibu tentang


inisiasi menyusu dini dan manfaatnya.
Bagi Profesi Kebidanan Penelitian ini
dapat
dijadikan
referensi
tentang
pelaksanaan, manfaat inisiasi menyusu
dini
sehingga
dengan
menyadari
pentingnya inisiasi menyusu dini profesi
kebidanan mampu dan dengan kesadaran
melakukan inisiasi menyusu dini.
Bagi Institusi Sebagai tambahan referensi
tentang inisiasi menyusu dini.
DAFTAR PUSTAKA
Anton (2007), Merawat bayi dengan
metode kanguru,
http://.sehatgroup.web.id
Bobak (2004), Buku Ajar Keperawatan
Maternitas, Jakarta, EGC
Ganong, William F (1999), Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran, Jakarta,
EGC
Guyton, & Hall (1997), Buku Ajar

Fisiologi Kedokteran,
Jakarta,EGC
Hidayat, A Aziz Alim (2007), Metode

Penelitian Kebidanan dan


Tekhnik Analisis Data, Jakarta,
Salemba Medika
JNPK-Kr (2007), Metode Penelitian

Kebidanan dan Tekhnik Analisis


Data, Jakarta, Rineka Cipta
Luluelysoraya,(2008),AgarASIlancardiawa
lmenyusui,
http://myhealthblogging.com

Saran

Media Sehat (2007), Inisiasi Menyusu


Dini, Inisiasi Menyusu Dini,
http://mediaindonesia.com

Bagi peneliti Selajutnya Sebagai referensi


bahwa Inisiasi menyusu dini dapat
menstabilkan suhu bayi baru lahir pada
jam-jam pertama kehidupanya.

Notoatmojo (2000), Metodologi Penelitian


Kesehatan, Jakarta, Rineka Cipta.
Nursalam (2003), Konsep dan Penerapan

Bagi IPTEK Penelitian ini dapat dijadikan


sebagai informasi bagi masyarakat

Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan, Jakarta, Salemba
Medika

95

Roesli, Utami (2008), Inisiasi Menyusu


Dini Plus ASI Ekslusif, Jakarta,
Pustaka Bunda
Roesli Utami (2002), Inisiasi Menyusu
Dini, http:www.google.com
Sugiyono (2004), Statistik untuk
penelitian, Bandung, Alfa Beta

96

HUBUNGAN ANTARA PENDIDIKAN SEKSUAL ORANG TUA PADA REMAJA DENGAN


PERILAKU SEKSUAL REMAJA PRANIKAH DI SMA K DAN SMK K JEMBER
Asri Iman Sari*
Abstract: Adolescence is a behavior that always want to try to bring teenage sexual behavior. Premarital
sexual behavior in adolescents due to the lack of openness in the family about the importance of early sexual
education. The purpose of this study to determine whether there is a relationship between parental sexual
education in adolescents with adolescent premarital sexual behavior. Analytic study design cross sectional
correlation method, 237 students in the high school population "K" and SMK "K" Jember, 172 students
using a sample taken Slovin formula with lottery techniques, conducted with questionnaires, test hypotheses
using the contingency coefficient test. The results showed 54,07% of parents not provide sexual education in
adolescents 51,16% of adolescent sexual behavior are and 7,56% severe sexual behavior. Prices obtained
statistical test count 12,864 > tables 7,815 and 0,26 then the conclusion outcome KK, Ho is rejected it
means there is a low or weak relationship but definitely between parental sexual education in adolescents
with adolescent premarital sexual behavior in high school "K "vocational and" K "Jember because there are
other factors such as the mass media and the association that also have an impact on sexual. Parents are more
open to teenagers invite discussion and provide sexual information and make the environment conducive to
youth can freely express opinions about sex and not fall into adolescent premarital sexual behavior.

Keywords: Sexual Education, Sexual Behaviour, Adolescents


*= Program Studi DIV Kebidanan Jember, Jurusan Kebidanan, Poltekkes Kemenkes Malang

PENDAHULUAN
Memasuki usia remaja, dorongan seksual
seorang anak akan meningkat. Remaja mulai
peduli dengan daya tarik seksual dan mulai
merasakan campuran cinta dan nafsu birahi.
Akibatnya, remaja mulai sensitif dengan hal-hal
yang berkaitan dengan seksualitas sehingga dengan
sedikit stimulus seksual (misalnya melihat hal-hal
romantis atau mendengar cerita berbau seksual)
remaja sudah terangsang. Kondisi seperti ini yang
membuka peluang bagi remaja untuk berperilaku
seperti orang dewasa (misalnya berciuman,
berpelukan hingga melakukan hubungan seksual).
Bentuk perilaku seksual, mulai dari bergandengan
tangan (memegang lengan pasangan), berpelukan
(seperti merengkuh bahu, merengkuh pinggang),
bercumbu (seperti cium pipi, cium kening, cium
bibir), meraba bagian tubuh yang sensitif, sampai
dengan memasukkan alat kelamin dalam vagina.
Perilaku seksual pada remaja yang menjadi sorotan
adalah perilaku seksual pranikah karena dianggap
tidak bersesuaian dengan kaidah moral dan nilai
sosial masyarakat (D. Haesty, 2010). Dan pada
umumnya masa remaja merupakan perilaku yang
selalu ingin mencoba-coba hingga membawa
remaja masuk pada hubungan seks pranikah (Aini,
2010).
Perilaku seksual pada remaja disebabkan
tidak adanya keterbukaan dalam keluarga tentang
penting pendidikan seks (sex education) sejak dini.
Sulitnya orang tua terbuka dalam memberikan

pendidikan seks ini disebabkan persepsi keluarga


yang masih menganggap tabu membicarakan
masalah seks terhadap remaja. Pemahaman yang
salah mengenai pendidikan seks sehingga muncul
larangan membicarakan seksualitas di depan umum
karena dianggap vulgar (A. Syahredi, 2009).
Dari sekitar 240 juta penduduk Indonesia,
jumlah remaja mencapai 63,4 juta atau sekitar
26,7% dari total penduduk. Data BKKBN tentang
Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia
pada tahun 2002-2003, dilaporkan bahwa remaja
yang mengaku pernah berhubungan seksual
sebelum menikah pada usia 14-19 tahun mencapai
34,7% untuk remaja putri dan 30,9% remaja putra
(Aini, 2010). Dari studi pendahuluan yang
dilakukan di SMA K Jember dan SMA K
Jember didapatkan hasil bahwa pada siswa kelas XI
SMA K Jember 81,8% pernah melakukan
perilaku seksual pranikah dan pada siswa kelas XI
SMK K Jember 93,5% pernah melakukan
perilaku seksual pranikah dengan teman lawan
jenisnya.
Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui
apakah ada hubungan antara pendidikan seksual
orang tua pada remaja dengan perilaku seksual
remaja pranikah.

97

METODE
Desain penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode analitik korelasi
dengan pendekatan cross sectional.
Pada penelitian ini populasinya adalah 237
remaja siswa kelas XI yang bersekolah di SMA
K Jember sejumlah 46 remaja dan di SMK K
Jember yaitu sejumlah 191 remaja. Dan sampel
penelitian diambil dari remaja yang bersekolah di
SMA K dan SMK K Jember kelas XI sejumlah
172 remaja.
Pada penelitian ini menggunakan teknik
proportionate stratified random sampling karena
populasi mempunyai anggota atau unsur yang tidak
homogen dan berstrata secara proporsional.
Definisi operasional adalah mendefinisikan
variabel secara operasional dan berdasarkan
karakteristik yang diamati, memungkinkan peneliti
untuk melakukan observasi atau pengukuran secara
cermat terhadap suatu obyek atau fenomena
(Nursalam, 2003).
a. Pendidikan seksual adalah hasil nilai jawaban 10
kuesioner tentang pendidikan seksual yang
diberikan orang tua pada remaja, alat ukur yang
digunakan berupa kesioner dengan skala ordinal,
dengan kategori:
1) Baik, bila nilai benar 6-10
2) Kurang, bila nilai benar 0-5
b. Perilaku adalah hasil nilai jawaban 7 kuesioner
perilaku pada remaja saat bersama pasangan,
alat ukur yang digunakan adalah kuesioner
dengan skala data ordinal, yang memiliki
kategori sebagai berikut:
1) Ringan, bila pacaran sebatas bergandengan
tangan dan berpelukan
2) Sedang, bila bercumbu seperti cium pipi,
cium kening, dan cium bibir
3) Berat, bila perilaku seksual diwujudkan
dalam bentuk meraba bagian tubuh yang
sensitif, petting, oral seks, dan intercourse.
Pengolahan data meliputi Editing, Scoring, Coding,
Tabulating dan Entry.
Analisis Data :
a) Analisis Univariat
Untuk
menghitung
distribusi
frekuensi
menggunakan menggunakan rumus sebagai
berikut:
b) Analisis Bivariat
Untuk menguji hubungan antar variabel dalam
tujuan khusus dilakukan uji chi kuadrat dua
sampel dilanjutkan dengan uji koefisien
kontingensi.
Dalam melakukan penelitian, peneliti perlu
mendapat rekomendasi dari institusi dengan
mengajukan permohonan izin kepada institusi atau

lembaga tempat penelitian. Setelah mendapat


persetujuan barulah melakukan penelitian dengan
menekankan masalah etika yang meliputi: informed
consent , anomity (tanpa nama) dan confidentiality.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Hubungan antara
Pendidikan Seksual Orang Tua pada Remaja
dengan Perilaku Seksual Remaja Pranikah di SMA
K dan SMK K Jember tahun 2013
N
o
1.
2.

Pendidikan
Seksual
Orang Tua
Baik
Kurang
Jumlah

Perilaku Seksual Remaja Pranikah


Tidak

Ringan

Sedang

Berat

19
10
29

25
17
42

30
58
88

5
8
13

Total
79
93
172

Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa


orang tua memberikan pendidikan seksual dengan
baik pada remaja sehingga tidak berperilaku seksual
pranikah 19 responden orang tua memberikan
pendidikan seksual dengan baik pada remaja
sehingga berperilaku seksual ringan 25 responden
orang tua memberikan pendidikan seksual dengan
baik pada remaja sehingga berperilaku seksual
sedang 30 responden, orang tua memberikan
pendidikan seksual dengan baik pada remaja
sehingga berperilaku seksual berat 5 responden,
orang tua kurang memberikan pendidikan seksual
pada remaja sehingga tidak berperilaku seksual
pranikah 10 responden, orang tua kurang
memberikan pendidikan seksual pada remaja
sehingga berperilaku seksual ringan 17 responden,
orang tua kurang memberikan pendidikan seksual
pada remaja sehingga berperilaku seksual sedang 58
responden, dan orang tua kurang memberikan
pendidikan seksual pada remaja sehingga
berperilaku seksual berat 8 responden.
Hasil dari perhitungan SPSS didapatkan
0,005 dan menggunakan taraf signifikan 5%.
Ternyata harga lebih besar dari yaitu 0,005 <
0,05. Karena < maka kesimpulannya Ho ditolak
artinya ada hubungan antara pendidikan seksual
orang tua pada remaja dengan perilaku seksual
pranikah di SMA K dan SMK K Jember.
Kemudian dilakukan uji koefisien kontingensi
untuk mengetahui keeratan hubungan antara
pendidikan seksual orang tua pada remaja dengan
perilaku seksual pranikah. Hasil dari perhitungan
didapatkan hasil kontingensi 0,264.

98

PEMBAHASAN
Setelah dilakukan uji statistik pada data yang
didapatkan maka dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan antara pendidikan seksual orang tua pada
remaja dengan perilaku seksual remaja pranikah di
SMA K dan SMK K Jember tahun 2013 dan
hasil kontingensi 0,264 yang bemakna kekuatan
hubungan antar variabel rendah atau lemah tapi
pasti.
Pendidikan seksual dapat mempengaruhi
perilaku individu tersebut terhadap seksual
pranikah. Remaja yang mendapat informasi yang
benar tentang pendidikan seksual maka mereka
akan cenderung mempunyai perilaku positif.
Sebaliknya remaja yang kurang mendapat
pendidikan seksual cenderung mempunyai perilaku
negatif (Karya, 2005).
Pendidikan seksual orang tua pada remaja
dengan perilaku seksual remaja pranikah
berhubungan rendah atau lemah tapi pasti karena
perilaku seksual remaja pranikah tidak hanya
dipengaruhi oleh pendidikan seksual orang tua pada
remaja tetapi ada faktor lain yang berpengaruh
seperti lingkungan, teman sebaya, dan media massa.
Perilaku seksual pada remaja disebabkan tidak
adanya keterbukaan dalam keluarga tentang penting
pendidikan seksual sejak dini. Sulitnya orang tua
terbuka dalam memberikan pendidikan seksual ini
lebih banyak disebabkan keluarga yang masih
menganggap tabu untuk membicarakan masalah
seks pada remaja. Adanya pemahaman yang salah
mengenai pendidikan seksual sehingga muncul
larangan membicarakan mengenai seksualitas di
depan umum karena dianggap sesuatu yang tidak
wajar. Dalam perbincangan sehari-hari pun, topik
seksualitas bukanlah topik yang umum dibicarakan,
termasuk dalam perbincangan antara orang tua dan
anak. Padahal komunikasi orang tua dan anak dapat
menentukan seberapa besar kemungkinan anak
melakukan tindakan seksual. Perilaku seksual
pranikah tidak hanya melanggar norma agama dan
masyarakat tetapi juga menimbulkan masalah lain
yaitu munculnya rasa bersalah, terjadinya
kehamilan yang tidak dikehendaki, penularan
penyakit seksual, dan mewabahnya virus
HIV/AIDS. Selain itu perilaku seksual pranikah
dapat menyebabkan menurunnya motivasi untuk
belajar sehingga banyak remaja kemudian
mengalami penurunan prestasi akademi.

yang melakukan perilaku seksual berat sebesar


7,56%. Ada hubungan yang rendah atau lemah tapi
pasti antara pendidikan seksual orang tua pada
remaja dengan perilaku seksual remaja pranikah di
SMA K dan SMK K Jember tahun 2013,
karena ada faktor lain seperti lingkungan, teman
sebaya, dan media massa yang juga dapat
mempengaruhi terjadinya perilaku seksual remaja
pranikah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Syahredi (2009) Faktor yang Mempengaruhi

Tingkat Pengetahuan dan Sikap Remaja


terhadap Kesehatan Reproduksi. Jurnal
Kesehatan
Aini, Khusnul dan Ramadhy, Asep Sufyan (2010)

Perilaku Seksual Remaja Masa Lalu, Masa


Kini, dan Masa Depan Serta Dampaknya
terhadap Derajat Kesehatan Reproduksi di
Indonesia. Makalah
D. Haesty (2010) Hubungan Antara Harga Diri
dengan Sikap terhadap Perilaku Seksual
Pranikah pada Remaja dari Keluarga Broken
Home. Penelitian
Nursalam (2003) Konsep dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika

KESIMPULAN
Banyak orang tua kurang memberikan
pendidikan seksual pada remaja di SMA K dan
SMK K Jember. Sebagian remaja perilaku
seksual remaja di SMA K dan SMK K Jember
99

También podría gustarte