Está en la página 1de 26

;;o;; ;; ;;o;; ;; ;;o;; ;;; ;; ;; ;; ;;o;; ;; ;;o;; ;;; .;;.;;.;;.;; .;;.;;.;;.;;.;;;.;;.;;.

;
;.;;.;;.;;.;;.;;.;;;;;o;;;;;;;;;;;;;;;;;.;
;o;;;;;;;;;;;;;;;;;.;;.;;.;;.;; .;;.;;.;;.;;.;;;;;o;;;;;;o;;;;;;o;;;;;.;;.;;.;;.;
;.;;.;;.;;.;;.;;;;;o;;;;;;;;;;;;;;;;;;;o;;;;;;;;;;;;;;;;;;;o;;;;;
;;;;;;;;;;;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;;;;o;;;;;;;;;;;;;;;;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;.
;;.;;;;;o;;;;;;;;;;;;;;;;;;;o;;;;;;;;;;;;;;;;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;;
.;;o;;;;;;;;;;;;;;;;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;;.;;.;;.;
;;;;;;;;;;;;;;;;o;;;;;;;;;;;;;;;;;;;o;;;;;;;;;;;;;;;;;
.;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;; ;;o;; ;; ;; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ;; ;;o;; ;; ;; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ;; . ;
;.;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;.;;;BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kematian, pada umumnya dianggap sebagai suatu hal yang sangat
menakutkan, namun akan dialami oleh setiap orang. Kematian merupakan suatu
proses yang tidak dapat ditunda, namun kebanyakan orang tidak mau kematian
itu datang dengan segera. Kebanyakan orang berharap agar kematian tidak
muncul dengan tiba-tiba. Orang bukan hanya saja ngeri menghadapi kematian
itu sendiri, namun jauh lebih dari itu, orang ngeri menghadapi keadaan setelah
kematian terjadi.
Tidak demikian halnya dengan orang yang telah putus asa menghadapi
hidup karena penyakit yang diderita sangat menyiksanya. Mereka ingin segera
mendapatkan kematian, dimana bagi mereka kematian bukan saja merupakan
hal yang diharapkan, namun juga merupakan suatu hal yang dicari dan
diidamkan. Terlepas dari siap tidaknya mereka menghadapi kehidupan setelah
kematian, mereka menginginkan kematian segera tiba.
Kematian yang diidamkan oleh para penderita, sudah tentu adalah
kematian yang normal pada umumnya, jauh dari rasa sakit dan mengerikan.
Kematian inilah yang dalam istilah medis disebut “euthanasia” yang dewasa ini
diartikan dengan pembunuhan terhadap pasien yang tipis harapannya untuk
sembuh. Euthanasia sebenarnya bukanlah merupakan suatu persoalan yang
baru. Bahkan euthanasia telah ada sejak zaman Yunani purba. Dari Yunanilah
euthanasia bergulir dan berkembang ke beberapa negara di dunia, baik di Benua
Eropa sendiri, Amerika maupun Asia. Di negara-negara barat, seperti Swiss,
euthanasia sudah tidak dianggap sebagai suatu pembunuhan lagi, bahkan
euthanasia sudah dilegalisasi dan diatur dalam Hukum Pidana.

1
Euthanasia merupakan suatu persoalan yang dilematik baik di kalangan
dokter, praktisi hukum, maupun kalangan agamawan. Di Indonesia masalah ini
juga pernah dibicarakan, seperti yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) dalam seminarnya pada tahun 1985 yang melibatkan para ahli kedokteran,
ahli hukum positif dan ahli hukum Islam, akan tetapi hasilnya masih belum ada
kesepakatan yang bulat terhadap masalah tersebut1.
Demikian juga dari sudut pandang agama, ada sebagian yang
membolehkan dan ada sebagian yang melarang terhadap tindakan euthanasia,
tentunya dengan berbagai argumen atau alasan. Dalam Debat Publik Forum No
19 Tahun 1V, 1 Januari 1996, Ketua Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI)
Pusat, Prof. KH. Ibrahim Husein menyatakan bahwa, Islam membolehkan
penderita AIDS diethanasia jika memenuhi syarat-syarat berikut2 :
Obat atau vaksin tidak ada.
Kondisi kesehatannya makin parah.
Atas permintaannya dan atau keluarganya serta atas persetujuan dokter.
Adanya peraturan perundang-undangan yang mengizinkannya.
Masjfuk Zuhdi mengatakan bahwa sekalipun obat atau vaksin untuk
HIV/AIDS tidak atau belum ada dan kondisi pasien makin parah tetap tidakboleh
di euthanasia sebab hidup dan mati itu di tangan Tuhan. Pendapat tersebut
merujuk pada firman Allah dalam Surat Al-Mulk ayat 2:

Ï%©!$# t,n=y{ |NöqyJø9$# no4quptø:$#ur öNä.uqè=ö7uÏ9


ö/ä3r& ß`|¡ômr& WxuKtã 4 uqèdur âÍyèø9$# âqàÿtóø9$#
Artinya : yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,
Tetapi pengalaman juga menunjukkan bahwa pada saat-saat ketika hal-
hal yang tidak secara tegas dilarang dalam kitab-kitab suci dan dinyatakan
terlarang menurut pandangan pemuka agama, suatu saat dapat berubah.
Pro kontra terhadap tindakan euthanasia hingga saat ini masih terus
berlangsung. Mengingat euthanasia merupakan suatu persoalan yang rumit dan
memerlukan kejelasan dalam kehidupan masyarakat, khususnya bagi umat
Islam. Maka Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam pengkajian (muzakarah) yang
diselenggarakan pada bulan Juni 1997 di Jakarta yang menyimpulkan bahwa
euthanasia merupakan suatu tindakan bunuh diri. Secara logika berdasarkan

1 Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana dan Hukum Islam, dalam
Problematika Hukum Kontemporer, Editor oleh Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995,
hal. 51.
2 Masjfuk Zuhdi, Penderita AIDS Tidak Boleh Dieuthanasia, Dalam Mimbar Hukum No. 6 Tahun VII, Jakarta: Ditbanpera
Islam, 1996, hal. 28.
konteks perkembangan ilmu pengetahuan, euthanasia tidak ada permasalahan
karena hal ini merupakan suatu konsekuensi dari proses penelitian dan
pengembangan. Demikian juga, dipandang dari sudut kemanusiaan, euthanasia
tampaknya merupakan perbuatan yang harus dipuji yaitu menolong sesama
manusia dalam mengakhiri kesengsaraannya3.
Namun akan timbul berbagai permasalahan ketika euthanasia didasarkan
pada konteks yang lain seperti hukum dan agama, khususnya agama Islam.
Dalam konteks hukum, euthanasia menjadi bermasalah karena berkaitan dengan
jiwa atau nyawa seseorang oleh hukum sangat dilindungi keberadaanya.
Sedangkan dalam konteks agama Islam, euthanasia menjadi bermasalah karena
kehidupan dan kematian adalah berasal dari pencipta-Nya4.
Dalam dunia kedokteran, euthanasia dikenal sebagai tindakan yang
dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup
seseorang atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau
mengakhiri hidup seorang pasien dan ini semua dilakukan untuk mempercepat
kematiannya, sekaligus memungkinkan kematian yang baik tanpa penderitaan
yang tidak perlu. Tindakan euthanasia dalam hukum Islam belum ada kejelasan
dalam hal pengkategorian tindakan pembunuhan.
Atas dasar pemaparan di atas maka saya merasa tertarik untuk
membahas secara lebih mendalam mengenai permasalahan tindakan euthanasia
dalam pandangan islam dan kajian Ilmu Fiqih. Dengan mengambil judul makalah
“Pro-Kontra Tindakan Euthanasia dan Kajian Hukum Islamnya”.

Tujuan
Pada dasarnya pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas
pengganti UAS pada makalah Ilmu Fiqih, dan dapat dijadikan sebagai salah satu
bahan pertimbangan dosen dalam memberikan penilaian akhir.
Adapu tujuan khusus lain dari penulisan makalah ini adalah, diharapkan :
Dapat memberikan informasi baru khususnya bagi saya mengenai masalah-
masalah kontemporer dalam kajian hukum islam, dan rekan pembaca pada
umumnya.
Menjadi salah satu referensi bagi penulis lain ketika hendak mengkaji secara
lebih dalam lagi mengenai masalah yang sama.

3 Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta: Widya Medika, 1997, hal. 72.
4 Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1984, hal. 64.

3
Rumusan Masalah
Adapaun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan makalah
ini adalah :
Apa pengertian dan bagaimana perkembangan Euthanasia ?
Apa bentuk-bentuk tindakan yang termasuk euthanasia ?
Bagaimana tindakan euthanasia dalam kode etik kedokteran ?
Bagaimana pandangan berbagai agama terhadap tindakan euthanasia ?
Bagai mana pandangan islam dalam kajian ilmu Fiqih tentang tindakan
euthanasia serta hukumnya ?

BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian dan Perkembangan Euthanasia


Eutanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan
θάνατος, thanatos yang berarti kematian) adalah praktek pencabutan kehidupan
manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit
atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara
memberikan suntikan yang mematikan. Hippokrates pertama kali menggunakan
istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-
300 SM. Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau
memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan
untuk itu". Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300
hingga saat "bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak
diperbolehkan.5
Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-
maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan
atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga
berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan
penderitaan hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145).
Eutanasia dalam dunia modern
Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan
pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-
undang anti eutanasia mulai diberlakukan di negara bagian New York, yang pada

5 Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas. Tersedia di : wikipedia indonesia.htm


beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa negara bagian.
Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter
mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela. Kelompok-kelompok
pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di
Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan
eutanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia
tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris.
Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss
sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan
daripadanya. Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa
permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki
anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai
bentuk "pembunuhan berdasarkan belas kasihan".
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan
kontroversial dalam suatu "program" eutanasia terhadap anak-anak dibawah
umur 3 tahun yang menderitan keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun
gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini
dikenal dengan nama Aksi T4 ("Action T4") yang kelak diberlakukan juga
terhadap anak-anak usia diatas 3 tahun dan para jompo / lansia.[2]
Eutanasia pada masa setelah perang dunia
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan
eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan
terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tindakan eutanasia yang
dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika.
Praktek-praktek eutanasia zaman dahulu kala
Praktek-praktek Eutanasia yang dilaporkan dalam berbagai tindakan
masyarakat6:
Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-
orang tua ke dalam sungai Gangga.
Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di
zaman purba.
Uruguay mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-
undang yang telah berlaku sejak tahun 1933.
Di beberapa negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali
di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan
6 C. Satyo, Alfred, Dr,DSF,MHPE: "Dampak Teknologi Kedokteran Modern terhadap Budaya Kematian dan Kehidupan",
Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ,USU library, 5

5
khusus.
Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian mencantumkan
eutanasia sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya
dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.
Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para
anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan
persyaratan tertentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya. Ada
beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam
praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan eutanasia aktif, akan
tetapi mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat digolongkan
eutanasia pasif.
Eutanasia menurut hukum diberbagai negara7
Sejauh ini eutanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta
ditoleransi di negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss dan
dibeberapa negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan
Denmark
Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang
yang mengizinkan eutanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku
sejak tanggal 1 April 2002 [6]
, yang menjadikan Belanda menjadi negara
pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang
mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk
mengakhiri penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab
Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan
masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia"
dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67,
November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap
dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan
dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah
ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan
sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan
menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban
para dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri

7 Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas. Tersedia di : wikipedia indonesia.htm


berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya
prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun
telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang
melakukan eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.
Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama
di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri
berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995
Northern Territory menerima UU yang disebut "Right of the terminally ill bill"
(UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali
dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat
Australia, sehingga harus ditarik kembali.
Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir
September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan
tindakan eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya
tindakan eutanasia dinegara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya
prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya
upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian".
Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia
( setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika ).
Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah
satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa
seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah
merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan
kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.
Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di
Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya
secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin
lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang
pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia
dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death
with Dignity Act)[8]. Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri
berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat,
dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan

7
untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam
bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua
kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali
secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh
memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus
mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan
bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan
gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan
pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh
terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun
kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di
masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU
negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern
Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang
pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999. Sebuah lembaga jajak
pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60%
orang Amerika mendukung dilakukannya eutanasia.
Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu
perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan
perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan
nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya
dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12
tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338,
340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur
delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum
yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia
oleh siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid
Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah
Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau
"pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima
dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.
"Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh
bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.
Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga
negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya
sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942,
yang pada intinya menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan
bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila
motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri."
Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk
melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan
untuk mengakhiri kehidupan seseorang.
Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan
Britania Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists)
mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield
Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan
eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal
tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris
melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama
dari sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi praktek
kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan
melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada
Belanda). Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris
(British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia
dalam bentuk apapun juga.

Jepang
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang
eutanasia demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of
Japan) tidak pernah mengatur mengenai eutanasia tersebut.
Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya
pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai "eutanasia pasif" (消極的

9
安 楽 死 , shōkyokuteki anrakushi). Kasus yang satunya lagi terjadi setelah
peristiwa insiden di Tokai university pada tahun 1995 yang dikategorikan
sebagai "eutanasia aktif " (積極的安楽死, sekkyokuteki anrakushi)
Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk
suatu kerangka hukum dan suatu alasan pembenar dimana eutanasia
secara aktif dan pasif boleh dilakukan secara legal. Meskipun demikian
eutanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus tersebut adalah tetap
dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang melakukannya akan
dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh
karena keputusan pengadilan ini masih diajukan banding ke tingkat federal
maka keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum sebagai
sebuah yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini Jepang memiliki
suatu kerangka hukum sementara guna melaksanakan eutanasia.
Republik Ceko
Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan
pembunuhan berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia
dikeluarkan dari rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil
bermaksud untuk memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut
sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara,
namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite hukum negara tersebut
merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari
rancangan tersebut.[15]
India
Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan
mengenai larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan
dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana
India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan
tersebut dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah
atas kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan
yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini
hanyalah diberlakukan terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien
sendirilah yang menginginkan kematian dimana si dokter hanyalah
membantu pelaksanaan eutanasia tersebut (bantuan eutanasia). Pada
kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun
eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan
pasal 92 IPC.
China
Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum.
Eutansia diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana
seorang yang bernama "Wang Mingcheng" meminta seorang dokter untuk
melakukan eutanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi
menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6
tahun kemudian Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People's Court)
menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng
menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk
disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya eutanasia atas
dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia
meninggal dunia dalam kesakitan.
Afrika Selatan
Di Afrika Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara tegas
mengatur tentang eutanasia sehingga sangat memungkinkan bagi para
pelaku eutanasia untuk berkelit dari jerat hukum yang ada.[18]
Korea
Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang
eutanasia di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum
(yurisprudensi)yang di Korea dikenal dengan "Kasus rumah sakit
Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan
dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita
sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian
menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi
catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah.
Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy
killing dalam arti kata eutanasia aktif.
Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu
dari penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk
tindakan eutanasia pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal
meminta penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya.

Bentuk-bentuk tindakan Euthanasia


Dalam praktek kedoketran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu
euthanasi aktif dan pasif :

11
Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien
dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan
diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau
sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah
tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasa
dikemukan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang
memang sudah parah.
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas
dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan.
Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia.
Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang
sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
Euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien
yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi
dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat
kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena
keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan
untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut
perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis,
orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada
otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena
serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan
penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya
dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).
Ditinjau dari sudut maknanya maka eutanasia dapat digolongkan menjadi
tiga yaitu :
Eutanasia agresif, atau suatu tindakan eutanasia aktif yaitu suatu tindakan
secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain
untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan
memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian
tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh
pasien.
Eutanasia non agresif , atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia
otomatis)yang termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang
pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan
medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia
membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Auto-eutanasia
pada dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan.
Eutanasia pasif , juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif
yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk
mengakhiri kehidupan si sakit. Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah
dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen
bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak
memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun
meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna
memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat
penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian
morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian.
Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan
rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis,
maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang atau
keputusasaan keluargan karena ketidak sanggupan menanggung beban biaya
pengobatan. Ini biasanya terjadi pada keluarga pasien yang tidak mungkin untuk
membayar biaya pengobatannya, dan pihak rumah sakit akan meminta untuk
dibuat "pernyataan pulang paksa". Bila meninggal pun pasien diharapkan mati
secara alamiah. Ini sebagai upaya defensif medis.
Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan
menjadi tiga yaitu :
Eutanasia diluar kemauan pasien (involuntary euthanasia), yaitu suatu
tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk
tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan
pembunuhan.
Eutanasia secara tidak sukarela, Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali
menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang
keliru oleh siapapun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak
berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya

13
statusnya hanyalah seorang wali atau keluarga dari si pasien (seperti pada
kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa
orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si
pasien.
Eutanasia secara sukarela (voluntary euthanasia), dilakukan atas persetujuan
si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.

Tindakan Euthanasia dalam Kode Etik Kedokteran


Kode etik kedokteran dalam pasal 2 dijelaskan bahwa “ seorang dokter
haarus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi tertinggi”. Jelasanya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan
profesinya harus sesuai dengan ilmu kedokteran, hukum dan agama. Dalam
pasal 7 juga menjelaskan bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungu hidup insani. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus
bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagian manusia.8
Kode etik kedokteran umumnya membolehkan euthanasia pasif dalam
arti bahwa pasien dibiarkan menjalani kematian-alami-nya (letting dia naturally)
tanpa memberikan tindakan yang extraordinary atau menghentikan tindakan
yang extraordinary yang memperpanjang kehidupan, dengan tetap memberikan
tindakan / perawatan untuk mengendalikan nyeri dan memberikan kenyamanan
pasien.
Tindakan yang memperpanjang kehidupan (life-sustaining treatments)
sendiri diartikan sebagai setiap tindakan yang ditujukan untuk memperpanjang
kehidupan tanpa mengubah keadaan medis latarnya.
The World Medical Association dalam statementnya pada tahun 1997
menyatakan bahwa euthanasia aktif adalah tindakan tidak etis, tetapi tidak
melarang dokter menghormati permintaan pasien yang menginginkan menjalani
proses kematian yang alami pada saat ia menghadapi sakitnya yang berada
pada fase terminal.
IDI pernah membuat fatwa dengan nomor 231/PB/.4/07 pada tahun 1990
yang menyatakan bahwa pada pasien yang belum meninggal, namun tindakan
terapetik atau paliatif tidak ada gunanya lagi, sehingga bertentangan dengan
ilmu kedokteran, maka tindakan-tindakan tersebut dapat dihentikan.

8 Maslani dan Hasbiyallah. Masail Fiqiyah Al-Hadisiyah (Fiqih Kontemporer). 2009.


Bandung : Sega Arsy
Penghentian ini sebaiknya dikonsultasikan dengan minimal satu dokter lain.
Dalam resolusi no 5 Pertemuan ke-3 Dewan Akademi Fikih (1407 H / 1986
M), disebutkan bahwa kaidah hukum Islam “la dharar wa la dhirar”
membenarkan pembiaran kematian secara alamiah. Walaupun petugas medis
wajib menyediakan pelayanan medis sepanjang waktu, tetapi tindakan medis
dapat dihentikan jika menurut pendapatnya tipis atau nihil harapan bagi pasien
untuk sembuh.
Dr. Abdulaziz Sachedina (University of Virginia, tanpa tahun) juga
mengatakan bahwa hokum Islam tidak melarang penghentian tindakan yang sia-
sia dan disproporsional dengan persetujuan anggota keluarga terdekat dan
dengan pertimbangan professional medis.
Pengobatan itu hukumnya mustahab atau wajib apabila pasien dapat diharapkan
sembuh. Sedangkan apabila tidak dapat diharapkan sembuh, apalagi setelah
memperoleh pengobatan lama dan penyakitnya tetap tidak ada perubahan,
maka melanjutkan pengobatan menjadi tidak wajib. Kasus Terri Schiavo
beberapa waktu yang lalu menimbulkan debat dari segi etik dan medikolegal,
yaitu karena apabila artificial nutrition and hydration itu dianggap bersifat
“extraordinary” sehingga penghentiannya dianggap sebagai tindakan pasif,
namun keinginan matinya disangsikan telah dinyatakan oleh si pasien sendiri –
karena ia berada dalam persistent vegetative state – sedangkan keluarganya
berbeda pendapat (suami berbeda dengan orang tua).
Keputusan untuk menghentikan suatu peralatan atau tindakan
memperpanjang hidup yang telah diterapkan pada seseorang pasien memang
tetap merupakan masalah, dibandingkan apabila peralatan atau tindakan
tersebut belum pernah dilakukan pada pasien. Pertimbangan yang ketat harus
dilakukan, khususnya pada pengambilan keputusan penghentian artificial
nutrition and hydration sebagaimana pada kasus Schiavo, oleh karena tindakan
tersebut harus ditentukan terlebih dahulu, apakah sebagai bagian dari “care”
ataukah “cure”. Apabila merupakan bagian dari “cure” dan dianggap sebagai
tindakan medis yang sia-sia maka dapat dihentikan, tetapi apabila dianggap
sebagai bagian dari “care” maka oleh alasan apapun tidak etis bila dihentikan.
Sementara itu, euthanasia aktif umumnya tidak dapat diterima secara
kode etik. Demikian pula pada umumnya hukum negara-negara di dunia tidak
menyetujui tindakan euthanasia aktif karena dianggap sebagai pembunuhan,
kecuali beberapa negara seperti Belanda, Belgia, Swis dan satu negara bagian di
AS.

15
Dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan euthanasia ini,
meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya euthanasia dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan
(sesuai dengan Deklarasi Lisboa 1981). Akan tetapi dokter tidak dibenarkan serta
merta melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan pasien atau
keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, karena adanya
persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak dokter
dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak
lain menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu
sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-
undangan merupakan tindak pidana , yang secara hukum di negara manapun,
tidak dibenarkan oleh Undang-undang.

Tindakan Euthanasia Menurut Pandangan Beberapa Ajaran Agama


Dalam ajaran gereja Katolik Roma
Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk
memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka
yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja
mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya
menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi,
melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang
hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan
menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran
iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de
euthanasia") [20]
yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan
semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan
gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup.
Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya
praktek eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64
yang memperingatkan kita agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan
dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang
meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II
juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang
keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk
ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang,
yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66).
Dalam ajaran agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada
ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa.
Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis
kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau
bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus
dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah
kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari
penganut ajaran Hindu.
Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang
menyakiti siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang
didalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat
menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena
menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu
kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam
kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan
bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan
tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga
ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan :
misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan
hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah
tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih
berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali
(reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai
dijalaninya kembali lagi dari awal.
Dalam ajaran agama Buddha
Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan
dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah
merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut
diatas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang
tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain daripada hal tersebut,
ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna").
Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah
merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan

17
demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam
pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
Dalam ajaran gereja Ortodoks
Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-
orang beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga
kematian dan alam baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah,
pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga
kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan
gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol
pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki
pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya
menentang anjuran eutanasia.
Dalam ajaran agama Yahudi
Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan
menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya
lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik
sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah
tindakan mercy killing ( pembunuhan berdasarkan belas kasihan), adalah
merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan
Tuhan.
Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam
alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu,
yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan
menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama
manusia". Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini
adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.
Dalam ajaran Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki
pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan
orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :
Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya
menyatakan bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk
memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu
keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah
peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung
kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup
tersebut".
Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi
sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan
fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi
sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat
dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang
unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya
bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke
kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila
tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk
perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia
perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam
menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan
(mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu
pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah
bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.

Hukum dan Pandangan Islam tentang Euthanasia


Kehidupan dan kematian adalah hak perogatif Allah Swt, manusia tidak
ada hak untuk menentukan kematian dirinya sendiri, karena jiwa ini milik Allah
dan manusia berkewajiban menjaga dan melindungi dari segala kerusakan dan
kebinasaan. Oleh karena itu, Allah mengharamkan untuk membunuh dirinya
sendiri. Sebagaimana firman Allah Swt:

wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJ Ïmu ...
ÇËÒÈ `tBur ö@yèøÿt y7Ï9ºs $ZRºurôãã $VJù=àßur t$öq|¡sù
Ïm Î=óÁçR #Y$tR 4 tb%2ur Ï9ºs n?tã «!$# #·Å¡o
“..Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepada kamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar dan aniaya, maka Kami
kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
(QS. an-Nisa: 29-30)
Hukum Euthanasi
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi

19
segala persoalan di segala waktu dan tempat. Syariah Islam mengharamkan
euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu
al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien.
Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau
keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang
mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun
membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :

wur (#qè=çGø)s? [øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# wÎ) Èd,ysø9$$Î/ ...


4 ö/ä3Ï9ºs Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ ÷/ä3ª=yès9 tbqè=É)÷ès? ÇÊÎÊÈ
“ ...Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar...” (QS Al-An’aam : 151)

... tBur c%x. ?`ÏB÷sßJÏ9 br& @çFø)t $·ZÏB÷sãB wÎ) $\«sÜyz 4$


“ Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena
tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter
melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana
(jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan
suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash
(hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai
firman Allah :

pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|$


... ) ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$#
“ Hai orang-orang beriman telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 177)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash
(dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka
mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau
memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT :

ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù ...


Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 y7Ï9ºs
.... ×#ÏÿørB
“...Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat)
kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)...” (QS Al-Baqarah : 177)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor
di antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i
(Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham
(uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1
dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1
dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
Dengan demikian euthanasia tidak dapat diterima, alasan euthanasia
aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien
sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat
aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak
diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien
dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian
sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW
bersabda,
“Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan,
kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan
atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Keharaman eutahanasia aktif telah diperkuat oleh sabda Rasulullah Saw
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
“Tidak ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang lelaki yang mendapat luka, lalu keluh
kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu. Kemudian tidak
berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah bersabda, “Hambaku telah
menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku mengharamkan surga untuknya.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Keterangan hadits di atas menjelaskan bahwa manusia dituntut untuk melakukan segala usaha
penyembuhan dari segala penyakit yang dideritanya. Karena Allah menciptakan penyakit, Dia pula
yang menciptakan obatnya. Maka berobatlah kalian” (HR. Ahmad dari Anas R.A).
Sedangkan hukum euthanasia pasif, yang dalam kasusnya adalah
menghentikan pengobatan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan
yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh
kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien,
misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.
Berkaitan dengan kasus tersebut, para ulama berbeda pendapat tentang
hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib,
mandub,mubah, atau makruh? Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat
itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang

21
mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti
dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:6) bahwa hukum berobat adalah
mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi
Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah
(indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan
yag tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya.
Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk
berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna
adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini
sesuai kaidah ushul :

‫الصل فى المر للطلب‬


“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-
Nabhani,1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat.
Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat
wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan
bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan
tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa
seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,
“Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku (saat kambuh).
Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu
bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata, “Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata
lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah
agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini
digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka
hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah
perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah
sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah,
termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang
alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien
yag telah kritis keadaannya.
Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah
menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak
menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan
sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah
termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib.
Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi
kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih
bisa berfungsi, tetapi tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada
pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat
bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang
hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan
pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah
matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi
dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak
dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab
mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo,
2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin
dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk
mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi,
maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992
: 522-523).
Sebagaimana juga termuat dalam pasal 344 KUHP secara tegas
menyatakan:
“Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Bertolak dari ketentuan pasal 344 KUHP tersebut, bahwa pembunuhan
atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya dan
dikualifikasi sebagai tindak pidana yaitu sebagai perbuatan yang diancam
dengan tindak pidana.
Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus
permintaan tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang pernah muncul di

23
Indonesia (kasus Hasan Kusumua yang mengajukan suntik mati untuk isterinya,
Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi Hartono yang mengajukan suntik mati untuk
isterinya, Siti Zulaeha perlu dicermati secara hukum. Kedua kasus ini secara
konseptual dikualifikasi sebagai non voluntary euthanasia, tetapi secara yuridis
formal (dalam KUHP) dua kasus ini tidak bisa dikualifikasi sebagai tindak pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP. Secara yuridis formal kualifikasi
(yang paling mungkin) untuk kedua kasus ini adalah pembunuhan biasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP atau pembunuhan berencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP.
Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas menyatakan:
“Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Sementara
dalam ketentuan Pasal 340 KUHP menyatakan bahwa:
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas orang lain diancam, karena
pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun.”
Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat
digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3)
KUHP yang juga mengancam terhadap “penganiayaan yang dilakukan dengan
memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan
atau diminum
Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP
khususnya pasal 304 dinyatakan bahwa:
“Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”
Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) dinyatakan “Jika
mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara
maksimal sembilan tahun.”
Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam
konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga
dikualifikasi sebbagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna
melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.
BAB III
PENUTUP

Simpulan
Euthanasia pasif pada umumnya menurut kode etik kedokteran dan
pandangan agama diperbolehkan jika memang demi mengurangi penderitaan
pasien dan atas persetujuan pasien sendiri, karena memang tidak ada upaya
lain. Sedangkan, Euthanasia aktif umumnya tidak dapat diterima secara kode
etik kedokteran. Demikian pula pada umumnya hukum negara-negara di dunia
tidak menyetujui tindakan euthanasia aktif karena dianggap sebagai
pembunuhan, kecuali beberapa negara seperti Belanda, Belgia, Swis dan satu
negara bagian di Amerika Serikat.
Pada pelaksanaannya seorang dokter tidaklam mudah dalam melakuakan
tindakan Euthanasia pasif terlebih lagi aktif. Hal ini disebabkan oleh dua hal,
pertama, karena adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran,
disatu pihak dokter dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien,
akan tetapi dipihak lain menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran
terhadap kode etik itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain
dalam perundng-undangan merupakan tindak pidana , yang secara hukum di
negara manapun, tidak dibenarkan oleh Undang-undang.
Islam dengan nyata melarang dilakukannya penghentian kehidupan
tanpa alasan yang benar, baik terhadap kehidupan orang lain maupun kehidupan
diri sendiri, meskipun dengan alasan untuk mengakhiri penderitaan pasien,
sebagaimana diatur dalam Al Quran.
Dan janganlah membunuh jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan
suatu (alasan) yang benar (QS Al Isra, 17:33)

25
Janganlah membunuh dirimu sendiri, karena sesungguhnya Allah Maha
Penyayang kepadamu (QS Al-Nisa, 4:29)
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya
(QS Al-Baqarah, 2:286)

Saran
Diharapkan baik kepada pasien ataupun dokter sebagai tenaga medis
tidaklah sembarangan dalam melaksanakan tindakan euthanasia. Karena selain
tindakan tersebut jelas dilarang menerut hampir semua agama terutama islam.
Bahkan berdasarkan kode etik kedokteran sendiri dan hukum positif dihampir
seluluh negara itu merupakan tindakan melanggar hukum.
..Sesungguhnya selalu ada harapan disetiap Keyakinan dan Do’a...

También podría gustarte