Está en la página 1de 5

Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah teknik yang paling umum digunakan oleh
para peneliti bidang Biologi molekuler dan Genetika. Prinsip kerja PCR adalah
menggandakan potongan DNA tertentu dari seluruh untaian DNA, baik yang berasal
dari DNA sel inti (nukleus) maupun organel sel seperti DNA mitokondria (mtDNA)
atau Ribosom (rDNA). Untuk mendapat potongan DNA, diperlukan Primer yang
berfungsi untuk menandai dimana ujung DNA yang akan digandakan. Primer biasanya
berpasangan, yaitu Primer forward untuk menandai ujung depan untai DNA dan Primer
Reverse untuk menandai dari ujung belakang. Karena DNA terdiri dari 2 untai pilinan
ganda (double strand), maka DNA Primer forward bekerja pada strand yang satu
sementara Primer Reverse bekerja pada untai pilinan yang satunya.
Untuk melakukan penggandaan, dibutuhkan bahan baku DNA buatan yang disebut
dNTP. Untuk PCR diperlukan dNTPa untuk Adenine, dNTPg, dNTPc dan dNTPt untuk
masing-masing gula ribosa. Biasanya campuran dNTP-dNTP ini dalam istilah bahasa
Inggris cukup disingkat dNTP's.
Untuk merakit untai DNA buatan dari dNTPs ini, dibutuhkan bantuan enzyme Taq
polymerase. Enzyme ini bekerja optimal pada suhu tinggi hingga 100 derajat celcius.
Taq polymerase dipanen dari sebuah bakteri bernama Thermus aquaticus yang
ditemukan di sumber air panas.
Ada 3 tahap dalam kerja PCR, yaitu Denaturing, Annealing dan Extension.
1. Denaturing adalah proses memisahkan 2 untai pilinan DNA. Pada tahap ini, ikatan
hidrogen yang menyatukan kedua pilinan itu terlepas sehingga masing-masing akan
menjadi untai tunggal. Biasanya suhu Denaturing berkisar antara 92-94oC
2. Annealing adalah tahapan dimana primer forward dan reverse mencari pasangannya
di untai-untai DNA. Jika pas..... maka dia akan melekat. Suhu Annealing biasanya
berkisar antara 40-55oC. Suhu yang biasanya umum dipakai adalah 50-52oC.
3. Setelah itu, mesin PCR akan kembali memanaskan 'sup DNA' lagi ke suhu 72oC agar
Taq polymerase bekerja menggandakan potongan DNA.

ELISA / Western blot


ELISA / Western blot adalah tes darah yang digunakan untuk mendiagnosis infeksi
kronis human immunodeficiency virus (HIV). Enzim-Linked immune sorbent assay
(ELISA) atau dalam bahasa indonesianya disebut sebagai uji penentuan kadar
immunosorben taut-enzim, merupakan teknik pengujian serologi yang didasarkan pada
prinsip interaksi antara antibody dan antigen. Pada awalnya, teknik ELISA hanya
digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi keberadaan antigen maupun
antibody dalam suatu sampel seperti dalam pendeteksian antibody IgM, IgG, dan IgA

pada saat terjadi infeksi (pada tubuh manusia khususnya, misalya pada saat terkena
virus HIV). Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan,teknik ELISA juga
diaplikasikan dalam bidang patologi tumbuhan, kedokteran, dll.
1. Sejarah Penemuan
Teknik ELISA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan
Eva Engvall. Mereka menggunakan teknik ELISA ini dalam bidang imunologi
(ELISA konvensional) untuk menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di
dalam suatu sampel, dimana interaksi tersebut ditandai dengan menggunakan suatu
enzim yang berfungsi sebagai pelopor/ reporter/ signal. Dalam perkembangan
selanjutnya, selain digunakan sebagai uji kualitatif untuk mengetahui keberadaan
suatu antibodi atau antigen dengan menggunakan antibodi atau antigen spesifik,
teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif untuk mengukur kada
antibodi atau antigen yang diuji dengan menggunakan alat bantu berupa
spektrofotometer atau dengan cara menentukan jumlah penambahan atau kadar
antibodi atau antigen, sehingga dapat dibuat suatu kurva standard kadar antibodi
atau antigen yang tidak diketahui dapat ditentukan.
2. Prinsip Dasar Teknik ELISA
Prinsip dasar dari teknik ELISA ini secara simpel dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Pertama antigen atau antibodi yang hendak diuji ditempelkan pada suatu
permukaan yang berupa microtiter. Penempelan tersebut dapat dilakukan melalui
dua cara, yaitu penempelan secara non spesifik dengan adsorbs ke permukaan
microtiter, dan penempelan secara spesifik dengan menggunakan antibody atau
antigen lain yang bersifat spesifik dengan antigen atau antibodi yang diuji (cara
ini digunakan pada teknik ELISA sandwich).
2. Selanjutnya antibodi atau antigen spesifik yang telah ditautkan dengan suatu
enzim signal (disesuaikan dengan sampel => bila sampel berupa antigen, maka
digunakan antibodi spesifik , sedangkan bila sampel berupa antibodi, maka
digunakan antigen spesifik) dicampurkan ke atas permukaan tersebut, sehingga
dapat terjadi interaksi antara antibodi dengan antigen yang bersesuaian.
3. Kemudian ke atas permukaan tersebut dicampurkan suatau substrat yang dapat
bereaksi dengan enzim signal. Pada saat substrat tersebut dicampurkan ke
permukaan, enzim yang bertaut dengan antibodi atau antigen spesifik yang
berinteraksi dengan antibodi atau antigen sampel akan bereaksi dengan substrat
dan menimbulkan suatu signal yang dapat dideteksi. Pada ELISA flourescense
misalnya, enzim yang tertaut dengan antibodi atau antigen spesifik akan bereaksi
dengan substrat dan menimbulkan signal yang berupa pendaran flourescense.
3. Kelebihan dan Kelemahan Teknik ELISA
Teknik ELISA ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain :
Teknik pengerjaan relatif sederhana
Hasil memiliki tingkat sensitivitas yang cukup tinggi.

Dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen walaupun kadar antigen


tersebut sangat rendah (hal ini disebabkan sifat interaksi antara antibodi atau
antigen yang bersifat sangat spesifik)
Dapat digunakan dalam banyak macam pengujian.
Sedangkan kekurangan dari teknik ELISA antara lain :
Jenis antibodi yang dapat digunakan pada uji dengan teknik ELISA ini hanya jenis
antibodi monoklonal (antibodi yang hanya mengenali satu antigen)
Pengujian teknik ELISA ini membutuhkan biaya yang relatif mahal.
Pada beberapa macam teknik ELISA, dapat terjadi kesalahan pengujian akibat
kontrol negatif yang menunjukkan respons positif yang disebabkan inefektivitas
dari larutan blocking sehingga antibodi sekunder atau antigen asing dapat
berinteraksi dengan antibodi bertaut enzim signal dan menimbulkan signal.
Reaksi antara enzim signal dan substrat berlangsung relatif cepat, sehingga
pembacaan harus dilakukan dengan cepat (pada perkembangannya, hal ini dapat
diatasi dengan memberikan larutan untuk menghentikan reaksi).
Secara umum, teknik ELISA dibedakan menjadi dua jenis, yaitu teknik ELISA
kompetitif yang menggunakan konjugat antigen-enzim atau konjugat antibodi-enzim,
dan teknik ELISA nonkompetitif yang menggunakan dua antibodi (primer dan
sekunder). Pada teknik ELISA nonkompetitif, antibody kedua (sekunder) akan
dikonjugasikan dengan enzim yang berfungsi sebagai signal. Teknik ELISA
nonkompetitif ini seringkali disebut sebagai teknik ELISA sandwich.
Teknik ELISA telah berkembang menjadi berbagai macam jenis teknik. Perkembangan
ini didasari pada tujuan dari dilakukannya uji dengan teknik ELISA tersebut sehingga
dapat diperoleh hasil yang optimal.
Berikut ini adalah beberapa macam teknik ELISA yang relatif sering digunakan, antara
lain :
A. ELISA Direct
Teknik ELISA ini merupakan teknik ELISA yang paling sederhana. Teknik ini
seringkali digunakan untuk mendeteksi dan mengukur konsentrasi antigen pada
sampel ELISA direct menggunakan suatu antibody spesifik (monoklonal) untuk
mendetaksi keberadaan antigen yang diinginkan pada sampel yang diuji.
B. ELISA Indirect
Teknik ELISA indirect ini pada dasarnya juga merupakan teknik ELISA yang paling
sederhana, hanya saja dalam teknik ELISA indirect yang dideteksi dan diukur
konsentrasinya merupakan antibody. ELISA indirect menggunakan suatu antigen
spesifik (monoklonal) serta antibody sekunder spesifik tertaut enzim signal untuk
mendeteksi keberadaan antibody yang diinginkan pada sampel yang diuji.

C. ELISA Sandwich

Teknik ELISA jenis ini menggunakan antibody primer spesifik untuk menangkap
antigen yang diinginkan dan antibody sekunder tertaut enzim signal untuk
mendeteksi keberadaan antigen yang diinginkan. Pada dasarnya, prinsip kerja dari
ELISA sandwich mirip dengan ELISA direct, hanya saja pada ELISA sandwich,
larutan antigen yang diinginkan tidak perlu dipurifikasi. Namun, karena antigen yang
diinginkan tersebut harus dapat berinteraksi dengan antibody primer spesifik dan
antibody sekunder spesifik tertaut enzim signal, maka teknik ELISA sandwich ini
cenderung dikhususkan pada antigen memiliki minimal 2 sisi antigenic (sisi interaksi
dengan antibodi) atau antigen yang bersifat multivalent seperti polisakarida atau
protein. Pada ELISA sandwich, antibody primer seringkali disebut sebagai antibody
penangkap, sedangkan antibody sekunder seringkali disebut sebagai antibody
penangkap, sedagkan antibody sekunder seringkali disebut sebagai antibody deteksi.
Dalam pengaplikasiannya, ELISA sandwich lebih banyak dimanfaatkan untuk
mendeteksi keberadaan antigen multivalent yang kadarnya sangat rendah pada suatu
larutan dengan tingkat kontaminasi tinggi. Hal ini disebabkan ELISA sandwich
memiliki tingkat sensitivitas tinggi terhadap antigen yang diinginkan akibat
keharusan dari antigen tersebut untuk berinteraksi dengan kedua antibody
D. ELISA Biotin Sterptavidin (Jenis ELISA Modern)
Pada perkembangan selanjutnya, teknik ELISA sandwich ini juga dikembangkan
untuk mendeteksi antibody dengan tingkat sensitivitas relatif lebih tinggi. Teknik ini
dikenal sebagai teknik ELISA penangkap antibody, dimana prinsip kerjanya sama
dengan ELISA sandwich, hanya saja yang digunakan dalam teknik ini adalah antigen
penangkap dan antigen detector (antigen bertaut enzim signal, bersifat opsional
apabila antibody yang diinginkan tidak bertaut dengan enzim signal). Contoh dari
aplikasi teknik ini adalah teknik ELISA untuk mendeteksi vitamin biotin yang
bertaut dengan suatu antibody avidin dengan mengubah antibody avidin menjadi
antibody streptavidin, dimana satu molekul streptavidin dapat mengikat empat
molekul biotin (pengembangan dari ELISA indirect), sehingga signal yang
teramplifikasi menjadi semakin kuat akibat interaksi antara biotin dengan enzim
yang menjadi semakin banyak.
E. ELISA Kompetitif
Teknik ELISA jenis ini juga merupakan pengembangan teknik ELISA
terdahulu.Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menambahkan suatu competitor
ke dalam lubang mikrotiter.Teknik ELISA kompetitif ini dapat diaplikasikan untuk
mendeteksi keberadaan antigen atau antibody. Kelebihan dari teknik ELISA
kompetitif ini adalah tidak diperlukannya purifikasi terhadap larutan sampel yang
mengandung antibody atau antigen yang diinginkan, tapi hasil yang diperoleh tetap
memiliki tingkat sensitivitas tinggi akibat sifat spesitifitas dari antibody dan antigen.
F. ELISA Multiplex

Teknik ELISA merupakan pengembangan teknik ELISA yang ditujukan untuk


pengujian secara simultan,sedangkan prinsip dasarnya mirip dengan teknik ELISA
terdahulu.
Radioimmunoassay (RIA)
Hormon progesteron merupakan hormon steroid, salah satu hormon reproduksi wanita
yang disintesa di dalam korpus luteum, plasenta, dan korteksadrenal. Aktivitas fisiologis
hormon ini muncul setelah ovulasi, yaitu untuk mempersiapkan uterus pada saat
menerima embrio, merangsang perkembangan kelenjar susu, dan bersama-sama hormon
folikel berperan dalam siklus haid. Hormon merupakan suatu substansiyang kadar/
konsentrasinya sangat kecil di dalamserum atauplasma. Oleh karenanya, diperlukan cara
khusus untuk mendeteksinya, dan cara yang umum dilakukan adalah dengan
menggunakan teknik Radioimmunoassay (RIA). Teknik ini mempunyai tingkat efisiensi
tinggi, karena dapat mengukur suatu substansi yang konsentrasinya sangat rendah, dalam
satuan mikrogram, nanogram, bahkan hingga pikogram.
Radioimmunoassay adalah suatu teknik pengukuran kadar hormon dengan cara
menghitung jumlah hormon yang berikatan dengan radioaktif penanda. Reaksi ini
tergantung pada reaksi kompetisi antara Antigen Progesteron di dalam contoh (Ag) dan
penanda/perunut3H-Progesteron (Ag) untuk berikatan pada Antibodi (Ab) spesifik
progesteron (Horrock,1974). Reaksi antara Ag dan Ab terhadap antibodi berlangsung
selama inkubasi, di mana suhunya harus stabil agar proses reaksi berjalan dengan baik.
Suhu dan waktu inkubasi ini berpengaruh terhadap perolehan hasil analisis. Faktor suhu
dan masa inkubasi merupakan faktor yang saling berkaitan, keduanya mempengaruhi
daya gabung dan kepekaan reaksi. Oleh karenanya, dalam metode penggunaan RIA,
selalu dilakukan pengukuran kadar hormon pada standar untuk melihat hasil pengikatan
yang tinggi, dengan menentukan suhu dan waktu inkubasi optimum.

También podría gustarte