Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Oleh :
Yekti Hediningsih
Moderator:
dr. Herniah Asti Wulanjani SpPK
Daftar Isi
Halaman judul
Daftar isi
Tinjauan pustaka
Laporan kasus
14
19
22
Pembahasan
31
34
Daftar pustaka
34
TINJAUAN PUSTAKA
CHRONIC MYELOID LEUKEMIA (CML)/ LEUKEMIA GRANULOSITIK
KRONIK (LGK)/ LEUKEMIA MIELOID KRONIK (LMK)
PENDAHULUAN
Chronic myeloid leukemia (CML) adalah penyakit mieloproliferatif menahun
dengan kelainan klonal akibat perubahan genetik pada pluripoten sel stem. Kelainan
tersebut mengenai lineage mieloid, monosit, eritroid, megakariosit, limfosit B dan T.
Perubahan patologik yang terjadi berupa gangguan adhesi sel imatur di sumsum
tulang, aktivasi mitosis sel stem dan penghambatan apoptosis yang mengakibatkan
terjadinya proliferasi sel mieloid imatur di sumsum tulang, darah tepi dan terjadi
hematopoiesis ekstramedular.1
Penyakit ini ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan
diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi kita dapat dengan mudah melihat
tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan mieloblas),
metamielosit, mielosit sampai granulosit.2,3 ,4
INSIDENSI DAN PERJALANAN PENYAKIT
Kejadian leukemia mielositik kronis mencapai 20% dari semua leukemia pada
dewasa, kedua terbanyak setelah leukemia limfositik kronik. Umumnya menyerang
usia 40-50 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya lebih
progresif.2,1 Angka kejadian pada pria : wanita adalah 3 : 2, secara umum didapatkan 1
- 1,5/100.000 penduduk di seluruh negara.1
Di Jepang kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan
Hiroshima, demikian juga di Rusia setelah reaktor atom Chemobil meledak. Beberapa
melaporan penyebab CML selain akibat paparan radiasi, bom atom adalah ankylosing
spondilitis pasca penyinaran.2,1
Terjadinya CML secara kronologi adalah tampak perubahan hematologi yang
pertama kali berupa basofilia dan trombositosis; diikuti dengan rendahnya aktivitas
neutrophil alkaline phosphatase (NAP); dijumpai granulosit imatur di dalam darah
tepi serta peningkatan kadar vitamin B12 serum. Setelah itu terjadi splenomegali yang
diikuti gejala subyektif. Paparan dengan zat karsinogen selama 2 - 7 tahun (15-20
tahun) dapat terjadi CML fase kronik. Tiga sampai lima tahun kemudian CML dapat
mengalami perkembangan progresif menjadi bentuk agresif walaupun dalam
pengobatan. Pada keadaan agresif tersebut dapat terjadi 2 keadaan yaitu fase
akselerasi atau fase blastik (transformasi blastik = krisis blastik) menjadi AML/ALL/
leukemia bilineage serta kemungkinan terjadi perubahan menjadi mielofibrosis.1
4
Frekuensi (%)
Splenomegali
95
Lemah badan
80
60
Hepatomegali
50
Keringat malam
45
Cepat kenyang
40
Perdarahan/purpura
35
30
Demam
10
hematopoiesis
lainnya.2
Mekanisme kerja gen BCR-ABL mutlak diketahui, mengingat besarnya
peranan gen ini pada diagnostik, perjalanan penyakit, prognostik, serta implikasi
terapeutiknya. Oleh karena itu perlu diketahui sitogenetik dan kejadian di tingkat
molekular. 2
Sitogenetik
Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak
terbentuknya Ph sampai menjadi CML dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini
masih belum diketahui secara pasti. Berdasarkan kejadian Hiroshima dan Nagasaki,
diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi , sebagian ahli berpendapat akibat mutasi
spontan. Translokasi ini menyebabkan pembentukan gen hibrid
BCR-ABL pada
Istilah Klinik
CML atipik
CML atipik
CML BCR - ABL negatif
CML BCR - ABL negatif
CML atipik
CML atipik
CML hipereosinofilia
terdapat pada semua pasien
CML, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien CML. Dalam
perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph + lebih rawan terhadap adanya kelainan
kromosom tambahan, hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase
krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang
kromosom 17i(17)q. Dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen
lain yang berperan dalam patofisiologi CML atau terjadi abnormalitas dari gen
supresor tumor, seperti gen p53, p 16 dan gen Rb. 2
Biologi molekular pada Patogenesis CML
Pada kebanyakan pasien CML, patahan pada gen BCR ditemukan di daerah
5,8-kb atau di daerah el 3-e14 pada ekson 2 yang dikenal sebagai major break region
(M-bcr), kemudian gen BCR-ABL-nya akan mensintesa protein dengan berat molekul
210 kD, selanjutnya ditulis p210BCR-ABL . Patahan lainnya ditemukan di daerah 54,4-kb
atau el yang dikenal sebagai minor bcr (m-bcr) yang gen BCR-ABL-nya akan
mensintesa pl90(Melo, 1996). Saglio dkk pada tahun 1990 menemukan satu lagi
variasi patahan ini pada 3` gen BCR antara el9-e20 yang selanjutnya akan terbentuk
p230. Daerah patahan ini kemudian dikenal sebagai mikro bcr (-bcr) (Melo, 1996).
Melo (1997) menemukan bahwa 3` variasi letak patahan pada gen BCR ini yaitu
mayor (M-hcr), minor (m-bcr), dan mikro (-bcr) temyata berhubungan dengan
gambaran klinik penyakitnya. Pasien CML yang patahan pada gen BCRnya di M-bcr
berhubungan dengan trombositopenia, patahan di m-bcr berhubungan dengan
monositosis yang prominen, sedang patahan di -bcr berhubungan dengan netrofilia
dan/ atau trombosis. p210BCR-ABL mempunyai potensi leukemogenesis dengan cara
sebagai berikut: gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang
mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi kedua gen ini mempunyai
kemampuan untuk oto-fosforilasi yang akan mengaktivasi beberapa protein di dalam
sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1 (SH1), sehingga terjadi deregulasi
dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat aderen sel-sel terhadap stroma sumsum
tulang, dan berkurangnya respon apoptosis. Selanjutnya fusi gen BCR-ABL akan
berinteraksi dengan berbagai protein di dalam sitoplasma sehingga terjadilah
transduksi sinyal yang bersifat onkogenik. Sinyal ini menyebabkan aktivasi dan juga
represi dari proses transkripsi pada RNA sehingga terjadi kekacauan pada proses
proliferasi sel dan juga proses apoptosis, 2
DIAGNOSA
Berikut ini adalah kriteria diagnostik penyakit CML berdasarkan pada
pemeriksaan fisik, darah tepi dan sumsum tulang sesuai dengan perjalanan
penyakitnya.
kasus
memperlihatkan
penanda-penanda
limfoblastik.
Ini
mungkin
7,8,9
umumnya berusia lebih tua dan memperlihatkan hitung trombosit dan sel darah putih
inisial yang lebih rendah. Kelangsungan hidup rata-rata pasien hanyalah 8 bulan,
dibandingkan dengan 40 bulan pada LMK positif-Ph. 7
Pemeriksaan molekuler untuk deteksi t(9:22)(q34;q11) tidak memerlukan
pembiakan sel dan dapat menggunakan sampel baik darah tepi maupun sumsum
tulang. Tapi bila ada kelainan kromosom lainnya maka tidak akan terdeteksi dengan
cara ini. Untuk itu yang sering dideteksi pada CML antara lain trisomi 8, kromosom
Philadelphia ekstra, isokromosom 17q11, yang mempunyai makna dalam prognosis.
Karena itu pada CML pemeriksaan sitogenetik konvensional tetap diperlukan, juga
sebagai baseline untuk monitor terapi. 9
Pemeriksaan FISH pada awal diagnosis juga bermanfaat sebagai baseline
untuk monitor MRD. Karena itu pada awal diagnosis sebaiknya dilakukan
pemeriksaan FISH disamping sitogenetik konvensional. 9
DIAGNOSA BANDING
-CML fase kronik: leukemia mielomonositik kronik, trombositosis esensial, leukemia
netrofilik kronik2
-CML fase krisis blas: leukemia mieloblastik akut, sindrom mielodisplasia2
PENGOBATAN
Tujuan terapi pada CML adalah mencapai remisi lengkap, baik remisi
hematologi, remisi sitogenetik, maupun remisi biomolekular. Untuk mencapai remisi
10
11
Trombosit
> 150.000
100.000-150.000
75.000-100.000
< 75.000
Dosis (%)
100
50
25
0
12
Deteksi MRD 9
Minimal Residual Disease didefinisikan sebagai keadaan penyakit (CML)
setelah terapi, dimana gejala klinis hilang dan tidak ditemukan sel leukemik secara
pemeriksaan morfologi sel sumsum tulang, tetapi ternyata pada keadaan tersebut
masih ada sel leukemik residual. Karena itu diperlukan tes yang lebih sensitif dari
13
pada pemeriksaan morfologi. Tes ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan sitogenetik
konvensional, sitogenetik molekuler (FISH, fluorescence in situ hybridisation),
immunophenotyping menggunakan flowcytometry, kuantitasi DNA atau RNA spesifik
dengan PCR.
Pada CML tes untuk MRD dilakukan pada saat-saat tertentu setelah terapi dan
dapat memprediksi kemungkinan terjadinya relaps. Pada tes bcr/abl dengan FISH,
dapat dideteksi adanya delesi pada derivat kromosom 9 yang tidak terdeteksi dengan
sitogenetik konvensional; prognosis pada keadaan ini lebih buruk. Karena itu
sangatlah beralasan untuk melakukan pemeriksaan FISH di samping sitogenetik
konvensional pada awal diagnosis untuk digunakan sebagai baseline untuk
perbandingan hasil pemeriksaan FISH terhadap MRD pasca terapi.
PROGNOSIS
Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahun setelah
diagnosis ditegakkan. Saat ini dengan ditemukannya beberapa
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PENDERITA
Nama
: Tn. J
14
Umur
: 35 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
Tanggal masuk
: 31 Maret 2007
ANAMNESIS
Keluhan utama: perut sebelah kiri bengkak dan sakit
Riwayat Penyakit Sekarang:
6 bulan yang lalu, penderita mengeluh perut sebelah kiri bengkak, badan sering
lemas, capek terutama untuk berjalan jauh.
1 bulan badan panas terus menerus. Panas mereda setelah minum obat pereda panas.
3 hari perut kiri terasa sakit, terutama untuk bergerak dan bernafas, sakit tidak
menjalar, sakit tidak berkurang dengan tiduran, sakit terasa seperti ditusuk-tusuk.
Batuk (-), pilek (-), mual (-), muntah (-), mimisan (-), gusi berdarah (-), pembesaran
nn. ll. (-), BAB dan BAK tidak ada kelainan.
Dirawat di RS Slawi pulang tanggal 15 Maret 2007 dikatakan sakit liver dan limfa,
ditransfusi 2 kantong, kemudian kontrol ke RS Slawi dan dirujuk ke RSDK.
Riwayat penyakit dahulu:
Riwayat rawat inap (+)
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat sakit tumor disangkal
Riwayat sakit malaria/ bepergian ke daerah endemik disangkal
Riwayat terpapar pestisida disangkal
Riwayat paparan asap kendaraan (+)/ pekerjaan sopir
Riwayat merokok (+): 1 bungkus sehari sejak 20 tahun yang lalu
Riwayat keluarga sakit seperti ini disangkal
Lingkungan rumah sekitar pabrik disangkal
Riwayat hematuri disangkal
Riwayat kejang disangkal
Penderita pernah bekerja di taman safari Bogor selama 5 tahun dan pernah
digigit binatang (tangan kiri)
15
Tensi
: 100/65 mmHg
Nadi
Pernafasan
: 32 x/mnt
Suhu
: 38 o C
Kulit
- Kepala
rontok
- Mata
- Telinga
- Hidung
- Tenggorok
- Mulut
: Mukosa bibir intak, tidak tampak ulkus, tidak sianosis, lidah tidak
kotor,
tepi tidak hiperemis, tidak tremor, papil lidah tidak atrofi ,hipertrofi
ginggiva (-), gusi berdarah (-)
- Leher
- Dada
- Jantung
:
I : Iktus kordis tampak di sela iga V 2 cm medial Linea midclvicularis
sinestra
Pa: Iktus kordis teraba disela iga V 2 cm Linea midclavicularis sinistra,
kuat angkat
Pe: Batas atas spasium interkostal II linea parasternalis kiri
Batas kiri sesuai iktus kordis
Batas kanan linea sternalis kanan
Pinggang jantung mendatar
A: Suara jantung I&II murni bising (-) gallop (-). HR: 90 x/ mnt,
reguler.
- Paru- paru
-Genetalia
Laki-laki, dalam batas normal
- Ektremitas
- Jari tabuh
- Edema
- Purpura
- Hematom
- Akral dingin
- Eritema palmaris
- Tonus
- Reflek fisiologis
superior ka/ki
-/-/-/-/-/-/N/N
N/N
inferior ka/ki
-/-/-/-/-/N/N
N/N
17
- Reflek patologis
-/-
-/-
= 10,50 g/dL
Ht
= 24,0 %
RBC
= 2,73 juta/mmk
MCH = 38,50 pg
MCV = 88,00 fL
MCHC= 43,80 g/dL
WBC = 355.000/ mm
PLT
= 968.000 /mm
Kimia Klinik
GDS
= 75 mg/dL
Ureum
= 34 mg/dL
Kreatinin
= 1,16 mg/dL
= 3,1 mmol/L
Klorida
= 107 mmol/L
Kalsium
= 2,53 mmol/L
DIAGNOSA:
- Leukemia berat
Differential Diagnosis
-
CML
AML
Splenomegali
Trombositosis
Hipokalemi
TERAPI:
18
PEMBAHASAN
19
Seorang laki-laki 35 tahun, dengan keluhan perut sebelah kiri bengkak dan
sakit. Pada pemeriksaan fisik ditemukan splenomegali . Pada pemeriksaan
laboratorium pada saat masuk rumah sakit didapatkan anemia, leukositosis,
trombositosis, dengan hitung jenis yang didominasi mielosit dan neutrofil . Penderita
didiagnosa sementara leukemia berat dengan diagnosa banding CML dan AML.
Selama perawatan di RS, didapatkan hasil laboratorium sebagai berikut:
Pada pasien ini hasil BMP menunjukkan sumsum tulang hiperseluler dan ditemukan
peningkatan seri mieloid dan netrofil sehingga mendukung diagnosa Chronic
Myelositik Leukemia (CML) stadium kronis. Pada pemeriksaan BMB menunjukkan
kesan Acut Myelositik Leukemia (AML). Secara klinis, pasien sesuai dengan
diagnosa CML, dimana ditemukan splenomegali dan gambaran hipermetabolisme,
yang merupakan dua keluhan utama pada hampir semua pasien dengan CML.
Leukositosis yang nyata dan trombositosis juga mendukung diagnosa ini.
2, 7
20
leukositosis karena sebab lain. Pada LMK, aktivitas NAP rendah, sekitar 95%
pasien, bahkan mungkin turun sampai nol, dan ini berguna untuk
menyingkirkan neutrofilia yang reaktif. Sedangkan pada pasien LMK yang
sedang hamil, mengalami infeksi sistemik atau setelah splenektomi, atau
progresi ke blast crisis, aktivitas NAP-nya normal atau meningkat.14
tetapi ini
Pemanjangan PPT, aPTT dan kadar fibrinogen pada pasien ini kemungkinan
disebabkan karena defisiensi faktor-faktor di jalur bersama yaitu defisiensi faktor XIII,
dimana faktor ini sintesanya dilakukan di hati dan megakariosit, dan lebih dari
separuhnya terdapat di trombosit, sedangkan sisanya beredar dalam ikatan dengan
fibrinogen.
16
Pada CML, kelainannya ditemukan pada sel-sel dari jalur myeloid yaitu
Kadar vitamin B12 serum dan protein pengikat vitamin B12 meningkat karena
peningkatan pembentukan transkobalamin I oleh sel granulosit. Pemeriksaan
kadar vitamin B12 serum dan protein pengikat vitamin B12 juga akan
membantu menegakkan diagnosa.
22
perbedaan hasil BMP dan BMB perlu dievaluasi lebih lanjut dengan pemeriksaan
kromosom Philadelphia. Bila hasil pemeriksaan sitogenetik tidak memperlihatkan
adanya kromosom Philadelphia perlu dilakukan deteksi bcr/abl.
SARAN
Pemeriksaan kromosom Philadelphia.
Pemantauan kadar asam urat serum dan urin
Pemeriksaan kadar vitamin B12 serum dan protein pengikat vitamin B12
Pemeriksaan Laktat Dehidrogenase (LDH) serum.
Pemantauan Hb, Lekosit, Trombosit, SADT untuk keperluan terapi dan follow
up terapi.
Deteksi t (9;22)
DAFTAR PUSTAKA
1. Wirawan R. Patogenesis dan Diagnosis Chronic Myeloid Leukemia. Dalam:
Oesman F, editor. Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2007.
23
Simposium akreditasi
pemeriksaan
8. Hoffbrand A.V, Pettit J. E, Moss P.A.H. Leukemia mieloid kronik dan mielodisplasia.
Dalam: Mahanani Dewi Asih, editor. Kapita Selekta Hematologi, 4 th edition. Jakarta:
EGC; 2005: 167-76.
24
11. Kosasih
AS.
Immunophenotyping
pada
leukemia.
Dalam:
Marzuki
13. Isbister PJ, Pittiglio DH. Anemia. Dalam: Kartini A, Hartawan B, Mandera LI,
editors. Ronardy DH, alih bahasa. Hemtologi Klinik Pendekatan Berorientasi
Masalah. Edisi 1. Jakarta. Hipokrates: 1999: 38-98.
14. Mansyur Arif. Aspek Molekular Leukemia Mielositik Kronik. Forum
Diagnosticum . Prodia. Bandung: 2007 (1): 1-11)
15. Anonymous.
Chronic_myelogenous_leukemia.
Availabble
from
URL:
http://en.wikipedia.org/wiki/Chronic_myelogenous_leukemia
16. Sacher R.A., McPherson R.A.. Hemostasis dan Uji Fungsi Hemostatik . Dalam:
Hartanto H, editor. Pendit B.U., Wulandari D, alih bahasa. Tinjauan klinis hasil
pemeriksaan laboratorium, edisi 11. Jakarta: EGC; 2004: 153-83
25