Está en la página 1de 23

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal Jantung

Definisi ( 1,2 )
Gagal jantung adalah keadaan dimana jantung tidak lagi mampu memompa darah
ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, walaupun darah balik masih
normal. Atau dengan kata lain gagal jantung adalah ketidak mampuan jantung untuk
memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolik
tubuh ( forward failure ) atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan
pengisian jantung yang tinggi ( backward failure ), atau kedua-duanya.
Sebagai pompa, jantung bekerja tidak hanya atas kemauan sendiri, tetapi
tergantung pada berbagai faktor agar dapat bekerja secara optimal. Faktor-faktor tersebut
adalah kontraktilitas miokard, denyut jantung ( irama dan kecepatan permenit ), beban
awal dan beban akhir. Beban awal ditentukan oleh jumlah darah yang kembali dari
system vena ke jantung kanan dan dipompa ke paru-paru dan masuk ke ventrikel kiri.
Beban akhir merupakan beban yang dihadapi oleh otot jantung saat berkontraksi
memompa darah keluar dari ventrikel kiri ke aorta.
Klasifikasi ( 2,3,4 )
Gagal jantung merupakan suatu proses dimulai dari penyakit jantung tanpa gejala
klinik ( keluhan ) sampai dengan gejala yang berat dan tidak terkendali. Oleh karena itu
dikenal pembagian dalam beberapa kelas menurut New York Heart Association yaitu :

Kelas I

penderita penyakit jantung tanpa keterbatasan aktifitas

Kelas II

penderita penyakit jantung tanpa masalah pada kegiatan


ringan tapi timbul keluhan sesak napas atau nyeri dada
pada kegiatan berat

Kelas III

penderita penyakit jantung dengan keluhan sesak napas


atau nyeri dada pada kegiatan ringan

Kelas IV

penderita penyakit jantung dengan keluhan sesak napas


atau nyeri dada pada waktu istirahat

Gejala Klinik ( 1,3,4 )


Gejala klasik dari gagal jantung adalah dispneu dan kelelahan. Dispneu pada
aktivitas sering juga timbul pada kelainan sistem pernapasan atau kegemukan sehingga
jangan digunakan sebagai satu-satunya kriteria untuk mendiagnosis gagal jantung.
Adanya kelainan otot jantung sebelumnya ( misalnya riwayat infark miokard ) atau
problem katup, akan meningkatkan kemungkinan bahwa gejala-gejala yang ada
disebabkan oleh gagal jantung. Orthopneu lebih spesifik dari dispneu untuk mendiagnosis
gagal jantung. Pada usia lanjut keluhannya tidak khas yaitu kehilangan nafsu makan,
kencing malam hari, depresi, malaise, kekurangan energi dan bingung.
Riwayat hipertensi, angina, demam rematik, bedah jantung sebelumnya dapat
membantu menegakkan diagnosis gagal jantung. Keluhan berdebar-debar mungkin
menunjukkan adanya kelainan irama atau konduksi jantung yang bisa merupakan
penyebab ( atau mungkin akibat ) gagal jantung. Sebaliknya adanya gejala lain yang
relevan seperti anemia, kelainan paru, ginjal atau hati akan mengurangi kemungkinan
bahwa gejala sesak napas dan kelelahan disebabkan oleh penyakit gagal jantung.
Pemeriksaan Fisik ( 1,2,3 )
Tanda klinik utama gagal jantung disebabkan kardiomegali ( misal pergeseran
pulsasi apeks, adanya bunyi jantung III ), bendungan ( misalnya oedem, pelebaran vena
jugularis, ronki paru ) dan aktivitas sistem saraf simpatis ( takikardia ).
Pergeseran denyut apeks ke lateral dan inferior mungkin menunjukkan dilatasi
ventrikel ke kiri. Pada kenyataannya denyut apeks tidak terdeteksi pada 40 50 % pasien.
Bunyi jantung III lebih spesifik untuk mendiagnosis gagal jantung, namun reabilitasnya
sangat bervariasi antara satu pemeriksa dengan pemeriksa yang lain.
Pelebaran vena jugularis tampaknya sangat khas untuk mendiagnosis gagal
jantung. Namun, perlu hati-hati dalam mendiagnosis gagal jantung, oleh karena baik

penyakit jantung maupun penyakit saluran pernapasan dapat menyebabkan pelebaran


vena jugularis.
Ronki paru mempunyai spesifisitas diagnostik yang tinggi tetapi sensitifitasnya
rendah untuk menegakkan diagnosis gagal jantung.
Manajemen Gagal Jantung ( 3,4 )
Pengobatan gagal jantung dimulai dengan deteksi dini dan koreksi faktor
presipitasi dan etiologik. Infeksi paru, gagal ginjal, anemia dan takiaritmia sering
dijumpai sebagai faktor presipitasi dan sering terdapat bersama-sama. Pengobatan
farmakologik dasar meliputi diuretika, ACEI dan digitalis.
B. Gagal Ginjal Kronik ( GGK )

Definisi ( 5,6,7,8 )
Gagal ginjal kronik ( GGK ) adalah suatu keadaan menurunnya fungsi ginjal yang
bersifat kronik, progresif dan irreversibel.
Batasan ( 8 )
Kelompok kerja dari The National Kidney Foundation ( NKF ) Amerika Serikat dan
K/DOQI ( Kidney Disease Outcome Quality Initiative ) membuat batasan GGK sebagai
berikut :

Terdapatnya kelainan struktur atau fungsi ginjal berdasarkan gambaran


histopatologi, analisa urin atau pencitraan ginjal yang menetap untuk paling
sedikit 3 bulan lamanya dengan / tanpa disertai penurunan laju filtrasi glomerulus
( LFG ) yang kurang dari 60mL/menit/1,73 m2. Atau

Terdapatnya penurunan dari LFG dengan / tanpa kerusakan ginjal yang ditandai
dengan peningkatan kreatinin plasma.

K/DOQI juga merekomendasikan pembagian GGK berdasarkan stadium dari tingkat


penurunan LFG.
1. Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminuria persisten dan LFG
yang masih normal ( > 90 mL/menit/1,73 m2 ).
2. Stadium 2 : kelainan ginjal dengan albuminuria persisten dan LFG antara 60 - 89
mL/menit/1,73 m2.
3. Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30 - 59 mL/menit/1,73 m2.
4. Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15 - 29 mL/menit/1,73 m2.
5. Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73 m2 atau gagal ginjal
terminal ( GGT )
Didalam klinik penetapan LFG diestimasi dengan melakukan pemeriksaan klirens
kreatinin dengan menggunakan rumus Cockroft Gault.
Rumus Cockroft Gault :
Klirens kreatinin ( mL/menit ) :

( 140 umur ) x BB
72 x kreatinin serum

Pada wanita : x 0,85


Bermacam-macam keadaan / penyakit dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal.
Manifestasi klinis dari kerusakan tersebut bervariasi dari kelainan asimptomatik urin
sampai pada gagal ginjal yang berat. Perjalanannya bervariasi, ada yang sembuh spontan,
ada yang kambuh berulang-ulang dan ada pula yang menjadi kronik. Perjalanan yang
berbeda-beda ini tergantung dari bagaimana ginjal berespon terhadap kerusakan.
Beberapa mekanisme adaptasi yang dilakukan ginjal akibat suatu kerusakan :

Hiperfiltrasi adaptif yang memungkinkan kadar ureum / kreatinin dipertahankan

Mekanisme homeostatik adaptif yang memungkinkan keseimbangan elektrolit


dan cairan tubuh dipertahankan.

Hiperfiltrasi adaptif pada awalnya bermanfaat tetapi lama kelamaan akan


mengakibatkan kerusakan glomeruli ( glomerulosklerosis ) melalui mekanisme
hemodinamik dan non hemodinamik yang melibatkan sitokin, mediator inflamasi, growth
hormon, renin angiotensin,dll. Proteinuria yang terjadi merupakan salah satu faktor yang
berperan pada kerusakan ginjal lebih lanjut. Pada fase-fase awal dari penurunan fungsi

ginjal tidak ada keluhan maupun gejala ( asimptomatik ). Lama kelamaan keadaan ini
tidak dapat dipertahankan lagi dan terjadi perubahan-perubahan antara lain berupa
bertambahnya cairan tubuh, gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa, anemia,
hipertensi, hiperfosfatemia, perubahan tulang, dll. Pada tahap lanjut akan muncul gejalagejala akibat meningkatnya produk-produk metabolisme khususnya yang mengandung
nitrogen seperti ureum sehingga pasien berada dalam suatu keadaan yang disebut
sindroma uremik ( uremic state ).
Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit ( 8 )
Keseimbangan cairan intravaskuler dan natrium masih dapat dipertahankan
sampai LFG menurun dibawah 15 mL/menit. Walaupun demikian, toleransi terhadap
asupan cairan dan garam sudah mulai berkurang pada stadium yang lebih dini. Kelebihan
volume cairan / overload akan bermanifes sebagai oedem bahkan sampai gagal jantung
kongestif. Penanggulangan dapat dilakukan dengan membatasi asupan cairan dan garam /
Na, serta pemberian diuretik. Gangguan elektrolit yang sering dijumpai adalah
hiponetremia dan hiperkalemia. Hiponatremia dapat dijumpai lebih awal dan ini
disebabkan oleh karena meningkatnya jumlah cairan intravaskuler disamping kehilangan
natrium melalui urin. Berkurangnya asupan garam karena anoreksi dapat berperan juga.
Hiperkalemia timbul pada penurunan fungsi ginjal lanjut. Keseimbangan K masih dapat
dipertahankan selama aliran ke nefron bagian distal dan sekresi aldosteron dipertahankan.
Dengan demikian hiperkalemia lebih sering dijumpai bila sudah terjadi oliguria. Juga
pada pasien yang banyak mengkonsumsi K atau mereka yang mengalami katabolisme.
Pemberian ACEI pada pasien yang kadar K cenderung tinggi dapat memudahkan
terjadinya hiperkalemia. Hiperkalemia dapat membahayakan hidup melalui pengaruhnya
terhadap kontraksi otot jantung. Hiperkalemia yang ringan / sedang masih bisa dicoba
penanggulangannya dengan makanan rendah K, pemberian loop diuretik atau pemberian
kation exchange resin / kayexalate. Untuk hiperkalemia berat maka penanggulangannya
dapat dilakukan pemberian larutan Natrium bikarbonat atau kalsium glukonas secara
intravena atau pemberian insulin dalam larutan glukosa 10% melalui infus. Bila tidak
juga teratasi maka dilakukan dialisis.

Asidosis metabolik terjadi oleh karena berkurangnya kemampuan mensekresi H +.


Mulai terjadi pada LFG < 30 mL/menit. Plasma bikarbonat cenderung rendah, mencapai
12-20 meq/L. Asidemia ringan walaupun asimptomatik perlu koreksi oleh karena :

pH asam dapat memperburuk perubahan tulang oleh karena pengeluaran kalsium


dan fosfor dari tulang.

Asidosis uremik meningkatkan katabolisme otot dan menurunkan sintesis albumin


sehingga memudahkan timbulnya kelemahan otot-otot.

Diusahakan agar plasma bikarbonat dipertahankan > 22 meq/L dengan pemberian Na


bikarbonat 0,5 1 meq/kgBB/hari.
Hiperfosfatemia ( 8 )
Konsentrasi fosfor dalam darah dipertahankan melalui filtrasi di glomerulus.
Sampai LFG 30 mL/menit keseimbangan fosfor ( dan kalsium ) masih dapat
dipertahankan walaupun disertai dengan kompensasi meningkatnya sekresi hormon
paratiroid / PTH. Upaya pencegahan perubahan tersebut dapat dilakukan dengan
mengurangi asupan fosfor sampai + 800 mg/hari yang diusahakan melalui diet rendah
protein. Apabila LFG turun dibawah 30 mL/menit maka obat pengikat fosfat seperti
CaCO3 atau Ca-asetat dengan dosis 2,5-20 g/hari lazim dipakai. Monitoring kadar
kalsium perlu dilakukan oleh karena dapat terjadi hiperkalsemia terutama pada pasien
yang mengkonsumsi kalsitriol.
Hipertensi ( 8 )
Pada 80 85 % pasien GGK dijumpai hipertensi. Terjadinya hipertensi pada GGK
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain :

Penambahan volume cairan intravaskular

Peningkatan aktivitas sistem renin angiotensin

Peningkatan aktivitas susunan saraf simpatis

Hipertensi perlu dikendalikan oleh karena merupakan salah satu faktor risiko untuk
kejadian komplikasi kardiovaskuler dan progresivisitas. Pemberian loop diuretik dan

ACEI merupakan pilihan utama pada upaya menurunkan tekanan darah dan bila masih
diperlukan dapat digabung dengan kalsium channel blockers / -blocker. Pada pasien
dengan GGK penurunan tekanan darah sering dikaitkan dengan proteinuria :

130 / 80 mmHg / MAP 98 mmHg apabila proteinuria 1 2 g/hari

125 / 75 mmHg / MAP 92 mmHg apabila proteinuria 2 3 g/hari

Anemia ( 7,8,9 )
Suatu hal yang umum bahwa anemia dijumpai pada penderita GGK, bahkan
merupakan salah satu petanda yang membedakan GGA dengan GGK. Jenis anemianya
adalah normokrom normositik. Banyak faktor yang dapat berperan pada terjadinya
anemia seperti hemolisis, perdarahan dan defisiensi Fe, tetapi menurunnya hormon
eritropoietin / EPO yang dikeluarkan ginjal merupakan salah satu sebab utama.
Penurunan EPO sudah mulai pada kadar serum kreatinin > 2 3 mg% ( LFG 30 50
mL/menit ). Anemia perlu diperbaiki oleh karena berpengaruh terhdap kualitas hidup
serta komplikasi kardiovaskuler baik pada pasien yang sudah mengalami dialisis maupun
predialisis. Sasaran yang ingin dicapai adalah kadar Hb 11 12 gr% harus diperhatikan
bahwa cadangan besi dalam tubuh cukup.
Hiperlipidemia ( 8 )
Peningkatan trigliserida, LDL kolesterol, VLDL kolesterol dan penurunan HDL
merupakan gambaran dislipidemia pada pasien GGK. Dislipidemia ini selain merupakan
faktor risiko kardiovaskuler juga merupakan faktor risiko untuk progresivitas. Upaya
untuk mengendalikan dapat dilakukan dengan diet, dan pada keadaan hiperkolesterolemia
dapat diberikan statin.
Perikarditis ( 8 )
Perikarditis dan efusi perikardial dapat dijumpai pada 6 10 % pasien GGK
stadium lanjut, patogenesisnya tidak diketahui dengan pasti. Gejala-gejalanya dapat
berupa demam, keluhan sakit kepala dan dapat dijumpai perikardial friction rub pada
7

pemeriksaan fisik. EKG dapat membantu menegakkan diagnosis. Perikarditis merupakan


salah satu indikasi untuk dialisis. Neuropati baik sentral maupun perifer dapat
bermanifestasi sebagai gangguan sensorik, penurunan tingkat kesadaran sampai koma
maupun kejang-kejang, merupakan indikasi untuk dilakukan dialisis. Komplikasi lain
adalah gangguan suatu sistem hormon seperti hormon sex, tiroid, insulin disamping
hormon yang diproduksi oleh ginjal sendiri.
Manajemen Gagal Ginjal Kronik ( 5,6,7,8 )
Pedoman umum dalam menghadapi penderita GGK meliputi :

Identifikasi dan pengobatan terhadap faktor-faktor yang memperburuk fungsi


ginjal.

Monitoring

progresi

dan

melakukan

upaya

untuk

menghentikan

atau

memperlambat perburukan dari fungsi ginjal.

Pengobatan terhadap perubahan-perubahan dan komplikasi akibat berkurangnya


fungsi ginjal.

Mempersiapkan pasien untuk terapi pengganti.


Sudah menjadi suatu sifat dari GGK bahwa perjalanannya adalah progresif.

Perkiraan pregresi dapat dilakukan dengan pengukuran secara serial kadar ureum /
kreatinin darah atau pengukuran klirens kreatinin. Cara praktis dalam memonitor
progresivitas adalah dengan membuat kurva serial dari nilai kebalikan serum kreatinin
( reciprocal serum kreatinin = 1/Scr ). Kurva perubahan akan membentuk garis linear dan
dengan melihat bentuk penurunannya ( slope ) dapat diprediksi kapan seseorang akan
masuk ke gagal ginjal terminal. Secara patofisiologi ada 2 faktor utama yang telah
terbukti memegang peran dalam progresivitas yaitu :

Peningkatan tekanan intrakapiler glomerulus

Proteinuria
Dengan terus memburuknya fungsi ginjal akan muncul komplikasi-komplikasi

berupa :

Malnutrisi

Perdarahan / uremic bleeding


8

Perikarditis

Neuropati uremik
Apabila penyebab konservatif GGK tidak lagi memadai maka perlu meningkat

pada terapi pengganti berupa :

Dialisis ( hemodialisis, dialisis peritoneal )

Transplantasi

Terapi pengganti yang paling optimal adalah transplantasi ginjal, namun karena sulitnya
memperoleh donor yang cocok, maka sebagian besar terapi yang dilakukan berupa
dialisis / hemodialisis. The National Kidney Foundation USA menyarankan dialisis
apabila :

LFG < 10 mL/menit/1,73 m2 atau

Pasien dengan CCT 15-20 mL/menit dengan tanda-tanda malnutrisi

Indikasi absolut untuk mulai dialisis yaitu :

Perikarditis

Keadaan overload sampai menimbulkan gejala-gejala oedem paru

Hipertensi berat dan progresif

Neuropati uremi

Uremic bleeding

Mual dan muntah persisten

Kreatinin serum > 10 mg%

Gambaran Klinis ( 5,6,7,8,9 )

Pada insufisiensi ginjal / GGK ringan tidak dijumpai adanya keluhan

Pada GGK sedang atau berat dapat dijumpai keluhan rasa lemah, cepat lelah,
nafsu makan kurang, mual, muntah, sukar tidur, gangguan konsentrasi, kejangkejang.

Kelainan jasmani : pucat, kulit kering, hipertensi sampai decompensasi kordis,


pernapasan kussmaul, fetor uremikum, kesadaran menurun sampai koma.

Pemeriksaan Penunjang Diagnostik


1. Laboratorium ( 5,6,10,11 )
a) Laju filtrasi glomerulus / LFG dengan pemeriksaan :

Ureum

Kreatinin

Klirens kreatinin

b) Etiologi GGK dengan pemeriksaan :


Analisis urin rutin
Mikrobiologi urin
Kimia darah
Elektrolit
c) Pemeriksaan untuk perjalanan penyakit dengan :
Progresifisitas penurunan faal ginjal
Ureum
Kreatinin
Klirens kreatinin
Hemopoiesis
Hemoglobin
Trombosit
Fibrinogen
Faktor pembekuan
Elektrolit
Natrium
Kalium
Kalsium
Phosphat

10

Magnesium
Bikarbonat

Endokrin
PTH
T3
T4
Interpretasi pada GGK :

Urinalisis : didapatkan adanya peningkatan volume urin, BJ urin menurun dan


menetap, proteinuria ringan sampai sedang, pada sedimen urin didapatkan eritrosit,
lekosit, dan silinder hialin sampai silinder granular.

Ureum : didapatkan adanya peningkatan kadar ureum.

Kreatinin : didapatkan adanya peningkatan kadar kreatinin.

Klirens kreatinin : terjadi penurunan tes klirens kreatinin dengan nilai 25 5


ml/menit.

Kimia darah : didapatkan hiponatremia dan hiperkalemia, hiperfosfatemia dan


hipokalsemia, hipermagnesemia, hipoproteinemia dan hipoalbuminemia, glukosa
darah meningkat, hipertrigliseridemia, hiperkolesterolemia dan VLDL meningkat.

Hematologi : didapatkan peningkatan LED, anemia, pada darah tepi dijumpai


anisositosis, poikilositosis, sel burr, anemia normokrom normositik.

Mikrobiologi : biakan urin dipakai untuk melihat species bakteri penyebab infeksi
saluran kemih ( ISK )

2. Radiologi ( 8,9 )

Foto polos abdomen

USG

Pielografi antegrade dan retrograde

Mixturating cystourography

11

LAPORAN KASUS
Identitas
Nama

Ny. SA

Umur

71 tahun

Jenis Kelamin

Perempuan

Alamat

Semarang

Tanggal Masuk

5 Agustus 2004

Anamnesis
Keluhan utama : sesak napas
Riwayat penyakit sekarang :

1 minggu sebelum masuk RS penderita mengeluh sesak napas dan bertambah bila
penderita melakukan aktifitas dan berkurang bila istirahat. Selama ini penderita
mendapat obat dari puskesmas. Bila tidur harus menggunakan bantal yang tinggi
dan malam hari penderita sering terbangun.

2 hari sebelum masuk RS sesaknya bertambah dan penderita tidak bisa tidur

Batuk, demam, nyeri dada disangkal

BAK sedikit ( hanya sekali sehari )

Riwayat penyakit dahulu :

Bulan April 2004 pernah dirawat di RSDK dengan keluhan yang sama

Riwayat hipertensi 20 tahun dengan berobat ke puskesmas ( tidak teratur )

Riwayat DM disangkal

Riwayat batuk lama disangkal


12

Riwayat penyakit keluarga :

Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat DM disangkal

Riwayat penyakit jantung disangkal

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sesak
Tanda vital :

Tensi

200 / 100 mmHg

Nadi

96 kali / menit

RR

32 kali / menit

Suhu

37oC

Berat badan

44 kg

Tinggi badan :

155 cm

Kepala

mesocephal

Mata

konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, refleks cahaya +/+

Hidung

napas cuping hidung (-), epistaksis (-)

Tenggorok

T1-1, faring hiperemis (-)

Leher

pembesaran kelenjar limfonodi (-), kaku kuduk (-)


JVP R+2 cm

Dada

:
Jantung

retraksi interkostal (-)


:

Inspeksi

iktus cordis tampak di SIC VI, 2 cm lateral LMCS

Palpasi

iktus cordis teraba di SIC VI, 2 cm lateral LMCS

Perkusi

batas atas SIC III linea parasternal kiri


batas kanan sulit dievaluasi
batas kiri sesuai iktus kordis
pinggang jantung mendatar

Auskultasi

suara jantung I-II murni, bising (-), gallop (-)

13

Paru
Abdomen

:
:

vesikuler, ronki basah halus (+)

bising usus (+), hepar dan lien tidak teraba, balotemen ginjal
tidak teraba

Ekstremitas

Atas

Bawah

-/-

+/+

Akral dingin :

-/-

-/-

Sianosis

-/-

-/-

Oedem

Laboratorium

Pemeriksaan hematologi
Hb

8,0 g/dl

MCV

99,1 fl

Ht

24,1 %

MCH

35,1 pg

Lekosit
Trombosit

:
:

MCHC

35,1 %

185.000 / mm3

Pemeriksaan kimia klinik


GDS

184 mg/dl

Ureum

166 mg/dl

Kreatinin

6,38 mg/dl

Natrium

143,6 mmol/L

Kalium
Klorida

9.100 / mm3

:
:

5,3 mmol/L

99 mmol/L

Pemeriksaan urinalisis
Warna

kuning jernih

pH

6,0

Protein

Glukosa

Sedimen

Epitel

12

14

Lekosit

Eritrosit

01

Kristal

Silinder

01

Radiologi
Kesan

Mediastinum melebar
Efusi pleura dextra

EKG
Kesan

Sinus takikardi
LBBB inkomplit
S. persisten di V 5
VES di V 6

Diagnosis Sementara
1. Paroxysmal Nocturnal Dyspneu
2. Kardiomegali
3. Hipertensi stage III
4. Efusi pleura dextra
Terapi
1. Furosemid 1 x 2 ampul iv
2. Digoxin 2 x tablet
3. Dulcolax 1 x 2 tablet
4. Valsartan 1 x 160 mg

15

Program
1. Echokardiografi
2. USG ginjal
3. Pemeriksaan kolesterol, trigliserid, HDL, LDL
4. Pemeriksaan protein total, albumin, globulin
5. Pemeriksaan cairan pleura

16

TABULASI HASIL LABORATORIUM

Kolesterol
Trigliserid
Protein total
Albumin
Globulin
Asam urat
Cairan pleura :

Ureum
Kreatinin
Elektrolit

6-8-2004
201 mg/dl
141 mg/dl
6,1 g/dl
2,7 gr/dl
3,4 g/dl
8,9 mg/dl

7-8-2004

9-8-2004

10-8-2004

Transudat, warna kuning


jernih, Rivalta (-), BJ
tidak dapat diperiksa
karena material tidak
cukup, kadar protein 2
gr/dl, sel lekosit PMN
(-), MN (-)
158 mg/dl
6,2 mg/dl
Natrium 141,5 mmol/L
Kalium 5,1 mmol/L
Klorida 98 mmol/L

17

CATATAN PERJALANAN PENYAKIT


TANGGAL
6-8-2004

KELUHAN
TANDA VITAL
Sesak berkurang, T : 180/90 mmHg
oedem berkurang N : 92 x/menit
RR : 28 x/menit
S : 36,7oC

7-8-2004

Pasien membaik

9-8-2004

Pasien membaik
Sesak berkurang,
Oedem berkurang

10-8-2004

Pasien membaik
Sesak (-)

T : 170/90 mmHg
N : 90 x/menit
RR : 26 x/menit
S : 36,7oC
T : 150/90 mmHg
N : 88 x/menit
RR : 24 x/menit
S : 36,8oC
T : 150/90 mmHg
N : 88 x/menit
RR : 20 x/menit
S : 36,7oC

LABORATORIUM/KONSUL
Kimia klinik
Kolesterol : 201 mg/dl
Trigliserid : 141 mg/dl
Protein : 6,1 g/dl
Albumin : 2,7 g/dl
Globulin : 3,4 g/dl
Asam urat : 8,9 mg/dl
Echocardiografi
Kesan : HHD
USG Ginjal
Kesan : Kedua ginjal atrofi
Ada kista pada ginjal kanan sesuai dengan
CRF
Cairan pleura
Transudat, warna kuning jernih
Rivalta (-), BJ : material tidak cukup,
Kadar protein : 2 g/dl
Sel lekosit : PMN (-), MN (-)
Kimia klinik
Ureum : 158 mg/dl
Kreatinin : 6,2 mg/dl
Natrium : 141,5 mmol/L
Kalium : 5,1 mmol/L
Klorida : 98 mmol/L

TERAPI
Terapi diteruskan
+ Batasi asupan garam
+ Batasi aktivitas

Terapi diteruskan

Terapi diteruskan

Pasien dipulangkan

18

PEMBAHASAN
Seorang wanita, 71 tahun, berat badan 44 kg, tinggi badan 155 cm, datang ke
RSDK dengan keluhan utama sesak napas.
Pada autoanamnesis didapatkan keluhan utama sesak napas. Perjalanan penyakit
dimulai dengan sesak napas yang bertambah pada saat melakukan aktivitas dan berkurang
bila istirahat selama 1 minggu. Sejak 2 hari sebelum masuk RS penderita merasa
sesaknya bertambah dan tidak bisa tidur. Buang air kecil sedikit yaitu 1 kali sehari. Dulu
bulan April 2004 penderita pernah dirawat di RSDK dengan keluhan yang sama, dan
terdapat riwayat hipertensi 20 tahun dengan berobat ke puskesmas secara tidak teratur.
Keluarga tidak ada yang sakit seperti ini.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan sesak (+). Tensi : 200 / 100 mmHg, nadi : 96
kali permenit, RR : 32 kali permenit, suhu 37oC, konjungtiva anemis +/+, JVP R+2cm,
pada inspeksi jantung : iktus kordis tampak di SIC VI 2cm lateral LMCS, palpasi : iktus
kordis teraba di SIC VI 2 cm lateral LMCS, perkusi : batas atas SIC III linea parasternal
kiri, batas kanan sulit dievaluasi, batas kiri sesuai iktus kordis, pinggang jantung
mendatar, pada auskultasi : SJ I II murni, bising (-), gallop (-), pada auskultasi paru
didapatkan ronki basah halus (+), oedem ekstremitas inferior +/+.
Pada pemeriksaaan laboratorium saat baru masuk : Hb : 8,0 mg/dl, Ht : 24,1 %,
lekosit : 9.100 / mm3, trombosit : 185.000 / mm 3, MCV : 99,1 fl, MCH : 35,1 pg, MCHC
35,1 %, GDS : 184 mg/dl, ureum : 166 mg/dl, kreatinin : 6,38 mg/dl, natrium : 143,6
mmol/L, kalium : 5,3 mmol/L, klorida : 99 mmol/L, pada pemeriksaan urin : kuning
jernih, epitel 1-2, lekosit 0-1, eritrosit 0-1, protein (-).
Pada pemeriksaan penunjang lain yaitu pemeriksaan radiologi ditemukan
mediastinum melebar dan efusi pleura kanan, pada EKG ditemukan sinus takikardi,
LBBB inkomplit, S. Persisten di V5 dan VES di V6.
Selama perawatan ditemukan kolesterol : 201 mg/dl, trigliserid : 141 mg/dl,
protein total : 6,1 g/dl, albumin : 2,7 g/dl, globulin : 3,4 mg/dl, pada pemeriksaan cairan
pleura : transudat, kuning jernih, rivalta (-), protein 2 g/dl, sel lekosit PMN (-) dan
MN (-), ureum : 158 mg/dl, kreatinin : 6,2 mg/dl, natrium : 141,5 mmol/L, kalium : 5,1

19

mmol/L, klorida : 98 mmol/L. Dimana hasil USG ginjal : kesan sesuai dengan CRF dan
hasil echocardiografi : kesan HHD.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang lain maka
pasien ini di diagnosis sementara dengan paroxysmal nocturnal dyspneu, kardiomegali,
hipertensi stage III, dan efusi pleura kanan.
Selama perawatan di RSDK didapatkan hasil sebagai berikut :

Anemia normokrom normositik dengan Hb : 8,0 g/dl, MCV : 99,1 fl, MCH : 35,1 pg,
MCHC : 35,1 % merupakan komplikasi gagal ginjal kronik yang biasa ditemukan.
Penyebabnya adalah berkurangnya produksi eritropoietin, suatu hormon glikoprotein
yang diproduksi ginjal ( 90 % ) dan sisanya di luar ginjal. Mekanisme lain terjadinya
anemia adalah pemendekan umur eritrosit menjadi 2/3 umur normal.

Hiperglikemia dengan GDS : 184 mg/dl sebagai akibat terjadinya resistensi terhadap
insulin yang menghambat masuknya glukosa ke dalam sel di mana di duga toksik
uremik yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin ini. Faktor lain yang juga
berperan adalah adanya peningkatan kadar glukagon dan hormon pertumbuhan.

Peningkatan ureum ( 166 mg/dl ) paling sering disebabkan oleh ekskresi ureum yang
terhambat oleh kegagalan fungsi ginjal.

Peningkatan kreatinin ( 6,38 mg/dl ) terjadi apabila fungsi ginjal menurun.

Peningkatan asam urat ( 8,9 mg/dl ) terjadi karena tertahannya asam urat sehingga
kadarnya tinggi.

Hipoalbuminemia ( 2,7 g/dl ) terjadi oleh karena intake yang kurang yang dapat
dilihat dari berat badan penderita.

Efusi pleura yang terjadi disebabkan oleh karena gagal jantung.

20

KESIMPULAN
Sebuah laporan kasus dengan diagnosis pada saat masuk adalah paroxysmal
nocturnal dyspneu, kardiomegali, hipertensi stage III dan efusi pleura kanan, setelah
dilakukan pemeriksaan fisik, laboratorium dan penunjang lain, maka Gagal Jantung
dengan klasifikasi NYHA dapat ditegakkan berdasarkan :

Penderita mengeluh sesak napas pada waktu istirahat

Adanya dyspneu ( paroxysmal nocturnal dyspneu )

Adanya riwayat hipertensi

Ditemukannya tanda klinik utama gagal jantung kardiomegali ( pergeseran pulsasi


apeks ), bendungan ( oedem, pelebaran vena jugularis, ronki paru ), dan aktivitas
sistem saraf simpatis ( takikardia )
Selain gagal jantung, pasien ini juga menderita gagal ginjal kronik yang dapat

ditegakkan berdasarkan :

Menurut NKF dan K/DOQI batasan GGK adalah : pada pencitraan ginjal kesan
sesuai CRF.

Terdapat peningkatan kadar ureum ( 166 mg/dl )

Terdapat peningkatan kadar kreatinin ( 6,38 mg/dl )

Dijumpainya anemia normokrom normositik ( 8,0 g/dl )

Adanya gambaran klinis : sukar tidur, pucat, hipertensi sampai decompensatio


cordis

21

SARAN

Pemeriksaan LED dengan tujuan mencari peningkatan nilai LED yang biasanya
dijumpai pada gagal ginjal kronik

Pemeriksaan apus darah tepi dengan tujuan mencari anisositosis, poikilositosis, dan
sel burr.

Pemeriksaan klirens kreatinin dengan tujuan menilai laju filtrasi glomerulus ( LFG ).

Pemeriksaan kreatinin serum dengan tujuan follow up sebab pada pasien ini tidak
memenuhi syarat untuk dilakukan pemeriksaan klirens kreatinin.

Pemeriksaan elektrolit dengan tujuan mencari hiponatremia dan hiperkalemia,


hiperfosfatemia dan hipokalsemia.

Pemeriksaan profil lifid dengan tujuan untuk memantau atherosklerosis.

Pemeriksaan urinalisis : biasanya dijumpai BJ urin menurun dan menetap,


proteinuria, pada sedimen urin dijumpai eritrosit, lekosit, dan silinder hialin sampai
granular.

Pemeriksaan BGA dengan tujuan mencari apakah terjadi asidosis metabolik.

Pemeriksaan gula darah puasa ( GDN ) dan gula darah 2 jam post prandial ( GDPP )
dengan tujuan memantau gula darah.

Pemeriksaan hematologi rutin, kimia klinik dan urin rutin sebelum penderita
dipulangkan.

Pemeriksaan microalbuminuria dengan tujuan mendeteksi proteinuria dini.

Pemeriksaan cholinesterase dengan tujuan melihat fungsi sintesis hati.

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Braunwald E. Heart Failure in : Harrison Principles of Internal Medicine. Vol 114 th
Ed. Mc Graw-Hill. New York, 1998 : 1287 98.
2. Rilantono LI, Baraas F, Karo KS, Roebiono PS. Buku Ajar Kardiologi. FKUI.
Jakarta, 1998 : 115 26.
3. ACC / AHA Task Force Report. Guidelines for the evaluation and management of
heart failure. JACC, 1995 ; 26 : 1376 98.
4. Braunwald F, Bristow MR. Congestive heart failure : 50 years of pregress.
Circulation. 2000 ; 102 - IV : 14 23.
5. Junaidi P, dkk. Kegagalan ginjal menahun dalam kapita selekta kedokteran. Edisi
kedua. Penerbitan media Aeculapius FKUI. Jakarta, 1982 : 104 9.
6. Sidabutar RP, dkk. Gagak Ginjal Kronik dalam Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta, 1990 : 350 60.
7. Baron DN. Ginjal dalam kapita selekta patologi klinik. Edisi 4. EGC, Penerbit Buku
Kedokteran. Jakarta, 1990 : 232 36.
8. Ardaya. Manajemen Gagal Ginjal Kronik dalam Nefrologi Klinik. Workshop
nefrologi klinik annual meeting 2003. Palembang : 13 24.
9. Effendi I. Patofisiologi Gagal Ginjal dalam Nefrologi Klinik. Workshop nefrologi
klinik annual meeting 2003. Palembang : 1 11.
10. Hardjoeno. Interpretasi hasil tes urinalisis dan penyakit ginjal dalam Interpretasi hasil
tes laboratorium diagnostik. Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang, 2000 : 21 32.
11. Wallach J. Interpretation of diagnostic test. Lippincott Raven Publishers, 1998 :
400 401.

23

También podría gustarte