Está en la página 1de 44

Bab 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daya Dukung Tanah Lempung


Daya dukung tanah adalah parameter tanah yang berkenaan dengan kekuatan tanah
untuk menopang suatu beban di atasnya. Daya dukung tanah dipengaruhi oleh jumlah air
yang terdapat di dalamnya, kohesi tanah, sudut geser dalam, dan tegangan normal tanah.
Daya dukung ultimit didefinisikan sebagai tekanan terkecil yang dapat
menyebabkan keruntuhan geser pada tanah pendukung tepat di bawah dan di sekeliling
pondasi. Daya dukung ultimit suatu tanah terutama di bawah beban pondasi dipengaruhi
oleh kuat geser tanah. Nilai kerja atau nilai izin untuk desain akan ikut
mempertimbangkan karakteristik kekuatan dan deformasi.
Sebagian besar teori daya dukung dikembangkan berdasarkan teori plastisitas
dimana tanah dianggap berkelakuan sebagai bahan yang bersifat plastis. Paham ini
dikenalkan oleh Prandtl (1921) yang mengembangkan persamaan dari analisis kondisi
aliran. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Terzaghi (1943), Meyerhof (1955),
Hansen (1970), Vesic (1975) dan lainnya. Paham analisa perhitungan daya dukung tanah
lempung yang dikembangkan para ahli tersebut mengasumsikan tanah lempung dalam
keadaan undrained. Teori ini dikembangkan dari persamaan Mohr-Coulomb :

= c + tan

(2.1.)

dimana :

= tahanan geser tanah

= kohesi tanah

= sudut geser dalam tanah

= tegangan normal tanah

2.1.1

Analisa Prandtl
Prandtl mengembangkan persamaan dari analisis kondisi aliran

yang

diasumsikan seperti gambar berikut.


B

b
45 - 2

45 + 2

c
d

e
Spiral Log

Gambar 2.1. Bidang Keruntuhan Daya Dukung Pondasi


di Permukaan Tanah Menurut Prandtl (1920)
(Sumber : Joseph E. Bowles, 1991)

Bagian melengkung dari busur ed atau ce dianggap sebagai bagian dari suatu spiral
logaritmis. Suatu keseimbangan plastis terjadi di atas permukaan gdcef sedangkan sisi
tanah lainnya berada dalam keseimbangan elastis.
Berdasarkan teori plastisitas yang dikembangkannya, Prandtl menyelesaikan
permasalahan daya dukung ultimit pada pondasi di atas lempung jenuh dalam kondisi
tak terdrainase (u = 0) dengan kekuatan geser cu secara eksak sebagai berikut.

qu = ( + 2)cu = 5,14 cu

(2.2)

9
2.1.2

Analisa Terzaghi

Terzaghi melakukan analisa kapasitas dukung tanah dengan beberapa asumsi,


antara lain:

Pondasi berbentuk memanjang tak berhingga

Tanah di bawah dasar pondasi adalah homogen

Tahanan geser tanah di atas dasar pondasi diabaikan

Dasar pondasi kasar

Bidang keruntuhan terdiri dari lengkung spiral logaritmis dan linier

Baji tanah yang terbentuk di dasar pondasi dalam kedudukan elastis dan
bergerak bersama-sama dengan dasar pondasi

Pertemuan antara sisi baji tanah dan dasar pondasi membentuk sudut geser
dalam tanah

Berlaku prinsip superposisi atau prinsip penggabungan

Berat tanah di atas dasar pondasi digantikan dengan beban terbagi rata
sebesar po = D f . , dengan Df adalah kedalaman dasar pondasi dan adalah
berat volume tanah di atas dasar pondasi.

Menurut Terzaghi, daya dukung ultimit didefinisikan sebagai beban maksimum


per satuan luas dimana tanah masih dapat menopang beban tanpa mengalami
keruntuhan. Pemikiran Terzaghi ini dinyatakan dalam persamaan:
qu =

Pu
A

dimana:
qu = daya dukung ultimit

(2.3)

10
Pu = beban ultimit
A = luas pondasi
Pada analisa daya dukung Terzaghi bentuk pondasi diasumsikan sebagai
memanjang tak berhingga yang diletakkan pada tanah homogen dan dibebani dengan
beban terbagi rata qu. Beban total pondasi per satuan panjang Pu merupakan beban
terbagi rata qu yang dikalikan dengan lebar pondasi B. Karena adanya beban total
tersebut, pada tanah yang terletak tepat di bawah pondasi akan membentuk suatu baji
tanah yang menekan tanah ke bawah yang digambarkan sebagai berikut. Gerakan baji
menyebabkan tanah di sekitarnya bergerak, yang menghasilkan zona geser di kiri dan
kanan dengan tiap-tiap zona terdiri dari dua bagian yaitu bagian geser radial yang
berdekatan dengan baji dan bagian geser linier yang merupakan kelanjutan dari bagian
geser radial.
B
Baji

Ge
ser
lin
ier

r
nie
r li
e
s
Ge

Geser radial

Geser radial

Gambar 2.2. Pembebanan Pondasi dan Bentuk Bidang Geser


(Sumber : Hary C.H., 2002)

Terzaghi mengembangkan teori keruntuhan plastis Prandtl dalam evaluasi daya


dukung sehingga keruntuhan yang terjadi dalam analisanya dianggap keruntuhan geser
umum.

11
B
Pu
= (analisis Terzaghi)

H
III

Pp

I
D

Df

Df
45 - 2

Pp

45 + 2

III

II
E

Gambar 2.3. Bentuk Keruntuhan Dalam Analisa Daya Dukung


(Sumber : Hary C.H., 2002)

Baji tanah ABD pada zona I merupakan zona elastis. Bidang AD dan BD
membentuk sudut terhadap normal horisontal H. Zona II merupakan zona radial
sedangkan zona III merupakan zona pasif Rankine. Lengkung DE dan DG dianggap
sebagai lengkung spiral logaritmis dan bagian EF dan GH merupakan garis lurus. Garisgaris BE, FE, AG, dan HG membentuk sudut sebesar (45 2) terhadap normal
horisontal H. Baji tanah yang terbentuk dalam tanah membentuk sudut sebesar

= 45 + 2 terhadap horizontal. Berdasarkan batas yang dibuat oleh sudut tersebut,


dapat diketahui kedalaman maksimum pengaruh baji tanah.
Dalam kondisi keruntuhan geser umum, pada permukaan baji zona I, yaitu pada
bidang AD dan BD, tekanan pasif Pp akan bekerja jika beban per satuan luas diterapkan.
Bidang AD dan BD tersebut mendorong tanah di belakangnya, yaitu bagian-bagian
BDEF dan ADGH, sampai tanahnya mengalami keruntuhan. Tekanan ke bawah akibat
beban pondasi Pu ditambah berat baji tanah pada zona I ditahan oleh tekanan tanah pasif
Pp pada bagian AD dan BD. Tekanan tanah pasif membentuk sudut gesek dinding (wall

12
friction) dengan garis normal yang melintas di bidang AD dan BD. Karena gesekan
yang terjadi adalah antara tanah dengan tanah, maka = ( adalah sudut geser dalam
tanah).
Untuk per meter panjang pondasi pada saat terjadinya keseimbangan batas maka:
Pu = 2 Pp cos( ) + 2( BD)c sin W
BD = B (2 cos )

(2.4)

dengan:
Pp = tekanan pasif total yang bekerja pada bagian AD dan BD
W = berat baji tanah ABD per satuan panjang = 1 4 B 2 tan
c

= kohesi tanah

= sudut antara bidang BD dan BA

Terzaghi mengasumsikan bahwa = sehingga nilai cos( ) = 1 . Karena bidang-

bidang AD dan BD membentuk sudut dengan horisontal maka arah Pp vertikal.


Berdasarkan keterangan di atas, tekanan tanah ultimit berubah sebagai berikut.
Pu = Bqu = 2 Pp + Bc tan 1 4 B 2 tan

(2.5)

Tekanan tanah pasif total (Pp) adalah jumlah tekanan pasif akibat kohesi tanah, berat
tanah dan beban terbagi rata, yaitu:

Pp = Ppc + Ppq + Pp
dimana:

Ppc

= tahanan tanah pasif dari komponen kohesi c

Ppq = tahanan tanah pasif akibat beban terbagi rata di atas dasar pondasi
Pp

= tahanan tanah pasif akibat berat tanah

(2.6)

13
Tekanan tanah pasif yang bekerja tegak lurus arah normal Pp tegak lurus terhadap bidang

BD adalah:
Pp tegak lurus =

K p
H
1
cK pc + p 0 K pq + H 2

sin
2
sin

(2.7)

Dengan

= 1 2 B tan

= sudut antara bidang DB dan BF = 180

Kpc = koefisien tekanan tanah pasif akibat kohesi tanah


Kpq = koefisien tekanan tanah pasif akibat beban terbagi rata
Kp = koefisien tekanan tanah pasif akibat berat tanah
Nilai koefisien-koefisien tekanan tanah pasif tersebut tidak tergantung pada H dan .
Kombinasi dari persamaan-persamaan di atas adalah sebagai berikut.
Pp =

tan
B
1
cK pc + p 0 K pq + B 2
K p
2
2
8
2 cos
cos

(2.8)

Gesekan yang terjadi antara tanah dengan tanah pada bidang BD mengakibatkan arah
tekanan tanah pasif Pp miring sebesar . Karena = , maka:
Pp =

Ppm
cos

P pm
cos

(2.9)

Ppm adalah tekanan tanah pasif miring. Beban ultimit dari hasil substitusi persamaan
tekanan tanah pasif ke persamaan tekanan tanah ultimit adalah sebagai berikut.
K pq 1 2
K p

K pc

+ tan + Bp o
1
Pu = Bc
+ B tan
2
2
2
cos

cos 4
cos

(2.10)

14
Tekanan-tekanan tanah pasif akibat kohesi Ppc dan beban terbagi rata Ppq diperoleh
dengan menganggap tanah tidak mempunyai berat ( = 0). Karena = 0, Pu = Ppc + Ppq
dinyatakan sebagai persamaan berikut.
K pc

K pq
tan

+
+
Ppc + Ppq = Bc
Bp

2
2
0
cos

cos

(2.11)

= BcN c + Bp0 N q
atau

qc + qq =

1
(Ppc + Ppq ) = cN c + p0 N q
B

(2.12)

dengan qc dan qq adalah tekanan tanah pasif per satuan luas dari komponen kohesi dan
beban terbagi rata p0. Nilai-nilai Nc dan Nq diperoleh Terzaghi dari analisa Prandtl
(1920) dan Reissner (1924) yang besarnya:

a2

1
N c = cot

2
2 cos (45 + 2

Nq =

a2
= N c tan + 1 dengan nilai a = e (3
2
2 cos (45 + 2)

(2.13)

4 2 ) tan

(2.14)

Apabila tanah yang diamati merupakan tanah yang tidak berkohesi (c = 0) dan tanpa
beban merata di atasnya (q = 0) maka persamaan perhitungan tekanan tanah pasif hanya
mempertimbangkan akibat dari berat tanah.
K p

Pp = 1 4 B 2 tan
1 = B 1 2 BN
2
cos

(2.15)

15
Jika Pp dinyatakan sebagai tahanan tanah pasif per satuan luas dari akibat berat tanah q
maka:
q =

Pp
B

= 1 2 BN dengan nilai N =

tan
2

K p

2
cos

(2.16)

Terzaghi tidak memberikan nilai-nilail Kp maka digunakan persamaan pendekatan dari


Cernica (1995): K p = 3 tan 2 {45 + 1 2 ( + 33)}.

(2.17)

Daya dukung ultimit memperhitungkan kohesi tanah, beban terbagi rata dan
berat volume tanah ( qu = q c + q q + q ). Berdasarkan persamaan tersebut, Terzaghi
membuat persamaan umum daya dukung ultimit pondasi memanjang sebagai berikut.
qu = cN c + p 0 N q + 0,5BN

(2.18)

Karena po = D f . , persamaan di atas menjadi


qu = cN c + D f N q + 0,5BN

Dimana:
qu = daya dukung ultimit untuk pondasi memanjang (kN/m2)
c

= kohesi tanah (kN/m2)

Df = kedalaman pondasi yang tertanam di dalam tanah (m)

= berat volume tanah (kN/m3)

po =

D f .

= tekanan overburden pada dasar pondasi (kN/m2)

Nc = faktor daya dukung tanah akibat kohesi tanah


Nq = faktor daya dukung tanah akibat beban terbagi rata
N = faktor daya dukung tanah akibat berat tanah

(2.19)

16
Nilai faktor daya dukung ini merupakan fungsi dari sudut geser dalam tanah dari
Terzaghi (1943).
qu adalah beban total maksimum per satuan luas ketika pondasi akan mengalami

keruntuhan geser. Beban total tersebut terdiri dari beban-beban struktur, pelat pondasi
dan tanah urugan di atasnya. Analisa daya dukung tersebut berdasarkan pada kondisi
keruntuhan geser umum dari suatu bahan yang bersifat plastis dan tidak terjadi
perubahan volume dan kuat geser oleh adanya keruntuhan tersebut.
Gerakan baji tanah ke bawah pada tanah yang mengalami regangan yang besar
sebelum mencapai keruntuhan geser mungkin hanya memampatkan tanah tanpa
menimbulkan regangan yang cukup untuk menghasilkan keruntuhan geser umum.
Menurut Terzaghi, tidak ada analisis rasional sebagai pemecahannya. Oleh karena itu
Terzaghi memberikan koreksi empiris pada perhitungan faktor daya dukung pada
kondisi keruntuhan geser umum yang digunakan untuk perhitungan daya dukung pada
keruntuhan geser lokal. Nilai c' = 2 3 c dan ' = arc tan(2 3 tan ) digunakan sebagai
koreksi tersebut sehingga persamaan umum daya dukung ultimit pada pondasi
memanjang pada keruntuhan geser lokal menjadi:
qu = 2 3 cN c + p 0 N q '+0,5BN '
'

Persamaan daya dukung pondasi

(2.20)

di atas hanya dapat digunakan untuk

perhitungan daya dukung ultimit pondasi memanjang. Oleh karena itu Terzaghi
memberikan pengaruh faktor bentuk terhadap daya dukung ultimit yang didasarkan yang
didasarkan pada analisa pondasi memanjang sebagai berikut.

17

Untuk pondasi bujur sangkar

: qu = 1,3cN c + p 0 N q + 0,4BN

Untuk pondasi lingkaran

: qu = 1,3cN c + p 0 N q + 0,3BN

Untuk pondasi persegi panjang : qu = cN c (1 + 0,3 B L) + p 0 N q + 0,5BN (1 0,2 B L)

dimana:
qu = daya dukung ultimit untuk pondasi memanjang (kN/m2)
c

= kohesi tanah (kN/m2)

Df = kedalaman pondasi yang tertanam di dalam tanah (m)

= berat volume tanah yang dipertimbangkan terhadap posisi muka air tanah
(kN/m3)

po =

D f .

= tekanan overburden pada dasar pondasi (kN/m2)

B = lebar atau diameter pondasi (m)


L = panjang pondasi (m)

Persamaan daya dukung Terzaghi mengabaikan kuat geser tanah di atas pondasi
dan hanya cocok untuk pondasi dangkal dengan Df B. Oleh karena itu, kesalahan
perhitungan untuk pondasi yang dalam menjadi besar.

18

Gambar 2.4. Grafik Hubungan dan N, Nc, Nq Menurut Terzaghi (1943)


(Sumber : Braja M. Das, 1984)

2.1.3

Analisa Skempton

Analisa Skempton (1951) terbatas pada persamaan daya dukung ultimit pondasi
dan hanya pada lempung jenuh. Analisanya menyatakan bahwa perhitungan pondasi
tersebut harus memperhatikan faktor-faktor bentuk dan kedalaman pondasi.
Pada sembarang kedalaman pondasi empat persegi panjang yang terletak pada
tanah lempung, Skempton memberikan faktor pengaruh bentuk pondasi sc sebesar
(1 + 0,2 B L) . Faktor kapasitas dukung Nc untuk bentuk pondasi tertentu diperoleh dari

mengalikan faktor bentuk pondasi sc dengan Nc pada pondasi yang besarnya dipengaruhi
oleh kedalaman Df.

19
Kondisi-kondisi yang merupakan analisa Skempton antara lain:

Pondasi di permukaan (Df = 0)


Nc (permukaan) = 5,14

(untuk pondasi memanjang)

Nc (permukaan) = 6,20

(untuk pondasi lingkaran dan bujur sangkar)

Pondasi pada kedalaman 0 < Df < 2,5B


Df

N c = 1 + 0,2
B

N c ( permukaan )

Pondasi pada kedalaman Df > 2,5B


Nc = 1,5 Nc (permukaan)

Analisa Skempton mengenai daya dukung ultimit pondasi memanjang qu dan


daya dukung ultimit neto qun dinyatakan dalam persamaan-persamaan berikut.
qu = cu N c + D f
qun = cu N c

dimana:
qu

= daya dukung ultimit (kN/m2)

qun

= daya dukung ultimit neto (kN/m2)

Df

= kedalaman pondasi yang tertanam di dalam tanah (m)

= berat volume tanah (kN/m3)

cu

= kohesi tak terdrainase (kN/m2)

Nc

= faktor daya dukung Skempton

(2.21)

20

Gambar 2.5. Grafik Faktor Daya Dukung Nc Menurut Skempton


(Sumber : Hary C.H., 2002)

Faktor daya dukung Skempton merupakan fungsi dari D f B dan bentuk


pondasi. Untuk pondasi empat persegi panjang dengan panjang L dan lebar B, daya
dukung ultimit diperoleh dari nilai faktor daya dukung Nc yang dikalikan dengan
0,84 + 0,16 B L sehingga persamaan daya dukung ultimit menjadi:
qu = (0,84 + 0,16 B L)cu N c (untuk

2.1.4

pondasi bujursangkar )

(2.22)

Analisa Meyerhof

Analisa daya dukung Meyerhof mengasumsikan sudut baji antara bidang AD


atau BD terhadap normal horisontal lebih besar dari sudut geser dalam tanah . Hal ini
menyebabkan faktor daya dukung Meyerhof lebih rendah daripada yang disarankan oleh
Terzaghi. Akan tetapi Meyerhof mempertimbangkan faktor pengaruh kedalaman
pondasi, sehingga nilai daya dukung menjadi lebih besar.

21
Meyerhof menganalisa daya dukung dengan mempertimbangkan bentuk pondasi,
kemiringan beban, dan kuat geser tanah di atas pondasinya yang dinyatakan dengan
persamaan berikut.
qu = s c d c ic cN c + s q d q iq po N q + s d i 0,5B' N

(2.23)

dimana:
qu

= kapasitas dukung ultimit (kN/m2)

Nc, Nq, N

= faktor kapasitas daya dukung Meyerhof untuk pondasi memanjang

sc, sq, s

= faktor bentuk pondasi

dc, dq, d

= faktor kedalaman pondasi

ic, iq, i

= faktor kemiringan beban

= lebar pondasi efektif (m)

po

Df

= kedalaman pondasi yang tertanam di dalam tanah (m)

= berat volume tanah (kN/m3)

D f .

= tekanan overburden pada dasar pondasi (kN/m2)

22

Gambar 2.6. Faktor-faktor Daya Dukung Meyerhof (1963)


(Sumber : Hary C.H., 2002)

Faktor kapasitas dukung tanah yang diusulkan Meyerhof (1963) adalah :


N c = ( N q 1) cot
N q = tan 2 (45 o + 2)e ( tan )

N = ( N q 1) tan(1,4 )

Nilai-nilai faktor daya dukung Meyerhof untuk dasar pondasi kasar dengan
bentuk memanjang dan bujursangkar ditunjukkan dalam gambar 2.6. sedangkan untuk
pondasi memanjang, nilai-nilai faktor daya dukung tanah ditunjukkan pada tabel 2.1.
Berdasarkan gambar 2.6., nilai faktor daya dukung pondasi bujursangkar lebih besar
daripada pondasi memanjang. Dalam tabel 2.2. diperlihatkan faktor-faktor bentuk
pondasi, dan pada tabel 2.3. ditunjukkan faktor-faktor kedalaman pondasi. Nilai
tan(45 + 2) merupakan nilai Kp. Untuk pondasi berbentuk lingkaran, nilai B L = 1 .

23
Tabel 2.1. Faktor Daya Dukung Meyerhof
()

Nc

Nq

()

Nc

Nq

5,14

1,00

0,00

26

22,25

11,85

8,00

5,38

1,09

0,00

27

23,94

13,20

9,46

5,63

1,20

0,01

28

25,80

14,72

11,19

5,90

1,31

0,02

29

27,86

16,44

13,24

6,19

1,43

0,04

30

30,14

18,40

15,67

6,49

1,57

0,07

31

32,67

20,63

18,56

6,81

1,72

0,11

32

35,49

23,18

22,02

7,16

1,88

0,15

33

38,64

26,09

26,17

7,53

2,06

0,21

34

42,16

29,44

31,15

7,92

2,25

0,28

35

46,12

33,30

37,15

10

8,34

2,47

0,37

36

50,59

37,75

44,43

11

8,80

2,71

0,47

37

55,63

42,92

53,27

12

9,28

2,97

0,60

38

61,35

48,93

64,07

13

9,81

3,26

0,74

39

67,87

55,96

77,33

14

10,37

3,59

0,92

40

75,31

64,20

93,69

15

10,98

3,94

1,13

41

83,86

73,90

113,99

16

11,63

4,34

1,37

42

93,71

85,37

139,32

17

12,34

4,77

1,66

43

105,11

99,01

171,14

18

13,10

5,26

2,00

44

118,37

115,31

211,41

19

13,93

5,80

2,40

45

133,87

134,87

262,74

20

14,83

6,40

2,87

46

152,10

158,50

328,73

21

15,81

7,07

3,42

47

173,64

187,21

414,33

22

16,88

7,82

4,07

48

199,26

222,30

526,45

23

18,05

8,66

4,82

49

229,92

265,50

674,92

24

19,32

9,60

5,72

50

266.88

319,06

873,86

25

20,72

10,66

6,77

(Sumber : Hary C.H., 2002)

24
Tabel 2.2. Faktor Bentuk Pondasi Meyerhof
Faktor

Nilai

Keterangan

1+ 0,2 (B/L) tan 2 (45 + /2)

untuk sembarang

1+ 0,1 (B/L) tan 2 (45 + /2)

untuk 10

untuk = 0

Bentuk
sc
sq = s

(Sumber : Hary C.H., 2002)

Tabel 2.3. Faktor Kedalaman Pondasi


Faktor

Nilai

Keterangan

1+ 0,2 (D/B) tan (45 + /2)

untuk sembarang

1+ 0,1 (D/B) tan (45 + /2)

untuk 10

Kedalaman
dc
dq=d

untuk = 0

(Sumber : Hary C.H., 2002)

2.1.5

Analisa Brinch Hansen

Teori Brinch Hansen mengenai persamaan daya dukung pada dasarnya sama
dengan Terzaghi. Yang membedakan adalah Brinch Hansen memperhatikan pengaruh
bentuk pondasi, kedalaman pondasi, inklinasi beban, inklinasi dasar dan inklinasi
permukaan tanah.
Untuk tanah dengan sudut geser dalam > 0, Brinch Hansen menyarankan
persamaan daya dukung ultimit sebagai berikut.
qu =

Qu
= s c d c ic bc g c cN c + s q d q iq bq g q p o N q + s d i b g 0,5 B ' N
B '.L'

dimana:
Qu

= beban vertikal ultimit (kN)

= panjang efektif pondasi (m)

(2.24)

25
B

= lebar efektif pondasi (m)

= berat volume tanah (kN/m3)

= kohesi tanah (kN/m2)

po

sc, sq, s

= faktor-faktor bentuk pondasi

dc, dq, d

= faktor-faktor kedalaman pondasi

ic, iq, i

= faktor-faktor kemiringan beban

bc, bq, b

= faktor-faktor kemiringan dasar

gc, gq, g

= faktor-faktor kemiringan permukaan

D f .

= tekanan overburden pada dasar pondasi (kN/m2)

Nc, Nq, N = faktor-faktor kapasitas daya dukung Hansen

Untuk lempung jenuh ( = 0), Brinch Hansen menyarankan persamaan daya


dukung ultimit sebagai berikut.
qu = 5,14 cu (1 + s c '+ d c 'ic 'bc ' g c ' ) + p 0

(2.25)

Pada persamaan Brinch Hansen nilai faktor-faktor kapasitas dukung adalah:


N q = e ( tan ) tan 2 (45 + 2)

N c = ( N q 1) cot
N = 1,5 ( N q 1) tan

Nilai faktor daya dukung lainnya terdapat pada tabel 2.4. Dalam perhitungan faktor
kemiringan beban nilai kohesi c diganti dengan nilai ca (adhesi) apabila dasar pondasi
tidak terlalu kasar. Nilai adhesi ca ini diperoleh dari mengalikan faktor adhesi dengan
nilai kohesi.

26
Tabel 2.4. Faktor Daya Dukung Hansen
()

Nc

Nq

()

Nc

Nq

5,14

1,00

0,00

26

22,25

11,85

7,94

5,38

1,09

0,00

27

23,94

13,20

9,32

5,63

1,20

0,01

28

25,80

14,72

10,94

5,90

1,31

0,02

29

27,86

16,44

12,84

6,19

1,43

0,05

30

30,14

18,40

15,07

6,49

1,57

0,07

31

32,67

20,63

17,69

6,81

1,72

0,11

32

35,49

23,18

20,79

7,16

1,88

0,16

33

38,64

26,09

24,44

7,53

2,06

0,22

34

42,16

29,44

28,77

7,92

2,25

0,30

35

46,12

33,30

33,92

10

8,34

2,47

0,39

36

50,59

37,75

40,05

11

8,80

2,71

0,50

37

55,63

42,92

47,38

12

9,28

2,97

0,63

38

61,35

48,93

56,17

13

9,81

3,26

0,78

39

67,87

55,96

66,76

14

10,37

3,59

0,97

40

75,31

64,20

79,54

15

10,98

3,94

1,18

41

83,86

73,90

95,05

16

11,63

4,34

1,43

42

93,71

85,37

113,96

17

12,34

4,77

1,73

43

105,11

99,01

137,10

18

13,10

5,26

2,08

44

118,37

115,31

165,58

19

13,93

5,80

2,48

45

133,87

134,87

200,81

20

14,83

6,40

2,95

46

152,10

158,50

244,65

21

15,81

7,07

3,50

47

173,64

187,21

299,52

22

16,88

7,82

4,13

48

199,26

222,30

368,67

23

18,05

8,66

4,88

49

229,92

265,50

456,40

24

19,32

9,60

5,75

50

266,88

319,06

568,57

25

20,72

10,66

6,76

(Sumber : Hary C.H., 2002)

Hansen menganalisa daya dukung dalam kondisi plane strain seperti yang
dilakukan Meyerhof dimana analisa ini hanya dapat digunakan apabila pondasi
berbentuk memanjang tak berhingga. Oleh karena itu, Hansen menyarankan adanya

27
koreksi sudut geser dalam sehingga nilai sudut geser dalam ps = 1,1 tr dengan

ps

adalah sudut geser dalam yang digunakan dalam perhitungan daya dukung tanah dan tr
adalah sudut geser dalam dari uji triaksial.

2.1.6

Analisa Vesic

Vesic menganalisa daya dukung tanah berdasarkan prinsip superposisi yang


diperoleh dari beberapa peneliti, yaitu:

Usulan Reissner (1924) : q q = p 0 .N q dengan nilai N q = e ( tan ) tan 2 (45 + 2)

Analisa Prandtl (1924) : q c = c.N c dengan nilai N c = ( N q 1) cot

Usulan Caquot - Kerisel (1953) : q = 0,5 BN dengan nilai N = 2( N q + 1) tan

Superposisi dari ketiga persamaan tersebut adalah

qu = q c + q q + q . Dengan

mensubstitusikan nilai dari tiga persamaan di atas maka diperoleh nilai daya dukung:
qu = cN c + p 0 N q + 0,5 BN

(2.26)

Analisa daya dukung Vesic memperhitungkan faktor kedalaman pondasi,


kemiringan dan eksentrisitas beban, kemiringan dasar dan kemiringan permukaan seperti
halnya Brinch Hansen. Analisa ini dinyatakan selengkapnya sebagai berikut.
qu = Qu B '.L' = s c d c ic bc g c cN c + s q d q iq bq g q p 0 N q + s d i b g 0,5 B. .N

dimana:
Qu

= beban vertikal ultimit, dapat miring dan eksentris (kN)

= lebar pondasi (m)

= panjang efektif pondasi (m)

= lebar efektif pondasi (m)

(2.27)

28

= berat volume tanah (kN/m3)

= kohesi tanah (kN/m2)

po

sc, sq, s

= faktor-faktor bentuk pondasi

dc, dq, d

= faktor-faktor kedalaman pondasi

ic, iq, i

= faktor-faktor kemiringan beban

bc, bq, b

= faktor-faktor kemiringan dasar

gc, gq, g

= faktor-faktor kemiringan permukaan

D f .

= tekanan overburden pada dasar pondasi (kN/m2)

Nc, Nq, N = faktor-faktor kapasitas daya dukung Vesic

Untuk faktor-faktor bentuk pondasi, Vesic menyarankan pemakaian faktor


bentuk pondasi dari De Beer (1970) sedangkan untuk faktor-faktor kedalaman, Vesic
mengadopsi faktor kedalaman dari Hansen (1970).

2.2. Pondasi Dangkal

Pondasi adalah bagian terendah dalam suatu konstruksi yang meneruskan beban
konstruksi ke tanah atau batuan di bawahnya. Berdasarkan jenisnya, pondasi dibedakan
menjadi dua macam yaitu pondasi dangkal dan pondasi dalam. Pondasi dangkal
didefinisikan sebagai pondasi yang mendukung beban konstruksi secara langsung.
Contoh pondasi dangkal antara lain pondasi telapak, pondasi memanjang dan pondasi
rakit. Sedangkan pondasi dalam didefinisikan sebagai pondasi yang meneruskan beban
struktur di atasnya ke tanah keras atau batuan yang terletak jauh dari permukaan. Contoh
pondasi dalam antara lain pondasi tiang dan pondasi sumuran.

29
Pemilihan jenis pondasi bergantung pada beban yang akan didukung, kondisi tanah
dasar, dan biaya pembuatan pondasi yang dibandingkan terhadap biaya struktur atas.
Pondasi dalam digunakan pada bangunan struktur tinggi dan pada struktur yang tanah
kerasnya terletak pada kedalaman yang sangat dalam. Pondasi dangkal biasanya
digunakan pada bangunan tinggal sederhana, bangunan dengan kolom yang berjarak
sangat dekat, dan untuk bangunan yang terletak pada tanah lunak.
Beberapa definisi yang perlu diketahui dalam perancangan pondasi antara lain :
a. Tekanan overburden total p adalah intensitas tekanan total yang terdiri dari
berat material di atas dasar pondasi total yaitu berat tanah dan air sebelum
pondasi dibangun.
b. Daya dukung ultimit neto qun adalah nilai intensitas beban pondasi saat tanah
akan mengalami keruntuhan geser.
c. Tekanan pondasi total q adalah intensitas tekanan total pada tanah di dasar
pondasi. Beban ini termasuk berat pondasi, berat struktur atas, berat tanah
urugan dan berat air di atas dasar pondasi.
d. Tekanan pondasi neto qn adalah tambahan tekanan pada dasar pondasi akibat
beban hidup dan mati dari strukturnya.
e. Daya dukung batas qu adalah tekanan pondasi maksimum yang dapat
dibebankan pada tanah.
f. Faktor keamanan SF diperoleh dari hasil pembagian nilai daya dukung ultimit
neto dengan tekanan pondasi neto.
g. Daya dukung aman qs didefinisikan tekanan pondasi total ke dalam tanah
maksimum yang tidak mengakibatkan resiko keruntuhan daya dukung.

30
Perencanaan pondasi sangat memperhatikan faktor kapasitas dukung tanah.
Kurangnya daya dukung pada pondasi dapat menyebabkan keruntuhan pondasi.
Berdasarkan hasil uji model, Vesic (1963) membagi mekanisme keruntuhan pondasi
menjadi tiga macam, yaitu:
a. Keruntuhan geser umum
Keruntuhan geser umum merupakan keruntuhan pondasi yang terjadi menurut
bidang runtuh yang dapat diidentifikasi dengan jelas karena bidang longsor, berupa
lengkung dan garis lurus, yang terbentuk berkembang hingga mencapai permukaan
tanah. Keruntuhan ini terjadi dalam waktu yang relatif mendadak yang kemudian
diikuti dengan penggulingan pondasi.

Gambar 2.7. Keruntuhan Geser Umum


(Sumber : Braja M. Das, 2005)

b. Keruntuhan geser lokal


Tipe keruntuhannya hampir sama dengan keruntuhan geser umum. Akan tetapi
bidang runtuh yang terbentuk tidak berkembang sehingga tidak mencapai
permukaan tanah. Pada keruntuhan geser lokal ini terjadi sedikit penggembungan
tanah di sekitar pondasi tetapi tidak sampai terjadi penggulingan pondasi.

31

Gambar 2.8. Keruntuhan Geser Lokal


(Sumber : Braja M. Das, 2005)

c. Keruntuhan penetrasi
Keruntuhan penetrasi merupakan kondisi dimana pondasi hanya menembus
dan menekan tanah ke samping yang menyebabkan pemampatan tanah di dekat
pondasi. Penurunan pondasi bertambah secara linier dengan penambahan
bebannya. Penurunan yang terjadi tidak menghasilkan cukup getaran arah lateral
yang menuju kedudukan kritis keruntuhan tanah sehingga kuat geser ultimit tanah
tidak dapat berkembang. Pada saat terjadi keruntuhan, bidang runtuh tidak terlihat
sama sekali.
Langkah pertama dalam perancangan pondasi adalah menghitung jumlah beban
efektif yang akan ditransfer ke tanah di bawah pondasi. Selanjutnya menentukan nilai
daya dukung izin qa. Luas dasar pondasi dapat diketahui dengan membagi jumlah beban
efektif dengan daya dukung izin. Berdasarkan pada tekanan yang terjadi pada dasar
pondasi dilakukan perancangan struktural pondasi yaitu dengan menghitung momenmomen lentur dan gaya-gaya geser yang terjadi pada pelat pondasi.
Perancangan pondasi harus mempertimbangkan adanya keruntuhan geser dan
penurunan yang berlebihan, oleh karena itu kriteria stabilitas dan kriteria penurunan

32
harus dipenuhi. Dalam perencanaan pondasi dangkal perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut.

Faktor keamanan terhadap keruntuhan akibat terlampauinya kapasitas dukung


tanah harus dipenuhi.

Penurunan pondasi harus berada dalam batas-batas nilai yang ditoleransikan.


Untuk penurunan yang tidak seragam, tidak boleh terjadi kerusakan pada
struktur.
Untuk memenuhi stabilitas jangka panjang, perletakan dasar pondasi perlu

diperhatikan. Pondasi harus diletakkan pada kedalaman yang cukup untuk


menanggulangi resiko erosi permukaan, gerusan, kembang susut tanah dan gangguan
lainnya pada tanah di sekitar pondasi. Keterangan umum mengenai beberapa jenis
pondasi dangkal akan dijelaskan berikut ini.

2.2.1. Pondasi memanjang

Pondasi memanjang digunakan untuk mendukung beban segaris seperti dinding


memanjang. Perancangan pondasi memanjang menganggap beban dinding sebagai
beban garis per satuan panjang. Perancangan struktur pondasi didasarkan pada momenmomen dan tegangan geser yang terjadi akibat tekanan sentuh antara dasar pondasi dan
tanah. Oleh karena itu besar distribusi tekanan sentuh pada dasar pondasi harus
diketahui. Dalam analisa perancangan dapat diasumsikan bahwa pondasi sangat kaku
dan tekanan pondasi didistribusikan secara linier pada dasar pondasi. Apabila resultan
beban berhimpit dengan pusat berat luasan pondasi maka tekanan pada dasar pondasi
dapat dianggap disebarkan merata ke seluruh luasan pondasi.

33
2.2.2. Pondasi telapak

Berdasarkan bentuknya, pondasi telapak terbagi lagi atas tiga jenis pondasi yaitu
pondasi telapak terpisah, telapak gabungan dan telapak kantilever.
a . Pondasi telapak terpisah
Pondasi telapak terpisah umumnya digunakan untuk mendukung sebuah
kolom. Perancangan pondasi telapak terpisah menganggap beban kolom sebagai
beban titik. Secara umum perhitungan perancangan struktural pondasi telapak
terpisah sama dengan perhitungan perancangan struktural pondasi secara umum.
b. Pondasi telapak gabungan
Pondasi telapak gabungan digunakan apabila terdapat dua atau lebih kolom
berdekatan. Pondasi ini menggabungkan kolom-kolom tersebut sehingga menjadi
satu pondasi tunggal. Pondasi ini juga digunakan untuk mendukung beban-beban
struktur yang tidak begitu besar dengan kondisi tanah yang mudah dimampatkan.
Perancangan pondasi telapak gabungan dilakukan dengan asumsi bahwa pelat
pondasi maupun pondasi sangat kaku sehingga pelengkungan pondasi tidak
mempengaruhi penyebaran tekanan. Asumsi lainnya adalah distribusi tekanan
sentuh pada dasar pondasi disebarkan secara linier.
c. Pondasi telapak kantilever
Pondasi telapak kantilever merupakan dua atau lebih pondasi telapak yang
digabungkan oleh suatu balok. Pondasi telapak kantilever digunakan untuk
menyeragamkan distribusi tekanan pada dasar pondasi. Penentuan daya dukung
izin pada pondasi ini sama dengan penentuan daya dukung izin pondasi secara
umum.

34
Dalam perancangan, hasil akhir tekanan pada dasar pondasi kolom harus lebih
kecil daripada daya dukung izin qa. Setelah memperoleh tekanan pada dasar pondasi
dapat dihitung besarnya momen dan gaya lintang yang terjadi pada balok ikat dan
telapak pondasinya. Setelah itu dapat dilakukan perhitungan penulangan beton.

2.3. Geotextile

Geotextile merupakan bagian dari material geosintetik yang berbentuk lembaran

dan mempunyai sifat yang permeabel (tembus air). Geosintetik adalah suatu produk
yang dibentuk oleh bahan polimer dan penggunaannya terkait dengan tanah, batuan, dan
rekayasa geoteknik lainnya sebagai bagian dari proyek konstruksi. Jenis geosintetik ada
bermacam-macam yaitu:

Geotextile

Geopipe

Geogrid

Geofoam

Geonet

Geosynthetic Clay Linier

Geomembrane

Geocomposite

Geo-others

Geotextile (dalam Bahasa Indonesia Geotekstil) memiliki ketahanan terhadap daya

tarik yang relatif cukup tinggi sehingga dapat diaplikasikan antara lain sebagai bahan
lapis perkuatan, lapis filtrasi, lapis separasi dan lapis proteksi. Secara umum ada enam
fungsi utama geotekstil yang dapat bekerja sendiri-sendiri ataupun secara bersamaan,
yaitu:
1. Separasi, yaitu untuk memisahkan dua jenis material/agregat yang berbeda
karakteristik dan ukuran.

35
2. Perkuatan; Penggunaan material geotekstil yang mempunyai properti kuat tarik
yang baik dapat digunakan untuk menstabilkan konstruksi dengan bahan tanah.
Geotekstil akan mengambil alih gaya tarik yang harus dipikul oleh tanah.
3. Filtrasi; Fungsi ini memungkinkan mobilisasi air/cairan pada arah tegak lurus
bidang geotekstil dan pada saat bersamaan menahan butiran tanah.
4. Drainasi, yaitu fungsi geotekstil sebagai sarana untuk mengalirkan air searah
bidang geotekstil.
5. Proteksi, dimana geotekstil digunakan untuk melindungi material atau lapisan
dari kerusakan akibat tusukan benda-benda tajam.
6. Lapis kedap air; fungsi ini berlaku apabila geotekstil dikombinasikan dengan
cairan bitumen atau semen karena geotekstil merupakan material yang porous.
Geotekstil diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu:
a. Geotekstil woven

Geotekstil woven merupakan geotekstil yang berbentuk anyaman. Yang


termasuk dalam geotekstil woven adalah slit filament, mono filament dan multi
filament.
b. Geotekstil non woven

Sebaliknya dari geotekstil woven, geotekstil non woven tidak berbentuk


anyaman. Beberapa jenis geotekstil non woven dibedakan dari panjang serat
pembentuk dan cara penyatuan serat-serat pembentuk tersebut. Berdasarkan
panjang serat pembentuk dikenal jenis continuous filament dan staple fiber
Berdasarkan cara penyatuannya, geotekstil non woven dibedakan menjadi needle
punch dan heat bonded.

36
2.3.1. Aplikasi Geotekstil Sebagai Lapis Perkuatan

Geotekstil sebagai lapis perkuatan dapat digunakan untuk meningkatkan daya


dukung tanah. Prinsip kerja geotekstil sebagai lapis perkuatan adalah dengan memikul
beban tarik yang terjadi pada lapisan tanah atau material yang mempunyai ketahanan
yang baik terhadap gaya tekan akan tetapi lemah menahan gaya tarik. Gambar 2.9.
berikut menjelaskan bagaimana geotekstil digunakan sebagai lapis perkuatan.

Gambar 2.9. Lapis Perkuatan dengan Geotekstil Memotong Garis Keruntuhan


Tiga mekanisme perkuatan geotekstil yaitu:

Tipe Membran
Perkuatan membran terjadi pada saat terdapat gaya vertikal yang bekerja
pada geotekstil yang diletakkan pada lapisan tanah yang deformable.
Berdasarkan posisi diletakkannya geotekstil dari aplikasi beban kerja,
ditetapkan bahwa:

h =

(1 2 ) cos 2
2
3
3
sin

cos

1 + cos
2 z 2
P

(2.28)

37

dimana:

h = Tegangan horisontal pada kedalaman z dan sudut


P = Gaya vertikal yang terjadi
z

= kedalaman di bawah permukaan dimana h dihitung

= Poisson ratio

= sudut vertikal dari bawah tekanan permukaan P

Tipe Geser
Perkuatan geser dapat digambarkan melalui percobaan triaxial akan tetapi
lebih jelas melalui uji direct shear. Geotekstil ditempatkan pada tanah yang
diberi beban pada arah yang normal, kemudian dua material digeserkan pada
interface-nya. Parameter geotekstil terhadap kuat geser tanah yang dihasilkan

(adhesi dan sudut gesek) dapat diperoleh melalui rumus kriteria keruntuhan
Mohr-Coulomb berikut.

= c a + ' n tan

(2.29)

dengan:

= Kuat geser (antara geotekstil dengan tanah)


n = Tegangan efektif normal pada bidang geser
ca = adhesi (antara geotekstil dengan tanah)

= sudut gesek (antara geotekstil dengan tanah)

Parameter kuat geser ca dan dapat dibandingkan dengan parameter kuat


geser tanah secara umum sebagai berikut.

= c + ' n tan

(2.30)

38
dengan:
c

= kohesi (antara tanah dengan tanah)

= sudut gesek (antara tanah dengan tanah)

Tipe Pengangkuran/Penjangkaran
Tipe ini menyerupai tipe geser hanya pada tipe ini tanah diaplikasikan pada
kedua sisi horisontal geotekstil sehingga terjadi kecenderungan gaya tarik
yang menarik geotekstil keluar dari tanah. Kondisi perkuatan ini menyerupai
percobaan direct shear kecuali tanah di kedua sisi geotekstil bergerak pada
kedua bagian alat penguji dan geotekstil ditarik keluar dari alat penguji. Tipe
pengangkuran ini juga memberikan gambaran mengenai efisiensi fungsi
kekuatan geotekstil yang bergerak.

Dengan pertimbangan bahwa beberapa lapis geotekstil dan/atau geotekstil


dengan kekuatan yang tinggi dapat memperkuat dinding fleksibel, lereng dan pondasi,
dapat dikatakan bahwa tanah di bawah dinding kaku, perletakan/tumpuan, dermaga dan
lain-lain yang memiliki daya dukung rendah dapat pula menjadi sasaran dalam
peningkatan kinerja dengan pengaplikasian geotekstil. Binquet dan Lee (1985)
melakukan percobaan untuk meningkatkan daya dukung pasir yang telah dikompres
menggunakan batangan logam. Mereka menemukan bahwa peningkatan tertentu yang
kemudian dibuktikan melalui analisa ekonomi yang menunjukkan penghematan biaya.
Akan tetapi ketika korosi dipertimbangkan, tidak ada lagi keuntungan secara ekonomi.
Dengan menggunakan geotekstil yang tidak akan berkarat sebagai lapis perkuatan,
masalah korosi/karatan dapat dihilangkan dan memenuhi kebutuhan penelitian dalam
mengukur peningkatan yang mungkin terjadi.

39
Beberapa penelitian untuk melihat bagaimana geotekstil sebagai lapis perkuatan
dapat meningkatkan daya dukung dan perkuatan dasar. Penelitian laboratorium yang
dilakukan oleh Guido (1985) menggunakan beberapa lapis geotekstil dalam pasir yang
tidak dipadatkan menghasilkan bahwa beberapa lapis geotekstil (di atas tiga lapis)
memberikan hasil yang menguntungkan setelah terjadi penurunan tertentu. Penelitian ini
menggunakan geotekstil heat bonded non woven dan diberikan variasi sejumlah
parameter, termasuk jarak ke geotekstil yang berada di posisi teratas, jarak antar lapisan
dan perpanjangan geotekstil ke arah luar diukur dari salah satu sudut pondasi. Hasil ini
diperlihatkan melalui gambar 2.10(a).
Riset yang dilakukan oleh Geosynthetic Research Institute (GRI) pada tanah
lunak yang bergradasi baik dan terkompres pada kondisi jenuh di atas batas
plastisitasnya menghasilkan hasil yang menyerupai percobaan Guido dimana percobaan
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pada tekanan dukung pada kondisi deformasi
tanah yang besar. GRI menggunakan geotekstil woven-slit film. Hasil ini diplot pada
kurva pada gambar 2.10 (b). Dari kedua percobaan di atas dapat dilihat bahwa metode
prategang geotekstil dapat menjadi keuntungan sama halnya untuk menghilangkan
deformasi yang dibutuhkan untuk menciptakan peningkatan yang signifikan. Sebagai
pengganti prategang geotekstil, perencanaan dalam penggunaan geotekstil sebagai lapis
perkuatan harus mempertimbangkan bahwa peningkatan daya dukung hanya terjadi
setelah penurunan yang relatif besar.

40

Gambar 2.10. Hasil Percobaan Laboratorium yang Menunjukkan Kenaikan


Daya Dukung Dengan Beberapa Lapis Geotekstil
(a) Percobaan oleh Guido (b) Percobaan oleh GRI
(Sumber : Robert M. Koerner, 2005)

Di dalam perancangan, empat jenis keruntuhan yang ditunjukkan pula secara


skematis berikut harus dipertimbangkan:
1.

Keruntuhan daya dukung di atas lapisan geotekstil paling atas; Hal ini mungkin
dapat dihindari apabila jarak lapisan teratas geotekstil berkisar antara 300 mm dari
permukaan tanah.

Gambar 2.11. Keruntuhan Daya Dukung di Atas Lapisan Geotekstil Pertama


(Sumber : Robert M. Koerner, 2005)

41
2.

Geotekstil yang tertarik keluar dari tanah karena kurangnya panjang penjangkaran
yang tertanam. Kasus ini dapat dihindari jika panjang penjangkaran melebihi zona
keruntuhan aktif.

Gambar 2.12. Geotekstil Tertarik Keluar Dari Tanah


(Sumber : Robert M. Koerner, 2005)

3.

Keruntuhan yang menyebabkan rusak/putusnya geotekstil, yang merupakan


elemen utama yang diperhatikan dalam perancangan.

Gambar 2.13. Keruntuhan yang Menyebabkan Rusak/Putusnya Geotekstil


(Sumber : Robert M. Koerner, 2005)

4.

Deformasi jangka panjang yang berkelanjutan (rangkak) yang berhubungan dengan


beban permukaan yang menahan dan relaksasi tegangan geotekstil, yang dapat
dihindari apabila digunakan geotekstil dengan tegangan ijin yang cukup rendah.

42

Gambar 2.14. Deformasi Jangka Panjang yang Berkelanjutan (Rangkak)


(Sumber : Robert M. Koerner, 2005)

Sakti dan Das (1987) melakukan beberapa percobaan untuk melihat pengaruh
pemasangan geotekstil untuk meningkatkan daya dukung. Geotekstil yang digunakan
mempunyai kuat tarik batas 534 N dan merupakan jenis heat bonded non woven yang
dipasang berlapis-lapis. Geotekstil tersebut dipasang untuk meningkatkan daya dukung
pondasi memanjang dengan beban yang bervariasi yang diletakkan pada tanah lempung
yang jenuh. Berdasarkan percobaan tersebut, Sakti dan Das menyimpulkan bahwa:

Dampak yang menguntungkan dari perkuatan geotekstil baru ditemukan


ketika perkuatan dipasang pada jarak yang sama dengan lebar pondasi.

Lapisan pertama perkuatan geotekstil harus diletakkan pada jarak d = 0,35 B


(B = lebar pondasi) untuk memperoleh hasil yang maksimum.

Nilai L0/B yang paling ekonomis adalah sekitar 2 (L0 adalah jarak dari titik
tengah pondasi ke ujung batas perkuatan geotekstil).

2.4. Metode Elemen Hingga

Metode elemen hingga menggunakan prinsip diskretisasi atau pembagian suatu


kontinum, dimana kontinum tersebut dapat berupa sistem struktur, massa atau benda
padat lain yang akan dianalisa, menjadi suatu elemen yang lebih kecil sehingga

43
mempermudah analisa. Pembagian tersebut memungkinkan sistem yang memiliki
derajat kebebasan tak terhingga dapat didekati menjadi suatu sistem yang memiliki
derajat kebebasan berhingga. Semakin kecil elemen terbagi yang digunakan dalam
analisa maka semakin akurat hasil yang diperoleh melalui analisa tersebut, selama
elemen kecil ini tidak mengalami putus di suatu tempat.
Dalam metode elemen hingga, wilayah model didiskretisasi menjadi elemenelemen, baik dengan jarak teratur maupun yang tidak teratur. Dalam diskretisasi, benda
dibagi menjadi beberapa elemen dengan bentuk yang teratur pada bagian dalam. Jenis
elemen yang akan digunakan tergantung pada karakteristik rangkaian kesatuan dan
idealisasi. Sebagai contoh, jika suatu struktur diidealisasi sebagai suatu garis satu
dimensi, elemen yang digunakan adalah suatu elemen garis. Untuk benda dua dimensi,
digunakan jenis elemen segitiga dengan tiga atau enam titik nodal atau segiempat
dengan empat atau lebih titik nodal dan untuk obyek idealisasi tiga dimensi digunakan
jenis elemen segienam (heksahedron) dengan kekhususan yang berbeda. Secara umum
bentuk aplikasi dari elemen tersebut dapat dilihat pada gambar 2.16.

Gambar 2.15. Aplikasi Elemen Segitiga dan Elemen Segiempat


(Sumber : C.S. Desai, 1988)

44
Untuk benda dengan batas tidak teratur, dapat dibuatkan suatu provisi khusus
yang mendekati suatu batas teratur dalam garis lurus. Dalam beberapa persoalan,
dibutuhkan fungsi matematis dengan orde secukupnya untuk mendeteksi batas yang ada.
Contohnya jika bentuk batas serupa kurva parabola maka fungsi kuadratis orde dua
dapat digunakan untuk mendekati batas tersebut.

Gambar 2.16. Diskritisasi untuk Batas Tak Teratur


(Sumber : C.S. Desai, 1988)

2.4.1. Sistem Koordinat

Untuk menentukan lokasi titik nodal pada elemen diperlukan suatu sistem
koordinat yang terdiri dari koordinat global (x, y) dan koordinat lokal (s, t).

2.4.2. Fungsi Bentuk (Shape Function)

Sistem koordinat global dan lokal dapat dihubungkan dengan suatu fungsi yang
dikenal sebagai fungsi bentuk (shape function). Fungsi bentuk bernilai satu (1) pada titik
nodal yang ditinjau dan bernilai nol (0) pada titik lainnya. Fungsi bentuk diturunkan

45
dalam sistem koordinat lokal sehingga titik (x, y) dalam koordinat global dapat
diselesaikan apabila titik nodal dalam koordinat lokal (s, t) diketahui.
Koordinat x dan y dalam elemen dapat dihubungkan dengan koordinat lokal
menggunakan hubungan sebagai berikut.
x = [N ]{X }

(2.28)

y = [N ]{Y }

(2.29)

dimana:
[N]

= Fungsi Bentuk

{X}, {Y} = Koordinat global x-y dari titik nodal


Fungsi bentuk dari elemen segiempat dengan empat titik nodal adalah sebagai berikut.
N1 =

1
(1 s )(1 t )
4

(2.30)

N2 =

1
(1 + s )(1 t )
4

(2.31)

N3 =

1
(1 + s )(1 + t )
4

(2.32)

N4 =

1
(1 s )(1 + t )
4

(2.33)

Sedangkan fungsi bentuk untuk elemen segitiga dengan tiga titik nodal adalah sebagai
berikut.
N1 = 1 s t
N2 = s
N3 = t

(2.34)

46
2.4.3. Syarat Batas (Boundary Condition)

Syarat batas merupakan batasan atau penyangga fisik yang membatasi struktur
sehingga sistem tersebut dapat berdiri sendiri dalam suatu ruang. Syarat-syarat ini
umumnya diperinci dan dinyatakan sebagai nilai-nilai yang diketahui dari besaranbesaran yang tidak diketahui pada suatu bagian permukaan atau batas S1 dan atau
gradien atau turunan dari besaran yang tidak diketahui pada S2 (Gambar 2.19). Syarat
batas ini harus ditetapkan untuk menghindari matriks singular sehingga perhitungan
dapat dilakukan dan besaran-besaran yang dicari dapat dihitung dan diselesaikan.

[K ]{ r} = { R }

(a)

[K]{r} = {R}

S2

S1

Batasan

(b)
Gambar 2.17. Syarat Batas atau Batasan
(a) Benda tanpa batasan (b) Benda dengan batasan
(Sumber : C.S. Desai, 1988)

47
Syarat batas secara umum dibedakan menjadi:
a.

Syarat batas paksa atau syarat batas geometri (forced on geometric boundary
condition); Merupakan syarat batas yang dinyatakan oleh besarnya peralihan.

b.

Syarat batas alamiah (natural boundary condition); terjadi jika turunan kedua
dari peralihan adalah nol.

Untuk menggambarkan syarat batas dalam pendekatan metode elemen hingga perlu
dilakukan modifikasi pada sistem persamaan yang telah diperoleh. Persamaan gabungan
yang telah dimodifikasi dapat dinyatakan sebagai berikut.
[K]{r}={R}

(2.35)

dimana matriks-matriks tersebut merupakan persamaan yang telah dimodifikasi dengan


syarat batas. Persamaan 2.36. merupakan sekumpulan persamaan aljabar simultan linier
(atau non linier) yang dapat dituliskan dalam bentuk baku dan umum sebagai berikut.
K 11 r1 + K 12 r2 + ... + K 1n rn = R1
K 21 r1 + K 22 r2 + ... + K 2 n rn = R2

(2.36)

...
K n1 r1 + K n 2 r2 + ... + K nn rn = Rn

2.4.4. Penyelesaian Persamaan Elemen Hingga

Dasar dari penyelesaian persamaan elemen hingga adalah dengan menggunakan


hubungan antara regangan, perpindahan dan tegangan dari tiap titik serta faktor bentuk
dari setiap elemen.
Hubungan antara matriks regangan dan perpindahan adalah:

48

{ } = [ B]

(2.37)

dimana:
{}

= Vektor regangan

[B]

= Matriks regangan

u

v

x

y

z
xy

N 1
x

0
N 1

0
N 1
y
0
N 1
y

...

N 8
x

... 0
... 0
N 8
...
x

N 8

y ; Kondisi Plane Strain


0
N 8

= Perpindahan titik nodal arah x dan y

Hubungan antara tegangan dan regangan adalah sebagai berikut.

{ } = [C ]{ }

(2.38)

dimana:
[C]

= Matriks Konstitutif (properti material)

1

E

(1 + )(1 2 )

= Modulus Young

= Poisson ratio

0
0
1 2
2
0

49
2.5. Program Plaxis

Program Plaxis adalah suatu program khusus yang dikembangkan oleh


Departemen Pekerjaan Umum dan Pengendalian Air Negara Belanda pada tahun 1987
untuk mempermudah insinyur dalam analisa tanggul sungai pada tanah lunak dengan
menggunakan metode elemen hingga. Pada awal pembuatan program ini, elemen hingga
harus ditentukan dan dimodelkan secara manual.
Program Plaxis dimaksudkan sebagai alat bantu para insinyur geoteknik dalam
mengerjakan perhitungan manual menggunakan metode elemen hingga yang rumit dan
membutuhkan waktu yang lama. Program Plaxis dapat digunakan antara lain dalam
analisa kestabilan konstruksi, deformasi, dan perhitungan faktor keamanan.
Prosedur input program Plaxis secara grafik yang sederhana memungkinkan
generasi yang lebih cepat dari metode elemen hingga yang rumit. Peningkatan fasilitas
output program memberikan gambaran yang lebih terperinci dari hasil perhitungan.
Proses kalkulasinya sendiri berjalan secara otomatis dan berdasarkan pada prosedur
numerikal yang mantap. Konsep ini memungkinkan program ini digunakan oleh pemula
setelah melalui pelatihan selama beberapa jam.

2.5.1. Material Data Geogrid atau Geotekstil Dalam Program Plaxis

Properti yang tersedia pada program Plaxis untuk input data geogrid atau
geotekstil adalah properti kekakuan elastis aksial, EA, dengan satuan unit kN/m.
Kekakuan elastis aksial merupakan rasio dari kekuatan aksial per unit lebar dan
tegangan aksial. Nilai kekakuan elastis aksial tersebut biasanya disediakan oleh pembuat
geogrid atau geotekstil dan dapat pula ditetapkan melalui suatu diagram dimana elongasi

50
geogrid/geotekstil diplot berbanding dengan beban yang diaplikasikan membujur pada
geogrid/geotekstil tersebut.
EA =

F
l
l

(2.39)

También podría gustarte