Está en la página 1de 6

Tinjauan Pustaka

Reaksi Hemolitik Akibat Transfusi

Rizky Adriansyah, Selvi Nafianty, Nelly Rosdiana, Bidasari Lubis


Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran.
Universitas Sumatera Utara, Medan

Abstrak: Reaksi hemolitik akibat transfusi merupakan salah satu akibat transfusi yang sering
terjadi. Reaksi ini harus dibedakan secara klinis dan laboratoris dengan reaksi transfusi yang
lain serta reaksi hemolitik karena penyebab yang lain. Secara umum ada dua kelompok reaksi
hemolitik akibat transfusi yaitu reaksi hemolitik yang disebabkan proses imun dan non imun.
Reaksi hemolitik yang disebabkan proses imun terdiri dari reaksi hemolitik akut dan reaksi
hemolitik lambat. Sedangkan reaksi hemolitik lain yang dapat terjadi selama atau setelah
transfusi lebih dikenal sebagai reaksi pseudo-hemolitik. Pemberian transfusi pada anemia
hemolitik masih menjadi perdebatan di kalangan ahli. Pada pasien dengan penyakit kritis,
keadaan anemia yang berat harus segera diatasi dengan tindakan transfusi. Namun apabila
anemia yang terjadi disebabkan proses hemolitik, maka transfusi merupakan tindakan yang
kontroversial. Tatalaksana reaksi hemolitik akut akibat transfusi adalah menghentikan segera
tindakan transfusi dan melakukan hidrasi. Terapi suportif yang harus tetap dilakukan adalah
pemantauan tanda vital seperti jalan napas, tekanan darah, frekuensi jantung, dan jumlah urin.
Tatalaksana reaksi hemolitik lambat akibat transfusi adalah menghentikan transfusi atau
memberikan transfusi dengan mengganti jenis darah yang lain. Sedangkan pada reaksi pseudohemolitik, tatalaksana berdasarkan penyebab.
Kata Kunci: reaksi hemolitik, transfusi, anemia, tatalaksana.

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 8, Agustus 2009

387

Reaksi Hemolitik Akibat Transfusi

Transfusion-derived Hemolytic Reaction


Rizky Adriansyah, Selvi Nafianty, Nelly Rosdiana, Bidasari Lubis
Department of Child Health, University of South Sumatera, Medan

Abstract: Hemolytic reaction due to transfusion is one of the most occuring adverse effect of a
transfusion. Such reaction must be differentiated clinically and laboratorically with other transfusion reaction and hemolytic reaction due to other causes. Generally, there are two groups of
hemolytic reaction due to tranfusion: hemolytic reaction because of immunological and nonimmunological processes. Hemolytic reaction due to immunological process comprises of acute
hemolytic reaction and delayed hemolytic reaction. Meanwhile, other hemolytic reaction that may
occur during or after transfusion are known as pseudo-hemolytic reaction. Transfusion for
patient with hemolytic anemia is still a controversy even for the experts. In patient with critical
disease, severe anemia must be immediately overcome with a transfusion. However, when anemia
occurs due to hemolytic process, then transfusion become controversial. Management of transfusion-derived acute hemolytic reaction is to immediately stop tranfusion and start hidration.
Supportive therapy that must continually be performed is observation of vital signs such as
airway, blood pressure, heart rate, and volume of urine. Managment of delayed hemolytic reaction due to transfusion is to stop transfusion or replace with other type of blood. On the other hand,
for pseudo-hemolytic reaction, management is depending on etiology.
Keywords: hemolytic reaction, transfusion, anemia, management

Pendahuluan
Transfusi merupakan proses transplantasi paling
sederhana, yaitu pemindahan darah dari donor ke resipien.
Transfusi hanya dilakukan atas dasar indikasi dan urgensi.1
Jika dilakukan secara tidak tepat dan tidak rasional, dapat
menimbulkan berbagai akibat yang fatal. Salah satu akibat
transfusi yang dapat terjadi adalah reaksi hemolitik.2,3
Insidens reaksi hemolitik akibat transfusi diperkirakan 1 : 70
000 unit kantong darah.4
Secara umum ada dua kelompok reaksi hemolitik akibat
transfusi yaitu reaksi hemolitik yang disebabkan proses imun
(immune mediated hemolysis) dan non-imun (non-immune
mediated hemolysis). Reaksi hemolitik yang disebabkan oleh
proses imun terdiri dari reaksi hemolitik akut (acute hemolytic
transfusion reaction, AHTR) dan reaksi hemolitik lambat (delayed hemolytic transfusion reaction, DHTR), sedangkan
reaksi hemolitik lain yang dapat terjadi selama atau setelah
transfusi lebih dikenal sebagai reaksi pseudo-hemolitik
(pseudo-hemolytic transfusion reaction).4
Rerata normal masa hidup eritrosit (mean red cell life,
MRCL) adalah 110 sampai 120 hari. Jika suatu penyakit atau
keadaan tertentu menghancurkan eritrosit sebelum waktunya,
maka sumsum tulang akan berusaha menggantinya dengan
mempercepat pembentukan retikulosit sampai sepuluh kali
kecepatan normal. Namun jika penghancuran eritrosit telah
melebihi usaha pembentukannya dan MRCL menurun
menjadi 15 hari atau kurang, maka akan terjadi anemia

388

hemolitik.5,6
Pemberian transfusi pada anemia hemolitik masih
menjadi perdebatan di kalangan ahli. Pada pasien dengan
penyakit kritis, keadaan anemia yang berat harus segera
diatasi dengan tindakan transfusi. Namun apabila anemia
yang terjadi disebabkan proses hemolitik, maka transfusi
merupakan tindakan yang kontroversial.7,8 Paul E. Marik, et
al. menyatakan bahwa transfusi pada anak yang dirawat di
Pediatric Intensive Care Unit (PICU), dengan riwayat
trauma atau pembedahan akan meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas.8
Reaksi Hemolitik Akut Akibat Transfusi
Pada kasus kegawatdaruratan di bidang hematologi,
AHTR merupakan masalah yang sangat serius karena terjadi
destruksi eritrosit donor yang sangat cepat (kurang dari 24
jam). Pada umumnya AHTR disebabkan oleh kesalahan dalam
identifikasi sampel darah resipien atau dalam pencocokan
sampel darah resipien dan donor (crossmatch). Sebagian
besar terjadi pada saat transfusi whole blood (WB) atau
packed red cell (PRC) dan jarang terjadi pada transfusi fresh
frozen plasma (FFP), trombosit, imunoglobulin, dan faktor
VIII nonrekombinan. Angka kejadian diperkirakan 1 : 250 000
- 600 000.2-4
Umumnya proses hemolitik terjadi di dalam pembuluh
darah (intravaskular), yaitu sebagai reaksi hipersensitivitas
tipe II. Plasma donor yang mengandung eritrosit dapat

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 8, Agustus 2009

Reaksi Hemolitik Akibat Transfusi


merupakan antigen (major incompatability) yang
berinteraksi dengan antibodi pada resipien yang berupa
imunoglubulin M (IgM) anti-A, anti-B, atau terkadang
antirhesus. Proses hemolitik dibantu oleh reaksi komplemen
sampai terbentuknya C5b6789 (membrane attack complex).
Pada beberapa kasus juga dapat terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi dan eritrosit resipien sebagai antigen
(minor incompatability). Malah dapat terjadi interaksi
plasma donor sebagai antibodi dengan eritrosit donor sendiri
sebagai antigen (inter-donor incompatability) pada saat
diberikan kepada resipien, tetapi kasus seperti ini jarang
sekali.3,4
AHTR juga dapat melibatkan IgG dengan atau tanpa
melibatkan komplemen, dan proses ini dapat terjadi secara
ekstravaskular. Ikatan antigen-antibodi akan mengaktivasi
reseptor Fc dari sel sitotoksik atau sel K (large lymphocytes) yang menghasilkan perforin (antibody dependent
cellular cytotoxicity, ADCC) dan mengakibatkan lisis dari
eritrosit.4,9
Awal manifestasi klinis umumnya tidak spesifik, dapat
berupa demam menggigil, nyeri kepala, nyeri pada panggul,
sesak napas, hipotensi, hiperkalemia, dan urin berwarna
kemerahan atau keabuan (hemoglobinuria). Pada AHTR yang
terjadi di intravaskular dapat timbul komplikasi yang berat
berupa disseminated intravascular coagulation (DIC),
gagal ginjal akut (GGA), dan syok. Pada pasien yang masih
mendapat pengaruh obat-obat anestesi atau koma, DIC
merupakan petunjuk yang sangat penting untuk terjadinya
AHTR.3,4,9,10
Tata laksana
Jika terjadi AHTR, pemberian transfusi harus dihentikan
segera dan harus dilakukan hidrasi dengan cairan salin normal (3000 ml/m2/hari). Terapi suportif yang harus tetap
dilakukan adalah pemantauan tanda vital seperti jalan napas,
tekanan darah, frekuensi jantung, dan jumlah urin. Antihistamin (difenhidramin) dan kortikosteroid (prednisolon)
dapat diberikan untuk mengatasi gejala dan tanda klinis.
Kejadian AHTR harus dicatat dalam laporan pasien dan darah
yang tersisa harus dikembalikan ke unit transfusi darah (UTD)
untuk dilakukan investigasi serologis.2-4,10
Selain dilakukan hidrasi, untuk mencegah terjadinya
GGA dapat diberikan dopamin dosis rendah (1 sampai 5 mcg/
kg/menit) dan diuretik osmotik berupa manitol (100 ml/m2/
bolus dan selanjutnya 30 ml/m2/hari yang diberikan tiap 12
jam) atau furosemid (1 sampai 2 mg/kgBB). Jika dijumpai tanda
DIC maka transfusi FFP, kriopresipitat, dan/atau trombosit
dapat dipertimbangkan.3,4,10
Pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan
adalah melakukan crossmatch ulang. Prinsip dari crossmatch
ini adalah mencocokkan jenis darah antara resipien dan donor dengan melihat reaksi kompatabilitas yang ditimbulkannya. Pemeriksaan laboratorium yang lain adalah Direct
Antiglobulin Test (DAT), investigasi serologis (Rhesus,
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 8, Agustus 2009

Kidd, Kell, Duffy), hemoglobinemia pada plasma, dan hemoglobinuria pada analisis urin.3,10
Untuk mengetahui adanya komplikasi dari reaksi
hemolitik akibat transfusi sangat perlu dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal dan status koagulasi (prothrombin time,
partial thromboplastin time, dan fibrinogen). Konfirmasi
laboratorium bahwa telah terjadi reaksi hemolitik akut akibat
transfusi dapat dilakukan dengan pemeriksaan Lactate
Dehidrogenase (LDH), bilirubin, dan haptoglobin. Pemeriksaan kultur darah dan urin penting dilakukan jika dicurigai
sepsis.4,10
Reaksi Hemolitik Lambat Akibat Transfusi
Pada DHTR, reaksi hemolitik sering diketahui saat
dilakukan evaluasi tentang respons antibodi (Rhesus,Kell,
Duffy, Kidd, dan antibodi non-ABO lainnya) setelah terpapar
dengan antigen berupa eritrosit donor. Antibodi tidak dikenali
pada saat dilakukan crossmatch sebelum transfusi karena
interaksi antigen-antibodi merupakan respons imun sekunder
yang diketahui setelah 3 sampai 7 hari. Angka kejadiannya
diperkirakan 1 : 6 000 sampai 33 000.2-4,11
DHTR diawali dengan reaksi antigen-antibodi yang
terjadi di intravaskular, namun proses hemolitik terjadi secara
ekstravaskular. Plasma donor yang mengandung eritrosit
merupakan antigen (major incompatability) yang berinteraksi dengan IgG dan atau C3b pada resipien. Selanjutnya
eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b akan dihancurkan oleh
makrofag di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh antibodi (IgG1
atau IgG3) tanpa melibatkan komplemen, maka ikatan antigen-antibodi tersebut akan dibawa oleh sirkulasi darah dan
dihancurkan di limpa.4,9,10
Gejala dan tanda klinis DHTR timbul 3 sampai 21 hari
setelah transfusi berupa demam yang tidak begitu tinggi,
penurunan hematokrit, peningkatan kadar bilirubin tidak
terkonjugasi, ikterus prehepatik, dan dijumpainya sferositosis
pada apusan darah tepi. Beberapa kasus DHTR tidak
memperlihatkan gejala klinis, tetapi setelah beberapa hari
dapat dijumpai DAT yang positif. Haptoglobin yang menurun
dan dijumpainya hemoglobinuria dapat terjadi, tetapi jarang
terjadi GGA. Kematian sangat jarang terjadi, tetapi pada
pasien yang mengalami penyakit kritis, DHTR akan
memperburuk kondisi penyakit.4,7,8,10
Tata Laksana
Jika tidak dijumpai reaksi hemolitik yang berat, tidak ada
pengobatan yang spesifik, dan dapat diberikan terapi suportif
untuk mengatasi gejala klinis. Pemberian transfusi dapat
dihentikan atau diganti dengan pengganti darah jenis lain.
Konfirmasi pemeriksaan laboratorium pada prinsipnya hampir
sama dengan reaksi hemolitik akut.4,9
Reaksi Pseudohemolitik Akibat Transfusi
Reaksi pseudo-hemolitik akibat transfusi merupakan
reaksi hemolitik lain yang terjadi pada darah donor selama
389

Reaksi Hemolitik Akibat Transfusi


atau setelah transfusi diberikan, yang bukan merupakan reaksi
transfusi. Gejala dan tanda klinis hampir sama dengan reaksi
hemolitik akibat reaksi transfusi. Reaksi pseudohemolitik
dapat berhubungan dengan proses imun maupun non-imun.
Pada reaksi pseudohemolitik akibat transfusi dijumpai reaksi
yang compatible pada pemeriksaan crossmatch dan DAT
yang negatif. 4,12
Beberapa reaksi pseudohemolitik akibat transfusi dapat
terjadi melalui beberapa mekanisme sebagai berikut:
Mekanisme Reaksi Pseudohemolitik12
- Transfusion of aged cells
- Thermal hemolysis (overheating, freezing)
- Osmotic hemolysis (inadequate deglicerolitation, administration with hypotonic solutions or drugs)
- Mechanical hemolysis (improper infusion devices, catheters, or needles)
- Bacterial/parasitic contamination
- Hemolysis due to congenital (G6PD deficiency, sickle
trait)
Trauma Suhu
Trauma ini terjadi oleh karena darah yang diberikan
terlalu panas atau masih terlalu dingin. Eritrosit tidak boleh
terpapar dengan temperatur melebihi 40oC karena suhu tinggi
dapat menyebabkan kerusakan membran eritrosit sehingga
mengubah viskositas, ketidakstabilan, perubahan bentuk dan
permeabilitas, serta gangguan osmotik. Eritrosit yang telah
pecah akibat panas akan dibersihkan dari sirkulasi oleh limpa.
Gejala dan tanda klinis mirip dengan AHTR. Standar darah
yang dapat diberikan adalah darah yang hangat (sekitar 38oC).
Metode yang dapat digunakan untuk menghangatkan darah
adalah pemanasan dengan microwaves atau fototerapi, atau
juga dapat digunakan air yang hangat.4,9
Paparan darah pada temperatur kurang dari 10oC per
menit tanpa cryoprotective agent (seperti gliserol) dapat
mengakibatkan trauma dehidrasi (dehydration injury) pada
pasien. Namun, temperatur lebih dari 10oC per menit akan
mengakibatkan kerusakan pada membran eritrosit oleh kristal
es. Pada temperatur yang terlalu dingin, reaksi hemolitik dapat
terjadi sebelum dilakukan transfusi, dan ini dapat dideteksi
dari perubahan warna pada isi kantong darah.4,9
Trauma Osmotik
Eritrosit sangat sensitif terhadap perubahan tekanan
osmotik yang dapat mengakibatkan proses hemolitik secara
cepat. Degliserolisasi eritrosit (degliserolized red blood cell)
yang tidak adekuat dapat mengakibatkan hemolitik karena
tekanan osmotik yang lebih rendah (hypotonic solutions)
di intravaskular pada saat transfusi. Gejala dan tanda klinis
mirip dengan AHTR. Untuk mencegah hal ini, cairan harus
tetap isotonis. Setiap kantong darah yang berisi eritrosit,
harus mengandung cairan salin normal, ABO-compatible
plasma, dan albumin 5%.4,9
390

Eritrosit tidak dapat dicampur dengan obat-obatan dan


beberapa cairan hipotonis seperti dekstrosa 5%, dekstrosa
5% dalam salin normal 0,225%, dan dekstrosa 5% dalam
salin normal 0,45%. Ringer laktat juga tidak dapat ditambahkan
pada eritrosit sebab kalsium yang dijumpai pada cairan ini
akan bereaksi dengan senyawa sitrat yang merupakan
antikoagulan dan dapat mengakibatkan bekuan darah di
dalam kantong darah. Oleh karena itu pemberian cairan
sebelum dilakukan transfusi haruslah diperhatikan. Pemberian
cairan hipotonis dapat mengakibatkan reaksi hemolitik
intravaskular.4.9
Trauma Mekanik
Eritrosit dari donor dapat mengalami kerusakan selama
proses transfusi oleh karena trauma mekanik seperti saat
darah melewati jarum yang terlalu kecil, selang infus yang
terlipat, dan adanya penekanan mekanik. Reaksi hemolitik
juga dapat disebabkan oleh trauma mekanik pada pembuatan
katup jantung dalam operasi jantung, pada tindakan hemodialisis, dan pada plasmapheresis atau cytapheresis. Gejala
dan tanda klinis reaksi hemolitik akibat trauma mekanik mirip
dengan AHTR.13
Kontaminasi Mikroba
Sekitar 0,1- 0,3% darah terkontaminasi saat dikumpulkan
dari donor. Kondisi yang berbeda antara proses penyimpanan
dan proses transfusi serta kemampuan mikroorganisme untuk
dapat hidup pada kondisi tersebut merupakan faktor risiko
terjadinya reaksi hemolitik dan sepsis setelah transfusi.
Kejadian ini diperkirakan 1 dari 1,5 juta kasus pasien yang
mendapat transfusi. Walaupun pada kultur darah tidak dijumpai pertumbuhan bakteri, kontaminasi mikroba masih dapat
terjadi jika unit kantong darah mengandung partikel atau
bekuan darah, ada perubahan warna dan/atau ada udara.12,14
Pasien yang ditransfusi dengan darah yang terkontaminasi mikroba dapat menunjukkan gejala dan tanda AHTR,
seperti demam, menggigil, hipotensi, takikardia, dan hemoglobinuria. Meskipun kejadianny jarang, transfusi darah yang
terkontaminasi protozoa malaria dapat menunjukkan gejala
demam dalam beberapa hari sampai minggu seperti pada
DHTR. Jika dicurigai darah yang diberikan telah terkontaminasi mikroba saat diberikan, maka transfusi harus segera
dihentikan, dilakukan pemantauan kondisi klinis pasien,
evaluasi kantong darah yang terkontaminasi bakteri, dicatat,
dan diberitahukan kepada UTD.14
Anemia Hemolitik Kongenital
Eritrosit donor yang diberikan kepada penderita anemia
hemolitik kongenital, dapat mengalami reaksi hemolitik yang
mirip dengan AHTR atau DHTR. Anemia hemolitik kongenital
yang sering dijumpai adalah akibat glucose-6-phosphate
dehydrogenase (G6PD) deficiency. Pada defisiensi G6PD,
eritrosit donor akan mengalami lisis jika terpapar zat yang
menyebabkan oxidant stress.
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 8, Agustus 2009

Reaksi Hemolitik Akibat Transfusi


Beberapa Zat yang Bersifat Oxidant Stress pada Defisiensi
G6PD15
- Acetanilid
- Phenylhydrazine
- Furazolidone
- Primaquine
- Isobutyl nitrite
- Sulfacetamide
- Nalidixic acid
- Sulfamethoxazole
- Naphtalene
- Sulfapyridine
- Niridazole
- Thiazolesulfone
- Nitrofurantoin
- Trinitrotoluene
- Phenazopyridine
- Urate Oxidase (TNT)

Diagnosis Banding
Beberapa reaksi hemolitik yang bukan disebabkan oleh
transfusi dapat terjadi ketika atau setelah transfusi diberikan,
sehingga menyulitkan identifikasi penyebab reaksi hemolitik.
Selain itu, reaksi hemolitik akibat transfusi juga memiliki gejala
dan tanda klinis yang hampir sama dengan reaksi transfusi
yang lain, sehingga pada saat terjadi reaksi transfusi harus
dipikirkan apakah gejala dan tanda klinis yang timbul
berhubungan dengan reaksi hemolitik atau non-hemolitik.
Reaksi transfusi akut yang bukan merupakan reaksi hemolitik
adalah :1,4
1. Transfusion-related acute lung injury (TRALI)
2. Transfusion-associated circulatory overload (TACO)
3. Nonhemolytic febrile transfusion reactions (NFTR)
4. Reaksi alergi
5. Reaksi anafilaksis
4

Diagnosis Banding Reaksi Hemolitik Akibat Transfusi


1. Immunologically caused hemolysis
- Autoimmunhemolytic anemia
Warm antibody induced hemolytic anemia and Cold
hemagglutinin disease
- Paroxysmal cold hemoglobinuria
- Drug induced immune hemolytic anemia
- Passenger lymphocyte syndrome after stem cell
or solid organ transplantation
- Hemolytic disease of the newborn
2. Acute episodes of non-immunologically caused hemolysis
- Hereditary erythrocyte defects
- Defects of RBC enzymes (e.g. glucose-6-phosphate
dehydrogenase deficiency)
- Hemoglobinopathies (e.g. sickle cell disease)
- Thalassemia
- Defects of RBC membrane
- Congenital erythropoietic porphyria
- Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
- Infections
Bacterial (bartonellosis; hemolytic-uremic syndrome
caused by enterohemorrhagic Escherichia coli; severe infections by bacteria producing hemolyzing
toxins (e.g. Clostridium perfringens)
- Protozoal (malaria, babesiosis)
- Mechanical hemolysis by artificial heart valves or by
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 8, Agustus 2009

extracorporeal circulation
- Thrombotic-thrombocytopenic purpura
(Moschcowitz disease)
- HELLP syndrome during gravidity
- Intoxications
- Near drowning
Kesimpulan
Ada dua kelompok reaksi hemolitik akibat transfusi yaitu
reaksi hemolitik yang disebabkan oleh proses imun dan nonimun. Reaksi hemolitik yang disebabkan proses imun terdiri
dari AHTR dan DHTR, sedangkan reaksi hemolitik lain yang
bukan merupakan reaksi transfusi dikenal sebagai reaksi
pseudo-hemolitik. Pemberian transfusi pada anemia hemolitik
masih menjadi perdebatan di kalangan ahli.
Pada AHTR transfusi harus dihentikan segera, sedangkan pada DHTR transfusi dapat dihentikan atau diganti
dengan jenis pengganti darah yang lain. Pada reaksi pseudohemolitik, tata laksana dilakukan berdasarkan penyebab.
Reaksi pseudo-hemolitik ini harus dibedakan dengan reaksi
hemolitik akibat transfusi. Pada saat terjadi reaksi transfusi,
juga harus dipikirkan apakah gejala dan tanda klinis yang
timbul berhubungan dengan proses hemolitik atau nonhemolitik.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.

6.
7.

8.

9.
10.

11.

12.

13.

Fasano R, Luban NL. Blood component therapy. Pediatr Clin N


Am. 2008;55:421-55.
Ness PM. Tranfusion medicine : An overview and update. Clinical Chemistry. 2000;46(8):1270-6.
Sandler SG, Johnson VV. Transfusion reaction. Diunduh dari: http:/
/www.emedicine.com/article/206885 [Diakses Mei 2009].
Strobel E. Hemolytic transfusion reaction. Transfus Med
Hemother. 2008;35:346-53.
Segel BG. Definitons and classification of hemolytic anemias.
Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting.
Nelson text book of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelpia : Saunders
Corporation, 2008.h.2018-20.
Dhaliwal G, Cornett PA, Tierney LM. Hemolytic Anemia. Am
Fam Physician. 2004;69:2599-606.
Drews RE. Critical issues in hematology : anemia, thrombocytopenia, coagulopathy, and blood product transfusions in critically ill patients. Clin Chest Med. 2003;24:607-22.
Marik PE, Corwin HL. Efficacy of red blood cell transfusion in
the critically ill : A systematic review of the literature. Crit Care
Med. 2008;36(9):2667-74.
Rosse WF, Hillmen P, Schreiber AD. Immune mediated hemolytic
anemia. Hematology. 2004;1:48-62.
Wu YY, Mantha S, Snyder D. Transfusion reactions. Dalam:
Hoffman, penyunting. Hematology : Basic principles and practices. Edisi ke-5. Philadelphia: Churchill Livingstone, 2008.h.
153
Pineda AA. Trends in the incidence of delayed hemolytic and
delayed serologic transfusion reactions. Transfusion. 1999;
39:1097-103.
Kicklighter EJ, Klein HG. Hemolytic transfusion reactions. Dalam:
Linden JV, Bianco C, penyunting. Blood safety and surveillance.
Newyork: Medical, 2001.h.47-70.
Shingu Y, Aoki H, Ebuoka N, Eya K, Takigami H, Oba J, et al. A
surgical case for severe hemolytic anemia after mitral valve repair. Ann Thorac cardiovascular surg. 2005;11:198-200.

391

Reaksi Hemolitik Akibat Transfusi


14. Brecher ME, Hay SN. Bacterial contamination of blood components. Clin Microbiol Rev. 2005;18:195-204.

392

15. Addiego JE, Hurst D, Lubin BH. Congenital hemolytic anemia.


Pediatrics in Review. 1985;6:201-8.
MS

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 8, Agustus 2009

También podría gustarte