Está en la página 1de 9

Review Paper Agroklimatologi : Pemanasan Global

Pemanasan Global : Bagaimana Cara Mengatasi


Pemanasan Global dari Sudut Pandang Peternakan
Galih Agung Gunawan
200110120123
Kelas C
ABSTRAK
Ketika kita membahas pemanasan global di muka bumi ini, maka
pembahasan yang dibahas tidak jauh dengan keadaan atmosfer.Atmosfer yang
tersusun dari berbagai macam gas di muka bumi dan berguna sebagai pelindung
akan sinar matahari yang berlebih dan untuk menjaga temperatur di muka
bumi.Kegiatan pembakaran bahan bakar fosil yang dilakukan oleh manusia secara
terus menerus menyebabkan pembakaran bahan bakar fosil sebagai faktor
penyebab paling tinggi sebagai penyebab pemanasan global namun ada juga
beberapa faktor lain yang menyebabkan pemanasan global seperti kurangnya
mengelola emisi gas buang (CO2) dan gas rumah kaca (GHGs) dan salah satunya
dapat disebabkan oleh bidang peternakan.Seiring dengan bertambnya penduduk di
muka bumi maka permintaan / kebutuhan akan produk-produk peternakan
menjadi bertambah sehingga menyebabkan industri peternakan memerlukan
peningkatan produksi.Namun terutama peternakan yang memanfaatkan lahan luas
untuk ternaknya dengan cara grass land terkadang tidak sadar atau tidak paham
bahwa pembukaan lahan seluas-luasnya yang mendapatkannya dengan beberapa
cara yaitu penggundulan hutan, pembakaran hutan sehingga meningkatnya gas
rumah kaca di atmosfer (GHGs) terutama peternakan peternakan konvensional di
kawasan Eropa, Amerika, dan Australia.
LATAR BELAKANG
Daya kebutuhan masyarakat yang tinggi akan produk peternakan tidak
didukung dengan daya akan pemakaian energi yang terbarui dan teknologi yang
ramah lingkungan sehingga kerusakan atmosfer yang diakibatkan pemanasan
global akan semakin parah dan kurangnya tindakan akan industri peternakan
dalam mengatasi / mendukung dalam pengurangan emisi gas buang ke atmosfer
maka perlu dilakukan suatu tindakan untuk mengurangi/memperbahari emisi gas
buang tadi sehingga dapat mengurangi efek terhadap pemanasan global yang
menyebabkan panasnya muka bumi ini atau bahkan dapat menciptakan suatu
konsep peternakan ramah lingkungan.
RUMUSAN MASALAH
Kita dapat mengasumsikan bahwa industri peternakan di negara negara
maju seharusnya lebih bertanggung jawab akan emisi carbon dan GHGs pada
atmosfer dengan perluasan lahan yang sebesar-besarnya , pembangunan industri
pakan secara besar-besaran, emisi gas metan yang tak terkelola dengan baik.
Di bandingkan dengan negara Negara Asia, Afrika yang cenderung

kebanyakan masyarakatnya memelihara ternak sebagai hewan pekerja, hewan


adat, dan yang jarang sekali bertujuan untuk dikomersialisasi secara besar-besaran
dengan pembukaan lahan grassland dan bila ada peternakan konvensional pun
jumlahnya masih sedikit dibandingkan dengan negara-negara adidaya.Dimana
negeri yang berperan besar ini yang seharusnya dapat membuat suatu kebijakan
dan penanganan yang serius akan permasalahan ini dan bagaimana suatu cara
penanggulangannya.
Tetapi konsep seperti apakah yang semestinya diterapkan atau diwujudkan
sehingga sumbangan akan emisi gas buang yang menimbukan kerusakan pada
atmosfer dapat dikurangi.
TUJUAN
Peranan bidang peternakan bukan hanya saja sebagai hal penting yang
dibutuhkan masyarakat akan kebutuhan pangan namun seharusnya dapat berperan
penting juga akan suatu efek yang disebabkan oleh industri itu sendiri.Dengan
adanya beberapa konsep, pemikiran-pemikiran berbagai pakar, serta teknologi
pendukung dapat menjawab bahwa peternakan bisa menjadi suatu bidang industri
yang mempunyai konsep zero waste yaaitu limbah yang dibuang dapat
dimanfaatkan serta dapat diolah kembali dan bukan hanya saja ramah lingkungan
namun juga berguna bagi masyarakat dan dapat menghasilkan keuntungan/profit.
GAMBARAN UMUM
Emisi gas buang yang dihasilkan atau dibuang ke atmosfer berupa CO 2
dan GHGs dari industri peternakan bukanlah penyumbang utama pemanasan
global namun mempunyai peranan juga sebagai sumber penghasil emisi gas buang
yang kurang ramah ligkungan dalam pengelolaannya.Dari sumber jurnal
penelitian yang ditulis oleh Robert Goodland & Jeff Anhang yang dipublikasikan
oleh worldwatch.org dan database yang diperoleh dari FAO (Food and Agriculture
Organization) bahwa sebanyak 7,5216 juta ton CO2 / tahun yang diakibatkan oleh
peternakan yang mana jumlah itu disebabkan oleh emisi GHGs yang dikarenakan
oleh pembukaan lahan padang penggembalaan graze land dan industri pakan,
emisi gas buang yang dihasilkan ternak, permintaan akan kebutuhan ternak yang
bertambah seiring dengan kebutuhan pangan, serta tansportasi / saluran distribusi
dan industri yang menggunakan bahan bakar fosil sebagai bahan bakarnya.

PEMBAHASAN

Populasi ternak
Bahwa CO2 yang ada di atmosfer salah satunya disumbang oleh
banyaknya populasi ternak yang dalam sirkulasi udaranya mengeluarkan CO2
tetapi asumsi tersebut itu dapat ditepis karea bukanlah suatu faktor yang benar
benar mempengaruhi dan jika ada pun jumlahnya masih dalam jumlah yang
relative sedikit.Tetapi pada ada beberapa yang menyangkal kembali bahwa
dengan populasi ternak dunia yang mencapai 10 miliar ekor dapat melebihi
industri / pabrik karena daya siklus tumbuhan untuk mengubah CO 2 melalui
proses fotosintesis sangat lambat dan pembukaan lahan tumbuhan secara besarbesaran justru mengakibatkan tumbuhan yang tadinya membantu dalam proses
pengubahan CO2 yang dikeluarkan ternak menjadi sangat sedikit, sehingga ada
yang berasumsi bahwa ternakpun menjadi faktor penyumbang akan pemanasan
global.Padahal manusia juga mengeluarkan gas CO2 tetapi ternak dipandang
hanya sebagai human invention atau barang pemuas kebutuhan manusia yang
padahal seharusnya ternak mempunyai kesempatan hidup yang sama dan tidak
dapat dipersalahkan begitu saja dengan beberapa konsep animal welfare yang
pada kenyataanya kurangnya daya serap lingkungan akan CO 2 karena perluasan
lahan untuk lahan peternakan tadi oleh manusia.
Dari Tabel yang dilihat dari worldwatch bahwa kegiatan respirasi ternak
tidak tercantum dalam table tadi dan tidak dilakukan analisis yang mendalam
sehingga bahwa kegiatan respirasi ternak hanya berpengaruh seperberapa
persennya saja.
Menurut Food and agriculture Organization (FAO) industri peternakan
memiliki kontribusi sebesar 18 persen dari total emisi GHGs yang disebabkan
oleh aktivitas manusia. Gas methan merupakan gas rumah kaca yang dihasilkan
dari hasil limbah produksi peternakan, bahwa jumlah 18 persen tidak sepenuhnya
sebagai penyumbang perubahan iklim global yang berasal dari gas methan akan
tetapi berasal dari semua kegiatan industri peternakan, terutama industri ternak
jenis ruminansia sehingga kegiatan produksi peternakan diasumsikan pada
banyaknya orang mengonsumsi daging, konsumsi daging meningkat seiring
dengan meningkatnya produksi peternakan, jadi bila produksi peternakan ditekan
maka konsumsi daging akan lebih sedikit dan dampak perubahan iklim global bisa
ditekan pula.
Emisi gas rumah kaca tersebut banyak dihasilkan oleh peternakan yang
sudah bergerak dalam skala industri yang lebih besar / konvensional yang lebih
banyak berkembang di negara maju. Selain itu sebagian besar kalangan
menganggap rekomendasi pengurangan konsumsi daging akan sulit di aplikasikan
terutama di negara berkembang seperti di Indonesia yang memang mayoritas
penduduknya masih kekurangan akan nutrisi dari produk pangan hewani,
sehingga masyarakat miskin yang tidak mengkonsumsi daging tidak mungkin bisa
mengurangi konsumsinya karena faktor pemerataannya hanya diambil dari ratarata pembelian tidak sesuai dengan kemampuan daya beli setiap masyarakat.
Sistem Peternakan

Kebanyakan peningkatan produksi hewan terdapat pada industri


peternakan berskala besar.Tetapi tidak berarti bahwa peningkatan produk hewan
dengan cepat atau penggunaan metode industri ternak untuk memenuhi kebutuhan
konsumen merupakan solusi untuk masalah ketahanan pangan.
Di negara berkembang, dari segi lingkungan peternakan skala industri
yang intensif tidak ramah lingkungan karena berpotensi mengkonversi lahan
produktif menjadi lahan peternakan, kemudian biasanya melakukan perdagangan
multinasional (ekspor-impor) baik itu dari pakan sampai produk peternakan yang
dihasilkan yang tentunya menambah emisi gas buang dari transportasi, serta
pemenuhan kebutuhan pakan yang cukup besar pada satu tempat dan suatu waktu
membutuhkan lahan pakan yang luas untuk ditanami pakan yang seragam.
Telah banyak hasil penelitian yang memberikan pemikiran akan solusi
yang tidak menimbulkan masalah lain di bidang sosial ekonomi peternakan
dibanding rekomendasi pengurangan produksi peternakan dan penurunan
konsumsi daging, inti dari berbagai hasil penelitian adalah peternakan
berkesinambungan, dimana kriteria dari peternakan yang berkesinambungan
adalah peternakan harus tetap memperhatikan ekologi lingkungan, pertumbuhan
ekonomi, pertumbuhan sosial, dan kemanusiaan. (menurut Pretty JN et. al.(2000)
industry peternakan tersebut dapat dicapai oleh sistem peternaka berskala kecil
yang berbasis keluarga, dan berbasis lokal merupakan pemikiran yang terbaik
untuk meraih seluruh tujuan yang diinginkan yakni guna mencapai keamanan
pangan, stabilitas sosial, dan kesinambungan lingkungan.
Peternakan berbasis keluarga, yang relatif berskala kecil, dan berbasis
lokal dapat mengembalikan produktifitas lahan, terlebih lagi ternak yang dikelola
dengan baik di peternakan yang ektensif dengan menggunakan sumberdaya lokal,
mengolah kembali produktifitas tanah dan pemberian pakan rumput pada ternak
tidak hanya akan mengurangi dampak buruk industrialisasi, akan tetapi juga dapat
memiliki dampak positif yang nyata karena rumput juga dapat menyerap karbon.
Sistem peternakan berbasis industri / konvensional yang tidak
berkesinambungan tidak jauh lebih baik dibanding sistem peternakan berbasis
keluarga dan berbasis lokal dalam pengelolaan lingkungannya. Sistem peternakan
berbasis keluarga dan berbasis lokal yang dapat mengembalikan produktifitas
lahan akan lebih mudah diterapkan di negara berkembang dibanding negara maju
karena sebagai mana yang kita ketahui sistem peternakan di Indonesia didominasi
sistem peternakan rakyat dan didukung oleh banyaknya sumberdaya pakan yang
mudah dengan iklim yang memadai. Sistem peternakan rakyat relatif berskala
kecil dan mengandalkan sumberdaya lokal, namun mempunyai kelemahannya
belum semua sistem peternakan rakyat di Indonesia yang mampu mengembalikan
produktifitas lahan lagi tetapi yang pasti tidak sesulit mengembalikan
produktifitas lahan yang rusak akibat sistem peternakan industri, perlunya
dukungan dan kebijakan yang tepat dari pemerintah dan kerjasama dari produsen
serta lembaga penelitian guna menciptakan teknologi yang unggul dan ramah
lingkungan.
Lahan ternak

Pengelolaan ternak secara grassland atau dengan pembuatan padang


rumput secara besar-besaran memang mengurangi biaya faktor produksi dan
pemeliharaan yang cukup mudah tetapi akibat yang ditimbulkan sangat besar
dengan cara pembukaan lahan pada lahan perhutanan secara besar-besaran
sehingga konsumsi CO2 yang dapat diubah oleh tumbuhan menjadi sangat sedikit.
Jika dilihat dari profit / keuntungan yang diperoleh memang lebih besar
dan lebih mudah tetapi perlu lagi berpikir kedepan dimana apabila sistem ini
diterapkan pada negara-negara beriklim tropis yang memiliki curah hujan tinggi
dan pembukaan lahan dilakukan pada hutan penghujan yang meimliki curah hujan
tinggi dan subur maka akan berakibat pada pemanasan global yang tinggi, tidak
adanya tumbuhan yang menguabh CO2 dan bisa merusaknya keseimbangan
ekosistem dimana bisa menimbulkan beberapa biota / makhluk hidup mengalami
kepunahan.Dari rata-rata industri peternakan yang mendukung penggunaan
grassland yang telah dilakukan survey oleh FAO dan menunjukkan suatu hasil
polusi lebih dari 200 tons carbon perhektar setelah dilakukannya pembukaan
lahan pada hutan dan vegetasi lahan lain yang dilakukan dengan cara penebangan,
pembakaran.
Peternakan dengan sistem konvensional / industri membutuhkan lahan
yang tidak sedikit.Untuk pembukaan lahan peternakan, begitu banyak hutan hujan
yang dikorbankan. Hal ini masih diperparah lagi dengan banyaknya hutan yang
juga dirusak untuk menanam pakan ternak tersebut (gandum, rumput, dll).
Padahal akan jauh lebih efisien bila tanaman tersebut sebagai bahan konsumsi
bagi manusia bahwa pakan hewan tidak boleh berkompetisi dengan pangan
manusia.
Cara yang dilakukan dengan penutupan peternakan atau pertanian pakan
ternak lahan bekas hutan tadi memang dapat kembali mengalami regenerasi
namun membutuhkan waktu yang cukup lama dan hanya sedikit sekali CO 2 dari
peternakan yang dapat diubah kembali oleh tumbuhan dengan proses fotosintesis
yaitu sebesar 26 persen dan 33 persen dari lahan yang ditanami untuk pakan
ternak yang lebih banyak dibandingkan daya untuk regenerasi lahan hutan
sehingga jika dilakukan regenerasi bisa harus ada suatu penyelesaian dari setiap
pihak.
Emisi gas buang
Hewan ternak ruminansia adalah polutan metana yang sangat tinggi. Sapi
secara alamiah akan melepaskan metana dari dalam perutnya selama proses
mencerna makanan. Metana adalah gas dengan emisi rumah kaca yang 23 kali
lebih buruk dari CO2. Dan miliaran hewan-hewan ternak di seluruh dunia setiap
harinya melakukan proses ini yang pada akhirnya menjadi polutan gas rumah kaca
yang tinggi.Kurang lebih 100 milliar ton metana dihasilkan sektor peternakan
setiap tahunnya.Limbah berupa kotoran ternak mengandung senyawa NOx yang
300 kali lebih berbahaya dibandingkan CO2.
Pada tahun 2004 diperkirakan emisi gas metan dari industri peternakan
mencapai 103 juta ton yang penguraiannya memang cukup lebih cepat
dibandingkan dengan CO2 namun jika dibiarkan tertumpuk di atmosfer dapat

menebalnya lapisan atmosfer yang buruk sehingga mengakibatkan efek rumah


kaca.
Dengan semakin majunya teknologi dan banyaknya kebutuhan manusisa
akan menuntut semakin banyak aktifitas manusia yang akan dilakukan dimuka
bumi demi tujuan pemenuhan hidup. Hampir semua aktifitas tersebut
menyebabkan penambahan emisi gas rumah kaca.Akibat penggunaan bahan bakar
fosil dalam jangka panjang ternyata telah memberikan akibat negatif terhadap
kehidupan.
Penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara, dan gas
alam telah menyumbangkan cukup besar pencemaran gas efek rumah kaca seperti
CO2 ke atmosfer bumi yang mempunyai pengaruh besar dalam proses pemasaran
global.Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk menghambat pemanasan
global yang telah diikrarkan dalam Protokol Kyoto tahun 1997 adalah
mengurangi emisi gas efek rumah kaca. Bioenergi merupakan salah satu hal yang
dapat dikembangkan sebagai sumber energi pengganti yang ramah lingkungan
dengan tujuan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak yang mahal
dan terbatas.
Bioenergi selain dapat dihasilkan dari tanaman yang memang sengaja
dibudidayakan untuk produksi bioenergi juga dapat diusahakan dari pengolahan
limbah yang dihasilkan dari aktifitas kehidupan manusia. Sehingga, diharapkan
selain dapat mengurangi emisi gas efek rumah kaca juga mengurangi masalah
lingkungan dan meningkatkan nilai dari limbah itu sendiri. Dan salah satu limbah
yang dihasilkan dari aktifitas kehidupan manusia adalah limbah dari usaha
peternakan sapi yang terdiri dari feses, urin, gas dan sisa makanan ternak yang
bisa didapatkan secara gratis / tidak terpakai.
Pengolahan limbah peternakan sehingga bisa menghasilkan biogas yang
menjadi salah satu jenis bioenergi dengan sistem anaerob. Pengolahan limbah
peternakan menjadi biogas ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada
bahan bakar fosil yang mahal dan terbatas, mengurangi pencemaran lingkungan
dan menjadikan peluang usaha bagi peternak karena produknya terutama pupuk
kandang banyak dibutuhkan masyarakat.
Biogas sebagai salah satu sumber energi yang dapat diperbaharui dapat
menjadi suatu kebutuhan energi sekaligus menyediakan kebutuhan hara tanah dari
pupuk cair dan padat yang merupakan hasil sampingannya serta mengurangi efek
rumah kaca. Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi pengganti dapat
mengurangi penggunaan kayu bakar. Dengan demikian dapat mengurangi usaha
penebangan hutan, sehingga kehidupan hutan dapat terlindungi.
Ada beberapa keuntungan penggunaan kotoran ternak sebagai penghasil
biogas yaitu, mengurangi pencemaran lingkungan terhadap air dan tanah,
pencemaran udara, memanfaatkan limbah ternak tersebut sebagai bahan bakar
biogas yang dapat digunakan sebagai energi pengganti bahan bakar fosil,
mengurangi biaya produksi peternak berarti dengan penggunaan energy biogas
dan listrik dari biogas, memanfaatkannya biogas untuk menjadi energi listrik
untuk diterapkan/ pengganti di lokasi yang masih belum memiliki kebutuhan
akses listrik dan menjadikan peternakan yang ramah lingkungan.

KESIMPULAN
Sektor peternakan terutama industri peternakan yang dalam sistem
pengelolaanyanya menggunakan sistem konvensional / komersialisasi demi
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya menjadi penyumbang yang tinggi
akan pemanasan global karena perlunya perluasan lahan dan industry peternakan
secara besar-besaran.
Kebutuhan produksi daging karena permintaan konsumen dengan cara
penambahan jumlah populasi ternak menyebabkan konsumsi pakan yang tinggi
sehingga memerlukan lahan ternak dan lahan pakan ternak yang mengakibatkan
banyaknya perluasan lahan ternak yang megambil lahan hutan.
Pembukaan lahan peternakan pada lahan hutan mengakibatkan ekosistem yang
ada menjadi tercemar bahkan menjadi rusak dan sulit untuk meregenerasinya
kembali.
Sistem peternakan berbasis keluarga / skala kecil yang berkesinambungan, dan
berbasis lokal dapat mengembalikan produktifitas lahan, terlebih lagi ternak yang
dikelola dengan baik dengan menggunakan sumberdaya lokal, mengolah kembali
produktifitas tanah dan pemberian pakan rumput pada ternak tidak hanya akan
mengurangi dampak buruk industrialisasi ternak, akan tetapi juga dapat memiliki
dampak positif yang nyata karena rumput juga dapat menyerap karbon.
Energi pemanfaatan biogas dari limbah ternak sebagai salah satu sumber energi
yang dapat diperbaharui dapat menjadi suatu kebutuhan energi sekaligus
mengurangi efek rumah kaca. Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi
pengganti dapat mengurangi penggunaan gas elpiji dan bahan bakar fosil lainnya.
SARAN
Seluruh warga khususnya yang bergelut secara langsung maupun tidak langsung
dalam sector peternakan dapat lebih mempunyai kepedulian dan kesadaran akan
ternak animal welfare dan menciptakan suatu keadaan ramah lingkungan.
Peranan pemerintah dan lembaga penelitian / pendidikan bisa berperan penting
dalam ketahanan pangan, kebijakan dan perlindungan terhadap para peternak
sehingga kesejahteraan peternak bisa terjamin bagi usaha kecil dan ketahanan
pangan pada suatu Negara dapat teratasi dengan baik.
Penggalaan biogas secara massal pada industri ternak dan rumah tangga bisa
menjadi solusi sekaligus mengurangi emisi gas buang yang dihasilkan ternak dan
mengurangi penggunaan bahan bakar fosil sebagi energi yang tak terbaharui.
Meminimalisir konsumsi akan protein hewani yang berlebih yang dapat diikuti
dengan gaya hidup sehat, bukan berarti menjadi vegetarian tetapi pemanfaatan
lahan pertanian dapat optimal sebagai lahan pangan bukan untuk lahan pakan
ternak.

REFERENSI
Goodland Robert & Anhang Jeff.a research officer and environmental specialist at
the World Bank Groups International Corp.: Livestock and Climate Change
Livestock and Climate Change (www.worldwatch.org/ww/livestock) (diakses
03/03/2013)
Susrini Idris, M Junus, Keppi Sukesi (2009), Universitas Brawijaya : Jurnal
Hayati.Malang
Pambudi, N.A.2008. Pemanfaatan Biogas sebagai Energi Alternatif. : Dikti
Eliantika, E.F (2010), Biogas limbah peternakan sapi sumber alternatif ramah
lingkungan : Jurnal Lingkungan.Jakarta
Haryati, T., 2006. Biogas : Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi
Alternatif. Jurnal Wartazoa
Eleanor Boyle, PhD, Vancouver, B.C.:Climate Change and the livestock, Climate
for Change.CA US.
Houdkova L., J. Boran., J. Pecek and P. Sumpela. 2008. Biogas-A Renewable
Source of Energy.
Journal of Thermal Science
The Beyond Factory Farming Coalition. This Saskatoon-based group promotes
socially responsible livestock production.
Eshel, G., and Martin, P. (2005). Diet, Energy and Global Warming in United
States. Dept of Geophysical Sciences.University of Chicago.
Steinfeld, H. et al (2006) Livestocks Long Shadow: Environmental Issues and
Options. Food and Agriculture Organization of the United Nations : FAO.
Mann, Michael E. et al., Northern Hemisphere Temperatures During the past
Millennium: Inferences, Uncertainties, and Limitations of livestock
Doreen Kibuka-Musoke, 2007. Issue paper II. African Partnership Forum, OECD.
Livestock Thematic Papers

Review Paper Agroklimatologi


Bagaimana Cara Mengatasi
Pemanasan Global dari Sudut Pandang Peternakan

Disusun oleh :
Galih Agung Gunawan
200110120123

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2013

También podría gustarte