Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) pada Periode Tahun Pertama Kehidupan Anak di Wilayah Kerja Puskesmas Pancoran Mas, Depok Depok, 8 Juli 2014 Oleh: RIA FEBRIYENI 1006770942 Mahasiswa S1 Reguler FIK UI 2010 Highlight 1. Pendahuluan 2. Hasil Penelitian 3. Pembahasan 4. Penutup 1. Pendahuluan ISPA merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia (WHO, 2004) Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia, terutama di negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah (WHO, 2004). Latar Belakang Bayi Daya tahan tubuh masih rendah Sakit (ISPA) Kematia n bayi Berdasarkan profil kesehatan kota Depok tahun 2008, terdapat 13.842 atau sebesar 13,60 % kasus Infeksi Saluran Pernapasan Atas Akut Tidak Spesifik pada bayi berusia 29 hari- < 1 tahun 91,5% bayi usia < 1 tahun menderita ISPA di wilayah kerja Puskesmas Beji, Depok pada tahun 2013 (Dinkes Depok, 2013) Penelitian membuktikan bahwa bayi yang tidak mendapat ASI memiliki peluang 14,3 kali meninggal karena serangan berbagai penyakit (Purwanti, 2004). Keberadaan antibodi dan sel-sel makrofag dalam kolostrum dan ASI memberikan perlindungan terhadap jenis-jenis infeksi tertentu Hasil Penelitian Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) : 40,2% (1997) menjadi 39,5% (2003) dan 32% (2007). persentase bayi yang menyusui eksklusif sampai dengan 6 bulan di Indonesia hanya 15,3% (riskesdas, 2010). Cakupan ASI Eksklusif pada bayi 0-6 bulan pada tahun 2012 berdasarkan laporan sementara hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 sebesar 42% 59,51% yaitu sejumlah 12.208 dari 20.514 jumlah bayi (survey PHBS kota Depok, 2008).
Angka kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas cukup tinggi. Sementara Gambaran pelaksanaan ASI eksklusif terhadap ibu yang berkunjung ke Puskesmas Pancoran Mas dan pengaruh pemberian ASI eksklusif tersebut terhadap kondisi kesehatan bayi belum diketahui.
Oleh karena itu, peneliti ingin melihat hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas, Depok Mengetahui hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas. Tujuan Umum Tujuan Penelitian Gambaran karakteristik anak yang pernah didiagnosis ISPA pada periode tahun pertama kehidupan di Puskesmas Pancoran Mas meliputi umur, jenis kelamin, berat badan lahir, status gizi, status imunisasi, dan pemberian vitamin A. Gambaran karakteristik ibu yang memiliki anak yang pernah didiagnosis ISPA pada periode tahun pertama kehidupan di Puskesmas Pancoran Mas meliputi umur, pendidikan, pekerjaan ibu, dan status ekonomi keluarga. Gambaran pemberian ASI eksklusif pada bayi berusia 12-23 bulan di Puskesmas Pancoran Mas. Gambaran kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas. Hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas. Hubungan karakteristik anak (jenis kelamin, berat badan lahir, status gizi, status imunisasi, dan pemberian vitamin A) dengan kejadian ISPA pada bayi berusia 12-23 bulan di Puskesmas Pancoran Mas. Hubungan karakteristik ibu (pendidikan, pekerjaan ibu, dan status ekonomi keluarga) dengan kejadian ISPA pada bayi berusia 12-23 bulan di Puskesmas Pancoran Mas. Tujuan Khusus Diidentifikasin ya 2. Hasil Penelitian Penelitian ini dilaksanakan setiap hari Senin-Sabtu pada tanggal 27 Maret- 12 Mei 2014 dengan responden ibu yang membawa anaknya berusia 12- 23 bulan dan pernah didiagnosis ISPA ke Puskesmas Pancoran Mas pada bulan Maret-April 2014 Wawancara berdasarkan kuesioner dilakukan kepada 62 responden Karekteristik Anak Rata-rata umur anak yang berkunjung ke Puskesmas Pancoran Mas pada bulan April-Mei 2014 yang pernah didiagnosis ISPA yaitu 16,97 bulan. Variabel Mean Median Minimal- Maksimal Standar Deviasi 95% CI Umur anak 16,97 16,50 12-23 3,506 16,08-17,86 Karakteristik Anak mayoritas jenis kelamin anak yang berkunjung ke Puskesmas Pancoran Mas pada bulan April-Mei 2014 yang pernah didiagnosis ISPA yaitu laki-laki sejumlah 36 orang (58,1%) Sebagian besar anak memiliki berat badan lahir normal, yaitu 61 iorang (98,4%)
No Variabel Frekuen si Presenta se (%) 1. Jenis kelamin - Laki-laki - Perempu an Total
36 26 62
58,1 41,9 100.0 2. Berat badan lahir - Kurang - Normal Total
1 61 62
1,6 98,4 100,0 Karakteristik Anak Status gizi anak sebagian besar normal, yaitu sebanyak 57 orang (91,9%) dan tidak ada anak yang memiliki status gizi sangat kurus. Status imunisasi anak mayoritas lengkap, yaitu sebanyak 52 orang (83,9%). Sebagian besar, yaitu sebanyak 60 orang (96,8%) anak mendapat satu kali atau lebih vitamin A. No Variabel Frekuen si Presentas e (%) 3. Status Gizi - Sangat kurus - Kurus - Normal Total
0 5 57 62
0 8,1 91,9 100,0 4. Status imunisasi - Lengkap - Tidak lengkap Total
52 10 62
83,9 16,1 100,0 5. Pemberian Vitamin A - Ya - Tidak Total
60 2 62
96,8 3,2 100,0 Karakteristik Ibu usia ibu sebagian besar 30 tahun, yaitu sebanyak 33 orang (53,2%). Distribusi tingkat pendidikan ibu tidak merata untuk setiap tingkat pendidikan. Pendidikan ibu paling banyak (48,4%), yaitu SMA N o Variabel Frekuens i Presentas e (%) 1. Umur ibu - < 30 tahun - 30 tahun Total
29 33 62
46,8 53,2 100.0 2. Pendidikan Ibu - SD - SMP - SMA - D1/D2/D3 - S1/S2/S3 Total
8 23 30 1 0 62
12,9 37,1 48,4 1,6 0 100,0 Karakteristik Ibu Mayoritas pekerjaan ibu ialah ibu rumah tangga, yaitu sebanyak 59 orang (95,2%). Pendapatan keluarga paling banyak (74,2%), yaitu lebih dari satu juta sebanyak 46 orang. No Variabel Frek uens i Presentas e (%) 3. Pekerjaan Ibu - PNS - Swasta - Wiraswasta - Ibu Rumah Tangga - lain-lain (guru honorer) Total
0 1 1 59 1 62
0 1,6 1,6 95,2 1,6 100,0 4. Pendapatan Keluarga - > 1 juta - 500 ribu-1 juta - < 500 ribu Total
46 15 1 62
74,2 24,2 1,6 100,0 Status Pemberian ASI Eksklusif Sebagian besar anak tidak mendapat ASI eksklusif, yaitu sejumlah 56 orang (90,3%) dan hanya 6 orang (6,7%) anak yang mendapat ASI eksklusif. Variabel Frekuensi Presentase (%) ASI eksklusif 6 6,7 ASI tidak eksklusif 56 90,3 Total 62 100,0 Kejadian ISPA pada Periode Tahun Pertama Kehidupan Anak Variabel Mean Median Minimal- Maksimal Standar Deviasi 95% CI Kejadian ISPA 2,90 3,00 1-9 1,606 2,50-3,31 Sebagian besar anak tidak mendapat ASI eksklusif, yaitu sejumlah 56 orang (90,3%) dan hanya 6 orang (6,7%) anak yang mendapat ASI eksklusif. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA pada Periode Pertama Kehidupan Anak Anak yang mendapat ASI eksklusif jumlahnya ekstrim rendah, yaitu 6 orang. Rata-rata kejadian ISPA pada anak yang mendapat ASI eksklusif yaitu 1,67 kali. Hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas ( value < : 0,021). * bermakna pada alpha 0,05 Status pemberian ASI ISPA N Mean 0,021 Eksklusif 6 1, 67 Tidak eksklusif 56 3,04 Jumlah 62 Hubungan Karakteristik Anak dengan Kejadian ISPA pada Periode Tahun Pertama Kehidupan * bermakna pada alpha 0,05 Rata-rata kejadian ISPA lebih sering terjadi pada anak berjenis kelamin laki-laki yaitu 2,97. Tidak terdapat hubungan jenis kelamin dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas ( value > : 0,583). Jenis Kelamin ISPA N Mean 0,583 Laki-laki 36 2,97 Perempuan 26 2,81 Jumlah 62 * bermakna pada alpha 0,05 Rata-rata kejadian ISPA lebih sering terjadi pada anak dengan status gizi normal yaitu 2,91 kali Tidak ada hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas ( > : 0,884). Status Gizi ISPA Chi- Square N Mean 0,884
0,21 Sangat kurus 0 0 Kurus 5 2,80 Normal 57 2,91 Jumlah 62 2,90 * bermakna pada alpha 0,05 Rata-rata kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak paling sering terjadi pada anak dengan BBLR yaitu sebanyak 3 kali. Tidak terdapat hubungan berat badan lahir dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas ( value > : 0,871). Berat Badan Lahir ISPA N Mean 0,871 Kurang (< 2500 gram) 1 3,00 Normal ( 2500 gram) 61 2,90 Jumlah 62 * bermakna pada alpha 0,05 rata-rata kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan paling sering terjadi pada anak yang mendapat imunisasi tidak lengkap, yaitu 3,4 kali Tidak terdapat hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas ( value > : 0,731). Status Imunisasi ISPA N Mean 0,731 Lengkap 52 2,81 Tidak lengkap 10 3,40 Jumlah 62 * bermakna pada alpha 0,05 rata-rata kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan paling sering terjadi pada anak yang tidak mendapat vitamin A yaitu 4 kali Tidak terdapat hubungan pemberian vitamin A dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas ( value > : 0,254). Pemberian Vitamin A ISPA N Mean 0,254 Ya 60 2,87 Tidak 2 4,00 Jumlah 62 Hubungan Karakteristik Ibu dengan Kejadian ISPA pada Periode Tahun Pertama Kehidupan Anak Rata-rata kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak paling sering terjadi pada anak dengan ibu berperndidikan SMA, yaitu 3,03 kali. Tidak ada hubungan pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas ( > : 0,960). * bermakna pada alpha 0,05 Pendidikan Ibu ISPA Chi-Square N Mean 0,960
0,300 SD 8 2,88 SMP 23 2,74 SMA 30 3,03 D1/D2/D3 1 3,00 S1/S2/S3 0 0 Jumlah 62 2,90 * bermakna pada alpha 0,05 Rata-rata kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan paling sering terjadi pada anak dengan ibu wiraswasta, yaitu 4 kali Tidak ada hubungan pekerjaan ibu dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas ( > : 0,452). Pekerjaan Ibu ISPA Chi-Square N Mean 0,452
1,587 Swasta 1 2,00 Wiraswasta 1 4,00 Ibu rumah tangga 59 2,90 Lain-lain (guru honorer) 1 3,00 Jumlah 62 2,90 * bermakna pada alpha 0,05 Rata-rata kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan paling sering terjadi pada anak dengan keluarga berpenghasilan > 1 juta, yaitu 2,98 kali Tidak ada hubungan status ekonomi keluarga dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas ( > : 0,353). Pendapatan Keluarga ISPA Chi- Square N Mean 0,353
2,082 > 1 juta 46 2,98 500 ribu-1 juta 15 2,80 < 500 ribu 1 1,00 Jumlah 62 2,90 3. Pembahasan Sejalan: Nasution dkk (2009) menunjukkan bahwa 47 anak (45,6%) yang mengalami ISPA berada pada rentang usia 13-36 bulan. Kontradiksi: Williams dkk (2004) menunjukkan bahwa rata-rata usia anak yang menderita infeksi saluran pernapasan bawah karena human metapneumovirus, yaitu 11, 6 bulan.
Umur anak Usia rata-rata anak pada penelitian ini, yaitu 16,97 bulan dan usia yang paling banyak adalah 16 bulan Karakteristik Anak Buku pedoman P2 ISPA menjelaskan bahwa laki-laki adalah faktor risiko yang mempengaruhi kesakitan pneumonia (Depkes RI, 2004 dalam Rizkianti, 2009). Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian ISPA pada Periode Tahun Pertama Kehidupan Tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan Sejalan: Nasution dkk (2009) ; Dewi (2010) ; Sumasari dan Widarini (2010) menyebutkan bahwa tidak didapatkan hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian ISPA pada balita. Kontradiksi: Fitrah (2009) menunjukkan bahwa jenis kelamin memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA pada balita ( value = 0,017). Perbedaan tersebut terjadi karena banyak faktor lain yang lebih kuat mempengaruhi kejadian ISPA pada anak seperti faktor lingkungan, nutrisi, dan faktor sosial ekonomi keluarga. Pada penelitian ini jenis kelamin bukan merupakan faktor penting dalam mempengaruhi kejadian ISPA Infeksi mempengaruhi status gizi melalui pengurangan asupan makanan dan absorbsi usus, dan juga peningkatan katabolisme yang dibutuhkan untuk sintesis nutrisi. malnutrisi bisa menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi karena memberikan efek negatif pada sistem imun tubuh (Schoenbaum, Tulchinsky & Abed, 1995 dalam Adelina, 2009) Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Periode Tahun Pertama Kehidupan Tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan Sejalan: Rustam (2010) ; Adelina (2009) yang menghasilkan hubungan yang tidak bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA pada bayi. Catiyas (2012) terhadap 166 balita menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita ( value = 0,045) dan menunjukkan bahwa balita yang mempunyai status gizi kurang mempunyai peluang 4,1 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan dengan balita yang memiliki status gizi baik. Candra dan Elyana (2011) menunjukkan bahwa status gizi berhubungan dengan frekuensi ISPA ( value = 0,0001). Perbedaan hasil tersebut karena sebagian besar (91,5%) anak memiliki status gizi normal Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan: Status gizi pada penelitian ini tidak mempengaruhi kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan Mayoritas anak memiliki berat badan lahir normal Pada bayi dengan BBLR pembentukan sistem kekebalan tubuh belum sempurna sehingga rentan terhadap infeksi. Penyebab utama kematian pada BBLR adalah asfiksia, sindrom gangguan pernapasan, infeksi dan komplikasi hipotermia (Dachi, 2009 dalam Ayu & Sukmawati, 2010). Rustam (2010) ; Sumasari dan Widarini (2010) ; Ayu dan Sukmawati (2010) menghasilkan hubungan yang tidak bermakna antara berat badan lahir dengan kejadian ISPA pada bayi. Hubungan Berat Badan Lahir dengan Kejadian ISPA pada Periode Tahun Pertama Kehidupan Tidak ada hubungan yang bermakna antara berat badan lahir dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan Ariyanto (2008) melaporkan adanya hubungan riwayat berat badan lahir rendah 2,21 kali (95% CI: 1,00-4,42), secara statistik terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan lahir dengan kejadian ISPA ( value = 0,04). Campbell et al (2013) yang dilakukan di Skotlandia, yaitu ada hubungan yang signifikan antara berat badan lahir dengan kejadian ISPA pada anak ( value = 0,04). Perbedaan hasil tersebut karena jumlah sampel penelitian ini lebih sedikit, dan perbedaan tempat penelitian Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan: Pada penelitian ini berat badan lahir tidak mempengaruhi kejadian ISPA pada tahun pertama kehidupan Mayoritas anak mendapat imunisasi lengkap Pada periode tahun pertama kehidupan anak belum memiliki kekebalan tubuh sendiri (humoral), maka perlu mendapat kekebalan yang diperoleh dari pemberian imunisasi (Supartini, 2004 dalam Fattah, 2013). Sejalan: Gertrudis (2010) menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan ( value = 0,26). Kontradiksi::
Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Periode Tahun Pertama Kehidupan Tidak ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan Ariyanto (2008) menunjukkan bahwa ada perbedaan proporsi kejadian ISPA pada balita yang pernah diimunisasi campak dengan yang tidak pernah diimunisasi ( value = 0,015). Campbell et al (2013) di Skotlandia menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada anak ( value = 0,021). Perbedaan hasil tersebut karena mayoritas anak mendapat imunisasi lengkap, status imunisasi tidak menjamin balita terhindar dari penyakit ISPA karena terdapat banyak faktor lain yang menyebabkan ISPA, Aisyah, Arifianto, dan Rachel (2012) di Kabupaten Pekalongan yang menemukan adanya hubungan yang signifikan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan: Tidak ada pengaruh status imunisasi pada penelitian ini dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan Mayoritas anak mendapat satu kali vitamin A pada tahun pertama kehidupan Pemberian vitamin A pada balita sangat berperan untuk pertumbuhan, daya tahan tubuh, dan kesehatan terutama penglihatan, reproduksi, sekresi mukus dan untuk mempertahankan sel epitel yang mengalami diferensiasi (Arsin, Marhamah, & Wahiduddin, 2013). Sejalan: Dewi (2010); Nasution dkk (2009) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian vitamin A dengan kejadian ISPA pada balita ( value = 1,000). Hubungan Pemberian Vitamin A dengan Kejadian ISPA pada Periode Tahun Pertama Kehidupan Tidak ada hubungan yang bermakna antara pemberian vitamin A dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan Arsin, Marhamah, dan Wahiduddin (2013) yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian vitamin A dengan kejadia ISPA pada balita ( value = 0, 039). Juwita, Mahyudin, dan Sari (2012) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pemberian kapsul vitamin A dengan kejadian ISPA ( value = 0,008). Penelitian ini yang tidak bermakna karena pemberian vitamin A diberikan saat posyandu pada bulan Februari dan Agustus sehingga tidak ada data sekunder yang akurat di Puskesmas untuk pemberian vitamin A. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan: Tidak ada pengaruh pemberian vitamin A pada penelitian ini dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan Sejalan: Irdawati dan Wahyuti (2012) menunjukkan bahwa 37 orang (52,1%) orang tua balita berusia antara 30-42 tahun. Kontradiksi: Fitriyani, Sodikin, dan Yuliarti (2013) yang menunjukkan bahwa mayoritas ibu berusia 35 tahun, yaitu sebanyak 51 orang (76,1%). Aderita dan Irdawati (2012) menunjukkan bahwa terdapat 63,33% ibu yang berusia 30 tahun.
Umur ibu Mayoritas umur ibu pada penelitian ini, yaitu 30 tahun Karakteristik Ibu Mayoritas anak mendapat satu kali vitamin A pada tahun pertama kehidupan Pemberian vitamin A pada balita sangat berperan untuk pertumbuhan, daya tahan tubuh, dan kesehatan terutama penglihatan, reproduksi, sekresi mukus dan untuk mempertahankan sel epitel yang mengalami diferensiasi (Arsin, Marhamah, & Wahiduddin, 2013). Sejalan: Dewi (2010); Nasution dkk (2009) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian vitamin A dengan kejadian ISPA pada balita ( value = 1,000). Hubungan Pemberian Vitamin A dengan Kejadian ISPA pada Periode Tahun Pertama Kehidupan Tidak ada hubungan yang bermakna antara pemberian vitamin A dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan Arsin, Marhamah, dan Wahiduddin (2013) yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian vitamin A dengan kejadia ISPA pada balita ( value = 0, 039). Juwita, Mahyudin, dan Sari (2012) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pemberian kapsul vitamin A dengan kejadian ISPA ( value = 0,008). Penelitian ini yang tidak bermakna karena pemberian vitamin A diberikan saat posyandu pada bulan Februari dan Agustus sehingga tidak ada data sekunder yang akurat di Puskesmas untuk pemberian vitamin A. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan: Tidak ada pengaruh pemberian vitamin A pada penelitian ini dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan Keterbatasan Penelitian Tidak seimbangnya distribusi responden berdasarkan jenis kelamin karena mahasiswa FIK UI memiliki sedikit mahasiswa berjenis kelamin laki-laki Penelitian ini hanya membatasi kecerdasan emosional berdasarkan faktor usia, jenis kelamin, masa studi dan pengalaman praktikum di rumah sakit. Pelayanan Keperawatan Terdapat 8 orang mahasiswa yang menyatakan belum menyadari bahwa pelajaran tentang caring dan empati terkait dengan kecerdasan emosional sehingga mempengaruhi performa saat praktikum dirumah sakit Pendidikan Keperawatan Didapatkan data bahwa tingkat kecerdasan emosional mahasiswa FIK UI masih kurang baik. FIK sudah memfasilitasi materi perkuliahan tentang komponen kecerdasan emosional secara tidak langsung melalui mata kuliah Konsep Dasar keperawatan (KDK) tetapi mahasiswa belum menyadari hal tersebut Penelitian Selanjutnya Terdapat responden yang mengisi kuesioner tanpa memperhatikan maksud dari pernyataan yang terdapat pada kuesioner sehingga mengisi sembarangan. Implikasi terhadap Keperawatan 4. Penutup Responden sebagian besar berusia dibawah 20 tahun, mayoritas berjenis kelamin perempuan karena mahasiswa FIK UI didominasi oleh perempuan dan proporsi responden hampir merata di setiap angkatan. Dari total responden yang berjumlah 198 orang, mayoritas responden belum pernah praktikum di rumah sakit. Gambaran tingkat kecerdasan emosional responden menunjukkan rata-rata responden memiliki kecerdasan emosional kurang baik Adanya hubungan yang bermakna antara pengalaman praktikum dirumah sakit dengan tingkat kecerdasan emosional dan masa studi dengan tingkat kecerdasan emosional mahasiswa, sedangkan usia dan jenis kelamin tidak ada hubungan dengan tingkat kecerdasan emosional mahasiswa
Kesimpulan Pendidikan Keperawatan Institusi pendidikan mengetahui bahwa kecerdasan emosional mahasiswa harus terus ditingkatkan agar lebih baik. Materi perkuliahan yang mengandung komponen kecerdasan emosional seperti caring, empati, dan hubungan interpersonal lebih ditekankan lagi agar mahasiswa menyadari pentingnya hal tersebut. Diharapkan kedepannya, institusi pendidikan keperawatan dapat menjadikan kecerdasan emosional sebagai salah satu tes yang diujikan pada mahasiswa baru untuk mengetahui tingkat kecerdasan emosional mahasiswanya. Saran Mahasiswa Keperawatan Meningkatkan kecerdasan emosional dengan cara mengaplikasikan teori keperawatan yang telah dipelajari selama perkuliahan dalam kehidupan sehari-hari ataupun praktikum di rumah sakit seperti peduli, empati, dan komunikasi terapeutik. Peluang mahasiswa untuk sukses lebih besar dengan meningkatkan kecerdasan emosionalnya Penelitian Selanjutnya Diharapkan penelitian selanjutnya dapat meneliti faktor- faktor lain yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional seperti pengalaman kerja dan tingkat pendidikan. Penelitian mengenai kecerdasan emosional dapat dilakukan pada mahasiswa yang telah lulus, perawat di rumah sakit untuk mengatahui tingkat kecerdasan emosionalnya. Penelitian mengenai kecerdasan emosional pada mahasiswa lebih lanjut masih perlu dilakukan dengan metode yang berbeda, misalnya penelitian kualitatif dengan metode wawancara dan lain-lain Daftar Pustaka Codier, E., & Oddel, E. (2013). Measured emotional intelligence ability and grade point average in nursing students. Nurse Education Today. Belum dipublikasikan. Collins, S. (2013). Emotional intelligence as a noncognitive factor in student Registered Nurse Anesthetists. AANA Journal, 81, 465-472 Fariselli, L., Ghini M., Freedman, J. (2008). Age and emotional intelligence. http://www.6seconds.org/sei/WP_EQ_and AGE.pdf . Diunduh 8 Desember 2013 Fernandez-Berrocal, P & Ruiz, D, (2008). Emotional intelligence in education. Electronic journal of research in educational psychology, 15, 421-436 Gardner, H. (2011). Frames of mind: The theory of multiple intelligences. New York: Basic Books. Gerits et al. (2005). Emotional intelligence profiles of nurses caring for people with severe behaviour problems. Science direct: Personality and Individual Differences. 38, 3343 Goleman, D. (2005). Emotional Intelligence. New York: Bantam Dell A Division of Random House Goleman, D. (2011). Working with emotional intelligence. New York: Bantam Dell A Division of Random House Inc. Jones, A. E. (2013). Emotional intelligence and clinical performance in senior undergraduate nursing students. San Marcos: Califonia State University Mayer, J.D., & Salovey, P. (1997). Emotional development and emotional intelligence: Educational applications. New York: Basic Books. Namdar, H., Sahebihagh, M., Ebrahimi, H., Rahmani, A. (2008). Assessing emotional intelligence and its relationship with demographic factors of nursing students . IJNMR Autumn, 13, 145-149
Noor-Azniza, I., & Jdaitawi, M. (2009). Emotional Intelligence among Arabic Community in Campus. http://cob.uum.edu.my/amgbe/files/164F-dr-NoorAznizaIshak full paper.pdf . Diunduh 3 Desember 2013 Noor-Azniza, I., Malek, T. J., Ibrahim, Y. S., Farid, T. M. (2011). Moderating effect of gender and age on the relationship between emotional intelligence with social and academic adjustment among first year university students. International Journal of Psychological Studies, 3, 78-89 Novelia, G. (2012). Hubungan kecerdasan emosional dengan perilaku caring pada perawat instalasi rawat inap (irna) B Rumah sakit umum pusat (rsup) fatmawati. Depok: Tidak dipublikasikan Petrides, K. V. & Furnham, A. (2006). The role of trait emotional intelligence in a gender- specific model of organizational variables. Journal of Applied Social Psychology, 36, 552- 569. Potter, P. & Perry, A. G. (2005). Fundamental keperawatan: Konsep, proses dan praktis (Dian Evriyani, Enie Noviestari, Ellen Panggabean, Kusrini, Made Sumarwati dan Yasmin Asih, Penerjemah.). Jakarta: EGC. Potter, P. & Perry, A. G. (2009). Fundamental Keperawatan, Ed. 7, Buku 1. Jakarta: Salemba Medika Shipley, N.L., Jackson, M.J., Segrest, S.L., (2010). The effects of emotional intelligence, age, work experience, and academic performance. Research in Higher Education Journal, 1-18 Sukardi. (2004). Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Prakteknya. Jakarta : Bumi aksara. Tafazoli, M., Hosseini, S., Sharbar, H. A., Makarem, A., Zadeh, S. E. (2012). A study of relationship between emotional intelligence and clinical performance in training field in midwifery students of nursing and midwifery school. Future Of Medical Education Journal, 2, 13-18 Vandervoot, D.J. (2006). The importance of emotional intelligence in higher education. Curr Psychol.25, 4-7 Walker, M (2006). Emotional intelligence and academic success in college. Salt Lake City, UT: University of Utah