Está en la página 1de 45

PRESENTASI

Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Infeksi Saluran


Pernapasan Akut (ISPA) pada Periode Tahun Pertama Kehidupan
Anak di Wilayah Kerja Puskesmas Pancoran Mas, Depok
Depok, 8 Juli 2014
Oleh:
RIA FEBRIYENI
1006770942
Mahasiswa S1 Reguler FIK UI 2010
Highlight
1. Pendahuluan
2. Hasil Penelitian
3. Pembahasan
4. Penutup
1. Pendahuluan
ISPA merupakan penyebab utama morbiditas
dan mortalitas penyakit menular di dunia
(WHO, 2004)
Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi,
anak-anak, dan orang lanjut usia, terutama di
negara-negara dengan pendapatan per
kapita rendah dan menengah (WHO, 2004).
Latar Belakang
Bayi
Daya
tahan
tubuh
masih
rendah
Sakit
(ISPA)
Kematia
n bayi
Berdasarkan profil kesehatan kota Depok
tahun 2008, terdapat 13.842 atau sebesar
13,60 % kasus Infeksi Saluran Pernapasan
Atas Akut Tidak Spesifik pada bayi berusia
29 hari- < 1 tahun
91,5% bayi usia < 1 tahun menderita ISPA di
wilayah kerja Puskesmas Beji, Depok pada
tahun 2013 (Dinkes Depok, 2013)
Penelitian membuktikan bahwa bayi yang
tidak mendapat ASI memiliki peluang 14,3
kali meninggal karena serangan berbagai
penyakit (Purwanti, 2004).
Keberadaan antibodi dan sel-sel makrofag
dalam kolostrum dan ASI memberikan
perlindungan terhadap jenis-jenis infeksi
tertentu
Hasil Penelitian Pemberian
ASI Eksklusif
Berdasarkan Survey
Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) : 40,2%
(1997) menjadi 39,5% (2003)
dan 32% (2007).
persentase bayi yang
menyusui eksklusif sampai
dengan 6 bulan di Indonesia
hanya 15,3% (riskesdas,
2010).
Cakupan ASI Eksklusif pada
bayi 0-6 bulan pada tahun
2012 berdasarkan laporan
sementara hasil Survei
Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) 2012
sebesar 42%
59,51% yaitu sejumlah
12.208 dari 20.514 jumlah
bayi (survey PHBS kota
Depok, 2008).

Angka kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas
cukup tinggi. Sementara Gambaran
pelaksanaan ASI eksklusif terhadap ibu
yang berkunjung ke Puskesmas
Pancoran Mas dan pengaruh pemberian
ASI eksklusif tersebut terhadap kondisi
kesehatan bayi belum diketahui.

Oleh karena itu, peneliti ingin melihat
hubungan pemberian ASI eksklusif
dengan kejadian ISPA pada periode
tahun pertama kehidupan anak di
wilayah kerja Puskesmas Pancoran
Mas, Depok
Mengetahui hubungan antara
pemberian ASI eksklusif dengan
kejadian ISPA pada periode tahun
pertama kehidupan anak di wilayah
kerja Puskesmas Pancoran Mas.
Tujuan
Umum
Tujuan Penelitian
Gambaran karakteristik anak yang pernah didiagnosis ISPA pada periode
tahun pertama kehidupan di Puskesmas Pancoran Mas meliputi umur,
jenis kelamin, berat badan lahir, status gizi, status imunisasi, dan
pemberian vitamin A.
Gambaran karakteristik ibu yang memiliki anak yang pernah didiagnosis
ISPA pada periode tahun pertama kehidupan di Puskesmas Pancoran
Mas meliputi umur, pendidikan, pekerjaan ibu, dan status ekonomi
keluarga.
Gambaran pemberian ASI eksklusif pada bayi berusia 12-23 bulan di
Puskesmas Pancoran Mas.
Gambaran kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di
Puskesmas Pancoran Mas.
Hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada periode
tahun pertama kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas.
Hubungan karakteristik anak (jenis kelamin, berat badan lahir, status gizi,
status imunisasi, dan pemberian vitamin A) dengan kejadian ISPA pada
bayi berusia 12-23 bulan di Puskesmas Pancoran Mas.
Hubungan karakteristik ibu (pendidikan, pekerjaan ibu, dan status
ekonomi keluarga) dengan kejadian ISPA pada bayi berusia 12-23 bulan
di Puskesmas Pancoran Mas.
Tujuan
Khusus
Diidentifikasin
ya
2. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan setiap hari
Senin-Sabtu pada tanggal 27 Maret-
12 Mei 2014 dengan responden ibu
yang membawa anaknya berusia 12-
23 bulan dan pernah didiagnosis ISPA
ke Puskesmas Pancoran Mas pada
bulan Maret-April 2014
Wawancara berdasarkan kuesioner
dilakukan kepada 62 responden
Karekteristik Anak
Rata-rata umur anak yang berkunjung ke Puskesmas
Pancoran Mas pada bulan April-Mei 2014 yang
pernah didiagnosis ISPA yaitu 16,97 bulan.
Variabel Mean Median Minimal-
Maksimal
Standar
Deviasi
95% CI
Umur anak 16,97 16,50 12-23 3,506 16,08-17,86
Karakteristik Anak
mayoritas jenis
kelamin anak yang
berkunjung ke
Puskesmas
Pancoran Mas pada
bulan April-Mei 2014
yang pernah
didiagnosis ISPA
yaitu laki-laki
sejumlah 36 orang
(58,1%)
Sebagian besar anak
memiliki berat badan
lahir normal, yaitu 61
iorang (98,4%)

No Variabel Frekuen
si
Presenta
se (%)
1. Jenis
kelamin
- Laki-laki
- Perempu
an
Total

36
26
62

58,1
41,9
100.0
2. Berat badan
lahir
- Kurang
- Normal
Total


1
61
62


1,6
98,4
100,0
Karakteristik Anak
Status gizi anak
sebagian besar
normal, yaitu
sebanyak 57 orang
(91,9%) dan tidak
ada anak yang
memiliki status gizi
sangat kurus.
Status imunisasi
anak mayoritas
lengkap, yaitu
sebanyak 52 orang
(83,9%).
Sebagian besar,
yaitu sebanyak 60
orang (96,8%) anak
mendapat satu kali
atau lebih vitamin A.
No Variabel Frekuen
si
Presentas
e (%)
3. Status Gizi
- Sangat kurus
- Kurus
- Normal
Total

0
5
57
62

0
8,1
91,9
100,0
4. Status imunisasi
- Lengkap
- Tidak lengkap
Total

52
10
62

83,9
16,1
100,0
5. Pemberian Vitamin
A
- Ya
- Tidak
Total

60
2
62

96,8
3,2
100,0
Karakteristik Ibu
usia ibu sebagian
besar 30 tahun,
yaitu sebanyak 33
orang (53,2%).
Distribusi tingkat
pendidikan ibu
tidak merata untuk
setiap tingkat
pendidikan.
Pendidikan ibu
paling banyak
(48,4%), yaitu SMA
N
o
Variabel Frekuens
i
Presentas
e (%)
1. Umur ibu
- < 30 tahun
- 30 tahun
Total

29
33
62

46,8
53,2
100.0
2. Pendidikan Ibu
- SD
- SMP
- SMA
- D1/D2/D3
- S1/S2/S3
Total

8
23
30
1
0
62

12,9
37,1
48,4
1,6
0
100,0
Karakteristik Ibu
Mayoritas
pekerjaan ibu
ialah ibu
rumah tangga,
yaitu sebanyak
59 orang
(95,2%).
Pendapatan
keluarga paling
banyak
(74,2%), yaitu
lebih dari satu
juta sebanyak
46 orang.
No Variabel Frek
uens
i
Presentas
e (%)
3. Pekerjaan Ibu
- PNS
- Swasta
- Wiraswasta
- Ibu Rumah
Tangga
- lain-lain (guru
honorer)
Total

0
1
1
59
1
62

0
1,6
1,6
95,2
1,6
100,0
4. Pendapatan
Keluarga
- > 1 juta
- 500 ribu-1 juta
- < 500 ribu
Total

46
15
1
62

74,2
24,2
1,6
100,0
Status Pemberian ASI Eksklusif
Sebagian besar anak tidak mendapat ASI eksklusif,
yaitu sejumlah 56 orang (90,3%) dan hanya 6 orang
(6,7%) anak yang mendapat ASI eksklusif.
Variabel Frekuensi Presentase (%)
ASI eksklusif 6 6,7
ASI tidak eksklusif 56 90,3
Total 62 100,0
Kejadian ISPA pada Periode Tahun
Pertama Kehidupan Anak
Variabel Mean Median Minimal-
Maksimal
Standar
Deviasi
95% CI
Kejadian
ISPA
2,90 3,00 1-9 1,606 2,50-3,31
Sebagian besar anak tidak mendapat ASI eksklusif,
yaitu sejumlah 56 orang (90,3%) dan hanya 6 orang
(6,7%) anak yang mendapat ASI eksklusif.
Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan
Kejadian ISPA pada Periode Pertama
Kehidupan Anak
Anak yang mendapat ASI eksklusif jumlahnya ekstrim
rendah, yaitu 6 orang.
Rata-rata kejadian ISPA pada anak yang mendapat
ASI eksklusif yaitu 1,67 kali.
Hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di
Puskesmas Pancoran Mas ( value < : 0,021).
* bermakna pada alpha
0,05
Status
pemberian ASI
ISPA
N Mean
0,021 Eksklusif 6 1, 67
Tidak eksklusif 56 3,04
Jumlah 62
Hubungan Karakteristik Anak dengan
Kejadian ISPA pada Periode Tahun
Pertama Kehidupan
* bermakna pada alpha
0,05
Rata-rata kejadian ISPA lebih sering terjadi
pada anak berjenis kelamin laki-laki yaitu 2,97.
Tidak terdapat hubungan jenis kelamin dengan
kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan
anak di Puskesmas Pancoran Mas ( value > :
0,583).
Jenis Kelamin ISPA
N Mean
0,583 Laki-laki 36 2,97
Perempuan 26 2,81
Jumlah 62
* bermakna pada alpha
0,05
Rata-rata kejadian ISPA lebih sering terjadi
pada anak dengan status gizi normal yaitu 2,91
kali
Tidak ada hubungan status gizi dengan
kejadian ISPA pada periode tahun pertama
kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas
( > : 0,884).
Status Gizi ISPA Chi-
Square
N Mean
0,884

0,21 Sangat kurus 0 0
Kurus 5 2,80
Normal 57 2,91
Jumlah 62 2,90
* bermakna pada alpha
0,05
Rata-rata kejadian ISPA pada periode tahun
pertama kehidupan anak paling sering terjadi
pada anak dengan BBLR yaitu sebanyak 3 kali.
Tidak terdapat hubungan berat badan lahir
dengan kejadian ISPA pada periode tahun
pertama kehidupan anak di Puskesmas
Pancoran Mas ( value > : 0,871).
Berat Badan Lahir ISPA
N Mean
0,871 Kurang (< 2500 gram) 1 3,00
Normal ( 2500 gram) 61 2,90
Jumlah 62
* bermakna pada alpha
0,05
rata-rata kejadian ISPA pada periode tahun
pertama kehidupan paling sering terjadi pada
anak yang mendapat imunisasi tidak lengkap,
yaitu 3,4 kali
Tidak terdapat hubungan status imunisasi
dengan kejadian ISPA pada periode tahun
pertama kehidupan anak di Puskesmas
Pancoran Mas ( value > : 0,731).
Status
Imunisasi
ISPA
N Mean
0,731 Lengkap 52 2,81
Tidak lengkap 10 3,40
Jumlah 62
* bermakna pada alpha
0,05
rata-rata kejadian ISPA pada periode tahun
pertama kehidupan paling sering terjadi pada
anak yang tidak mendapat vitamin A yaitu 4 kali
Tidak terdapat hubungan pemberian vitamin A
dengan kejadian ISPA pada periode tahun
pertama kehidupan anak di Puskesmas
Pancoran Mas ( value > : 0,254).
Pemberian
Vitamin A
ISPA
N Mean
0,254 Ya 60 2,87
Tidak 2 4,00
Jumlah 62
Hubungan Karakteristik Ibu dengan
Kejadian ISPA pada Periode Tahun
Pertama Kehidupan Anak
Rata-rata kejadian ISPA pada periode tahun pertama
kehidupan anak paling sering terjadi pada anak
dengan ibu berperndidikan SMA, yaitu 3,03 kali.
Tidak ada hubungan pendidikan ibu dengan kejadian
ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di
Puskesmas Pancoran Mas ( > : 0,960).
* bermakna pada alpha
0,05
Pendidikan Ibu ISPA Chi-Square
N Mean
0,960

0,300 SD 8 2,88
SMP 23 2,74
SMA 30 3,03
D1/D2/D3 1 3,00
S1/S2/S3 0 0
Jumlah 62 2,90
* bermakna pada alpha
0,05
Rata-rata kejadian ISPA pada periode tahun
pertama kehidupan paling sering terjadi pada
anak dengan ibu wiraswasta, yaitu 4 kali
Tidak ada hubungan pekerjaan ibu dengan
kejadian ISPA pada periode tahun pertama
kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas
( > : 0,452).
Pekerjaan Ibu ISPA Chi-Square
N Mean
0,452

1,587 Swasta 1 2,00
Wiraswasta 1 4,00
Ibu rumah tangga 59 2,90
Lain-lain (guru
honorer)
1 3,00
Jumlah 62 2,90
* bermakna pada alpha
0,05
Rata-rata kejadian ISPA pada periode tahun
pertama kehidupan paling sering terjadi pada
anak dengan keluarga berpenghasilan > 1 juta,
yaitu 2,98 kali
Tidak ada hubungan status ekonomi keluarga
dengan kejadian ISPA pada periode tahun
pertama kehidupan anak di Puskesmas
Pancoran Mas ( > : 0,353).
Pendapatan
Keluarga
ISPA Chi-
Square
N Mean
0,353

2,082 > 1 juta 46 2,98
500 ribu-1 juta 15 2,80
< 500 ribu 1 1,00
Jumlah 62 2,90
3. Pembahasan
Sejalan: Nasution dkk (2009) menunjukkan bahwa 47
anak (45,6%) yang mengalami ISPA berada pada rentang
usia 13-36 bulan.
Kontradiksi: Williams dkk (2004) menunjukkan bahwa rata-rata
usia anak yang menderita infeksi saluran pernapasan bawah
karena human metapneumovirus, yaitu 11, 6 bulan.

Umur anak
Usia rata-rata anak pada penelitian ini, yaitu
16,97 bulan dan usia yang paling banyak
adalah 16 bulan
Karakteristik Anak
Buku pedoman P2 ISPA menjelaskan bahwa laki-laki
adalah faktor risiko yang mempengaruhi kesakitan
pneumonia (Depkes RI, 2004 dalam Rizkianti, 2009).
Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian
ISPA pada Periode Tahun Pertama
Kehidupan
Tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis
kelamin dengan kejadian ISPA pada periode tahun
pertama kehidupan
Sejalan: Nasution dkk (2009) ; Dewi (2010) ; Sumasari
dan Widarini (2010) menyebutkan bahwa tidak
didapatkan hubungan bermakna antara jenis kelamin
dengan kejadian ISPA pada balita.
Kontradiksi: Fitrah (2009) menunjukkan bahwa jenis
kelamin memiliki hubungan yang bermakna dengan
kejadian ISPA pada balita ( value = 0,017).
Perbedaan tersebut terjadi karena banyak faktor lain
yang lebih kuat mempengaruhi kejadian ISPA pada
anak seperti faktor lingkungan, nutrisi, dan faktor sosial
ekonomi keluarga.
Pada penelitian ini jenis
kelamin bukan merupakan
faktor penting dalam
mempengaruhi kejadian
ISPA
Infeksi mempengaruhi status gizi melalui pengurangan
asupan makanan dan absorbsi usus, dan juga
peningkatan katabolisme yang dibutuhkan untuk sintesis
nutrisi.
malnutrisi bisa menjadi faktor predisposisi terjadinya
infeksi karena memberikan efek negatif pada sistem imun
tubuh (Schoenbaum, Tulchinsky & Abed, 1995 dalam
Adelina, 2009)
Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA
pada Periode Tahun Pertama Kehidupan
Tidak ada hubungan yang bermakna antara status
gizi dengan kejadian ISPA pada periode tahun
pertama kehidupan
Sejalan: Rustam (2010) ; Adelina (2009) yang
menghasilkan hubungan yang tidak bermakna antara
status gizi dengan kejadian ISPA pada bayi.
Catiyas (2012) terhadap 166 balita menunjukkan
bahwa terdapat hubungan signifikan antara status
gizi dengan kejadian ISPA pada balita ( value =
0,045) dan menunjukkan bahwa balita yang
mempunyai status gizi kurang mempunyai peluang
4,1 kali lebih besar untuk menderita ISPA
dibandingkan dengan balita yang memiliki status
gizi baik. Candra dan
Elyana (2011)
menunjukkan
bahwa status gizi
berhubungan
dengan frekuensi
ISPA ( value =
0,0001).
Perbedaan hasil
tersebut karena
sebagian besar
(91,5%) anak memiliki
status gizi normal
Hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan:
Status gizi pada penelitian ini
tidak mempengaruhi kejadian
ISPA pada periode tahun
pertama kehidupan
Mayoritas anak memiliki berat badan lahir normal
Pada bayi dengan BBLR pembentukan sistem
kekebalan tubuh belum sempurna sehingga rentan
terhadap infeksi.
Penyebab utama kematian pada BBLR adalah
asfiksia, sindrom gangguan pernapasan, infeksi
dan komplikasi hipotermia (Dachi, 2009 dalam Ayu
& Sukmawati, 2010).
Rustam (2010) ; Sumasari dan Widarini (2010) ;
Ayu dan Sukmawati (2010) menghasilkan
hubungan yang tidak bermakna antara berat badan
lahir dengan kejadian ISPA pada bayi.
Hubungan Berat Badan Lahir dengan
Kejadian ISPA pada Periode Tahun Pertama
Kehidupan
Tidak ada hubungan yang bermakna antara berat
badan lahir dengan kejadian ISPA pada periode
tahun pertama kehidupan
Ariyanto (2008) melaporkan adanya
hubungan riwayat berat badan lahir
rendah 2,21 kali (95% CI: 1,00-4,42),
secara statistik terdapat hubungan yang
signifikan antara berat badan lahir
dengan kejadian ISPA ( value = 0,04). Campbell et al (2013)
yang dilakukan di
Skotlandia, yaitu ada
hubungan yang
signifikan antara
berat badan lahir
dengan kejadian
ISPA pada anak (
value = 0,04).
Perbedaan hasil
tersebut karena jumlah
sampel penelitian ini
lebih sedikit, dan
perbedaan tempat
penelitian
Hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan:
Pada penelitian ini berat badan
lahir tidak mempengaruhi
kejadian ISPA pada tahun
pertama kehidupan
Mayoritas anak mendapat imunisasi lengkap
Pada periode tahun pertama kehidupan anak
belum memiliki kekebalan tubuh sendiri (humoral),
maka perlu mendapat kekebalan yang diperoleh
dari pemberian imunisasi (Supartini, 2004 dalam
Fattah, 2013).
Sejalan: Gertrudis (2010) menyatakan bahwa tidak
ada hubungan yang signifikan antara status
imunisasi dengan kejadian ISPA pada periode
tahun pertama kehidupan ( value = 0,26).
Kontradiksi::

Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian
ISPA pada Periode Tahun Pertama
Kehidupan
Tidak ada hubungan yang bermakna antara status
imunisasi dengan kejadian ISPA pada periode tahun
pertama kehidupan
Ariyanto (2008)
menunjukkan bahwa
ada perbedaan
proporsi kejadian
ISPA pada balita yang
pernah diimunisasi
campak dengan yang
tidak pernah
diimunisasi ( value =
0,015).
Campbell et al (2013)
di Skotlandia
menunjukkan bahwa
ada hubungan yang
signifikan antara status
imunisasi dengan
kejadian ISPA pada
anak ( value = 0,021).
Perbedaan hasil tersebut
karena mayoritas anak
mendapat imunisasi
lengkap, status imunisasi
tidak menjamin balita
terhindar dari penyakit
ISPA karena terdapat
banyak faktor lain yang
menyebabkan ISPA,
Aisyah, Arifianto, dan Rachel
(2012) di Kabupaten
Pekalongan yang menemukan
adanya hubungan yang
signifikan antara status
imunisasi dengan kejadian
ISPA pada balita.
Hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan:
Tidak ada pengaruh status
imunisasi pada penelitian ini
dengan kejadian ISPA pada
periode tahun pertama
kehidupan
Mayoritas anak mendapat satu kali vitamin A pada
tahun pertama kehidupan
Pemberian vitamin A pada balita sangat berperan
untuk pertumbuhan, daya tahan tubuh, dan
kesehatan terutama penglihatan, reproduksi,
sekresi mukus dan untuk mempertahankan sel
epitel yang mengalami diferensiasi (Arsin,
Marhamah, & Wahiduddin, 2013).
Sejalan: Dewi (2010); Nasution dkk (2009) yang
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara pemberian vitamin A dengan
kejadian ISPA pada balita ( value = 1,000).
Hubungan Pemberian Vitamin A dengan
Kejadian ISPA pada Periode Tahun Pertama
Kehidupan
Tidak ada hubungan yang bermakna antara
pemberian vitamin A dengan kejadian ISPA pada
periode tahun pertama kehidupan
Arsin, Marhamah, dan
Wahiduddin (2013)
yang menjelaskan
bahwa terdapat
hubungan yang
signifikan antara
pemberian vitamin A
dengan kejadia ISPA
pada balita ( value =
0, 039).
Juwita, Mahyudin, dan
Sari (2012)
menunjukkan bahwa
ada hubungan yang
bermakna antara
pemberian kapsul
vitamin A dengan
kejadian ISPA ( value
= 0,008).
Penelitian ini yang tidak bermakna
karena pemberian vitamin A diberikan
saat posyandu pada bulan Februari
dan Agustus sehingga tidak ada data
sekunder yang akurat di Puskesmas
untuk pemberian vitamin A.
Hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan:
Tidak ada pengaruh pemberian
vitamin A pada penelitian ini
dengan kejadian ISPA pada
periode tahun pertama
kehidupan
Sejalan: Irdawati dan Wahyuti (2012) menunjukkan
bahwa 37 orang (52,1%) orang tua balita berusia antara
30-42 tahun.
Kontradiksi: Fitriyani, Sodikin, dan Yuliarti (2013) yang
menunjukkan bahwa mayoritas ibu berusia 35 tahun, yaitu
sebanyak 51 orang (76,1%).
Aderita dan Irdawati (2012) menunjukkan bahwa terdapat
63,33% ibu yang berusia 30 tahun.

Umur ibu
Mayoritas umur ibu pada penelitian ini,
yaitu 30 tahun
Karakteristik Ibu
Mayoritas anak mendapat satu kali vitamin A pada
tahun pertama kehidupan
Pemberian vitamin A pada balita sangat berperan
untuk pertumbuhan, daya tahan tubuh, dan
kesehatan terutama penglihatan, reproduksi,
sekresi mukus dan untuk mempertahankan sel
epitel yang mengalami diferensiasi (Arsin,
Marhamah, & Wahiduddin, 2013).
Sejalan: Dewi (2010); Nasution dkk (2009) yang
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara pemberian vitamin A dengan
kejadian ISPA pada balita ( value = 1,000).
Hubungan Pemberian Vitamin A dengan
Kejadian ISPA pada Periode Tahun Pertama
Kehidupan
Tidak ada hubungan yang bermakna antara
pemberian vitamin A dengan kejadian ISPA pada
periode tahun pertama kehidupan
Arsin, Marhamah, dan
Wahiduddin (2013)
yang menjelaskan
bahwa terdapat
hubungan yang
signifikan antara
pemberian vitamin A
dengan kejadia ISPA
pada balita ( value =
0, 039).
Juwita, Mahyudin, dan
Sari (2012)
menunjukkan bahwa
ada hubungan yang
bermakna antara
pemberian kapsul
vitamin A dengan
kejadian ISPA ( value
= 0,008).
Penelitian ini yang tidak bermakna
karena pemberian vitamin A diberikan
saat posyandu pada bulan Februari
dan Agustus sehingga tidak ada data
sekunder yang akurat di Puskesmas
untuk pemberian vitamin A.
Hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan:
Tidak ada pengaruh pemberian
vitamin A pada penelitian ini
dengan kejadian ISPA pada
periode tahun pertama
kehidupan
Keterbatasan Penelitian
Tidak seimbangnya distribusi
responden berdasarkan jenis kelamin
karena mahasiswa FIK UI memiliki
sedikit mahasiswa berjenis kelamin
laki-laki
Penelitian ini hanya membatasi
kecerdasan emosional berdasarkan
faktor usia, jenis kelamin, masa studi
dan pengalaman praktikum di rumah
sakit.
Pelayanan Keperawatan
Terdapat 8 orang mahasiswa yang menyatakan
belum menyadari bahwa pelajaran tentang caring
dan empati terkait dengan kecerdasan emosional
sehingga mempengaruhi performa saat praktikum
dirumah sakit
Pendidikan Keperawatan
Didapatkan data bahwa tingkat kecerdasan
emosional mahasiswa FIK UI masih kurang baik.
FIK sudah memfasilitasi materi perkuliahan
tentang komponen kecerdasan emosional secara
tidak langsung melalui mata kuliah Konsep Dasar
keperawatan (KDK) tetapi mahasiswa belum
menyadari hal tersebut
Penelitian Selanjutnya
Terdapat responden yang mengisi kuesioner tanpa
memperhatikan maksud dari pernyataan yang
terdapat pada kuesioner sehingga mengisi
sembarangan.
Implikasi terhadap
Keperawatan
4. Penutup
Responden sebagian besar berusia dibawah 20 tahun,
mayoritas berjenis kelamin perempuan karena
mahasiswa FIK UI didominasi oleh perempuan dan
proporsi responden hampir merata di setiap angkatan.
Dari total responden yang berjumlah 198 orang,
mayoritas responden belum pernah praktikum di rumah
sakit.
Gambaran tingkat kecerdasan emosional responden
menunjukkan rata-rata responden memiliki kecerdasan
emosional kurang baik
Adanya hubungan yang bermakna antara pengalaman
praktikum dirumah sakit dengan tingkat kecerdasan
emosional dan masa studi dengan tingkat kecerdasan
emosional mahasiswa, sedangkan usia dan jenis kelamin
tidak ada hubungan dengan tingkat kecerdasan
emosional mahasiswa

Kesimpulan
Pendidikan Keperawatan
Institusi pendidikan mengetahui bahwa kecerdasan
emosional mahasiswa harus terus ditingkatkan agar lebih
baik.
Materi perkuliahan yang mengandung komponen
kecerdasan emosional seperti caring, empati, dan
hubungan interpersonal lebih ditekankan lagi agar
mahasiswa menyadari pentingnya hal tersebut.
Diharapkan kedepannya, institusi pendidikan
keperawatan dapat menjadikan kecerdasan emosional
sebagai salah satu tes yang diujikan pada mahasiswa
baru untuk mengetahui tingkat kecerdasan emosional
mahasiswanya.
Saran
Mahasiswa Keperawatan
Meningkatkan kecerdasan emosional dengan cara
mengaplikasikan teori keperawatan yang telah dipelajari
selama perkuliahan dalam kehidupan sehari-hari ataupun
praktikum di rumah sakit seperti peduli, empati, dan
komunikasi terapeutik. Peluang mahasiswa untuk sukses
lebih besar dengan meningkatkan kecerdasan
emosionalnya
Penelitian Selanjutnya
Diharapkan penelitian selanjutnya dapat meneliti faktor-
faktor lain yang dapat mempengaruhi kecerdasan
emosional seperti pengalaman kerja dan tingkat
pendidikan.
Penelitian mengenai kecerdasan emosional dapat
dilakukan pada mahasiswa yang telah lulus, perawat di
rumah sakit untuk mengatahui tingkat kecerdasan
emosionalnya.
Penelitian mengenai kecerdasan emosional pada
mahasiswa lebih lanjut masih perlu dilakukan dengan
metode yang berbeda, misalnya penelitian kualitatif
dengan metode wawancara dan lain-lain
Daftar Pustaka
Codier, E., & Oddel, E. (2013). Measured emotional intelligence ability and grade point
average in nursing students. Nurse Education Today. Belum dipublikasikan.
Collins, S. (2013). Emotional intelligence as a noncognitive factor in student Registered
Nurse Anesthetists. AANA Journal, 81, 465-472
Fariselli, L., Ghini M., Freedman, J. (2008). Age and emotional intelligence.
http://www.6seconds.org/sei/WP_EQ_and AGE.pdf . Diunduh 8 Desember 2013
Fernandez-Berrocal, P & Ruiz, D, (2008). Emotional intelligence in education. Electronic
journal of research in educational psychology, 15, 421-436
Gardner, H. (2011). Frames of mind: The theory of multiple intelligences. New York: Basic
Books.
Gerits et al. (2005). Emotional intelligence profiles of nurses caring for people with severe
behaviour problems. Science direct: Personality and Individual Differences. 38, 3343
Goleman, D. (2005). Emotional Intelligence. New York: Bantam Dell A Division of Random
House
Goleman, D. (2011). Working with emotional intelligence. New York: Bantam Dell A Division
of Random House Inc.
Jones, A. E. (2013). Emotional intelligence and clinical performance in senior undergraduate
nursing students. San Marcos: Califonia State University
Mayer, J.D., & Salovey, P. (1997). Emotional development and emotional intelligence:
Educational applications. New York: Basic Books.
Namdar, H., Sahebihagh, M., Ebrahimi, H., Rahmani, A. (2008). Assessing emotional intelligence
and its relationship with demographic factors of nursing students . IJNMR Autumn, 13, 145-149





Noor-Azniza, I., & Jdaitawi, M. (2009). Emotional Intelligence among Arabic Community in
Campus. http://cob.uum.edu.my/amgbe/files/164F-dr-NoorAznizaIshak full paper.pdf .
Diunduh 3 Desember 2013
Noor-Azniza, I., Malek, T. J., Ibrahim, Y. S., Farid, T. M. (2011). Moderating effect of gender
and age on the relationship between emotional intelligence with social and academic
adjustment among first year university students. International Journal of Psychological
Studies, 3, 78-89
Novelia, G. (2012). Hubungan kecerdasan emosional dengan perilaku caring pada perawat
instalasi rawat inap (irna) B Rumah sakit umum pusat (rsup) fatmawati. Depok: Tidak
dipublikasikan
Petrides, K. V. & Furnham, A. (2006). The role of trait emotional intelligence in a gender-
specific model of organizational variables. Journal of Applied Social Psychology, 36, 552-
569.
Potter, P. & Perry, A. G. (2005). Fundamental keperawatan: Konsep, proses dan praktis
(Dian Evriyani, Enie Noviestari, Ellen Panggabean, Kusrini, Made Sumarwati dan Yasmin
Asih, Penerjemah.). Jakarta: EGC.
Potter, P. & Perry, A. G. (2009). Fundamental Keperawatan, Ed. 7, Buku 1. Jakarta:
Salemba Medika
Shipley, N.L., Jackson, M.J., Segrest, S.L., (2010). The effects of emotional intelligence,
age, work experience, and academic performance. Research in Higher Education
Journal, 1-18
Sukardi. (2004). Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Prakteknya. Jakarta :
Bumi aksara.
Tafazoli, M., Hosseini, S., Sharbar, H. A., Makarem, A., Zadeh, S. E. (2012). A study of
relationship between emotional intelligence and clinical performance in training field in
midwifery students of nursing and midwifery school. Future Of Medical Education Journal,
2, 13-18
Vandervoot, D.J. (2006). The importance of emotional intelligence in higher education. Curr
Psychol.25, 4-7
Walker, M (2006). Emotional intelligence and academic success in college. Salt Lake City,
UT: University of Utah

También podría gustarte