Está en la página 1de 7

Analisa

Kita menyaksikan selama empat setengah tahun duet SBY-JK belakangan


ini banyak sekali isu yang beredar tentang ketidakharmonisan SBY dengan JK,
ketidakharmonisan ini tentunya muncul akibat kekuatan yang dimiliki oleh JK
yang secara struktural memiliki kekuatan di parlemen lewat partai Golkar dan JK
yang sekaligus sebagai Ketua Umum Partai Golkar, kemudian ditambah pribadi
dan gaya kepemimpinan JK sendiri yang lugas dan cepat dalam mengambil
keputusan sehingga JK sebagai penyeimbang kekurangan SBY memunculkan
kesan adanya kepemimpinan ganda bahkan JK oleh beberapa tokoh dilabeli
dengan “The Real Presiden”. Tentunya untuk lima tahun kedepan SBY tidak ingin
pengalaman pada periode pertama kepemimpinannya terulang kembali, sehingga
SBY mengambil wakilnya yang akan diprediksikan sesuai dengan karakter dan
gaya kepemimpinan SBY seperti presentasi Boediono yang akan dapat
memberikan rasa nyaman dalam bekerja dan mententramkan psikologis
kepemimpinan SBY.

Selain itu gaya kepemimpinan SBY yang berlatar belakang militer yang
mengedepankan sistem komando dan formalistik. Walaupun SBY telah lama
menyesuaikan diri dengan kepemimpinan sipil yang egaliter dan demokratis tetapi
tentunya budaya militer sebagai dasar pembentukan karakter kepemimpinan SBY
tidak bisa hilang begitu saja. Hal ini dapat kita lihat beberapa contoh kasus gaya
kepemimpinan militeristik SBY yang masih melekat, seperti beberapakali
memarahi menterinya di depan umum. Kemudian beberapa kasus disharmonisasi
SBY dengan JK yang terjadi karena kasus yang tidak substansial misalnya
masalah protokoler, kinerja JK yang dianggap melewati kewenangannya, dsb.

Semua itu muaranya adalah masalah karakter, dan gaya kepemipinan


seseorang, sehingga SBY banyak dianggap oleh beberapa kalangan sebagai
antikritik dan mewarisi semangat feodalisme.

Apakah faktor gaya kepemimpinan ini menjadi salah satu alasan SBY
memilih Boediono yang kalem, mungkin saja bisa jadi.
Dalam sistem presidensial yang kita anut, presiden memang mempunyai
hak penuh mengatur kerja lembaga kepresidenan. Namun, wakil presiden,
lebihlebih setelah reformasi, bukan lagi sekadar “ban cadangan”.

Bukan jadi rahasia lagi bila dalam diri SBY muncul ketakutan dan
ketidakpuasan dengan sosok JK sebagai wakil presiden, karena selama 4 tahun
memimpin bersama sosok JK seringkali mengambil keputusan untuk masalah
nasional, memang itu bukan suatu yang buruk namun karena SBY hampir selama
separuh karirnya terlibat di gaya kepeminpinan Orde Baru, dimana selama ini
wakil presiden itu hanya sebagai simbol atau “ban serep” bagi presiden, apabila
presiden berhalangan hadir dalam suatu acara, bukan sebagai pengganti presiden
untuk membuat keputusan. Perjalanan dan gaya kepemimpinan JK tidak cocok
jika orang nomor dua di Republik ini hanya dijadikan sebagai ban serep
sebagaimana wakil-wakil presiden yang lalu.

Oleh karena itu banyak isu-isu yang beredar alasan SBY memilih
Boediono sebagai wakil presiden, karena SBY menginginkan seorang wakil
presiden yang bukan untuk melampaui kewenangannya sebagai pembuat
keputusan melainkan seorang wakil presiden yang bisa membantu dia membuat
keputusan.

Memang dapat diakui JK merupakan wakil presiden terbaik yang dimiliki


bangsa Indonesia selama ini, oleh karena itu wakil presiden saat ini Boediono
mengakui bahwa dirinya tidak dapat menjadi wakil presiden eksekutor seperti JK
yang bekerja secara efisien dan efektif, karena dirinya merasa memiliki gaya
kepemimpinan yang berbeda dengan JK.

Namun hal itu dibantah oleh Boediono bahwa dirinya tidak hanya akan
menjadi ban serep SBY, beliau akan menjadi pembantu presiden

Selain itu secara psikologis tempet kerja yang terpisah antara presiden dan
wakil presiden, dimana ada istana presiden dan istana wakil presiden seolah-olah
ada rivalitas diantara keduanya, oleh karena itu ada baiknya presiden dan wakil
presiden bekerja saling berdekatan, agar meminimalkan gesekan, rivalitas dan
pengaruh-pengaruh buruk orang terdekat mereka yang mempengaruhi
keharmonisan mereka.

Tipe Kepemimpinan

• Susilo Bambang Yudhoyono

Menurut Kurt Lewin, tipe kepemimpinan SBY masuk dalam


democratic style dimana tipe pemimpin dengan gaya ini dalam mengambil
keputusan selalu mengajak beberapa perwakilan bawahan, namun
keputusan tetap berada di tangannya.

Selain itu pemimpin yang demokratis berusaha mendengar


berbagai pendapat, menghimpun dan menganalisa pendapat-pendapat
tersebut untuk kemudian mengambil keputusan yang tepat. Tidak jarang
hal ini menimbulkan preseden bahwa SBY seorang yang lambat dalam
mengambil keputusan dan tidak jarang mengurangi tingkat determinasi
dalam mengambil keputusan. Pemimpin ini kadang tidak firmed ketika
melaksanakan keputusan karena ia kadang goyah memperoleh begitu
banyak masukan dalam proses implementasi kebijakan.

Secara teoritis pemimpin tipe ini bisa menerima kritik, kritik


dibalas pula dengan kontra kritik. Bukan menjadi rahasia lagi bila
seringkali kita melihat dan mendengar bagaimana SBY melakukan kontra
kritik terhadap orang-orang yang mengkritiknya. SBY percaya bahwa
kebenaran hanya bisa diperoleh dari wacana publik yang melibatkan
sebanyak mungkin elemen masyarakat.

Selain itu tipe pemimpin ini dalam mengambil keputusan


berorientasi pada orang, apresiasi tinggi pada staf dan sumbangan
pemikiran dari mana pun.
• Jusuf Kalla

Menurut Kurt Lewin tipe kepemimpinan JK masuk dalam


authoritarian style dimana pemimpin selalu mengatakan apa yang
diinginkannya, dan bagaimana mengimplementasikan keinginannya, tanpa
meminta pendapat dan masukkan dari bawahannya. Dan bawahan harus
melaksankannya.

Pemimpin tipe ini tidak suka dikritik, apalagi dikecam. Ia dapat


menghukum bawahan apabila tidak melaksanakan perintahnya. Ia firmed
dalam mengambil keputusan, sekali keputusan diambil, ia konsisten
melaksanakannya, apapun konsekuensi yang ditimbulkannya.

Dalam mengambil keputusan berorientasi pada tugas. Tidak heran


JK mesuk dalam tipe kepemimpinan ini karena latar belakangnya sebagai
pengusaha dimana sebagai seorang pebisnis instinknya amat tajam, tentu
perhitungannya cost-benefit sebagaimana usahawan yang lain. Sebagai
usahawan yang ulet, tingkat determinasinya tinggi, dan bahkan
mempunyai kecenderungan ke arah dominan. Perjalanan dan gaya
kepemimpinan JK tidak cocok jika orang nomor dua di Republik ini hanya
dijadikan sebagai ban serep sebagaimana wakil-wakil presiden yang lalu.

• Boediono

Menurut Kurt Lewin tipe kepemimpinan Boediono masuk dalam


laissez-faire style dimana pemimpin tipe ini mempersilahkan bawahannya
untuk membuat keputusan. Pemimpin percaya terhadap apa yang
diputuskan dan dilaksanakan oleh bawahan. Tapi, ia tetap bertanggung
jawab atas pelaksanaan keputusan.

Pemimpin tipe ini tidak terlalu pusing dengan jalannya


pemerintahan. Ia memberikan full delegation of authority kepada para
pembantu di bidang masing-masing. Perannya terbatas sebagai pengatur.
Orientasi tidak jelas, seperti tidak terlampau serius menangangi
permasalahan sebab dianggap sudah ada pembantunya yang bekerja untuk
itu.

Kesimpulan

SBY dengan tipe demokratis-nya yang cenderung untuk meminta


masukkan dalam mengambil keputusan, memperhatikan orang dalam mengambil
keputusan, berdasarkan aturan atau hierarki yang ada, melakukan pemikiran-
pemikiran yang mendalam sebelum memutuskan, dan keputusan harus ditetapkan
olehnya selaku presiden. Kurang bisa berdampingan dengan JK sebagai presiden
yang memiliki tipe otoriter, dimana kurang memperhatikan atueran atau hierarki
dalam mengambil keputusan sehingga seringkali melangkahi presiden dalam
membuat keputusan, keputusan diambil berdasarkan keinginannya dan bawahan
harus melakukannya, berorientasi pada tugas, cepat mengambil keputusan karena
memang latar belakangnya sebagai pengusaha. Sedangkan Boediono yang tipe
laissez-faire cenderung percaya terhadap apa yang diputuskan orang lain, ia hanya
sebagai pengontrol, orientasi nggak jelas asalkan berjalan baik.

Dari hal di atas dapat disimpulkan mengapa SBY tidak melanjutkan


pasangan Bersama Kita Bisa dengan JK, karena perbedaan tipe kepemimpinan,
meskipun pasangan ini merupakan pasangan presiden dan wakil presiden terbaik
setelah Soekarno dan Hatta. Oleh karena itu diperlukan sikap menerima dan
mengakomodasi antar mereka, dimana SBY maklum apabila JK mengambil
keputusan karena sifatnya darurat dan beliau sedang tidak ada di tempat,
sedangkan JK sebaiknya mengkomunikasikan dahulu dengan atasannya sebelum
membuat keputusan. Bahkan seringkali terjadi perbedaan pendapat diantara
keduanya.

Sehingga keputusan SBY mengambil Boediono sebagai wakil presiden


bisa dikatakan SBY ingin melakukan pemerintahan tanpa adanya intervensi dari
pembantunya karena ia menginginkan pembantunya hanya sebagai orang yang
memberikan masukan dan pendapat atau sebagai kontrolnya. Hal ini ditemukan
pada sosok Boediono yang kurang memperhatikan perbedaan pendapat bisa
menerima dan ikut keputusannya.

TUGAS UAS

PSIKOLOGI POLITIK

Perbedaan Tipe Kepemimpinan Antara SBY, JK, dan


Boediono Dalam Proses Pengambilan Keputusan
Oleh:

Hendra Andrianto Djohar 110511215

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2009

También podría gustarte