Está en la página 1de 42

1

TINJAUAN MATA KULIAH


Nama Matakuliah : MANAJEMEN MARIKULTURE
Kode / SKS : PIB 3217 / 2-1 SKS
Prasyarat : Dasar-Dasar Akuakultur (PIB 2211)
Limnologi (PIM 2112)
Oseanografi (PIM 2113)
Biologi Laut (PIB 2154)
Status Matakuliah : Wajib
Diskripsi mata kuliah : Mata kuliah Manajemen Marikulture merupakan mata
kuliah wajib bagi mahasiswa program studi Budidaya
Perikanan, Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian
UGM. Mata kuliah ini diberikan pada semester 6 yang
diasuh oleh Team Teaching. Mata kuliah ini dilengkapi
dengan praktikum yang dilaksanakan secara klasikal
maupun lapangan. Mata kuliah ini membahas tentang
batasan dan ruang lingkup manajemen marikulture,
manfaat dan potensi pengembangan, teknik pemilihan
lokasi (site selection), budidaya molusca, budidaya
rumput laut, budidaya ikan-ikan bersirip (fin fish),
budidaya teripang, budidaya komoditas lainnya serta
manajemen usaha budidaya laut.
Kegunaan Mata Kuliah : melengkapi kepentensi lulusan sarjana program studi
Budidaya Perikanan
Tujuan Pembelajaran : Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa akan
mengetahui, memahami, menghayati serta dapat
menjelaskan tentang ruang lingkup manajemen
marikulture. Mahasiswa dapat dan terampil
melakukan budidaya di perairan laut dengan berbagai
komoditas seperti, kekerangan, rumput laut dan jenis-
2
jenis ikan di perairan laut, serta mampu mengelola
usaha budidaya laut.
Susunan Bahan Ajar : Bab I. Pendahuluan dan Ruang lingkup
Bab II. Teknik Pemilihan lokasi (site selection)
Bab III. Budidaya Bivalvia (kekerangan)
Bab IV. Budidaya rumput laut (sea weed)
Bab V. Budidaya Ikan bersirip (fin fish).
Bab VI. Budidaya Teripang (colenterata).
Petunjuk Penggunaan : Bahan ajar ini digunakan sebagai pedoman bagi
mahasiswa yang mengambil mata kuliah manajemen
marikulture. Buku ini merupakan ringkasan dari materi
di tiap-tiap pokok bahasan, oleh karena itu mahasiswa
diharapkan untuk mempelajari lebih lanjut pada
pustaka yang ditulis di tiap-tiap pokok bahasan. Dalam
satu pokok bahasan dapat terdiri dari beberapa sub
pokok bahasan, yang akan diberikan lebih dari 1 kali
pertemuan. Dalam bahan ajar ini di tiap-tiap sub pokok
bahasan akan selalu diberikan test formatif berupa
soal latihan. Oleh karena itu mahasiswa diharapkan
untuk mencoba mengerjakan soal latihan tersebut.
3
RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN
PERTEMUAN MINGGU I (SATU)
1 Estimasi Waktu : 2 x 50 menit
2 Pokok Bahasan : Pendahuluan / Ruang lingkup
3 Sub pokok bahasan : Ruang Lingkup mata kuliah Manajemen Marikulture
dan kontrak pembelajaran
4 Tujuan Khusus /
Tujuan Ajar
: 1. Mahasiswa mengetahui tentang rencana
perkuliahan yang meliputi materi, metode/cara
pembelajaran, media yang digunakan, cara
evaluasi. Kesepakatan-kesepakatan yang
disepakati bersama antara dosen dan mahasiswa
hak dan kewajiban serta sanksi.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang ruang
lingkup atau materi yang akan disampaikan dalam
mata kuliah ini meliputi : ruang lingkup, teknik
pemilihan lokasi, teknik dan manajemen budidaya
molusca, budidaya rumput laut, budidaya ikan
bersirip, serta budidaya teripang.
3. Mahasiswa dapat menjelaskan dan membedakan
tentang konsep water based aquaculture dan land
based aquaculture
5 Metode Ajar : Tutorial, diskusi,
6 Media ajar : Bahan ajar, tayangan power point, LCD viewer, laptop.
7. Aktivitas mahasiswa : Membaca bahan ajar sebelum kuliah, mendengarkan
dan memperhatikan penjelasan dosen, berdiskusi,
membuat rangkaman dan mengerjakan tugas.
8. Latihan/Evaluasi : Quiz, test formatif
9. Sumber Ajar : Bahan ajar, http://elisa.ugm.ac.id/
4
A. Pendahuluan
Wilayah negara Republik Indonesia terdiri dari sekitar 62% (5,8 juta Km
2
) lautan
dan 38% daratan dan memiliki lebih dari 17.000 lebih pulau. Dari luas wilayah
tersebut, Indonesia mempunyai panjang pantai sekitar 81.000 Km. Indonesia
memiliki potensi budidaya laut yang cukup besar. Berdasar perhitungan sekitar 5 Km
dari garis pantai ke arah laut, potensi budidaya laut diperkirakan sekitar 24,53 juta Ha.
Dari potensi budidaya laut tersebut diperkirakan mempunyai potensi produksi sebesar
46,73 juta ton/tahun, sedang sampai dengan tahun 2000 produksi baru dicapai 0,5 juta
ton. Potensi tersebut terbentang dari dari ujung barat bagian Indoensia sampai ke
ujung timur Indonesia. Potensi tersebut terbentang dari dari ujung barat bagian
Indoensia sampai ke ujung timur Indonesia.
Pemanfaatan sumberdaya hayati laut di Indonesia sebagian besar masih dititik
beratkan kepada usaha penangkapan ikan dan biota laut lainnya. Sejalan dengan
pertambahan penduduk dan kemajuan teknologi penangkapan ikan yang ada, maka
dirasakan usaha ini semakin meningkat dan intensif. Keadaan tersebut disatu sisi
dapat meningkatkan produksi, tetapi di sisi lain akan memberikan tekanan yang lebih
berat bahkan akan mengancam kelestarian sumberdaya hayati yang ada. Untuk
mengatasi hal tersebut, selain diperlukan suatu usaha-usaha ke arah budidayanya.
Usaha ini selain untuk memberikan alternatif jalan keluar masalah tersebut, juga
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan gizi penduduk, perluasan lapangan kerja,
meningkatkan pendapatan nelayan dan petani ikan, dan sekaligus untuk meningkatkan
devisa.
Sampai saat ini teknologi budidaya yang digunakan dalam budidaya laut masih
terbatas pada jaring apung (floating net) atau karamba apung (cage net), sistem rakit
apung dan rakit dasar. Dengan banyaknya teluk-teluk dan daerah l laut yang bersifat
semi tertutup serta pulau-pulau kecil yang dikelilingi oleh mangrove dan terumbu
karang, maka teknologi sea ranching dan sea farming perlu segera di introduksir.
Budidaya laut merupakan salah satu kegiatan budidaya perikanan yang
mendasarkan pada water based aquaculture, mempunyai perbedaan prinsip dasar
dalam pengembangan teknologi budidayanya. Berbeda dengan budidaya ikan di
5
kolam atau tambak yang mendasarkan pada land based aquaculture, maka budidaya
ikan di laut atau di perairan umum mempunyai perbedaan khsususnya dalam hal :
- Teknik kontruksi wadah pemeliharaan.
- Pengelolaan kualitas air.
- Teknik pemberian pakan.
- Manajemen dan pengendalian kesehatan ikan.
Oleh karena itu dalam mengembangkan teknik budidaya ikan di laut (marine
culture), perlu mempertimbangkan beberapa hal tersebut di atas. Beberapa riset atau
penelitian di bidang budidaya laut terus dikembangkan, untuk mendapatkan teknis
budidaya yang mantap umtuk beberapa komoditas atau kultivan. Berbagai masalah
yang dihadapi dalam pengembangan budidaya laut adalah sebagai salah satu cabang
usaha baru masih terbatasnya pengetahuan teknis dan ketrampilan pelaku usaha,
peraturan yang belum menjamin kelangsungan usaha, dan masih terbatasnya tenaga
terampil. Upaya untuk diseminasi hasil penelitian atau riset di bidang ini terus
dilakukan melalui berbagai tulisan, salah satunya dengan membuat buku ajar untuk
para mahasiswa.
Beberapa jenis biota laut yang memungkinkan untuk dibudidayakan antara lain
ikan kakap, kerapu, tiram, kerang-kerangan, teripang, abalone serta rumput laut.
Potensi Pengembangan Budidaya laut di Indoensia seperti tercantum pada tabel I.1.
Tabel I.1. Potensi Pengembangan Budidaya laut di Indonesia.
No. Propinsi Komoditas Potensi Areal
(Ha)
1. NAD Kerapu, rumput laut, kekerangan 203.35
2. Sumatera Utara Kakap, Tiram, Teripang, Rumput laut 734
3. Sumatera Barat Kerapu bebek, kerapu macan, Rumput
laut, tiram mutiara
128
4. Bengkulu Kakap, Tiram, Rumput laut 203
5. Sumaera Selatan Kakap, Tiram 2.785.300
6. Riau Kakap putih, Rumput laut 1.595
7. Jambi Kakap Putih 30
8. Lampung Kakap, Tiram 596.8
9. DKI Jakarta Rumput laut, Kerang Hijau, Kerapu,
Kakap, Beronang, Tiram Mutiara
26.4
10. Jawa Barat Kakap, Kerapu, Teripang, Rumput laut 743.7
11. Jawa Tengah Kakap, Kerapu, Teripang, Rumput laut 677.700
12. D.I. Yogyakarta Kakap, Kerapu, Teripang 18.8
6
13. Jawa Timur Kakap, Kerapu, Teripang, Rumput laut,
Kerang Mutiara
640.5
14. Bali Kakap, Kerapu, Teripang, Rumput laut,
Tiram Mutiara
39.2
15. Nusa Tenggara Barat Kerapu, Teripang, Rumput laut, Mutiara 152.8
16. Nusa Tenggara Timur Kakap, Kerapu, Tiram, Rumput laut,
Mutiara
37.5
17. Sulawesi Utara Kakap, Kerapu, Teripang, Rumput laut,
Tiram, Mutiara
143.4
18. Sulawesi Selatan Kakap, Kerapu, Teripang, Rumput laut,
Tiram, Mutiara
600.5
19. Sulawesi Tengah Rumput laut, kerang hijau, kerang
Mutiara, teripang
18.4
20. Sulawesi Tenggara Kakap, Kerapu, Tiram, Teripang,
Rumput laut, Mutiara
230
21. Kalimantan Barat Kerapu, kakap putih, Lobster, Teripang 15.52
22. Kalimantan Timur Kerapu, Kakap, Rumput laut, Teripang,
Lobster
6.35
23. Kalimantan Tengah Kakap, Tiram 3.708.500
24. Kalimantan Selatan Kakap, Kerapu, Tiram, Kerang, Teripang,
Abalon, Rumput Laut
1.962.505
25. Maluku Kakap, Kerapu, Tiram, Teripang,
Rumput laut, Mutiara
1.044.100
26. Irian Jaya Kakap, Kerapu, Tiram, Terpang, Rumput
laut, Mutiara
9.938.100
B. Peraturan perundang-undangan.
Pada dasarnya laut adalah milik bersama (common property) , dan secara individu
tidak ada yang memiliki sebagaimana perairan tambak atau kolam. Oleh karena itu
dalam pengelolaannya menganut azas open acces dan diperlukan suatu peraturan
perundangan yang tersendiri. Pada awal milenium ke-3 ditandai dengan terjadinya
perubahan paradigma pembangunan di Indonesia, dari paradigma pembangunan yang
bersifat sentralistik ke pendekatan pembangunan yang bersifat desentralistik atau
otonom. Adanya perubahan ini akan membawa perubahan, berupa pendelegasian
sebagian kewenangan pemerintah pusat ke daerah atau lebih banyak dikenal dengan
otonomi daerah (otda). Adanya perubahan tersebut akan membawa perubahan dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan. Pasal-pasal yang mengatur
pengelolaan wilayah laut, dimana disebutkan bahwa pemerintah propinsi memiliki
7
kewenangan untuk mengelola wilayah laut sejauh 12 mil dari pantai. Sedang
pemerintah kabupaten atau kota memiliki kewenangan mengelola wilayah lau sebatas
4 mil dari pantai. Kewenangan tersebut mencakup pengaturan kegiatan-kegiatan
ekplorasi, eksploitasi, konservasi dan dan pengelolaan wilayah laut. Otonomi daerah
adalah suatu kewenangan untuk mengelola, bukan untuk memiliki, sehingga peraturan
yang akan dibuat hendaknya lebih dapat melindungi nelayan dan petani ikan untuk
berusaha secara lestari dan ikut menjaga kelestarian lingkungan.
Dalam perkembangannnya peraturan perundangan tentang budidaya laut dimulai
dengan adanya Keppres nonor 23 tahun 1982, tentang pengembangan budidaya laut di
Indonesia. Dalam keppres ini diatur tentang, ruang lingkup budidaya laut, tujuan,
perijian dan pembinaan. Pada tahun 2007 telah diundangkan UU Nomor 27 tahun
2007 Tentang rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang
mengamanatkan kepada pemerintah provinsi dan atau kabupaten/kota untuk
membuat pemanfaatan ruang wilayah laut (pantai) agar tidak terjadi konflik
kepentingan. Dengan adanya zonasi wilayah laut (dimana peruntukan untuk budidaya
dimana untuk penangkapan), akan member kepastian usaha dan kesusuaian perairan
bagi pengembangan budidaya laut.
C. Kebijakan pemerintah dalam budidaya laut
Secara umum kebijakan pembangunan perikanan pada tahun 2009-2014
dituangkan dengan visi Indonesia Penghasil Produk Kelautan dan Perikanan Terbesar
2015, dengan misi Mensejahterakan Masyarakat Kelautan dan Perikanan. Untuk
mencapai visi dan misi tersebut ada 4 grand strategy yang diterapkan antara lain :
1. Memperkuat Kelembagaan dan SDM secara Terintegrasi
2. Mengelola Sumber Daya Kelautan dan Perikanan secara Berkelanjutan
3. Meningkatkan Produktivitas dan Daya Saing Berbasis Pengetahuan
4. Memperluas Akses Pasar Domestik dan Internasional
Potensi perairan laut yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha
budidaya laut diperkirakan mencapai 10 juta Ha, yang terdiri atas potensi budidaya
8
ikan bersirip (finfish) sebesar 3 juta Ha, kerang-kerangan dan mutiara 5 juta Ha,
teripang 700.000 Ha dan rumput laut 1,85 juta Ha. Potensi tersebar di seluruh
perairan Indonesia.
Usaha budidaya yang sudah berkembang dan teknologinya sudah banyak dikuasai
adalah untuk komoditi kakap putih, tiram mutiara, kerang-kerangan, teripang, kuda
laut dan rumput laut. Sedang beberapa komoditi yang masih terus dikembangkan
budidaya maupun teknologinya adalah kerapu, kakap merah, napoleon, kepiting, ikan
hias maupun lobster (udang karang).
Beberapa kendala dan hambatan yang secara umum banyak dijumpai dalam usaha
budidaya laut adalah :
1. Peraturan perundangan yang belum dapat menjamin kelangsungan usaha
budidaya laut, dan adanya perubahan kewenangan dari pusat ke daeran-daerah.
2. Belum semua wilayah perairan mempunyai rencana tata ruang yang jelas,
sehingga dimungkinkan akan banyak timbul masalah dan konflik kepentingan.
3. Standart mutu produksi yang masih sangat beragam, sehingga menghambat
dalam pemasaran khususnya pasar untuk pasar luar negeri.
4. Penguasaan teknologi yang masih perlu terus ditingkatkan baik di tingkat petani,
maupun para peneliti untuk mendapatkan teknologi yang mantap dan dapat
diterapkan oleh pembudidaya ikan.
Dari berbagai hambatan dan kendala yang ada, maka strategi dalam
pengembangan budidaya laut diarahkan pada upaya :
1. Pemantapan ketahanan pangan sumber protein hewani dari ikan.
2. Pemberdayaan ekonomi rakyat khususnya nelayan dan pembudidaya ikan.
3. Peningkatan ekport hasil perikanan.
Adapun pendekatan yang ditempuh meliputi :
1. Penerapan perundang-undangan secara konsisten, yang meliputi :
a. perijinan
b. tata ruang
c. rencana pengelolaan lingkungan
d. kualitas produk
e. kemitraan.
9
2. permodalan
3. pemasaran
4. penerapan dan alih teknologi budidaya laut
5. penyediaan sumberdaya manusia
6. pola pengamanan terpadu
7. kelembagaan
8. prasarana
9. peningkatan sistem monitoring, controlling dan survailance
Gerakan Nasional Pembangunan Kelautan dan Perikanan (GERBANG MINA
BAHARI) yang merupakan percepatan pembangunan Kelautan dan perikanan secara
lestari untuk kesejahteraan bagsa, mentargetkan bahwa produksi perikanan sebesar
9,5 juta ton. Sedang dalam program pembangunan kelautan dan perikanan tahun
2004-2009, mengisaratkan bahwa pengembangan budidaya laut terus ditingkatkan
mulai dari rumput laut (gom industri), sampai pengembangan aneka jenis ikan (fin
fish).
D. Rangkuman
Menurunnya produksi perikanan tangkap member indikasi bahwa ketersediaan
sumberdaya ikan di laut semakin mendekati pada titik maksimal. Berbagai upaya untuk
meningkatkan produksi perikanan terus dilakukan, salah satunya melalui upaya
pengembangan usaha budidaya ikan.
Budidaya laut atau marine culture di Indonesia mempunyai potensi yang cukup
besar, sedang sampai saat ini tingkat pemanfaatannya masih sangat kecil.
Pengembangan budidaya laut di Indonesia terus diarahkan pada komoditas-komoditas
ekonomis, dan sesuai dengan pewilayahan dan kewenanangan masing-masing daerah.
Usaha budidaya laut diarahkan kepada usaha yang berorientasi bisnis (aquabisnis),
sehingga harus berorientasi pada pasar dan komoditas yang paling menguntungkan.
Berbagai kebijakan dan peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah,
dilakukan untuk mendorong pengembangan budidaya laut.
10
D. Latihan soal-soal :
1. Apa yang disebut dengan budidaya perairan laut itu dan apa bedanya dengan sea
reanching ?
2. Apa keuntungannya social, ekonomi, dan budaya dalam pengembangan budidaya
Laut di Indoensia ?
3. Sebutkan jenis-jenis komoditi yang telah berhasil dibudidayakan dan komoditi apa
saja yang masih dalam taraf pengembangan teknologinya.
4. Bagaimana pendapat saudara tentang peraturan perundang-undangan tentang
Rencana Zonasi Wilayah Laut dan Pulau-pulau kecil dalam kaitannya dengan
pengembangan budidaya laut.
E. Daftar Buku Bacaan
1. Rohmin Dahuri, 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan.
Orasi ilmiah Guru Besar Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor.
2. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonensia, 2010. Rencana
Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik indonesia.
3. Djoko Tribawono, 2002. Hukum Perikanan Indoesia. PT Citra Aditya Bakti,
Bandung.
4. Hartati, R. , 1999. Rencana Pengembangan Budidaya Laut di Indonesia. Rumusan
Hasil Seminar Budidaya laut di Gedung Bidakara. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan, Jakarta.
5. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pantai
dan Pulau-Pulau Kecil.
6. Anonim, 1982. Petunjuk Teknis Budidaya Laut. Direktorat Bina Sumber Hayati
Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.
7. Keppres Nomor 23 Tahun 1982 Tentang Pengembangan Budidaya Laut di Idonesia.
8. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 473/KPTS/UM/7/82 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengembangan Budidaya Laut di Perairan Indonesia.
11
9. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 362/KPTS/RC 401/6/89 tentang Kriteria
Jenis Kegiatan di Lingkungan Sektor Pertanian yang wajib Diikuti Dengan PIL dan
PEL.
10. Anonim, 2011. Statistik Perikanan Indonesia. Kementerian Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia.
12
RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN
PERTEMUAN MINGGU II (DUA)
1 Estimasi Waktu : 2 x 50 menit
2 Pokok Bahasan : Ruang lingkup
3 Sub pokok bahasan : Ruang Lingkup mata kuliah Manajemen Marikulture
(Lanjutan), Jenis kultivan dan regulasi tentang
pemanfaatan laut.
4 Tujuan Khusus /
Tujuan Ajar
: 1. Mahasiswa mengetahui dan dapat menjelaskan
berbagai jenis kultivan dan habitat kultivan yang
sudah diusahakan.
2. Mahasiswa mengetahui dan dapat menjelasakan
tentang kebijakan dan regulasi pemerintah tentang
pemanfaatan laut untuk usaha budidaya, zonasi
daerah-daerah potensial.
3. Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang
perbedaan antara sea ranching dan budidaya laut,
serta dapat memberikan contoh-contohnya.
5 Metode : Tutorial, diskusi.
6 Media ajar : Bahan ajar, tayangan power point, gambar.
7 Aktivitas mahasiswa : Membaca bahan ajar sebelum kuliah, mendengarkan
dan memperhatikan penjelasan dosen, berdiskusi,
membuat rangkaman dan mengerjakan tugas.
8. Latihan : Quiz, test formatif
9. Sumber Ajar : Bahan ajar, http://elisa.ugm.ac.id/
UU Nomor 27 Tahun 2007
13
A. Lingkungan Hidup dan Habitat .
Pada dasarnya budidaya binatang dan tumbuhan air adalah suatu usaha untuk
memelihara binatang dan tumbuhan air dalam lingkungan yang terbatas, dan dibuat
sedemikian rupa sehingga tempat yang baru ini, menyerupai dengan habitat asalnya.
Di alam masing-masing organisme memerlukan lingkungan hidup (habitat) tertentu,
dan secara garis besarnya dapat dijelaskan sepeti pada tabel I.2.
Tabel I.2. Habitat Beberapa Jenis Biota Air Laut
No Jenis Biota Habitat
1. Kerang hijau (Mytilus
viridis)
Umumnya terdapat pada perairan pantai yang jernih
dengan kadar garam yang relatif tinggi. Hidup menempel
pada benda lain (subtrat) dengan bantuan bissusnya.
Termasuk binatang pemakan plankton.
2. Kerang bulu, kerang
darah (Anadara Sp.)
Bersifat kosmopolitan, terdapat diperairan tropis dan sub
tropis. Hidup pada perairan pantai dengan dasar lumpur
atau lumpur berpasir halus dan biasanya masih
dipengaruhi oleh sungai (eustuarine). Mempunyai daya
tahan yang tinggi terhadap perubahan kadar garam yang
besar ( 5-35 %o)
3. Tiram (Crassostrea sp.)
Hidup pada perairan pantai yang jernih dan relatif tenang
dengan dasar perbasir atau dasar agak keras. Tiram
bersifat euryhialin, tahan terhadap perubahan kadar
garam yang tinggi (7-49).
4. Beronang (Siganus sp.)
Hidup di sekitar perairan karang yang bervegetasi dan
relatif dangkal. Sering juga terdapat di perairan hutan
bakau (mangrove area) atau sekitar pelabuhan. Jenis ikan
ini pemakan plankton.
5. Kerapu (Epinephelus sp)
Hidup diperairan karang, dangkal, payau, dan perairan
pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut. Termasuk
ikan buas, makanannya ikan kecil-kecil dan invertebrata
dasar.
6. Kakap (Lates sp)
Hidup diperairan pantai, muara sungai dan teluk-teluk.
Sering tertangkap dalam tambak pemeliharaan bandeng.
Termasuk ikan buas, makanannya ikan-ikan kecil dan
hewan air kecil lainnya.
7. Rumput laut
Hidup di perairan karang yang dangkal dan jernih dan
cukup mendapatkan sinar matahari. Rumput laut sebagai
thalophyta memerlukan subtrat untuk menempel seperti
: karang mati, batu karang, sisa rumah siput, dsb.
14
Seperti umumnya kegiatan budidaya ikan di air tawar atau payau, maka dalam
menentukan kultivan untuk budidaya di laut, ada beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan. Secara umum faktor-faktor tersebut adalah :
A. Karakter biologi.
Beberapa karakter atau sifat biologi dari kultivan perlu diperhatikan adalah :
a. Laju pertumbuhan.
Produksi budidaya ikan salah satunya akan ditentukan oleh laju
pertumbuhannya. Ikan-ikan atau tumbuhan air yang mempunyai laju
pertumbuhan yang cepat, maka akan mempunyai produksi yang lebih tinggi,
pada masa pemeliharaan yang sama. Laju pertumbuhan kultivan akan
berpengaruh terhadap lama pemeliharaan. Kultivan dengan laju pertumbuhan
yang tinggi diharapkan akan mempunyai masa pemeliharaan yang cepat, untuk
mencapai ukuran panen.
b. Dapat dikembangbiakan secara masal.
Dalam pengembangan budidaya ketersediaan benih akan menjadi faktor
pembatas. Dapat tidaknya kultivan dikembangbiakan secara buatan akan
berpengaruh terhadap penyediaan benih. Tersedianya benih yang tepat waktu
maupun jumlah yang dibutuhkan, mutlak diperlukan dalam budidaya ikan
secara intensif. Beberapa kultivan telah dapat dikembangbiakan secara buatan,
namun ada beberapa diantaranya terpaksa masih tetap mengandalkan benih
dari alam. Selama benih masih tergantung pada alam maka pengembangannya
akan megalami hambatan.
c. Tahan terhadap penyakit.
Selain faktor pertumbuhan, sintasan juga sangat menentukan terhadap
produksi. Tingkat kematian ikan sangat ditentukan oleh ketahanan ikan
terhadap serangan penyakit. Kultivan yang peka dan tidak tahan terhadap
penyakit akan menyebabkan teknik budidayanya menjadi lebih sulit, dan biaya
yang dikeluarkan menjadi lebih mahal. Ketrampilan petani untuk dapat
mendeteksi adanya penyakit pada kultivan secara dini masih sangat kurang,
15
disamping itu tanda-tanda adanya serangan penyakit biasanya sulit untuk
diketahui. Oleh karena itu, memilih jenis-jenis kultivan yang tahan terhadap
penyakit atau memproduksi benih yang tahan terhadap serangan penyakit
merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi kematian akibat adanya
serangan penyakit.
d. Jenis dan kebiasaan makan dapat diketahui.
Pakan merupakan salah satu faktor yang akan mempengaruhi dan
menentukan pertumbuhan ikan yang pada akhirnya akan berpengaruh
terhadap produksi. Oleh karena itu, jenis pakan dan cara pemberian pakan
yang tepat merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk
memperoleh produksi yang tinggi. Oleh karena itu jenis dan kebiasaan makan
makan kultivan perlu diketahui untuk menentukan jenis pakan yang cocok.
B. Ekologi preferent.
Setiap jenis makhluk hidup akan menghendaki suatu lingkungan hidup tertentu dan
berbeda, satu dengan yang lain. Kesesuaian antara lingkungan (habitat) dengan jenis
kultivannya merupakan modal dasar untuk keberhasilan suatu usaha budidaya. Usaha
untuk memanipulasi (merubah) lingkungan dalam budidaya laut, tidak semudah bila
dibandingkan dengan budidaya air tawar maupun payau. Meningkatkan kesuburan
perairan dalam budidaya di tambak, akan lebih mudah dilakukan apabila dibandingkan
dengan meningkatkan kesuburan perairan laut. Oleh karena itu, pemilihan lokasi
yang cocok dengan kultivan yang dipilih , merupakan langkah awal yang harus
dilakukan untuk memperoleh keberhasilan dalam budidaya laut ini.
C. Konsumen preferent.
Budidaya perairan laut harus diarahkan pada suatu usaha yang komersial, yang
harus dapat mendatangkan keuntungan. Hasil dari usaha ini harus dapat diterima oleh
masyarakat (konsumennya), dengan baik. Pemilihan jenis kultivan, selain
mepertimbangkan aspek-aspek teknis maka aspek pasar (permintaan konsumen) juga
perlu dipertimbangkan. Pasar hasil budidaya laut tidak hanya terbatas pada pasar
lokal, tetapi juga pada pasar nasional bahkan beberapa jenis merupakan komoditi
16
untuk pasar internasional. Sebagai contoh ikan kerapu, tiram mutiara mempunyai
pangsa pasar yang cukup besar di pasar internasional. Oleh karena itu dalam
mengembangan atau memilih kultivan yang akan dikembangkan, maka perlu
mempertimbangkan akan produk nanti disenangi atau diminta oleh konsumen atau
tidak.
E. Rangkuman
Usaha budidaya laut diarahkan kepada usaha yang berorientasi bisnis (aquabisnis),
sehingga harus berorientasi pada pasar dan komoditas yang paling menguntungkan.
Oleh karena itu perencanaan yang baik harus dilakukan dengan mempertimbangkan
berbagai aspek baik secara phisik, khemis, maupun biologis. Budidaya di laut sulit
untuk dilakukan manipulasi lingkungan, agar sesuai kultivan yang kita pilih. Oleh
karena itu kesesuaian habitat dengan kultivannya merupakan kunci awal keberhasilan
pengembangan budidaya ikan di laut. Sehubungan dengan hal tersebut maka
pengembangannya harus didukung dengan penguasaan teknologi yang tepat, dan
peraturan perundangan-udangan yang jelas mengingat laut adalah milik bersama
(common property)
F. Latihan soal-soal :
1. Apa yang perlu dipertimbangkan dalam memilih kultivan untuk dikembangkan.
2. Karakter biologi perlu dipertimbangkan dalam menentukan jenis kultivan yang
akan dikembangkan, mengapa demikian.
3. Sebutkan jenis-jenis komoditi yang telah berhasil dibudidayakan dan komoditi apa
saja yang masih dalam taraf pengembangan teknologinya.
4. Pengembangan kultivan harus didasarkan pada aspek konsumen preferen, Apa itu
maksudnya
17
G. Daftar Buku Bacaan
1. Stickney, R.R. and McVey, J.P., 2002. Responsible Marine Aquaculture, World
Aquaculture Society, CABI Publishing
2. Rohmin Dahuri, 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan.
Orasi ilmiah Guru Besar Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor.
3. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonensia, 2010. Rencana
Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik indonesia.
4. Djoko Tribawono, 2002. Hukum Perikanan Indoesia. PT Citra Aditya Bakti,
Bandung.
5. Hartati, R. , 1999. Rencana Pengembangan Budidaya Laut di Indonesia. Rumusan
Hasil Seminar Budidaya laut di Gedung Bidakara. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan, Jakarta.
6. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pantai
dan Pulau-Pulau Kecil.
7. Anonim, 1982. Petunjuk Teknis Budidaya Laut. Direktorat Bina Sumber Hayati
Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.
8. Keppres Nomor 23 Tahun 1982 Tentang Pengembangan Budidaya Laut di Idonesia.
9. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 473/KPTS/UM/7/82 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengembangan Budidaya Laut di Perairan Indonesia.
10. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 362/KPTS/RC 401/6/89 tentang Kriteria
Jenis Kegiatan di Lingkungan Sektor Pertanian yang wajib Diikuti Dengan PIL dan
PEL.
11. Anonim, 2011. Statistik Perikanan Indonesia. Kementerian Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia.
12. Hutabarat, J., 1988. Evaluasi Kondisi Bio-Hidrographi Dalam Penentuan Lokasi
Budidaya Laut.
18
RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN
PERTEMUAN MINGGU III (TIGA)
1 Estimasi Waktu : 2 x 50 menit
2 Pokok Bahasan : Teknik pemilihan lokasi (site selection)
3 Sub pokok bahasan : Kriteria calon lokasi Budidaya
4 Tujuan Khusus : 1. Mahasiswa mengetahui dan dapat menjelasakan
syarat-syarat umum pemilihan lokasi untuk
budidaya laut.
2. Mahasiswa mengetahui dan mampu
mengindentifikasi sifat-sifat phisik, kimia dan
biologi perairan yang penting untuk budidaya laut.
5 Metode : Tutorial, diskusi.
6 Media Ajar : Bahan ajar, Tayangan power point, film, gambar, video
7 Aktivitas mahasiswa : Membaca bahan ajar sebelum kuliah, mendengarkan
dan memperhatikan penjelasan dosen, berdiskusi,
membuat rangkaman dan mengerjakan tugas.
8. Latihan/Evaluasi : Test Formatif :
Membuat resume tentang syarat umum pemilihan
lokasi dan alasan-alasannya. Mahasiswa diminta untuk
membuat perencanaan dan simulasi penentuan lokasi
untuk budidaya berdasar sifat phisisk, kimia dan biologi
perairan.
9. Sumber Ajar : Bahan ajar, http://elisa.ugm.ac.id/
19
A. Pendahuluan
Keberhasilan pengelolaan budidaya laut sangat ditentukan oleh beberapa
faktor, salah satu diantaranya adalah pemilihan lokasi yang tepat dan cocok dengan
kultivan yang akan diusahakanya. Indonesia dengan iklim tropika memungkinkan
hidupnya berbagai jenis biota laut yang jumlahnya sangat banyak. Jenis-jenis biota
tersebut mempunyai sifat dan habitat yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Oleh karena itu, lokasi budidaya yang baik dan cocok bagi satu jenis kultivan adalah
lokasi yang mempunyai sifat yang sama atau hampir sama dengan lokasi dimana
kultivan itu hidup secara alami. Pemilihan lokasi yang tepat merupakan langkah awal
keberhasilan usaha dan akan dapat mengurangi biaya untuk memanipulasi lingkungan,
sehingga secara ekonomi akan mengurangi biaya produksi. Dalam pokok bahasan ini
diharapkan mahasiswa akan mengetahui dan mampu untuk menilai suatu lokasi untuk
dijadikan tempat budidaya laut.
Secara umum lokasi yang baik untuk budidaya laut adalah lokasi yang
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Terlindung dari deburan ombak dan angin kencang.
b. Benih dapat diperoleh dalam jumlah yang cukup, kualitas baik, waktu yang tepat
dan berkesinambungan.
c. Adanya pergerakan dan pertukaran air yang cukup baik
d. Tidak kekeringan walaupun pada waktu surut terendah
e. Mudah dicapai dan ada akses transportasi
f. Dekat dengan pusat perekonomian
g. Bebas dari pencemaran
h. Mudah mendapatkan sarana produksi
Syarat-syarat tersebut merupakan persyaratan umum, yang mestinya harus diikuti
dengan pengkajian berbagai sifat perairan dari aspek biologi, phisik, dan kimia. Pada
dasarnya usaha budidaya laut dapat dilakukan di wilayah perairan pantai, yang dibagi
menjadi enam zone yaitu : zone pantai, zone pasang surut, zone sub lithoral, zona
20
lapisan permukaan, zone lapisan tengah, dan zone perairan dasar (Milne, 1972 cit.
Hutabarat J., 1988.)
1 2 4
3
5
6
Gambar 2.1 . Pembagian zone pesisir menurut Milne (1972)
Keterangan :
1. zone pantai
2. zone pasang surut
3. zone sub lithoral
4. zona lapisan permukaan
5. zone lapisan tengah
6. zone perairan dasar
B. Sifat-sifat phisik perairan laut.
Sifat phisika, kimia, dan biologi perairan akan berpengaruh terhadap kultivan, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung, misalnya kandungan
oksigen terlarut dalam air yang sangat rendah, akan dapat langsung mematikan ikan.
Sebaliknya, kandungan plankton yang berlebihan dalam suatu perairan selain
berpengaruh baik terhadap ikan karena merupakan pakan alami, tetapi juga
merupakan pesaing ikan dalam pemanfaatan oksigen terutama pada malam hari.
Manipulasi lingkungan yang biasa dilakukan di dalam teknik budidaya payau maupiun
tawar, sangat sulit dilakukan atau bahkan tidak dapat dilakukan untuk budidaya laut
21
seperti aerasi, penyiponan, pemupukan. Hal-hal tersebut tersebut menunjukkan
betapa pentingnya pemilihan lokasi yang tepat.
Beberapa sifat phisik perairan laut yang perlu dilakukan evaluasi, untuk
menentukan lokasi budidaya laut adalah sebagai berikut :
1. Temperatur air.
Sebagian besar hewan air adalah termasuk hewan berdarah dingin. Oleh karena
itu, temperatur lingkungan (air) sangat berpengaruh terhadap aktivitas
metabolismenya. Evaluasi mengenahi suhu air tidak hanya untuk mengetahui
besarnya suhu air, tetapi juga mengetahui kisaran (fluktuasi) temperatur air yang
terjadi dalam 1 hari (24 jam), untuk mengetahui suhu air minimal dan
maksimalnya. Fluktuasi suhu air yang semakin besar, akan semakin menyulitkan
kultivan untuk dapat menyesuaikan perubahan tersebut, yang pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap aktivitas metabolisme yang selanjutnya akan berpengaruh
terhadap pertumbuhannya. Biasanya, perubahan temperatur/suhu juga akan
mengakibatkan perubahan parameter sifat phisik dan kimia air lainnya.
Dalam keadaan normal temperatur air akan mengalami maksimal selepas
tengah hari, dan temperatur minimal akan terjadi pada malam hari menjelang pagi.
Oleh karena itu, pengamatan suhu air pada waktu-waktu tersebut sangat
diperlukan dalam rangka menentukan lokasi budidaya. Namun pada lokasi lokasi
tertentu yang dipengaruhi oleh arus mungkin akan lain kejadiannya. Fluktuasi
temperatur di perairan Indonesia (daerah tropika) relatif hampir sama, artinya
perbedaan temperatur minimal dan maksimal tidak terlalu besar. Demikian juga,
perbedaan temperatur air antara musim penghujan dan musim kemarau. Untuk
beberapa perairan mungkin terjadi sedikit perbedaan terutama pada perairan yang
tertutup dan perairan yang mempunyai pasang surut (tidal range) rendah.
Temperatur air juga akan terdistribusi secara vertikal, akibat pengaruh
intensitas matahari yang menembus lapisan perairan, atau juga dapat disebabkan
apabila terjadi hujan yang sangat lebat. Perbedaan temperatur air antara lapisan
atas dan bawah, akan menyebabkan terjadinya perbedaan berat jenis air. Adanya
perbedaan berat antar lapisan air tersebut akan menyebabkan terjadinya arus
vertikal atau lebih sering disebut dengan up-welling atau pengadukan. Apabila
22
suatu perairan sering terjadi up-welling maka akan terjadi pembalikan antar lapisan
air, sehingga lapisan air pada bagian bawah yang secara kualitas lebih jelek
(oksigen rendah, karbon dioksida tinggi, amoniak tinggi) akan naik ke atas dan akan
menyebabkan kematian bagi kultivan yang ada pada lapisan atas. Pada perairan-
perairan yang sering terjadi up-welling tersebut, harus hati-hati atau bahkan
dihindari untuk tidak dijadikan sebagai lokasi budidaya. Oleh karena itu,
diperlukan suatu evaluasi yang menyeluruh dan detail pada suatu lokasi dan pada
periode waktu tertentu.
2. Salinitas Air.
Distribusi salinitas (kadar garam) sangat ditentukan oleh keberadaan aliran air
tawar yang masuk ke perairan, baik yang berasal dari sungai maupun air hujan
serta tingkat penguapan air. Salinitas biasanya akan terdistribusi baik secara
vertikal maupun secara horisontal. Dalam suatu evaluasi untuk menentukan lokasi
untuk budidaya, distribusi salinitas secara vertikal hanya akan sampai pada
kedalaman 10 m saja. Pada daerah-daerah muara (eustuarine) biasanya air tawar
dari sungai yang masuk ke laut akan berada lapisan yang atas, sedangkan air laut
yang salinitasnya tinggi, karena pengaruh pasang akan masuk ke daratan/sungai
pada lapisan bawah. Oleh karena itu dalam evaluasi daerah-daerah muara sungai,
perlu dicermati adanya lapisan masa air yang salinitasnya berbeda. Distribusi
salinitas di daerah muara ini juga ditentukan oleh kecepatan air tawar masuk ke
sungai, bentuk dasar pantai, serta bentuk alami mulut sungai.
Fluktuasi perubahan salinitas air dan kecepatan perubahannya, juga perlu
diperhatikan. Hal tersebut erat kaitannya dengan sifat kultivan yang akan
dibudidayakan. Kultivan kelompok euryhialin tidak akan terpengaruh secara
significant apabila salinitas air berubah-ubah cukup besar, sebaliknya kelompok
yang stenohialin akan mengalami gangguan apabila salinitas air selalu berubah-
ubah. Perubahan salinitas secara mendadak biasanya terjadi karena pengaruh
banjir terutama pada daerah muara maupun hujan lebat. Hujan lebat biasanya
akan menyebabkan penurunan salinitas secara mendadak pada lapisan permukaan
saja.
23
3. Pergerakan air.
Pergerakan air di laut dapat berupa gelombang, arus, dan pasang surut..
Gerakan air tersebut dapat terjadi secara vertikal maupun horisontal dan dalam
budidaya laut pergerakan air sangat memegang peranan, antara lain :
a. Untuk mendistribusikan unsur-unsur hara bagi tumbuhan air termasuk
plankton yang ada di perairan itu.
b. Untuk mendistribusikan makanan bagi ikan-ikan yang dipelihara.
c. Untuk mendistribusikan zat-zat yang diperlukan (oksigen, dan sebagainya), bagi
kehidupan kultivan.
d. Untuk mencuci atau membuang sisa pakan dan hasil ekresi, dari dalam tempat
pemeliharaan ke luar tempat pemeliharaan.
Arus di daerah pantai sangat dipengaruhi oleh pergerakan pasang surut,
kecepatan angin. Dari keseluruhan faktor tersebut maka faktor gelombang
merupakan faktor yang paling dominan terhadap pergerakan air. Besar kecilnya
gelombang juga akan berpengaruh terhadap kontruksi karamba atau tempat
pemeliharaan maupun rakit yang harus dibuat. Kecepatan pergerakan air (arus)
dapat dijadikan sebagai dasar untuk menentukan padat penebaran ikan. Hal ini
nanti akan dibicarakan dan dibahas pada bab berikutnya.
Pasang surut air laut dipengaruhi oleh posisi atau kedudukan antara matahari,
bumi dan bulan. Oleh karena itu pasang surut akan selalu berubah waktu dan
besarnya dari hari ke hari dan akan membentuk suatu siklus. Salah satu
pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan perilaku pasang
surut adalah perairan tersebut tidak mengalami kekeringan pada saat surut
terendah. Untuk lokasi karamba atau jaring apung, maka kedalaman pada saat
surut terndah juga perlu diperhatikan. Dalam 1 hari (24 jam) akan terjadi 2 kali
pasang dan 2 kali surut. Sebagai contoh, misal suatu tempat / perairan dimana
pada saat surut terendah mempunyai kedalaman 2 m. Jika kedalaman jaring
apung sebesar 2,5 m, maka pada saat surut terendah bagian bawah jaring apung
akan berada atau menyentuh dasar perairan. Dengan demiian daerah tersebut,
akan menjadi kurang baik apabila akan dijadikan lokasi untuk jaring apung.
24
Kecepatan angin akan berpengaruh sebesar 1-5 % terhadap arus yang terjadi di
permukaan air sampai kedalaman 0,5 m. Kecepatan dan arus air menjadi sangat
penting untuk diketahui, karena digunakan untuk menghindari terjadinya masa air
yang tidak bergerak (dead water bodies) pada suatu lokasi. Selain berpengaruh
terhadap arus air khususnya arus permukaan, kecepatan angin juga berpengaruh
terhadap kontruksi tempat pemeliharaan. Pada suatu perairan pantai yang
terbuka dan tidak dijumpai wind breaker, maka kontruksi tempat pemeliharaan
harus kuat karena tempat seperti itu biasanya kecepatan angin akan sangat besar.
Pergerakan air secara vertikal perlu mendapat perhatian dalam memilih lokasi.
Pergerakan air secara vertikal dapat terjadi karena adanya stratifikasi temperatus
air, atau terjadi karena ada up-welling. Pergerakan air vertikal karena up-welling
biasanya terjadi lebih lama, dan pada daerah tertentu yaitu pada daerah-daerah
pertemuan arus. Arus vertikal biasanya akan mengaduk seluruh lapisan air, dimana
air pada lapisan bawah akan naik dan lapisan air atas akan turun. Lapisan air
bawah bisanya mempunyai kandungan oksigen yang rendah, amoniak yang tinggi,
sehingga akan sangat membahayakan bagi kultivan khususnya binatang air.
4. Penetrasi sinar matahari
Penetrasi sinar matahari penting artinya dalam mempengaruhi suhu air dan
merupakan enersi utama yang diperlukan dalam proses photosyntesa plankton dan
tumbuhan air. Phytoplankton sebagai primary produser sangat penting artinya bagi
terbentuknya siklus makanan dalam suatu perairan. Penetrasi sinar matahari juga
sangat dipengaruhi oleh kekeruhan air, dimana kekeruhan air ini dapat disebabkan
karena pakan alami (plankton) atau karena partikel tersuspensi atau partikel
lempung. Kekeruhan yang berlebihan selain akan menghambat penetrasi sinar
matahari juga akan berakibat terganggunya proses pernafasan bagi ikan.
Dalam budidaya bivalvia keberadaan pakan alami menjadi sangat penting,
karena dalam budidaya ini tidak mengenal pemberian makanan tambahan. Untuk
pemilihan lokasi budidaya rumput laut, keberadaan sinar matahari mutlak
diperlukan. Pada umumnya seluruh perairan di Indonesia tidak begitu masalah
dengan penetrasi sinar matahari ini.
25
C. Sifat-sifat kimia perairan laut
1. Kandungan oksigen terlarut
Kandungan oksigen terlarut di dalam air sangat diperlukan untuk respirasi atau
bernafas binatang air termasuk ikan, bivalvia dan crustacea. Di perairan laut
oksigen terlarut berasal dari hasil photosintesa phytplankton dan tumbuhan air
serta berasal dari proses kelarutan langsung dari udara, melalui proses agitasi
maupun difusi.
Tingkat kejenuhan kelarutan oksigen di suatu perairan sangat ditentukan oleh
kondisi temperatur dan salinitas air yang ada pada suatu saat. Tingkat kejenuhan
oksigen yang ideal untuk aktivitas budidaya laut adalah sekitar 80 90% dari level
oksigen pada temperatur dan salinitas tertentu. Oksigen terlarut dapat menurun
secara drastis pada malam hari, apabila pada perairan terebut mengandung
plankton yang cukup tinggi. Perairan yang mengandung plankton cukup tinggi
biasanya berada pada suatu perairan yang subur, seperti daerah muara
(eustuarine) atau daerah-daerah pertemuan arus. Namun demikian, pertumbuhan
plankton yang luar biasa (bloom) yang terjadi di perairan laut relatif lebih rendah
bila dibanding dengan pertumbuhan yang terjadi di kolam atau di tambak. Oleh
karena itu, pengurangan oksigen terlarut karena proses respirasi akan relatif kecil.
Pengurangan oksigen terlarut yang lain adalah proses perombakan bahan organik
yang terjadi terutama di dasar perairan, respirasi oleh biofauling dan zooplankton
serta binatang air lainnya. Secara umum kelarutan oksigen di perairan laut akan
sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan perairan tawar.
Kecepatan pergerakan air akan mempunyai peranan yang penting dalam
penyediaan oksigen terlarut di dalam air. Pergerakan air akan mempunyai peran
sebagai penyedia oksigen melalui penggantian masa air. Masa air yang
mempunyai kandungan oksigen rendah akan digantikan dengan masa air yang
mempunyai kandungan okesigen yang lebih tinggi. Pergerakan air dalam laut ini
akan disama fungsikan seperti kecepatan debit air masuk di kolam atau di tambak.
26
Dalam menentukan kepadatan ikan yang akan ditebar (stocking density)
kandungan oksigen terlarut dan kecepatan pergerakan air, akan menjadi
pertimbangan penting dan hal ini akan dibicarakan pada pokok bahasan yang lain.
2. Kandungan karbondioksida bebas. (CO
2
bebas)
Kelarutan karbondioksida bebas di dalam air akan membentuk kesetimbangan
dengan kelarutan oksigen di dalam air . Kenaikan kelarutan karbondioksida bebas
akan menurunkan kelarutan oksigen di dalam air. Karbondioksida akan diperlukan
oleh tumbuhan air (termasuk di dalamnya rumput laut) untuk proses
photosyntesa. Sedang karbondioksida bebas ini dihasilkan oleh biota air dari
proses respirasi, perombakan bahan organik, dan hasil kelarutan langsung dari
udara. Kelarutan CO
2
yang tinggi di dalam air akan dapat menekan kelarutan
oksigen, yang pada akhirnya akan merugikan hewan air termasuk ikan. Kelarutan
CO
2
yang tinggi secara langsung juga dapat berpengaruh kurang baik bagi ikan.
Namun demikian, CO
2
ini mempunyai sifat yang labil sehingga dengan adanya
gerakan-gerakan air akan menyebabkan CO
2
ini akan menguap keluar dari air.
Pada umumnya untuk perairan-perairan yang cukup gerakan airnya, akan
mempunyai keseimbangan kelarutan CO
2
dan O
2
yang baik.
3. Nitrat, phospat dan Amoniak.
Kandungan nitrat, phospat, dan amoniak di dalam perairan merupakan salah
satu indikator, terjadinya perombakan bahan organik di dalam air. Nitrat dan
phospat merupakan salah satu senyawa yang diperlukan oleh plankton dan
tumbuhan air untuk kehidupannya. Di perairan pantai keberadaan nitrat dan
phospat selain dipengaruhi oleh perombakan bahan organik di dalam perairan itu,
juga dipengaruhi oleh aliran air sungai yang masuk ke dalam laut. Jumlah nitrat
dan phospat di dalam air akan menentukan tingkat kesuburan perairan.
Amoniak, sampai dengan batas tertentu akan bersifat racun bagi ikan dan
binatang air lainnya. Tingkat peracunanan amoniak juga dipengaruhi oleh
konsentrasi gas-gas lain di dalam air, seperti oksigen terlarut dan karbondioksida
bebas, dan suhu air.
27
4. pH air.
Tingkat keasaman air yang biasanya dinayatakan dengan nilai pH, akan
berpengaruh terhadap biota yang hidup di dalamnya. Biota air biasanya akan
mempunyai tingkat toleransi tertentu terhadap perubahan pH air. Pengamatan pH
air tidak hanya ingin mendapatkan nilai pH pada suatu waktu tertentu, melainkan
juga untuk mengetahui seberapa besar tingkat perubahannya (range) dalam suatu
waktu. pH air laut biasanya akan berkisar pada nilai 7 8, dan nilai ini akan
dipengaruhi oleh besarnya senyawa asam yang terbentuk (misalnya dari
perombakan bahan organik) dan juga dipengaruhi oleh besarnya nilai
karbondioksida bebas di dalam air. Nilai pH air yang selalu berubah-ubah dari
waktu ke waktu, akan berpengaruh kurang baik bagi biota perairan. Perubahan
nilai pH juga sangat tergantung dari nilai alkalinitas air (baca bahan ajar limnologi).
D. Rangkuman
Pemilihan lokasi merupakan salah satu kunci dalam keberhasilan budidaya laut, hal
ini disebabkan karena manipulasi lingkungan laut masih dianggap sulit dan
memerlukan biaya yang besar. Beberapa parameter yang perlu dilakukan evaluasi
dalam menentukan lokasi bdidaya laut adalah hal yang bersifat teknis dan non teknis.
Hal-hal teknis seperti sifat phisik, kimia, biologi air, ketersediaan benih, dan sarana
dan prasarana. . Sedang hal yang bersifat non teknis seperti keadaan pasar,
keamanan, serta peraturan perudangannya.
E. Latihan
1. Sebutkan ruang lingkup mata kuliah manajemen marikulture
2. Apa manfaat budidaya laut bagi perkembangan ekonomi indonesia dan
kesejahteraan masyarakat.
3. Sebutkan sifat phisik perairan yang berpengaruh terhadap aktivitas budidaya laut
dan jelaskan bagaimana perannya.
4. Sebutkan sifat kimia perairan yang berpengaruh terhadap aktivitas budidaya laut
dan jelaskan bagaimana perannya.
28
F. Daftar Buku Bacaan :
1. Hutabarat, J., 1988. Evaluasi Kondisi Bio-Hidrographi Dalam Penentuan Lokasi
Budidaya Laut. Universitas Diponegoro, Semarang.
2. Anonim, 1982. Petunjuk Teknis Budidaya Laut. Direktorat Bina Sumber Hayati
Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.
3. Stickney, R.R. and McVey, J.P., 2002. Responsible Marine Aquaculture, World
Aquaculture Society, CABI Publishing.
4. Bardach, J.E. 1977. Sustainable Aquaculture, John Wiley & Sons, Inc.
29
RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN
PERTEMUAN MINGGU IV (EMPAT)
1 Estimasi Waktu : 2 x 50 menit
2 Pokok Bahasan : Teknik pemilihan lokasi (site selection)
3 Sub pokok bahasan : Analisis tropik-saprobik, dan habitat berbagai kultivan
4 Tujuan Khusus /
Tujuan Ajar
: 1. Mahasiswa mengetahui dan dapat menjelasakan
konsepsi analisis tropic saprobik.
2. Mahasiswa mampu melakukan simulasi analisis
tropic saprobik untuk menentukan lokasi budidaya
laut.
3. Mahasiswa mampu mengenali habitat berbagai
jenis kultivan penting
5 Metode : Tutorial, diskusi, simulasi
6 Media Ajar : Bahan ajar, tayangan power point, gambar, data hasil
pengamatan
7. Aktivitas Mahasiswa : Membaca bahan ajar sebelum kuliah, mendengarkan
dan memperhatikan penjelasan dosen, melakukan
simulasi berdiskusi.
8. Latihan/Evaluasi : Test formatif : Mahasiswa diminta untuk melakukan
simulasi analisis trosap dengan data yang sudah
disediakan, untuk menentukan kesesuaian lokasi untuk
budidaya laut.
9. Sumber Ajar : Bahan ajar, http://elisa.ugm.ac.id/
Data pengamatan
30
A. Pendahuluan
Analisis tropic-saprobic adalah salah satu cara untuk menentukan kesesuaian calon
lokasi budidaya ikan, yang mendasarkan pada tingkat tropic atau penyusunan bahan
organik (derajat produktivitas primer) dan tingkat saprobic yang menggambarkan
tingkat perombakan bahan organik dalam suatu perairan. Kesesuaian lokasi
mendasarkan pada parameter indek tropic dan indek saprobic perairan. Analisis trosap
(tropic-saprobic) bukan menjadi satu-satunya parameter untuk menentukan
kesesuaian perairan untuk budidaya laut, melainkan menjadi suatu pertimbangkan dari
aspek biologi perairan. Mendasarkan pada kriteria trosap atau tingkat pencemaran
maka suatu perairan digolongkan menjadi kelompok polisaprobic, oligosaprobic, dan
mesosaprobic.
B. Sifat biologi air dan analisis trosap
Sifat biologi air yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi adalah
kemelimpahan plankton, jumlah dan jenis vegetasi yang dapat tumbuh khususnya di
dasar perairan. Kemelimpahan plankton yang tumbuh akan menunjukkan subur
tidaknya suatu perairan. Untuk pemilihan lokasi budidaya bivalvia (kerang-kerangan)
maka kemelimpahan plankton akan menjadi pertimbangan penting, dibanding dengan
pemilihan lokasi untuk budidaya ikan. Pada lokasi perairan yang dasar perairannya
gersang dan tidak ditumbuhi oleh sedikitpun tanaman air, akan menjadi petunjuk
bahwa pada daerah tersebut tidak subur dan kurang baik apabila dijadikan sebagai
lokasi pemeliharaan rumput laut.
Benthos adalah mikroorganisme atau organisme kecil yang hidup di dasar perairan.
Keberadaan benthos dalam perairan sangat diperlukan, untuk menguraikan berbagai
bahan organik yang mengendap ke dasar perairan. Untuk memilih lokasi untuk
berbagai jenis kerang yang hidupnya di dasar perairan, kualitas dan kuantitas benthos
perlu dipertimbangkan.
31
Dengan memperhatikan biota air yang tumbuh di suatu perairan khususnya untuk
kelompok plankton dan benthos, maka akan dapat dikembangkan suatu analisis yang
disebut dengan analisis trosap. Analisis trosap berasal dari kata analisis trophik dan
analisis saprobik. Trophik berasal dari kata trophism, yang mencerminkan derajat
produktivitas primer. Sedang saprobik berasal dari kata saprobity yang mencerminkan
derajat dekomposisi dari berbagai bahan organik yang ada di dalam air. Oleh karena
itu trophik-saprobik (trosap) merupakan metoda analisis struktur komunitas jasad
renik untuk evaluasi kualitas air, terutama ditinjau dari derajat pencemaran dan
tingkat kesuburan dalam suatu badan air.
1. Prinsip dasar analisis trosap
Analisis trosap bertumpu pada evaluasi terhadap parameter penyubur (trophic
indicators) dan parameter pencemar (saprobic indicators) guna menilai kualitas air
dan kelayakan bagi lokasi budidaya laut.
2. Parameter biotik dan abiotik yang diukur adalah :
a. Kemelimpahan dan keanekaragaman plankton
b. Kemelimpahan dan keanekaragaman benthos
c. Sifat phisik dan kimia air.
3. Tata urutan langkah untuk analisis trosap dapat dilihat pada bagan 1, sebagai
berikut :
a. Penetapan titik sampling
b. Mengambil contoh (sampling) dan pengawetan contoh plankton dan benthos
c. Pengukuran parameter phisik dan kimia air
d. Pengamatan contoh plankton dan benthos
e. Pengolahan dan analisis data
f. Penilaian (lokasi terpilih, jenis kultivan)
Penentuan titik sampling perlu memperhatikan beberapa hal antara lain :
1. Wilayah perairan yang akan menjadi wilayah kajian
2. Faktor-faktor ekternal, yang diduga dapat mempengaruhi kualitas perairan,
misalnya muara sungai, aktivitas penambangan, pelayaran, atau kegiatan lain
3. Peta arus air
4. Pengaruh musim
32
Bagan alir analisis trosap seperti pada gambar berikut ini :
Penetapan titik sampling
Sampling plankton
dan benthos
Pengamatan sifat
phisik dan kimia air
Pengamatan
laboratorium
Pengolahan dan analisis
data
Aspek lain :
Evaluasi kelayakan - Hukum dan
peraturan
- Sosial-ekonomi
Kesimpulan
Bagan 2.1. Tahapan jalur analisis trosap
Berdasar tingkat pencemarannya, suatu perairan dapat dikelompokan seperti
pada tabel di bawah ini :
33
Tabel II. 1. Pengelompokan organisme indikator kualitas air.
Kelompok Tipe Perairan Organisme Indikator
Kelompok A
Kelompok B
Kelompok C
Kelompok D
Kelompok E
Polisaprobik
Alpha Mesosaprobik
Betha Mesosaprobik
Oligosaprobik
-
31 organisme (lihat gambar A)
17 organisme (lihat gambar B)
22 organisme (lihat gambar C)
23 organisme (lihat gambar D)
Organisme yang tidak termasuk
A, B, C, dan D.
1C + 3D + 1B 3A
Indek Saprobik : SI = -------------------------
1A + 1B + 1C + 1D
di mana :
SI : Saprobic index
A : Jumlah (banyaknya) genera atau spesies organisme polisaprobik
B : Jumlah (banyaknya) genera atau spesies organisme alpha
mesosaprobik
C : Jumlah (banyaknya) genera atau spesies organisme beta
mesosaprobik
D : Jumlah (banyaknya) genera atau spesies organisme oligosaprobik
Indek Trophik-Saprobik
1(nC) + 3(nD) + 1(nB) 3(nA) nA + nB + nC + nD + nE
TSI : --------------------------------------- X -----------------------------
1(nA) + 1(nB) + 1(nC) + 3(nD) nA + nB + nC + nD
di mana :
TSI : Trophic Saprobic Index
n : Jumlah individu organisme pada setiap kelompok saprobitas
nA : Jumlah individu penyusun kelompok polisaprobik
nB : Jumlah individu penyusun kelompok alpha mesosaprobik
nC : Jumlah individu penyusun kelompok betha mesosaprobik
nD : Jumlah individu penyusun kelompok oligosaprobik
nE : Jumlah individu penyusun kelompok selain A, B, C dan D.
Indek Keanekaragaman spesies (H)
H = Pi. Ln Pi
34
Dimana :
Pi : ni/N (peluang spesies i dari total individu)
s : Jumlah spesies
ni : jumlah individu tiap spesies
N : Total individu
Gambar berbagai organisme indikator untuk berbagai kelompok tipe perairan adalah
sebagai berikut :
Gambar 2.2. Indikator organisme
(Sumber : Anggoro, S., 1988. )
1. Zoogloea ramigera
2. Sarcina paludosa
3. Streptococcus margaritaceus
4. Beggiatoa alba
5. Chlorobacteriumaggregatum
6. Sphaerotilus natans
7. Achromatium oxaliferum
8. Chromatium okenii
9. Oscillatoria putrida
10. Trigonomonas compressa
11. Spirulina jenneri
12. Euglena viridis
13. Bodo putrinus
14. Tetramitus pyriformis
35
Gambar 2.2. Indikator organisme polysaprobik
(Sumber : Anggoro, S., 1988. )
Streptococcus margaritaceus
Chlorobacteriumaggregatum
15. Hexotricha caudata
16. Enchelys vermicularis
17. Claucoma scintillans
18. Claucona scintillans
19. Trimyema compressa
20. Metopus sp.
21. Vorticella microstoma
22. Saprodinium dentatum
23. Caenomorpha medusula
24. Colpidium colpoda
25. Sphaerotilus nacana
26. Larva of Eristalis tenak
27. Lamprocystis roceopersicina
28. Rotaria neptunia
29. Pelomyxa palustris
30. Tubifex rivulorum
31. Chironomus thummi
Pelomyxa palustris
Tubifex rivulorum
Chironomus thummi
36
Gambar 2.3. Indikator organisme alpha mesosaprobik
(Sumber : Anggoro, S., 1988. )
1. Lemtomitus lacteus
2. Oscilatoria formosa
3. Nitzchia palen
4. Chilomonas paramecium
5. Hanezchia amphyioxys
6. Stephanodiscus hantzchii
7. Urunema marinum
8. Chilodonella uncinata
9. Closterium acerosum,
10. Colpoda cucullus
11. Anthophysa vegetans
12. Vorticella convallaris
13. Stentor coeruleus
14. Stratiomys chamaeleon
15. Spirostomum ambiguum
16. Herpobdella atomaris
17. Sphaerium corneum
37
Gambar 2.4. Indikator organisme betha mesosaprobik
(Sumber : Anggoro, S., 1988. )
1. Asterionella formosa
2. Oscillatoria rubrncens
3. Oscillatoria redekei
4. Melosira varians
5. Coleps hirtus
6. Scenedesmus quadricauda
7. Aspidisca lynceus
8. Pediastrum boryanum
9. Euplotes charon
10. Vorticella campanulla
11. Synura uvella
12. Tabellaria fenestrata
13. Paramecium bursaria
14. Uroglena volvox
15. Stylaria lacustris
16. Polycelis cormuta
17. Hydropsyche lepida
18. Cloeon dipterum (larva)
19. Spirogyra crassa
20. Brachionus urceus
21. Cladophora crispata
22. Actinosphaerium eichhorni
Gambar 2.5. Indikator organisme oligosaprobik
(Sumber : Anggoro, S., 1988. )
1. Cyclotella bodanica
2. Synedra acus
3. Microterias truncata
4. Halteria cirrifera
5. Surrirella spiralis
6. Tabellaria sp.
7. Bulbochaeta mirabilis
8. Strombidinopsis gyrans
38
Gambar 2.5. Indikator organisme oligosaprobik
(Sumber : Anggoro, S., 1988. )
9. Staurastrum punctualtum
10. Ulothrix zonata
11. Mallomonas caudata
12. Vorticella nebulifera
13. Cladophora glomerata
14. Euastrum oblongum
15. Fontinalis antipyretica
16. Planaria gonocephala
17. Perla bipunctata (larva)
18. Oligoneuria rhenana (larva)
19. Notholca longispina
20. Batrachospernum vagus
21. Lemmanea annulata
22. Holopedium gibberum
23. Copepoda
bipunctata (larva)
Oligoneuria rhenana (larva)
Notholca longispina
Batrachospernum vagus
Lemmanea annulata
Holopedium gibberum
Copepoda
39
Kriteria penilaian tingkat saprobitas didasarkan pada petunjuk Lee et. al (1978) dan
Knobs (1978) seperti tercantum pada tabel berikut ini :
Tabel II.2. Kriteria penilaian tingkat saprobitas untuk menilai kelayakan lokasi
budidaya laut
Nilai Parameter Tingkat Indikasi
SI dan TSI H Saprobitas
< -3 s/d 2 < 1,0 Polisaprobik 1. Pencemaran berat
2. Kesuburan sulit dimanfaatkan
3. Tidak cocok untuk budidaya laut
< -2 s/d +0,5 1 1,5 Alpha mesosaprobik
1. Pencemaran sedang sampai
berat
2. Kesuburan sulit dimanfaatkan
3. Tidak cocok untuk lokasi
budidaya
> +0,5 s/d 1,5 >1,5-2,0 Betha mesosaprobik
1. Pencemaran sedang sampai
ringan
2. Kesuburan dapat dimanfaat-kan
3. Dapat dimanfaatkan untuk lo-kasi
budidaya kerang, tiram, kakap,
bandeng dan rumput laut
> +1,5 s/d >2,0 >2,0 Oligosaprobik
1. Pencemaran ringan atau belum
tercemar
2. Kesuburan dapat dimanfaat-kan
3. Cocok untuk lokasi budidaya
rumput laut, kerang, tiram, ikan
dan udang.
C. Rangkuman
Pemilihan lokasi merupakan salah satu kunci dalam keberhasilan budidaya laut.
Beberapa parameter yang perlu dilakukan evaluasi dalam menentukan lokasi
budidaya laut adalah hal yang bersifat teknis dan non teknis. Hal-hal teknis seperti
sifat phisik, kimia, biologi air, ketersediaan benih, dan sarana dan prasarana. .
Sedang hal yang bersifat non teknis seperti keadaan pasar, keamanan, serta
peraturan perudangannya. Salah satu metoda yang dikembangkan dalam
kaitannya dengan pemilihan lokasi ini adalah analisis trosap. Dalam analisis
40
dilakukan evaluasi terhadap kondisi perairan dengan mempertimbangkan hal-hal
yang bersifat non teknis.
D. Latihan.
Dalam suatu penelitian untuk menilai kelayakan suatu lokasi untuk budidaya laut
dan menentukan jenis kultivan yang cocok, telah dilakukan pengamatan terhadap sifat
phisik, kimia dan biologi air. Data hasil pengamatan seperti tersaji di bawah ini :
Parameter Lokasi I Lokasi II
Phisik-kimia
1. Salinitas (ppt)
2. Kekeruhan
3. PH
4. DO (ppm)
5. Arus /gelombang
Biologi
Plankton dan benthos
Hambatan lain
25 30
rendah
7 8
3 5
lemah
a. 500 copepoda
b. 1000 Cyclotella
c. 500 Tabellaria
d. 200 Brachionus
e. 200 Uroglena volvox
. 200 Oscillatoria formosa
a. 100 Stentor coerolus
b. 100 Zoogloea
c. 100 Rhizosolenia
Nihil
25 30
rendah
6 8
2 5 ppm
lemah
a. 100 Copepoda
b. 200 Asterionella
c. 500 Oscillatoria rubescent
d. 1000 Colpoda cuculus
e. 2000 Oscilatoria putrida
f. 3000 Chironomus thummi
g. 500 Rotatoria neptunia
h. 200 Spaerotillus
i. 50 Rhizosolenia
Nihil
Cara penyelesaian :
1. Dikelompokan organisme pengamatan plankton dan benthos, berdasarkan tingkat
saprobitasnya dan gunakan gambar 2 samapi 5 untuk identifikasinya.
2. Hitung nilai SI dan TSI, menggunakan rumus yang ada
3. Buat matriks evaluasinya
4. Tentukan kultivan apa yang dapat dibudidayakan .
41
Pengelompokan organisme menurut tingkat saprobitasnya (Lokasi I)
Kelompok Organisme Jenis Jumlah
A. Polisaprobik Zoogloea 100
nA = 100
B. Alpha mesosaprobik Oscillatoria formosa
Stentor coerolus
200
100
nB = 300
C. Betha mesosaprobik Brachionus
Asterionella
200
1000
nC = 1200
D. Oligosaprobik Copepoda
Cyclotella
Tabellaria
500
1000
500
nD = 2000
E. lain-lain Rhizosolenia 100
nE = 100
1C + 3D + 1B 3A
SI = --------------------------
1A + 1B + 1C + 1D
1(1200) + 3(2000) + 1(300) 3(100)
= -----------------------------------------------
1(100) + 1(300) + 1(1200) + 1(2000)
= 2,0
1(nC) + 3(nD) + 1(nB) 3(nA) nA + nB + nC + nD + nE
TSI = --------------------------------------- X -----------------------------
1(nA) + 1(nB) + 1(nC) + 3(nD) nA + nB + nC + nD
1(1200) + 3(2000) + 1(300) 3(100) 100 + 300 + 1200 + 2000 + 100
TSI = ------------------------------------------- x --------------------------------------
1(100) + 1(300) + 1(1200) + 1 (2000) 100 + 300 + 1200 + 2000
TSI = 2,05
42
Matrik Evaluasi :
Lokasi = I
SI = 2,0
TSI = 2,05
Tingkat Saprobitas = Betha mesosaprobik/Oligosaprobik
Salinitas = Normal
Oksigen terlarut = normal
PH = normal
Lain-lain = normal
Kesimpulan :
1. Lokasi tersebut layak secara teknis untuk budidaya laut
2. Kultivan yang dapat dibudidayakan antara lain : rumput laut, tiram., kerang, dan
ikan (beronang, kerapu, kakap)
Tugas Pekerjaan : Kerjakan dengan cara seperti contoh untuk lokasi II
E. Daftar Buku Bacaan :
a. Anggoro, S., 1988. Analisis Tropik Saprobik (Trosap) Untuk Menilai Kelayakan
Lokasi Budidaya laut. Universitas Diponegoro, Semarang.
b. Ruswahyuni, 1988. Hewan Makro Benthos dan Kunci Indentifikasi Polychaeta.
Universitas Diponegoro, Semarang.
c. Alim Isnansetyo, Kurniastuti, 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan
Zooplankton. Pakan Untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius Yogyakarta.

También podría gustarte