Está en la página 1de 37

PAMFLET

>>
Edisi 2, Mei 2014
>>
>>
>>
>>
>>
>>
>>
M
E
S
I
N

W
A
K
T
U

R
E
F
O
R
M
A
S
I
MENYELINAP KE HARI-HARI
TRAGEDI 1998
Obrolan dengan tiga
mahasiswa 1998
MUGI, KITA AKAN DIBEBASKAN!
1998 dari balik Jeruji
MENCARI BAPAK
Di tengah hiruk-pikuk kerusuhan Mei
1998, banyak nama yang tidak pernah
kembali ke keluarganya. Salah satu
nama yang dihilangkan adalah Yadin
Muhidin.
TANPA NAMA
Wawancara dengan Bu Darwin.
Galeri Foto
MEREKA YANG MASIH
HILANG
KEKERASAN DAN
PEREMPUAN
TIMELINE TRAGEDI
MEI 1998
Anonimus >>
PENUMPANG GELAP REFORMASI
S
e
l
u
r
u
h

t
e
k
s

2
0
1
4

N
e
w
s
l
e
t
t
e
r

P
a
m
f
l
e
t

b
e
r
l
i
s
e
n
s
i

d
i

b
a
w
a
h

C
r
e
a
t
i
v
e

C
o
m
m
o
n
s

A
t
t
r
i
b
u
t
i
o
n

N
o
n
C
o
m
m
e
r
c
i
a
l
-
S
h
a
r
e
A
l
i
k
e

3
.
0

U
n
p
o
r
t
e
d

L
i
c
e
n
s
e
.
Newsletter oleh:
Perkumpulan Pamf let Generasi
Jl. Kemang Raya No. 83H, Kemang, Jakarta Selatan, 12720
www.pamf let.or.id
Email: pamf letindonesia@gmail.com
Redaksi
Raka Ibrahim
Farhanah Faridz
Reporter & Penulis
Niesrina Nadhifah
Firman Suryani
Fahmi Ichsan
Indah Yusari
Maulida Raviola
Farhanah
Raka Ibrahim
Layout & Desain
Syennie Valeria
Dokumentasi & Illustrasi
KontraS, John Muhammad,
Trisakti Network, Nobodycorp
Internationale, Tempo, Kompasiana,
serenatakedang.blogspot.com,
ariyurino.wordpress.com
>>
e
d
i
t
o
r
i
a
l

n
o
t
e
s
Pada tahun 1998, Indonesia mengambil langkah berani.
Masyarakat bangkit dan melawan tirani rezim Orde Baru,
menggerakkan Indonesia menuju Reformasi. Perangkat dan
tembok-tembok lama yang telah mengungkung kita selama 32
tahun kita preteli satu per satu. Banyak tembok tersebut, entah
disadari atau tidak, masih menjulang teguh hingga kini.
Enam belas tahun setelah momen penting ini, apakah kita masih
ingat? Atau justru, semua tragedi dan perjuangan itu
ujung-ujungnya kita lihat sebagai satu lagi babak dalam sejarah
Indonesia yang panjang?
Di newsletter kali ini, Pamf let memperingati 16 tahun Reformasi
dengan menggali kembali bagian-bagian sejarah yang belum
banyak terkuak. Para penulis dan reporter kami, yang
semuanya bagian dari generasi pasca-Reformasi, bergerak
dengan inisiatif sendiri dan mengumpulkan kenangan dan
observasi pribadi berbagai kubu yang ada pada waktu itu
mengenai Reformasi mulai dari para aktivis di lapangan,
korban penculikan paksa aparat, hingga keluarga korban dan
menyajikan Reformasi dari sudut pandang yang berbeda.
Lebih dari sekadar kilas balik, ia juga menjadi panggilan ke
generasi masa kini. Sebuah peringatan dari untaian kisah
mereka yang tidak pernah berhenti berjuang, bahkan hingga
sekarang; Bahwa generasi ini menolak berjalan mundur dan
kembali membasuh kaki tirani.
Semoga berkenan membaca dan mengingat.
Tim Editorial,

Raka Ibrahim & Farhanah Faridz

B
U
M
I

P
E
R
T
I
W
I

M
E
N
A
N
G
I
S
,

1
6

T
A
H
U
N

R
E
F
O
R
M
A
S
I

M
A
N
A
?

S
p
a
n
d
u
k
d
i je
m
b
a
ta
n
Tris
a
k
ti
W
A
W
A
N
C
A
R
A
KE HARI-HARI TRAGEDI 1998
Obrolan dengan tiga mahasiswa 1998
MENYELINAP
Tragedi 1998 kerap dilihat sebagai sebuah penanda era di negara kita. Penanda turunnya Pak Harto, jatuhnya sebuah
Orde yang katanya Baru. Tragedi di bulan Mei akan membawa kita ke bayangan akan lautan mahasiswa yang turun
ke jalan dan menduduki gedung DPR/MPR berhari-hari. Namun, kebanyakan bayangan kita hanya sampai di situ.
Sebuah gambar besar demonstrasi dan tragedi yang kita lihat dan baca sebagai sebuah sejarah. Lewat tulisan ini,
Pamf let ingin membawa kamu dalam-dalam ke barisan demonstrasi, kisah kerusuhan, sampai cerita dari belakang
layar melalui obrolan bersama tiga sahabat kita yang terlibat selama bulan Mei 1998. Ketiga orang yang di masa itu
masih mahasiswa ini adalah Aquino Hayunta, John Muhammad, dan Arits Jenggot.
Saat itu, mereka bertiga memang tidak saling kenal, tapi mereka sama-sama terlibat dalam perjuangan mahasiswa
melalui kampus, institusi, serta peran yang berbeda-beda. Aquino Hayunta yang saat itu adalah mahasiswa Ilmu
Administrasi Universitas Atmajaya Angkatan 1994 lebih banyak berperan bersama Tim Relawan untuk Kemanusiaan.
Berbeda dengan John Muhammad yang sedang kuliah Arsitektur di Universitas Trisakti dan sempat menjadi
koordinator lapangan tepat di hari Tragedi Trisakti, 12 Mei 1998. Sedangkan Arits Jenggot yang kuliah di Institut Islam
lebih memilih ikut bergerak lewat organisasi di luar kampus, Persatuan Mahasiswa Muslim Indonesia (PMII).
Ceri tain dong kalian selama tragedi i tu ada
di mana, ngapain aja, dan sebagai apa?
Aris Jenggot (AJ): Waktu i tu lagi
kuliah dan gue gabung PMII. PMII
garis dasarnya dari NU, tapi nggak
harus Islam yang bisa gabung di si tu.
Dari si tu ada pelatihan analisis sosial,
HAM, lalu pendidikan kader, dan
baru 1998 mulai aksi. Selain i tu, ada
diskusi-diskusi juga. Di si tu lah
dijelaskan soal aksi-aksi sosial. Dari
si tu baru dapat gambaran soal
kondisi sosial, jadi, ki ta tahu pas aksi
i tu apa yang ki ta tuntut. Gue juga
gabung di mahasiswa antar iman. Di
si tu masih ada perdebatan, mau
pakai (jas) almamater apa nggak.
Ada yang mau nggak pake
almamater, tapi saat i tu ada rumor
tentang intel-intel yang masuk ke
kampus, ada plus-minus antara pake
almamater atau nggak. Karena dari
kampus-kampus ternama juga
banyak yang merasa menonjol,
waktu i tu jadi permasalahan.
Waktu tanggal 12 i tu gue di kampus
Az-Zahra Mampang, sudah ada
tentara depan kampus. Sudah ada
isu di tembak kampus. Jadi nggak bisa
keluar. Waktu i tu sudah mau aksi,
jam 10-an baru boleh keluar. Pas
sampai rumah, nonton TV ternyata
ada penembakan.
keluarga. Kalau suasana sih biasa-biasa aja, kita
nggak bayangkan yang heroik. Paling kita pikir
ini kena skors.
Awalnya saya jadi korlap karena dianggap tahu
sejarah, agak langka buat di Trisakti yang nggak
ada FISIP-nya. Kerja saya di bagian badan kajian
strategi, baca-baca kejadian saat itu.
Teman-teman bilang ke saya, Ah, John teori
mulu lo! Teori perubahan, Samuel Huntington
lah!. Nah, setiap aksi kan diputer siapa saja
korlapnya, saya belum pernah, akhirnya saya
jadi lah.
Sejak itu saya nggak pernah mau jadi korlap
lagi, sekali saja udah empat (yang meninggal),
nanti kalau saya lagi jadi banyak lagi yang
meninggal. Posisi korlap itu yang menentukan
kalau di lapangan pulang atau nggak, bentrok
atau nggak. Korlap yang lapor ke koordinator
aksi atau ke senat. Saya ngerasa manfaatnya itu
ketemu Munir dan senior-senior aktivis, diajarin
gimana kalau bentrok dan sebagainya.
John Muhammad (JM): Pertama itu karena
gue ketua himpunan mahasiswa Arsitektur
Universitas Trisakti. Kemudian beberapa teman
di tongkrongan bilang, Yuk, kita bikin sesuatu
dengan situasi ekonomi krisis sekarang ini dan
krisis politik. Karena gue nggak mau bikin
sendiri, gue pun datang ke senat, selama ini gue
nggak main di senat. Di sana disarankan untuk
gabung, lalu rapat lah.
Memang agak di luar bayangan, di luar orang
makin keras terhadap Soeharto, terutama hasil
Pemilu yang dianggap curang, sidang umum
Maret yang menghasilkan anak Soeharto, Mba
Tutut jadi menteri, karibnya, Bob Hasan, jadi
menteri, bikin orang-orang tambah muak. Tapi
justru di kampus kita, Maret-April itu belum
muncul kesadaran. Agak susah meyakinkan
anak-anak bahwa krisis ekonomi ini bermuara
di krisis politik.
Di kampus luar itu udah heboh banget. Karena
saya dianggap menyukai sejarah, teman-teman
ngasih tugas saya buat ketemu
mahasiswa-mahasiswa di luar; ada Forum Kota
dan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa
Jakarta. Dari sana makin yakin bahwa
problem-nya ada di politik. Jadi, tuntutannya
bukan lagi turunkan harga, tapi turunkan
HarGa dalam arti Turunkan Soeharto dan
>>
AJ: Dulu i tu nggak ada HP. Gue kan
tinggal di rumah bibi dan ada sepupu
yang ikut aksi juga. Jadi, saat i tu udah
nelepon duluan, bilang akan ada aksi.
AH: Bokap nyokap gue santai. Ki ta
paling telepon pake telepon umum ke
ortu untuk bilang, Ini kayaknya ada
kerusuhan nih, keluarnya bakal lama,
mereka jawab, Oh ya udah hati-hati
ya. Tanggal 13 kan kebakaran, nggak
bisa pulang, akhirnya gue nginep di
rumah teman, baru pulang besoknya.
Dan setelah i tu ada pembentukan TRUK
dan langsung ikut.
JM: Waktu i tu saya udah lama nggak
balik ke rumah. Tanggal 12 pagi i tu cuma
ganti baju, saya balik ke rumah minta izin
untuk bilang kayaknya nggak bakal balik
lama, cium tangan, nyokap kasih spiri t
bilang, Udah nggak bener ini Suharto,
perjuangin kamu sampai selesai.
AH: Kalau aksi kan demo ke jalan, kalau
TRUK lebih ke investigasi, ki ta tetep ikut
demo tapi untuk dukung, tim relawan ini
mendampingi untuk makanan, logistik,
nganterin ke lapangan, nyiapin mobil
kalau ada korban. Waktu pas ada
penembakan (gas) air mata i tu mobil
gue jadi ambulans untuk bawa para
korban ke rumah saki t Jakarta, gue
angkutin yang luka ringan.
Itu masyarakat semua patungan sampai
dua milyar. Uangnya dipakai buat
sekretariat tim relawan. Ibu-ibu dari
Suara Ibu Peduli juga dukung demo, tapi
di belakang layar. Ada Karlina Supelli,
Gadis Arivia, banyak kok. Dan ibu-ibu
dari korban i tu ada yang akhirnya
gabung ke tim relawan juga.
AJ: Suara Ibu Peduli i tu bawa logistik,
makanan, susu, gi tu-gi tu.
JM: Pas April pertama ki ta bikin acara di
kampus berisi keprihatinan. Yang isi i tu
sembarangan banget! Kampus Trisakti
i tu kan kampus paling mahal di Jakarta,
apoli tis, depoli tisasinya sangat akut, jadi
susah menyadarkan ini problem poli tik
dan ki ta harus bergerak. Spanduk
keprihatinan i tu isinya nggak penting,
misalnya ada yang nulis isinya Turunkan
harga make up! atau Turunkan harga
ban mobil. Namun, senat Trisakti
dengan segala kecupuannya tetap jalan.
Saya dipercaya untuk gabung dengan
gerakan-gerakan grassroot. Yang lepas
dari organisasi intrakampus i tu lebih siap
dengan demo, sudah pada ikut demo di
luar, gabung sama anak UI sampai
Bandung. Mereka i tu yang paham poli tik
Aquino Hayunta (AH): Gue saat i tu
lagi tahun ketiga. Gue di kampus nggak
ikut senat, tapi kalau ada acara cukup
aktif. Pas 1998, karena i tu di Atmajaya,
mau nggak mau gue pas saat kejadian 12
Mei di si tu. Bukan karena niat ikutan,
mahasiswa kebanyakan ikut saat i tu
karena terjebak. Kalau yang ikut
langsung i tu memang senat, yang
diminta koordinir demo di kampus. Baru
tanggal 12 ki ta dengar ada penembakan
mahasiswa. Tanggal 13 ke kampus lagi
karena demo makin gede.
Gue nggak termasuk mahasiswa aktivis,
tapi karena ki ta dengar ada demo lagi
menanggapi penembakan, jadi ki ta ke
kampus lagi. Rumah gue kan di Pasar
Minggu, gue pulang ke rumah dari
Atmajaya i tu jalan kaki. Di Pasar Minggu
i tu toko-toko dibakar habis.
Setelah kejadian 12 Mei, Romo
Sandyawan membentuk Tim Relawan
untuk Kemanusiaan (TRUK), dia
merekrut lewat gereja. Di gereja gue
ada perekrutan untuk siapa yang
mau ikut TRUK untuk mengusut
kerusuhan di Pasar Minggu. Kalau di
Klender dan tempat-tempat lain i tu
kan terdengar banyak korban, di
Pasar Minggu nggak, tapi sebenarnya
dari penemuan ki ta i tu minimal ada
enam korban mayat, tapi mayatnya
hilang semua nggak ada yang
ketemu. Dari si tu, baru gue terlibat
gerakan reformasi di TRUK i tu, nggak
berbasis kampus.
Memang orangtua kalian saat i tu
nggak khawatir?
Bedanya peran TRUK dan
mahasiswa waktu i tu apa?
Sebagai korlap dan aktivis kampus, bagaimana cara
mengumpulkan mahasiswa Trisakti untuk akhirnya
bisa bergerak sebesar i tu?
Setelah nego i tu, ki ta
pun balik badan, tiba-tiba
ada suara tembakan,
tembakan langsung
mengejar ki ta semua.
Semua lari, ada yang ke
kampus, ke kali, panik
lah! Ki ta nggak nyangka
si tuasi lagi enak, tiba-tiba
kok gi tu.
banget. Itu yang membantu meyakinkan
pimpinan-pimpinan di kampus yang
pemahaman poli tiknya kurang i tu untuk
mengejar. Tetap aja secara umum,
mahasiswa Trisakti sangat susah diajak
demo. Udah mimbar bebas pun ki ta
kayak orang gila, teriak-teriak di tengah,
nggak ada yang turun. Sedangkan
mimbar bebas UI dan UGM i tu penuh.
Ada satu perisi tiwa menarik. Isunya ki ta
dikirimin BH dari beberapa universi tas.
Tapi kemungkinan cuma gosip aja. Ini
Trisakti disentuh moralnya nggak gerak,
dengan marah-marah nggak gerak. Ki ta
coba bangun sentimennya, ki ta malah
sebarkan tuh gosip dikirimin BH yang
artinya banci. Sekarang mungkin i tu
nggak menarik banget lah, tapi saat i tu
bermanfaat, karena mereka marah,
mereka bilang, Emang ki ta nggak bisa
demo!? Sentimen jaket ini ki ta
manfaatkan untuk mereka agar mau
gerak.
JM: Tanggal 12 Mei jam 12 siang ki ta
mulai turun ke jalan, sampai gerbang
di tahan sampai Walikota Jakarta Barat
oleh polisi. Di belakang polisi ada
panser. Saya sebagai korlap pikir kalau
plan A nggak jadi, ada plan B, ki ta balik
lagi saja kalau nggak bisa ke DPR. Saat
i tu ada 5000-an orang, termasuk dosen,
karyawan segala macam. Saya nggak
ada pikiran bakal bentrok. Saya merasa
kampus Trisakti kampus yang nggak
radikal, isunya juga masih sopan, nggak
berat-berat, lebih banyak
cengar-cengirnya, ki ta nyanyi-nyanyi
juga saat i tu. Lebih banyak ketawa dan
seru-seruannya. Setting-nya juga nggak
serius karena masih pemanasan untuk
aksi besar tanggal 20.
Jam 5 sore ada proses negosiasi. Polisi
dan tentara i tu minta ki ta bubar, saya
bilang, Ini ki ta udah bubar. Ki ta
berdebat dengan Timur Pradopo,
Kapolres Jakarta Barat saat i tu. Ki ta
diskusi, Bapak buka aja jalan,
anak-anak ini masih ada di luar karena
mereka mau pulang dan nungguin bus.
Anak-anak mahasiswa ini nongkrong di
jalan, minum Teh Botol. Tapi dia bilang
ki ta harus balik ke kampus, tapi di
kampus udah nggak ada kelas. Polisi
bilang takut di timpuk. Saya bilang,
Nggak, Pak. Anak ki ta nggak akan gi tu,
manis-manis kok, Pak, anak-anak ki ta.
Setelah nego i tu, ki ta pun balik badan,
tiba-tiba ada suara tembakan,
tembakan langsung mengejar ki ta
semua. Semua lari, ada yang ke kampus,
ke kali, panik lah! Ki ta nggak nyangka
si tuasi lagi enak, tiba-tiba kok gi tu.
Karena sebelumnya ki ta udah ada
latihan advokasi dari LBH sama Cak
Munir. Ki ta dikasih tahu untuk tenang,
negosiasi, tetap mencatat, ambil foto
yang banyak. Saya juga menenangkan
teman-teman untuk jangan lari, ambil
gambar saja. Sampai habis maghrib i tu
tembakan masih ada.
Mulai saya ngerasa bingung pas ada
teriakan Inallilahi!, saya samperin kok
berdarah!? Yang pertama saya lihat i tu
Hendriawan, anak Ekonomi 1996. Saya
belum kenal dia, saya bingung kok
meninggal. Bingung saya belum selesai,
ada lagi teriakan, saya samperin lagi,
saya lihat i tu Heri Hartanto, anak
(jurusan) Mesin. Saya gotong ke dalam
himpunan, Heri nggak langsung
Kalau kronologis Tragedi Trisakti
12 Mei?
meninggal, masih terengah-engah. Kalau
Hendri dan Haf idin langsung meninggal.
Semuanya korban meninggal ini kena
satu peluru, berarti ini tembakan ji tu,
sengaja diarahkan. Di antara
penembakan peringatan, ada penembak
ji tu.
Terakhir saya panik, Elang i tu adik kelas
saya, jadi saya ingat hari sebelumnya
saya bilang ke dia, Lang, besok lo
pimpin jadi satgas! Elang ini kan Bengal
anaknya jadi saya taruh dia di satgas.
Saya bilang ke dia, Lo temenin
angkatan lo, kumpulin teman-teman
yang berani untuk di depan. Saat i tu
ki ta susah untuk ngeluarin korban ke RS.
Sampai jam 9 malam i tu masih ada
tembakan sesekali, yang berdarah
ketembak i tu puluhan orang. Yang
mengenaskan, ketika mau ngeluarin
Elang, mobil nggak boleh keluar. Kayak
ada upaya untuk mau inspeksi ke dalam,
tentara mau masuk ke dalam, kayak
mau naruh barang bukti dan lain-lain.
Polisi nggak ngasih ki ta keluar, takut
bawa senjata tajam. Ki ta jelasin ki ta
bawa orang sekarat, lalu dibolehkan ke
luar, tapi sampai sana sudah meninggal.
Saya ke senat, mereka diinstruksikan
ternyata untuk menghilang.
Kemungkinan kan malam i tu di tangkap
aktor-aktor penggeraknya, saya nggak
tahu ada komando i tu dari ketua senat.
Dalam kebingungan saya, saya lari ke
radio kampus, saya memastikan ini
jumlah korban berapa. Saya akhirnya
nebeng wartawan untuk ke RS Sumber
Waras, saya pastikan di sana yang
meninggal i tu empat orang.
Di si tu ada persoalan lagi, ki ta berantem
dengan Sumber Waras. Ki ta minta
otopsi, tapi regulasi otopsi harus ada izin
dari polisi. Lah, ini kan polisi yang
nembak! Malam-malam saya pun
ketemu dengan Hermawan Sulistyo
(aktivis 78). Saya bilang ke dia
masalahnya. Akhirnya, dia nelepon
almarhum Munim Idris, dia berani
otopsi. Habis otopsi selesai, penguburan.
Banyak gosip saat i tu jenazah akan
dihilangkan. Ki ta jaga betul-betul, ki ta
nggak tidur, anak-anak ada yang tidur di
kampus tapi kelilingin jenazah.
Saya kaget pagi-pagi setelah tragedi i tu,
di kampus datang Gus Dur, Emil Salim,
Amien Rais, Megawati, beberapa
pemimpin ormas-ormas nasional datang
ke kampus. Yang bikin semangat saat
mencekam gi tu, anak-anak yang tanggal
12-nya nggak datang, hari i tu datang ke
kampus, alumni juga datang. Itu yang
bikin ki ta nggak takut, kalau mau
di tangkep ya di tangkep bareng-bareng
lah. Lalu, berangkat ke Tanah Kusir. Ki ta
bagi tugas. Ada yang jaga kampus,
isunya kampus mau diserbu. Laporan
teman-teman ada massa di luar, nggak
jelas dari mana.
Selesai penguburan, ki ta nggak bisa
balik ke kampus. Kata teman-teman
yang di kampus, di depan Grogol
mendadak ada truk sampah, i tu keluar
di kolong jembatan, penumpang ada
empat, bakar truk sampah, ajak-ajak
orang untuk ancur-ancurin, awalnya
lampu merah, rambu-rambu lalu lintas,
ngajak anak-anak, Ayo ki ta gerak
lawan tentara!. Mulai bakar-bakar, tapi
ki ta nggak ada yang ikut.
Apa saja peristiwa kerusuhan
yang kalian alami atau dengar
waktu i tu?
M
u
l
a
i

M
e
n
d
u
d
u
k
i

G
e
d
u
n
g

D
P
R
/
M
P
R
JM: Tanggal 13 Mei malam, Jakarta sudah mulai rusuh, ki ta cari jalan
al ternatif biar sampai dari rumah saya di Jakarta Selatan ke kampus.
Karena malam i tu razia Cina, teman-teman rada khawatir, John jangan ke
kampus dulu. Muka lo kayak Cina. Ki ta nge-pool dulu di rumah teman,
saya di tahan sama keluarganya, khawatir. Untuk ke kampus bikin aksi lagi
i tu susah banget! Akhirnya berhasil ke kampus, gabung, bikin siaran pers,
dan sebagainya.
Sorenya dapat info senat se-Jakarta kumpul di IKIP, saya mewakili Trisakti.
Itu semua mahasiswa yang tergabung di Forum Komunikasi Senat
Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ). Rapat di si tu menyiasati untuk aksi
menduduki MPR/DPR, ki ta sepakat tanggal 18 masukin orang, tanggal 17
silakan pada demo.
Taktiknya waktu i tu, dua puluh mahasiswa nebeng mobilnya Amien Rais
yang dipanggil Harmoko yang mau sampaikan aspirasi. Ki ta nebeng
mobilnya ke si tu terus nggak mau pulang. Di dalam para mahasiswa yang
mulai menduduki cari ruangan, cari sela, ada yang kenal sama anggota DPR
juga lalu numpang di dalam. Mereka ini juga mengalami teror, ada cleaning
service yang nakut-nakutin bilang, Siapin kata-kata terakhir, dan
sebagainya. Ki ta yang di luar siapin massa.
Tanggal 18 masuk, pertama UIN Ciputat sama UI, makin lama makin
banyak, berkembanglah jadi gerakan besar. Ada beberapa upaya untuk
mendekati gerakan mahasiswa, entah ambil hati atau emang baik hati
memberikan informasi. Misalnya, saya kenal Kivlan Zen (Kakostrad saat i tu),
saya dapat nomernya, lalu dihubungi dan dikasih info semacam, Tetap di
DPR ya, jangan keluar.
Saya i tu bolak-balik kampus-Senayan, kasih informasi rapat yang ada di
Senayan ke kampus. Di DPR i tu intinya memberi tekanan anggota DPR
agar segera sidang istimewa, ki ta ingin Pak Harto diadili lah. Yang bikin ki ta
sebal, misalnya tanggal 14, tentara bantah untuk bilang demo sesuai
prosedur, tudingannya mahasiswa bawa senjata tajam, aneh-aneh lah!
Tanggal 20 malam ki ta dapat kabar Pak Harto turun. Pagi-pagi beberapa
mahasiswa ada yang hore dan happy, tapi ada yang bingung, termasuk
saya. Wah, Pak Harto mundur nih, kosong nih, Indonesia gimana sekarang?
AH: Banyakan cowo sih aktivis kampusnya.
AJ: Sama aja sebenarnya, banyak yang misalnya
pacarnya kan ikutan juga.
JM: Cewek-cowok seimbang. Perempuan
banyak paling depan karena ki ta aksinya saat
i tu kasih bunga. Kalau tentaranya pegang
senjata, ki ta jahilin dengan masukin bunga ke
senjata.
AJ: Tanggal 13 malem gue di Tanah
Abang mau balik, ngobrol sama
supir-supir angkot, soal mau ada
penjarahan. Habis i tu balik, paginya
benar di pasar deket rumah gue, di
Petojo, banyak (toko) orang Cina udah
diserbu. Banyak orang yang gue tahu
kalau gue lagi ke pasar, orang i tu udah
mulai ambilin makanan kecil sampai
beras. Waktu i tu orang-orang banyak
yang nawarin Mas-mas, Beng-Beng
mau?
Abis i tu baru banyak tulisan (di warung
dan toko) Milik Pribumi biar nggak
diserang. Di Pasar Minggu sampai
sekarang masih ada satu toko yang ada
tulisannya Milik Pribumi.
AH: Saat i tu kan yang dibakar dan
dijarah banyak punya pribumi juga
nggak hanya Cina. Tiba-tiba rumah yang
kecil-kecil di Pasar Minggu punya kulkas,
tapi mereka nggak bisa nyalain karena
listriknya nggak kuat.
AJ: Saat i tu katanya orang semua jadi
kayak superhero, kuat ngangkut apa
saja.
AH: Yang kena gas air mata i tu diangkutnya
pakai mobil gue. Pas di mobil tancepan gas air
matanya masih keluar asap, jadi satu mobil i tu
nangis semua. Pedas banget. Perihnya bawang
mah jauh. Kayak goreng cabe, kira-kira 5 kali
lipat perihnya.
AJ: Pernah di Atmajaya waktu i tu, gas air mata
i tu kena angin juga nyebar. Dulu (senjatanya)
i tu odol dan air putih.
AH: Waktu i tu ada anak kecil ngangkut
kulkas pakai gerobaknya Supermarket
Goro Pasar Minggu. Gosipnya ini
terorganisir, ada yang manasin bilang
Ayo jarah!. Dari temuan Tim
Gabungan Pencari Fakta, semua
pembakaran i tu dikomandoi oleh
orang bertubuh tegap dan rambut
cepak. Setiap di ti tik kerusuhan
kesaksian masyarakat sama. Paling
parah i tu kan di Mall Klender,
orang-orang disuruh masuk dan jarah
mall, lalu mall dibakar.
Jenazah-jenazahnya nggak berbentuk.
Proporsisi cewe dan cowo saat i tu
seimbang nggak yang ikut demo?
Ada yang kena gas air mata nggak
waktu i tu?
Soal pemerkosaan massal saat
i tu, apa pas kejadian kalian ada
yang dengar atau tahu?
Kenapa anak sekarang perlu
tahu soal peristiwa 1998?
Mengingat anak muda kini juga
banyak yang aktif membuat
inisiatif.
Menurut kalian, ada
kemungkinan aksi seperti 1998
bisa terulang (dalam konteks
berbeda)?
JM: Ki ta terpecah, reformasi damai dan reformasi total.
Yang dukung reformasi damai bilang ini sudah selesai,
Pak Harto udah mundur. Beberapa lagi nggak setuju,
belum, Pak Habibie juga kan kroninya Pak Harto. Dulu
ki ta ngerumusin banyak hal tentang Indonesia baru
dan sebagainya. Tapi karena ki ta nggak tahu dan ini
terlalu cepat, jadi gagasan-gagasanya mentah. Kalau
diskusi di Forum Kota, ki ta maunya cleansing rezim, ki ta
cuci semua, ki ta usir, dari nol. Tapi konsep pemerintah
barunya belum ada. Akhirnya ide teman-teman
mahasiswa ini nggak dibeli sama eli t.
FKSMJ beda lagi, idenya nyulik beberapa eli t untuk
menandatangani perubahan yang mereka mau,
Deklarasi Ciganjur, waktu i tu ada Amien Rais. Tapi di
deklarasi i tu juga nggak ada keberanian lawan TNI.
Sepakat semua, kecuali mencabut dwifungsi ABRI.
Sampai tahun 2000 sekian baru berani. Itu pun mereka
nggak mau kudeta. Ada beberapa teman yang ingin
triumvirat ini saja, sekelompok pemimpin lokal, kayak
Amien Rais yang pimpin, kayak Rangasdengklok dulu
lah. Tapi ternyata Megawati, Hamengkubuwono dan
lain-lain nggak mau dengan cara i tu. Akhirnya, udah
lah ki ta nikmati masa Habibie, abis i tu juga turun pas
Pemilu 1999.
JM: Di Jakarta ini ada dua kubu besar, Forum Kota
(Forkot) dan FKSMJ. Forkot ini mahasiswa-mahasiswa
yang jarang di kampus, mainnya di luar. Mereka ini
rata-rata nggak punya posisi dalam kampus, bukan
ketua senat atau himpunan, sehingga di kampus agak
susah ruang gerak mereka. Tapi di luar mereka punya
tongkrongan dan massa. Saya melihat dari tingkat
radikalisme lebih berani Forkot. Bulan April saja
mereka udah demo naik bus. Kalau saya ikut
dua-duanya, Trisakti agak pecun lah, ki ta semua
temenin dua-duanya. Saya ke Forkot juga kadang, tapi
memang jarang terlibat aksi bareng Forkot, biasanya
rapat aja. Kalau mutusin dan sebagainya sama FKSMJ.
AJ: Pemerkosaan ramai pasca
penembakan 12 Mei. Gue sih nggak
dengar-dengar saat i tu.
AH: Gue dengar, tapi tim relawan yang
nemuin fakta. Awalnya media i tu nggak
tahu ada pemerkosaan. Taunya cuma
ada penjarahan, penembakan, dan
pembakaran. Setelah tim relawan turun
ke jalan, baru ketawan ternyata banyak
yang diperkosa. Ada korban yang
didampingi lama, mau berangkat
kesaksian di Amerika Serikat, tiba-tiba
mati. Dibilangnya dibunuh sama
pembantu/tukang kebun, tapi ki ta nggak
percaya.
AJ: Bisa jadi lesson learned, ketika ki ta
bersatu, ki ta bisa capai tujuan yang
dimaksud. Saat i tu kan mahasiwa
bersatu jatuhin Soeharto. Selain i tu, ada
juga cabut dwifungsi ABRI, turunin harga.
Sebenarnya kalau bersatu bisa. Sekarang
banyak anak muda terlibat di isu-isu
sosial, tapi terfragmen. Bagaimana cari
sinergi isu ke isu dan cari tujuan untuk gol
bersama.
AH: Mereka harus tahu supaya punya
perspektif HAM. Karena i tu yang dulu
diperjuangkan di 1998. Yang bikin orang
bersatu i tu. Sekarang kan orang bikin
organisasi karena aktualisasi diri, karena
activism is cool. Tapi kenapa lo aktif?
Alasannya apa? Mereka bilang supaya
ada perubahan. Tapi perubahan seperti
apa? Ada yang jawab supaya lebih maju.
Padahal seharusnya supaya hak asasi
lebih terjamin.
Kok hak asasi? Kalo lihat di 1998
semuanya berawal dari si tu. Bukan
supaya ekonomi lebih baik. Kalau
ekonomi i tu cuma bonus setelah hak
di tegakkan. Sekarang misal anak-anak
muda bikin acara ngundang Prabowo,
anak presiden juga. Kalau sama anak
1998 i tu diketawain, ngapain ngundang
mereka. Argumentasi mereka i tu nggak
ada dasarnya, nggak punya pisau
analisis. Kalau ki ta ngikutin 1998, jelas
pisau analisisnya hak asasi manusia.
JM: Gue bilang sih memahami dan
membaca sejarah 1998 segala macem i tu
sebenarnya untuk tidak memutuskan
semangat perubahan anak muda saat
i tu. Sampai sekarang tuntutan i tu masih
AH: Nggak ya. Kepentingannya
sekarang sudah beda. Dulu musuhnya
Oba, sekarang Orba sudah beralih
muka. Nggak mungkin lah. Lihat demo
buruh kemarin? Gerakan mahasiswa 1998
kayak gi tu. Dulu sampai merinding lihat
mahasiswa, dari Semanggi sampai
Diponegoro penuh. Dulu semangat
banyak teman.
AJ: Dulu kan tujuannya hanya satu, meski
banyak yang menunggangi tapi nggak
kelihatan. Iyah dulu semangat ya.
S
e
t
e
l
a
h

P
a
k

H
a
r
t
o

T
u
r
u
n
>
>
Tentang Dua Gerakan Mahasiswa
di Jakarta Waktu itu >>
relevan, nggak ada korupsi, ada
penghargaan terhadap HAM. Menurut
saya kebebasan yang dimiliki gerakan
mahasiswa i tu nggak lepas dari
pengorbanan teman-teman saat i tu.
Ternyata kebebasan HAM i tu nggak
gratis sepengalaman saya, nggak kayak
oksigen. Lo harus teriak dulu, harus
berdarah-darah dulu. Suatu saat saya
yakin, akan ada orang gila lagi yang
berupaya mengatur ki ta lagi. Kebebasan
i tu ada kalau ki ta teriakin. Kalau lo
cuekin, lo nggak manfaatin, pasti akan
ada orang gila lagi yang mau membatasi
hak-hak lo i tu. Peristiwa ini mengajarkan
saya bahwa kekerasan sipil ini selalu
mengintai, bungkusnya aja yang beda.
Dulu kan bungkusnya pembangunan,
stabili tas lah. Kalau sekarang
macam-macam, agama lah, nasionalisme,
ki ta harus cermat.
Generasi sekarang harus memahami
bentuk-bentuk lain dari upaya orang
membatasi hak-hak ki ta. Itu yang
pertama kenapa penting. Harus kami
akui, gerakan kami nggak selesai dalam
menghabisi rezim. Karena memang
bayangan kami gerakan i tu akan sampai
berbulan-bulan, besar kayak di (Protes
Mahasiswa 1968 di) Perancis, jadi
gerakan nasional, tapi baru berapa hari
Pak Harto cabut.
Yang ada perpecahan dalam gerakan
mahasiswa, bilang bahwa Pak Harto
nggak ingin pertumpahan darah, tapi
menurut saya dia licik, dia menghindari
sidang, menghindari banyak hal.
Pelajarannya, lo kalo nuntut emang harus
energinya panjang, jangan percaya eli t,
harus percaya pada diri sendiri. Satu lagi!
Yang nggak boleh hilang i tu adalah
FUN-nya. Dulu, seangker-angkernya
perisi tiwa, ki ta tetap fun kok. Ada yang
dengar lagu metal segala macam.
w
a
w
a
n
c
a
r
a

MUGI, KITA AKAN DIBEBASKAN!
Namanya Mugiyanto. Pada
tahun 1998, aktivis PRD dan Mahasiswa
Fakultas Sastra UGM ini diculik dari rumahnya
di Jakarta Timur. Dalam serangkaian teror untuk
merepresi gerakan pro-demokrasi, aparat menghilangkan
23 orang aktivis dan warga. Satu orang ditemukan meninggal.
Sembilan pulang membawa cerita pilu penuh trauma dan
kenangan akan penyiksaan, intimidasi, dan teror.
Tiga belas orang masih hilang hingga kini.
Mugiyanto termasuk salah satu yang pulang. Jelang 16 tahun peringatan
Reformasi, Pamf let bertemu dengannya dan mengajak ia napak tilas.
1998 dari balik Jeruji
Untuk menggambarkan situasi politik Indonesia tahun 1998, kita perlu
mundur sedikit. Kita mundur dua tahun ke 1996. Yang aku maksud adalah
peristiwa 27 Juli 1996. Ketika kantor PDI diserang
oleh segerombolan orang. Nah, itu sebetulnya
kalau... Hmm.. Saya menyebutnya sebagai awal
kebangkitan gerakan rakyat. Gerakan demokrasi
di Indonesia dalam menentang otoritarianisme
Orde Baru. Karena sebelumnya belum pernah ada
satu perlawanan yang sedemikian massive.
Dan itu terjadi, trigger-nya adalah peristiwa 27 Juli.
Ketika aktivitas panggung demokrasi di depan
kantor PDI diserang oleh segerombolan orang.
Dan beberapa sumber menyebutkan ratusan
orang hilang dan meninggal. Tapi tidak pernah ada
investigasi yang komprehensif mengenai peristiwa
27 Juli karena itulah sebetulnya, karena itu
kemudian ada kontroversi mengapa ketika
Megawati jadi presiden, kasus tidak diusut. Segala
macem.
Yang seru dari peristiwa 27 Juli 96 adalah
bagaimana masyarakat yang dibungkam tiga
dekade tiba-tiba berani kritis terhadap Orde Baru,
terhadap Golkar, dan apa yang terjadi kemudian
membuktikan bahwa masyarakat bisa melawan.
Orde Baru tidak terlawan, tapi bisa panik. Dan
memang benar-benar panik. Makanya, pada
peristiwa tersebut kemudian Pemerintah perlu
mengkambing-hitamkan kelompok yaitu Partai Rakyat Demokratik
(PRD), di mana saya anggotanya.
Saya waktu itu anggota dari organisasi mahasiswa yang beraf iliasi ke
PRD. Namanya SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi).
Karena waktu itu saya di Yogya, mahasiswa di Yogya, saya kuliah di UGM,
Sastra Inggris. Nah, itu 96. Kemudian situasi terus berkembang karena
perlawanan masyarakat terhadap rezim Soeharto tidak turun, waktu itu
walaupun organisasi kami dilarang, kami tetap bergerak mengorganisir
masyarakat, berbagai macam kelompok masyarakat. Kalau saya
mengorganisir mahasiswa. Dan mengorganisir buruh juga, di Surabaya
dan Jakarta.
Perlawanan rakyat ini menemukan momentumnya kembali tahun 97. Saat itu
ada krisis ekonomi ketika harga-harga naik karena nilai tukar rupiah sangat
turun, dan segala macem. Itu momentum politik yang juga meradikalisir
perlawanan rakyat. Dan karena perlawanan ini, kemudian rezim Orde Baru
juga semakin represif merespon resistensi masyarakat. Karena itulah
kemudian tindakan-tindakan represi dilakukan, salah satunya dengan
menghilangkan orang. Menculik orang.
Makanya tahun 97 mulai ada fenomena penculikan
aktivis, yang waktu itu terjadi kepada aktivis PDIP
atau PDI-nya Megawati dan PPP. Yang menjadi
korban kan kalau di PDI-P Yani Afri, Soni, itu dari
PDIP Jakarta Utara. Kemudian kalau dari PPP Dedy
Hamdun, Noval Alkatiri dan lain-lain. Jadi kalau PDI
sama PPP dijadikan target represi oleh Orde Baru,
itu karena pada tahun 97 juga mulai muncul suara
kritis dari dua partai politik ini. Yang sebelumnya
dihegemoni sepenuhnya oleh Golkar, oleh Orde
Baru, partai ini sudah mulai kritis. Dan mereka
mulai... Apa namanya... berkoalisi untuk melawan
OrBA, makanya tahun 97 sudah ada istilah yang
namanya koalisi Mega Bintang. Mega simbol
Megawati PDI, dan Bintang PPP.
Jadi itu tahun 97, secara politik momentum pemilu,
radikalisasi, ekonomi hancur. Kemudian, tahun 1998
ada momentum lagi. Momentum sidang umum
MPR yang akhirnya memilih Soeharto (jadi
Presiden), kalau gak salah bulan Maret atau April
tahun 98. Jadi pemerintah punya agenda,
pemerintah Orde Baru punya agenda nasional,
sidang umum, tapi di lain pihak ada resistensi atau
perlawanan dari masyarakat. Dan tidak hanya
aktivis yang melawan pada waktu itu. Terutama orang-orang perkotaan,
orang-orang perkotaan mulai kritis. Terutama karena harga-harga yang
membumbung tinggi. Sehingga mareka minta diturunkannya harga, mulai
muncul istilah-istilah KKN, pada masa Orde Baru dan lain-lain.
Sehingga kemudian praktek penghilangan paksa dilakukan lagi pada awal 98
yang terjadi ke Pius, Desmond, Haryanto Taslam dan baru yang terjadi ke
saya dan kawan-kawan dari PRD itu bulan Maret 98. Jadi konteks politiknya
seperti itu ada agenda politik nasional, ada pemilu, ada krisis global yang
impact-nya sangat buruk ke Indonesia, dan ada sidang istimewa. Tapi di lain
pihak ada gerakan rakyat yang mulai kritis ke pemerintah. Inilah yang
kemudian menjadikan peristiwa penculikan-penculikan pada bulan Maret
kepada saya dan kawan-kawan dan berlanjut sampai Mei ketika Soeharto
mengundurkan diri. Jadi situasi politiknya seperti itu.

Bagaimana konteks situasi politik
Indonesia pada masa itu?
Pada akhir 97 saya KKN di UGM, itu masa
akhir studi dan saya KKN dari bulan
Oktober-Desember di sebelah selatan Candi
Prambanan. Aktivitas saya mengorganisir
mahasiswa berlanjut sebetulnya, tapi secara
diam-diam karena kita diburu paska 27 Juli
ketika kita dikambing-hitamkan sebagai master
mind kejadian tersebut.
Kita tidak muncul ke publik karena kita dicari.
Tetapi pada Januari, temen-temen saya meminta
saya untuk kampanye internasional karena
teman-teman pimpinan PRD pada dipenjara,
Budiman Sudjatmiko dan lain-lain. Mesti ada
yang bertugas kampanye internasional. Saya
diminta dari Yogya ke Jakarta, di Jakarta kami
tinggal di sebuah rumah kontrakan yang kita
sebut sebagai safe house, karena begitu cara
kerja kami pada waktu itu. Karena tidak seperti
kalian sekarang yang bebas melakukan apapun,
pada waktu itu kami tidak punya kebebasan
seperti itu, karena memang masih di bawah
rezim Orde Baru. Terlebih kita memang ditarget.
Jadi kita tinggal di safe house di Jakarta Timur,
di rumah susun Klender di lantai 2. Saya waktu
itu tinggal bersama Nezar Patria, Aan
Rusdianto, Andi Arief dan Petrus Bimo
Anugerah. Saya tinggal berlima secara ofcial
disitu. Suatu saat saya ada tugas untuk bertemu
dengan teman-teman di Australia bernama East
Timor Support Center. Ketemunya di daerah
Menteng. Siang sampai sore hari saya ketemu
dengan mereka. Saya bertemu dengan mereka
karena waktu itu salah satu program kami
mendukung referendum di Timor Leste. Karena
itu, kami berhubungan dengan kelompok yang
bersolidaritas untuk Timor Timur.
Menurut pemahaman kami, Timor Leste
merupakan negara yang merdeka, kemudian
dianeksasi oleh Indonesia pada tahun 1975. Dan
prinsip perjuangan kami adalah, kami
merealisasikan UUD yang disebutkan di
Mukadimah, yang intinya anti-penjajahan. Itu
kenapa kami mendukung referendum Timor
Leste. Setelah pertemuan dengan teman dari
Australia itu, saya kembali ke safe house.
Sebelum pulang, di Jalan Diponegoro saya
nelpon dari telepon umum ke rumah. Yang
menerima Nezar. Nezar saya mau pulang,
kamu gak usah beli makan malam karena saya
bawa Hoka-hoka bento. Waktu itu saya bawa
hoka-hoka bento diberi oleh dua orang dari
Australia. Bagi kami pada waktu itu Hoka-hoka
bento sebuah kemewahan, kami jarang makan
malah dapet Hoka-hoka bento. Nah, setelah itu
saya naik angkot ke Jakarta Timur.
Sampai di rumah itu, saya buka pintu, kita
tinggal di Lantai dua, gak ada orang. Sepi. Di
dalam kok berantakan?
Kami hanya punya tikar dan satu laptop. Gak
punya handphone. Waktu itu alat komunikasi
yang paling canggih adalah pager. Saya masuk
gak ada orang, mestinya kan Nezar sama Aan
nunggu di rumah. Saya ke dapur masih ada air
jeruk yang masih panas. Yaudah saya tunggu.
Saya pikir Nezar sedang akses email ke wartel,
tapi kok gak jelas. Akhirnya saya pager Nezar
supaya telepon ke rumah. Saya pager dua kali
gak datang juga.
Sekitar sepuluh menit saya lihat dari jendela
rumah sudah dikepung, sudah banyak orang
gede-gede liatin aku di lantai dua. Saya
langsung lemes. Aduh ditangkep, mati ini
udah. Lemes. Sebelumnya saya menduga ada
sesuatu yang tidak beres, karena itu saya sudah
menyiapkan passport sama buku harian ku. Jadi
ketika rumah dikepung, saya membawa itu,
siap kabur. Saya matikan lampu, saya langsung
terduduk di lantai.
Di saat itu juga, pintu digedor. Buka pintu!
Buka pintu! Saya buka pintu. Mereka masuk
sekitar sepuluh orang. Dua orang berseragam.
Terus mereka periksa-periksa. Kemudian saya
di bawa ke bawah, dan udah ada mobil yang
menunggu. Saya masuk ke mobil kemudian
dibawa. Saya berpikir mau loncat karena pada
waktu itu saya duduk di pintu, mobilnya Kijang,
tapi kalo loncat saya mikir karena ada
pengalaman kawan aktivis yang loncat
kemudian ditembak. Aku pasrah aja.
Kemudian berhenti di Koramil Duren Sawit.
Disitu saya diinterogasi selama setengah jam,
tapi saat diintegorasi ada orang lain yang
sepertinya ditangkap, wajahnya mirip Petrus
Bimo. Dia diinterograsi sama tentara dan
mengaku bernama Jaka. Akhirnya saya sama
Jaka dibawa bak terbuka, mobil PM (Polisi
Militer), pergi ke Kodim Jaktim. Dari sana saya
disuruh nunggu di ruang tamu. Di Kodim, saya
dan Jaka diperebutkan oleh dua orang perwira
yang membentak Polisi Militer yang membawa
kami, Turunkan mereka! Cepat turunkan
mereka!
Namun orang PM yang membawa kami tak
langsung menurut. Sampai dibentak lima kali.
Akhirnya saya sama Jaka diturunkan, sempat
masuk ke dalam sebentar, kemudian dibawa
keluar lagi sama si Jaka.
Mugi, kamu selamat, kamu selamat! Ayo kita
pulang ke rumah.
Aku kan bingung, pulang ke rumah ke mana,
Jaka ini siapa, saya gak kenal. Terakhir saya tau,
ternyata dia orang Kopassus yang ditanamkan
karena saya ditangkap oleh berbagai macam
kesatuan. Dia rupanya Kapten Jaka Budi Utama,
salah satu anggota Tim Mawar yang diadili.
Dari Kodim itu, setelah digandeng Jaka, saya
disuruh naik mobil, kemudian saat mobil
berangkat saya disuruh buka baju dan ditutup
mata.
Saya gak lihat apa-apa.
Kemudian perjalanan cukup lama, kendaraan
berhenti, saya turun melangkah. Udaranya
dingin. Ada suara air mengalir, ada suara sirine
meraung-raung, ada suara cambuk. Wah saya
pikir, Saya dibawa ke sawah untuk dibunuh.
Terus saya ditanya, sambil masih berdiri itu,
Nama kamu siapa? Kamu sama siapa? Dan
saya selalu jawab, Aku sendiri, pak.
Aku bilang sendiri dan langsung dihajar sama
mereka, Kamu bohong! Jatuh, ditendang,
dipukul, saya gak merasakan. Yang jelas bibir
saya pecah-pecah. Saya diberdirikan lagi.
Mereka gak suka jawaban saya, lalu marah lagi.
Akhirnya saya disuruh buka celana dan buka
sepatu. Saya cuma pake celana dalam.
Kemudian saya ditidurkan diikat dua tangan
dua kaki, dan itu terjadi selama dua hari dua
malam.
Ditanya, mengapa kami anti dwi-fungsi ABRI,
mengapa kami anti-Soeharto, mengapa kami
mendukung Timor Timur, apa kenal Megawati
dan Amien Rais, dan sebagainya. Mereka juga
tanya, menurut kami solusi terhadap krisis
ekonomi Indonesia itu apa, apakah IMF itu baik
atau tidak. Jadi itu selama dua hari-dua malam.
Termasuk pertanyaan di mana kawan-kawan
saya, dimana Andi Arief, di mana yang lain. Itu
yang paling mereka cari.
Dan di situlah saya baru sadar ketika mereka
berhenti menyiksa saya, suara cambuk itu
adalah alat setrum. Nah ketika mereka
berhenti menyiksa saya, ada suara orang
menjerti-jerit. Di situlah saya tahu itu Nezar.
Setelah selesai Nezar disiksa, ada suara lagi
menjerit, ternyata itu Aan. Jadi dari situ saya
baru tahu, ternyata dua kawan ini sudah di sini
sebelum saya. Setelah itu kami selalu bertiga.
Yang paling mengerikan itu bukan ketika saya
disiksa, tapi ketika mendengar kawan lain
disiksa. Itu paling menyakitkan.
Bagaimana kronologis penculikan anda?
>>
Sekitar sepuluh menit saya lihat dari
jendela rumah sudah dikepung, sudah
banyak orang gede-gede liatin aku di lantai
dua. Saya langsung lemes. Aduh ditangkep,
mati ini udah.
Pada akhir 97 saya KKN di UGM, itu masa
akhir studi dan saya KKN dari bulan
Oktober-Desember di sebelah selatan Candi
Prambanan. Aktivitas saya mengorganisir
mahasiswa berlanjut sebetulnya, tapi secara
diam-diam karena kita diburu paska 27 Juli
ketika kita dikambing-hitamkan sebagai master
mind kejadian tersebut.
Kita tidak muncul ke publik karena kita dicari.
Tetapi pada Januari, temen-temen saya meminta
saya untuk kampanye internasional karena
teman-teman pimpinan PRD pada dipenjara,
Budiman Sudjatmiko dan lain-lain. Mesti ada
yang bertugas kampanye internasional. Saya
diminta dari Yogya ke Jakarta, di Jakarta kami
tinggal di sebuah rumah kontrakan yang kita
sebut sebagai safe house, karena begitu cara
kerja kami pada waktu itu. Karena tidak seperti
kalian sekarang yang bebas melakukan apapun,
pada waktu itu kami tidak punya kebebasan
seperti itu, karena memang masih di bawah
rezim Orde Baru. Terlebih kita memang ditarget.
Jadi kita tinggal di safe house di Jakarta Timur,
di rumah susun Klender di lantai 2. Saya waktu
itu tinggal bersama Nezar Patria, Aan
Rusdianto, Andi Arief dan Petrus Bimo
Anugerah. Saya tinggal berlima secara ofcial
disitu. Suatu saat saya ada tugas untuk bertemu
dengan teman-teman di Australia bernama East
Timor Support Center. Ketemunya di daerah
Menteng. Siang sampai sore hari saya ketemu
dengan mereka. Saya bertemu dengan mereka
karena waktu itu salah satu program kami
mendukung referendum di Timor Leste. Karena
itu, kami berhubungan dengan kelompok yang
bersolidaritas untuk Timor Timur.
Menurut pemahaman kami, Timor Leste
merupakan negara yang merdeka, kemudian
dianeksasi oleh Indonesia pada tahun 1975. Dan
prinsip perjuangan kami adalah, kami
merealisasikan UUD yang disebutkan di
Mukadimah, yang intinya anti-penjajahan. Itu
kenapa kami mendukung referendum Timor
Leste. Setelah pertemuan dengan teman dari
Australia itu, saya kembali ke safe house.
Sebelum pulang, di Jalan Diponegoro saya
nelpon dari telepon umum ke rumah. Yang
menerima Nezar. Nezar saya mau pulang,
kamu gak usah beli makan malam karena saya
bawa Hoka-hoka bento. Waktu itu saya bawa
hoka-hoka bento diberi oleh dua orang dari
Australia. Bagi kami pada waktu itu Hoka-hoka
bento sebuah kemewahan, kami jarang makan
malah dapet Hoka-hoka bento. Nah, setelah itu
saya naik angkot ke Jakarta Timur.
Sampai di rumah itu, saya buka pintu, kita
tinggal di Lantai dua, gak ada orang. Sepi. Di
dalam kok berantakan?
Kami hanya punya tikar dan satu laptop. Gak
punya handphone. Waktu itu alat komunikasi
yang paling canggih adalah pager. Saya masuk
gak ada orang, mestinya kan Nezar sama Aan
nunggu di rumah. Saya ke dapur masih ada air
jeruk yang masih panas. Yaudah saya tunggu.
Saya pikir Nezar sedang akses email ke wartel,
tapi kok gak jelas. Akhirnya saya pager Nezar
supaya telepon ke rumah. Saya pager dua kali
gak datang juga.
Sekitar sepuluh menit saya lihat dari jendela
rumah sudah dikepung, sudah banyak orang
gede-gede liatin aku di lantai dua. Saya
langsung lemes. Aduh ditangkep, mati ini
udah. Lemes. Sebelumnya saya menduga ada
sesuatu yang tidak beres, karena itu saya sudah
menyiapkan passport sama buku harian ku. Jadi
ketika rumah dikepung, saya membawa itu,
siap kabur. Saya matikan lampu, saya langsung
terduduk di lantai.
Di saat itu juga, pintu digedor. Buka pintu!
Buka pintu! Saya buka pintu. Mereka masuk
sekitar sepuluh orang. Dua orang berseragam.
Terus mereka periksa-periksa. Kemudian saya
di bawa ke bawah, dan udah ada mobil yang
menunggu. Saya masuk ke mobil kemudian
dibawa. Saya berpikir mau loncat karena pada
waktu itu saya duduk di pintu, mobilnya Kijang,
tapi kalo loncat saya mikir karena ada
pengalaman kawan aktivis yang loncat
kemudian ditembak. Aku pasrah aja.
Kemudian berhenti di Koramil Duren Sawit.
Disitu saya diinterogasi selama setengah jam,
tapi saat diintegorasi ada orang lain yang
sepertinya ditangkap, wajahnya mirip Petrus
Bimo. Dia diinterograsi sama tentara dan
mengaku bernama Jaka. Akhirnya saya sama
Jaka dibawa bak terbuka, mobil PM (Polisi
Militer), pergi ke Kodim Jaktim. Dari sana saya
disuruh nunggu di ruang tamu. Di Kodim, saya
dan Jaka diperebutkan oleh dua orang perwira
yang membentak Polisi Militer yang membawa
kami, Turunkan mereka! Cepat turunkan
mereka!
Namun orang PM yang membawa kami tak
langsung menurut. Sampai dibentak lima kali.
Akhirnya saya sama Jaka diturunkan, sempat
masuk ke dalam sebentar, kemudian dibawa
keluar lagi sama si Jaka.
Mugi, kamu selamat, kamu selamat! Ayo kita
pulang ke rumah.
Aku kan bingung, pulang ke rumah ke mana,
Jaka ini siapa, saya gak kenal. Terakhir saya tau,
ternyata dia orang Kopassus yang ditanamkan
karena saya ditangkap oleh berbagai macam
kesatuan. Dia rupanya Kapten Jaka Budi Utama,
salah satu anggota Tim Mawar yang diadili.
Dari Kodim itu, setelah digandeng Jaka, saya
disuruh naik mobil, kemudian saat mobil
berangkat saya disuruh buka baju dan ditutup
mata.
Saya gak lihat apa-apa.
Kemudian perjalanan cukup lama, kendaraan
berhenti, saya turun melangkah. Udaranya
dingin. Ada suara air mengalir, ada suara sirine
meraung-raung, ada suara cambuk. Wah saya
pikir, Saya dibawa ke sawah untuk dibunuh.
Terus saya ditanya, sambil masih berdiri itu,
Nama kamu siapa? Kamu sama siapa? Dan
saya selalu jawab, Aku sendiri, pak.
Aku bilang sendiri dan langsung dihajar sama
mereka, Kamu bohong! Jatuh, ditendang,
dipukul, saya gak merasakan. Yang jelas bibir
saya pecah-pecah. Saya diberdirikan lagi.
Mereka gak suka jawaban saya, lalu marah lagi.
Akhirnya saya disuruh buka celana dan buka
sepatu. Saya cuma pake celana dalam.
Kemudian saya ditidurkan diikat dua tangan
dua kaki, dan itu terjadi selama dua hari dua
malam.
Ditanya, mengapa kami anti dwi-fungsi ABRI,
mengapa kami anti-Soeharto, mengapa kami
mendukung Timor Timur, apa kenal Megawati
dan Amien Rais, dan sebagainya. Mereka juga
tanya, menurut kami solusi terhadap krisis
ekonomi Indonesia itu apa, apakah IMF itu baik
atau tidak. Jadi itu selama dua hari-dua malam.
Termasuk pertanyaan di mana kawan-kawan
saya, dimana Andi Arief, di mana yang lain. Itu
yang paling mereka cari.
Dan di situlah saya baru sadar ketika mereka
berhenti menyiksa saya, suara cambuk itu
adalah alat setrum. Nah ketika mereka
berhenti menyiksa saya, ada suara orang
menjerti-jerit. Di situlah saya tahu itu Nezar.
Setelah selesai Nezar disiksa, ada suara lagi
menjerit, ternyata itu Aan. Jadi dari situ saya
baru tahu, ternyata dua kawan ini sudah di sini
sebelum saya. Setelah itu kami selalu bertiga.
Yang paling mengerikan itu bukan ketika saya
disiksa, tapi ketika mendengar kawan lain
disiksa. Itu paling menyakitkan.
Jadi sebelumnya Mas Mugi bukan
ditangkap langsung oleh Kopasus?
Nampaknya begitu. Ada Kopassus, tapi ada
satuan lain. Yang sepuluh orang menangkap
saya di rumah itu campuran. Waktu itu kan
secara politik ada perebutan pengaruh. Ada
Soeharto, Prabowo, Wiranto dll. Mereka ingin
dapat kreditlah. Karena itu mereka rebutan.
Dan Kopasus sebagai satuan paling kuat
merasa kecolongan,karena aku mungkin
didapatkan oleh banyak kesatuan. Makanya
aku waktu ditangkap perlu mampir ke Koramil,
dan Kodim. Sementara Nezar dan Aan dari
rumah langsung ke tempat X. Aan dan Nezar
langsung ditangkap oleh Kopasus.
Aku juga berpikir, alasan kami dilepaskan
adalah karena saya sempat mampir-mampir
gitu sehingga banyak kesatuan yang tahu.
Setelah hari ketiga, Sjafrie Sjamsudin sebagai
Pangdam bikin Konferensi pers bahwa mereka
menangkap kami.
Aku merasakan setiap saat para penculik itu
masih bisa ambil aku, dan polisi nggak bisa
ngapa-ngapain karena sedemikian powerful-nya
para penculik itu.
Kemudian setelah itu apa yang terjadi?
Setelah tiga hari, pada tanggal 15 saya dibawa ke Polda Metro
Jaya. Di situlah kami diperiksa dan dikenakan tuduhan UU
Anti-Subversif karena melawan pemerintah. Diinterograsi dari
jam 5 sampai 11 malam. Kemudian kami dimasukan ke sel. Baju
lengan panjang dan celana panjang digunting, saya tanya kenapa
pak, supaya tidak dipakai bunuh diri katanya. Kemudian saya
masuk sel isolasi. Kami bertiga dipisah. Sel ukuran 6x14, tapi kita
sendirian, kita gak boleh interaksi. Itu berlangsung selama 3 bulan
- dari bulan Maret sampai 6 Juni 1998.
Jadi ketika mahasiswa demonstrasi, kita mengikuti dari dalam
penjara. Ada tahanan sebelah mengabari kita bahwa mahasiswa
demonstrasi terus menerus. Di situlah kita termotivasi akan
dibebaskan, Soeharto akan turun dan kita akan dibebaskan.
Walaupun aku juga merasa bahwa akan ditahan selama
beberapa tahun, karena pada waktu itu pengadilan untuk
kawan-kawan PRD telah berlangsung dan ada yang dihukum 12
tahun, 8 tahun, jadi aku membayangkan 10 tahun.
Di situlah aku baru merasakan makna kebebasan.
Penculik itu sedemikian perkasanya, gitu lho. Sehingga waktu saya
sudah berada di sel Polda Metro Jaya masih merasa nggak aman.
Aku merasakan setiap saat para penculik itu masih bisa ambil
aku, dan polisi nggak bisa ngapa-ngapain karena sedemikian
powerful-nya para penculik itu. Bayanganku seperti itu sehingga
masih trauma. Sampai sekarang juga masih trauma kalau
mendengar handie talkie karena ketika saya diculik, diambil dari
Kodim ke tempat X oleh Kopasssus itu, itu kan mata ditutup dan
mereka pakai alat komunikasi itu. Jadi ya masih trauma kalau
denger gitu-gitu.
Bayangkan, kita nggak ada yang mengunjungi, kami nggak
dikunjungi. Oleh temen-temen nggak, karena temen-temen
semuanya jadi target operasi, buron. Yang mengunjungi saya
pertama kali itu Bapak saya sama kakak saya yang perempuan.
Dan itu sangat emosional, itu peristiwa yang luar biasa dalam
hidupku. Pagi-pagi, penyidikku namanya Kapten Haris Munandar,
datang ke sel.
Dia ketuk-ketuk pintu sel, Mugi, ada yang mengunjungi kamu.
Siapa Pak?
Sudah, kamu temui saja.
Terus aku buka pintu sel itu, aku jalan, itu kan lewat koridor dari
sel nomor 11 kan jauh ada sekitar 50 meter. Panjang, jauh... Jalan
melangkah ke sana, kira-kira jam 9 pagi itu.
Ternyata aku lihat Bapakku. Bapakku sudah tua, kurus. Dari
kampung kan, dari Jepara dari sebuah desa kecil, sama kakakku
yang perempuan. Di situ aku nangis, aku nggak bisa
mengucapkan sepatah kata pun. Aku cuma bisa nangis. Aku
peluk Bapakku. Nangis. Sudah.
Tapi keluarga memang tahu aktivitas politik Mas Mugi?
Bapakku tahu. Ketika aku di UGM, aku
sudah kasih tahu Bapakku. Bapak pesennya
ya, Sudah nggak apa-apa. Hati-hati saja.
Karena yang kamu lawan ini kuat sekali. Yang
kamu lawan ini negara. Hati-hati saja. Itu
saja. Pesennya seperti itu. Tapi dia tahu, tapi
mungkin tidak ngerti bahwa sebesar ini
resikonya. Ya itulah yang sangat emosional,
berbagai macam perasaan, dan perasaan
salah.
Bukan salah bahwa saya telah melawan Orde
Baru, tapi salah kenapa saya harus
ditangkap? Sehingga Bapakku repot. Tapi
Bapakku luar biasa, tidak pernah
menyalahkan aku, selalu membesarkan
hatiku. Memotivasi. Dia selalu membesarkan
aku. Itu kan ketemu kita-nya setengah jam,
yang ngomong Bapakku. Kakakku juga
nggak bisa, kakakku cuma nangis. Aku cuma
nangis. Bapakku yang ngomong.
Kelompok saya, tentu saja tidak. Kalau
kelompok saya, PRD, kita organisasi yang
tidak menggunakan kekerasan. Kita tidak
percaya dengan kekerasan. Yang kita
gunakan adalah strategi gerakan massa.
Demonstrasi, aksi, tapi tidak dengan
kekerasan. Dan aku pikir,
statement-statement seperti itu, seperti
yang disampaikan oleh Fadli Zon, itu sangat
standar. Sangat standar dalam arti... Itu
memang pengalaman-pengalaman di negara
lain, di mana negara-negara otoriter atau
cinta militer melawan politik pro demokrasi
selalu menggunakan (alasan) itu. Dibilang
teroris, kekerasan, dan sebagainya.
Tetapi bisa jadi juga ada kekerasan. Bisa jadi
memang ada kekerasan, katanya di Tanah
Tinggi, segala macem. Tapi kalau di Indonesia,
itu kan sangat mungkin justru Tentara yang
melakukan untuk memberikan pembenaran
(agar mereka) bisa menindak kita. Itu kan
terjadi di gerakan-gerakan Islam juga.
Bagaimana ternyata yang di belakang, yang
melatih, juga mereka sendiri. Nah itu, jadi
sebagai prinsip utama organisasi, praktek
kami, kami tidak pernah menggunakan
apalagi cara-cara teror, teroris.
Dan itulah nggak bisa, apa namanya, apa
yang kita perjuangkan, nah itu bertentangan
dengan prinsip apa yang diperjuangkan.
Karena kita kan memperjuangan demokrasi,
sistem multiparti bagaimana demokrasi
dengan cara-cara seperti itu? Makanya, saya
juga sangat marah ketika Fadli Zon (bilang
begitu).
Kami tidak kaget, tapi marah. Dibilang bahwa
kami teroris, kekerasan, seperti yang
disampaikan si maknyus Bondan di tweet
Selama ini juga muncul opini bahwa
penculikkan itu dilakukan karena
kegiatan beberapa aktivis yang
melakukan pengeboman dan teror.
Itu sebetulnya dilakukan nggak, oleh
kelompok Mas Mugi dan
teman-teman?
Cak Munir bilang:
Mugi, kamu pulang,
sekarang.
>>
dan segala macem. Persis di Argentina juga
begitu, penculikan-penculikan itu. Dilakukan
oleh kelompok-kelompok teroris, atau kalau
masa Orde Baru kan tuduhan komunis. Kami
kan juga dituduh komunis. Setelah insiden 27
Juni kan katanya kita revival of the
Communist Party. Dan sebagainya, jadi dan
buktinya kan ketahuan apa yang kami
perjuangkan pada waktu itu, menjadi
common struggle gitu kan. Dan ya kita bisa
nikmati seperti sekarang ini.
Tapi memang itu penting itu, untuk
di-counter. Supaya orang tidak sesat. Tetapi
sekalipun bahkan ketika ada tindakan
kekerasan pun, tidak bisa dijadikan justif ikasi
untuk menculik dan menghilangkan orang.
Bahwa kalau memang ada yang melakukan
tindakan kekerasan, ya ditangkap, di hukum,
di proses hukum. Dan ternyata, sebagai
informasi, orang yang ditangkap dalam kasus
peledakan di Tanah Tinggi, yang ditangkap itu
adalah Agus Priyono. Agus Jabo, dia ketua
PRD beberapa tahun yang lalu dan sekarang
dia bersama dengan Gerindra.
Sehingga saya curiga, waktu itu memang
Kopassus, yang menyusupkan agen dia untuk
melakukan itu. Untuk dijadikan justif ikasi
supaya bisa menghukum kita. Ya, Agus
Priyono jadi Gerindra sekarang. Itu yang
sangat menyakitkan. Dulu kita berjuang
bareng, tiba-tiba...
Itu dramatis, iya. Tetapi banyak bersifat-bersifat
dramatis yang lain sebelumnya, ketika kita masih di
dalam. Ketika saya ketemu Bapak, itu sangat
emosional. Kedua, ketika gerakan mahasiswa
bangkit pada bulan-bulan April. Di
Kampus-Kampus. Jadi, Maret-April 1998, ada
demonstrasi di Yogya, itu besar sekali. Di UGM, di
Undip, di Solo, di Medan. Karena kita punya
jaringan di sana juga. Terus, di situlah kita saling
memotivasi antara Nizar, sama aku. Kita saling
memotivasi, saling membesarkan hati. Mugi, apa
kabar kamu? Teriak-teriak gitu.
Mugi, kita akan dibebaskan.
Kenapa, Niz?
Demonstrasi semakin besar. Mahasiswa semakin
banyak yang demonstrasi.
Seneng kita. Dan 12 Mei di TV, ada siaran langsung
Mahasiswa Trisakti ditembakin. Itu suasana di
tahanan itu sangat emosional. Pada nyanyi lagu
Gugur Bunga di tahanan. Karena di tahanan itu
sudah banyak tahanan pendukung Aktivis,
pendukung Megawati yang demonstrasi menuntut
penurunan harga. Itu banyak. Salah satunya Guan
Lie yang dulu di KontraS. Pernah ditahan dan dia
support aku. Dia yang ngasih aku makanan, rokok,
koran, kayak gitu. Nah nyanyi lagu Gugur Bunga itu
sangat emosional tanggal 12.
Tanggal 13-14 ada suara tembakan di dekat Polda.
Polisi sudah pada pegang senjata, katanya penjara
mau diserang. Tanggal 14-15 Jakarta terbakar. Terus
tanggal 15-16, banyak tahanan masuk. Sehingga sel
kami yang isolasi, diubah. Saya dipindahkan, saya
bergabung dengan banyak sekali tahanan. Tanggal
20 Soeharto turun. Langsung kita semua bersyukur.
Kita menyanyi-nyanyi. Di situlah pihak penjara mulai
berubah sikap ke kita juga, setelah Soeharto turun.
Makanan kita diganti. Sebelumnya makanan kita
cuma sepiring nasi putih, nasinya jelek kualitasnya.
Sama sayur bayam atau kangkung. Yang jelek juga,
dingin. Sama tempe goreng satu. Udah. Itu menu
kita tiap hari. Setelah Soeharto turun, kita dikasih
Nasi Padang. Sipir-sipir mendekati kita: Nanti kalau
sudah ini jangan lupa kita..
Kita sudah boleh ikut senam pagi, setiap hari Jumat.
Sebelumnya kita nggak boleh berinteraksi, nggak
boleh senam. Karena kita orang bahaya, tahanan
politik, menurut cara berpikir mereka. Kemudian,
waktu itu pengacara saya Munir, Ester Yusuf, dan
Ori Rahman. Tiga orang itu yang selalu saya ingat.
Dan karena saya tidak ada yang mengunjungi
kecuali Bapak saya, saya seneng sekali setiap
dikunjungi mereka.
Ketika mereka datang, aku damai. Ada rasa damai
dan merasa aman juga. Karena waktu itu, walaupun
di sana, saya masih merasa nggak aman. Seringkali
setiap dipanggil setiap apa namanya Kapten Haris
Munandar datang aku deg-degan terus: Mau
diapakan lagi, mau diapakan lagi Kan sering
di-bon, diperiksa guspom TNI, diperiksa oleh
kesatuan ini, Kodam, segala macem. Jadi, ada
pengacara, Munir, Ester yang orangnya berani tapi
kalo ke kita cool.
Kronologi pembebasan Mas kan pasti sangat dramatis ya?
Waktu itu Munir dan
kawan-kawannya itu jadi
pengacara Mas Mugi atau yang
lainnya juga?
Setelah Andi Arif ditangkap,
bagaimana kondisi PRD?
Berarti Mas Mugi waktu itu
nggak dapet kabar dari
teman-teman yang lain? Seperti
Andi Arif dan yang lainnya.
Nah itu lalu Budiman sudah
ketangkap?
Pengacara kita bertiga. Kita bertiga kan
bareng. Di Polda kan bareng terus. Kami
bertiga jadi satu paket, sejak di tempat
penyekapan, sampai kita dilepaskan bertiga.
Masih jalan terus. Karena memang
di-represi, tapi masih ada kemungkinan. Jadi
kita organisasi yang memang sudah di-design
untuk menghadapi represi. Selalu ada orang
yang melanjutkan. Tapi tentu saja skalanya
berbeda dibanding pas kita masih lengkap.
Tapi selalu bisa berjalan dan melawan dengan
berbagai macam nama organisasi, pada
waktu itu.
Kita tau. Dari Media. Kita baca koran, kita
denger dari tetangga sebelah, akhir bulan,
Andi Arif ketangkep. Nah. Ya ampun,
ketangkep.
Iya. Dia ketangkep Agustus 96.
>>
Jadi mas Mugi dulu yang ketangkep?
Iya. Andi Arif kemudian. Ketika saya diperiksa, diinterogasi,
diperiksa, pertanyaan yang paling keras itu soal Andi Arif.
Mugi, di mana Andi Arif? Di mana Andi Arif? Yang mereka
incer memang Andi Arif karena waktu itu Andi Arif
pimpinan kami pengganti Budiman pada waktu itu. Waktu
itu aku punya alibi soal Andi Arif, karena Andi Arif itu
mestinya berada di Jakarta pada hari itu. Karena malamnya,
itu kita telfon Andi Arif supaya datang ke Jakarta. Jadi,
pikiranku, Andi Arif sedang di Jakarta.
Makanya aku bilang, ketika di interogasi aku bilang
Rumahnya di Lampung. Pasti dia di Lampung. Sama
orangtuanya. Rupanya dia benar-benar di Lampung, di
tempat kakaknya. Mereka nggak percaya, Nggak ada di
Lampung. Dia nggak ada di Lampung. Berapa sih besarnya
Lampung, setiap jengkal tanah di Lampung sudah kami cari,
nggak ada Andi Arif. Ya, Andi Arif sangat mereka cari.
Kemudian kami dengar berita kalau Andi Arif ketangkep, ya
ampun.
Kemudian kita tahu bahwa ternyata Reza, Jati, Herman,
hilang juga. Udah, berarti kita ketangkep semua. Terus bulan
April, ada informasi. Jati dipulangkan ke rumah. Faisal Reza
dipulangkan ke rumah. Kita tunggu beberapa hari, kok
Herman nggak dipulangkan ke rumah? Terus, oleh kapten
Haris Munandar, bilang katanya Herman mau datang ke
Polda. Jadi waktu itu kami, saya, dan teman-teman
merasakan Herman akan datang ke Polda.
Tapi nggak pernah datang, sampai detik ini.
Bahkan waktu itu kita punya istilah, Herman Tidak Mampir
Di Polda. Karena waktu itu kan sedang populer novelnya
Ayu Utami yang Laila Tidak Mampir Ke New York. Jadi,
Herman Tidak Mampir Di Polda. Hingga hari ini tidak ada
berita. Ya itulah, Soeharto turun, diganti Habibie, Habibie
mencabut Undang-Undang Anti Subversi.
Kemudian kami dibebaskan. Tuduhannya hilang.
Sebelum kita dilepas, kita diancam. Kau tidak
boleh ngomong tentang apa yang terjadi. Begitu
kamu ngomong, kami akan segera mencarimu.
Dan, satu-dua hari mungkin kamu bisa escape, bisa
lepas, tapi kami akan terus cari.
Kemudian pas hari pembebasan
itu, bagaimana Mas bisa
diceritain?
Kalau informasi soal di mana mereka, tidak
ada. Tapi rumor banyak. Rumor tentang
beberapa orang, ada. Rumor tentang Widji
Thukul, terutama kan. Ada informasi Widji
Thukul ada di sini gitu-gitu, kita cari itu, kita
tindak lanjuti. Bimo Petrus katanya ada di
Lampung, kita cari, dan tidak hanya kami,
orangtua juga mencari. Kayak Pak Utomo
mencari Bimo Petrus ke Lampung. Pak Utomo
juga menggunakan jasa orang pinter segala
macem. Pak Utomo juga pernah diperas
orang, orang nelpon ngasih tahu Saya tahu
dimana anaknya, Pak. Dimintai uang. Itu juga
ada.
Tapi semuanya nggak ada yang veried.
Termasuk intrik-intrik, terutama Widji Thukul
itu. Ya itu yang menurut aku sangat
menyakitkan, dan sangat tidak manusiawi lah.
Ngasih tau Mbak Sipon, Widji Thukul itu ada.
Dia menikah sudah punya anak. Itu kan
sangat menyakitkan, tapi tidak ada bukti. Ada
yang bilang Widji Thukul ke luar negeri, tapi
nggak ada orang yang bisa membuktikan.

Oiya waktu itu ada satu ini, tahun 99 mungkin.
Nggak deh, 98 masih. Sekitar September atau
Oktober, saya sedang di Manila. Saya sedang
di Manila, karena waktu itu saya oleh KontraS
ditugaskan untuk melakukan kampanye. Saya
dapat informasi dari temen-temen di Jakarta,
bahwa Herman Hendrawan ada di Davao, di
Filipina Selatan. Saya kemudian pergi ke sana.
Bersama dengan Mas Dadang Trisasongko,
yang sekarang di Transparency International.
Pergi ke Davao, untuk bertemu dengan orang
yang namanya Herman Hendrawan. Ke
konsulat Indonesia.
Hari pembebasan, kita tidak tahu bahwa
kita akan dibebaskan. Tetapi beberapa hari
sebelumnya, Cak Munir ngasih tau kita bahwa
mereka sedang memperjuangkan supaya kita
dibebaskan, ditangguhkan penanganannya,
begitu bahasanya. Penangguhan Penahanan.
Jadi, benar-benar terjadi itu Penangguhan
Penahanan. Jadi sebetulnya tidak dibebaskan.
Tapi ditangguhkan penahannya sampai saat
ini. Jadi artinya masih menunggu proses
hukum.
Nah ya, pagi-pagi itu kita dipanggil oleh Haris
Munandar, kita bertiga dikeluarkan. Diperiksa
kan biasanya, BAP. Nah tapi di situ rupanya
sudah ada Cak Munir, ada Ester, ada Ori,
mungkin ada yang lain tapi aku lupa. Tapi tiga
nama, itu tiga orang itu yang selalu aku ingat
sampai sekarang. Nah, sudah, Cak Munir
bilang:
Mugi, kamu pulang, sekarang.
Wah aku seneng banget itu. Pulang, tapi ya
masih ketakutan. Mereka masih sangat
powerfull. Orang sebelum kita dilepas dari
tempat X tadi yang dua hari, kita kan diancam
bahwa Kau tidak boleh ngomong tentang
apa yang terjadi. Begitu kamu ngomong, kami
akan segera mencarimu. Dan, satu-dua hari
mungkin kamu bisa escape, bisa lepas, tapi
kami akan terus cari. Ya, itu ancaman mereka.
Setelah kami dilepas tanggal 6, kami tidak
langsung bergabung ke KontraS. Kami
ditempatkan di sebuah tempat aman oleh Cak
Munir.
Di situlah saya menulis, kami menulis testimoni
yang sampai sekarang ada itu. Tertanggal 8
Juni itu, aku, Nizar, Aan menulis. Tanggal 8
kalau tidak salah, konferensi pers itu. Sama
Munir. Aku, Nizar, Aan, yang ada fotonya itu.
Di situ masih ketakutan, habis itu kemudian
juga masih diamankan di suatu tempat itu.
Pindah-pindah dari tempat-tempat. Suatu
saat, kita ditempatkan di rumahnya Munir
yang di Jatinegara. Di Prumpung, daerah
situlah. Di situ kita didudukkan: aku, Andi Arif,
dan yang lain-lain ketika sudah bebas.
Di depan rumah Munir itu, agak jauh sekitar
100 meter, ada telepon umum, aku melihat ke
luar kok kayaknya yang nelpon ini ngeliatin
aku. Aku nggak ngerti apa itu paranoia, atau
bener dia memang ngawasin kita. Nggak
ngerti. Tapi intinya, aku masih ketakutan, masih
trauma. Nah kemudian, aku masih lupa kapan,
tapi akhirnya aku juga pulang ke kampungku.
Tapi tidak ke Jepara, waktu pertama kali
pulang, ke Salatiga ke tempat kakakku. Ketika
Ibuku sedang pergi ke Salatiga dari Jepara,
kita bertemu di Salatiga. Yah begitulah.
Saya ketemu sama dia di Davao. Orangnya
memang mirip dengan Herman. Pakai
kacamata. Tapi dia bukan Herman. Saya tahu
karena Herman kawan saya. Tetapi si Herman
ini bisa bercerita bahwa dia memang korban
penculikan di Jakarta. Kemudian terdampar di
sana. Tapi itu bukan Herman Hendrawan. Dia
mengaku bernama Herman Hendrawan, tapi
bukan. Akhirnya orangnya balik ke Indonesia
itu. Kalau menurut orang Konsulat, biasanya
banyak orang yang anggota MILF (Moro
Islamic Liberation Front, organisasi separatis
di Filipina - red) yang kemudian pengen
keluar dari MILF. Katanya ada yang kayak
begitu.
Tapi bisa jadi dia memang korban. Aku
menduga dia memang korban, bukan Herman
Hendrawan, tapi artinya ada orang lain yang
menjadi korban mirip dengan kita. Karena dia
aktivis dari Bandung katanya. Kuliah di
Bandung. Bisa menceritakan. Bisa jadi.
Memang bisa jadi dia korban salah tangkap,
karena dikira Herman Hendrawan. Bisa jadi.
Informasi lain yang berkenaan dengan 13
orang hilang ini tidak ada. Paling itu.
Prabowo tidak bisa lepas tangan dari itu.
Walaupun Prabowo sudah melepaskan kami, ber-9,
bukan berarti dia tidak bersalah.
Dia juga melakukan tindak pidana. Aku disiksa.
Kebebasanku dirampas.
Masih ada 13 orang yang hilang.
Selama kurun waktu dari 1998
hingga sekarang, Mas Mugi
benar-benar tidak tahu sama sekali
nasib mereka, atau ada semacam isu
yang berkembang di kalangan Mas
Mugi, Cak Munir, atau teman-teman
yang lain tentang 13 orang ini
sebetulnya ke mana/di mana?
Kalau ceritaku seperti tadi. Nizar dan Aan,
seperti tadi. Pius, Desmon, Haryanto Taslam, itu
sama dengan cara-cara yang dialami Nizar.
Sama dengan yang dialami Jati, Herman, dan
Reza. Diambil di jalan. Dan dari jalan itu,
langsung ke tempat X. Langsung ke Kopassus,
artinya pelakunya adalah Kopassus. Dan mereka
bertemu di sana. Karena di tempat X itu mereka
bisa bercerita. Karena kan mereka lama di sana.
Dan mata mereka dibuka. Jadi mereka bisa
melihat, di sel, Jati itu bisa menggambarkan
selnya.
Ada di buku kok. Jadi ada sekitar 8 ruangan, sel
kecil. Jadi dia bisa tahu ini kamar siapa, karena
mereka saling berkomunikasi. Berteriak-teriak,
Hei kamu siapa? Nah di situlah kemudian.
Nggak tahu tempatnya. Kita cuma bisa bercerita
soal ciri-ciri, suasana, ruangan, kemudian ketika
menuju ke situ. Tapi kan kemudian itu di conrm
oleh temuan Buspom, temuan TGPF, kemudian
Pengadilan Militer juga mengkonf irmasi bahwa
itu di Markas Kopassus di Cijantung. Berarti
pelakunya sama, oleh mereka. Tetapi kalau aku,
melibatkan banyak satuan. Andi Arif, diambil dari
Lampung oleh Kopassus, kemudian di tengah
perjalanan kan nyebrang Bakaheuni, di situ
orang-orang Kopassus berantem sama Polisi. Tapi
Polisi kan bisa dikalahkan sama Kopassus, bisa
mengalahkan apapunlah mereka. Mereka kan
juga lintas kota otoritasnya.
Yang menarik dari Andi Arif adalah, kemudian
Andi Arif diserahkan ke Polisi. Pada akhirnya,
ditahan di Polda Metro Jaya juga. Tetapi pihak
Kepolisian diminta. Saya nggak tahu persis ya
tapi biasa dicek, tapi logiknya adalah begini. Andi
Arif diminta bercerita bahwa dia diculik, diambil
oleh Polisi pada tanggal 8, misalnya. Padahal
sebetulnya Andi Arif itu diserahkan ke Polisi
pada tanggal 15. Jadi dari tanggal 8 sampai 15, 8
hari itu sebetulnya dia ditahan Kopassus. Tetapi
oleh Kopassus, di BAP-nya, dan sebagainya,
disebutkan bahwa dia ditahan oleh Polisi, sejak
tanggal 8. Artinya Polisi kemudian selama 8 hari
itu diminta mengakui telah menculik Andi Arif,
padahal tidak, yang menculik adalah Kopassus.
Jadi melibatkan Kepolisian, yang jelas. Itu tapi
semuanya Kopassus.
Jadi memang Kopassus yang paling (terlibat).
Makanya sampai naruh Jaka Budi Utama supaya
bisa dapat aku. Yang penting juga adalah
argumen Prabowo itu tadi, argumen Prabowo
itu kan selalu mengatakan Saya hanya
menculik 9 orang, semuanya sudah aku
lepaskan. Nah itu yang kita mau bantah. Itu
tidak benar. Kenapa? Karena beberapa dari
mereka yang masih hilang, itu masih sempat
berkomunikasi dengan kami yang sudah
dibebaskan. Satu tempat itu. Yani Afri, dan
sebagainya. Dedi Hamdun, pernah di tempat
yang sama. Artinya kan ini oleh Prabowo, sama.
Prabowo tidak bisa lepas tangan dari mereka
itu. Dan juga, walaupun Prabowo sudah
melepaskan kami, ber-9, bukan berarti dia tidak
bersalah. Dia juga melakukan tindak pidana.
Aku disiksa. Kebebasanku dirampas. Jadi kasus
penghilangan paksa, itu tidak hanya identik
dengan 13 orang yang masih hilang. Tetapi juga,
saya berhak mendapatkan keadilan. Dan
Prabowo belum pernah
mempertanggungjawabkan. Belum pernah ada
tanggung jawab apapun. Itu yang banyak sekali
dipelintir.
Kalau dari cerita-cerita Mas Mugi dan
9 orang yang kembali itu, mereka
juga diculiknya oleh satuan Kopassus,
atau dari kesatuan yang beda?
Kalau dengan Pius, Desmon, Haryanto Taslam
kita beda organisasi. Saya nggak kenal mereka.
Desmon itu LBH Bandung. Kalau Haryanto Taslam
PDI, kita berhubungan dengan Haryanto Taslam di
Jakarta. Karena kami waktu itu, posisi politik PRD
kan mendukung Megawati. Kita memberikan
Critical Support kepada Megawati. Kita
mendukung Megawati menjadi Presiden, pada
waktu itu. Makanya kita bekerjasama dengan
Haryanto Taslam. Karena Haryanto Taslam yang
megang massa PDI di Jakarta.
Makanya mobilisasi-mobilisasi besar, itu karena
Haryanto Taslam. Makanya Haryanto Taslam juga
ditarget itu juga karena dia pegang massa. Nah jadi
kalau dengan tiga orang itu, saya tidak dekat.
Bahkan tidak kenal. Kalau dengan yang lain
memang kawan. Kawan dekat. Kita lama
bersama-sama, dengan Faisal Reza, apalagi dengan
dia saya satu fakultas. Di Sastra, Faisal Reza. Yang
sekarang bersama dengan Cak Imin Muhaimin
Iskandar. Juru bicaranya Cak Imin. Dengan Waluyo
Jati, saya beda fakultas tapi deket juga karena Jati
sama-sama dari Jepara. Dengan Aan, tidak terlalu
dekat karena dia dari Semarang, aku dari Yogya,
dan kita baru ketemu di Jakarta waktu itu. Dan
Aan sekarang bareng sama Gerindra. Jadi Caleg itu,
tapi kayaknya nggak jadi itu.
Mas dengan 9 orang ini masih
suka bertemu satu sama lain?
>>
>>
Tim Mawar
Menurut saya, soal Hak Asasi Manusia. Anak muda mesti tahu soal Hak
Asasi Manusia. Banyak orang yang mengatakan tahu, tapi sebetulnya tidak
tahu. Punya versi-versi, padahal Hak Asasi Manusia adalah universal, tidak
ada versi-versian. Hak Asasi Manusia yang saya maksud adalah yang
berhubungan dengan kasus orang hilang, adalah bahwa walaupun kalian
pemberontak sekalipun, tidak boleh orang itu dihilangkan secara paksa.
Konvensi PBB yang terbaru, yang International Convention on the Protection
of All Persons from Enforced Disappearances itu mestinya diratif ikasi
Indonesia. Itu menyebutkan soal the right not to be disappeared, hak
untuk tidak dihilangkan secara paksa. Sebagai hak, ya itu harus dilindungi
Negara itu mesti. Karena kan banyak orang, anak-anak muda beranggapan
Ya mereka teroris sih, PKI sih, Nggak, nggak seperti itu. Even if they are,
nggak. Itu yang penting ya yang aku bilang. Dan tanggung jawab ada di
Negara, prinsip soal Hak Asasi Manusia itu kan bahwa ada Hak yang
melekat dan tanggung jawab itu, hanya dan selalu oleh Negara. Pelaku
pelanggaran, selalu elemen-elemen Negara. Karena sering dikacaukan.
Kemudian yang kedua, yang penting juga untuk anak-anak muda, soal
Pilpres, soal pentingnya soal bahayanya ketika kita tidak mengutuk
penghilangan paksa. Condemnation itu penting, karena kalau tidak, ntar
kita menolerir. Jangankan pengadilan, jangankan proses hukum, mengaku
saja tidak. Bahayanya kan disitu. Yang ada hanya pengingkaran, denial, dan
Negara juga tidak menindaklanjuti. Pentingnya di situ, jadi kita harus
mengatakan bahwa orang tuh tak boleh dihilangkan secara paksa.
Dan kita harus mengatakan tidak pada penghilangan paksa. Karena
kalau kita tidak mengatakan tidak, itu berarti boleh. Bahayanya itu.
Ketika kasus ini tidak diselesaikan, ketika Prabowo tidak dihukum,
message-nya adalah You may. You can commit disappearances.
Message-nya kan seperti itu, ketika tidak tegas mengatakan stop.
Dan itu harus dilakukan oleh Negara. Harus secara ofcial. Makanya
lalu perlakuan Negara itu penting. Pengutukan State Condemnation
itu penting. Untuk bisa. Ya kalau Presiden SBY tidak bisa mengadili
Prabowo, please admit, at least. Dan berikan pesan bahwa tidak boleh
lagi. Itu yang penting dan menurut saya, bahayanya dalam konteks
pemilu adalah orang yang mestinya bertanggungjawab atas semua ini
bisa ada di bangku kekuasaan. Please jangan lah. Karena bahayanya itu
tadi. Kita membiarkan saja, bahaya. Apalagi menjadikan dia tokoh
nasional. Itu yang harus diketahui oleh anak-anak muda sebetulnya soal
ini. Itu bisa terjadi pada siapapun.
Dan yang teman-teman mesti ingat juga bahwa yang menjadi target
penculikan itu tidak semata-mata aktivis. Kalau kita lihat 23 orang yang
hilang, tidak semuanya aktivis kok. Anyone can be. Karena penculik,
alat-alat Negara itu punya berbagai macam motivasi. Ketika
menghilangkan orang, itu ada motivasi macem-macem. Bisa personal
motive. Tapi selalu dibumbui oleh politik. Akhirnya justif ikasinya adalah
politik.
Kalau kita melihat adanya pengalaman tahun 65 kan juga begitu. Di
Argentina kan juga begitu, anak-anak mahasiswa yang paling pintar di
sekolah (direpresi). Di Argentina, Penculikan, Penghilangan Paksa yang
terjadi pada tahun 78 sampai 83 itu, sebagian besar yang ditarget
pertama kali itu adalah perempuan yang brilliant di
kampus-kampusnya. Mereka tidak selalu aktivis. Tapi mereka diambil,
diculik. Di Indonesia, juga mungkin, apalagi kalau kita melihat
manifestonya Gerindra, statement-statementnya yang mengatakan
bahwa Hak Asasi Manusia nggak penting. Itu bahaya sekali.
Nggak ngerti aku. Nggak ada info. Dan hanya
mereka yang tahu kan. Justru itu tuh yang mesti
diselidiki. Temuan Komnas HAM itu yang kemudian
penting adanya sebuah Komisi Kebenaran, seperti
di Amerika Latin yang ada Komisi Orang Hilang.
Setelah Junta militer tumbang, hal pertama yang
dibentuk oleh pemerintahan demokratis itu
membentuk Komisi Orang Hilang. Dari Komisi
Orang Hilang itulah, yang kemudian bisa
mengungkap soal siapa, bagaimana, di mana
sekarang, dan sebagainya. Itu yang tidak ada di
Indonesia.
Aku nggak ngerti persis, tapi aku pikir tidak.
Jawaban mereka sama dengan Prabowo. Hanya
menculik 9, yang lain tidak tahu menahu. Itu yang
mereka sangkal.
Kalau menurut Mas Mugi, kan sekarang kasus
Orang Hilang mandek di Kejaksaan Agung,
sementara Komisi KKR kan juga dibatalkan MK.
Kira-kira peluang untuk penuntasan kasus ini
gimana?
Sebetulnya rekomendasi DPR itu jalan menuju
penyelesaian. Dan menurut kami, sudah cukup
komprehensif. Empat itu. Tidak ada cara lain kecuali
itu. Penyelesaian yang menyeluruh. Jangankan
menyeluruh, partial aja tidak dilakukan oleh SBY.
Tapi itu nggak ada jalan lain. Nggak ada opsi lain.
Kalau dugaan Mas Mugi gimana?
Kenapa bisa ada yang nggak balik?
Kalau sama proses yang Tim Mawar
itu, yang di Mahkamah Militer itu,
pernah nggak terungkap atau ada
pengakuan dari Kolonel dan yang
lain-lain soal 13 orang itu?
Kita kan sebagai anak muda
sebenarnya rentan nih, dikacaukan
pikirannya dengan banyaknya
expose-expose berita. Kira-kira apa
aja sih yang mesti kita tahu, atau
anak-anak muda secara general tahu,
fakta-faktanya dan terkait juga soal
pencalonan Prabowo sebagai presiden.
Kalau menurut Mas Mugi, kan
sekarang kasus Orang Hilang mandek
di Kejaksaan Agung, sementara Komisi
KKR kan juga dibatalkan MK. Kira-kira
peluang untuk penuntasan kasus ini
gimana?
Ya kalau pengadilan, yang begitu-begitu kan bisa dibicarakan, itu
negotiable. Tapi setidaknya jangan mengingkari bahwa ini pernah ada.
Kalau soal dia yang melakukan biar proses hukum. Tapi kita akui bahwa
ini pernah ada dan dilakukan oleh militer. Itu penting. Dan yang
selanjutya kan bahwa saat ini proses pengadilan kan tidak ada. Itu yang
perlu di counter karena adanya yang mengatakan dia tidak bersalah
kok pada kasus itu.
Tapi kan mereka itu tidak bersalah karena tidak ada proses hukum
terhadap mereka. Proses hukum yang hendak dijalankan, dalam
konteks Indonesia, kan melalui Komnas HAM. Mereka tidak
bekerjasama, mereka menolak hadir. Dan karena mereka masih kuat
melawan Komnas HAM, bisa menolak, karena mereka masih kuat,
masih punya banyak senjata, pengaruh politik, tapi itu bukan berarti
kalau mereka tidak bersalah. Mereka salah, dan itu harus diproses di
pengadilan.
Mas tadi sempat singgung soal
si Jaka itu. Itu bagaimana
proses pengadilannya?
Menurut saya, soal Hak Asasi Manusia. Anak muda mesti tahu soal Hak
Asasi Manusia. Banyak orang yang mengatakan tahu, tapi sebetulnya tidak
tahu. Punya versi-versi, padahal Hak Asasi Manusia adalah universal, tidak
ada versi-versian. Hak Asasi Manusia yang saya maksud adalah yang
berhubungan dengan kasus orang hilang, adalah bahwa walaupun kalian
pemberontak sekalipun, tidak boleh orang itu dihilangkan secara paksa.
Konvensi PBB yang terbaru, yang International Convention on the Protection
of All Persons from Enforced Disappearances itu mestinya diratif ikasi
Indonesia. Itu menyebutkan soal the right not to be disappeared, hak
untuk tidak dihilangkan secara paksa. Sebagai hak, ya itu harus dilindungi
Negara itu mesti. Karena kan banyak orang, anak-anak muda beranggapan
Ya mereka teroris sih, PKI sih, Nggak, nggak seperti itu. Even if they are,
nggak. Itu yang penting ya yang aku bilang. Dan tanggung jawab ada di
Negara, prinsip soal Hak Asasi Manusia itu kan bahwa ada Hak yang
melekat dan tanggung jawab itu, hanya dan selalu oleh Negara. Pelaku
pelanggaran, selalu elemen-elemen Negara. Karena sering dikacaukan.
Kemudian yang kedua, yang penting juga untuk anak-anak muda, soal
Pilpres, soal pentingnya soal bahayanya ketika kita tidak mengutuk
penghilangan paksa. Condemnation itu penting, karena kalau tidak, ntar
kita menolerir. Jangankan pengadilan, jangankan proses hukum, mengaku
saja tidak. Bahayanya kan disitu. Yang ada hanya pengingkaran, denial, dan
Negara juga tidak menindaklanjuti. Pentingnya di situ, jadi kita harus
mengatakan bahwa orang tuh tak boleh dihilangkan secara paksa.
Dan kita harus mengatakan tidak pada penghilangan paksa. Karena
kalau kita tidak mengatakan tidak, itu berarti boleh. Bahayanya itu.
Ketika kasus ini tidak diselesaikan, ketika Prabowo tidak dihukum,
message-nya adalah You may. You can commit disappearances.
Message-nya kan seperti itu, ketika tidak tegas mengatakan stop.
Dan itu harus dilakukan oleh Negara. Harus secara ofcial. Makanya
lalu perlakuan Negara itu penting. Pengutukan State Condemnation
itu penting. Untuk bisa. Ya kalau Presiden SBY tidak bisa mengadili
Prabowo, please admit, at least. Dan berikan pesan bahwa tidak boleh
lagi. Itu yang penting dan menurut saya, bahayanya dalam konteks
pemilu adalah orang yang mestinya bertanggungjawab atas semua ini
bisa ada di bangku kekuasaan. Please jangan lah. Karena bahayanya itu
tadi. Kita membiarkan saja, bahaya. Apalagi menjadikan dia tokoh
nasional. Itu yang harus diketahui oleh anak-anak muda sebetulnya soal
ini. Itu bisa terjadi pada siapapun.
Dan yang teman-teman mesti ingat juga bahwa yang menjadi target
penculikan itu tidak semata-mata aktivis. Kalau kita lihat 23 orang yang
hilang, tidak semuanya aktivis kok. Anyone can be. Karena penculik,
alat-alat Negara itu punya berbagai macam motivasi. Ketika
menghilangkan orang, itu ada motivasi macem-macem. Bisa personal
motive. Tapi selalu dibumbui oleh politik. Akhirnya justif ikasinya adalah
politik.
Kalau kita melihat adanya pengalaman tahun 65 kan juga begitu. Di
Argentina kan juga begitu, anak-anak mahasiswa yang paling pintar di
sekolah (direpresi). Di Argentina, Penculikan, Penghilangan Paksa yang
terjadi pada tahun 78 sampai 83 itu, sebagian besar yang ditarget
pertama kali itu adalah perempuan yang brilliant di
kampus-kampusnya. Mereka tidak selalu aktivis. Tapi mereka diambil,
diculik. Di Indonesia, juga mungkin, apalagi kalau kita melihat
manifestonya Gerindra, statement-statementnya yang mengatakan
bahwa Hak Asasi Manusia nggak penting. Itu bahaya sekali.
Pengadilannya kan Pengadilan Militer, atas Tim Mawar Kopassus. Saya
waktu sedang berada di Luar Negeri, sehingga waktu itu saya tidak pernah
menghadiri persidangan. Yang hadir itu Nizar. Kalau Jaka aku nggak ngerti,
tapi bisa dicek berapa bulan dia itu dapat vonis. Tapi kan range-nya antara
6 bulan sampai 20 atau 24 bulan. Beberapa malah dipromosikan.
Menyakitkan nggak juga sih. Dalam artian, ya sudahlah. Ya gimana
ya? Yang ingin aku sampaikan adalah, itu tidak begitu penting, dalam
artian, bahkan ketika semua, kecuali saya, bergabung dengan
Prabowo. Tidak berarti tindak pidananya itu nggak terjadi. Gitu
prinsipnya.
Karena ini bukan dari aduan. Penghilangan paksa, penyelidikan Komnas,
itu menyebutkan ini Crimes Against Humanity kejahatan terhadap
Hak Asasi Manusia. Itu unsurnya terpenuhi. Artinya semua gabung sama
mereka pun, bukan berarti. Dan bukan hanya korban yang punya
otoritas mengadvokasi ini, kalian juga otoritas, apalagi kalian anak-anak
muda yang harus memastikan bahwa kalian tidak akan dihilangkan di
masa yang akan datang.
Kalau tanggapan Mas Mugi terkait yang sempat
diculik, seperti Desmon, Pius, Aan, yang
kemudian bergabung dengan Gerindra, kan itu
cukup melemahkan perjuangan ya karena ada
argumen bahwa: Ah kan ini aja yang pernah
diculik aja bergabung kok. Nah menurut mas
Mugi gimana? Terutama Aan ya, kan karena satu
organisasi
Ya kalau pengadilan, yang begitu-begitu kan bisa dibicarakan, itu
negotiable. Tapi setidaknya jangan mengingkari bahwa ini pernah ada.
Kalau soal dia yang melakukan biar proses hukum. Tapi kita akui bahwa
ini pernah ada dan dilakukan oleh militer. Itu penting. Dan yang
selanjutya kan bahwa saat ini proses pengadilan kan tidak ada. Itu yang
perlu di counter karena adanya yang mengatakan dia tidak bersalah
kok pada kasus itu.
Tapi kan mereka itu tidak bersalah karena tidak ada proses hukum
terhadap mereka. Proses hukum yang hendak dijalankan, dalam
konteks Indonesia, kan melalui Komnas HAM. Mereka tidak
bekerjasama, mereka menolak hadir. Dan karena mereka masih kuat
melawan Komnas HAM, bisa menolak, karena mereka masih kuat,
masih punya banyak senjata, pengaruh politik, tapi itu bukan berarti
kalau mereka tidak bersalah. Mereka salah, dan itu harus diproses di
pengadilan.
W
A
W
A
N
C
A
R
A
Gue tidak dikasih tahu secara langsung (soal hilangnya
Bapak). Waktu umur 8 tahun, ada yang bilang bokap
diculik. Dan sebenarnya bokap gue yang saat ini bukan
bokap gue yang asli. Gue sempat penasaran dan gue
menemukan KK, nama gue beda dengan sodara-sodara
gue yang lain, beda sama nama bokap sekarang.
Udah mulai juga bertanya-tanya dengan pertanyaan gue
yang aneh-aneh, kenapa namanya beda? Dan
pertanyaan aneh-aneh anak kecil lainnya. Tiap ditanya ke
nyokap, kadang dia menjawab, kadang dia diam aja, atau
ninggalin gue pergi. Mungkin karena gue belum waktunya
untuk mendapatkan semua informasi itu.
Gue empat bersaudara, tetapi kakak-kakak beda secara
hukum. Jadi, sekarang nama gue di KK sendirian. Nyokap
udah ga ada dan bokap ga jelas. Kemarin waktu mau
mencantumkan nama bokap, karena orangnya tidak ada
dan KTP-nya tidak diperpanjang pula jadi susah
dicantumkan. KK dan KTP gue saat ini tunggal, karena gue
tinggal sendiri.
Bokap gue ilang saat gue berusia 2 tahun, karena pas
tahun 1998. Dan gue mulai tahu nya pada usia 8 tahun.
Karena gue ketemu bokap hanya beberapa kali doang.
Gue tinggal di Tegal dan bokap di Jakarta. Waktu itu
bokap masih kuliah di sekolah pelayaran maritim,
sehingga tidak tiap hari ketemu, jadi ingatannya hanya
saat dia pergi saja yang paling melekat.
Waktu itu dia udah mau lulus. Tinggal nunggu wisuda.
Ada semacam PKL. Waktu itu bokap lagi di Tegal, tapi
karena bokap mau berlayar ke Singapura, dia minta izin
ke Jakarta. Tiga hari setelah hilang seharusnya dia
berlayar. Tapi Tuhan berkehendak lain, dia mengilang.
Di tengah hiruk-pikuk kerusuhan Mei 1998, banyak nama yang tidak pernah kembali ke keluarganya. Mulai dari aktivis
hingga warga sipil, mereka menjadi korban penghilangan paksa yang dilakukan aparat dalam usaha untuk
mengendalikan gelombang protes massal. Salah satu nama yang dihilangkan adalah Yadin Muhidin.
Ia kuliah di Sekolah Pelayaran Maritim dan bermimpi akan menjadi kapten kapal suatu saat nanti. Tanggal 14 Mei 1998
siang, ia keluar dari rumah bersama temannya. Hingga Maghrib, tidak ada kabar. Keluarganya mulai khawatir. Kabar
simpang siur membuat mereka bingung. Di tengah kekacauan itu, mereka terus mencari.
Yadin Muhidin tidak pernah pulang. Usianya 22 tahun.
Pamf let bertemu dengan Novrianda Dinis, anak Yadin Muhidin.
M
E
N
C
A
R
I

B
A
P
A
K
Pertanyaan Pertama
Ada orang sampai sekejam itu
menghilangkan orang lain. Orang
nyolong ayam aja bisa digebukin, ini
orang ngilangin orang lain aja masih ada,
tidak fair banget. Sampai gue harus
menunggu 16 tahun dengan
pertanyaan-pertanyaan gue yang aneh
dan konyol. Menunggu setelah sekian
lama cuma buat mengetahui itu.
Gue mulai tahu kronologisnya (hilangnya Bapak) dari baca-baca
buku di sini (KontraS) dan cerita dari nenek. Karena nyokap
benar-benar ga mau cerita. Takut pikiran gue aneh-aneh karena
masih kecil juga. Dan setelah gue berada di Kontras gue pelajarin
banget.
Sebenarnya Nyokap benar-benar tahu kronologisnya. Pas gue
SMA, saat dia sakit, dan saat dia pulih gue mulai bertanya
sedikit-sedikit di mana Bapak berada. Nyokap juga cerita
tentang saat sebelum menikah, masih pacaran. Mungkin dia mulai
cerita karena sudah waktunya. Gue suka bertanya juga kepada
nenek seperti apa ceritanya. Dan ternyata tidak jauh berbeda
dengan kronologis yang gue baca dari buku versi Komnas HAM,
dari KontraS, semua tidak jauh beda. Karena semua dari dia-dia
juga.
Nenek gue yang lebih banyak berjuang (untuk menemukan
Bapak). Gue cuma menyambungkan doang apa yang
diperjuangkan nenek gue. Sekarang dia udah sakit-sakitan, ga
bisa jalan, udah tidak bisa ngapain-ngapain lagi, kerjanya hanya di
tempat tidur doang.
Dulu kan bokap bersahabat 3 orang. Bokap, si A, dan si B. Dan
saat ini si A yang paling dekat dengan gue. Apapun dia cerita,
dulu-dulu seperti apa dan akhirnya gue tahu. Cuma pas bokap
mau ilang, si A tuh lagi ga di Indonesia, dia lagi di Jepang, lagi
berlayar juga.
Perlahan-lahan gue jadi mengenal banget (sosok Bapak). Sampai
saat gue main ke rumah sahabat bokap, dia sampai mencari-cari
foto bokap dulu. Sampai diceritakan sedih-sedihnya juga,
marahnya, lucunya. Bisa tahu akhirnya. Menurut cerita dari
Nenek, bokap bukan orang yang suka neko-neko.
Dan (saat tahu sejarahnya) perasaan pasti kaget. Ada orang
sampai sekejam itu menghilangkan orang lain. Orang nyolong
ayam aja bisa digebukin, ini orang ngilangin orang lain aja masih
ada, tidak fair banget. Sampai gue harus menunggu 16 tahun
dengan pertanyaan-pertanyaan gue yang aneh dan konyol.
Menunggu setelah sekian lama cuma buat mengetahui itu.
Berasa banget dunia tidak adil. Cuma kan tidak harus berkata
seperti itu. Menerima sih menerima. Cuma pelakunya masih bisa
melanglang buana, ya perasaan gue kesel banget.
(Sejarah ini) benar-benar kosong dan tanda tanya banget.
Karena tidak ada yang bisa menjawabnya.
Mulai Mencari Tahu
Anak muda tidak merespon isu seperti ini...
Setelah Hilang
Anak muda sekarang aja pelanggaran HAM belum tentu dia tahu. HAM itu paling cuma tahu hak yang ada dari awal lahir hingga mati, udah gitu aja. Yang
sepikiran gue. Karena sejauh ini, teman-teman gue aja setelah tahu gue bergabung (di LSM), kakak-kakak kelas gue tahu, langsung dibilang orang yang
cenderung terlibat dengan politik, judgement apalah itu. Padahal gue cuma kasih tahu ke mereka, mereka sendiri yang menilai. cuma kadang ya gue juga kesel
kenapa mereka ga mau percaya dengan gue yang jelas-jelas ada faktanya.
Ada yang menjawab (kalau isu seperti ini tidak penting), soalnya ga cuma 1 atau 2 orang yang tahu (soal kasus penghilangan paksa). Pasti banyak orang yang
tahu, tetapi ya no comment lah. Apalah. Mereka bertanya mengapa gue cenderung banget ke politik. Hidup lo aja belum tentu benar, kata mereka. Banyak
lah komentar orang. Cuma ya biarin ajalah, mereka mungkin ga merasakan bagaimana sakitnya menjadi korban dan bagaimana lamanya gue menunggu
pertanyaan-pertanyaan itu dijawab. Dan ternyata hingga saat ini masih tanda tanya. Karena pelakunya aja masih ada. Kita tidak punya pengadilan yang
benar-benar menyelesaikan ini semua.
Mereka tuh tidak merasakan, bagaimana rasanya menjadi gue. Okelah kita minta pemerintah lebih otoriter, tetapi mereka tidak belajar dari pengalaman, cuma
teori doang. Ketika sudah otoriter, terus salah satu keluarga lo diperlakukan seperti itu, pasti mereka akan minta seperti dulu yang demokratis.
Guru gue juga ada seperti itu, lebih nyaman dengan masa Soeharto. Ada yang salah tinggal tembak, ada yang ngomong jelek tinggal tembak, tapi lo ga
merasakan bagaimana seandainya keluarga lo yang ditembak. Pasti lo juga nyesel dan nangis-nangis. Cuma yang membedakan dengan salah satu korban,
misalnya Leonardus Nugroho Iskandar (Gilang), yaitu dia jelas sudah meninggal. Jenazahnya ada, keluarga bisa menerima.
Lah, sedangkan gue? Bokap gue diculik, jenazahnya entah di mana, dan pelakunya masih melanglangbuana, sampai bisa jadi capres, itu ga fair. Sedangkan gue
hidup dalam sekian puluh tahun tanpa ada yang bisa meng-handle semua pertanyaan gue tentang bokap gue. Kalau menurut gue Prabowo itu ga gentle,
semua mengungkapkan semua di media, tetapi ga pernah langsung ke Komnas membawa gue atau keluarga korban yang lain.
Miris, tragis banget. Katanya kita negara hukum, tetapi kasus seperti itu tidak diselesaikan dengan benar-benar secara hukum. Apalagi politik bisa dibayar
dengan uang. Jelas-jelas negara kita sudah jelek, (mengakunya) negara hukum. Tetapi pejabat-pejabatnya cuma, istilahnya, mereka cuma bisa santai-santai
doang. Masa sih kita meski ikut jadi gitu juga? Masa kita tidak berf ikir memperbaiki negara kita? Untuk mengurangi angka korupsi, untuk menyelesaikan
kasus-kasus yang terjadi. Kita ga mungkin stuck di negara berkembang ini, kapan kita majunya?
Sudah terlalu banyak orang
yang berbicara tentang
politik.
Mungkin, karena pada saat itu gue masih kecil dan nyokap harus
memposisikan untuk terus bertahan hidup. Dia sempat ke Jakarta, tapi
karena kontra dengan keluarga bokap, kemudian pulang lagi ke Tegal.
Waktu nyokap menikah dengan bokap, mereka tidak serumah dengan
keluarga, sehingga mereka ngontrak.
Beberapa bulan setelah kejadian, Nenek gue sudah melakukan
pengajuan untuk mencari bokap. Tapi di Komnas itu orang-orangnya
ga jelas. (Kasus ini) selalu jadi tanda tanya besar. Dulu kan gue sering
bertanya-tanya aneh, sering juga di bully pas SMP karena pada saat
Soeharto akan meninggal, gue bilang bahwa orang yang paling gue
benci adalah Soeharto dan Prabowo. Karena setahu gue mereka yang
telah menculik bokap. Dari SMP gue udah merasa di-bully dan dijauhi
oleh teman-teman, jadi merasa diasingkan.
Waktu itu karena masih bocah-bocah. Gue bilang, Ngapain dukung
Soeharto, ngapain doain mereka pas akan meninggal? Oke lah boleh
didoain, tapi kan dia udah hilangin bokap gue! Tapi kan beberapa
anak masih mendukung Soeharto karena menurut mereka dia
berhasil menurunkan kurs dolar, BBM bisa turun dengan harga murah.
Tapi tetep aja di mata gue dia jahat.
Masyarakat belum tahu soal HAM, karena kan ga ada asupan secara
khusus didalam pendidikan tentang HAM, dan juga tidak ada inisiatif
untuk mencari sendiri. Karena kan HAM itu dimasukan ke dalam
pendidikan hanya sedikit doang, di PKN. Malah pelajaran itu akan
dihapus. Cuma ada penerapan doang menghargai orang,
menghormati oran, itu sudah termasuk. Hanya untuk konteks ini, hak
asasi manusia belum ada. Karena beda lingkungan antara keluarga
dan negara.
Saat SMA, gue gak terlalu diajari soal Reformasi. Karena guru sejarah
gue tidak terlalu pintar, menurut gue. Nilai sejarah gue juga jelek. Dan
gue belajar pada saat ada waktu luang. Gue inget kata-kata Nenek
gue tentang apa itu KontraS. Karena mungkin dulu gue di kampung,
SMA gue di Cilacap jadi benar-benar kampung yang sulit akses
informasi/internet. Semua cuma dari buku, seandainya mau dapat
internet harus keluar ke daerah Jawa Barat. Setelah lulus SMA, pada
saat nunggu hasil-hasil
ujian, gue pergi ke
Jakarta (KontraS),
minjem buku, dan
bertanya-tanya semua
orang.
>>
Setelah Hilang
Sudah ada ide untuk membuat paguyuban bagi anak-anak korban. Sejauh yang
gue tahu, beberapa korban yang hilang itu yang punya anak ada Yadin Muhidin,
Wiji Thukul, dan Yani Afri. Gue sih baru merancang bikin komunitas seperti itu
karena pas kebetulan itu, anaknya Yani Afri udah akrab dengan gue, anaknya
Wiji Thukul, Wani, gue baru kenalan. Kita baru mau janjian. Semoga aja kita
semua dipertemukan. Karena susah banget mencari mereka, sehingga ini baru
direncanakan.
Pengalaman hidup kita pasti beda. Tapi ketika menjadi satu isu, kita jadi sama
rasa.
Banyak yang sudah gerak dengan caranya sendiri-sendiri. Kalau Wani dan Merah
kan benar-benar sudah politis banget yang diomongin. Sedangkan kalau gue
cenderung dari perasaan gue. Gue kan belum tahu banyak tentang politik,
sejahat apa politik, jadi ya meskipun sudah membaca, gue belum mendapatkan
gelar di belakang nama gue. Jadi gue ga usah berbicara mengenai itu dulu lah,
gue akan lebih bercerita tentang perasaan gue.
Percuma, karena sudah terlalu banyak orang yang berbicara tentang politik,
bahkan bicara politik-pun tidak ada yang merespon. Apalagi perasaan gue
membuat mereka empati, sama semua keluarga korban bagaimana sakitnya
ditinggal dan diilangi, dibunuh di depan mata, apalagi disiksa seperti itu.
Gue sih belum tahu politik sampai sejauh itu. Cuma mereka (Wani & Merah)
sudah benar-benar kritis, kalau gue kan istilahnya masih bisa kesel. Kalau mereka
udah bisa meredam kekesalan mereka dan terus sampai ada orang yang mau
kenal dengan mereka karena anaknya Wiji Thukul, itu kan kalau emang dia udah
bisa meng-handle itu dengan kata-kata dia yang kritis banget, ya menurut gue
sih keren.
Cuma kalau sampai politik itu Wani dan Merah itu bawa ke pengadilan sih
belom. Sejauh ini gue liat sih udah politis, ga dibawa perasaan lagi. Mereka udah
cukup tenar dibandingkan gue, semua orang sudah pada kenal dengan mereka
dengan karya-karyanya.
Menurut gue sih (masyarakat & keluarga korban) harus sadar, karena kan hak
asasi manusia itu memang semua orang yang memiliki, jadi mereka ketika harus
memilih antara keluarga korban atau masyarakat, kalau korban ini kan mereka
merasakan, sedangkan masyarakat itu hanya melihat dan menilai saja. Kalau kita
tidak selalu suplai, mereka tidak akan tahu. Dan seharusnya peran anak muda
besar banget, karena mereka kan generasi berikutnya. Jangannya sampai kita
salah pilih, terus kita harus terjun lagi seperti ke Orde Baru, yang otoritarian.
Semua juga berperan, hanya saja LSM itu hanya penyalur. Sedangkan gue dari
apa yang gue rasakan. Cuma seandainya tidak ada LSM percuma juga, ga ada
yang menyalurkan keadilan.
Korban Berkumpul
(Sisa Orde Baru) masih banyak. Kemarin tuh terakhir
katanya masih ada yang semacam training tentang peta
Indonesia, di sini akan ada ini, ini, cuma gue belum tahu
presentasinya gimana. Guru gue sendiri aja bersikap
otoriter, masih ada orang yang main tangan.
Terakhir gue denger, kasus ini sudah masuk hingga ke
Kejaksaan Agung, hanya saja kasusnya emang mandek.
Dan juga mungkin tidak ada kemauan dari Presiden
untuk menyelesaikan kasus-kasus itu. Mungkin karena
Prabowo sudah kebanyakan uang, presiden aja bisa
dibayar.
Suatu saat nanti kasus ini akan dibuka. Namanya bau itu
walaupun ditutup-tutupi dengan apapun akan kecium
juga. Tapi kita ga tahu kapan, tapi pasti suatu saat akan
ada yang berbicara.
Seandainya bokap meninggal pun, gue cuma pengen
tahu di mana jenazahnya. Jadi bisa dimakamkan, diberi
bunga, diberi wangi-wangi. Posisi seperti ini tidak enak,
karena gue mau berdoa tapi gue ga tahu bokap di
mana.
Apakah benaran meninggal atau masih hidup?
>>
W
A
W
A
N
C
A
R
A
TANPA NAMA
Pak, pak, jangan dibakar! Di dalam
banyak orang!
Bu Darwin, 67
tahun. Anaknya enam. Si
sulung, Eten Karyana, adalah
seorang guru Bahasa Inggris. Ia
tulang punggung keluarga.
Pada 13 Mei 1998, Yogya Plaza terbakar.
Mall yang terletak di daerah Klender
tersebut menjadi saksi penjarahan
massal, yang berujung pada
dibakarnya mall tersebut. Seki tar
400 orang sirna di Yogya Plaza.
Salah satunya adalah Eten.
Waktu itu jam 7 pagi. Anak saya guru Bahasa
Inggris di Bekasi, dia berangkat pagi-pagi sekali.
Terus sekitar tengah hari, ada ribut. Katanya Yogya
Plaza (sekarang Citra Mall) di Klender kebakaran.
Kemudian denger juga kalau di daerah sana itu ada
yang keluar masuk mall.
Nah, anak saya sampai jam 2-3 gak pulang. Terus
adiknya bilang, Mah, katanya tadi Eten kelihatan di
Yogya Plaza di Klender itu. Tapi dia lagi ngerokok
bertiga di trotoar. Kemudian dia melihat anak kecil
terkurung api, jadi dia masuk ke gedung yang
kebakaran itu. Sampai beberapa kali, tidak bisa
keluar.
Dia ngelihat anak kecil itu berseragam merah.
Keponakannya masih kecil, dan dia kan sering
diantar sekolah sama dia. Jadinya teringat. Dia
langsung masuk aja ke situ, gak dipeduliin. Dikiranya
mungkin itu kebakaran biasa.
Akhirnya, dia gak bisa keluar lagi.
Ternyata sudah ada berita di Cakrawala (program
berita di ANTV saat itu). Saya di rumah sudah
gelisah. Karena katanya Yogya Plaza ini
kelihatannya.. kok kebakaran sampai seperti itu?
Apinya kayak gitu, dan ada banyak orang yang
kejebak di gedung itu. Nah, ada yang bilang kalau
orang-orang itu keluar masuk bawa barang.
Dia pernah ditepuk sama Kakaknya, Kamu jangan
masuk. Udah di sini aja. Terus ada kabar juga dari
masyarakat di sana, kalau orang-orang itu ada
yang nyuruh masuk ke gedung itu. Udah, ambil aja
apa yang ada di situ. Awalnya kelihatan kan
orang-orang bawa tivi, apalagi situasi saat itu lagi
krisis moneter. Dan di sekitar situ banyak lah anak
anak suka ngamen, anak-anak SMA, pelajar,
semuanya masuk ke gedung itu. Mereka lagi susah,
diiming-imingi, ada yang nyontohin duluan, lagi.
Mereka keluar masuk, dan begitu masuk lagi, udah
gelap. Keluar asap. Mereka gak bisa keluar.
Saya tunggu-tunggu sampai sore kabar anak saya.
Sampai maghrib, saya bingung. Jangan-jangan
kenapa-napa ini anak? Gak mungkin lah dia
berbuat seperti itu (menjarah), apalagi dia seorang
guru. Akhirnya saya dapat informasi lagi dari
tetangga, pada waktu itu emang kejadiannya di
Klender itu bukan cuma barang-barangnya, tapi
orang-orang yang di dalam juga kebakar semua.
Ada yang bilang ke saya, dari Pondok Kopi ke Klender ada
yang ngebawa bensin beberapa jerigen ke gedung-gedung
itu, lalu dibakar. Setelah dibakar dia lari, padahal
masyarakat setempat yang ngelihat udah bilang, Pak, pak,
jangan dibakar! Di dalam banyak orang! Gak digubrisnya,
langsung aja dibakar. Di situ terjadilah, berapa ratus jiwa
manusia termasuk anak sana sendiri hilang.
A
p
a

s
e
b
a
b
n
y
a
?

Anak saya sudah jadi
abu.
Ketahuannya begini; ada siaran berita yang
bilang, Telah ditemukan sebuah dompet berisi
KTP yang tidak terbakar. Kemudian dompet
itu dimasukkan ke dalam kantong plastik yang
berisikan abu. Nah, saya bertanya-tanya, kok
isinya abu sih? Langsung saya gak kuat.
Yang menyampaikan kabar itu tidak langsung
kasih tahu ke saya, tapi kasih tahu ke Bapaknya.
Salah satu teman almarhum bilang, jangan
ngomong di depan Ibu. Tapi kan saya langsung
denger. Saya langsung cerita bapaknya.
Akhirnya mantu saya hujan-hujan jemput itu
kantung plastik yang isinya abu. Karena di
KTP-nya disebutkan di televisi juga, ETEN
KARYANA, PENGGILINGAN. Jadi jelas, anak
saya sudah meninggal di situ.
Tapi kenapa ini dompet tidak terbakar? Dan
KTP-nya pun masih bisa dibaca, cuma lusuh?
Terus saya lapor ke Kelurahan, Pak anak saya
meninggal. Katanya udahlah Bu, itu
kecelakaan. KTP-nya mau mereka ambil. Saya
bilang gak, ini buat kenang-kenangan saya pak.
Tapi itu kan kecelakaan, bu! Saya gak
didenger. Saya dulu aktif di Kelurahan. Setelah
itu saya berhenti.
Sampai sekarang saya pegang itu KTP
Mereka kan tidak berdosa. Kalau
ingin kekuasaan, jangan bikin orang
lain celaka. Jangan jadikan rakyat
kecil ini tumbal!
Ada banyak orang tidak berdosa di situ, termasuk anak saya,
anak-anak sekolahan, orang yang lagi belanja di situ. Kenapa mereka
tiba-tiba terbakar? Tidak, mereka dibakar.
Ada anak sekampung dari Penggilingan juga di situ. Itu dia sudah tidak
berupa manusia. Tinggal tangannya aja, ada gelang. Dia sudah
nelungkup gini di depan kaca. Ibunya sendiri gak mengenali. Tapi
saudara-saudaranya pada datang ke situ.
Penggilingan waktu itu rame. Nangis guling-guling semuanya. Gak
nyangka! Termasuk anak saya sendiri sampai begitu terjadinya. Apa
sebabnya kok bisa trjadi seperti itu? Padahal waktu itu kan krisis
Moneter ya dek, terus kenapa waktu itu orang disuruh masuk ke
dalam gedung lalu dibakar? Kenapa sih? Mereka kan tidak berdosa.
Kalau ingin kekuasaan, jangan bikin orang lain celaka. Jangan jadikan
rakyat kecil ini tumbal!
Selama ini bener, dek, saya berjuang untuk kemanusiaan. Saya
berjuang buat 400 jiwa itu yang hangus, bener-bener hangus.
Bentuknya tidak berupa manusia lagi. Udah tinggal sepotong
sepotong. Kayak arang aja!
Tapi herannya, anak saya itu dompetnya tidak terbakar dan
dalamnya masih ada KTP. Ini yang masih jadi tanda tanya sampai
sekarang. Udahlah, saya ikhlaskan aja.
Saya gak ngerti apa-apa waktu itu. Saya diam aja di rumah. Tiba-tiba
ada anak mahasiswa yang datang ke rumah. Bapaknya langsung
marah-marah, ngomelin mereka. Ternyata itu Tim Relawan. Mereka
datang ke rumah mau menanyakan, bukan mau apa-apa. Nanya,
Siapa yang jadi korban di sini, bu? Mereka pernah ngedata ke
beberapa rumah, dan orangnya malah lari. Ngerasa takut karena
dianggap menjarah.
Tapi alhamdulillah, saya didatangi orang dari RT, dari RW dan
kelurahan. Anak saya ini jiwa sosialnya tinggi. Kalau ngajar Bahasa
Inggris, gak pakai target harganya berapa. Pokoknya anak Ibu
pinter, saya sudah seneng.
Ketika didata, saya datang ke Jalan Arus, kantornya Tim Relawan
Kemanusiaan. Saya diminta ngumpul di sana, dan orang-orang pada
datang. Waktu itu menjelang 100 hari.
Saya masuk ke situ, dan orang banyak banget. Ternyata itu korban
semua. Mereka didata, lalu ngumpul di situ. Suasananya lagi sedih
banget, dek. Eh, tiba-tiba Tim Relawan itu membawakan amplop. Ini
bu, katanya. Untuk sedekahan. Tangan saya gemeteran, dek.
Masa sih anak saya harus ditukar dengan uang? Anak saya dibakar
di sana...
Kata mereka, Bu, tenang bu. Ini sekedar untuk sedekah, sebagai
bentuk simpati kami. Bukan untuk menukar anak Ibu. Saya dikasih
amplop sebesar Rp 500 ribu.
Saya nangis di jalanan, dek. Pak, kok ini kita dikasih uang?
Apalagi waktu kita lewat di Yogya Plaza. Kan masih baru kebakar.
Saya gak mau nengok. Saya gak berani nengok. Rasanya sedih sekali,
dik. Anak yang jadi tumpuan Ibu, yang jadi tulang punggung saya,
direnggut begitu saja. Seharusnya di usia tua seperti ini ada yang
ngedampingin Ibu.
Ibu sedih banget, dik. Orangnya baik. Nurut banget sama orang tua.
Apapun kebutuhan orang tua, dia selalu berusaha. Bawa beras ke
rumah. Bapak ke mana, bu? Belum pulang, kata saya. Kemarin baru
bantuin temen skripsi, dia bilang. Dapat duit, jadi beliin beras buat di
rumah. Beli beras, minyak goreng. Saya tanya, kenapa dia taruh
semuanya di meja? Gapapa, ma, biar nanti Bapak pulang terus dia
tahu.
Dia mikirin adik-adiknya. Waktu itu adiknya masih SMA, masih SMP,
ada yang SD. Dia yang bantuin mereka. Suka ada aja uangnya.
Dia suka bikin makalah. Kalau dulu kan belum ada komputer, harus
pakai mesin tik gitu. Sampai malem bunyi terus! Tak, tok, tak, tok.
Kertas sampai ampar-amparan ke mana-mana. Kadang-kadang dia
sampai ketiduran di atas buku. Tidur gitu, nginep di kampus.
Waktu itu dia nginep, ketiduran, pakai baju biru. Masih inget saya.
Habis kejadian Trisakti tanggal 12 Mei 1998, dia masih ada, kan. Saya
nonton tivi aja, eh dia ada di belakang Ibu. Wah, Mama serius
banget, sih. Kayak politikus aja. Gitu katanya. Kasihan ya, ma? kata
dia. Itu, temen-temen di Trisakti. Kok bisa ditembak kayak gitu, ya?
Iya, kata saya. Kasihan orang tuanya juga, gimana ya perasaan
mereka. Eh, gak tahunya tanggal 13 Mei dia yang dibakar.
Ternyata dia gak kembali. Yang kembali cuma KTP.
Baik banget anaknya.
Yang kita tuntut dari negara adalah
pengakuan, keadilan, dan tanggung
jawab.
Ini sudah 16 tahun, dik. Kita belum mendapat apa-apa. Dari
pemerintah belum ada pengakuan. Tapi berkas-berkas dari kita,
untuk kasus 13 Mei 1998, sudah ada di Kejaksaan. Dan harapan
kita, semua itu ditindaklanjuti. Belakangan ini Presiden-Presiden
sebelumnya cuma janji-janji melulu! Tidak ada kepastian. Saya
mengharapkan agar yang akan memimpin sekarang ini akan
benar-benar peduli HAM dan memperhatikan kejadian-kejadian
pelanggaran HAM berat masa lalu.
Ada kasus-kasus lain, tapi yang penting kan kasus Mei itu dulu.
Berkas-berkas itu sudah lama disampaikan ke Kejagung. Awalnya
kan ke Komnas HAM, dari situ dilempar ke Kejagung, dari situ
dibalikkin lagi ke Komnas HAM, kayak gitu! Kayak main bola.
Tendang sana, tendang sini. Ya kita kan nunggu? Kita keluarganya,
tidak mungkin kan kita dihilangkan begitu saja. Kita gak mungkin
diam aja.
Bukannya kita ingin membalas. Tapi kita ingin ada pengakuan
dari negara. Kami ingin ada tanggung jawab tentang peristiwa
Mei 1998. Jangan biarkan keluarga korban ini harus berpikir,
harus melamun, harus berjuang mati-matian, tapi tidak ada
kepastian. Mereka harus diberikan kepastian.
Yang kita tuntut dari negara adalah pengakuan, keadilan, dan
tanggung jawab.
Pengakuan aja siapa itu pelakunya? Tidak mungkin kalau tidak
ada pelaku. Pelakunya ada, dek! Kalau saya sebut nama, nanti
saya kena masalah. Tapi ya, begitulah. Mereka tidak mau karena
kekuasaan, karena kekayaan, karena korupsi. Pelanggaran HAM
yang kelihatan sekarang sangat sedikit. Memangnya apa sih yang
ada di pikiran mereka?
Ternyata yang di pikiran mereka cuma uang. Kekayaan, yang
bermilyar-milyar. Sementara rakyat yang miskin banyak, yang
gak bisa sekolah banyak. Sementara mereka senang-senang
begitu dengan uang rakyat.
Ini kan peristiwa yang harusnya diperhatikan pemerintah. Apa
mereka akan merugi berapa puluh milyar? Enggak! Pengakuan
dulu, lah. Ngomong lah sama para korban. Yang penting itu
kejujuran. Saya nggak akan diam sampai saya mendapatkan
keadlian. Saya akan menunggu terus.
Kita nggak diam aja begini, apalagi kalau diam! Lama-lama hilang
semua. Kan kasihan. Mereka yang berbuat mah enak,
senang-senang. Nari di atas penderitaan rakyat yang jadi
korban.
Ini negara apa? Ke mana hukum itu? Masa rakyat sudah jadi
korban, sudah begitu lama ditunggu, masih harus ditunda-tunda?
Kok harus ada kehalang ini, kehalang itu? Pelanggaran HAM ini
sudah masa lalu. Ke depannya mungkin masih ada lagi. Dan itu
harapan kami, agar semua ini tidak terulang kembali. Udah,
jangan sampai.
Tapi ada aja sekarang, kan? Itu kok bisa terjadi juga? Mungkin
mereka merasa, yah sudah. Begitu ya begitu aja. Tidak ada
problem.
Kita sering buat aksi sama Tim Relawan, dan
kami mendatangi instansi pemerintah. Ke DPR,
Menhankam, Kejaksaan Agung. Ke Komnas
HAM juga pernah.
Terus aja kami bikin aksi, sampai akhirnya kami
aksi di Kamisan. Karena tenaga kita untuk terus
teriak-teriak di jalanan udah gak kuat. Dulu Ibu
bener, masih ada foto-fotonya. Ibu sama Bapak
di depan, ngebawa foto almarhum. Ditanyain,
Bu Darwin capek gak? Saya jawab, Gak, gak
capek! Saya jalan terus.
Kalau aksi kan kadang-kadang kami membawa
keranda yang diusung-usung. Terus kami pakai
ikat kepala bertuliskan Korban Menuntut.
Sering itu dulu.
Tapi ya begitu, dek. Tidak ada tanggapan.
Makanya ini sudah 16 tahun. Saya benar-benar
berharap agar semua kasus pelanggaran HAM
ini bisa dituntaskan. Pokoknya ada pengakuan
dulu dari pemerintah. Korban tahun 1965
berjuang terus, tapi akhirnya meninggal. Sudah
banyak yang meninggal.
Dulu ada korban 1965 yang sering duduk sama
saya. Saya kaget, biasanya sering rapat bareng
di KontraS, tahu-tahu dia sudah meninggal.
Mereka kan sudah sepuh. Berjuang terus untuk
dapat keadilan, untuk dapat rehabilitasi. Itu kan
kasihan, orang sudah tua. Tolong diperhatikan.
Tapi, ada satu kegembiraan sedikit. Saya sudah
mengajukan agar di TPU Pondok Rangon,
tempat korban Yogya Plaza dikuburkan,
dibikinkan satu monumen atau gapura. Diberi
tanda agar orang yang datang ke situ tahu. Oh
iya, ini adalah makam dari korban 13 Mei 1998.
Alhamdulillah, sudah disetujui oleh Dinas
Pemakaman-nya, oleh Ahok, oleh Jokowi. Nanti
acara puncaknya 18 Mei, ada peletakan batu
pertama untuk membikin monumen itu.
Walaupun hanya peletakan batu pertama, tapi
setidaknya ada perhatian. Dia merasa simpati
dengan kita. Sebenarnya dulu juga pernah kami
ajukan. Tapi, waktu itu Gubernur Sutiyoso belum
bisa. Jadi kami lanjutkan dengan rekan-rekan
kami di Tim Relawan Kemanusiaan, itu gagal.
Lalu saya ajukan lagi dengan Elsam. Saya
diundang juga oleh Komnas Perempuan, lalu kata
mereka usulan saya sudah diterima. Sudah di-acc
sama Dinas Pemakaman, Ahok, dan Jokowi.
Tanggal 18 Mei nanti acara puncaknya di Pondok
Rangon.
Makam-makam itu akan dibersihkan dan dicat
ulang, karena sudah pudar, kan. Dan dicat
mengikuti sebelumnya, Korban Tragedi 13 Mei
1998 Tanpa Nama.
Dulu kan gak pernah ada seperti ini. Baru
sekarang ada. Kami berdiri ratusan minggu di
depan Istana Negara itu, sampai sekarang
belum ada tanggapan apa-apa. Sementara kita
Kami berdiri ratusan minggu di depan Istana
Negara itu, sampai sekarang belum ada
tanggapan apa-apa. Sementara kita berdiri
di situ, mau panas, kehujanan, capek. Hanya
satu menuntut keadilan.
berdiri di situ, mau panas, kehujanan, capek.
Hanya satu menuntut keadilan.
Sementara kita terus berkoar-koar. Itu apa
mereka ditutup kupingnya atau matanya? Apa
mereka ngetawain kita juga? Itu nenek-nenek
dari dulu masih teriak-teriak aja! Masa bodoh
amat saya! Emangnya kalau gak kayak gitu, mau
ngapain? Keadilan itu harus kita dapat.
Kalau kita tetap diam, ya tambah menjadi-jadi.
Apalagi di kasus Mei 1998. Yang berjuang bukan
hanya saya sendiri. Dan mereka semua
kebanyakan sudah lelah. Udah capek, dek. Udah
gak mau. Misalnya, kalau KontraS ada aksi, ada
orasi, saya datangin kalau saya sehat. Saya ikutin
terus.
Kan ada Paguyuban-nya itu, anggotanya sekitar
50 orang. Awalnya, mereka banyak. Kita
ketemuan terus setiap bulan. Sejak sekitar tahun
2003, anggotanya berkurang terus. Sekarang
ada koperasinya, dan di situ kita suka ketemu
bareng. Itupun belum tentu banyak orang yang
datang. Mungkin mereka punya kesibukan
masing-masing.
Kadang kawan saya bilang, Udahlah, win,
ngapain capek-capek terus menuntut? Ke Istana
lagi, berdiri lagi. Kita mau cuap-cuap di depan
Istana juga gak didengerin sama SBY. Emang sih,
tapi kalau kita diam, kita tambah menghilang.
Masa kasusnya menghilang begitu aja tanpa ada
perhatian dan keadilan dari pemerintah? Coba
ungkapkan kasus 13 Mei 1998. Itu belum disentuh,
walau udah ada berkas-berkasnya yang sudah
diserahkan ke Kejaksaan Agung.
Prosesnya harus terbuka. Itu kan sudah ada
TGPF, Tim Gabungan Pencari Fakta. Dan itu
bukan cuma dari LSM aja, dari Kepolisian juga
ada. Udah lengkap. Tapi kenapa kok pemerintah
membiarkan aja kayak gitu? Ya korban yang
masih ada akan menuntut terus penyelesaian
semua ini.
Walaupun, kayaknya sekarang ini harapan untuk
korban menyempit sekali. Tapi ya sudahlah. Saya
harap monumen makam yang sudah di-acc
Jokowi dan Ahok itu berjalan lancar. Agar orang
tahu, di situ makam korban.
Peristiwa Mei 1998 itu korbannya ribuan, dik. Di
Yogya Plaza aja ada 400, belum di
tempat-tempat lain. Kan di semua titik ada.
Anehnya, Itu dengan waktu yang bersamaan.
Udah jelas itu terorganisir. Harus semuanya
dibakar, dihanguskan.
Itu untuk apa? Kenapa mereka harus dijadikan
korban, bukannya dirangkul? Padahal itu kan
krisis moneter...
Saya sangat kecewa, apalagi dengan
pemerintahan SBY ini. Janji-janji mulu. Udah kita
turun ke jalanan, udah ke Istana, ke DPR, tapi
belum ada kepastiannya. Saya berharap sekali
agar berkas-berkas yang sudah ada di
Kejaksaan itu bisa ditindaklanjuti. Supaya ini
cepat selesai. Tanjung Priok, 1965, penghilangan
paksa. Penghilangan Paksa kasusnya udah dapat
rekomendasi dari DPR. Tapi sampai sekarang
mana? Kan hanya omongan kayak gitu aja, ga
ada apa-apa. Semua kasus itu tidak
terselesaikan.
Mudah-mudahan masih ada celah untuk korban.
Walaupun masih berantakan, tapi
mudah-mudahan bisa berlanjut dengan baik dan
bisa dibuktikan. Itu perjuangan kami semua.
Monumen itu bentuk perjuangan kami. Tapi,
kami akan tetap menuntut keadilan untuk
anak-anak kami yang menjadi korban. Demi
anak saya sendiri.
Sekarang anak muda mulai muncul. Mereka
mulai bertanya sama saya. Dan bener sih, dik.
Harusnya sudah ada generasi baru yang muncul
melanjutkan ini. Saya berharap banyak sama
mereka. Waktu itu ada anak-anak dari UI yang
bertanya-tanya ke saya. Anak Ibu kan anak UI
juga, dan dia meninggal di Yogya Plaza dengan
kondisi seperti itu. Anak yang jadi harapan Ibu
direnggut nyawanya begitu saja.
Anak-anak mahasiswa itu siap membantu.
Mereka sudah mulai ada.
Kita sering buat aksi sama Tim Relawan, dan
kami mendatangi instansi pemerintah. Ke DPR,
Menhankam, Kejaksaan Agung. Ke Komnas
HAM juga pernah.
Terus aja kami bikin aksi, sampai akhirnya kami
aksi di Kamisan. Karena tenaga kita untuk terus
teriak-teriak di jalanan udah gak kuat. Dulu Ibu
bener, masih ada foto-fotonya. Ibu sama Bapak
di depan, ngebawa foto almarhum. Ditanyain,
Bu Darwin capek gak? Saya jawab, Gak, gak
capek! Saya jalan terus.
Kalau aksi kan kadang-kadang kami membawa
keranda yang diusung-usung. Terus kami pakai
ikat kepala bertuliskan Korban Menuntut.
Sering itu dulu.
Tapi ya begitu, dek. Tidak ada tanggapan.
Makanya ini sudah 16 tahun. Saya benar-benar
berharap agar semua kasus pelanggaran HAM
ini bisa dituntaskan. Pokoknya ada pengakuan
dulu dari pemerintah. Korban tahun 1965
berjuang terus, tapi akhirnya meninggal. Sudah
banyak yang meninggal.
Dulu ada korban 1965 yang sering duduk sama
saya. Saya kaget, biasanya sering rapat bareng
di KontraS, tahu-tahu dia sudah meninggal.
Mereka kan sudah sepuh. Berjuang terus untuk
dapat keadilan, untuk dapat rehabilitasi. Itu kan
kasihan, orang sudah tua. Tolong diperhatikan.
Tapi, ada satu kegembiraan sedikit. Saya sudah
mengajukan agar di TPU Pondok Rangon,
tempat korban Yogya Plaza dikuburkan,
dibikinkan satu monumen atau gapura. Diberi
tanda agar orang yang datang ke situ tahu. Oh
iya, ini adalah makam dari korban 13 Mei 1998.
Alhamdulillah, sudah disetujui oleh Dinas
Pemakaman-nya, oleh Ahok, oleh Jokowi. Nanti
acara puncaknya 18 Mei, ada peletakan batu
pertama untuk membikin monumen itu.
Walaupun hanya peletakan batu pertama, tapi
setidaknya ada perhatian. Dia merasa simpati
dengan kita. Sebenarnya dulu juga pernah kami
ajukan. Tapi, waktu itu Gubernur Sutiyoso belum
bisa. Jadi kami lanjutkan dengan rekan-rekan
kami di Tim Relawan Kemanusiaan, itu gagal.
Lalu saya ajukan lagi dengan Elsam. Saya
diundang juga oleh Komnas Perempuan, lalu kata
mereka usulan saya sudah diterima. Sudah di-acc
sama Dinas Pemakaman, Ahok, dan Jokowi.
Tanggal 18 Mei nanti acara puncaknya di Pondok
Rangon.
Makam-makam itu akan dibersihkan dan dicat
ulang, karena sudah pudar, kan. Dan dicat
mengikuti sebelumnya, Korban Tragedi 13 Mei
1998 Tanpa Nama.
Dulu kan gak pernah ada seperti ini. Baru
sekarang ada. Kami berdiri ratusan minggu di
depan Istana Negara itu, sampai sekarang
belum ada tanggapan apa-apa. Sementara kita
berdiri di situ, mau panas, kehujanan, capek.
Hanya satu menuntut keadilan.
Sementara kita terus berkoar-koar. Itu apa
mereka ditutup kupingnya atau matanya? Apa
mereka ngetawain kita juga? Itu nenek-nenek
dari dulu masih teriak-teriak aja! Masa bodoh
amat saya! Emangnya kalau gak kayak gitu, mau
ngapain? Keadilan itu harus kita dapat.
Kalau kita tetap diam, ya tambah menjadi-jadi.
Apalagi di kasus Mei 1998. Yang berjuang bukan
hanya saya sendiri. Dan mereka semua
kebanyakan sudah lelah. Udah capek, dek. Udah
gak mau. Misalnya, kalau KontraS ada aksi, ada
orasi, saya datangin kalau saya sehat. Saya ikutin
terus.
Kan ada Paguyuban-nya itu, anggotanya sekitar
50 orang. Awalnya, mereka banyak. Kita
ketemuan terus setiap bulan. Sejak sekitar tahun
2003, anggotanya berkurang terus. Sekarang
ada koperasinya, dan di situ kita suka ketemu
bareng. Itupun belum tentu banyak orang yang
datang. Mungkin mereka punya kesibukan
masing-masing.
Kadang kawan saya bilang, Udahlah, win,
ngapain capek-capek terus menuntut? Ke Istana
lagi, berdiri lagi. Kita mau cuap-cuap di depan
Istana juga gak didengerin sama SBY. Emang sih,
tapi kalau kita diam, kita tambah menghilang.
Masa kasusnya menghilang begitu aja tanpa ada
perhatian dan keadilan dari pemerintah? Coba
ungkapkan kasus 13 Mei 1998. Itu belum disentuh,
walau udah ada berkas-berkasnya yang sudah
diserahkan ke Kejaksaan Agung.
Prosesnya harus terbuka. Itu kan sudah ada
TGPF, Tim Gabungan Pencari Fakta. Dan itu
bukan cuma dari LSM aja, dari Kepolisian juga
ada. Udah lengkap. Tapi kenapa kok pemerintah
membiarkan aja kayak gitu? Ya korban yang
masih ada akan menuntut terus penyelesaian
semua ini.
Walaupun, kayaknya sekarang ini harapan untuk
korban menyempit sekali. Tapi ya sudahlah. Saya
harap monumen makam yang sudah di-acc
Jokowi dan Ahok itu berjalan lancar. Agar orang
tahu, di situ makam korban.
Peristiwa Mei 1998 itu korbannya ribuan, dik. Di
Yogya Plaza aja ada 400, belum di
tempat-tempat lain. Kan di semua titik ada.
Anehnya, Itu dengan waktu yang bersamaan.
Udah jelas itu terorganisir. Harus semuanya
dibakar, dihanguskan.
Itu untuk apa? Kenapa mereka harus dijadikan
korban, bukannya dirangkul? Padahal itu kan
krisis moneter...
Saya sangat kecewa, apalagi dengan
pemerintahan SBY ini. Janji-janji mulu. Udah kita
turun ke jalanan, udah ke Istana, ke DPR, tapi
belum ada kepastiannya. Saya berharap sekali
agar berkas-berkas yang sudah ada di
Kejaksaan itu bisa ditindaklanjuti. Supaya ini
cepat selesai. Tanjung Priok, 1965, penghilangan
paksa. Penghilangan Paksa kasusnya udah dapat
rekomendasi dari DPR. Tapi sampai sekarang
mana? Kan hanya omongan kayak gitu aja, ga
ada apa-apa. Semua kasus itu tidak
terselesaikan.
Mudah-mudahan masih ada celah untuk korban.
Walaupun masih berantakan, tapi
mudah-mudahan bisa berlanjut dengan baik dan
bisa dibuktikan. Itu perjuangan kami semua.
Monumen itu bentuk perjuangan kami. Tapi,
kami akan tetap menuntut keadilan untuk
anak-anak kami yang menjadi korban. Demi
anak saya sendiri.
Sekarang anak muda mulai muncul. Mereka
mulai bertanya sama saya. Dan bener sih, dik.
Harusnya sudah ada generasi baru yang muncul
melanjutkan ini. Saya berharap banyak sama
mereka. Waktu itu ada anak-anak dari UI yang
bertanya-tanya ke saya. Anak Ibu kan anak UI
juga, dan dia meninggal di Yogya Plaza dengan
kondisi seperti itu. Anak yang jadi harapan Ibu
direnggut nyawanya begitu saja.
Anak-anak mahasiswa itu siap membantu.
Mereka sudah mulai ada.
Kami sudah berkali-kali menuntut
pada pemerintah, jangan sampai ada
stigma seperti ini lagi. Anak kami
masuk ke situ ada yang nyuruh.
Sekarang muncul lagi f ilm Mall Klender. Itu kan menjadi
kontroversi sendiri. Saya ngomong ke Komnas Perempuan,
Bagaimana ini, bu? Kita kan sedang ingin memperingati Mei 1998,
kenapa malah muncul f ilm seperti itu? Sementara, f ilm itu malah
menonjolkan sisi yang angker-angker. Film horor.
Memang proyek komersial. Tapi seharusnya mereka mengajak
keluarga korban ngomong dulu. Apalagi kalau mereka mau
menyebarkan ke daerah-daerah. Kami dirugikan sih enggak, tapi
kami sakit. Kami ingin bertemu dengan mereka. Kami sudah kirim
surat ke produsernya, dan kapan-kapan pasti akan ada
pertemuan dengan mereka. Tujuannya apa. Kenapa harus f ilm itu
yang dibuat? Kenapa harus horornya yang disorot? Sementara
kita ingin ada keadilan dan agar korban tenang di sisi Allah SWT.
Saya gak tahu mereka ada keperluan apa. Tapi kalau f ilm ini mau
disebarkan ke daerah-daerah, saya minta bantuan dari berbagai
lembaga dan teman-teman agar f ilm ini tidak dilanjutkan. Bahaya.
Nanti sejarah dibelokkan.
Anak-anak sekarang dari mulai SMA sampai Universitas sudah
tahu soal Mei 1998. Kalau tiba-tiba mereka terpengaruh dengan
f ilm seperti itu, tentunya mereka akan bertanya-tanya. Kenapa
harus keangkerannya yang disorot? Saya bingung. Nanti mungkin
setelah Mei ini kami bertemu dengan mereka.
Jangan dilanjutkan. Itu saja pesan para keluarga korban. Kami
semua marah, dek.
Begitu saya dengan kabar ini, saya langsung telepon semua
Ibu-Ibu keluarga korban. Wah, gak bisa itu bu! Sabar, kata saya.
Ada Komnas Perempuan yang mau mendampingi kita. Saya
waktu itu ke situ waktu kejadiannya malem-malem, kata teman
saya. Kaga ada apa-apa. Yang namanya itu setan-setan kaga
ada, bu!
Kita lagi berjuang. Lalu tiba-tiba ada f ilm horor kayak begini yang
ngedokumentasikan sejarah kita. Kan jadinya lucu. Makanya kami
minta f ilm itu distop. Apalagi kalau ke daerah. Katanya mau
dibawa ke Aceh, dek.
Pihak masyarakat Tionghoa juga marah, dek. Kemarin waktu
ketemuan di Komnas Perempuan mereka angkat bicara. Ada juga
perwakilan Tionghoa yang masih muda. Saya sangat sedih
dengan adanya f ilm itu, katanya. Perlu diurusin. Gak bisa dibiarin
aja.
Pada waktu itu memang antara etnis pribumi dan
Tionghoa sering diadu domba. Padahal sebenarnya
biasa-biasa saja. Makanya waktu itu muncul penjarahan.
Kami sudah berkali-kali menuntut pada pemerintah,
jangan sampai ada stigma seperti ini lagi. Anak kami
masuk ke situ ada yang nyuruh. Ditepuk-tepuk, dibilang
Ambil aja tuh semuanya. Mungkin ada yang memang
datang ingin menjarah, tapi gak mungkin semuanya
berani kalau gak ada yang nyuruh.
Saya sempat nonton di f ilmnya, ada adegan yang seolah
memperlihatkan Yogya Plaza pada waktu itu. Sedangkan
saya kalau mau tabur bunga atau membuat peringatan
harus memberi pemberitahuan dulu, kenapa buat f ilm
itu bisa? Seolah-olah benar itu yang terjadi di sana. Yang
diceritakan cuma yang serem-serem. Ini akan jadi
problem juga.
Filmnya sembarangan gitu. Emangnya sebelum 1998, di
mall itu gak ada kejadian apa-apa? Dan ini kejadian
besar, 400 jiwa hilang di situ. Dibakar. Kalau muncul f ilm
horor seperti itu, apa gak menyentak perasaan kita?
Efeknya bagaimana ke korban?
Mereka sudah 16 tahun capek menunggu, kepanasan,
kehujanan, berjuang. Efeknya gimana?
Sekarang muncul lagi f ilm Mall Klender. Itu kan menjadi
kontroversi sendiri. Saya ngomong ke Komnas Perempuan,
Bagaimana ini, bu? Kita kan sedang ingin memperingati Mei 1998,
kenapa malah muncul f ilm seperti itu? Sementara, f ilm itu malah
menonjolkan sisi yang angker-angker. Film horor.
Memang proyek komersial. Tapi seharusnya mereka mengajak
keluarga korban ngomong dulu. Apalagi kalau mereka mau
menyebarkan ke daerah-daerah. Kami dirugikan sih enggak, tapi
kami sakit. Kami ingin bertemu dengan mereka. Kami sudah kirim
surat ke produsernya, dan kapan-kapan pasti akan ada
pertemuan dengan mereka. Tujuannya apa. Kenapa harus f ilm itu
yang dibuat? Kenapa harus horornya yang disorot? Sementara
kita ingin ada keadilan dan agar korban tenang di sisi Allah SWT.
Saya gak tahu mereka ada keperluan apa. Tapi kalau f ilm ini mau
disebarkan ke daerah-daerah, saya minta bantuan dari berbagai
lembaga dan teman-teman agar f ilm ini tidak dilanjutkan. Bahaya.
Nanti sejarah dibelokkan.
Anak-anak sekarang dari mulai SMA sampai Universitas sudah
tahu soal Mei 1998. Kalau tiba-tiba mereka terpengaruh dengan
f ilm seperti itu, tentunya mereka akan bertanya-tanya. Kenapa
harus keangkerannya yang disorot? Saya bingung. Nanti mungkin
setelah Mei ini kami bertemu dengan mereka.
Jangan dilanjutkan. Itu saja pesan para keluarga korban. Kami
semua marah, dek.
Begitu saya dengan kabar ini, saya langsung telepon semua
Ibu-Ibu keluarga korban. Wah, gak bisa itu bu! Sabar, kata saya.
Ada Komnas Perempuan yang mau mendampingi kita. Saya
waktu itu ke situ waktu kejadiannya malem-malem, kata teman
saya. Kaga ada apa-apa. Yang namanya itu setan-setan kaga
ada, bu!
Kita lagi berjuang. Lalu tiba-tiba ada f ilm horor kayak begini yang
ngedokumentasikan sejarah kita. Kan jadinya lucu. Makanya kami
minta f ilm itu distop. Apalagi kalau ke daerah. Katanya mau
dibawa ke Aceh, dek.
Pihak masyarakat Tionghoa juga marah, dek. Kemarin waktu
ketemuan di Komnas Perempuan mereka angkat bicara. Ada juga
perwakilan Tionghoa yang masih muda. Saya sangat sedih
dengan adanya f ilm itu, katanya. Perlu diurusin. Gak bisa dibiarin
aja.
Pada waktu itu memang antara etnis pribumi dan
Tionghoa sering diadu domba. Padahal sebenarnya
biasa-biasa saja. Makanya waktu itu muncul penjarahan.
Kami sudah berkali-kali menuntut pada pemerintah,
jangan sampai ada stigma seperti ini lagi. Anak kami
masuk ke situ ada yang nyuruh. Ditepuk-tepuk, dibilang
Ambil aja tuh semuanya. Mungkin ada yang memang
datang ingin menjarah, tapi gak mungkin semuanya
berani kalau gak ada yang nyuruh.
Saya sempat nonton di f ilmnya, ada adegan yang seolah
memperlihatkan Yogya Plaza pada waktu itu. Sedangkan
saya kalau mau tabur bunga atau membuat peringatan
harus memberi pemberitahuan dulu, kenapa buat f ilm
itu bisa? Seolah-olah benar itu yang terjadi di sana. Yang
diceritakan cuma yang serem-serem. Ini akan jadi
problem juga.
Filmnya sembarangan gitu. Emangnya sebelum 1998, di
mall itu gak ada kejadian apa-apa? Dan ini kejadian
besar, 400 jiwa hilang di situ. Dibakar. Kalau muncul f ilm
horor seperti itu, apa gak menyentak perasaan kita?
Efeknya bagaimana ke korban?
Mereka sudah 16 tahun capek menunggu, kepanasan,
kehujanan, berjuang. Efeknya gimana?
Saya sudah tua, dik.
Anak saya sandaran hidup saya. Dia tulang punggung
keluarga. Paling tinggi dia pendidikannya, dik, dari UI
jurusan Sastra Perancis. Dia paling tinggi sendiri, dek. Dia
paling membantu orang tua. Sampai sekarang juga kalau
lagi sedih, saya cuma bisa mandang fotonya aja.
Semua anak-anak saya sudah berkeluarga. Jadi saya
cuma tinggal berdua sama Bapaknya. Rumah saya
ngontrak. Bapaknya kerjanya kalau lagi ada ya ada,
namanya juga udah tua. Kalau gak ada ya gitu. Jadi ya
saya tetap harus banting tulang juga, walaupun udah tua.
Untuk ekonomi, untuk kehidupan, untuk menuntut
keadilan.
Alhamdulillah, usia saya sudah 67 tahun, tapi saya masih
diberi kekuatan. Mudah-mudahan aja, sebelum ini semua
selesai, saya bisa berjuang terus.
Semoga. Amin.
<<<<<
G
A
L
E
R
I

F
O
T
O
Abdun Naher
Dedi Hamdun
Hendra Hambali
M
E
R
E
K
A
Y
A
N
G
M
A
S
IH
H
IL
A
N
G
Herman Hendrawan
Petrus Bima Anugerah
Yadin Muhidin
Yani Afri
Ucok Munandar Siahaan
Ismail
Suyat
KEKERASAN
DAN
PEREMPUAN:
1998 dan Kenapa Kita Jangan Sampai Lupa
Tetapi saya mengatakan bahwa korban itu ada, saya menangani tiga orang dan salah
satunya adalah anak berumur 14 tahun. Dan salah satu akibat dari perkosaan itu adalah
ketiga-tiganya agak seakan-akanpikirannya hilang, tetapi yang paling nyata adalah
anak yang berumur 14 tahun ini menjadi gila, agak gila.. [1]
Dalam artikel wawancara sepanjang enam halaman tersebut, kita akan
tahu bagaimana kekerasan terhadap perempuan yang terjadi selama Mei
1998 bukanlah suatu dampak atau rentetan kekerasan yang muncul begitu
saja, melainkan sebuah kejahatan yang sistematis dan terencana dengan
perempuan sebagai kelompok yang dikorbankan demi kepentingan politik.
Secara resmi, Data Tim Gabungan Pencari Fakta menyebutkan bahwa
terdapat 52 orang korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan
penganiayaan, 10 orang korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9
korban pelecehan seksual namun ini hanya jumlah selama kerusuhan Mei
terjadi, belum termasuk jumlah korban sebelum dan sesudah kerusuhan.
Kekerasan seksual ini tidak hanya terjadi di tempat umum seperti di jalan
atau di tempat-tempat usaha, tetapi juga di dalam rumah atau bangunan.
Sebagian besar korban diperkosa oleh lebih dari satu orang pada satu
waktu yang sama (gang rape) di hadapan orang lain, serta mayoritas
korban adalah perempuan dari etnis Tionghoa [2].
Selama melakukan investigasi dan mendampingi korban, Tim Relawan
untuk Kemanusiaan mencatat bagaimana pola pemerkosaan yang terjadi
dan mengapa mayoritas korban merupakan perempuan dari etnis
Tionghoa. Hal ini diterangkan oleh Palupi, staf Divisi Pendataan dari Tim
Relawan untuk Kemanusiaan, dalam artikel yang sama dari majalah
Jakarta, Jakarta. Awal pemerkosaan itu diawali dengan pengkondisian
untuk menjadikan perempuan Tionghoa menjadi target kebencian. Ada
usaha-usaha orang yang berkeliling ke perkampungan miskin, mencari
pemuda-pemuda yang diajak untuk melakukan pemerkosaan. Awalnya,
mereka mentraktir pemuda-pemuda itu jajan, rokok dan minum, hingga
kemudian sampai mereka akrab, mereka mengatakan, Sebentar lagi kalian
dapat barang-barang mewah dan perempuan-perempuan Cina yang
selama ini elu nggak bisa jamah. [3]
Bisa jadi kita adalah anak-anak muda yang merasakan sendiri bagaimana
di dalam sekolah, bangunan pengetahuan dan ingatan kita seputar tragedi
1998 berkisar di antara frasa-frasa seperti Turunnya Soeharto,
demonstrasi mahasiswa, atau krisis ekonomi. Kita belajar dan
menghafal nama-nama mahasiswa yang ditembak aparat, tempat-tempat
kerusuhan meledak, sampai apa persisnya kata-kata Soeharto ketika ia
memutuskan berhenti menjadi Presiden. Namun, kita sering lupa membahas
lagi siapa sebenarnya kelompok yang karena mereka kita kini memiliki
semacam jaminan dan perlindungan untuk bebas dari kekerasan:
perempuan.
Pada bulan Agustus 1998, sebuah artikel berjudul Siapa Dalang Perkosaan
Massal? dicabut dan batal terbit dari majalah Jakarta, Jakarta nomor 610.
Artikel tersebut berisi wawancara bersama narasumber Romo I.
Sandyawan Sumardi S.J., atau Romo Sandy, yang saat itu bekerja sebagai
Sekretaris Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Beberapa di antara pekerjaan
yang dilakukan Romo Sandy adalah menemui keluarga korban Tragedi
1998, termasuk juga para perempuan korban perkosaan dan kekerasan
seksual. Lima tahun kemudian, artikel yang dicabut tersebut akhirnya
diterbitkan dan dimuat dalam buku berjudul Surat dari Palmerah, yang
sebenarnya merupakan kumpulan editorial yang ditulis oleh Seno Gumira
Ajidarma, pemimpin redaksi majalah Jakarta, Jakarta pada periode
1996-1999.
Faktanya, berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan merupakan
sebuah usaha yang dulu amat sulit untuk dilakukan. Jika kita memikirkan
kembali mengapa terjadi kekerasan terhadap perempuan dalam konteks
peristiwa 1998, misalnya, kita akan teringat bagaimana kita diajarkan di
sekolah bahwa kekerasan ini adalah dampak dari kesenjangan dan himpitan
krisis ekonomi yang dialami oleh masyarakat, hingga akhirnya mendorong
perilaku agresif yang salah satunya mewujud menjadi tindak pemerkosaan
massal. Pemerkosaan massal ini terjadi secara spontan, sporadis, dan tak
terlacak oleh aparat. Di dalam masyarakat yang kerap memandang bahwa
kejahatan dan kekerasan adalah suatu hal yang lumrah terjadi pada
perempuan, runutan sebab akibat tersebut tidak sulit diterima, setidaknya
bagi masyarakat secara umum. Namun, kenapa artikel wawancara
bersama Romo Sandy kemudian batal terbit?
A
R
T
I
K
E
L
Pada saat itu, di tengah situasi yang mencekam
sepanjang Mei 1998, sekretariat Tim Relawan
didatangi para pelapor sampai dengan 20-30 orang
per harinya. Keberadaan sekretariat maupun
posko-posko relawan seperti ini menjadi amat
penting untuk perlindungan korban dan
pengumpulan fakta. Pemerkosaan massal, misalnya,
merupakan salah satu kasus yang faktanya sulit
terungkap dan lamban ditangani oleh pemerintah
karena faktanya dianggap simpang siur. Saat itu,
data terkait pemerkosaan seperti siapa korbannya,
di mana terjadinya, atau bahkan apakah benar ada
perkosaan atau tidak, menjadi alasan mengapa
pemerintah lamban bertindak menangani kejahatan
yang menurut Romo Sandy merupakan
kebiadaban massal yang sistematis dan
terorganisir ini.
Menurut beliau, tidak adanya pengaduan atau
laporan ke pemerintah bukan berarti tidak adanya
pemerkosaan. Sederhana saja, ujar beliau, sebab
pemerintah abai kepada kondisi-kondisi seperti rasa
malu, aib, beban f isik dan batin yang dirasakan oleh
para perempuan yang menjadi korban maupun
saksi mata dari pemerkosaan massal. Belum lagi
ada teror yang dilakukan kepada para korban
maupun para relawan pendamping. Romo Sandy
bertutur bagaimana situasi para relawan ini hanya
berbeda tipis dengan para korban kerusuhan dan
perkosaan. Mereka juga diancam, diteror, bahkan
dikirimi granat. Semua ini yang semakin meyakinkan
Romo Sandy bahwa pemerkosaan dan kerusuhan
didalangi oleh aktor(-aktor) yang sama, bahwa ada
usaha untuk menutupi fakta dan meneror siapa saja
yang berusaha mengungkapkan kebenaran [4].
Ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa
tragedi mempersatukan umat manusia. Sekretariat
Tim Relawan untuk Kemanusiaan mungkin menjadi
saksi untuk itu. Di sinilah, ujar Romo Sandy,
solidaritas korban dan empati terjalin, juga
terbentuk konsolidasi perjuangan untuk melawan
kekerasan terhadap sesama manusia. Tidak hanya
Tim Relawan, saat itu para aktivis perempuan dan
penggiat hak asasi manusia membentuk juga
kelompok yang disebut Masyarakat Anti-Kekerasan
terhadap Perempuan.
Kelompok ini tidak hanya mendampingi korban,
tetapi juga berinisiatif untuk menemui Presiden
Habibie dan menuntut agar Presiden mengutuk dan
meminta maaf atas kejadian yang dialami korban
kerusuhan, serta agar pemerintah segera
melakukan investigasi independen dan mengadili
para pelaku tindak kekerasan tersebut. Lewat
perjuangan inilah Keputusan Presiden tanggal 15
Oktober 1998 lahir, yang merupakan instruksi untuk
pembentukan sebuah komisi independen yang saat
ini kita kenal dengan nama Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan, atau Komnas
Perempuan.
Teman-teman, melalui artikel wawancara bersama
Romo Sandy yang syukurlah akhirnya dapat terbit
dan kita baca tersebut, juga dengan membahas
Catatan Kaki:
[1] Kesaksian Ibu Edith Witoha, konselor, dalam
http://kabarinews.com/kesaksian-kasus-perkosaan-mei-1998/31292. Laman ini memuat transkrip
wawancara yang dilakukan oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bersama sembilan orang
saksi yang melihat, mendengar dan membantu korban perkosaan pada Mei 1998.
[2]Data-data ini diambil dari Seri Dokumen Kunci Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa
Kerusuhan Mei 1998, diterbitkan oleh Komnas Perempuan pada November 1999, yang dapat
diunduh bebas dari
http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2014/02/SDK-2-Temuan-Tim-Gabungan-Pe
ncari-Fakta-Peristiwa-Kerusuhan-.pdf.
[3][4] Kutipan-kutipan wawancara ini dapat dibaca dalam kumpulan tulisan Seno Gumira Ajidarma,
Surat dari Palmerah (Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), pada bagian Dokumen Wawancara
yang Tidak Disiarkan halaman 272-285.
Untuk yang tertarik membaca wawancara penuh dengan Romo Sandyawan,
silahkan buka situs Pamf let di Pamf let.or.id.
kembali kasus kekerasan seksual terhadap perempuan selama 1998, ada
beberapa hal yang harus kita pikirkan kembali secara lebih dalam. Salah satunya
misalnya apakah kita, juga aparat dan masyarakat, telah memiliki sensitivitas
terhadap perempuan sebagai korban kekerasan atau pun perkosaan. Kedua,
apakah situasi saat ini sudah berubah? Bisa saja saat ini kita adalah anak-anak
muda yang hidup dan tumbuh besar dalam masyarakat yang lebih demokratis,
lebih terbuka, dan kita tahu bahwa kita selalu bisa menuntut hak kita jika kita
mengalami ketidakadilan dan kekerasan dalam bentuk apapun.
Tapi bagaimana kita kemudian memaknai bahwa kekuasaan dan kepentingan
politik dari seseorang atau suatu rezim, sewaktu-waktu, dapat memposisikan
kita atau siapa saja sebagai korban? Bagaimana jika kita lah yang menjadi
korban akankah kita punya keberanian untuk bersuara? Dan bagaimana kita,
sebagai anak muda yang menikmati buah perjuangan dari Romo Sandy dan
tokoh-tokoh lainnya, yang tercatat atau pun tidak di buku sejarah kita, memiliki
keberpihakan terhadap para korban dan orang-orang yang memperjuangkan
agar hidup kita lebih layak?
Di atas itu semua, maukah kita semua melakukan sesuatu untuk memastikan
agar segala bentuk kekerasan tidak terulang lagi?
TIMELINE
TRAGEDI MEI 1998
A
R
T
I
K
E
L
>>
4 Mei 1998
Pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM (Bahan Bakar
Minyak). Hal ini memicu protes dari banyak kalangan karena
membawa dampak kepada kenaikan harga bahan makanan yang
sebelumnya juga sudah melambung. Banyak aksi yang dilakukan
oleh mahasiswa sebagai bentuk protes terhadap kekacauan
pemerintahan Orde Baru dan menuntut adanya Reformasi.
Mahasiswa bersama rakyat menuntut Presiden Soeharto untuk
turun. Setiap aksi damai mahasiswa ini selalu dihadang oleh aparat
keamanan dan tidak jarang berbuntut pada aksi kekerasan
aparat.
Di Medan kerusuhan mulai pecah. Penjarahan, pengerusakan, dan
pembakaran terhadap toko, bank, pasar, dan kendaraan
dilakukan oleh massa yang mengamuk. Kerusuhan yang terjadi di
Medan ini berlangsung sampai tanggal 7 Mei 1998. Selain itu
terdapat juga korban pelecehan seksual berdasarkan hasil
Temuan Tim Pecari Fakta Kerusuhan Mei 1998.
Juli 1997-Februari 1998
Bola salju dari krisis ekonomi yang terjadi di kawasan Asia,
terutama Thailand dan Korea Selatan, sampai di Indonesia. Kurs
rupiah terhadap dollar turun drastis yang menyebabkan
pengusaha-pengusaha yang meminjam uang dengan dollar
kewalahan untuk membayar hutang dan banyak yang
menukarkan rupaiahnya dengan dollar. Hal ini berdampak pada
inf lasi rupiah dan kenaikan besar-besaran pada harga bahan
makanan. Pemerintah dianggap lamban menangani krisis ekonomi
yang melanda Indonesia sehingga kepercayaan rakyat terhadap
pemerintahan Orde Baru pun semakin menurun. Sampai
kemudian, pada Februari 1998, Presiden Soeharto
memberhentikan Gubernur Bank Indonesia, J. Soedradjad
Djiwandono. Namun, ternyata ini bukan merupakan jalan keluar
dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
10 Maret 1998
Berdasarkan sidang MPR, Presiden Soeharto disahkan kembali
untuk ke tujuh kalinya sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal ini
menuai berbagai protes dari berbagai kalangan, termasuk
mahasiswa. Mulai berbagai kritik dikeluarkan terhadap keburukan
pemerintahan Presiden Soeharto, baik itu tindakan KKN (Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme), pembungkaman media massa, diskriminasi
terhadap etnis Tionghoa, dan juga kesenjangan ekonomi.
2 Mei 1998
Mahasiswa bersama dengan masyarakat dari semua golongan;
seperti pelajar, buruh, pekerja sosial, seniman, masyarakat sekitar
Salemba, ibu rumah tangga, bahkan kalangan pendidik melakukan
mimbar bebas untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional.
Mereka saling berorasi di Salemba menyuarakan berbagai macam
tuntutan mulai dari turunnya harga bahan makanan sampai
dengan keinginan untuk meminta presiden turun dari jabatannya.
Akan tetapi pada saat mahasiswa ingin melakukan long march
dari kampus ABA/ABI di Matraman, mereka dihadang oleh aparat
dengan gas air mata dan berujung pada bentrokan antara
mahasiswa dan aparat. Peristiwa ini mengakibatkan 1 korban dari
Fakultas Ekonomi Univeristas Indonesia, 2 orang mahasiswa dari
UKI, dan 1 orang mahasiswa dari ABA/ABI.
Di tempat lain, ada peristiwa kekerasan juga yang terjadi. Petugas
antihuru-hara dan Brimob melakukan kekerasan terhadap
mahasiswa dan juga warga pada aksi damai di depan Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Rawamangun. Berdasarkan
catatan dari AJINews, ada 6 orang yang terkena luka tembak, 33
orang luka serius, puluhan luka ringan bahkan pada saat berita
tersebut diturunkan ada 59 mahasiswa dan 3 orang warga yang
belum kembali akibat diciduk petugas. Peristiwa pada hari itulah
yang kemudian menyulut keberanian mahasiswa dan masyarakat
untuk melakukan protes terhadap pemerintahan Orde Baru dan
menuntut Presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya.
> > >
5 Mei 1998
Di Yogyakarta aksi oleh Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat yang
merupakan gabungan mahasiswa dari Atma Jaya, IAIN, USD,
UII-Syariah, STPMD-APMD, Janabadra, UMY, dan ISI. Pada
pelaksanaannya, mahasiswa juga bergabung dengan masyarakat
melakukan long march dan berorasi menuntut turunnya harga,
reformasi, dan mundurnya Presiden Soeharto. Aksi ini juga
diwarnai dengan kekerasan yang dilakukan oleh aparat.
Mahasiswa dan masyarakat yang sedang long march tiba-tiba
diserbu oleh ratusan polisi dengan gas air mata. Bahkan polisi
merusak toko-toko dan kendaraan milik warga yang ada di pinggir
jalan. Kerusuhan yang terjadi di Yogyakart berlangsung sampai
tanggal 8 Mei 1998.
Di Jakarta pun terjadi aksi mahasiswa yang berujung tindakan
kekerasan oleh aparta keamanan, yaitu di Universitas Mercu
Buana (UMB) dan Universitas Nasional (UNAS). Mahasiswa UMB
yang berorasi di jalan dipaksa mundur ke dalam kampus oleh polisi
dengan pentungan, gas air mata, dan peluru karet. Diperkirakan
ada 16 mahasiswa yang terluka akibat dari kejadian ini.
Di UNAS pun terjadi hal serupa. Mahasiswa dipaksa masuk
kembali ke dalam kampus dengan pentungan rotan dan gas air
mata. Dari UNAS ada 8 korban luka akibat aksi kekerasan aparat
keamanan ini. Selain di Jakarta dan Yogyakarta, hal seperti ini juga
terjadi di Medan, Bandung, dan Ujung Pandang (Makassar). Dari
semua aksi mahasiswa ini, tuntutannya sama, yaitu menginginkan
adanya reformasi di Indonesia, turunnya harga BBM dan harga
bahan makanan.
7 Mei 1998
Aksi yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat terus
berlangsung dan terjadi di banyak kota. Dari aksi-aksi tersebut
rata-rata berujung pada terjadinya kerusuhan akibat dari
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan.
Pada tanggal 7 Mei 1998, di Padang terjadi aksi demonstrasi besar
gabungan dari mahasiswa, pelajar, dan masyarakat. Pada saat itu
disertai dengan mogok massal angkutan umum. Massa yang
berkumpul melakukan long march sampai ke gedung Bupati
Padang dan melakukan mimbar bebas menyampaikan tuntutan
turunnya harga BBM dan terciptanya Reformasi di Indonesia. Pada
tanggal serupa juga terjadi aksi oleh mahasiswa di Palembang
bahkan di Samarinda dan Medan berbuntut pada kerusuhan yang
mengakibatkan jatuhnya korban.
>>>
12 Mei 1998
Empat orang mahasiswa Univeristas Trisakti tewas akibat
tembakan membabi buta aparat keamanan ke dalam kampus.
Pada hari itu, pukul 10.30 Senat Mahasiswa Universitas Trisakti
melakukan mimbar bebas yang menuntut Reformasi di Indonesia,
termasuk juga meminta Presiden Soeharto turun dari jabatannya.
Setelah Mimbar Bebas selesai ribuan mahasiswa, yang merupakan
gabungan dari mahasiswa Universitas Indonesia, Universitas Atma
Jaya, Universitas Tarumanegara, serta beberapa universitas
lainnya, turun ke jalan namun tidak mendapatkan izin dari aparat
keamanan untuk melanjutkan aksi ke gedung MPR/DPR. Dengan
kecewa, perlahan mahasiswa kembali satu-satu ke kampus
mereka, akan tetapi ada juga yang memilih untuk aksi duduk di
depan Kantor Walikota hingga pada akhirnya tercipta kerusuhan
karena aparat keamanan menghadiahkan tembakan gas air
mata dan peluru karet ke arah mahasiswa yang tidak mau dipaksa
mundur. Bentrok mahasiswa dengan aparat terus berlangsung
sampai terdengar tembakan ke arah kampus yang menyebabkan
4 orang tewas dan puluhan orang luka-luka.
Empat orang mahasiswa Trisakti yang tewas adalah:
Hery Hartanto
Hendriawan Sie
Haf idin Royan
Elang Mulyana
8-9 Mei 1998
Pada tanggal 8 Mei 1998, mahasiswa Universitas Sebelas Maret
(UNS) di Surakarta melakukan aksi mendukung Reformasi. Aksi ini
berujung pada bentrokan dengan aparat keamanan bahkan
mengakibatkan 1 orang mahasiswa ISI Yogyakarta, Yudi, meninggal
akibat ditembak oleh aparat keamanan dari jarak dekat.
Peristiwa berdarah ini juga terjadi di Yogyakarta. Pada tanggal 8-9
Mei 1998, Yogyakarta dilanda kerusuhan besar. Masyarakat
bergabung dengan mahasiswa dalam aksi menuntut turunnya
harga BBM dan Presiden Soeharto. Kerusuhan ini terjadi akibat
aparat keamanan yang melakukan tindakan kekerasan, membabi
buta menyerang mahasiswa dan warga yang bahkan tidak
melakukan perlawanan. Satu korban tewas adalah Moses
Gatutkaca yang merupakan mahasiswa Fakultas MIPA Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta. Korban diidentif ikasikan mengalami
pemukulan dan penyiksaan yang menyebabkan tulang dasar
otaknya retak. Selain itu, aparat keamanan bahkan memukuli
setiap orang yang ditemui di jalan, juga mengobrak abrik rumah
warga dan akan memukul setiap anak laki-laki yang ditemui di
dalam rumah tersebut.
13 Mei 1998
Setelah peristiwa penembakan di Universitas Trisakti yang
mengakibatkan 4 orang mahasiswa Universitas Trisakti tewas,
kondisi Jakarta semakin parah. Kerusuhan meletus di seluruh
wilayah Jakarta. Massa mulai melakukan penjarahan, pengrusakan
bahkan pembakaran toko-toko dan yang menjadi sasaran adalah
toko-toko milik keturunan Tionghoa. Selain itu, penjarahan,
pengerusakan, dan pembakaran show room mobil, bank, bahkan
pusat perbelanjaan seperti Yogya Plaza di Klender. Isu rasisme
mencuat di masyarakat seperti bahan bakar yang siap
menghanguskan Jakarta. Hal sadis lain yang terjadi adalah
perkosaan terhadap perempuan-perempuan keturunan Tionghoa.
Setelah mejarah dan merusak toko milik keturunan Tionghoa,
para pelaku kemudian mencari perempuan, baik itu anak atau ibu,
dan memperkosanya beramai-ramai.
15 Mei 1998
Kerusuhan masih berlangsung dan tindakan perkosaan terhadap
perempuan keturunan Tionghoa semakin meluas. Berdasarkan
laporan dari dokumentasi Temuan Tim Pencari Fakta Kerusuhan
Mei 1998 korban perkosaan melebihi angka 100 jiwa, termasuk
korban yang meninggal dunia.
Catatan:
Pangkostrad pada saat kerusuhan Mei 1998, yang juga seharusnya bertanggung jawab dan mempunyai peran besar dalam pergerakan anggota
ABRI adalah Letjen TNI Prabowo Subianto
Menhankam pada saat itu adalah Wiranto yang seharusnya bertanggung jawab terhadap keamanan negara.
Pius L. Lanang dan Desmond J. Mahesa yang merupakan korban penculikan Mei 1998 yang kembali saat ini menjadi pengurus di Partai Gerindra
dimana partai tersebut bentukan dari Prabowo yang merupakan salah satu orang yang berada di balik kerusuhan Mei 1998.
14 Mei 1998
Demonstrasi mahasiswa masih berlangsung di wilayah Jakarta,
salah satunya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di
Salemba yang dihadiri ribuan mahasiswa. Mimbar bebas dilakukan
dengan tuntutan turunnya Presiden Soeharto dan terciptanya
Reformasi di Indonesia. Aksi mahasiswa juga berlangsung di
Bogor, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Solo.
Penjarahan, pengerusakan, dan pembakaran toko masih terjadi di
seluruh wilayah Jakarta. Isu anti-Tionghoa pun semakin panas.
Perempuan keturunan Tionghoa semakin jadi sasaran tindakan
perkosaan. Tindakan tidak berperikemanusiaan semakin meluas
dan memakan banyak korban. Di daerah lain seperti Solo terjadi
hal serupa. Warga melakukan pembakaran show room mobil
Timor (milik Tommy Soeharto), dealer Yahama, swalayan,
toko-toko, mall, bank, bioskop, juga rumah-rumah mewah. Solo
menjadi lumpuh dan aparat kemanan tidak bisa melakukan
apa-apa.
18 Mei 1998
Di tanggal sebelumnya mahasiswa sudah mulai menduduki
kantor-kantor pemerintahan. Mahasiswa di Jakarta mulai
bergerak ke arah gedung MPR/DPR bahkan mahasiswa dari luar
daerah pun berdatangan. Di tanggal 18 Mei 1998, mahasiswa
berhasil meduduki gedung MPR/DPR sebagai simbol bahwa
Presiden Soeharto telah kehilangan kekuasaannya. Mahasiswa
terus meneriakkan tuntutan agar Presiden Soeharto yang pada
waktu itu ada di Mesir untuk turun dari jabatannya. Kerusuhan,
penjarahan, pembakaran, pemerkosaan masih terus berlangsung.
Jakarta lumpuh total dan dalam keadaan mencekam.
21 Mei 1998
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan
Presiden Republik Indonesia. Pengunduran dirinya ini disampaikan
melalui pidato di Istana Merdeka dan menyerahkan jabatan
presiden kepada wakilnya, B.J. Habibbie.
>> >>
A
N
O
N
I
M
U
S
PENUMPANG
GELAP
REFORMASI
Banyak yang berpendapat bahwa Reformasi 1998
seperti masakan yang disajikan sebelum matang.
Tuntutan reformasi total saat itu terpecah seketika
saat Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya.
Tuntutan reformasi total untuk menghabiskan rezim
sampai ke akar-akarnya menjadi blur dan terbagi
fokus dengan gagasan reformasi damai. Para
pendukung reformasi damai berpendapat: toh,
Soeharto sebagai simbol rezim Orde Baru kebapakan
yang murah senyum itu sudah turun. Mau apalagi?
Masih haruskah ada pertumpahan darah di
jalan-jalan? Harus ada lagikah nyawa yang melayang?
Sudahlah, waktunya merayakan sambil menanti!
Namun, pendukung reformasi total yang didominasi
oleh mahasiswa tersebut kecewa. Menurut mereka,
turunnya Soeharto tidak berarti reformasi. Reformasi
harus mengubah seluruh struktur, membangkitkan
kesadaran secara nasional, sehingga seluruh rakyat
dari Sabang sampai Merauke ini serentak
mengangguk setuju bahwa Orde Baru itu brengsek,
dan konsep pemerintahan baru pun dimulai. Jika saja
reformasi seperti ini yang terjadi, tak mungkin ada itu
stiker-kaos-dan-gambar-di belakang-bus-atau-truk
bergambar Pak Harto melambaikan tangan sambil
bilang, Piye Kabare? Enak jamanku tho?
Menyebarnya meme tersebut adalah bukti bahwa
reformasi baru sampai dahan.
Tengok saja pemerintahan selanjutnya dengan para
Soehartois yang masih duduk. Golkar masih hidup.
Soeharto boleh turun, tapi tidak dengan kebobrokan
birokrasi dan sistem negara kita. Ekstrak Soeharto
masih mengalir dan tak pernah berhenti
menggentayangi politik kita. Bahkan sampai pada
Pemilihan Umum tahun ini. Partai yang diusung oleh
orang-orang Soeharto tidak cuma satu. Tokoh-tokoh
yang dulu bekerja di bawah Soeharto bahkan dengan
percaya dirinya maju ke arena pemilihan presiden.
Dengan slogan-slogan baru dan janji-janji yang didaur
ulang.
Ngomong-ngomong soal daur ulang, akhir-akhir ini
ada yang sedang gemar sekali menggunakan
kata-kata daur ulang untuk mendef inisikan
suara-suara aktivis pro-Reformasi. Mereka yang
menuntut penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM
masa lalu, yang menginginkan demokrasi tak sebatas
pemilu, dan mengandaikan keadilan tanpa pandang
bulu, dicap sebagai pasukan nasi bungkus yang gemar
memojokkan pihak tertentu. Mendaur ulang? Hei, kita
bicara soal nyawa manusia, bukan kaleng bekas
minuman!
Reformasi, menurut KBBI, memiliki arti sebagai
sebuah perubahan drastis untuk perbaikan
(bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, dsb) di
suatu masyarakat atau negara. Idealnya,
reformasi menghasilkan sebuah kondisi baru,
di mana semua rakyat negara ini
(dimungkinkan untuk) sejahtera. Atau,
selemah-lemahnya iman, paling tidak
reformasi menjamin bahwa proses
demokratisasi di republik ini tidak jalan di
tempat. Tapi sayang, reformasi kini ternyata
dimanfaatkan oleh mereka yang Nandra J
Piliang sebut dalam bukunya sebagai:
penumpang gelap demokrasi. Layaknya
penumpang gelap pada umumnya, mereka
hanya mengutamakan kepentingan mereka
tanpa benar-benar peduli orang-orang di
sebelahnya. Mereka hanya mengedepankan
mimpi-mimpinya untuk berkuasa, tanpa
sebetulnya berpihak pada kesetaraan,
kemajemukan, dan keadilan - sebagai cita-cita
demokrasi yang utuh.
Di tengah situasi sekarang ini di mana kasus
penghilangan paksa (penculikan aktivis
1997-1998) mandek di Kejaksaan Agung, di
mana sebuah kabupaten di Jawa Timur masih
terus bercokol di kubangan lumpur panas, dan
di mana sekelompok warga negara masih
harus terus mengungsi di tempat tidak layak
hanya karena memiliki keyakinan berbeda
dengan orang kebanyakan, tampaknya kita
memang harus waspada. Waspada terhadap
segala tindak-tanduk penumpang gelap
reformasi yang seenaknya mengobral kata
jujur, adil, sejahtera, dan perubahan, semurah
gorengan. Seperti halnya kebanyakan makan
gorengan, sehabis itu mungkin kita akan
kenyang, namun tak lama akan sakit
tenggorokan. Kita mungkin akan
merasa janji-janji mereka memuaskan,
namun makin lama kita akan merasa
bahwa yang dijanjikan itu tidaklah
sungguh-sungguh terjadi.
Standar rasa aman dan nyaman hidup
kita pasca Reformasi 1998 harus
dipertinggi. Kita harus peka bahwa
masih banyak hutang-hutang Orde
Baru yang belum selesai.
Masalah-masalah yang rezim bobrok itu
tinggalkan masih menggunung dan
tersimpan rapi dalam kemasan baru
yang saru. Kita tidak bisa begitu saja
percaya kepada mereka yang konon
"berjuang untuk rakyat." Karena
sesungguhnya semua orang bisa jadi
jahat jika sudah berkuasa, bisa jadi
pelupa akut, bahkan bisa jadi ilusionis
handal kapanpun mereka mau.
Apakah kita mau terus-terusan makan
masakan yang belum matang? Apakah
kita sebegitu mudahnya tertipu (lagi)
dan memilih remah-remah Orba yang
menyamar di kotak-kotak suara pemilu?
Kotak Suara Mesin Waktu
Hei kamu yang baru mandi
berjalan menuju mesin waktu
berbentuk kotak suara
Gambar partai dan kepala berpeci
Navigasi yang perlu kamu bolongi
Tak semua tombol menuju masa depan
Tak semua tombol menuju mana-mana
Bisa saja kamu ke bulan
Mendarat di tahun duaribu sekian belas
Atau hanya ke sebelum sembilan lapan
Yang turunkan lagi harga beras
Di mesin waktu yang kaucoblos
Banyak remah-remah orba
Yang sok polos
Yang coba-coba
pam
flet.
or.id

También podría gustarte