Está en la página 1de 9

Al-Kindi Filosof Islam Pertama

Ditulis oleh Ruswandi di/pada September 24, 2008

Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun


dia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu
kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.

”Al-Kindi adalah salah satu dari 12 pemikir terbesar di abad pertengahan,”


cetus sarjana Italia era Renaissance, Geralomo Cardano (1501-1575). Di
mata sejarawan Ibnu Al-Nadim, Al-Kindi merupakan manusia terbaik pada
zamannya. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Dunia pun
mendapuknya sebagai filosof Arab yang paling tangguh.

Ilmuwan kelahiran Kufah, 185 H/801 M itu bernama lengkap Abu Yusuf
Ya’qub bin Ishak bin Sabah bin Imran bin Ismail bin Muhammad bin Al-
Asy’ats bin Qais Al-Kindi. Ia berasal dari sebuah keluarga pejabat.
Keluarganya berasal dari suku Kindah — salah satu suku Arab yang besar
di Yaman — sebelum Islam datang. Nenek moyangnya kemudian hijrah ke
Kufah.

Ayahnya bernama Ibnu As-Sabah. Sang ayah pernah menduduki jabatan


Gubernur Kufah pada era kepemimpinan Al-Mahdi (775-785) dan Harun
Arrasyid (786-809). Kakeknya Asy’ats bin Qais kakeknya AL-Kindi dikenal
sebagah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Bila ditelusuri
nasabnya, Al-Kindi merupakan keturunan Ya’rib bin Qathan, raja di wilayah
Qindah.

Pendidikan dasar ditempuh Al-Kindi di tanah kelahirannya. Kemudian, dia


melanjutkan dan menamatkan pendidikan di Baghdad. Sejak belia, dia
sudah dikenal berotak encer. Tiga bahasa penting dikuasainya, yakni
Yunani, Suryani, dan Arab. Sebuah kelebihan yang jarang dimiliki orang
pada era itu.

Al-Kindi hidup di era kejayaan Islam Baghdad di bawah kekuasaan Dinasti


Abbasiyah. Tak kurang dari lima periode khalifah dilaluinya yakni, Al-Amin
(809-813), Al-Ma’mun (813-833), Al-Mu’tasim, Al-Wasiq (842-847) dan
Mutawakil (847-861). Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai
berbagai ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru
dan tabib kerajaan.

Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di Baitulhikmah (House of


Wisdom) yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu
pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti Yunani. Ketika Khalifah Al-
Ma’mun tutup usia dan digantikan puteranya, Al-Mu’tasim, posisi Al-Kindi
semakin diperhitungkan dan mendapatkan peran yang besar. Dia secara
khusus diangkat menjadi guru bagi puteranya.

Al-Kindi mampu menghidupkan paham Muktazilah. Berkat peran Al-Kindi


pula, paham yang mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai
paham resmi kerajaan. Menurut Al-Nadhim, selama berkutat dan bergelut
dengan ilmu pengetahuan di Baitulhikmah, Al-Kindi telah melahirkan 260
karya. Di antara sederet buah pikirnya dituangkan dalam risalah-risalah
pendek yang tak lagi ditemukan. Karya-karya yang dihasilkannya
menunjukan bahwa Al-Kindi adalah seorang yang berilmu pengetahuan
yang luas dan dalam.

Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai bidang, seperti filsafat, logika,


ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika,
psikologi, politik dan meteorologi. Bukunya yang paling banyak adalah
geometri sebanyak 32 judul. Filsafat dan kedokteran masing-masing
mencapai 22 judul. Logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12 judul.

Buah pikir yang dihasilkannya begitu berpengaruh terhadap


perkembangan peradaban Barat pada abad pertengahan. Karya-karyanya
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Eropa. Buku-buku itu
tetap digunakan selama beberapa abad setelah ia meninggal dunia.

Al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim pertama, karena dialah orang Islam
pertama yang mendalami ilmu-ilmu filsafat. Hingga abad ke-7 M, filsafat
masih didominasi orang Kristen Suriah. Al-Kindi tak sekedar
menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga
menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya
yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.

Setelah era Khalifah AL-Mu’tasim berakhir dan tampuk kepemimpin


beralih ke Al-watiq dan Al-Mutawakkil, peran Al-Kindi semakin dipersempit.
Namun, tulisan kaligrafinya yang menawan sempat membuat Khalifah
kepincut. Khalifah AL-Mutawakkil kemudian mendapuknya sebagai ahli
kaligrafi istana. Namun, itu tak berlangsung lama.

Ketika Khalifah Al-Mutawakkil tak lagi menggunakan paham Muktazilah


sebagai aliran pemikiran resmi kerajaan, Al-Kindi tersingkir. Ia dipecat dari
berbagai jabatan yang sempat diembannya. Jabatannya sebagai guru
istana pun diambil alih ilmuwan lain yang tak sepopuler Al-Kindi. Friksi pun
sempat terjadi, perpustakaan pribadinya sempat diambil alih putera-
putera Musa. Namun akhirnya Al-Kindiyah - perpustakaan pribadi itu -
dikembalikan lagi.

Sebagai penggagas filsafat murni dalam dunia Islam, Al-Kindi memandang


filasafat sebagai ilmu pengetahuan yang mulia. Sebab, melalui filsafat-lah,
manusia bisa belajar mengenai sebab dan realitas Ilahi yang pertama da
merupakan sebab dari semua realitas lainnya.

Baginya, filsafat adalah ilmu dari segala ilmu dan kearifan dari segala
kearifan. Filsafat, dalam pandangan Al-Kindi bertujuan untuk memperkuat
agama dan merupakan bagian dari kebudayaan Islam.

Salah seorang penulis buku tentang studi Islam, Henry Corbin,


menggambarkan akhir hayat dari sang filosof Islam. Menurut Corbin, pada
tahun 873, Al-Kindi tutup usia dalam kesendirian dan kesepian. Saat itu,
Baghdad tengah dikuasai rezim Al-Mu’tamid. Begitu dia meninggal, buku-
buku filsafat yang dihasilkannya banyak yang hilang.

Sejarawan Felix Klein-Franke menduga lenyapnya sejumlah karya filsafat


Al-Kindi akibat dimusnahkan rezim Al-Mutawakkil yang tak senang dengan
paham Muktazilah. Selain itu, papar Klein-Franke, bisa juga lenyapnya
karya-karya AL-Kindi akibat ulah serangan bangsa Mongol di bawah
pimpinan Hulagu Khan yang membumihanguskan kota Baghdad dan
Baitulhikmah.

Hingga kini, Al-Kindi tetap dikenang sebagai ilmuwan Islam yang banyak
berjasa bagi ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.

Kitab Pemecah Kode

Sebagai ilmuwan serba bisa, Al-Kindi tak cuma melahirkan pemikiran di


bidang filsafat saja. Salah satu karyanya yang termasuk fenomenal adalah
Risalah Fi Istikhraj al-Mu’amma. Kitab itu mengurai dan membahas
kriptologi atau seni memecahkan kode. Dalam kitabnya itu, Al-Kindi
memaparkan bagaimana kode-kode rahasia diurai.

Teknik-teknik penguraian kode atau sandi-sandi yang sulit dipecahkan


dikupas tuntas dalam kitab itu. Selain itu, ia juga mengklasifikasikan
sandi-sandi rahasia serta menjelaskan ilmu fonetik Arab dan sintaksisnya.
Yang paling penting lagi, dalam buku tersebut, A-Kindi mengenalkan
penggunaan beberapa teknik statistika untuk memecahkan kode-kode
rahasia.

Kriptografi dikuasainya, lantaran dia pakar di bidang matematika. Di area


ilmu ini, ia menulis empat buku mengenai sistem penomoran dan menjadi
dasar bagi aritmatika modern. Al-Kindi juga berkontribusi besar dalam
bidang geometri bola, bidang yang sangat mendukungnya dalam studi
astronomi

Bekerja di bidang sandi-sandi rahasia dan pesan-pesan tersembunyi


dalam naskah-naskah asli Yunani dan Romawi mempertajam nalurinya
dalam bidang kriptoanalisa. Ia menjabarkannya dalam sebuah makalah,
yang setelah dibawa ke Barat beberapa abad sesudahnya diterjemahkan
sebagai Manuscript on Deciphering Cryptographic Messages. ”Salah satu
cara untuk memecahkan kode rahasia, jika kita tahu bahasannya adalah
dengan menemukan satu naskah asli yang berbeda dari bahasa yang
sama, lalu kita hitung kejadian-kejadian pada tiap naskah Pilah menjadi
naskah kejadian satu, kejadian dua, dan seterusnya,” kata Al-Kindi.

Setelah itu, lanjut Al-Kindi, baru kemudian dilihat kepada teks rahasia
yang ingin dipecahkan. Setelah itu dilanjutkan dengan melakukan
klasifikasi simbol-simbolnya. ”Di situ kita akan menemukan simbol yang
paling sering muncul, lalu ubahlah dengan catatan kejadian satu, dua, dan
seterusnya itu, sampai seluruh simbol itu terbaca.”
Teknik itu, kemudian dikenal sebagai analisa frekuensi dalam kriptografi,
yaitu cara paling sederhana untuk menghitung persentase bahasa khusus
dalam naskah asli, persentase huruf dalam kode rahasia, dan
menggantikan simbol dengan huruf.

Filsafat Al-Kindi

Bagi Al-Kindi, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mulia. Filsafatnya


tentang keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga proposisi
filosofis. Menurut dia, Tuhan tak mempunyai hakikat, baik hakikat secara
juz’iyah atau aniyah (sebagian) maupun hakikat kulliyyah atau mahiyah
(keseluruhan).

Dalam pandangan filsafat Al-Kindi, Tuhan tidak merupakan genus atau


species. Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah yang Benar Pertama (al-
Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal. AL-Kindi juga menolak pendapat
yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah
merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku
pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera.

Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain


yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut
haruslah tak terpisahkan dengan Zat-Nya. Jiwa atau roh adalah salah satu
pembahasan Al-Kindi. Ia juga merupakan filosof Muslim pertama yang
membahas hakikat roh secara terperinci.

Al-Kindi membagi roh atau jiwa ke dalam tiga daya, yakni daya nafsu,
daya pemarah, dan daya berpikir. Menurutnya, daya yang paling penting
adalah daya berpikir, karena bisa mengangkat eksistensi manusia ke
derajat yang lebih tinggi.

Al-Kindi juga membagi akal mejadi tiga, yakni akal yang bersifat potensial,
akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi aktual, dan akal yang
telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.

Akal yang bersifat potensial, papar Al-Kindi, tak bisa mempunyai sifat
aktual, jika tak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Oleh
karena itu, menurut Al-Kindi, masih ada satu macam akal lagi, yakni akal
yang selamanya dalam aktualitas.

Republika

(heri ruslan )

http://www.kebunhikmah.com/article-detail.php?artid=352

Abu Yusuf Ya'qub Al-Kindi

Saturday, February 23, 2008

(Filosof Muslim Pertama)


Sejarah telah mencatat, bahwa orang yang pertama kali belajar dan
mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau sophists (500-400 SM)
adalah Socrates (469-399 SM), kemudian diteruskan oleh Plato (427-457
SM). Lalu diteruskan kembali oleh muridnya yang bernama Aristoteles
(384-322 SM). Setelah zaman Aristoteles usai, sejarah tidak mencatat lagi
generasi penerus para filosof terdahulu hingga lahirlah sosok filosof
muslim pertama pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyyah (132-656
H).

Beliau adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin al-Shabbah bin Imran bin
Mubin al-Asy'ats bin Qais al-Kindi, atau lebih populer dengan sebutan al-
Kindi. Beliau lahir di Kufah sekitar 185 H (801 M) dari keluarga berada dan
terpelajar. Kakek buyutnya yang bernama al-Asy'ats bin Qais adalah salah
seorang sahabat Nabi yang gugur bersama Sa'ad bin Abi Waqash dalam
sebuah peperangan antara kaum muslimin dengan Persia di Irak.
Sedangkan ayahnya, Ishaq bin al-Shabbah adalah gubernur Kufah pada
masa pemerintahan al-Mahdi (775-785 M) dan al-Rasyid (786-809 M).
Walaupun sang Gubernur sibuk dengan kegiatan-kegiatan politiknya, ia
tetap memberikan perhatian penuh terhadap pendidikan putra
tersayangnya, dan dengan kekayaan yang dimiliknya ia memberikan
fasilitas dan sekolah yang terbaik bagi putranya. Al-Kindi memulai
perjalanan intelektualnya dari tanah kelahirannya sendiri yaitu Kufah,
kemudian melanjutkan pendidikannya ke kota Bashrah, yang pada saat itu
merupakan pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan tempat utama gerakan
pemikiran dan filsafat. Di Bashrah ia mempelajari ilmu-ilmu keagamaan,
matematika dan filsafat. Tetapi tampaknya beliau begitu tertarik kepada
filsafat dan ilmu pengetahuan, sehingga setelah ia pindah ke Baghdad,
beliau mengabdikan seluruh sisa hidupnya untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan seperti matematika, fisika, astronomi,
ilmu mantiq, seni musik hingga filsafat.

Corak dan bentuk filsafat al-Kindi tidak banyak diketahui karena buku-
bukunya tentang filsafat banyak yang hilang. Baru pada zaman
belakangan, para peminat filsafat menemukan kurang lebih 20 risalah al-
Kindi dalam tulisan tangan. Mereka yang berminat besar menelaah filsafat
Islam, baik kaum orientalis barat maupun orang-orang Arab sendiri, telah
menerbitkan risalah-risalah tersebut. Dengan demikian, orang mudah
menemukan kejelasan mengenai posisi dan paham al-Kindi dalam
filsafatnya. Menurut al-Kindi, filsafat adalah pengetahuan kepada yang
benar (knowledge of truth). Al-Quran yang membawa argumen-argumen
yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan
kebenaran yang dihasilkan filsafat. Bertemunya agama dan filsafat dalam
kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Dengan
demikian, menurut al-Kindi, orang yang menolak filsafat berarti
mengingkari kebenaran. Beliau mengibaratkan orang yang mengingkari
kebenaran tersebut tidak jauh berbeda dengan orang yang
memperdagangkan agama, dan orang itu pada hakekatnya tidak lagi
beragama karena ia telah menjual agamanya. Pada beberapa hal, al-Kindi
sependapat dengan filosof terdahulunya seperti Plato dan Arisoteles.
Namun, dalam hal-hal tertentu, al-Kindi mempunyai pandangannya
sendiri.

Para sejarawan sepakat untuk menempatkan al-Kindi sebagai seorang


muslim pertama yang mempelajari filsafat. Selain seorang filosof, al-Kindi
juga dikenal juga sebagai penerjemah terbaik di masanya. Sepeninggal al-
Kindi, muncullah filosof-filosof muslim kenamaan yang terus
mengembangkan filsafat. Di antara mereka adalah al-Farabi, Ibnu Sina,
Ibnu Rusyd, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad
Iqbal.Wallahu A'lam. [nerazzura]

Al-Kindi, Ibnu Sahl, Ibnu Al-Haitham : Tiga Ilmuwan Islam Pelopor Ilmu
Optik

Kategori : Sumbangan Islam Bagi Ilmu Pengetahuan

Kamis, 15 Mei 2008 @ 08:48:29

Hits 836

Cetak 105

Kirim 21

''Ilmu optik merupakan penemuan ilmiah para sarjana Muslim yang paling
orisinil dan penting dalam sejarah Islam,'' ungkap Howard R Turner dalam
bukunya Science in Medieval Islam. Pernyataan Turner itu membuktikan
bahwa dunia modern yang didominasi Barat saat ini tak boleh menafikkan
peran sarjana Muslim di era keemasan. Sebab, dari para ilmuwan
Muslimlah, sarjana Barat seperti Leonardo da Vinci, Kepler, Roger Bacon,
serta yang lainnya belajar ilmu optik.

Keberhasilan umat Islam menguasai bidang optik di masa kekhalifahan


berawal dari kerja keras para filosof, matematikus, dan ahli kesehatan
yang mempelajari sifat fundamental dan cara bekerja pandangan dan
cahaya. Di abad ke-9 M, ilmuwan Muslim dengan tekun menggali dan
mempelajari karya-karya ilmuwan Yunani seperti Euclid serta risalah-
risalah astronom Mesir, Ptolemeus tentang optik.
Ilmuwan Muslim pertama yang mencurahkan pikirannya untuk mengkaji
ilmu optik adalah Al-Kindi (801 M - 873 M). Hasil kerja kerasnya mampu
menghasilkan pemahaman baru tentang refleksi cahaya serta prinsip-
prinsip persepsi visual. Buah pikir Al-Kindi tentang optik terekam dalam
kitab berjudul De Radiis Stellarum. Buku yang ditulisnya itu sangat
berpengaruh bagi sarjana Barat seperti Robert Grosseteste dan Roger
Bacon.

Tak heran, bila teori-teori yang dicetuskan Al-Kindi tentang ilmu optik
telah menjadi hukum-hukum perspektif di era Renaisans Eropa. Secara
lugas, Al-Kindi menolak konsep tentang penglihatan yang dilontarkan
Aristoteles. Dalam pandangan ilmuwan Yunani itu, penglihatan merupakan
bentuk yang diterima mata dari obyek yang sedang dilihat. Namun,
menurut Al-Kindi penglihatan justru ditimbulkan daya pencahayaan yang
berjalan dari mata ke obyek dalam bentuk kerucut radiasi yang padat.

Seabad kemudian, sarjana Muslim lainnya yang menggembangkan ilmu


optik adalah Ibnu Sahl (940 M - 100 M). Sejatinya, Ibnu Sahl adalah
seorang matematikus yang mendedikasikan dirinya di Istana Baghdad.
Pada tahun 984 M, dia menulis risalah yang berjudul On Burning Mirrors
and Lenses (pembakaran dan cermin dan lensa). Dalam risalah itu, Ibnu
Sahl mempelajari cermin membengkok dan lensa membengkok serta titik
api cahaya.

Ibnu Sahl pun menemukan hukum refraksi (pembiasan) yang secara


matematis setara dengan hukum Snell. Dia menggunakan hukum tentang
pembiasan cahaya untuk memperhitungkan bentuk-bentuk lensa dan
cermin yang titik fokus cahanya berada di sebuah titik di poros.

Ilmuwan Muslim yang paling populer di bidang optik adalah Ibnu Al-
Haitham (965 M - 1040 M). Menurut Turner, Al-Haitham adalah sarjana
Muslim yang mengkaji ilmu optik dengan kualitas riset yang tinggi dan
sistematis. "Pencapaian dan keberhasilannya begitu spektakuler,'' puji
Turner.

Al-Haitham adalah sarjana pertama menemukan pelbagai data penting


mengenai cahaya. Salah satu karyanya yang paling fenomenal adalah
Kitab Al-Manazir (Buku Optik). Dalam kitab itu, ia menjelaskan beragam
fenomena cahaya termasuk sistem penglihatan manusia. Saking
fenomenalnya, kitab itu telah menjadi buku rujukan paling penting dalam
ilmu optik. Selama lebih dari 500 tahun buku dijadikan pegangan.

Pada tahun 1572 M, Kitab Al-Manadzir diterjemahkan kedalam bahasa


Latin Opticae Thesaurus. Dalam kitab itu, dia mengupas ide-idenya
tentang cahaya. Sang ilmuwan Muslim itu meyakini bahwa sinar cahaya
keluar dari garis lurus dari setiap titik di permukaan yang bercahaya.

Selain itu, Al-Haitham memecahkan misteri tentang lintasan cahaya


melalui berbagai media melalui serangkaian percobaan dengan tingkat
ketelitian yang tinggi. Keberhasilannya yang lain adalah ditemukannya
teori pembiasan cahaya. Al-Haitham pun sukses melakukan eksperimen
pertamanya tentang penyebaran cahaya terhadap berbagai warna.

Tak cuma itu, dalam kitab yang ditulisnya, Alhazen - begitu dunia Barat
menyebutnya - juga menjelaskan tentang ragam cahaya yang muncul
saat matahari terbenam. Ia pun mencetuskan teori tentang berbagai
macam fenomena fisik seperti bayangan, gerhana, dan juga pelangi. Ia
juga melakukan percobaan untuk menjelaskan penglihatan binokular dan
memberikan penjelasan yang benar tentang peningkatan ukuran matahari
dan bulan ketika mendekati horison.

Keberhasilan lainnya yang terbilang fenomenal adalah kemampuannya


menggambarkan indra penglihatan manusia secara detail. Tak heran, jika
'Bapak Optik' dunia itu mampu memecahkan rekor sebagai orang pertama
yang menggambarkan seluruh detil bagian indra pengelihatan manusia.
Hebatnya lagi, ia mampu menjelaskan secara ilmiah proses bagaimana
manusia bisa melihat.

Teori yang dilahirkannya juga mampu mematahkan teori penglihatan yang


diajukan dua ilmuwan Yunani, Ptolemy dan Euclid. Kedua ilmuwan ini
menyatakan bahwa manusia bisa melihat karena ada cahaya keluar dari
mata yang mengenai objek. Berbeda dengan keduanya, Ibnu Haytham
mengoreksi teori ini dengan menyatakan bahwa justru objek yang
dilihatlah yang mengeluarkan cahaya yang kemudian ditangkap mata
sehingga bisa terlihat.

Secara detail, Al-Haitham pun menjelaskan sistem penglihatan mulai dari


kinerja syaraf di otak hingga kinerja mata itu sendiri. Ia juga menjelaskan
secara detil bagian dan fungsi mata seperti konjungtiva, iris, kornea,
lensa, dan menjelaskan peranan masing-masing terhadap penglihatan
manusia. Hasil penelitian Al-Haitham itu lalu dikembangkan Ibnu Firnas di
Spanyol dengan membuat kaca mata.

Dalam buku lainnya yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris berjudul


Light dan On Twilight Phenomena Al-Haitham membahas mengenai senja
dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari serta bayang-bayang
dan gerhana. Menurut Al-Haitham, cahaya fajar bermula apabila matahari
berada di garis 19 derajat ufuk timur. Warna merah pada senja akan
hilang apabila matahari berada di garis 19 derajat ufuk barat. Ia pun
menghasilkan kedudukan cahaya seperti bias cahaya dan pembalikan
cahaya.

Al-Haitham juga mencetuskan teori lensa pembesar. Teori itu digunakan


para saintis di Italia untuk menghasilkan kaca pembesar pertama di dunia.
Pada abad ke-13 M, fisikawan Muslim lainnya yang banyak berkontribusi
dalam bidang optik adalah Kamaluddin Al-Farisi. Dia mampu menjelaskan
fenomena pelangi. Melalui penelitian yang dilakukannya, ia berhasil
mengungkapkan bagaimana cahaya matahari direfraksi melalui hujan
serta terbentuknya pelangi primer dan sekunder. Itulah peran sarjana
Muslim di era kekhalifahan dalam bidang optik. heri ruslan

También podría gustarte