Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Ilmuwan kelahiran Kufah, 185 H/801 M itu bernama lengkap Abu Yusuf
Ya’qub bin Ishak bin Sabah bin Imran bin Ismail bin Muhammad bin Al-
Asy’ats bin Qais Al-Kindi. Ia berasal dari sebuah keluarga pejabat.
Keluarganya berasal dari suku Kindah — salah satu suku Arab yang besar
di Yaman — sebelum Islam datang. Nenek moyangnya kemudian hijrah ke
Kufah.
Al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim pertama, karena dialah orang Islam
pertama yang mendalami ilmu-ilmu filsafat. Hingga abad ke-7 M, filsafat
masih didominasi orang Kristen Suriah. Al-Kindi tak sekedar
menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga
menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya
yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.
Baginya, filsafat adalah ilmu dari segala ilmu dan kearifan dari segala
kearifan. Filsafat, dalam pandangan Al-Kindi bertujuan untuk memperkuat
agama dan merupakan bagian dari kebudayaan Islam.
Hingga kini, Al-Kindi tetap dikenang sebagai ilmuwan Islam yang banyak
berjasa bagi ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.
Setelah itu, lanjut Al-Kindi, baru kemudian dilihat kepada teks rahasia
yang ingin dipecahkan. Setelah itu dilanjutkan dengan melakukan
klasifikasi simbol-simbolnya. ”Di situ kita akan menemukan simbol yang
paling sering muncul, lalu ubahlah dengan catatan kejadian satu, dua, dan
seterusnya itu, sampai seluruh simbol itu terbaca.”
Teknik itu, kemudian dikenal sebagai analisa frekuensi dalam kriptografi,
yaitu cara paling sederhana untuk menghitung persentase bahasa khusus
dalam naskah asli, persentase huruf dalam kode rahasia, dan
menggantikan simbol dengan huruf.
Filsafat Al-Kindi
Al-Kindi membagi roh atau jiwa ke dalam tiga daya, yakni daya nafsu,
daya pemarah, dan daya berpikir. Menurutnya, daya yang paling penting
adalah daya berpikir, karena bisa mengangkat eksistensi manusia ke
derajat yang lebih tinggi.
Al-Kindi juga membagi akal mejadi tiga, yakni akal yang bersifat potensial,
akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi aktual, dan akal yang
telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.
Akal yang bersifat potensial, papar Al-Kindi, tak bisa mempunyai sifat
aktual, jika tak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Oleh
karena itu, menurut Al-Kindi, masih ada satu macam akal lagi, yakni akal
yang selamanya dalam aktualitas.
Republika
(heri ruslan )
http://www.kebunhikmah.com/article-detail.php?artid=352
Beliau adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin al-Shabbah bin Imran bin
Mubin al-Asy'ats bin Qais al-Kindi, atau lebih populer dengan sebutan al-
Kindi. Beliau lahir di Kufah sekitar 185 H (801 M) dari keluarga berada dan
terpelajar. Kakek buyutnya yang bernama al-Asy'ats bin Qais adalah salah
seorang sahabat Nabi yang gugur bersama Sa'ad bin Abi Waqash dalam
sebuah peperangan antara kaum muslimin dengan Persia di Irak.
Sedangkan ayahnya, Ishaq bin al-Shabbah adalah gubernur Kufah pada
masa pemerintahan al-Mahdi (775-785 M) dan al-Rasyid (786-809 M).
Walaupun sang Gubernur sibuk dengan kegiatan-kegiatan politiknya, ia
tetap memberikan perhatian penuh terhadap pendidikan putra
tersayangnya, dan dengan kekayaan yang dimiliknya ia memberikan
fasilitas dan sekolah yang terbaik bagi putranya. Al-Kindi memulai
perjalanan intelektualnya dari tanah kelahirannya sendiri yaitu Kufah,
kemudian melanjutkan pendidikannya ke kota Bashrah, yang pada saat itu
merupakan pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan tempat utama gerakan
pemikiran dan filsafat. Di Bashrah ia mempelajari ilmu-ilmu keagamaan,
matematika dan filsafat. Tetapi tampaknya beliau begitu tertarik kepada
filsafat dan ilmu pengetahuan, sehingga setelah ia pindah ke Baghdad,
beliau mengabdikan seluruh sisa hidupnya untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan seperti matematika, fisika, astronomi,
ilmu mantiq, seni musik hingga filsafat.
Corak dan bentuk filsafat al-Kindi tidak banyak diketahui karena buku-
bukunya tentang filsafat banyak yang hilang. Baru pada zaman
belakangan, para peminat filsafat menemukan kurang lebih 20 risalah al-
Kindi dalam tulisan tangan. Mereka yang berminat besar menelaah filsafat
Islam, baik kaum orientalis barat maupun orang-orang Arab sendiri, telah
menerbitkan risalah-risalah tersebut. Dengan demikian, orang mudah
menemukan kejelasan mengenai posisi dan paham al-Kindi dalam
filsafatnya. Menurut al-Kindi, filsafat adalah pengetahuan kepada yang
benar (knowledge of truth). Al-Quran yang membawa argumen-argumen
yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan
kebenaran yang dihasilkan filsafat. Bertemunya agama dan filsafat dalam
kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Dengan
demikian, menurut al-Kindi, orang yang menolak filsafat berarti
mengingkari kebenaran. Beliau mengibaratkan orang yang mengingkari
kebenaran tersebut tidak jauh berbeda dengan orang yang
memperdagangkan agama, dan orang itu pada hakekatnya tidak lagi
beragama karena ia telah menjual agamanya. Pada beberapa hal, al-Kindi
sependapat dengan filosof terdahulunya seperti Plato dan Arisoteles.
Namun, dalam hal-hal tertentu, al-Kindi mempunyai pandangannya
sendiri.
Al-Kindi, Ibnu Sahl, Ibnu Al-Haitham : Tiga Ilmuwan Islam Pelopor Ilmu
Optik
Hits 836
Cetak 105
Kirim 21
''Ilmu optik merupakan penemuan ilmiah para sarjana Muslim yang paling
orisinil dan penting dalam sejarah Islam,'' ungkap Howard R Turner dalam
bukunya Science in Medieval Islam. Pernyataan Turner itu membuktikan
bahwa dunia modern yang didominasi Barat saat ini tak boleh menafikkan
peran sarjana Muslim di era keemasan. Sebab, dari para ilmuwan
Muslimlah, sarjana Barat seperti Leonardo da Vinci, Kepler, Roger Bacon,
serta yang lainnya belajar ilmu optik.
Tak heran, bila teori-teori yang dicetuskan Al-Kindi tentang ilmu optik
telah menjadi hukum-hukum perspektif di era Renaisans Eropa. Secara
lugas, Al-Kindi menolak konsep tentang penglihatan yang dilontarkan
Aristoteles. Dalam pandangan ilmuwan Yunani itu, penglihatan merupakan
bentuk yang diterima mata dari obyek yang sedang dilihat. Namun,
menurut Al-Kindi penglihatan justru ditimbulkan daya pencahayaan yang
berjalan dari mata ke obyek dalam bentuk kerucut radiasi yang padat.
Ilmuwan Muslim yang paling populer di bidang optik adalah Ibnu Al-
Haitham (965 M - 1040 M). Menurut Turner, Al-Haitham adalah sarjana
Muslim yang mengkaji ilmu optik dengan kualitas riset yang tinggi dan
sistematis. "Pencapaian dan keberhasilannya begitu spektakuler,'' puji
Turner.
Tak cuma itu, dalam kitab yang ditulisnya, Alhazen - begitu dunia Barat
menyebutnya - juga menjelaskan tentang ragam cahaya yang muncul
saat matahari terbenam. Ia pun mencetuskan teori tentang berbagai
macam fenomena fisik seperti bayangan, gerhana, dan juga pelangi. Ia
juga melakukan percobaan untuk menjelaskan penglihatan binokular dan
memberikan penjelasan yang benar tentang peningkatan ukuran matahari
dan bulan ketika mendekati horison.