Está en la página 1de 21

HUBUNGAN KINERJA PENGAWAS MINUM OBAT TERHADAP KETERATURAN BEROBAT PASIEN TUBERKULOSIS STRATEGI DOTS Studi Kasus di Puskesmas

Bangetayu Semarang

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (DEPKES RI, 2007). Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh kuman TB. Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency) (WHO, 2007). Di Indonesia, TB merupakan masalah kesehatan utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk (DEPKES, 2007). WHO telah merekomendasikan strategi Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Istilah DOTS dapat diartikan pengawasan langsung menelan obat jangka pendek oleh Pengawas Minum Obat (PMO) selama 6 bulan. (WHO,1997). Tetapi penanggulangan dan pemberantasan penyakit TB sampai saat ini masih belum memuaskan (Sembiring, 2001). Kegagalan pengobatan dan kurang kedisiplinan bagi penderita TB Paru sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah peran PMO. PMO sangat penting untuk mendampingi penderita agar dicapai hasil pengobatan yang optimal (DepKes, 2000). Kolaborasi petugas kesehatan dengan keluarga yang ditunjuk untuk mendampingi ketika penderita minum obat, juga faktor yang perlu dievaluasi untuk menentukan tingkat keberhasilannya (Purwanta, 2005).

Dari lima komponen kunci strategi DOTS, komitmen politik, distribusi obat, deteksi kasus, pencatatan dan pelaporan sudah dilaksanakan dengan baik. Hanya pengawasan oleh PMO yang masih susah dikendalikan akibat karateristik PMO yang bersifat individual. Apabila PMO berfungsi secara optimal, PMO dapat menjelaskan kepada penderita bagaimana pentingnya pengobatan rutin bagi penderita TBC. Penelitian yang dilakukan oleh Sukamto (2002) menunjukkan bahwa PMO berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan TB di puskesmas yang ada di Kota Banjarmasin. Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara kinerja pengawas minum obat (PMO) dengan keteraturan pengobatan pasien TB paru strategi DOTS di RSUD Kudus. Penelitian akan dilakukan dengan pengambilan data secara kuesioner dan catatan rekam medis pasien dengan pendekatan cross sectional dalam jangka waktu antara Juni 2011 Maret 2012. Penelitian dilakukan di RSUD Kudus karena RSUD Kudus sudah menerapkan strategi DOTS dan juga belum pernah ada penelitian sebelumnya.

B. PERUMUSAN MASALAH Adakah hubungan antara kinerja PMO dengan keteraturan berobat pasien TB paru strategi DOTS di RSUD Kudus?

C. TUJUAN PENELITIAN 1. Umum: Untuk mengetahui hubungan antara kinerja PMO dengan keteraturan berobat pasien TB Paru strategi DOTS di RSUD Kudus.

2. Khusus: i. Untuk mengetahui peran PMO dalam keberhasilan pengobatan TB Paru dengan strategi DOTS. ii. Untuk meningkatkan kinerja PMO dalam mengawal dan mengawasi pengobatan penderita TBC.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritik

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang adanya hubungan antara kinerja PMO dengan keteraturan berobat pasien TB Paru strategi DOTS di RSUD Kudus. b. PMO dapat mengetahui seberapa penting antara kinerjanya terhadap keberhasilan pengobatan pasien TBC.

2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan program DOTS khususnya mengenai kinerja PMO. b. Meningkatkan keberhasilan pengobatan TB melalui program DOTS.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I.

KETERATURAN BEROBAT PASIEN TB (definisi??) Tuberkulosis membutuhkan pengobatan jangka panjang untuk mencapai kesembuhan. Tipe pengobatan jangka panjang menyebabkan pasien tidak patuh dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan pasien dipengaruhi oleh dukungan keluarga, tenaga kesehatan, dan pengawas minum obat. Banyak pasien yang teratur minum obat dan minum sesuai dengan dosis obat yang telah ditentukan, namun sayangnya tidak tepat pada waktunya sehingga hal ini dapat menyebabkan munculnya efek samping obat yang dapat mengganggu keteraturan pengobatan pasien. Apabila efek samping dari obat ini dibiarkan maka kemungkinan pasien akan malas minum obat dan akhirnya gagal dalam pengobatan. Walaupun telah ada cara pengobatan tuberkulosis dengan efektivitas yang tinggi, angka sembuh masih lebih rendah dari yang diharapkan. Penyakit utama terjadinya hal tersebut adalah pasien tidak mematuhi ketentuan dan lamanya pengobatan secara teratur untuk mencapai kesembuhan. Terutama pemakaian obat secara teratur pada 2 bulan fase inisial sering kali tidak tercapai, sementara itu dengan mempersingkat lamanya pengobatan menjadi 6 bulan telah menunjukkan penurunan angka drop out. Hal ini mudah dimengerti, karena kalau penderita tidak tekun meminum obatobatnya, hasil akhir hanyalah kegagalan penyembuhan ditambah dengan timbulnya basil- basil TB yang multiresisten. Resistensi obat anti tuberculosis terjadi akibat pengobatan tidak sempurna, putus berobat atau karena kombinasi obat anti tuberkulosis tidak adekuat. Sejak tahun 1995, manajemen operasional yang menyesuaikan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)

menekankan adanya pengawas minum obat (PMO) untuk setiap penderita TB paru dengan harapan dapat menjamin keteraturan minum obat bagi setiap penderita selama masa pengobatan. Dalam proses penyembuhan, penderita TBC dapat diberikan obat anti- TB (OAT) yang diminum secara teratur sampai selesai dengan pengawasan yang ketat. Masa pemberian obat memang cukup lama yaitu 6-8 bulan secara terus-menerus, sehingga dapat mencegah penularan kepada orang lain. Oleh sebab itu, para penderita TB jika ingin sembuh harus minum obat secara teratur. Tanpa adanya keteraturan minum obat penyakit sulit disembuhkan. Jika tidak teratur minum obat penyakitnya sukar diobati kuman TB dalam tubuh akan berkembang semakin banyak

dan menyerang organ tubuh lain akan membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat sembuh biaya pengobatan akan sangat besar dan tidak ditanggung oleh pemerintah (Ainur, 2008). Beberapa faktor yang mempengaruhi keteraturan berobat antara lain: a. Tingkat pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan responden, maka semakin baik penerimaan informasi tentang pengobatan penyakitnya sehingga akan semakin teratur proses pengobatan dan penyembuhan. b. Mutu pelayanan kesehatan

Pelayanan kesehatan yang memuaskan pasien tersebut akan menimbulkan keinginan pasien untuk datang kembali. c. Sarana dan Prasarana Pelayanan

Pada sarana dan prasarana memadai, penderita TB paru lebih banyak yang teratur minum obat dan yang tidak teratur terbukti lebih sedikit. d. e. . II. TUBERKULOSIS a. Definisi Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (DEPKES RI, 2007). Mycobacterium tuberculosis menyebabkan TBC dan merupakan pathogen manusia yang sangat penting (Jawets et al, 2008). Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan fisis dan kimia. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberculosis menjadi aktif lagi. Sifat kuman ini adalah aerob, sehingga kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya seperti bagian apical paru-paru yang merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis. Efek samping obat Regimen pengobatan (Mukhsin et al, 2006)

b. Cara Penularan o Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. o Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. o Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. o Daya penularan seorang pasien ditentukan banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. o Factor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

c. Risiko penularan o Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negative. o Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. o Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan menjadi positif. o Factor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). reaksi tuberculin negative

d. Manisfestasi Klinis

Gejala klinis : Demam Batuk/batuk darah Sesak napas Nyeri dada Malaise Batuk berdahak lebih dari 3 minggu, wheezing, sering flu, berat badan turun, hilang nafsu makan, keringat malam.

Tanda fisik: a. Terlihat kurus, pucat, dan tampak kemerahan akibat demam b. Demam c. Nadi meningkat d. Clubbing finger e. Krepitasi halus di bagian atas pada satu atau dua paru. Suara ini terdengan khususnya saat menarik napas dalam sesuadah batuk. f. Terdapat perkusi pekak atau pernapasan bronkial pada bagian atas kedua paru. Kadang terdapat wheezing terlokalisasi disebabkan bronkitis tuberkulosis atau tekanan kelenjar limfe pada bronkus. Pada tuberkulosis kronis dengan banyak fibrosis, mungkin menarik trakea atau jantung ke salah satu sisi.

e. Penatalaksanaan
Pengobatan pada penderita tuberkulosis dewasa dibagi menjadi beberapa kategori: 1) Kategori 1 Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Ethambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin(R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk: a) Penderita baru TB Paru BTA Positif b) Penderita TB Paru BTA negatif Rontgen Positif yang sakit berat c) Penderita TB Ekstra Paru berat.

2) Kategori 2 Tahap intensif diberikan selama 3 bulan. Dua bulan pertama dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Ethambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari di Unit Pelayanan Kesehatan. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (P), dan Ethambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan untuk: a) Penderita kambuh (relaps) b) Penderita gagal (failure) c) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default) (DepKes, 2000) 3) Kategori 3 Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan, diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk: a) Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan. (PDPI, 2006)

4) OAT Sisipan Bila pada akhir tahap intensif dari pengobatan dengan kategori atau kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan. (DepKes, 2000)

f. Evaluasi pengobatan 1) Evaluasi Klinis a) Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama, pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan. b) Evaluasi: respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. c) Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik.

2) Evaluasi bakteriologis (0-2-6/9 bulan pengobatan) a) Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. b) Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis: (1) Sebelum pengobatan dimulai (2) Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) (3) Pada akhir pengobatan c) Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.

3) Evaluasi radiologi (0-2-6/9 bulan pengobatan) Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada: a) Sebelum pengobatan b) Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan) c) Pada akhir pengobatan.

4) Evaluasi efek samping secara klinis Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.

5) Evaluasi keteraturan berobat a) Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum/tidaknya obat tersebut. b) Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi. (PDPI, 2006)

III.

STRATEGI DOTS DI INDONESIA Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD (International Union Against TB and Lung Diseases) mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (costefective). Strategi ini dikembangkan dari berbagai studi, uji coba klinik (clinical

trials), pengalaman-pengalaman terbaik (best-practices), dan hasil implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua decade. Penerapan strategi DOTS secara baik, di samping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya MDR-TB (Multidrugs Resistance TB). Focus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, pprioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidensi TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif (WHO, 2007). Namun survei pada tahun 1995 menunjukkan bahwa TB merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua golongan dan nomor satu dari golongan infeksi (Sukana et al, 1999). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci : 1. Komitmen politis 2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya. 3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan. 4. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu. 5. System pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh UPK terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan mendasar.

IV.

MASALAH TUBERKULOSIS DI INDONESIA Di Indonesia, TB merupakan masalah kesehatan utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk (DEPKES, 2007).

Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar INH, PAS dan Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Para Amino Acid (PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak tahun 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri INH, Rifampisin dan Ethambutol selama 6 bulan. Pada tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara nasional di seluruh UPK terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar. Fakta menunjukkan bahwa TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia, antara lain: Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Hasil Survey Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk. Secara regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: (1) wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk; (2) wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk; (3) wilayah Indonesia Timur angak prevalensi TB

adalah 210 pper 100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk. Mengacu pada hasil survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA positif secara nasional 3-4% setiap tahunnya. Sampai tahun 2005, program penanggulangan TB dengan Strategi DOTS menjangkau 98% Puskesmas, sementara Rumah Sakit/RSP baru sekitar 30%.

V.

KINERJA PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) Kinerja Pengawas Minum Obat (PMO) adalah hasil kerja yang dicapai oleh PMO melalui aktivitas kerja yang telah ditentukan menurut kriteria yang berlaku bagi pekerjaan tersebut. Kinerja PMO dipengaruhi beberapa variable antara lain usia, jenis kelamin, pendidikan, keluarga, tingkat sosial, pengalaman, kemampuan, dll. (Sukamto, 2002). Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO. Pengawas Minum Obat (PMO) adalah orang yang dipercaya, dikenal dan disetujui oleh petugas kesehatan maupun penderita untuk mengawasi penderita TBC dalam meminum obat dan pengobatan yang teratur sampai selesai.

a) Persyaratan PMO Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. Bersedia membantu pasien dengan sukarela. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

b) Siapa yang bisa jadi PMO Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

c) Tugas seorang PMO Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.

Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.

d) Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya: TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur. Cara penularan TB, gejala-gejala pencegahannya. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK. yang mencurigakan dan cara

A. KERANGKA TEORI

TBC
Strategi DOTS

Komitmen Politik

Deteksi Kasus

Distribusi Obat Pengawas Minum Obat (PMO)

Pencatatan dan Pelaporan

Keberhasilan Pengobatan
Pendidikan

Jenis Kelamin

Kinerja PMO

Usia

Tingkat Pendidikan Sarana Kesehatan Regimen Obat Efek Samping Obat Keteraturan Berobat

Hubungan dengan Pasien

Pengobatan TB Paru dilakukan dengan Strategi DOTS. Strategi ini terdiri atas 5 komponen yang saling berkaitan yaitu komitmen politis, distribusi obat, PMO, deteksi

kasus, pencatatan dan pelaporan. Diharapkan, strategi ini dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan TB Paru. Dalam pelaksanannya, komitmen politis, distribusi obat, deteksi kasus, pencatatan dan pelaporan dilakukan dengan cara yang sama. Keempat variabel tersebut merupakan satu kesatuan dan tiap pasien menerima perlakuan yang sama. Namun, untuk variable PMO, setiap pasien memiliki PMO masing-masing dimana karakteristik dan kinerja PMO tersebut tidak sama satu dan lainnya. Pengawas Minum Obat (PMO) adalah orang yang bertugas untuk mengawasi penderita selama pengobatan TB. Dengan adanya PMO, diharapkan mampu meningkatkan kedisiplinan penderita dalam meminum OAT sehingga dapat

menyelesaikan pengobatannya dengan baik. Kinerja PMO sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan hubungan dengan keluarga. Selain PMO, keteraturan berobat juga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dimana faktor tersebut menjadi variabel perancu di dalam penelitian ini. Variabel perancu yang dapat dikendalikan antara lain efek samping obat, sarana dan prasarana kesehatan, mutu pelayanan kesehatan dan regimen pengobatan. Sedangkan variabel perancu yang tidak dapat dikendalikan adalah tingkat pendidikan pasien. Dengan kinerja PMO yang baik, diharapkan dapat meningkatkan keteraturan berobat pasien TB Paru yang berdampak pada keberhasilan dari pengobatan itu sendiri.

B. KERANGKA KONSEP

KINERJA PMO

KETERATURAN BEROBAT PASIEN TB

C. HIPOTESIS Ada hubungan antara kinerja PMO dengan keteraturan berobat pasien TB Paru strategi DOTS di RSUD Kudus.

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian Penelitian ini berupa analitik observasional dengan pendekatan cross sectional.

B. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011-Maret 2012 di Poliklinik Paru RSUD Kudus.

C. Subjek Penelitian Pasien tuberkulosis di Poliklinik Paru RSUD Kudus yang memenuhi : 1. Kriteria Inklusi: a. Pasien TB kasus baru BTA (+) yang sedang menjalani pengobatan. b. Pasien yang menjalani pengobatan lebih dari 2 bulan. c. Usia diatas 17 tahun dan dibawah 65 tahun. d. Pasien yang menandatangani informed concent. 2. Kriteria Eksklusi: a. Penderita yang mengalami efek samping pengobatan. b. Perempuan hamil atau menyusui. c. Responden yang tidak responsif ketika diajak wawancara. D. Teknik Sampling Pengambilan sampel dilakukan dengan memilih subyek berdasarkan ciri-ciri atau sifat tertentu berkaitan dengan karakteristik populasi (purposive sampling) (Arief TQ, 2003).

E. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data menggunakan metode wawancara dan mencatat catatan rekam medis pasien. (Kartu Pengobatan Tuberkulosis/TB 01) Data dikumpulkan dengan cara mengumpulkan daftar pertanyaan untuk mendapatkan data mengenai penilaian pasien mengenai kinerja PMO. Jenis data yang dikumpulkan termasuk data primer yang diperoleh dari pasien serta data sekunder yang dikumpulkan lewat catatan rekam medis pasien.

F. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas Variabel bebas adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono, 2006). Variabel bebas yang diteliti adalah kinerja PMO.

2. Variabel terikat Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2006). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah keteraturan berobat pasien TB paru strategi DOTS di RSUD Kudus.

3. Variabel perancu Mutu pelayanan kesehatan, efek samping obat, rejimen pengobatan, sarana dan prasarana kesehatan, tingkat pendidikan pasien. G. Definisi Operasional Variabel 1. Kinerja PMO a. Definisi Tingkat keberhasilan PMO dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan standar tugas PMO yang tertulis dalam Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia (PDPI). Tugas PMO yang akan dibandingkan: 1) Pengawasan dalam hal minum obat. 2) Pengawasan dalam hal keteraturan pemeriksaan ulang dahak. 3) Pengawasan dalam hal keteraturan berobat hingga selesai. 4) Pengawasan jika penderita mengalami masalah pengobatan. 5) Penyuluhan yang diberikan kepada anggota keluarga TB yang memiliki gejala-gejala TB.

b. Alat Ukur Kuesioner yang disampaikan dengan cara wawancara.

c. Cara Pengukuran Dengan cara mengelompokkan sampel menjadi:

1) Kinerja PMO Baik Apabila skor kuesioner 3 atau lebih. 2) Kinerja PMO Buruk Apabila skor kuesioner dibawah 3. d. Skala Pengukuran: Nominal

2. Keteraturan Berobat a. Definisi: 1) Teratur Keteraturan berobat pada penelitian ini merujuk pada pasien yang mengambil OAT sesuai dengan jadwal yang ditentukan (pada 2 bulan pertama setiap 2 minggu sekali dan setiap 1 kali sebulan selama sisa waktu pengobatan sampai 6 bulan) atau pasien yang selama periode pengobatan terlambat mengambil OAT <14 hari (jika diakumulasikan). Selain itu, pasien juga harus meminum obat sesuai dengan dosis yang dianjurkan.

2) Tidak Teratur Ketidak teraturan berobat pada penelitian ini merujuk pada pasien yang selama periode pengobatan terlambat mengambil OAT 14 hari/lebih (jika diakumulasikan) atau pasien yang tidak menyeselaikan pengobatannya. (Drop Out). Selain itu, pasien dikatakan tidak teratur jika pasien tidak meminum obat sesuai dosis yang dianjurkan.

b.Alat ukur: Catatan medis. (Kartu Pengobatan Tuberkulosis/TB01) dan kuesioner yang disampaikan dengan wawancara.

c.Cara pengukuran: Dengan mengelompokkan sampel menjadi: 1) Teratur Berobat Pasien dikatakan teratur jika memenuhi semua kriteria di bawah ini: a) Pasien mengambil OAT sesuai dengan jadwal yang ditentukan (pada 2 bulan pertama setiap 2 minggu sekali dan setiap 1 kali sebulan selama sisa waktu pengobatan sampai 6 bulan) atau pasien yang selama periode pengobatan terlambat mengambil OAT <14 hari (jika

diakumulasikan) b) Pasien meminum obat secara teratur. c) Pasien meminum obat sesuai dosis.

2) Tidak teratur berobat Pasien dikatakan tidak teratur jika memenuhi salah satu kriteria di bawah ini: a) Pasien yang selama periode pengobatan terlambat mengambil OAT 14 hari/lebih (jika diakumulasikan) atau pasien yang tidak menyeselaikan pengobatannya. (Drop Out). b) Pasien yang tidak meminum obat secara teratur. c) Pasien yang tidak meminum obat sesuai dosis.

d. Skala pengukuran: Nominal H. Rancangan Penelitian I. Instrumen Penelitian Data yang digunakan adalah kuesioner dan catatan medis (Kartu Pengobatan Tuberkulosis) pasien TB paru di RSUD Kudus. Pasien TB di Poliklinik Paru RSUD Kudus. Purposive Sampling Sampel Penelitian: Pasien TB Paru (DOTS) yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kinerja PMO Baik Pasien TBDOTS Teratur Berobat Kinerja PMO Buruk Pasien TBDOTS Tidak Teratur Berobat Pasien TBDOTS

Teratur Berobat Pasien TBDOTS Tidak Teratur Berobat J. Cara Kerja 1. Mencari sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 2. Mengamati Kartu Pengobatan Tuberkulosis (TB01) 3. Wawancara

K. Sumber Data Sumber data yang dipakai adalah data primer yang berasal dari pasien dan data sekunder sebagai data penunjang berdasarkan rekam medis sampel. (Kartu Pengobatan

Tuberkulosis/TB 01)

L. Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian ini kemudian dianalisis dengan teknik analisis statistic Chi Square menggunakan program computer SPSS 13.00 for Windows 2000 dengan taraf signifikansi () 0,05.

También podría gustarte