Está en la página 1de 5

LAPORAN KOASISTENSI HEWAN KECIL Fractura Os Femur et Dexter (Amputasi) Dosen Pembimbing : Drh. Dodik Prasetya, M.

Vet

Oleh :
Roosy Margaretha Riupassa S.KH 120130100011023

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013

PATAH TULANG PADA CANGAK MERAH Signalement Nama hewan Jenis hewan Warna bulu dan kulit Jenis kelamin Bobot badan Umur Tanda khusus

: : : : : : :

Brownis Cangak merah Coklat kehitaman 2,1 kg 4,5 bulan Tidak ada

Anamnesa Brownis seekor cangak merah dengan keadaan luka pada bagian sayap dan patah tulang pada extremitas dexter antara os femur dan os tibia. Berdasarkan keterangan pemilik, keadaan tersebut terjadi akibat Brownis dipukuli orang saat dilepas di sawah belakang rumah karena orang meyangka Brownis adalah cangak liar. Diagnosa Tentatif Fractura os femur et dexter Prognosa Dubius Penanganan Kemungkinan penanganan yang bisa dilakukan adalah: penyambungan kembali (mis: pinning) amputasi afkir (disembelih; euthanasia) Berdasarkan pertimbangan, kasus patah tulang terbuka pada os femur dan sudah terputus dengan os tibia, maka diambil keputusan untuk melakukan amputasi. Teknik Operasi Persiapan Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada operasi kali ini adalah pinset anatomis, blade, scalpel, needle holder, benang silk, tampon steril, perlengkapan alat bedah steril (gloves, masker), syringe, plester, sedangkan bahan yang digunakan, antara lain larutan desinfektan (iodine dan alkohol 70%), NaCl fisiologis, acepromazine, lidokain, epinephrine, vitamin K, bioplacenton, Nebacetin, Sofratule, dan Vicillin (amphicilin).

Pre-operasi Hewan ditenangkan dengan diberikan premedikasi acepromazine, selang 10 menit dilakukan pemberian anestesi lokal lidokain di sekitar daerah yang akan diamputasi. Operasi 1. Luka pada sayap dan sekitar tulang yang patah dibersihkan dengan NaCl fisiologis dan iodine 2. Dilakukan pemotongan/amputasi pada 2/3 bagian os femur 3. Diberian vitamin K dan epinephrine secara topikal 4. Setelah amputasi berhasil, dibersihkan dengan iodine 5. Pemberian Vicillin secara topikal pada daerah yang diamputasi 6. Penjahitan dengan jahitan terputus sederhana menggunakan benang silk 7. Luka jahitan diberikan bioplacenton, Nebacetin, sofratule dan dilapisi dengan kasa dan diplester untuk fiksasi perban yang lebih kuat. Post-operasi Perawatan luka dilakukan setiap hari, luka jahitan dibersihkan dengan iodine, dan diberikan sofratule dan Nebacetin (Neomycin sulphate dan bacitracin), serta dilakukan penggantian bandage secara rutin. Pembahasan Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Smeltzer S.C & Bare B.G, 2001) atau setiap retak atau patah pada tulang yang utuh (Reeves C.J, Roux G & Lockhart R, 2001). Prinsip penanganan untuk patah tulang adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi). Penanganan yang dapat dilakukan pada kasus patah tulang, antara lain penyambungan kembali (mis: pining), amputasi, dan afkir (disembelih/euthanasia). Berdasarkan pertimbangan pada kasus Brownis, patah tulang pada extremitas dexter antara os femur dan os tibia, maka diputuskan untuk dilakukan amputasi. Amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau manakala kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak organ tubuh yang lain seperti dapat menimbulkan komplikasi infeksi (Brunner & Suddart, 2002). Tindakan amputasi dapat dilakukan pada kondisi fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki, kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki, gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat, infeksi yang berat

atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya, adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif, dan deformitas organ. Pra anastesi dilakukan dengan pemberian acepromazine sesuai dengan dosis yang telah dihitung, dengan tujuan menenangkan pasien serta mengurangi sekresi saliva secara berlebihan. Acepromazine diberikan secara intraperitonial. Acepromazine tergolong phenothiazine yang berwarna kuning, tidak berbau, rasanya pahit dan berbentuk bubuk dan cair (Plumb 2008). Menurut Mckelvey dan Wayne (2003) ada tiga macam kelas sedasi (tranquilizer) yang umum digunakan dalam kedokteran hewan yaitu phenothiazine, benzodiazepine dan alpha-2 agonist. Golongan ini bekerja pada susunan syaraf pusat dan menghasilkan efek penenang pada hewan. Obat-obat ini dapat juga menyebabkan ataksia, dan prolapsus membran niktitan. Hanya alpha-2 agonist yang mempunyai efek analgesik, sedangkan yang lainnya tidak punya. Efektif pada berbagai spesies hewan dan dapat dikombinasikan dengan obat lainnya, misalnya atropin, opoid dan ketamin. Pemberian phenothiazine dapat melalui oral, intra muscular, intravena dan sub kutan. Efek yang ditimbulkan golongan phenothiazine antara lain sedasi, antiemetik, antiaritmia, antihistamin, vasodilatasi pembuluh darah, perubahan perilaku dan prolapsus penis pada kuda. Efek samping acepromazine, yaitu hipotensi, anemia dan dehidrasi. Pada kuda dan anjing ras boxer penggunaan acepromazine sebaiknya dihindari. Acepromazine mendepresi susunan syaraf pusat (CNS) sehingga menghasilkan efek sedasi, relaksasi otot, dan menurunkan aktifitas refleks. Acepromazine seperti golongan phenothiazine lainnya dimetabolisme di hati dan ekresinya melalui urin. Acepromazine digunakan sebagai agen preanestesi, sebagai pengontrol satwa liar, antiemetik pada anjing dan kucing dan sebagai tranquilizer pada kuda. Acepromazine akan lebih efektif apabila dikombinasikan dengan tranquilizer lainnya dan dengan senyawa yang mempunyai potensi sebagai anestesi general. Tranquilizer harus diberikan dalam dosis yang kecil selama anestesi general dan hewan yang lemah, hewan dengan penyakit jantung, hypovolemik atau shock. Acepromazine jangan digunakan pada hewan yang lemah, betina bunting, breed giant, greyhound, dan boxer. Hasil penelitian menyatakan pada hewan pengerat acepromazine menyebabkan embryotoxycity. Phenothiazine tidak boleh digunakan pada hewan yang mempunyai depresi tulang belakang (Crowell-Davis dan Murray 2005). Acepromazine memiliki waktu onset 15 sampai dengan 60 menit setelah pemberian dan durasinya antara 3 sampai dengan 7 jam pada anjing dan kucing. Kemudian permberian anastesi lokal berupa lidokain, pemberiannya dilakukan disekitar daerah yang akan diamputasi. Setelah pemberian pra-anastesi dan anastesi dilakukan, perlu juga diperhatikan efek anastesi terhadap pasien. Jika pasien masih ada respon gerak dan rasa sakit perlu diberikan tambahan dosis anastesi sepertiga dari dosis awal. Setelah dipastikan bahwa tidak ada respon dari pasien, maka hal selanjutnya yang perlu diperhatikan yakni respon pasien terhadap anastesi, jika respon berlebihan maka denyut jantung, pulsus, nafas suhu akan menurun dan pasien mencapai keadaan kritis. Untuk penanganannya dapat dilakukan penekanan pada daerah thorak dengan tujuan membantu jantung berdenyut. Pemberian cairan infus dapat membatu pasien yang telah kehilangan banyak energi dan menjaga kestabilan cairan tubuh.

Prosedur amputasi ini dilakukan pada 2/3 bagian dari os femur. Amputasi dilakukan dalam terapi ini dengan alasan bahwa sudah tidak ada lagi perlekatan antara os femur dan os tibia yang memungkinkan tulang tersebut dapat tersambung lagi. Pemberian vitamin K dan epinephrine dilakukan pada proses amputasi berlangsung, diberikan secara topikal. Bertujuan untuk mencegah pendarahan yang terjadi selama operasi berlangsung. Setelah proses amputasi berhasil, luka patah tulang tersebut dibersihkan dengan iodine dan diberikan antibiotik cair (Vicillin) untuk mencegah terjadinya infeksi. Luka dijahit dengan jahitan terputus sederhana menggunakan benang silk. Tahap akhir, luka jahitan diberikan bioplacenton, Nebacetin, sofratule dan dilapisi dengan kasa dan diplester untuk fiksasi perban yang lebih kuat. Perawatan luka dilakukan setiap hari agar tidak terjadi infeksi, luka jahitan dibersihkan dengan iodine, dan diberikan sofratule dan Nebacetin (Neomycin sulphate dan bacitracin), serta dilakukan penggantian bandage secara rutin.

Daftar Pustaka Brunner & Suddart (2002) Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Jakarta : AGC. Crowell-Davis, SL, Murray T. 2005. Veterinary Psychopharmacology. United Kingdom: Blackwell Publishing. Mckelvey D, Wayne K. 2003. Veterinary anesthesia and analgesia. Amerika: Occation the veterinarian. Plumb DC. 2008. Veterinary Drug Handbook. United Kingdom: Blackwell Publishing. Reeves, C. J., Roux, G & Lockhart, R. (1999) Keperawatan Medikal Bedah, Buku Satu, Jakarta : Salemba Medika. Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah: Brunner & Suddarth. Edisi 8 Vol.2. Jakarta : EGC.

También podría gustarte