Está en la página 1de 13

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam studi keagamaan sering dibedakan antara kata religion dengan kata

religiosity. Kata yang pertama, religion, yang biasa dialih-bahasakan menjadi

“agama”, pada mulanya lebih berkonotasi sebagai kata kerja, yang mencerminkan

sikap keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Tetapi

dalam perkembangan selanjutnya, religion bergeser menjadi semacam “kata benda”,

ia menjadi himpunan doktrin, ajaran, serta hokum-hukum yang telah baku yang

diyakini sebagai kodifikasi perintah Tuhan untuk manusia. Proses pembakuan ini

berlangsung antara lain melalui proses sistematis nilai dan semangat agama, sehingga

sosok agama hadir sebagai himpunan sabda Tuhan yang terhimpun dalam kitab suci

dan literatur keberagamaan karya para ulama. Dalam Islam, umpamanya, telah

terbentuk ilmu-ilmu keagamaan yang dianggap baku seperti ilmu kalam, fiqih dan

tasawuf yang akhirnya masing-masing berkembang dan menjauhkan diri antara yang

satu dengan lainnya.

Sedangkan religiositas lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap

hidup seseorang berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang diyakininya. Istilah yang

tepat bukan religiositas, tetapi spiritualitas. Spiritualitas lebih menekankan substansi

nilai-nilai luhur keagamaan dan cenderung memalingkan diri dari formalism

keagamaan. Biasanya, orang yang merespon agama dengan menekankan dimensi

spiritualitasnya cenderung bersikap apresiatif terhadap nilai-nilai luhur keagamaan,

1
meskipun berada dalam wadah agama lain. Sebaliknya, ia merasa terganggu oleh

berbagai bentuk formalisasi agama yang berlebihan, karena hal itu, dinilai akan

menghalangi berkembangnya nilai-nilai moral dan spiritual keagamaan1. Oleh karena

itu, kita perlu mengetahui kebenaran agama bukan hanya pada tataran ekoterik,

melainkan juga pada tataran esoteris.

Kebenaran dapat diperoleh dari dua sisi, yaitu kebenaran filosofis dan

kebenaran sosiologis. Secara filosofis, kebenaran yang sebenarnya adalah satu,

tunggal dan tidak majemuk, yang sesuai dengan realitas. Tetapi, pencapai kebenaran

pada setiap orang berbeda. Dalam konteks agama, semua agama; yahudi, Kristen,

Islam, Budha, Hindu termasuk aliran kepercayaan semuanya ingin mencapai realitas

tertinggi (the ultimate reality).

Sedangkan kebenaran sosiologis, ialah sebagai proses pencapaian dan

penerjemahan realita tertinggi membuat klien tentang kebenaran menjadi berbeda,

begitu juga Kristen, Yahudi, Budha, Hindu dan Aliran Kepercayaan menyatakan

demikian. Padahal, perbedaan yang terjadi secara hakikat bukan terletak pada realitas

tertinggi. Di sinilah mulai timbul kompliks kebenaran, baik ekstra agama maupun

intra agama.

Kompliks keagamaan yang terjadi di Indonesia saat ini, bukan lagi kompliks

antar agama melainkan yang sangat menyedih adalah kompliks komunitas sesama

agama, realitas tersebut terlihat beberapa tahun belakangan ini. Adanya teror bom

1
Komaruddin Hidayat, Atas Nama Agama: Wacana agama dalam Dialog “bebas”
konflik. Dalam bukunya andito (Ed), Bandung: Pustaka Hidayah, 1998. Hal 41-42.

2
yang mengatas namakan diri kelompok Islam dan membunuh sesame kelompok

Islam sendiri, sungguh ironis fenomena tersebut.

Dengan demikian, dari uraian di atas, setidaknya dapat menghantarkan

tentang penjelasan urgensi studi Islam dalam konteks pemahaman dan penghayatan

keagamaan Islam di Indonesia, asal usul dan pertumbuhan studi Islam di dunia Islam.

Tentunya ketiga pokok bahasan ini akan menghantarkan kita dapat mengetahui

dengan memberikan pemahaman tentang studi Islam.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Urgensinya (penting) Studi Islam

Dari segi tingkatan kebudayaan, agama merupakan universal cultural. Salah

satu prinsip teori fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi

akan lenyap dengan sendirinya. Karena sejak dulu hingga sekarang agama dengan

tangguh menyatakan eksistensinya, berarti agama mempunyai dan memerankan

sejumlah peran dan fungsi di masyarakat2. Oleh karena itu, secara umum studi Islam

menjadi penting karena agama termsuk Islam memerankan sejumlah peran dan fungsi

di masyarakat.

Menurut Harun Nasution dalam simposium3 menyatakan bahwa persoalan

yang menyangkut usaha perbaikan pemahaman dan penghayatan agama terutama dari

sisi etika dan moralitasnya kurang mendapat tempat memadai. Lebih lanjut, situasi

keberagamaan di Indonesia cenderung menampilkan kondisi keberagamaan yang

legalistic dan formalistic. Agama “harus” di manifestasikan dalam bentuk ritual-

formal, sehingga muncul formalism keagamaan yang lebih mementingkan “bentuk”

daripada “isi”. Kondisi seperti itu menyebabkan agama kurang dipahami sebagai

perangkat paradigm moral dan etika yang bertujuan membebaskan manusia dari

kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Di samping itu, formalism gejala


2
Djamari, Agama dalam Perspektif Sosiologi, Bandung: Alfabeta. 1993. Hal 25.
3
Dalam pengantar simposium Nasional yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi
Mahasiswa Pascasarjana (FKMP) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tanggal 6 agustus 1998 di Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarkat (PPIM).

4
keagamaan yang cenderung individualistic daripada kesalehan sosial mengakibatan

munculnya sikap kontra produktif seperti nepotisme, kolusi dan korupsi4.

Harun Nasution berpandangan bahwa orang yang bertaqwa adalah orang

yang melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi cegahan-Nya. Dengan demikian,

orang yang bertaqwa adalah orang yang dekat dengan Tuhan; dan dekat dengan yang

Maha suci adalah “suci” orang-orang sucilah yang mempunyai moral yang tinggi5.

Gambaran yang dikemukakan oleh Harun Nasution di atas mendapat

sambutan cukup serius dari Masdar F. Mas’udi menyatakan bahwa kesalahan kita

sebagai umat Islam di Indonesia adalah mengabaikan agama sebagai sistem nilai etika

dan moral yang relevan abgi kehidupan manusia sebagai makhluk yang bermartabat

dan berakal busdi. Karena itulah kita tersentak ketika temuan memperlihatkan kepada

dunia sesuatu yang sangat ironi; Negara Indonesia yang penduduknya 100%

beragama, mayoritas beragama Islam (sekitar 80%), dan para pejabatnya rajin

merayakan hari-hari besar agama, ternyata menduduki peringkat termuka di antara

Negara-negara yang paling korup di dunia.6

Dari gambaran umat Islam Indonesia di atas, kita dapat mengetahui bahwa

agama Islam di Indonesia belum sepenuhnya dipahami dan dihayati oleh umat Islam.

Oleh karena itu, signifikansi studi Islam di Indonesia adalah mengubah pemahaman

da penghayatan keislaman masyarakat Muslim Indonesia secara khusus, dan


4
Harun Nasution, Format Baru Gerakan Keagamaan, dalam Atang Abdul Hakim dan
Jaih Mubarok, Metodelogi Studi Islam, Bandung: Rosdakarya, 2002. Hal 8.
5
Ibid….. hal 9
6
Masdar F. Mas’udi, Agama sumber Etika Negara-negara Perlu Pemikiran Ulang,
dalam Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodelogi Studi Islam, Bandung: Rosdakarya, 2002.
Hal 12.

5
masyarakat beragama pada umumnya. Adapun perubahan yang diharapkan adalah

format formalism keagamaan Islam diubah menjadi format agama yang substantif.

Sikap enklusivisme, kita ubah menjadi sikap universalisme, yakni agama yang tidak

mengabaikan nilai-nilai spiritualitas dan kemanusiaan karena pada dasarnya agama

diwahyukan untuk manusia. Di samping itu, studi islam diharapkan dapat melahirkan

suatu komunitas yang mampu melakukan perbaikan secara intern dan ekstern. Secara

intern komunitas itu diharapkan mempertemukan dan dapat mencari jalan keluar dari

konflik intra agama-Islam; tampaknya, komplik internal umat Islam yang didasari

dengan organisasi formal keagamaan belum sepenuhnya final. Di samping itu, akhir-

akhir ini kita dihadapkan pada krisis nasional salah satunya krisis kerukunan umat

beragama; pengrusakan dan pembakaran rumah ibadah Kristen dan bahkan tempat

ibadah masjid yang dimiliki komunitas Ahmadiyah di Bogor, Bandung, Kuningan

dan Cirebon7. Studi Islam diharapkan melahirkan suatu masyarakat yang hidup

toleran (tasamuh) dalam wacana pluralitas agama, sehingga tidak melahirkan Muslim

ekstrim yang membalas kekerasan agama dengan kekerasan pula; pengrusakan dan

pembakaran masjid dan tempat ibadah lainnya tidak perlu tampak kembali dalam

bingkai pluralitas. Oleh karena itu, dalam situasi hidup keberagamaan di Indonesia,

studi agama terutama Islam, karena merupakan agama yang dianut oleh mayoritas

penduduk sangat penting diimplementasikan secara damai (peace).

B. Asal Usul dan Pertumbuhan Studi Islam

7
Lihat konflik keagamaan di wilayah III Cirebon pada tahun 2007-2009

6
Pendidikan Islam pada zaman awal dilaksanakan di masjid-masjid. Mahmud

Yunus menjelaskan bahwa pusat-pusat studi Islam klasik adalah Mekah dan Madinah

(hijaz), Basrah dan Kufah (Irak), Damaskus dan Palestina (Syam) dan Fistat (Mesir).

Madrasah Mekah dipelopori oleh Mu’as bin Jabal; madrasah Madinah dipelopori oleh

Abu Bakar, Umar, Ustman; madrasah Basrah dipelopori oleh Abu Musa al-Asy’ari

dan Anas bin Malik; madrasah Kufah dipelopori oleh Ali bin Abi Thalib dan

Abdullah bin Mas’ud; madrasah Damaskus (Syiria) dipelopori oleh Ubadah dan Abu

Darda; sedangkan madrasah Fistat (Mesir) dipelopori Abdullah bin Amr bin Ash8.

Pada zaman kejayaan Islam, studi Islam dipusatkan di ibu kota Negara Irak

yaitu Bagdad. Di istana Dinasti Bani Abbas pada zaman al-Ma’mun (813-833), putra

Harun al-Rasyid di dirikan Bait al-Hikmah, yang dipelopori oleh Khalifah sebagai

pusat pengembangan ilmu pengetahuan dengan wajah ganda; sebagai perpustakaan

serta sebagai lembaga pendidikan (sekolah) dan penerjemahan karya-karya Yunani

kuno ke dalam bahasa arab untuk melakukan akselerasi pengembangan ilmu

pengetahuan9.

D samping itu di Eropa, terdapat pusat kebudayaan yang merupakan

tandingan Bagdad, yaitu Universitas Cordova yang didirikan oleh abdul al-Rahman

III (929-961 M), dari Dinasti Umayah di Spanyol. Di Timur Islam, Bagdad juga

didirikan Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Perdana Menteri Nizham al-

Muluk; dan di Kairo Mesir didirikan Universitas al-Azhar yang didirikan oleh Dinasti

8
Zaini Muchtarom, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Depag RI. 1986. Hal 71-75
9
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek Jilid I, Jakarta: UI Press. 1985.
Hal 68.

7
Fatimah kalangan Syi’ah. Dengan demikian pusat-pusat kebudayaan yang juga

merupakan pusat studi Islam pada zaman kejayaan Islam adalah Bagdad, Mesir dan

Spanyol. Untuk lebih jelas lihat table 1 berikut :

Tabel 1

Pusat Studi Islam Zaman Kejayaan Islam Klasik

NO KOTA LEMBAGA PENDIRI


1 Bagdad Bait al-Hikmah Al-Amir (Bani Abbas)
Madrasah Nizamiyah Nizham al-Muluk
2 Mesir Universitas al-Azhar Fatimah (Syi’ah)
Abd. Al-Rahman III
3 Spanyol Universitas Cordova
(Umayah)

Studi Islam sekarang ini berkembang hampir diseluruh Negara di dunia,

baik di dunia Islam maupun bukan Negara Islam. Di dunia Islam terdapat pusat-pusat

studi Islam seperti Universitas al-azhar di Mesir dan Universitas Ummul Qura di

Arab Saudi. Di Teheran didirikan Universitas Teheran. Di Universitas ini studi Islam

dilakukan dalam satu fakultas yang di sebut Kulliyat Illahiyyat (fakultas agama). Di

Universitas Damaskus (Syiria), studi Islam ditampung dalam Kulliyat al-Syariah

(fakultas syariah) yang di dalamnya terdapat program studi Ushuludin, tasawuf, dan

sejenisnya10.

Universitas al-Azhar (Mesir dapat dibedakan menjadi dua periode;

pertama, I periode sebelum tahun 1961, dan kedua periode setelah tahun 1961. Pada

10
Ibid……hal 72

8
periode pertama fakultas-fakultas yang ada di IAIN, sedangkan setelah tahun 1961 di

Universitas ini diselenggarakan fakultas-fakultas umum di fakultas agama.

Di Indonesia, studi Islam (pendidikan Islam tinggi) dilaksanakan di 11

Institut agama Islam Negeri (IAIN) dan 39 Sekolah Tinggi Agama Islam negeri

(STAIN). Ada juga sejumlah perguruan tinggi swasta yang secara khusus

menyelenggarakan pendidikan Islam tinggi sebagai salah satu bagian studinya, seperti

fakultas agama di Universitas Muhamadiyah Jakarta dan Universitas Islam Bandung

(UNISBA).

Studi Islam di Negara-negara non-Islam diselenggarakan di beberapa

Negara antara lain; di India, Chicago, Los angles, London dan Kanada. Di Algrach

Universitas India studi Islam di bagi dua; Islam sebagai doktrin dikaji di fakultas

Ushuludin yang mempunyai dua jurusan, yakni jurusan mazhab ahli Sunnah dan

jurusan mazhab Syi’ah. Sedangkan Islam dari aspek sejarah dikaji di fakultas

Humaniora dalam jurusan Islamic Studies. Di Jamiah Millia Islamia, New Delhi,

Islamic Studies program dikaji di fakultas Humaniora yang membawahi juga Arabic

Studies, Persian Studies dan Political Sciense.

Di Cichago kajian Islam diselenggarakan di Cichago University. Secara

organisatoris studi Islam berada dibawah pusat studi Timur Tengah dan jurusan

Bahasa, dan Kebudayaan Timur Dekat. Di lemabaga ini Kajian Islam lebih

mengutamakan kajian tentang pemikiran Islam, Bahasa Islam, naskah-naskah Klasik

dan bahasa-bahasa Islam non-Arab.

9
Di Amerika studi-studi Islam pada umumnya mengutamakan studi sejarah

Islam, bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra dan ilmu-ilmu sosial. Studi

Islam di Amerika berada di bawah naungan Pusat Studi Timur Tengah dan Timur

Dekat.

Di UCLA, studi Islam dibagi menjadi empat komponen; pertama, doktrin

dan sejarah Islam; kedua, bahasa Arab; ketiga, bahasa Islam non-Arab seperti Urdu,

Turki dan Persia; dan keempat, ilmu-ilmu sosial, sejarah dan sosiologi. Di London

studi Islam digabungkan dalam School of Oriental and African Studies (fakultas studi

Ketimuran dan Afrika) yang memiliki berbagai jurusan bahasa dan kebudayaan di

Asia dan Afrika11.

Demikian bahwa pertumbuhan studi Islam berkembang sangat cepat dan

direspon oleh berbagai kalangan masyarakat, ternyata dalam perkembangannya tidak

hanya berkembang di perguruan tinggi dan Negara-negara Islam saja. Jika melihat

perkembangannya seperti itulah studi Islam sejak zaman awal pembentukan Islam

hingga sekarang.

BAB III

KESIMPULAN

1. Mempelajari pendekatan studi Islam ini agar mengetahui persoalan yang

menyangkut usaha perbaikan pemahaman dan penghayatan agama terutama dari

11
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1998. Hal 25.

10
sisi etika dan moralitasnya selama ini masih kurang mendapat tempat yang

memadai.

2. Awal ada studi Islam itu sejak adanya pusat-pusat studi Islam klasik adalah

Mekah da Madinah, Basrah dan Kufah, Damaskus dan Palestina dan Mesir.

Madrasah Mekah dipelopori oleh Mu’as bin Jabal; madrasah Madinah dipelopori

oleh Abu Bakar, Umar, Ustman; madrasah Basrah dipelopori oleh Abu Musa al-

Asy’ari dan Anas bin Malik; madrasah Kufah dipelopori oleh Ali bin Abi Thalib

dan lain-lain.

3. Pertumbuhan studi Islam berkembang hampir diseluruh negara di dunia, baik di

dunia Islam maupun bukan negara Islam. Di dunia Islam terdapat pusat-pusat

studi Islam seperti Universitas al-azhar di Mesir dan Universitas Ummul Qura di

Arab Saudi. Di Teheran didirikan Universitas Teheran. Di Universitas ini studi

Islam dilakukan dalam satu fakultas yang di sebut Kulliyat Illahiyyat (fakultas

agama) dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Djamari, Agama dalam Perspektif Sosiologi, Bandung: Alfabeta. 1993.

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek Jilid I, Jakarta: UI Press. 1985.

11
Harun Nasution, Format Baru Gerakan Keagamaan, dalam Atang Abdul Hakim
dan Jaih Mubarok, Metodelogi Studi Islam, Bandung: Rosdakarya,
2002.

Komaruddin Hidayat, Atas Nama Agama: Wacana agama dalam Dialog “bebas”
konflik. Dalam bukunya andito (Ed), Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

Masdar F. Mas’udi, Agama sumber Etika Negara-negara Perlu Pemikiran Ulang,


dalam Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodelogi Studi Islam,
Bandung: Rosdakarya, 2002.

M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1998.

Zaini Muchtarom, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Depag RI. 1986.

URGENSI STUDI ISLAM ASAL USUL DAN


PERTUMBUHANNYA

12
MAKALAH
Diajukan sebagai Salah Satu Tugas Terstruktur
pada Program Studi Pendidikan Islam
Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam
Dosen :
Dr. Ilman Nafi’a, M.Ag

Oleh:
DEDING SUDARSO
Nim : 505630016

PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
CIREBON
2009

13

También podría gustarte