Está en la página 1de 29

PROMOSI KESEHATAN Vaginodynia : VCT sebagai Gold Standart ANC pada Ibu Hamil untuk Mengurangi Transmisi HIV

dari Ibu ke Anak (khusus) dan untuk perempuan untuk mengurangi penyebaran (umum) di Dupak, Kecamatan Krembangan Surabaya

OLEH:

1. Chintya Elittasari 2. Rizky Anggraita Damayanti 3. Aini Faidhatul Rhodiyah 4. Aldilia Wyasti Pratama Dosen Pembimbing : Ivan Rahmatullah,dr.,MPH

011112005 011112007 011112009 011112012

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIDAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2013

BAB 1 IDENTIFIKASI MASALAH DAN ANALISA KEBUTUHAN 1.1 Masalah Kesehatan di Masyarakat Indonesia adalah salah satu negara di Asia dengan epidemi HIV/AIDS yang berkembang paling cepat (UNAIDS, 2008). Kementerian kesehatan memperkirakan, Indonesia pada tahun 2014 akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS dibandingkan pada tahun 2008 (dari 277.700 orang menjadi 813.720 orang) (Kemkes, 2008). Ini dapat terjadi bila tidak ada upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang bermakna dalam kurun waktu tersebut. Penularan HIV melalui ibu ke bayi cenderung mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan HIV positif yang tertular baik dari pasangan maupun akibat perilaku yang berisiko (KPAN, 2010). Layanan kesehatan yang pertama dalam pencegahan adalah layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT). Berdasarkan hasil proyeksi, jumlah ibu hamil positif yang memerlukan layanan Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) akan meningkat dari 5.730 orang pada tahun 2010 menjadi 8.170 orang pada tahun 2014 (KPAN, 2010). Di kecamatan Krembangan, Data yang diperoleh dari laporan VCT di Puskesmas Dupak selama tahun 2011, secara kumulatif terdapat 232 orang yang melakukan VCT. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) Penanggulangan HIV/AIDS tahun 2010-2014 telah menetapkan 720 orang per tahun dalam setiap layanan VCT berdasarkan ketersediaan tenaga, jumlah jam kerja dan efektifitas layanan yang akan dilakukan sehingga dalam 1 tahun hanya 32,2% orang risiko tinggi yang dapat memenuhi target KPA dalam memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak. Menurut kepala puskesmas Dupak , Nurul di wilayahnya dulu ada dua lokalisasi yakni Bangunsari dan Tambaksari, yang sudah ditutup pada tahun 2012. Ia menyadari kondisi tersebut sangat rentan terhadap masalah Penyakit Seks Menular (PSM). Akhirnya dibuatlah layanan klinik kesehatan reproduksi. Wilayah kerja Puskesmas Dupak meliputi Kelurahan Dupak dan Kelurahan Morokrembangan dengan jumlah penduduk sekitar 79.000 jiwa termasuk di dalamnya

sekitar 3.000 kepala keluarga urban, di wilayah tersebut diperkirakan terdapat 600 PSK (pekerja seks komersial) yakni 250 PSK di Dupak dan 350 PSK di Tambak Asri, serta diketahui sekitar 10% dari PSK di wilayah tersebut telah HIV positif. Penyebab meningkatnya prevalensi HIV/AIDS karena kurangnya kesadaran untuk memanfaatkan layanan VCT serta kurangnya pemahaman tentang HIV/AIDS dan VCT terutama bagi orang risiko tinggi. (Purwaningsih, et all. 2011) Jadi masalah utama yang terjadi adalah rendahnya kunjungan dan pemanfaatan pelayanan VCT serta ketakutan responden terhadap hasil

pemeriksaannya, sehingga belum ada tindak lanjut yang tepat. 1.2 Analisis Populasi 1.2.1 Profiling Populasi Kota Surabaya merupakan kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia yang memiliki sarana-prasarana transportasi yang lengkap yaitu Terminal Purabaya dan Bandara Internasional Juanda di selatan dan Pelabuhan Tanjung Perak di utara. Kota terbesar di Indonesia Timur ini juga dikenal sebagai kota transit, industri, pendidikan, dan pariwisata. Oleh karena posisi dan peranannya yang strategis, banyak pengunjung dari berbagai daerah datang ke Surabaya, yang meningkatkan risiko penyebaran HIV/AIDS. Kota Surabaya memiliki beberapa kelurahan dan salah satunya adalah kelurahan Dupak yang terletak di kecamatan Krembangan. Di kecamatan Krembangan terdapat 5 kelurahan krembangan selatan, kemayoran, Perak Barat, Dupak dan Moro Krembangan Dengan Luas lahan 834,1 Ha Kepadatan penduduk; 13730 jiwa/km2, dengan komposisi laki-laki 57532 jiwa dan perempuan 56974 jiwa. Jumlah kelahiran 1282 jiwa, dan kematian 426 jiwa. Jumlah penduduk dating 1832 jiwa, sedangkan penduduk pindah 2055 jiwa.

Gambar 1.kecamatan Krembangan (Sumber : sim.nilim.go.jp/GE/Survey/SURABAYA.PPT)

1.2.2 Karakteristik Populasi Berdasarkan demografi wilayah, Surabaya memiliki pelabuhan yang cukup besar dan merupakan tempat singgah kapal- kapal besar dari seluruh kota maupun negara-negara lain. Hal ini diperkirakan berpengaruh pada peningkatan kasus HIV/AIDS dikarenakan banyak orang-orang asing yang mungkin sebagai pembawa virus HIV/AIDS yang menularkan pada penduduk lokal di Surabaya. Selain itu berdasarkan data pusat statistika tahun 2007 kota Surabaya menunjukkan, hanya 50,01% penduduk yang melek huruf di Surabaya. Hal ini dapat di analogikan bahwa dengan tingkat pengetahuaan dan tingkat pendidikan penduduk yangrendah berbanding lurus dengan tingkat perekonomian di suatu daerah. Faktor pendukung lainnya kelompok risiko tinggi yaitu Wanita Pekerja Seks (WPS). Estimasi WPS di Indonesia pada tahun 2006 diperikirakan mencapai 0,30% dari populasi perempuan dewasa (15-49 tahun). Kelompok WPS sangat rentan tertular HIV akibat hubungan seks dan perilaku seks yang tidak aman(KPA, 2009). Berdasarkan hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2011 dalam BKKBN 2011 diketahui bahwa pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS dan kesadaran menggunakan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi cenderung menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Menurut hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku tahun 2011 beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan kondom antara lain adalah pengetahuan, aksesibilitas, penjangkauan, dan aturan penggunaan kondom.

1.2.3 Status Kesehatan

Tabel 1.Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kota Surabaya Pada kecamatan Krembangan , didapatkan data bahwa di kecamatan tersebut memiliki jumlah puskesmas yang masuk dalam kategori kecamatan dengan puskesmas cukup ( 2 puskesmas di kecamatan Krembangan ). Dengan ketersediaan tenaga medis tersebut kecamatan Krembangan masih menjadi salah satu kecamatan dengan laporan angka kejadian HIV/AIDS tertinggi di Surabaya. Kasus HIV/AIDS di Indonesia sampai 30 Maret 2011 telah mencapai 24.482 kasus dan sudah tersebar di 32 provinsi (Ditjen PPM dan PL Depkes RI, 2011). Sedangkan di Dupak, menurut dokter Nurul selaku kepala Puskesmas Dupak mengatakan bahawa kasus baru HIV meningkat tahun 2012 dimana ditemukan 19 kasus positif HIV/AIDS dan bulan ketiga tahun 2013 sudah ditemukan 5 kasus, empat diantara kasus 2012 adalah ibu hamil. Data ini juga didukung dengan tingginya angka

balita yang terinfeksi HIV/AIDS pada daerah Dupak, Kecamatan Krembangan dengan total 22 kasus serta total balita akibat infeksi menular seksual sebanyak 3.986 orang (Bidang P2PHS, Dinkes Kota Surabaya 2008) 1.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Populasi Setempat Demografi wilayah Tingkat Pendidikan dan Perekonomian Jenis Profesi

1.2.5 Program yang sedang dan telah dilakukan Pemerintah sendiri telah mencanangkan suatu program wajib VCT dan PMTCT bagi ibu hamil, namun kenyataan lapangan membuktikan bahwa ternyata pasien tidak seluruhnya mendapatkan VCT dan PMTCT. Salah satu narasumber tenaga kesehatan mengungkapkan bahwa pasien yang melakukan pemeriksaan kehamilan banyak yang belum melakukan VCT dan PMTCT atau bahkan pasien tidak diberitaukan kalau pasien telah menjalani pemeriksaan tersebut. Pada tahun 2008 telah tersedia layanan PMTCT sebanyak 30 layanan yang terintegrasi dalam layanan KIA (Antenatal Care).Jumlah ibu hamil yang mengikuti test HIV sebanyak 5.167 orang, dimana 1.306 (25%) diantaranya positif HIV. Namun baru 165 orang atau 12,6% yang memperoleh ARV prophylaxis yang dilaksanakan di 30 unit layanan (KPAN, 2010). Perlu dipahami bahwa orang yang mengunjungi klinik Konseling dan Testing HIV adalah para ibu hamil yang berisiko tertular HIV, sehingga data di atas bukanlah merupakan indikasi prevalensi HIV di kalangan ibu hamil secara umum.

BAB 2 TUJUAN UMUM DAN KHUSUS 2.1 Tujuan Umum Merubah perilaku masyarakat untuk secara sadar melakukan VCT ke puskesmas pada saat kunjungan awal dan meningkatkan upaya pendampingan setelah hasil pemeriksaan keluar. 2.2 Tujuan Khusus Meningkatkan pengetahuan masyarakat dengan mobile small group discussion Mengadakan tempat konseling dan pemeriksaan di tempat-tempat yang strategis Memberikan Layanan pemeriksaan dan konseling gratis yang menawarkan hasil yang cepat,akurat, dan terjaimin kerahasiaannya Bagi peserta yang terdeteksi HIV dilakukan pendekatan psikologi sedangkan bagi mereka dengan hasil tes negatif diupayan untuk meningkatkan status kesehatan dan mempertahankan status kesehatannya Dilakukan standardisasi petugas laboratorium dan kalibrasi alat secara berkala untuk mendapatkan hasil tes yang akurat Menghilangkan stigma negatif terhadap peserta yang terdeteksi HIV

BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Diffusion of Innovation Theory 3.1.1 Definisi Diffusion of Innovation Theory Difusi Inovasi terdiri dari dua padanan kata yaitu difusi dan inovasi. Rogers (1983) mendefinisikan difusi sebagai proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di antara para anggota suatu sistem sosial (the process by which an innovation is communicated through certain channels overtime among the members of a social system). Disamping itu, difusi juga dapat dianggap sebagai suatu jenis perubahan sosial yaitu suatu proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Sehingga difusi inovasi adalah suatu proses penyebar serapan ide-ide atau hal-hal yang baru dalam upaya untuk merubah suatu masyarakat yang terjadi secara terus menerus dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu kurun waktu ke kurun waktu yang berikut, dari suatu bidang tertentu ke bidang yang lainnya kepada sekelompok anggota dari sistem sosial.

3.1.2 Tujuan Tujuan utama dari difusi inovasi adalah diadopsinya suatu inovasi (ilmu pengetahuan, tekhnologi, bidang pengembangan masyarakat) oleh anggota sistem sosial tertentu. Sistem sosial dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi sampai kepada masyarakat.
3.1.3 Elemen Difusi Inovasi

Menurut Rogers (1983) dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu: suatu inovasi, dikomunikasikan melalui saluran komunikasi tertentu, dalam jangka waktu dan terjadi diantara anggota-anggota suatu sistem sosial.

1. Inovasi (gagasan, tindakan atau barang) yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. 2. Saluran komunikasi, adalah alat untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan

suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal. 3. Jangka waktu, yakni proses keputusan inovasi dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya. Pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b) keinovatifan seseorang (relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima inovasi), dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial. 4. Sistem sosial merupakan kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama.

3.1.4 Teori keputusan Inovasi 1. Tahap pengetahuan Dalam tahap ini, seseorang belum memiliki informasi mengenai inovasi baru. Untuk itu informasi mengenai inovasi tersebut harus disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada, bisa melalui media elekt ronik, media cetak, maupun komunikasi interpersonal diantara masyarakat. Tahapan ini juga dipengaruhi oleh beberapa karakteristik dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1) Karakteristik sosial-ekonomi, (2) Nilai-nilai pribadi dan (3) Pola komunikasi. 2. Tahap persuasi Pada tahap ini individu tertarik pada inovasi dan aktif mencari informasi/detail mengenai inovasi. Tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam tingkat pemikiran calon pengguna. Inovasi yang dimaksud berkaitan dengan karakteristik inovasi itu sendiri, seperti: (1) Kelebihan inovasi, (2) Tingkat keserasian, (3) Kompleksitas, ( 4) Dapat dicoba dan (5) Dapat dilihat.

3. Tahap pengambilan keputusan. Pada tahap ini individu mengambil konsep inovasi dan menimbang keuntungan/kerugian dari menggunakan inovasi dan memutuskan apakah akan mengadopsi atau menolak inovasi.

4. Tahap implementasi Pada tahap ini mempekerjakan individu untuk inovasi yang berbeda-beda tergantung pada situasi. Selama tahap ini individu menentukan kegunaan dari inovasi dan dapat mencari informasi lebih lanjut tentang hal itu. 5. Tahap konfirmasi. Setelah sebuah keputusan dibuat, seseorang kemudian akan mencari pembenaran atas keputusan mereka. Tidak menutup kemungkinan seseorang kemudian mengubah keputusan yang tadinya menolak jadi menerima inovasi setelah melakukan evaluasi.

Gambar 2. Model Proses Pengambilan Keputusan Inovasi (Rogers, 1983)

3.2 Implementasi Diffusion Of Innovasion Theory berdasarkan Jurnal Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Khumoto et all, yang sudah diterapkan di Negara Sub-Saharan Africa, digunakan 3 metode berdasarkan Diffusion of Innovation Theory, yakni Community Mobilization, Community-Based Voluntary Counseling and Testing (CBVCT) dan Post Test Support System (PTSS). 3.2.1 Community Mobilization (CM) / Mobilisasi Masyarakat CM menggunakan cakupan masyarakat untuk meningkatkan jumlah masyarakat yang mengikuti VCT, sehingga meningkatkan jumlah pemeriksaan

HIV dan penyuluhan mengenai HIV. Cara ini juga dirancang untuk mengurangi pandangan mengenai edukasi dan mobilisasi komunitas. Masing-masing kelompok memiliki koordinator CM yang bertugas mengawasi tiga kelompok, yang terdiri dari beberapa orang yang berada pada tingkatan yang berbeda. 1. Community Working Groups terdiri dari tokoh masyarakat, gate keeper, tenaga kesehatan yang dilatih selama tahap persiapan . kebanyakan dari mereka sudah menjadi adopter awal dari pelayanan mobile VCT dan pernah mempengaruhi masyarakat lain di daerah mereka untuk mau melakukan konseling dan pemeriksaan 2. Kader terlibat dalam berbagai kegiatan, mulai dari penyebaran informasi mengenai HIV / AIDS, VCT dan PTSS melalui brosur ke setiap orang atau kelompok diskusi, di sekitar wilayah mobile testing , juga melalui menyebarkan informasi dari pintu-ke-pintu , atau dengan menghandiri pertemuan masyarakat dan kegiatan social 3. Community-based outreach volunteers (CBOVs) / Pokja, yakni kelompok yang terbentuk dari 3-5 orang yang aktif di masing-masing komunitas. Pokja bertanggungjawab untuk menyebarkan informasi di wilayah mereka dan membutuhkan pelatihan juga. para pokja ini bukanlah anggota project secara resmi, tetapi mereka menerima gaji yang sesuai dengan upah minimum di daerah tersebut .mereka ini direkrut secara khusus dari kelompok masyarakat yang pernah melakukan VCT, tanpa memperdulikan status HIVnya. Sedangkan nantinya, para pokja ini bertanggungjawab melaporkan hasil pada para kader.

3.2.2 Community-Based Voluntary Counseling And Testing (CBVCT) Penyediaan layanan pemeriksaan keliling yang menjamin keharasiaan dan kenyamanan dari peserta dengan menawarkan layanan VCT di desa atau tingkat kesehatan. Dengan adanya pelayanan ini seharusnya Dengan kemudahan akses diharapkan dapat meningkatkan pelaksanaan tes HIV, mengubah norma-norma social tentang pemeriksaan HIV, dan meningkatkan jumlah penyuluhan mengenai HIV di masyarakat. Pendekatan ini juga menurunkan perilaku yang berisiko untuk HIV. VCT disediakan di berbagai komunitas lokal. identifikasi lokasi CBVCT yang cocok

merupakan tugas bersama antara

peneliti dan pokja. Lokasi meliputi pasar dan

tempat-tempat transportasi. Ada 4 tempat di Afrika yang menawarkan layanan VCT di tenda-tenda, sedangkan di Thailand menggunakan tempat masyarakat seperti pusatpusat keramaian dan kuil. Setiap tempat di Negara-negara tersebut telah mengembangkan jadwal untuk tim mobile untuk mensurveei setiap tempat pemeriksaan. Hari pemeriksaan adalah kombinasi dari hari kerja dan akhir pecan di siang hari dan malam hari untuk memastikan bahwa unit mobile dapat diakses oleh anggota masyarakat yang bekerja. Jadwal kunjungan ke tempat pemeriksaan diumumkan kepada masyarakat oleh pokja di awal sebelum tim mengunjungi tempat tersebut. Pelayanan ini memungkinkan peserta VCT untuk mendapatkan pemeriksaan yang cepat dan hasil test yang juga keluar pada hari yang sama. Peserta yang ingin menerima hasil tes mereka di lain waktu diberi kartu dengan jadwal dan diundang untuk bertemu dengan tim lagi, baik di tempat lain atau tempat yang sama pada hari yang berbeda. Dalam rangka untuk mengurangi stigma yang terkait dengan mencari pelayanan dari pokja, tim mobile unit VCT keliling menekankan bahwa tim juga menyambut peserta yang hanya mencari informasi atau konseling, tanpa tes HIV. Dengan cara ini, layanan mobile tidak hanya dilihat oleh masyarakat sebagai tempat untuk pelaksanaan tes dan menerima hasil tes HIV, tetapi juga sebagai tempat untuk menerima konseling pribadi dan rahasia, serta pendididkan kesehatan. Setiap tim terdiri dari konselor VCT, perawat yang akan melakukan plebhotomy, dan kader. Masyarakat didekati oleh kader untuk melakukan tes HIV. Pokja

bertindak sebagai tuan rumah, dan bertanggungjawab untuk memberikan nomor ke orang-orang yang berminat untuk berpartisipasi serta memberi mereka leaflet. Selain itu mereka juga bertanggung jawab memberikan informasi kepada masyarakat dan menjawab pertanyaan masyarakat yang berkaitan dengan HIV. Peserta yang setuju untuk berpartisipasi dalam penyuluhan akan mendapatkan form infom consent dan menerima konseling awal dari konselor sebelum mereka di tes. Konselor bertanggung jawab akan hasil test dan konseling post-test. Sesi konseling meliputi demonstrasi tentang kondom, serta memberikan kondom kepada peserta untuk dibawa pulang. Konselor membantu peserta untuk memahami arti dari hasil tes, mengatasi dampak emosional dari hasilnya, dan mendampingi peserta apabila terjadi perubahan perilaku akibat hasil test yang tidak mereka harapkan mengenai status HIVnya. Terlepas dari

hasil tes, semua peserta dalam komunitas intervensi di tawarkan untuk menerima Proyek layanan post-test support. Bagi peserta yang dites positif, konselor membantu dalam membuat rencana pengungkapan yang aman dan memberikan arahan yang tepat bagi pelayanan kesehatan dan sosial yang diperlukan. Ini termasuk rujukan untuk perawatan dan pengobatan. Perencanaan yang seksama dilakukan di masingmasing lokasi untuk memetakan pengobatan saat ini dan layanan perawatan (termasuk penyediaan terapi antiretroviral), serta layanan pencegahan HIV lain yang tersedia, dan untuk memastikan bahwa tes pada CBCVT memang tepat untuk di pilih. 3.2.3. Post Test Support Service (PTSS) Komponen ini dibuat khusus untuk menyediakan dukungan psikososial untuk meningkatkan kualitas hidup individu yang terdiagnosa HIV, tanpa melihat status HIVnya. Keluaran yang diharapkan termasuk untuk mereduksi bahaya di masyarakat. Untuk meningkatkan dukungan social melalui penjelasan yang selengkap-lengkapnya untuk memberikan dukungan dan mengurangi stigma internal. Dukungan social seharusnya juga menurunkan risiko lebih jauh. Objek pada penyediaan PTSS ini untuk membuat sistem dukungan yang sesuai dengan budaya yang ada untuk anggota komunitas yang mengikuti VCT. Individu yang menjalani tes HIV pada Project Accept atau tes HIV lainnya dianjurkan untuk mengikuti semua pelayanan PTSS, tanpa melihat status HIVnya. Seseorang yang menjalani tes sebagai anggota, ketika dia tidak menjalani tes sebagai tamu. Orang yang tidak mengikuti tes dapat mengakses lebih banyak informasi dengan mengikuti sesi grup diskusi setelah PTSS, tapi tidak dianjurkan untuk mengakses pelayanan PTSS lainnya sampai mereka menjalani tes HIV. Orang yang tertarik tes ditunjuk sebagai Project Accept VCT Terdapat 5 kegiatan dalam PTSS : 1. Kelompok berbagi dan informasi adalah kelompok dimana terdiri dari berbagai usia, status, atau berbagai karakteristik lain. Kelompok ini terdiri dari staff PTSS, narasumber tamu PTSS, dan anggota PTSS. Topiknya seputar informasi dasar mengenai HIV/AIDS, kesehatan, gizi, dan informasi lain. 2. Kelompok pendukung psikososial terdiri dari 8-10 orang dan melakukan pertemuan 24 kali per bulan, tergantung dari kehadiran anggota. Kelompok ini memfasilitasi anggota untuk bertemu dan belajar dari orang lain yang memiliki keadaan yang serupa.

3. Penasihat kegawatan, memfasilitasi apa yang dibutuhkan oleh individu atau pasangan. Penasihat berfokus pada penggalian informasi anggota. Disamping itu, penasihat juag menyediakan kesehatan non-Project Accept dan pelayanan social dalam komunitas. 4. Pelatihan efektifitas pengendalian diri adalah sesi 8 jam untuk anggota PTSS yang ingin membangun kemampuan manajemen stress dan mengidentifikasi sumber tambahan dari lingkungan social setelah menjalani tes. 5. Pelatihan pengurangan stigma memiliki tujuan, (a) untuk membantu individu untuk mengetahui dan mengenali hubungan stigma-HIV dan (b) membangun kemampuan untuk membantu individu menyingkap status HIV mereka dalam lingkungan yang aman.

BAB 4 STRATEGI KEGIATAN 4.1 Metode Kegiatan a.Planning (Perencanaan ) Tingginya angka kematian bayi dan balita diberbagai Negara menengah kebawah semakin meningkat selama dua decade ini, HIV sebagai salah satu penyebabnya.Di Negara-negara Africa selatan, HIV secara langsung mempengaruhi angka kematian ibu dan bayi dan menyebabkan banyak kemunduran dari berbagai aspek dikarenakan Epidemic HIV. Antiretrovirus atau ARV merupakan obat yang dinilai cukup efektif untuk mengatasi penularan HIV dari ibu ke anak selama masa kehamilan dan menyusui, Dengan terapi yang tepat dan sesuai tentunya. Pemberian terapi ARV ini didasarkan pada adanya akses maternal dan neonatal baik pada saat prenatal care, obstetric dan postnatal care,yakni berupa kemudahan akses pelayanan untuk dicapai dan pelaksanaan dari pelayanan kesehatan itu sendiri. Salah satu upaya penurunan anak transmisi HIV dari ibu ke anak dengan melakukan pendekatan berbasis masyarakat guna merubah perilaku masyarakat terutama ibu hamil untuk secara sadar mau melakukan VCT pada saat kunjungan awal ANC. kegiatan yang berpusat di puskesmas putat jaya dan direncanakan akan

menjalin kerjasama dengan ibu PKK dan posyandu serta para tokoh masyarakat yang tergabung dalam satu team yang dianggap sebagai agent of change untuk mengubah perilaku masyarakat melalui pendekatan berbasis komunitas. Yang mana team tersebut akan mendapatkan pelatihan sebagai bekal mereka untuk melaksanakan kegiatan tersebut.

b.Implementation Nama Kegiatan : Vaginodynia : VCT sebagai Gold Standart ANC pada Ibu Hamil untuk Mengurangi Transmisi HIV dari Ibu ke Anak (khusus) dan untuk perempuan untuk mengurangi penyebaran (umum) di Dupak, Kecamatan Krembangan Surabaya

Tujuan

: Merubah perilaku masyarakat untuk secara sadar melakukan VCT ke puskesmas

Sasaran Pelaksana

: ibu hamil di Dupa, Kecamatan Krembangan, Surabaya : Mahasiswa S1 Pendidikan Bidan FKUA bekerjasama dengan puskesmas dan tokoh masyarakat setempat

Waktu pelaksanaan

: Januari Mei 2014

Tempat Pelaksanaan : Balai Desa, Puskesmas, Pusat Pelayanan Masyarakat Metode Pelaksanaan : 1. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS MASALAH YANG ADA DI MASYARAKAT 2. MENGGAMBARKAN DAN MEMPELAJARI KARAKTERISTIK PENDUDUK 3. OBSERVASI KEGIATAN / SURVEY Dilakukan selama 1 minggu pada bulan pertama Mobilisasi menggunakan kendaraan pribadi Selama observasi kegiatan melakukan pertemuan dengan pemangku kebijakan seperti Kepala desa dan Tokoh agama Membicarakan seputar kegiatan yang akan dilaksanakan

4. MEMBENTUK KEPANITIAAN DAN PEMBUATAN PROPOSAL KEGIATAN Kepanitiaan Inti merupakan dosen dan mahasiswa FKUA Penanggung jawab Ketua kegiatan : Ivan Rahmatullah, dr., MPH : Rizky Anggraita

Acara dan Dokumentasi : Aldilia Wyasti P Konsum dan Perizinan : Chintya Elitta S.

Publikasi dan perlengkapan : Aini Faidhatul R. Kepanitiaan kelompok kerja berasal dari karang taruna dan ibu-ibu PKK, meliputi kepanitiaan CM , CBVCT, PTSS Kepanitiaan Pelaksanaan VCT berasal dari tenaga medis puskesmas Dupak Proposal diselesaikan selama 1 minggu Sumber dana berasal dari DIKTI sebesar Rp 16.000.000,00, RKAT FK Universitas Airlangga sebesar Rp 8.000.000,00, sponsor : BKkBN sebesar Rp 1.250.000,00 sehingga total dana yang didapat Rp 25.250.000,00 5. MENETAPKAN PROTOCOL SERTA STANDART OPERASIONAL PROSEDUR Lampiran 1,2,3

6. MENJALIN KERJASAMA DENGAN INSTITUSI TERKAIT SEPERTI PUSKESMAS DAN LABORATURIUM Menyerahkan proposal kegiatan dan penyelesaian administrasi yang dilakukan selama 2 minggu selama bulan pertama 7. MENGEMBANGKAN STRATEGI KOMUNIKASI Mengadakan pertemuan lagi dengan pemangku kebijakan untuk mencapai kesepakatan dan membicarakan mengenai tindak lanjut dari kegiatan yang akan dilaksanakan Mengadakan pelatihan bagi kader dan tenaga kesehatan yang akan melakukan VCT, 2x/ minggu setiap hari Sabtu dan Minggu pukul 09.00-13.00 WIB , dimulai bulan ke-2 minggu 1 dan 2. Pelatihan ini dibimbing oleh tenaga kesehatan dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya. 8. MENGADAKAN UJI COBA STRATEGI DAN IMPLEMENTASI DENGAN MENGOORDINASIKAN TERBENTUKNYA KELOMPOK KERJA UNTUK TERJUN KE MASYARAKAT melakukan roleplay dengan mengikutsertakan beberapa warga dalam pelaksanaanya dan disaksikan oleh pemamangku kebijakan daerah setempat agar dapat dievaluasi bersama. mengadakan pertemuan dengan semua panitia, pemangku kebijakan dan tenaga medis untuk melaksanakan rencana yang ditetapkan. 9. PELAKSANAAN VCT KELILING Dengan menggunakan mobil sewaan dari Puskesmas Dupak khusus VCT, dan menggunakan mobil sewaan RSUD Dr.Soetomo Surabaya Mobilisasi untuk VCT keliling dilakukan dibalai desa, di lapangan sepak bola, di depan Puskesmas Dupak, di depan Kantor Pelayanan Masyarakat (Pos Polisi) Pelaksanaanya dilakukan mulai minggu kedua bulan kedua sampai minggu pertama bulan keempat, dilakukan tiap minggu sekali pada hari Minggu siang pukul 10.00 WIB sampai 14.00 WIB Setiap peserta VCT mendapatkan souvenir dan hasil pemeriksaan dapat diketahui pada hari yang sama sehingga peserta dapat menunggu hasil. Setelah hasil pemeriksaan keluar, peserta dapat melakukan konsultasi kepada konsultan sehingga memaksimalkan tindak lanjut dari pemeriksaan.

Menerima konsultasi bagi peserta yang ingin bertanya dan diskusi mengenai HIV dengan diadakannya kelompok kecil sebagai upaya pendampingan pascatest. Membagikan quisioner kepada peserta VCT mengenai tingkat kepuasan mereka terhadap kegiatan yang dilakukan.

10. MENGADAKAN SUPPORT SYSTEM GROUP Kader dan konsultan menerima konsultasi dan pendampingan psikososial bagi peserta yang hasil tesnya positif sehingga dapat meningkatkan kualitas individu Kader dan Konsultan menerima konsultasi dan diskusi bagi mereka yang hasil tesnya negative sehingga mereka dapat memelihara dan mempertahankan stastus kesehatannya. Konsultasi diadakan setiap 1x/ minggu pada hari Minggu pukul 09.00- 15.00 WIB selama kegiatan ini berlangsung. 11. EVALUASI KEGIATAN Dengan menganalisa daftar hadir peserta VCT setiap minggunya Melakukan analisa kepuasan dengan menggunakan metode quisioner

4.2 Penjadwalan Kegiatan No 1 2 Kegiatan Pembentukan Core Team Observasi tempat kegiatan dan pengumpulan data penyelesaian administrasi perizinan tempat dan kegiatan pembentukan kelompok kerja workshop kelompok kerja pelaksanaan VCT Quality Control SDM dan SDA Evaluasi capaian Program Pelaporan capaian Program Bulan I 1 2 3 Bulan II 1 2 3 4 Bulan III 1 2 3 4 Bulan IV 1 2 3 4

3 4 5 6 7 8 9

4.3

Anggaran dana

Pemasukan : DIKTI RKAT FKUA BKkBN Total pemasukan Pengeluaran : 1. Persiapan a. Perizinan b. Fotocopy & surat-surat 2. Operasional a. Cetak leaflet b. Cetak poster c. Cetak booklet d. Cetak banner e. Copy pre test post test f. Tranportasi (4x50.000) x20 Rp 150.000,00 Rp 200.000,00 Rp 2.000.000,00 Rp 500.000,00 Rp 50.000,00 Rp 4.000.000,00 Rp 2.400.000,00 Rp 450.000,00 Rp 200.000,00 Rp 100.000,00 Rp 16.000.000,00 Rp 8.000.000,00 Rp 1.250.000,00 + Rp 25.250.000,00

g. Sewa mobil @ Rp 200.000 x 12 h. Sewa sound system i. Souvenir @ Rp 10.000 x 500 j. Dokumentasi k. Fee tenaga kesehatan @Rp 1.000.000x10 3. Penyusunan laporan akhir dan penggandaan Total pengeluaran

Rp 5.000.000,00 Rp 100.000,00

Rp 10.000.000,00 Rp 100.000,00 + Rp 25.250.000,00

BAB 5 RENCANA EVALUASI Kriteria Evaluasi 1. Evaluasi Struktur Membentuk struktur kepanitiaan Menentukan waktu yang sesuai dan tempat pelaksanaan yang strategis

2. Evaluasi proses Memastikan acara berjalan sesuai rencana Memastikan ibu-ibu antusias terhadap materi Memastikan tidak ada peserta yang terlambat Memastikan setiap panitia menjalankan tugas sesuai dengan tugasnya

3. Evaluasi hasil Terjadi peningkatan pengetahuan mengenai HIV Terjadi perubahan perilaku dan kesadaran untuk melakukan VCT Terjadi peningkatan jumlah kunjungan VCT yang dianalisis

berdasarkan buku registrasi. Terjadi peningkatan kepercayaan diri untuk membuka hasil tes dan melakukan konsultasi berkaitan dengan hasil pemeriksaan.

Outcome evaluation Evaluasi buku registrasi puskesmas untuk mengetahui peningkatan jumlah ibu hamil yang melakukan VCT sebelum dan sesudah program ini berlangsung

Lampiran 1 SOP PELAYANAN PETUGAS PENGAMBIL SAMPEL DARAH DI KLINIK VCT TESTING No : CSU/LAB/17 Tanggal pembuatan : 3 Januari 2014 Tanggal peninjauan kembali : 3 Januari 2015
(Sumber : aids-ina.org/files/publikasi/sopklinikvctdirujuk.pdf)

Tujuan : Klien mendapatkan pelayanan pemeriksaan HIV sesuai standar. Identitas klien terjaga kerahasiaannya Hasil test HIV didapatkan pada periode yang sudah ditentukan (maksimal 1 minggu) Penanggung jawab : Petugas Pengambil sampel darah klinik VCT Alat & Bahan : - Buku Registrasi pemeriksaan laboratorium - Form permintaan pemeriksaan Laboratorium - Form permintaan/rujukan ke Laboratorium jejaring - Peralatan pengambilan sampel darah sesuai Standar - Alat tulis Prosedur : 1. Petugas pengambilan darah menerima surat permintaan pemeriksaan yang sudah ditandatangani dokter dari konselor 2. Petugas pengambilan darah mencatat dalam buku pencatatan 3. Petugas pengambilan darah menyiapkan alat pengambilan darah. 4. Petugas menulis code ke tabung SST. 5. Petugas memanggil klien/mendatangi klien di ruang/area pengambilan darah menggunakan nomer registrasi klien dan menyilahkan klien masuk 6. Petugas menjelaskan secara singkat prosedur pengambilan darah dan menyiapkan klien untuk diperiksa 7. Petugas melakukan pengambilan sampel darah sesuai standar yang berlaku. (lihat Protap pengambilan darah) 8. Petugas menyatakan kepada klien bahwa pengambilan sampel sudah selesai.

Lampiran 2 SOP PENGAMBILAN DARAH & PENANGANAN No : CSU/LAB/19 Tanggal pembuatan : 3 Januari 2014 Tanggal peninjauan kembali : 3 Januari 2015
(Sumber : aids-ina.org/files/publikasi/sopklinikvctdirujuk.pdf)

Tujuan : Prosedur tetap pengambilan darah & penanganan sampel untuk dikirim ini ditujukan agar petugas laboratorium/perawat dapat melakukan pengambilan darah & pengiriman sampel namun tetapmemenuhi kaidah kaidah kewaspadaan universal. Penanggung jawab : Prosedur tetap pengambilan darah & pengiriman sample ini harus dilakukan oleh petugas laboratorium dan perawat. Peralatan pengambilan darah 1. Tabung vacuntainer SST. 2. Jarum vacuntainer 3. Holder vacuntainer 4. Wadah limbah tahan tusukan (Biohazard sharp bin) 5. Alkohol swab 6. Plester 7. Wadah limbah biohazard. 8. Coolbox container 9. Hipoklorit 0.5% FURNITURE 1. Meja lab yang dilapisi plastic 2. Tempat sampah Prosedur kerja : 1. Siapkan tabung vacuntainer SST dan beri kode sesuai nomor ID. 2. Siapkan jarum dan beri tahu pasien yang akan diambil darah sebelum membuka jarum bahwa jarum baru dan steril. 3. Pasang jarum pada holder, taruh tutup diatas meja pengambilan darah. 4. Letakan lengan penderita lurus diatas meja dengan telapak tangan menghadap ke atas. 5. Torniquet dipasang 10 cm diatas lipat siku pada bagian atas dari vena yang akan diambil (jangan terlalu kencang).

6. Penderita disuruh mengepal dan menekuk tangan beberapa kali untuk mengisi pembuluh darah. 7. Dengan tangan penderita masih mengepal, ujung telunjuk kiri memeriksa/mencari lokasi pembuluh darah yang akan ditusuk. 8. Bersihkan lokasi dengan kapas alkohol 70 % dan biarkan sampai kering, kulit yang telah dibersihkan jangan dipegang lagi. 9. Pegang holder dengan tangan kanan dan ujung telunjuk pada pangkal jarum. 10. Vena ditusuk pelan-pelan dengan sudut 30-45. 11. Bila jarum berhasil masuk vena, tekan tabung sehingga vakumnya bekerja dan darah terisap kedalam tabung. Bila terlalu dalam, tarik sedikit atau sebaliknya) 12. Bila darah sudah masuk buka kepalan tangan. 13. Isi tabung vacuntainer sampai volume 3 ml. 14. Setelah cukup darah yang diambil, torniquet dilepas. 15. Keluarkan tabung dan keluarkan jarum perlahan-lahan. 16. Penderita diminta untuk menekan bekas tusukan dengan kapas alkohol selama 1 -2 menit. 17. Tutup bekas tusukan dengan plester. 18. Buang bekas jarum kedalam wadah tahan tusukan (Sharp bin Biohazard). 19. Homogenkan darah dengan cara membolak balikan secara perlahan. Prosedur penanganan limbah: 1. Limbah infeksius padat berisi : kapas alcohol bekas pengambilan darah. 2. Limbah infeksius tajam berisi : jarum vacuntainer. 3. Limbah non infeksius berisi : bungkus plester, bungkus alkohol swab, tissue. 4. Setelah selesai melakukan pemeriksaan pisahkan limbah infeksius dan non infeksius dan bila sudah 3/4 penuh ikat kantong plastik dengan tali pengikat. 5. Untuk limbah infeksius bawa sampah kembali ke klinik dan ikuti prosedur penanganan limbah infeksius. 6. Untuk limbah infeksius tajam bawa kembali ke klinik. 7. Untuk limbah non infeksius dibawa ke klinik dan dapat dibakar langsung.

Lampiran 3 SOP PELAYANAN KONSELING PASCATES KLINIK VCT No : CSU/VCT/04 Tanggal pembuatan : 3 Januari 2014 Tanggal peninjauan kembali : 3 Januari 2015
(Sumber : aids-ina.org/files/publikasi/sopklinikvctdirujuk.pdf)

Tujuan : - Klien mendapatkan hasil pemeriksaan test HIV dengan penjelasan implikasinya dari konselor - Klien mendapatkan dukungan sesuai dengan hasil test - Klien mendapatkan dukungan tindak lanjut Penanggung jawab : Konselor VCT Alat & Bahan : - Buku Registrasi - Formulir Konseling Klien yang di test - Formulir hasil testing dari laboatorium - Formulir rujukan ke Manajer Kasus - Alat tulis - Alat peraga (sama dengan konseling pre-test) - Ceklis konseling post-test Prosedur : 1. Konselor memanggil klien dengan menyebutkan nomer register seperti prosedur 1. pemanggilan konseling pre-test. 2. Konselor memperhatikan komunikasi non verbal saat klien memasuki ruang konseling 3. Konselor mengkaji-ulang secara singkat dan menanyakan keadaan umum klien 4. Konselor memperlihatkan amplop hasil tes yang masih tertutup kepada klien 5. Konselor menanyakan kesiapan klien untuk menerima test. Apabila klien menyatakan sudah siap / sanggup menerima hasil tes, maka konselor menawarkan kepada klien untuk membuka amplop bersama konselor Apabila klien menyatakan belum siap, konselor memberi dukungan kepada klien untuk menerima hasil dan beri waktu sampai klien menyatakan dirinya siap 6. Konselor membuka amplop dan menyampaikan secara lisan hasil testing HIV.

7. Konselor memberi kesempatan klien membaca hasilnya. 9. Sediakan waktu yang cukup untuk menyerap informasi tentang hasil 10. Konselor menjelaskan kepada klien tentang hasil testing HIV yang telah dibuka dan yang telah dibaca bersama 11. Konselor memberikan kesempatan dan ventilasikan keadaan emosinya 12. Konselor menerapkan manajemen reaksi Bila hasil test positif: 1. Konselor memeriksa apa yang diketahui klien tentng hasil test 2. Konselor menjelaskan dengan tenang arti hasil pemeriksaan 3. Konselor memberi kesempatan untuk memventilasikan emosi. 4. Konselor memfasilitasi coping problem (kemampuan menyelesaikan masalah) 5. Setelah klien cukup tenang dan konseling dapat dilanjutkan, konselor menjelaskan 6. beberapa informasi sebagai berikut; a. Pengobatan ARV b. Kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual c. Menawarkan konseling pasangan 7. Konselor menawarkan secara rutin klien mengikuti pemeriksaan sifilis dan manfaat pengobatan sifilis. 8. Untuk klien perempuan terdapat fasilitas layanan pemeriksaan kehamilan dan rencana penggunaan alat kontrasepsi bagi laki-laki dan perempuan. 9. Memotivasi agar datang ke klinik untuk evaluasi awal secara medis 10. Konselor dan klien menyepakati waktu kunjungan berikutnya 11. Apabila pada waktu yang ditentukan klien tidak bisa hadir, disarankan untuk menghubungi konselor melalui telepon untuk perjanjian berikutnya 12. Konselor memberi kesempatan kepada klien untuk bertanya mengenai hal-hal yang belum diketahui 13. Konselor menawarkan pelayanan VCT pada pasangan klien 14. Apabila klien sudah jelas dan tidak ada pertanyaan, maka konseling pasca-testing ditutup 15. Memotivasi agar bersedia didampingi oleh MK 16. Konselor mengisi form pasca-konseling

Bila hasil test negatif: 1. Konselor mendiskusikan kemungkinan klien masih berada dalam periode jendela 2. Konselor membuat ikhtisar dan gali lebih lanjut berbagai hambatan 3. Konselor memastikan klien paham mengenai hasil test yang diterima dan pengertian periode jendela 4. Menjelaskan kebutuhan untuk melakukan tes ulang dan pelayanan VCT bagi pasangan 5. Menjelaskan upaya penurunan risiko yang dapat dilakukan 6. Konselor memberi kesempatan kepada klien untuk bertanya mengenai hal-hal yang belum diketahui 7. Apabila klien sudah jelas dan tidak ada pertanyaan, maka konseling pasca-testing ditutup 8. Konselor memotivasi agar bersedia didampingi oleh MK untuk mempertahankan perilaku yang aman. 9. Membut perjanjian untuk kunjungan ulang bila dibutuhkan 10. Konselor mengisi form pasca koseling

DAFTAR PUSTAKA Aaids-ina.org/files/publikasi/sopklinikvctdirujuk.pdf diakses tanggal 18 Desember 2013 pukul 13.15 WIB Barker M. Pierre dan Kedar Mate. 2012. Eliminating Mother-To-Child HIV Transmission Will Require Major Improvements In Maternal And Child Health Services Dinkes Surabaya. 2008. Statistik HIV/AIDS, Infeksi Menular Seksual, DBD dan Diare pada Balita Ditangani Kabupaten/Kota Surabaya Tahun 2008. Surabaya: Dinkes Surabaya. Ditjen PP & PL Kemkes RI. 2008. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia Dilapor hingga Desember 2008. Jakarta: Kemkes RI. Ditjen PP & PL Kemkes RI. 2013. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia Dilapor hingga Juni 2013. Jakarta: Kemkes RI. Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Tidak ada tahun. Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu ke Bayi, Panduan bagi Petugas Kesehatan. IDI. Kemkes. 2008. Pemodelan Matematika Epidemi HIV di Indonesia Tahun 2008-2014. Jakarta: Kemkes RI. Kemkes. 2009. Laporan Triwulan Kasus AIDS dan HIV 30 Juni 2009. Jakarta: Kemkes RI. Kemkes BPS. 2008. Surveilans Terpadu Biologis Perilaku pada Kelompok Berisiko Tinggi di Indonesia 2007. Jakarta: Kemkes BPS. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). 2010. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS Tahun 2010 2014. KPAN. Pemkot Surabaya. 2013. Profil Kota Surabaya. Surabaya: Pemkot Surabaya. Alamat website: http://www.surabaya.go.id/profilkota. Diakses pada: 8 Oktober 2013. Purwaningsih dkk. 2011. Analisis Faktor Pemanfaatan VCT pada Orang Risiko Tinggi HIV/AIDS (journal.unair.ac.id/filerPDF/001_putu_001.doc diakses tanggal 17 Desember 2013) Repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30598/3/Chapter%20II.pdf diakses tanggal 17 Desember 2013

Sim.nilim.go.jp/GE/Survey/SURABAYA.PPT diakses pada tanggal 18 Desember 2013 UNAIDS. 2008. Report of Global AIDS Epidemic 2008. UNAIDS. UNDP. 2004. Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2004 Goal 6. UNDP. Alamat website: undp or id pubs imdg 2013. ndonesia oal pdf. Diakses pada: 8 Oktober

También podría gustarte