Está en la página 1de 91

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

HUBUNGAN PENGGUNAAN KELAMBU BERINSEKTISIDA DENGAN KEJADIAN MALARIA DI KABUPATEN HALMAHERA TIMUR A. Arsunan Arsin1 , Muhammad Nasir2, Rasdi Nawi 1
1

Konsentrasi Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 2 Staf Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Timur ABSTRACT

Province of North Maluku is still one area that has a very high malaria endemicity, the number of clinical malaria in 2008 was 20,875 cases, with the Annual Malaria Incidence (AMI) 37.5%o. One method of eradication of malaria vectors is the use of insecticide-treated nets. This study aims to determine the relations of the use of insecticide-treated nets with the incidence of malaria.The study was analytical observastion using a cross sectional study. The study was conducted in East Halmahera regency from Mart to May 2011. The number of sampel was 200 respondents. The data were analyzed bivariately using chi square and multivariately by using logistic regression. The results of the studi indicate that 31 (15,5%) of the respondents using bed nets have malaria positive. The use of insecticide-treated nets in which X2 = 9.604 and p = 0.002, frequency of use in which X 2 = 56.664 and p = 0.000 and the treatment of insecticidetreated nets in which X2 = 6.580 and p = 0.010 associated with the incidence of malaria, time of the use of bed nets in which X2 = 0.003 and p = 0.956 and materials in which X 2 = 0.198 and p = 0.656 were not related to the incidence of malaria. The frequency of the use of bed nets is the variable which has a strong correlation with the incidence of malaria in East Halmahera Regency. This study suggested that each family use insecticide-treated nets to reduce the incidence of malaria. Key words: malaria, insecticide-treated nets PENDAHULUAN Malaria adalah penyakit parasit yang terjadi di daerah tropis dan subtropis di dunia. Sebanyak 500 juta kasus malaria terjadi setiap tahun, dan satu juta orang, kebanyakan anak-anak meninggal karena malaria. Sekitar 2,37 milyar orang (35% dari populasi dunia) tinggal di daerah berisiko penularan Plasmodium falciparum (Guerra, dkk., 2008). Kawasan Timur Indonesia dilaporkan memiliki kasus malaria tertinggi antara lain provinsi Papua, NTT, Maluku, Maluku Utara dan Sulawesi Tenggara. Upaya untuk menekan angka kesakitan dan kematian dilakukan melalui program pemberantasan malaria. Program ini meliputi diagnosis dini, pengobatan cepat dan tepat, surveilans dan pengendalian vektor yang ditujukan untuk memutus mata rantai penularan malaria (Masse, dkk., 2009). Propinsi Maluku Utara (2009) memiliki endemisitas malaria yang sangat tinggi, jumlah penderita malaria klinis tahun 2008 sebanyak 20.875 kasus, dengan Annual Malaria Insidens (AMI) 37,5%. Sebanyak 20.273 kasus (97,12%) klinis didiagnosis dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopis maupun dengan Rapid Diagnostic Test (RDT).Dari hasil pemeriksaan diagnosa tersebut 7.315 kasus (35%) adalah positif malaria dengan jumlah dan jenis plasmodium yang ditemukan antara lain Plasmodium vivax 3.193 (43,65%), Plasmodium falciparum 2.979 (40,72%), Plasmodium malariae 27 (0,37%) dan mix 1.116 (15.26%). Jumlah kematian karena malaria 28 orang. Salah satu cara yang digunakan untuk pemberantasan vektor malaria dengan tujuan menekan populasi vektor sehingga tidak berperan lagi dalam penularan malaria adalah menggunakan kelambu celup insektisida atau Insecticide Treated Net (ITN) yang cukup efektif sebagai proteksi diri terhadap gigitan nyamuk serta mampu mencegah penularan malaria (Hakim, dkk., 2006). Penggunaan kelambu insektisida memberikan perlindungan individu yang signifikan, tetapi efek langsung dan tidak langsung kelambu insektisida dan kelambu tidak berinsektida terhadap penularan malaria masih sedikit dipahami (Gonosiu, dkk., 2008). Efektifitas kelambu berinsektisida tergantung dari kontak langsung dengan nyamuk. Saat ini monitoring dan evaluasi program kelambu berinsektisida hanya terfokus pada kasakitan dan kematian manusia, namun kurang memperhatikan entomologi setempat. Tanpa mengetahui dinamika spesis vektor setempat dan responnya terhadap kelambu insektisida, maka akan sulit untuk memperkirakan hasilnya secara klinis (Gu, dkk., 2009). Tujuan penelitian ini adalah tntuk mengetahui efektifitas penggunaan kelambu berinsektisida terhadap kejadian malaria. BAHAN DAN METODE Rancangan dan Lokasi Penelitian Jenis penelitian ini adalah peneitian yang bersifat observasional analitik dengan menggunakan desain studi Cross Sectional. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Halmahera Timur.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

169

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Populasidan Sampel Populasi penelitian ini adalah semua masyarakat dalam wilayah kabupaten Halmahera Timur yang menerima kelambu berinsektisida. Sampel adalah semua masyarakat yang terpilih sesuai dengan ketentuan sampel yaitu bayi, balita, ibu hamil dan masyarakat miskin, yang bersedia untuk menjadi objek penelitian ini dan berdomisili di Kabupaten Halmahera Timur dan menggunakan kelambu berinsektisida. Besar sampel dalam penelitian ini adalah 200 yang diperoleh secara Sampling Purposive. Analisis Data Pengolahan data yang dilakukan meliputi editing, coding, entry dan cleaning. Analisis data yang dilakukan untuk penelitian ini menggunakan analisis univariat, bivariat dan multivariat. Tampilan data kategorik berupa frekuensi dan persentase dan analisis bivariat menggunakan odds ratio dan multivariat dengan regresi berganda logistic yang diolah dengan program SPSS. HASIL Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang menderita malaria proporsi paling tinggi pada kelompok umur 15-19 tahun yaitu 20,0%, dan paling rendah pada kelompok umur 10 14 tahun yaitu 11,1%. proporsi lebih tinggi pada laki-laki yaitu 16,9%, dibandingkan dengan perempuan yaitu 14,7%. Proporsi paling tinggi pada tingkat pendidikan SD yaitu 19,6%, dan paling rendah pada tingkat pendidikan perguruan tinggi 0,0% (Tabel 1). Tabel 1 Distribusi Karakteristik Responden di Kabupaten Halmahera Timur Tahun 2011 Kejadian Malaria Tidak % n % 15,2 14,7 11,1 20,0 15,4 15,6 16,9 14,7 13,6 19,6 10,3 17,1 0,0 17,6 14,1 0,0 16,7 0,0 0,0 18,8 0,0 28 29 8 12 11 81 59 110 57 45 26 39 2 84 55 2 5 3 4 13 3 84,8 85,3 88,9 80,0 84,6 84,4 83,1 85,3 86,4 80,4 89,7 82,9 100,0 82,4 85,9 100,0 83,3 100,0 100,0 81,2 100,0 Jumlah n 33 34 9 15 13 96 71 129 66 56 29 47 2 102 64 2 6 3 4 16 3 % 16,5 17,0 4,5 7,5 6,5 48,0 35,5 64,5 33,0 28,0 14,5 23,5 1,0 51,0 32,0 1,0 3,0 1,5 2,0 8,0 1,5

Karakteristik Responden n Kelompok Umur (tahun) 0-4 5-9 10 - 14 15 - 19 20 - 24 25 Jenis kelamin Laki-Laki Perempuan Pendidikan Tidak Sekolah SD SLTP SLTA PT Pekerjaan Tidak Bekerja Petani Nelayan Pedagang Buruh URT Pelajar Lain-lain Data Primer 5 5 1 3 2 15 12 19 9 11 3 8 0 18 9 0 1 0 0 3 0

Ya

Tabel 2 menunjukkan bahwa umumnya responden telah menggunakan kelambu berinsektisida dengan memasukkan bagian bawah kelambu ke bawah kasur (risiko rendah) sebanyak 193 orang (96,5%), menggunakan kelambu berinsektisida pada pukul 21.00 keatas (risiko tinggi) sebanyak 162 orang (81,0%), selalu menggunakan kelambu berinsektisida (risiko rendah) sebanyak 186 orang (93,0%), tidak merawat kelambu berinsektisida (risiko tinggi) sebanyak 119 orang (59,5%), kelambu yang digunakan berbahan polyester 183 orang (91,5%). Responden yang menderita malaria sebanyak 31 orang (15,5%) sedangkan yang tidak menderita malaria sebanyak 169 orang (84,5%).

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

170

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tabel 2 Distribusi Variabel Penelitian di Kabupaten Halmahera Timur Tahun 2011 Kelambu Berinsektisida Penggunaan Risiko Tinggi Risiko Rendah Waktu Penggunaan Risiko Tinggi Risiko Rendah Frekuensi Penggunaan Risiko Tinggi Risiko Rendah Perawatan Kelambu Risiko Tinggi Risiko Rendah Bahan Kelambu Polyester Katun Kejadian Malaria Ya Tidak Data Primer Frekuensi 7 193 162 38 14 186 81 119 183 17 31 169 % 3,5 96,5 81,0 19,0 7,0 93,0 40,5 59,5 91,5 8,5 15,5 84,5

Tabel 3 menunjukkan bahwa responden yang menderita malaria lebih banyak menggunakan kelambu berinsektisida dengan tidak memasukaan ujung bawah kelambu ke bawah kasur lebih banyak menderita malaria yaitu 4 orang (57,1%), menggunakan kelambu berinsektisida diatas pukul 21.00 (risiko tinggi) yaitu 25 orang (15,4%), kadang menggunakan kelambu berinsektisida (risiko tinggi) yaitu 12 orang (85,7%), tidak merawat kelambu berinsektisida 19 orang (23,5%), dan menggunakan bahan kelambu berinsektisida dari polyester 29 orang (15,8%). Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh penggunaan dan frekuensi penggunaan dan perawatan kelambu berinsektisida berhubungan dengan kejadian malaria (p<0,05), sedangkan waktu penggunaan dan bahan kelambu berinsektisida tidak berhubungan dengan kejadian malaria (p>0,05). Tabel 3 Hubungan Penggunaan, Waktu, Frekuensi, Perawatan Dan Bahan Kelambu Berinsektisida Dengan Kejadian Malaria di Kabupaten Halmahera Timur Tahun 2011 Kejadian Malaria Ya Tidak % n % 57,1 14,0 15,4 15,8 85,7 10,2 23,5 10,1 15,8 11,8 3 166 137 32 2 167 62 107 154 15 42,9 86,0 84,6 84,2 14,3 89,8 76,5 89,9 84,2 88,2 Jumlah n 7 193 162 38 14 186 81 119 183 17 % 3,5 96,5 81,0 19,0 7,0 93,0 40,5 59,5 91,5 8,5 0,012

Kelambu Berinsektisida n Penggunaan Risiko Tinggi Risiko Rendah Waktu Penggunaan Risiko Tinggi Risiko Rendah Frekuensi Penggunaan Risiko Tinggi Risiko Rendah Perawatan Kelambu Risiko Tinggi Risiko Rendah Bahan Kelambu Polyester Katun Data Primer 4 27 25 6 12 19 19 12 29 2

0,956

0,000

0,010

1,000

Tabel 4 menunjukkan bahwa pada langkah pertama dari 3 variabel yang memenuhi syarat untuk uji multivariat, variabel yang berhubungan dengan kejadian malaria yaitu frekuensi pengunaan kelambu berinsektisida (p=0,000) dengan nilai wald 21,09. Pada tahap kedua variabel perawatan kelambu dikeluarkan dari analisis. Pada tahap ini variabel yang berpengaruh adalah cara penggunaan dan frekuensi penggunaan kelambu berinsektisida (p<0,05). Diantara kedua variabel ini variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian malaria adalah frekuensi penggunaan kelambu berinsektisida dengan nilai wald = 23,3. Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013 171

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tabel 4 Variabel yang Paling Berpengaruh terhadap Kejadian Malaria di Kabupaten Halmahera Timur Tahun 2011 Kejadian Malaria Langkah 1 Cara Penggunaan Kelambu Frekuensi Penggunaan Perawatan Kelambu Constant Langkah 2 Cara Penggunaan Kelambu Frekuensi Penggunaan Constant Data Primer PEMBAHASAN Kelambu memberi perlindungan terhadap nyamuk, lalat dan serangga lainnya termasuk penyakit yang disebabkan oleh serangga-serangga tersebut, seperti, malaria dan filariasis. Responden yang menggunakan kelambu berinsektisida dengan tidak memasukkan ujung kelambu bawah ke bawah kasur atau tikar lebih banyak menderita malaria yaitu 4 orang (57,1%), dibanding tidak menderita malaria sebanyak 3 orang (42,9%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,021, yang berarti ada hubungan antara penggunaan kelambu berinsektisida dengan kejadian malaria. Hal ini menunjukkan kesadaran masyarakat sudah tinggi untuk menggunakan kelambu sudah menurunkan insidensi kejadian malaria. Telah diketahui bahwa penggunaan kelambu insektisida memberikan perlindungan individu yang signifikan, tetapi efek langsung dan tidak langsung kelambu insektisida dan kelambu tidak berinsektida terhadap penularan malaria pada masyarakat luas masih sedikit dipahami (Gonosiu, dkk., 2008). Daya bunuh residu insektisida berbagai dosis pada kelambu celup tehadap kematian Culex quinquefasciatus sebesar 70% pada dosis rendah 0,01 ml/m2 dan membunuh 90-100% pada dosis tinggi 0,04 ml/m2(7) Sebuah penelitian yang dilakukan di Flores Timur menunjukkan bahwa penggunaan kelambu yang ditambahkan insektisida permetrin 0,20 g/m2 mampu mengurangi insiden malaria dan filariasis selama 5 bulan penggunaan dari 25,70% ke 21,95% untuk malaria dan dari 4,20% ke 2,44% untuk filariasis (Wikipedia, 2009). Suatu penelitian yang dilakukan di Ghana bagian utara menunjukkan bahwa risiko kematian pada anak yang tidak menggunakan kelambu insektisida meningkat 6,7% dibandingkan dengan yang menggunakan kelambu berinsektisida (Eisele, 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya responden menggunakan kelambu berinsektisida pada pukul 21.00 keatas (risiko tinggi) sebanyak 162 orang (81,0%) sedangkan responden yang menggunakan kelambu berinsektisida mulai sebelum pukul 21.00 (risiko rendah) sebanyak 38 orang (19,0%). Responden yang menggunakan kelambu berinsektisida diatas pukul 21.00 (risiko tinggi) lebih banyak menderita malaria yaitu 25 orang (15,4%), dibanding tidak menderita malaria sebanyak 137 orang (84,6%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,956. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara waktu penggunaan kelambu berinsektisida dengan kejadian malaria. Suatu penelitian menemukan bahwa nyamuk Anopheles aconitus biasanya aktif mengigit pada waktu malam hari, hampir 80% dari vektor ini bisa dijumpai diluar rumah penduduk antara jam 18.00 22.00. Nyamuk jenis aconitus ini hanya mencari darah didalam rumah penduduk. Setelah itu biasanya langsung keluar. Anopheles sundaicus aktif menggigit sepanjang malam tetapi paling sering antara pukul 22.00 - 01.00 dini hari. Pada waktu malam hari nyamuk masuk ke dalam rumah untuk mencari darah, hinggap didinding baik sebelum maupun sesudah menghisap darah. Vektor Anopheles maculatus betina lebih sering mengisap darah binatang daripada darah manusia. Vektor jenis ini aktif mencari darah pada malam hari antara pukul 21.00 hingga 03.00. Nyamuk Anopheles barbirostris lebih sering menggigit manusia daripada binatang. Jenis nyamuk ini biasanya mencari darah pada waktu malam hingga dini hari berkisar antara pukul 23.00 -05.00. Frekuensi mencari darah tiap tiga hari sekali (Hiswani, 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya responden selalu menggunakan kelambu berinsektisida (risiko rendah) sebanyak 186 orang (93,0%) sedangkan responden yang kadang kadang menggunakan kelambu berinsektisida (risiko tinggi) sebanyak 14 orang (7,0%). Responden yang kadang menggunakan kelambu berinsektisida (risiko tinggi) lebih banyak menderita malaria yaitu 12 orang (85,7%), dibanding tidak menderita malaria sebanyak 2 orang (14,3%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara frekuensi penggunaan kelambu berinsektisida dengan kejadian malaria. B 1,811 3,749 ,657 -9,874 1,911 3,913 -9,379 Wald 3,812 21,098 1,925 16,027 4,289 23,353 14,978 Sig, 0,051 0,000 0,165 0,000 0,038 0,000 0,000 Exp(B) 6,116 42,494 1,929 0,000 6,760 50,072 0,000

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

172

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Efektifitas kelambu berinsektisida tergantung dari kontak langsung dengan nyamuk sehingga dapat membunuh atau menghalaunya. Saat ini monitoring dan evaluasi program kelambu berinsektisida hanya terfokus pada kesakitan dan kematian manusia, namun kurang memperhatikan entomologi setempat. Tanpa mengetahui dinamika spesis vektor setempat dan responnya terhadap kelambu insektisida, maka akan sulit untuk memperkirakan hasilnya secara klinis (Gu, dkk., 2009). Kelambu sebaiknya digunakan ketika mau tidur malam atau siang. Frekuensi penggunaan kelambu berinsektisida sangat membantu mengurangi populasi nyamuk, karena pada saat kelambu tersebut dibentangkan insektisida yang melekat pada serat-sarat kelambu akan mengeluarkan bau insektisida sehingga dapat mengurangi populasi nyamuk di dalam rumah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi penggunaan kelambu secara terus menerus antara 8-9 kali sebagai perlindungan dari gigitan nyamuk diperoleh rata-rata 25% (Suharjo, 2003). Penelitian yang menyatakan analisis hubungan antara pemakaian kelambu dengan kejadian malaria (p = 0,017). Dalam uji tersebut diperoleh Odds Ratio 2,4 dengan confidence interval (CI) 95 % = 1,226 4,845, dengan kata lain responden yang mempunyai kebiasaan tidur tidak memakai kelambu mempunyai risiko terkena malaria 2,4 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang mempunyai kebiasaan tidur memakai kelambu (Erdinal, 2006). Efektifitas kelambu juga sangat dipengaruhi oleh perawatan kelambu yang baik dan benar. Perawatan yang salah dapat membuat kelambu menjadi cepat rusak atau efektifitas kelambu akan berkurang. Untuk menghindari masuknya nyamuk, kondisi kelambu harus dijaga supaya tidak ada bagian yang robek karena akan membuat nyamuk dapat masuk ke dalam kelambu. Agar kelambu yang digunakan dapat memberikan efektifitas yang cukup lama, maka dibutuhkan perawatan khusus terhadap kelambu tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden tidak merawat kelambu berinsektisida (risiko tinggi) sebanyak 119 orang (59,5%) sedangkan responden yang merawat kelambu berinsektisida (risiko rendah ) sebanyak 81 orang (40,5%). Hasil uji statistik diperoleh nilai 0 = 0,010. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara perawatan penggunaan kelambu berinsektisida dengan kejadian malaria. Perawatan kelambu yang dapat dilakukan yaitu dicuci dengan air dingin ditambah sabun lalu dikeringkan di tempat yang teduh. Pencucian kelambu dapat dilakukan 4 kali selama setahun dengan interval waktu pencucian 3 bulan sekali. Sebaiknya pada saat mencuci kelambu agar tidak disikat, karena dapat merusak serat dari kelambu tersebut sehingga mudah robek. Namun pencucuian ini akan mengakibatkan kandungan pesitisida pada kelambu akan berkurang sehingga tidak efektif untuk membunuh nyamuk. Oleh karena itu industri kemudian mengembangkan kelambu yang dapat ditambahkan insektisida sehingga bertahan lama. Masih menggunakan insektisida piretroid tetapi diikat dengan bahan kimia tertentu, kelambu ini tahan dicuci hingga 20 kali sehingga dapat digunakan selama tiga tahun atau lebih. Walau memungkinkan dilewati udara, jumlah udara yang dapat lewat kelambu berkurang dari pada tidak menggunakannya. Akibatnya tidur di bawah kelambu dapat merasa lebih panas dibanding tanpa kelambu, terutama di daerah tropis yang tidak dilengkapi AC. Kelambu insektisida juga dapat dicuci beberapa kali untuk membersihkan dari debu-debu yang menempel. Pencucian kelambu sebaiknya dilakukan setiap 3 bulan. Bila sering dicuci maka insektisida yang melekap pada kelambu akan larut bersama air. Untuk mengeringkan kelambu, sebaiknya dilakukan dengan cara dijemur di tempat yang teduh yang tidak terkena sinar matahari langsung, karena sebagian insektisida akan menguap pada suhu tertentu. Penelitian yang dilakukan di Flores Timur menunjukkan bahwa penggunaan kelambu yang ditambahkan insektisida permetrin 0,20 g/m2 mampu mengurangi insiden malaria dan filariasis selama 5 bulan penggunaan dari 25,70% menjadi 21,95% untuk malaria dan dari 4,20% menjadi 2,44% untuk filariasis. Akan tetapi insektisida pada kelambu ini biasanya tidak bertahan lama karena akan hilang setelah enam kali pencucian dan perlu ditambahkan insektisida kembali. Hasil penelitian yang menyatakan kelambu celup insektisida permethrin tanpa dicampur bahan perekat, sudah tidak efektif terhadap nyamuk setelah dicuci lima kali. Kelambu yang dicelup bahan perekat acrylic dan arthatrin tidak efektif setelah dicuci 20 kali (Hakim, dkk., 2006). Penelitian yang menyatakan waktu untuk dapat membunuh nyamuk lebih besar atau sama dengan 70% setelah aplikasi untuk kelambu yang proses pengeringannya selama 12 minggu, dibanding yang proses pengeringannya selama 6 minggu (Suwasono, dkk., 2003). Jenis kelambu Olyset net berbahan polyester, sedangkan jenis permanet berbahan katun, kedua jenis insektisida tersebut menggunakan bahan insektisida permetrin 2%. Insektisida yang digunakan pada kelambu aman bagi manusia dan telah digunakan di banyak negara. Beberapa bahan yang dapat digunakan sebagai kelambu yang dapat dipoles dengan insektisida yaitu polyester, katun dan plastic. Bahan aktif insektisida K-Otab termasuk golongan bahan kimia piretroid dengan komposisi Delmethrin 25% merupakan insektisida yang digunakan untuk memoles kelambu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya responden mengunakan kelambu berbahan polyester sebanyak 183 orang (91,5%) sedangkan responden yang menggunakan kelambu berbahan katun sebanyak 17 orang (8,5%).

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

173

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Responden yang menggunakan bahan kelambu berinsektisida dari polyester lebih banyak tidak menderita malaria yaitu 154 orang (84,2%), dibanding menderita malaria sebanyak 29 orang (15,8%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 1,000. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara bahan kelambu berinsektisida dengan kejadian malaria. Jenis bahan kelambu berinsektisida tidak ada berhubungan yang bermakna dengan kejadian malaria, artinya efektifitas kelambu berinsektisida tidak tergantung dari jenis bahan yang digunakan, tetapi ditentukan oleh jenis zat insektisida yang terkandung di dalamnya. Bahan yang biasa dipakai untuk kelambu adalah nilon, polyester, katun dan politen. Politen jarang digunakan karena mudah terbakar sehingga kurang aman bagi penggunanya. Kelambu celup permethrin dari bahan polyester dan nilon mempunyai daya bunuh nyamuk yang lebih tinggi dibandingkan dari katun yang diberi dosis yang sama. Umumnya kelambu berwarna putih, tapi warna lain kadang-kadang lebih disukai terutama warna-warna yang tidak cepat kotor (Harminarti, 2008). KESIMPULAN dan SARAN Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa cara penggunaan, frekuensi penggunaan dan perawatan kelambu berinsektisida berhubungan dengan dengan kejadian malaria (p<0,05), sedangkan waktu penggunaan dan bahan kelambu tidak berhubungan dengan kejadian malaria (p>0,05). Diisarankan kepada masyarakat agar kelambu digunakan setiap akan tidur terutama pada malam hari agar tidak tergigit nyamuk, setiap keluarga perlu diberi pengertian pentingnya menggunakan kelambu untuk menurunkan insidensi malaria, kelambu yang telah dicuci berulang kali perlu diberi pestisida lagi agar fungsi untuk membunuh nyamuk tidak berkurang, dan Pemerintah hendaknya memberikan bantuan kelambu pada daerah endemik malaria disesuaikan dengan kondisi geografi. DAFTAR PUSTAKA Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara, 2009. Profil Malaria Propinsi Maluku Utara tahun 2008. Bidang PP-PL Dinkes.Propinsi Maluku Utara, Ternate. Eisele, T.P., 2010. Protective Efficacy of Interventions fp Preventing Malaria Mptality in Children in Plasmodium falciparum Endemic Areas. International Journal of Epidemiology. (http://creativecommons.pg), diakses tanggal 12 Januari 2011). Erdinal, dkk., 2006. Faktp-faktp yang berhubungan dengan Kejadia Malaria di Kecamatan Kampar Kiri Tengah, Kabupaten Kampar. Makara Kesehatan Vol 10. (http://www.fkm.undip.ac.id), diakses 12 Januari 2011. Guerra, C.A., dkk, 2008. The Limits and Intensity of Plasmodium falciparum Transmission: Implications fp Malaria Gonosiu, L., 2008. Spatial Effect of Mosquito Bednets on Child Mptality. BMC Public Health. (http://biomedcentral.com). Diakses tanggal 13 Januari 2011. Gu, W., dkk., 2009. Predicting the Impact of Insecticide-Treated Bed Nets on Malaria Transmission: the Devil is in the Detail. Malaria Journal. (http://www.malariajournal.com.), diakses tanggal 11 Januari 2011 Hakim, L., dkk, 2006. Efikasi Kelambu Celup Insektisida yang Dicampur Acrylic dan Arthatrin terhadap Nyamuk Anopheles sundaicus. Loka Litbang P2B2 Depkes RI, Ciamis. Harminarti, N., 2008. Kelambu Celup Permetrin. Majalah Kedokteran Andalas Hiswani, 2004. Gambaran penyaklt dan vektp malaria di Indonesia . Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. (http://www.repositpy.usu.ac.id), diakses 14 Januari 2011. Masse A., dkk, 2009. Distribusi dan Penggunaan Kelambu Berinsektisida di Kota Tidpe Kepulauan. Wpking Paper Series. Universitas Gajah Mada, Jogjakarta. Suwasono, H., dkk, 2003. Uji Efikasi Kelambu Celup Insektisida Berbahan Aktif Alphacypermethrin terhadap Vektp Parasit Culex quiquefasciatus. Jurnal Ekologi Kesehatan.Vol 3. Wikipedia, 2007. Kelambu Insektisida. (http://www.wikipedia.com) diakses 5 Januari 2011. Suharjo, dkk, 2003. Perilaku Masyarakat dalam Menggunakan Kelambu Celup di Daerah Endemik Malaria, MimikaTimur , Irian Jaya. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 2.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

174

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

FAKTOR RISIKO TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS NAMLEA KABUPATEN BURU PROVINSI MALUKU TAHUN 2007 2009 A. Zulkifli Abdullah1, Arman Abbas2, Rasdi Nawi1
1

Konsentrasi Epidemiologi Program Pascasarjana FKM Unhas, Makassar 2 Dinas Kesehatan Kabupaten Buru, Maluku ABSTRACT

Lung tuberculosis is a public health problem in developing countries including Indonesia. In Buru Regency, the Case Datection Rate (CDR) TB BTA positive in 2005 was 21% and increased to 27% and 28% in 2006 and 2007 respectively. At the Namlea Public Health Center the CDR TB BTA positive in 2006 was 37% and increased to 42% in 2007. The aim of the study was to discover the risk factors of ventilation width, rooms, density of occupants, income, smoking behavior, nutritional status, household contacts, and duration of household contacts. The study was analitycal observation using a case control study. The number of samples was 204 people selected by simple random sampling. The samples were divided into 68 cases and 136 controls. Matching using age and initial data was done by using TB 03 UPK and regency. The data were analyzed by using SPSS version 13.The result of the study indicate that the ventilation width (OR=0,91; 0,49-1,66; 95%CI) and rooms (OR=0,82; 0,27-2,43; 95%CI) are protective factors of lung TB. The density of house occupants (OR=3,01; 1,62-5,58; 95%CI), income (OR=1,34; 0,75-2,14; 95%CI), smoking behavior (OR=2,48; 1,36-4,50; 95% CI), nutritional status (OR=2,16; 1,08-4,32; 95%CI), household contacts (OR=3,05; 1,67-5,59; 95%CI) and duration of household contacts (OR=4,50; 2,39 8,31; 95%CI) are risk factors of lung TB. The most dominant variable affecting the lung TB incidence is duration of household contacts (Exp(B)=5,018; 1,477-17,050; 95%CI). It is suggested that comprehensive sosialization about healthy house, empowerment of community for healthy life, improvement of family nutrition and active surveillance of lung TB is necessary. Key words : lung TB, risk factors PENDAHULUAN Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis yang saat ini dikenal sebagai penyakit menular yang sangat infeksius. Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama dikenal didunia dan merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan di negara-negara berkembang (Depkes RI, 2008). Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah penderita TB menempati urutan nomor 3 terbanyak di dunia sebanyak 583.000 penderita setelah India sebanyak 2 juta dan Cina sebanyak 1,5 juta (Hiswani, 2004)). Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, TB Paru merupakan penyakit penyebab kematian urutan ke-3 yaitu sekitar 10% setelah kardiovaskuler (19%) dan penyakit saluran pernafasan (16%) dan merupakan penyebab kematian utama golongan penyakit Infeksi (Depkes RI, 2005) Secara umum, sampai dengan tahun 2005 cakupan penemuan kasus baru(CDR) TB Paru BTA positif di Provinsi Maluku sebesar 41% dengan angka kesembuhan 68,3%. Penemuan kasus tertinggi berada di Kota Ambon yaitu CDR > 70% (Subdin P2M PL, 2007). Situasi TB di Kabupaten Buru menunjukkan kecenderungan mengalami peningkatan. Menurut laporan Sub Bidang P2M Dinas Kesehatan Kabupaten Buru yang tercatat pada Profil Sub Dinas P2M, angka penemuan kasus (CDR) TB BTA positif pada tahun 2005 adalah 21% dan meningkat menjadi 27 % dan 28 % pada tahun 2006 dan 2007. Namun, pada tahun 2008 CDR TB menunjukkan penurunan yaitu hanya 19%. Kecenderungan peningkatan penemuan kasus baru TB BTA postif di Kabupaten Buru sejak tahun 2004 sampai tahun 2006 tidak diikuti dengan peningkatan angka kesembuhan ( Cure Rate / CR). CR TB di Kabupaten Buru sejak tahun 2005 sampai 2008 berfluktuasi dan menunjukkan kecenderungan penurunan. Jika pada tahun 2005, CR TB Paru hanya 21%, maka pada tahun 2006 meningkat perlahan menjadi 44% yang kemudian turun secara signifikan menjadi 31% (Subdin P2M, 2008). Evaluasi yang dilakukan terhadap pelaksanaan program P2 TB di wilayah kerja Puskesmas Namlea menunjukkan bahwa terjadi peningkatan angka penemuan kasus TB BTA positif pada tahun 2006 dan 2007. Pada tahun 2006, CDR TB BTA positif 37% meningkat menjadi 42% pada tahun 2007. Angka kesembuhan (CR) TB di wilayah kerja Puskesmas Namlea menunjukkan penurunan pada tahun 2006 dan 2007. Jika pada tahun 2006 CR TB 65%, maka pada tahun 2007 menurun menjadi 42% (Subdin P2M, 2008). Upaya penanggulangan TB terus dilakukan terutama pada wilayah yang dikategorikan sebagai wilayah dengan tingkat penemuan kasus aktif (Active Case Finding) yang tinggi. Upaya penanggulangan dimulai dari penemuan, pengobatan sampai rehabilitasi penderita TB. Insidensi kasus TB pada suatu wilayah merupakan indikator untuk menilai keberhasilan pengobatan TB di masyarakat. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap rendah maupun tingginya angka insidens tersebut. Faktor-faktor ini baik secara

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

175

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kejadian TB bahkan dapat menjadi faktor risiko TB. Faktor-faktor ini penting untuk diketahui sebagai informasi yang baik dalam menentukan tindakan intervensi selanjutnya. Penelitian ini bertujuan ntuk menganalisis faktor risiko TB di wilayah kerja Puskesmas Namlea Kabupaten Buru Provinsi Maluku. BAHAN dan METODE Rancangan dan Lokasi Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasi analitik dengan desain Case Control Study dengan mengidentifikasi penderita TB paru BTA positif dan bukan penderita TB Paru yang datang berobat di Puskesmas Namlea. Setelah itu, dilakukan penelusuran secara retrospektif untuk mengetahui faktor risiko yang diduga sebagai penyebab kejadian TB Paru Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Namlea, Provinsi Maluku. Alasan pemilihan wilayah kerja Puskesmas Namlea adalah selain merupakan ibukota Kabupaten, Puskesmas Namlea mempunyai angka penemuan kasus baru TB yang tinggi bila dibandingkan dengan wilayah kerja puskesmas yang lain. Selain itu, penelitian tentang faktor risiko kejadian TB di wilayah kerja Puskesmas Namlea masih sangat minim, bahkan belum pernah dilakukan sebelumnya. Populasi dan Sampel Populasi adalah seluruh pengunjung Puskesmas Namlea pada yang datang, berobat dan terdaftar pada register rawat jalan Puskesmas Namlea periode waktu tahun 2007 sampai dengan triwulan II Tahun 2009. Sampel dibagi dalam dua kelompok sampel, yaitu kelompok kasus dan kontrol. Kelompok kasus yaitu pengunjung puskesmas Namlea yang datang, berobat dan berdasarkan hasil pemeriksaan sputum di laboratorium serta diagnosa dokter adalah penderita TB BTA (+). Sedangkan kelompok kontrol dalam penelitian ini adalah suspek TB yang diperiksa sputumnya tapi hasil pemeriksaan sputum dilaboratorium adalah BTA (-). Untuk menghindari bias seleksi pada sampel didalam penelitian ini, maka dibuat kriteria sampel pada kelompok kasus maupun kontrol didalam penelitian ini yaitu; 1) berdomisili di kecamatan Namlea, 2) berumur lebih dari 15 tahun, 3) mempunyai alamat yang jelas, 4) bersedia untuk diwawancarai dan diikutkan sebagai sampel dalam penelitian. Analisis Data Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dan multivariat. Pada analisis bivariat dihitung besar nilai OR dan kemaknaannya (CI=95%). Analisis multivariat dilakukan dengan memasukkan variabel yang bermakna secara statistik (OR>1 dan Lower Upper limit tidak mencakup nilai 1). Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan tabel analisis bivariat disertai narasi. HASIL PENELITIAN Karakteristik responden Penelitian faktor risiko TB Paru ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Namlea Kecamatan Namlea Kabupaten Buru Propinsi Maluku pada bulan september sampai dengan November 2009. Jumlah sampel sebanyak 204 yang terdiri dari 68 kasus yaitu penderita TB BTA (+) dan Rontgen (+) dan 136 kontrol yaitu suspek TB Paru. Data kasus dan kontrol diperoleh dari formulir TB.03 Kabupaten dan TB.03 UPK di Puskesmas. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa dari seluruh responden banyak berasal dari Desa Namlea yaitu sebanyak 81 orang (39,7%) dan paling sedikit berasal dari Desa Waimiting yaitu sebanyak 6 orang (2,9%). Dai seluruh responden, banyak yang berada pada kelompok umur 51-60 tahun yaitu sebanyak 48 orang (23,5%) dan paling sedikit berada pada golongan umur >70 tahun sebanyak 3 orang (1,5%). Dari segi jenis kelamin, secara umum lebih banyak responden yang berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 113 orang (55,4%) dibanding responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 91 orang (44,6%). Banyak responden yang merupakan penduduk asli yang berasal Buru yaitu sebanyak 90 orang (44,1%) dan paling sedikit adalah suku Banjar yaitu hanya 1 orang (0,5%). Pendidikan terakhir responden bervariasi, namun banyak responden yang menamatkan pendidikan terakhirnya hanya pada tingkat SD / SR saja, yaitu sebanyak 66 orang (32,4%) dan paling sedikit hanya sampai melanjutkan pendidikan terakhirnya ke jenjang Diploma 3 atau Perguruan Tinggi yaitu sebanyak 9 orang (4,4%). Dari segi pekerjaan, banyak responden yang tidak atau belum bekerja yaitu sebanyak 89 orang (43,6%) dan hanya 1 orang saja (5,9%) yang bekerja sebagai buruh. Responden yang digolongkan sebagai tidak atau belum bekerja disini adalah Ibu Rumah Tangga (IRT), anak sekolah, mahasiswa, dan lansia. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

176

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tabel 1 Karakteristik Responden Penelitian Faktor Risiko TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Namlea Kabupaten Buru Provinsi Maluku Tahun 2007-2009 Karakteristik Responden Desa Asal Namlea Lala Karang Jaya Ubung Jikumerasa Sawa Waimiting Waeperang Siahoni Jamilu Sanleko 2. Kelompok Umur (thn) 11 20 21 30 31 40 41 50 51 60 61 70 > 70 3. Jenis Kelamin Laki Laki Perempuan 4. Suku Buru Ambon Sula Jawa Bugis Buton Toraja Banjar 5. Pendidikan Terakhir Tidak Sekolah SD / SR SMP SMA D3 / Perguruan Tinggi 6. Pekerjaan Tidak/Belum bekerja Swasta Pegawai Honorer PNS Petani Buruh Lainnya Data Primer No 1. Jumlah (n=204) 81 9 10 24 11 18 6 14 11 12 8 15 36 39 36 48 27 3 113 91 90 18 17 17 8 49 4 1 11 66 58 60 9 89 26 5 22 49 1 12 % 39,7 4,4 4,9 11,8 5,4 8,8 2,9 6,9 5,4 5,9 3,9 7,4 17,6 19,1 17,6 23,5 13,2 1,5 55,4 44,6 44,1 8,8 8,3 8,3 3,9 24,0 2,0 0,5 5,4 32,4 28,4 29,4 4,4 43,6 12,7 2,5 10,8 24,0 0,5 5,9

Variabel penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 8 variabel penelitian, ada 5 variabel yang menjadi faktor risiko TB Paru yang signifikan. Selain mempunyai nilai OR > 1, nilai batas bawah ( lower limit) dan batas bawah (upper limit) pada Confidence Interval (CI) 95% tidak mencakup nilai 1. Kelima variabel tersebut antara lain tingkat kepadatan hunian (OR=3,01; 1,62-5,58), perilaku merokok (OR=2,48; 1,36-4,50), status gizi (OR=2,16; 1,08 4,32), kontak serumah (3,05; 1,67-5,59) dan lamanya kontak serumah OR=4,50; 2,398,31). Selain faktor risiko TB Paru yang signifikan, dari tabel 2 juga terlihat ada variabel yang menjadi faktor risiko TB Paru namun tidak signifikan yaitu variabel pendapatan keluarga. Besar nilai OR untuk pendapatan keluarga adalah 1,34 dan nilai LL-UL = 0,75 2,14. Karena pada nilai batas bawah dan atas mencakup nilai 1 maka dikatakan bahwa pendapatan keluarga merupakan faktor risiko yang tidak signifikan terhadap kejadian TB Paru (Tabel 2). Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013 177

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Penelitian Faktor Risiko TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Namlea Kabupaten Buru Provinsi Maluku Tahun 2007 - 2009 Kejadian TB Paru (n=204) Kasus (n=68) Kontrol (n=136) n % n % 42 26 61,8 38,2 87 49 64,0 36,0

Variabel Penelitian 1. Luas ventilasi rumah Risiko Tinggi ( <10% luas lantai ) Risiko Rendah ( >10% luas lantai ) Kamarisasi Risiko Tinggi ( tidak ada kamar ) Risiko Rendah ( ada kamar ) Tingkat Kepadatan Hunian Risiko Tinggi ( <10 m2 per penghuni ) Risiko Rendah ( >10 m2 per penghuni

Analisis Statistik OR = 0,91 LL UL 95%CI = 0,49 1,66 OR = 0,82 LL UL 95% CI = 0,27 2,43 OR = 3,01 LL UL 95% CI = 1,62 5,58

1.

5 63

7,4 92,6

12 124

8,8 91,2

2.

) 3. Pendapatan Keluarga Risiko Tinggi ( < UMR / Rp. 700.000,- ) Risiko Rendah ( >UMR / Rp. 700.000,- ) 4. Perilaku Merokok Risiko Tinggi ( merokok ) Risiko Rendah ( tidak merokok ) Status Gizi Risiko Tinggi ( IMT < 18,5 ) Risiko Rendah ( IMT > 18,5 )

47 21

69,1 30,9

58 78

42,6 57,4

38 30

55,9 44,1

66 70

48,5 51,5

OR = 1,34 LL UL 95% CI = 0,75 2,14

38 30

55,9 44,1

46 90

33,8 66,2

OR = 2,48 LL UL 95% CI = 1,36 4,50 OR = 2,16 LL UL 95% CI = 1,08 4,32 OR = 3,05 LL UL 95% CI = 1,67 5,59 OR = 4,50 LL UL 95% CI = 2,39 8,31

5.

20 48

29,4 70,6

22 114

16,2 83,8

6.

Kontak Serumah Risiko Tinggi ( ada riwayat kontak ) Risiko Rendah ( tidak ada riwayat kontak) 7. Lamanya Kontak Serumah Risiko Tinggi ( > 6 bulan ) Risiko Rendah ( < 6 bulan )

43 25

63,2 36,8

49 87

36,0 64,0

40 28

58,8 41,2

33 103

24,3 75,7

Data Primer Dari tabel 2 juga ditemukan dua buah variabel yang bukan merupakan faktor risiko TB tetapi sebagai faktor protektif terhadap kejadian TB Paru. Kedua variabel tersebut adalah luas ventilasi rumah (OR=0,91; 0,49 1,66) dan kamarisasi (OR=0,82; 0,27 2,43). Kedua variabel ini mempunyai nilai OR yang kuarng dari 1. Akan tetapi, jika dilihat dari nilai batas bawah dan atas yang diperoleh, diketahui bahwa kedua variabel ini menjadi faktor protektif yang tidak signifikan terhadap kejadian TB Paru karena mencakup nilai 1. Analisis Multivariat Dari hasil analisis secara bivariat, diperoleh variabel bebas yang merupakan faktor risiko TB Paru (OR> 1 dan tidak ada nilai 1 diantara Lower dan Upper Limit) di wilayah kerja Puskesmas Namlea yaitu kepadatan hunian rumah, perilaku merokok, status gizi, kontak serumah dan lamanya kontak serumah. Hasil analisis multivariat dapat dilihat pada tabel 3. Dari tabel 3 diketahui bahwa dari kelima faktor risiko TB, faktor risiko lama kontak serumah merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian TB di wilayah kerja puskesmas Namlea dengan nilai Exp.(B)=5,08 (1,477-17,050; 95%CI). Logaritma natural odds ratio kejadian TB Paru adalah : Logit TB Paru = -4,402 + 0,774 (kepadatan hunian) + 0,775 (perilaku merokok) + 0,523 (status gizi) 0,478 (kontak serumah) + 1,613 (lama kontak).

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

178

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Interpretasi dari persamaan logistik TB paru diatas yaitu, pada suatu kondisi dimana tidak ada pengaruh faktor risiko kepadatan hunian (E1), perilaku merokok (E2), status gizi (E3), kontak serumah (E4) dan lama kontak (E5), serta dengan memperhatikan nilai konstanta yang negatif berati tanpa ada pengaruh faktor risiko tersebut, risiko kejadian TB akan menurun sebesar 4,402 kali. Semakin besar nilai pada variabel independen, maka semakin besar pula risiko untuk menderita TB. Tabel 3 Analisis multivariat faktor risiko TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Namlea Kabupaten Buru Provinsi Maluku tahun 2007 2009 Variabel Bebas Kepadatan hunian Perilaku Merokok Status Gizi Kontak Serumah Lama Kontak Constan Data Primer B ,774 .775 .523 -.478 1,613 -4.402 Sig. .024 .021 .188 .445 .010 .000 Exp.(B) 2.168 2.170 1.687 .620 5.018 .012 95 % C.I. for EXP (B) Lower Upper 1.106 4.250 1.124 4.187 .775 3.673 .182 2.112 1.477 17.050

PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada responden yang mempunyai luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan justru jumlahnya lebih banyak yang tidak menderita TB Paru dibandingkan yang menderita TB Paru. Sebaliknya, responden yang justru memiliki ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan lebih banyak yang menderita TB Paru (lihat tabel 2). Sejalan dengan hasil penelitian Achmadi (2005) bahwa ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara, juga dengan kata lain mengencerkan konsentrasi kuman TB dan kuman lain, terbawa keluar dan mati terkena sinar ultraviolet. Ventilasi juga dapat merupakan tempat untuk memasukkan cahaya ultraviolet. Hal ini akan semakin baik apabila konstruksi rumah menggunakan genteng kaca, maka ini merupakan kombinasi yang baik. Menurut persaratan ventilasi yang baik adalah 10% dari luas lantai. Hasil analisis bivariat menunjukkan luas ventilasi rumah (OR=0,91; 0,49-1,66; 95% CI) sebagai faktor protektif yang tidak signifikan terhadap kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Namlea. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Amiluddin (2009) yang menyatakan bahwa ventilasi merupakan faktor risiko TB Paru. Orang yang mempunyai ventilasi tidak memenuhi syarat kesehatan berisiko 3,06 kali untuk menderita TB Paru bila dibandingkan dengan yang memenuhi syarat kesehatan8. Penelitian yang dilakukan oleh Supriyono tahun 2003 di Ciampea, Jawa Barat menemukan bahwa ventilasi merupakan faktor risiko TB Paru.Penduduk yang tinggal pada rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan berisiko 5,2 untuk menderita TB dibandingkan dengan penduduk berventilasi memenuhi syarat kesehatan (Achmadi, 2005). Kondisi rumah tanpa kamarisasi yang baik atau tidak memenuhi syarat kesehatan akan memudahkan penularan penyakit didalam rumah terutama penyakit saluran pernafasan dan penyakitpenyakit lain yang menyebar lewat udara. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya ruangan yang memisahkan antara penghuni yang terkena penyakit dengan penghuni lainnya, jika kebetulan dalam rumah tersebut ada anggota keluarga yang menderita penyakit (Achmadi, 2005). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kamarisasi (OR=0,82; 0,27- 2,43; 95% CI) sebagai faktor protektif yang tidak signifikan terhadap kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Namlea. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasnawati pada tahun 2006 di Kendari yang menemukan bahwa kamarisasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan menimbulkan peluang terjadinya TB paru sebesar 8,56 kali (Hasnawati, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Sugiharto tahun 2004 menemukan bahwa kamarisasi merupakan faktor risiko TB Paru. Nilai OR yang didapatkan adalah 3,16 (Sugiharto, 2004). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kepadatan hunian rumah (OR=3,01; 1,62- 5,58; 95% CI) merupakan faktor risiko TB Paru signifikan di wilayah kerja Puskesmas Namlea. Risiko terjadinya TB Paru pada orang yang tinggal di rumah yang padat 3,01 kali lebih besar bila dibandingkan orang yang tinggal di rumah yang tidak padat.Pada uji regresi logistik, diperoleh kepadatan penghuni rumah merupakan faktor risiko kejadian TB yang signifikan di wilayah kerja Puskesmas Namlea (Exp(B)=2,168; 1,06-4,259; 95% CI). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Supriyono tahun 2003. Penelitian yang dilakukan di Ciampea, Jawa Barat ini menunjukkan bahwa risiko untuk mendapatkan TB 1,3 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan (Achmadi, 2005). Padatnya penghuni pada rumah responden disebabkan karena sebagian besar penduduk di wilayah kecamatan Namlea masih menganut sistem kekerabatan yang cukup tinggi. Hal ini membuat banyak rumah yang memiliki lebih dari 1 kepala keluarga. Orang yang telah menikah namun belum mempunyai pekerjaan tetap dan kemampuan ekonomi yang menunjang maka mereka masih tetap tinggal di rumah orang tuanya sampai mereka mempunyai kemampuan sendiri untuk menata hidupnya.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

179

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pendapatan keluarga (OR=1,34; 0,75-2,14; 95% CI) merupakan sebagai faktor risiko TB Paru yang tidak signifikan di wilayah kerja Puskesmas Namlea. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wang.G.J yang menyimpulkan bahwa faktor risiko non biologik seperti pendapatan merupakan faktor risiko TB. Menurutnya, penduduk dengan tingkat pendapatan yang rendah mempunyai risiko 2,096 kali untuk menderita TB bila dibandingkan dengan penduduk dengan tingkat pendapatan lebih baik (Amiluddin, 2009). Selain karena perbedaan nilai proporsi, ditemukannya pendapatan sebagai faktor risiko TB yang tidak signifikan pada penelitian ini disebabkan karena pendapatan merupakan penyebab tidak langsung terhadap kejadian TB Paru. Masih banyak variabel perantara lain yang turut berkontribusi terhadap kejadian TB Paru yaitu daya beli, ketersediaan pangan, konsumsi rumah tangga, status gizi dan daya tahan tubuh. Variabel variabel ini akan berinteraksi dengan variabel lain seperti rendahnya akses pelayanan kesehatan dan pengetahuan kesehatan yang kurang memadai sehingga akan menjadi suatu keadaan rentan terhadap kejadian suatu penyakit. Menurut Achmadi (2005). Asap rokok menigkatkan tahanan pelan nafas (Airway resistance), akibatnya pembuluh darah di paruparu mudah bocor, juga merusak sel pemakan bakteri pengganggu dan menurunkan respons terhadap antigen, sehingga bila benda asing masuk ke dalam paru-paru, tidak ada pendeteksiannya (Harminarti, 2008). Penelitian ini menunjukkan bahwa perokok lebih banyak ditemukan pada penderita TB (55,9%). Sedangkan pada suspek TB lebih banyak yang tidak merokok bila dibandingkan dengan yang merokok (66,2%). Pada penderita TB (kasus), banyak yang mempunyai kebiasaan merokok sebelum mereka didiagnosa menderita TB Paru. Pada perbandingan proporsi, diketahui bahwa responden yang merokok juga lebih banyak yang menderita TB dibandingkan yang tidak menderita TB, sebaliknya responden yang tidak merokok lebih banyak yang tidak menderita TB. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perilaku merokok (OR=2,48; 1,36-4,50; 95% CI) merupakan faktor risiko TB Paru yang signifikan di wilayah kerja Puskesmas Namlea. Risiko kejadian TB Paru pada perokok 2,48 kali lebih besar bila dibandingkan orang yang tidak merokok. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Arivothai pada tahun 2004 menyimpulkan bahwa perokok usia dini 15-20 tahun merupakan faktor risiko TB, dengan OR = 3,18 (1,15-8,77; 95%CI). Penelitian yang dilakukan Amiluddin (2009) menunjukkan bahwa perokok berisiko 4,034 kali untuk menderita TB Paru dibandingkan yang bukan perokok. Seorang perokok yang terpapar dengan faktor risiko TB Paru akan semakin mudah menjadi sakit TB Paru. Kuman TB yang masuk melalui pernafasan akan dengan mudahnya sampai ke paruparu dan berkembang biak menjadi lebih banyak di dalam paru-paru. Paru-paru yang rusak akibat komponen rokok menjadi pintu masuk yang sangat mudah untuk Mycobacterium dan memperbanyak diri (Yoga, 200). Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan. Status gizi juga didefinisikan sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrient. Penelitian status gizi merupakan pengukuran yang didasarkan pada data antropometri serta biokimia dan riwayat diit (Razak, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Suhardi,dkk tahun 2006 di Kota Salatiga, mendapatkan risiko terjadinya penyakit TB paru pada Balita yang mempunyai status gizi kurang adalah 11,7 kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang mempunyai status gizi yang lebih baik (Suhardi, dkk., 2006) . Amiluddin tahun 2009 juga menyimpulkan bahwa status gizi juga merupakan faktor risiko TB Paru dengan nilai OR=19,4 (Amiluddin, 2009). Berdasarkan penelitian faktor risiko TB di wilayah kerja Puskesmas Namlea, ditemukan banyak penderita TB yang justru mempunyai status gizi baik (IMT > 18,5). Dari 68 penderita TB, 48 orang (70,6%) mempunyai IMT yang dikategorikan sebagai status gizi yang baik. Dari hasil wawancara dengan petugas TB puskesmas dan wasor TB Kabupaten diketahui bahwa banyak penderita TB yang datang dan memeriksakan dahak SPS di UPK adalah mereka dengan berat badan diatas rata-rata. Hasil validasi dilapangan juga menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang datang memeriksakan dahak SPS di Puskesmas Namlea justru memberikan hasil BTA (+). Keadaan seperti ini menunjukkan bahwa TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Namlea menjadi penyakit fenomena gunung es. Orang yang terlihat sehat, belum tentu tidak menderita TB Paru. Ini mengindiksikan bahwa tingkat penularan TB Paru dimasyarakat juga sudah sangat tinggi. Kejadian TB terkait erat dengan riwayat kontak, baik kontak serumah maupun bukan kontak serumah. Meningkatnya jumlah kasus TB di Indonesia tiap tahunnya memberikan isyarat bahwa TB merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius. Pelaksanaan program pengendalian TB di Indonesia di lapangan selama ini hanya berorientasi pada penemuan dan pengobatan penderita. Padahal, penderita TB dengan BTA positif mempunyai potensi untuk menularkan bakteri kepada kontak sekitarnya, baik kontak serumah maupun kontak diluar rumah atau masyarakat luas (Gusti, 2003). Hubungan antara lamanya kontak dengan penderita TB terhadap kejadian TB telah banyak dilakukan. Lamanya kontak merupakan faktor yang berengaruh terhadap kejadian TB. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa responden yang mempunyai riwayat kontak serumah dengan penderita TB Paru > 6 bulan lebih banyak yang menderita TB dibandingkan yang tidak menderita TB. Sebaliknya, responden yang riwayat kontak serumahnya < 6 bulan lebih banyak yang tidak menderita TB dibandingkan yang menderita TB.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

180

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

KESIMPULAN DAN SARAN Luas ventilasi rumah dan kamarisasi bukan merupakan faktor risiko kejadian TB Paru tetapi sebagai faktor protektif. Sedangkan kepadatan penghuni rumah, kebiasaan merokok, status gizi, kontak serumah dan lamanya kontak serumah merupakan faktor risiko TB Paru. Pendapatan keluarga merupakan faktor risiko TB Paru yang tidak signifikan. Lamanya kontak serumah merupakan faktor risiko paling berpengaruh terhadap kejadian TB di wilayah kerja Puskesmas Namlea. Untuk itu, perlunya sosialisasi kompehensif tentang rumah sehat, pemberdayaan masyarakat untuk hidup sehat, peningkatan Upaya Peningkatan Gizi Keluarga (UPGK), dan surveilans aktif TB Paru melalui pemeriksaan kontak serumah penderita TB Paru BTA (+). DAFTAR PUSTAKA Achmadi, U.F. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Kompas : Penerbit Buku Kompas, Jakarta Amiluddin, 2009. Faktor Risiko Tuberkulosis Paru di Kecamatan Tamalatea Kabupaten Jeneponto Tahun 2006 2008, Tesis Program Pascasarjana, Univrsitas Hasanuddin, Makassar, Tidak dipublkasikan. Asyikin, A. 2009. Hubungan Kondisi Perumahan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Kabupaten Bombana, Januari 2003 Juni 2008, Tesis Program Pascasarjana, Univrsitas Hasanuddin, Makassar, Tidak dipublkasikan. Departemen Kesehatan. 2002. Pedoman Nasioanl Penanggulangan Tuberkulosis, cetakan ke-8, Jakarta Departemen Kesehatan. 2005. Survei Prevalensi TB di Indonesia, Balitbangkes, Jakarta. Departemen Kesehatan. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, edisi 2 cetakan kedua, DepKes RI, Jakarta Gusti, A. 2003. Kekerapan Tuberkulosis Paru Pada Pasangan Suami Istri Penderita TB Paru Yang Berobat di Bagian Paru RSUP. H. Adam Malik (online),( http://www.library.usu.ac.id, diakses 29 Juni 2009) Hasnawati, 2006. Faktor Risiko Tuberkulosis Paru di Kendari, Tesis Program Pascasarjana, Univrsitas Hasanuddin, Makassar, Tidak dipublkasikan. Hiswani, 2004. Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih Menjadi Masalah Kesehatan Masyarakat (online), (http://www.library.usu.ac.id, diakses 29 Juni 2009) Lameshow,dkk 1997. Besar Sampel Dalam Peneitian Kesehatan. Editor : Hari Kusnanto,dkk. Gadjah Mada University Press, Jogjakarta Nani, R, 2003. Tuberculosis Infections in Infants and Children Who Have Contact With Positive Sputum Adult Tuberculosis (online), (http://www.library.usu.ac.id/downloadftm/fkm/-nanirony, diakses 29 Juni 2009) Razak, A. 2009. Faktor Risiko Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2008 Tesis program pascasarjana, Universitas Hasanuddin Makassar, Tidak dipublikasikan. Rungu, L. 2002. Analisis Beberapa Faktor Risiko Kejadian TB Paru di Wilayah Kota Samarinda . Tesis Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin Makassar, Tidak dipublikasikan. Samsugito,I, 2005. Analisis Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di RS. A. Wahab. Sjahranie Samarinda Tahun 2005. Tesis Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin Makassar, Tidak dipublikasikan. Subdin P2M PL. 2007. Renstra Penanggulangan TB Provinsi Maluku Tahun 2007 2010, Dinas Kesehatan Provinsi Maluku, Ambon Subdin P2M. 2008. Profil Subdin P2M PL Dinkes Kabupaten Buru Tahun 2007, Namlea Sugiharto, 2004. Kepadatan Hunian Kamar Tidur Terhadap Kejadian TB Paru. Suhardi, dkk, 2006. Hubungan Faktor Risiko Kondisi Rumah Tangga Terhadap Kejadian TB Paru Pada Balita di wilayah Kota Salatiga (online), (http://www.digilib.usu.ac.id, diakses 29 Juni 2009) Supariasa, N dkk. 2001. Penilaian Status Gizi, EGC: Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. Suswani, A. 2007. Faktor Risiko TB Paru di Kabupaten Bulukumba Tahun 2007 Tesis Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin Makassar, Tidak dipublikasikan. Wijayanti, S dkk. 2002. Deteksi Individu Kontak Serumah Pada Infeksi Tuberkulosis Siswa SD di Kotamadya Jogjakarta, Jurnal Berkala Ilmu Kedokteran, vol 34 No. 2, 2002 Yoga, 2000. Tuberkulosis : Diagnosis, Terapi dan Masalahnya, Laboratorium Mikrobiologi RSUP Persahabatan/WHO Collaborating Centre for Tuberculosis, Jakarta.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

181

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

EFEK PELAKSANAAN INDOOR RESIDUAL SPRAYING (IRS) TERHADAP PENURUNAN MONTHLY PARASITE INCIDENCE (MoPI) DI DESA PARIA KECAMATAN POLEANG TENGAH KABUPATEN BOMBANA TAHUN 2013 Andi Ira Angraeny Rahman1, A. Arsunan Arsin2, Hasanuddin Ishak3 Dinas Kesehatan Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 3 Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
2 1

ABSTRACT Indoor Residual Spraying (IRS) is an ineffective effort to control malaria endemic areas to break the chain of transmission of malaria. The research aimed to determine the effect of the implementation of Indoor Residual Spraying (IRS) to decrease Monthly Parasite Incidence (MoPI). This type of research is quasi-experimental with pretest and posttest using comparison groups (The nonrandomized control group pretest posttest design) with a sample of 1,068 residents and houses as many as 235 homes in the sampling technique exchaustive sampling. The data was collected through observation, MBS and IRS records and interviews with the retrieval and examination of blood clots using RDT and microscopic. Statistical analysis with chi-square test (Mc Nemar) and calculation MoPI. The results showed that there was no significant difference in the pretest phase (before the intervention) between the treatment and comparison against MoPI reduction (p = 1.000). There is a significant difference in the posttest phase (after the intervention) between the treatment group and the comparison to the decline MoPI (p = 0.001). There is a significant effect of treatment group at pretest and posttest comparisons against MoPI reduction (p = 0.001). No significant effect on the comparison group at pretest and posttest phases MoPI to decrease (p = 0.8). Concluded that no effect of the implementation of Indoor Residual Spraying (IRS) to decrease Monthly Parasite Incidence (MoPI). The IRS can be expected implementation of the program routine intervention development especially malaria endemic areas to prevent the spread of malaria. Keywords: Indoor Residual Spraying, Monthly Parasite PENDAHULUAN Malaria adalah salah satu penyakit menular yang penularannya melalui gigitan nayamuk Anopheles betina. Malaria disebabkan protozoa obligat intraseluler dari genus plasmodia family plasmodiidae. Penyakit malaria ini dapat menyerang siapa saja terutama penduduk yang tinggal di daerah dimana tempat tersebut merupakan tempat yang sesuai dengan kebutuhan nyamuk untuk berkembang (Arsin , 2012). WHO (2011) melaporkan bahwa terdapat 225 juta kasus malaria dengan estimasi kematian sekitar 655.000 dan pada tahun 2009 diperkirakan 781.000 orang meninggal akibat penyakit malaria. Setiap tahunnya 600 juta penderita baru malaria dilaporkan dari seluruh dunia, terutama anak-anak dan ibu hamil dengan angka kematian lebih dari 3 juta jiwa, sebagian besar adalah anak-anak balita yang berumur dibawah lima tahun (Okeke dkk., 2010; Pavli dkk., 2010). Kasus dan kematian malaria ditemukan di Afrika dan beberapa negara di Asia, Amerika Latin, Timur Tengah serta Eropa (Protopopof dkk., 2007; Syafruddin dkk., 2009; Omar dkk., 2009). Penduduk dunia yang berisiko terkena penyakit malaria hampir setengah dari keseluruhan penduduk di dunia yaitu sekitar 43%, terutama negara-negara berpenghasilan rendah (Adam dkk., 2008) Di Indonesia tahun 2011 terdapat 374 kabupaten endemis malaria dengan jumlah kasus malaria sebanyak 256.592 orang dari 1.322.451 kasus suspek malaria yang diperiksa sampel darahnya dengan tingkat kejadian tahunan atau Annual Parasite Incidence (API) 1,75 per 1000 penduduk (Kemenkes RI, 2012). Salah satu upaya pemberantasan malaria menjadi bagian integral dari pembangunan nasional yaitu pengendalian vektor melalui penyemprotan rumah atau Indoor Residual Spraying (IRS) dengan menempelkan racun serangga tertentu dengan jumlah (dosis) yang telah ditentukan secara merata pada permukaan dinding rumah yang disemprot efektif untuk memutuskan mata rantai penularan malaria (Mabaso dkk., 2004; Sibanda dkk., 2011; Hamusse dkk., 2012). Hal ini telah dibuktikan dengan hasil penelitiandi Sub-Saharan Africa yang menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan sebelum dan sesudah penyemprotan IRS, yaitu mereduksi kejadian malaria sebesar 85% (p<0,001) Smith dkk (2008). Penyemprotan rumah dengan insektisida (IRS) sudah dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, salah satunya yaitu di Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah, Pada tahun 2010 Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo melakukan program penyemprotan (IRS) pada 3.134 rumah, dimana IRS di sembilan desa tersebut diestimasi akan melindungi sedikitnya 12.152 jiwa penduduk dari gigitan nyamuk Anopheles (Dinkes Purworejo, 2010). Di Kecamatan Poleang Tengah Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara, API tahun 2011 yaitu 12,93 per 1000 penduduk dan Desa Paria itu sendiri API 9,24 per 1000 penduduk di tahun 2012 (Dinkes

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

182

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Bombana, 2012). Oleh karena itu dibutuhkan suatu kajian dan upaya untuk melakukan pengendalian malaria, dimana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pelaksanaan Indoor Residual Spraying (IRS) terhadap penurunan Monthly Parasite Incidence (MoPI) sebelum dan sesudah penyemprotan IRS. BAHAN DAN METODE Rancangan Penelitian dan Lokasi Penelitian Jenis Penelitian adalah quasi eksperimen dengan rancangan sebelum dan sesudah intervensi menggunakan kelompok pembanding (The Nonrandomized control group pretest posttest design). Penelitian dilakukan di Desa Paria Kecamatan Poleang Tengah Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara. Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah seluruh penduduk dan rumah penduduk yang berada di wilayah Desa Paria Kecamatan Poleang Tengah. Sampel penelitian sebanyak 1.068 orang dan 235 rumah dengan tekinik penarikan sampel secara exchaustive sampling, dimana sampel dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 2 dusun kelompok perlakuan yang terdiri dari 655 responden dan 153 rumah serta 2 dusun kelompok pembanding terdiri dari 413 responden dan 82 rumah. Analisis Data Data karakteristik sampel diolah dengan menggunakan SPSS 20 untuk memperoleh gambaran umum dengan pemaparan secara deskriptif variabel penelitian dan analisis bivariat dengan uji chi square (Mc Nemar) untuk melihat adanya pengaruh perbedaan kejadian malaria atau Monthly Parasite Incidence (MoPI) sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) intervensi Indoor Residual Spraying (IRS). Perhitungan dengan rumus MoPI untuk untuk melihat apakah ada efek intervensi setelah pelaksanaan Indoor Residual Spraying (IRS) terhadap penurunan Monthly Parasite Incidence (MoPI) dengan cara membandingkan MoPI sebelum dilakukannya intervensi IRS dan MoPI setelah dilakukan intervensi IRS. Perhitungan Monthly Parasite Incidence (MoPI) yaitu dengan rumus berikut : Jumlah Malaria Positif di suatu wilayah dalam kurun 1 bulan MoPI = Jumlah penduduk Berisiko di wilayah yg sama HASIL Karaketristik Responden Gambar 1 menunjukkan distribusi responden berdasarkan kelompok umur, baik pada kelompok perlakuan maupun kelomjpok pembanding tertinggi pada kelompok umur dewasa muda (18-39 tahun) masing-masing sebanyak 228 responden (34,8%) dan 175 responden (42,4%). x 1000

45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Perlakuan 0-11 Bln 1-4 Thn 5-12 Thn 13-17Thn 0.8 6.9 11.1 5.3 0 5.3 21.2 19.9 14.8 10.4 34.8

42.4

18.1 9

Pembanding 18-39 Thn 40-56 Thn >56 Thn

Gambar 1. Persentase Responden berdasarkan Kelompok Umur Desa Paria (Februari-April 2013) Tabel 1 menunjukkan perbandingan kejadian malaria (positif malaria) pada pengukuran pretest dan posttest berdasarkan jenis kelamin yaitu pada laki-laki masing-masing sebanyak 28 responden (5,7%) dan 23 responden (4,7%), sedangkan pada responden perempuan yang positif malaria pengukuran pretest dan posttest yaitu masing-masing sebanyak 21 responden (3,6%) dan 7 responden (1,2%).

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

183

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tabel 1 Distribusi perbandingan kejadian malaria tahap pretest dan posttest berdasarkan jenis kelamin Pretest Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Jumlah Data Primer Karakteristik Rumah Tabel 2 menunjukkan bahwa distribusi perbandingan kejadian malaria (positif malaria) pengukuran pretest dan posttest berdasarkan jenis rumah yaitu tertinggi pada jenis rumah permanen sebanyak 20 responden (66,7%) pada pengukuran pretest dan 6 responden (66,7%) pada pengukuran posttest. Tabel 2 Distribusi perbandingan kejadian malaria tahap pretest dan posttest berdasarkan jenis rumah Jenis Rumah Semin Permanen n % 7 23,3 2 22,2 9 23,1 Positif n 28 21 49 % 5,7 3,6 4,6 Negatif n 462 557 1019 % 94,3 96,4 95,4 Positif n % 23 4,7 7 1,2 30 2,8 Posttest Negatif n % 467 95,3 578 98,8 1038 97,2

Pengukuran Pretest Posttest Jumlah Data Primer

Permanen n 20 6 26 % 66,7 66,7 66,7

Panggung n 3 1 4 % 10 11,1 10,2

Jumlah n 30 9 39 % 100 100 100

Analisis Bivariat Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 655 responden pada kelompok perlakuan terdapat 30 responden yang positif malaria pada pengukuran pretest (sebelum intervensi IRS) dan menurun menjadi 9 responden yang positif malaria pada tahap posttest (sesudah intervensi IRS), dimana persentase positif malaria dari pretest ke posttest yaitu sebesar 16,7% sedangkan persentase yang negatif malaria sebesar 83,3%. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,001 (p< 0,05) menunjukkan ada pengaruh signifikan sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) intervensi IRS terhadap penurunan Monthly Parasite Incidence (MoPI). Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan perbandingan pretest dan posttest perlakuan (intervensi) Posttest Diagnosa Pretest Jumlah Data Primer Positif Negatif n 5 4 9 Positif % 16,7 0,6 1,4 Negatif n % 25 83,3 621 99,4 646 98,6 pada kelompok

Jumlah n 30 625 655 % 100 100 100

0,001

Tabel 4

Distribusi responden berdasarkan perbandingan pretest dan posttest pada kelompok pembanding (tanpa intervensi) Posttest Positif Negatif n % n % 4 21,1 15 78,9 17 4,3 377 95,7 21 5,1 392 94,9 Jumlah n 19 394 413 % 100 100 100

Diagnosa Pretest Jumlah Data Primer Positif Negatif

Nilai p

0,8

Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 413 responden pada kelompok pembanding terdapat 19 responden yang positif malaria pada pengukuran pretest dan mengalami peningkatan pada pengukuran posttest menjadi 21 responden yang positif malaria. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,8 (p> Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013 184

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

0,05) menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan pada pretest dengan posttest pada kelompok pembanding (tanpa intervensi) terhadap penurunan Monthly Parasite Incidence (MoPI). Nilai MoPI kelompok perlakuan yaitu 41,44 per 1000 penduduk pada pengukuran pretest dan 12,43 per 1000 penduduk pada pengukuran posttest, sedangkan pada kelompok pembanding, nilai MoPI pengukuran pretest sebesar 40,77 per seribu penduduk dan 45,06 per seribu penduduk pada pengukuran posttest. PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan pada kelompok perlakuan (intervensi) ada pengaruh yang signifikan sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) intervensi Indoor Residual Spraying (IRS) terhadap penurunan Monthly Parasite Incidence (MoPI) (nilai p = 0,001). Sedangkan pada kelompok pembanding (tanpa intervensi) menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan antara pretest dan posttest terhadap penurunan Monthly Parasite Incidence (MoPI) (nilai p = 0,8). Penelitian ini sejalan dengan penelitian di Ethiopia yang menyatakan bahwa ada hubungan signifikan sebelum dan sesudah IRS dilakukan, yaitu dapat mereduksi kejadian malaria pada semua desa yang disemprot sebesar 62% (p<0,001) (Hamusse dkk., 2012) dan penelitian yang dilakukan di Kenya yang menyatakan bahwa intervensi penyemprotan dengan metode IRS dapat mereduksi kejadian malaria sebesar 64% dengan nilai signifikan p<0,001 (Zhou dkk., 2010). Hasil perhitungan Monthly Parasite Incidence (MoPI) menunjukkan bahwa dengan adanya pengendalian vektor Anopheles untuk memutus mata rantai penularan malaria melalui penyemprotan dinding rumah atau Indoor Residual Sraying (IRS) secara efektif dapat menurunkan Monthly Parasite Incidence (MoPI). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sharp dkk (2007) dan Kigozi dkk (2012). Pengendalian terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan penyemprotan dinding rumah dengan insektisida atau IRS (Indoors Residual Spraying) (Lengeler dkk., 2003; Conteh dkk, 2004; Guessan, 2006). Menurut WHO (2006) vector control masih merupakan upaya terbaik untuk mencegah penularan malaria dan merupakan salah satu dari elemen teknik dasar dari Global Malaria Control Strategy dan penyemprotan insektisida residu dalam rumah (IRS) untuk mencegah penularan malaria merupakan rekomendasi WHO karena dapat menurunkan penyebaran malaria dengan memutus mata rantai penularan malaria. Indoor Residual Spraying (IRS) dapat digunakan sebagai awal dalam mengembangkan intervensi untuk pengendalian malaria dan dalam upaya penurunan angka kesakitan malaria (Kleinschmidt dkk., 2007). KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan uji statistik, ada pengaruh sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) pelaksanaan intervesi IRS pada kelompok perlakuan terhadap penurunan nilai MoPI, sedangkan pada kelompok pembanding (tanpa intervensi IRS) menunjukkan tidak ada pengaruh pada pengukuran pretest dan posttest terhadap penurunan Monthly Parasite Incidence (MoPI). Maka dapat disimpulkan bahwa ada efek pelaksanaan Indoor Residual Spraying (IRS) terhadap penurunan Monthly Parasite Incidence (MoPI). Perlunya program rutin pelaksanaan Mass Blood Survey (MBS) untuk penemuan kasus malaria secara aktif dan upaya pengendalian vektor di daerah-daerah endemis malaria dengan penyemprotan Indoor Residual Spraying (IRS) enam bulan sekali yang disinergiskan dengan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan malaria lainnya. DAFTAR PUSTAKA Adam I., Elmardi K.A. & Malik E.M. (2008). Predictors of antimalarial treatment failure in an area of unstable malaria transmission in eastern Sudan. Elsevier Journal Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene,103: 21-24. Arsin, A. Arsunan. (2012). Malaria di Indonesia Tinjauan Aspek Epidemiologi. Makassar: Masagena Press. Conteh L., Sharp B.L., Streat E., Barreto A. & Konar S. (2004). The cost and cost-effectiveness of malaria vector control by residual insecticide house-spraying in southern Mozambique: a rural and urban analysis. Tropical Medicine and International Health Journal 2004, 9(1):125132. Dinas Kesehatan Bombana. (2012). Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Bombana Tahun 2010. Bombana Sulawesi Tenggara. Dinas Kesehatan Purworejo. (2010). Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo Tahun 2010. Purwerojo. Guessan R. (2006). Insecticide treated nets and indoor residual spraying are no longer effective against the malaria vector mosquito Anopheles gambiae in an area of pyrethroid resistance in Benin, West Africa. Emerging Infectious Diseases Journal, 434 :1-31. Hamusse S.D., Balcha T.T. & Belachew T. (2012). The Impact Of Indoor Residual Spraying On Malaria Incidence In East Shoa Zone, Ethiopia. Glob Health Action Journal 2012, 5(11619):1-8. Kementerian Kesehatan R.I. (2012). Riskesdas Data Malaria Tahun 2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan R.I.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

185

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Kigozi R., Baxi S.M., Gasasira A., Sserwanga A., Kakeeto S. & Nasr S., dkk. (2012). Indoor Residual Spraying Of Insecticide and Malaria Morbidity In A High Transmission Intensity Area Of Uganda. Plos One Journal, 7(8): 1-7. Kleinschmidt I., Torrez M., Schwabe C., Vente L.B., Seocharan I. & Jituboh D., dkk. (2007). Factor Influencing The Effectiveness Of Malaria Control In Bioko Island, Equatorial Guinea. The American Society Of Tropical Medicine And Hygiene Journal, 76(6):10271032. Lengeler C. & Sharp B. (2003). Indoor Residual Spraying and Insecticide-Treated Nets. Swiss Tropical Institute, Medical Research Council South Africa, Global Health Council :16-24. Mabaso M.L., Sharp B. & Lengeler C. (2004). Historical Review of Malarial Control in Southern African with Emphasis on the Use of Indoor Residual House-Spraying. Tropical Medicine and International Health Journal, 9(8) : 846856. Okeke T. & Okeibunor J. (2010). Ruralurban differences in health-seeking for the treatment of childhood malaria in South-East Nigeria. Elsevier Journal Health Policy, 95 (2010): 6268. Omar I.A., Eligail A.M., Ashban R.M. & Shah A.H (2009). Effect Of Falciparum Malaria Infection On Blood Cholesterol And Platelets. Journal Of Saudi Chemical Society ,14:83-89. Pavli A. & Maltezou H.C. (2010). Malaria and travellers visiting friends and relatives. Elsevier Journal Travel Medicine and Infectious Disease, 20:1-8. Protopopoff N., Herp M.V., Maes P., Reid T., Baza D. & DAlessandro U., dkk. (2007). Vector Control in a Malaria Epidemic Occurring within a Complex Emergency Situation in Burundi: a case study. Malaria Journal 2007, Biomed Central, 6(93):1-9. Sharp B.L., Ridl F.C., Govender D., Kuklinski J. & Kleinschmidt I. (2007). Malaria Vector Control By Indoor Residual Insecticide Spraying On The Tropical Island Of Bioko, Equatorial Guinea. Malaria Journal Biomed Central 2007, 6(52):1-6. Sibanda M.M., Focke W.W., Labuschagne F.J., Moyo L., Nhlapo N.S. & Maity A., dkk (2011). Degradation Of Insecticides Used For Indoor Spraying In Malaria Control And Possible Solutions. Malaria Journal Biomed Central, 10(307):1-12. Smith. R.J. & Musekwa S.D. (2008). Determining Effective Spraying Periods to Control Malaria via Indoor Residual Spraying in Sub-Saharan Africa. Journal of Applied Mathematics and Decision Sciences, Volume 2008:1-19. Syafruddin D., Krisin., Asih. P., Sekartuti., Dewi R.M. & Coutrier F., dkk. (2009). Seasonal prevalence of malaria in West Sumba district, Indonesia. Malaria Journal 2009, Biomed Central, 8(8):1-8. World Health Organization (WHO). (2006). Indoor Residual Spraying: Use of Indoor Residual Spraying for Scaling Up Global Malaria Control and Elimination. WHO/HTM/MAL/ 2006.1112:110. World Health Organization (WHO). (2011). Malaria Fact sheet N94. WHO Media Centre Journal, WHO/HTM/GMP/2011.4.,pp. 1146. Zhou G., Githeko A.K., Minakawa N. & Yan G. (2010). Community-Wide Benefits Of Targeted Indoor Residual Spray For Malaria Control In The Western Kenya Highland. Malaria Journal, Biomed Central , 9(67):1-9.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

186

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

FAKTOR RISIKO KEJADIAN ARTHRITIS GOUT DI KOTA MASOHI KABUPATEN MALUKU TENGAH Bellytra Talarima ABSTRACT Teh Arthritis Gout incidence rate in Masohi town of Central Maluku regency is 54 people based on the data from the general hospital in Masohi. The aim of study was to find out the risk factor in the incidence of arthritis gout in Masohi town of Central Maluku regency. The study was analytic observation using a control case study. The number of respondents was 196 people consisted of 98 cases and 98 control. The data were analyzed by using odds ratio (OR) and multiple logistic regression. The results of the study indicate that the risk factors in the incidence of arthritis gout are hypertension (OR = 2.20 CI 95%; 1.243.90), central obesity (OR = 3.04 CI 95%; 1.66-5.55), alcoholic comsumption (OR = 2.28 CI 95%; 1.294.05), purine food consumption (OR = 5.14 CI 95% 2.80-9.44), gout history in family (OR = 3.10 CI 95%; 1.73-5.55), and soft drink consumption (OR = 1.33 CI 95%; 0.72-2.45). The multivariate analysis indicates that the most dominant factor affecting the incidence of arthritis gout is purine food consumption (p = 0.000). Since the consumption of purine food is the most dominant factor affecting the incidence of arthritis gout, diet pattern is necessary for the patients. Key woeds : arthritis gout. Central obesity, purine content food, history of arthritis gout. PENDAHULUAN Arthritis gout merupakan jenis penyakit reumatik berhubungan dengan gangguan kinetik asam urat yaitu hiperurisemia. Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat darah diatas normal, secara biokimiawi akan terjadi hipersaturasi yaitu kelarutan asam urat diserum yang melewati ambang batasnya. Batasan hiperurisemia secara ideal yaitu 2 standar deviasi hasil laboratorium pada populasi normal namun secara pragmatis dapat digunakan patokan kadar asam urat >7 mg/dl pada pria dan >6 mg/dl pada perempuan. Hiperurisemia dapat terjadi akibat peningkatan metabolisme asam urat (overproduction), penurunan ekskresi asam urat urin (underexcretion), atau gabungan keduanya (Hidayat, 2009). Prevalensi gout dan hiperurisemia di masyarakat dan berbagai kepustakaan baratsangat bervariasi diperkirakan 2.3%-17.6%, sedangkan kejadian gout 0.16-1.36%. Di USA pada tahun 1999, adalah 41 per 1.000, laju prevalensi tahunan dari gout dan hiperurisemia meningkat terutama pada manula, di Inggris prevalensi gout adalah 1,4% atau 14 per 1000 pada tahun 1999. Ratio laki-laki dibandingkan perempuan adalah 36:1. (Wallace, 2004), di Cina pada tahun 2006, Nan dkk, mendapatkan prevalensi hiperusiemia sebesar 25,3% dan gout sebesar 0,36% pada orang dewasa usia 20-74 tahun. Besarnya angka kejadian arthritis gout pada masyarakat di Indonesia belum ada data yang pasti, mengingat Indonesia terdiri dari berbagai suku sangat mungkin memiliki angka kejadian yang lebih berfariasi. Pada study hiperurisemia di rumah sakit akan ditemukan angka prevalensi yang lebih tinggi antara 17-28% karena pengaruh penyakit dan obat-obatan yang diminum penderita. Penderita arthritis gout pada penduduk di jawa tengah adalah sebesar 24,3% pada laki-laki dan 11,7% pada perempuan, penelitian lapangan yang dilakukan terhadap penduduk Denpasar, Bali mendapat prevalensi arthritis gout sebesar 18,2% (Hensen dkk, 2007). Kabupaten Maluku tengah pada tahun 2009 ditemukan penderita gout mencapai 132 orang. Sedangkan untuk kota Masohi jumlah penderita gout adalah 54 orang berdasarkan data Rumah Sakit Umum Daerah Kota Masohi, bertolak dari uraian tersebut maka sangat penting artinya untuk mengetahui faktor risiko kejadian arthritis gout dimasyarakat secara khusus di Kota Masohi Kabupaten Maluku Tengah. Sehingga dengan adanya informasi tentang faktor risiko arthritis gout, upaya-upaya pengendalian penyakit dapat dilaksanakan secara tepat dan cepat. BAHAN DAN METODE Rancangan dan Lokasi Penelitian Desai penelitian ini adalah studi case control. Penelitian ini dilakukan di kota Masohi Kabupaten Maluku Tengah yang terdiri dari 5 kelurahan (Kelurahan Namasina, Namaelo, Ampera, Lesane dan,Letwaru). Populasi dan Sampel pencuplikan sampel dilakukan dengan cara non-probabilistik yaitu pencuplikan proporsif, dengan kriteria sampel : penderita beusia >30 tahun, terdiagnose menderita arthritis gout (pada buku status penderita), memiliki data pemeriksaan laboratorium lengkap (pemeriksaan urine acid), dan berdomesili di kota Masohi Kabupaten Maluku Tengah, dilakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Pada penelitian ini didapatkan sampel sebanyak 196 dengan perbandingan 1:1 yang memenuhi kriteria inklusi, dengan Matching umur.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

187

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Analisis Data Data dianalisis secara univariat, bivariat, stratifikasi, dan analisis multivariate dengan uji logistic regresi berganda, =0.05 dan 95 % Confidence Intrval. HASIL PENELITIAN Analisis Univariat Berdasarkan hasil uji univariat didapatkan penderita arthritis gout rata-rata umur diatas 40 tahun dengan jumlah terbanyak pada kelompok umur 50-59 tahun, hal ini dimungkinkan karena terjadinya proses penyimpangan metabolisme yang umumnya berkaitan dengan faktor usia, dimana usia diatas 40 tahun atau manula beresiko besar terkena asam urat, penelitian membuktikan bahwa usia memberikan pengaruh yang besar terhadap kejadian penyakit arthriti gout dimana mereka yang berusia antara 40 dan 50 tahun rentang terkena gout.

Kelompok Umur Responden


100 50 0 Kasus Kontrol

laki-laki perempuan 59 57 39 41

Grafik 1 Distribusi Menurut Kelompok Umur Dari 98 penderita arthritis gout, yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 59 orang (60.2%), dan perempuan sebanyak 39 orang (39.8%), hal ini dimungkingkan karena beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa rasio antara laki-laki dan perempuan yang menderita arthritis lebih banyak pada pria, disebabkan pria tidak memiliki hormon estrogen yang dapat membantu pengeluaran asam urat lewat urine.

Jenis Kelamin Responden


80 60 40 20 0 Laki-Laki Perempuan

Kasus 59 39

Kontrol 57 41

Grafik 2 Distribusi Arthritis Gout Menurut Jenis Kelamin Analisis Bivariat Analisis bivariat ini dilakukan sebagai penilaian awal untuk melihat hubungan antara variabel independen dan dependen secara sendiri - sendiri bila nilai hubungan antara masing masing variabel berada pada tingkat kemaknaan p < 0,05 ini menunjukan perlunya variabel tersebut dipertimbangkan untuk diikutsertakan pada analisis multivariat. Tabel 1 Analisis bivariat antara variabel independen dengan variabel dependen CI 95% LL 1.24 1.66 0.72 1.29 2.80 1.73 UL 3.90 5.55 2.45 4.05 9.44 5.55

Variabel Bebas Hipertensi Obesitas sentral Minum softdrink Minum alkohol Konsumsi zat purin Riwayat gout Data Primer

OR 2.02 3.04 1.33 2.28 5.14 3.10

p 0.01 0.00 0.43 0.00 0.00 0.00

Berdasarkan analisis bivariat didapatkan bahwa yang merupakan faktor risiko kejadian arthritis gout masing-masing adalah hipertensi (OR=2.02; CI 95% 1.24-3.90; p<0.01), Obesitas Sentral (OR=3.04; CI Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013 188

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

95% 1.66-5.55; p<0.00). Minum alkohol (OR= 2.28; CI 95% 1.29-4.05; p<0.00), Konsumsi zat purin (OR=5.14; CI 95% 2.80-9.44; p<0.00), riwayat gout (OR=3.10; CI 95% 1.73-5.55; p<0.00), sedangkan minum softdrink nilai p = 0.43 berarti tidak bermakna. Interpertasi nilai Odds Ratio (OR) = 1.33, maka minum softdrink merupakan faktor risiko kejadian, dengan tingkat kepercayaan (Cl) 95% yaitu 0.72 2.45. Oleh karena nilai LL dan UL mencakup nilai 1, maka variabel minum softdrink dianggap mempunyai pengaruh yang lemah terhadap kejadian arthritis gout. Analisis Stratifikasi Analisis stratifikasi dilakukan untuk melihat pengaruh obesitas sentral dan riwayat keluarga dengan kejadian arthritis gout distratifikasi menurut hipertensi. Tabel 2 Hasil analisis startifikasi terhadap besar risiko kejadian arthritis gout distratifikasi menurut hipertensi. Variabel Bebas OR 1 3.14 2.44 2 3.00 3.25 cOR OR M-H 3.08 2.79 P

Obesitas Sentral 3.04 0.00 Riwayat gout 3.10 0.00 Data Primer OR : Odds Ratio, cOR : crude Odds Ratio, OR M-H : Odds Ratio Mantel-Haenzsel, p : Signifikansi. Berdasarkan uji startifikasi didapatkan nilai p value yang di uji dengan Chi Square Mantel-Haenzsel < 0.05, OR crude = OR M-H (OR crude = 3.041 sama dengan OR M-H = 3.080), dengan demikian dapat dijelaskan bahwa variabel hipertensi bukan merupakan perancu yang meningkatkan hubungan obesitas sentral dengan kejadian arthritis gout. sedangkan riwayat gout diperoleh nilai p value yang di uji dengan Chi Square Mantel-Haenzsel < 0.05, OR crude = OR M-H (OR crude = 3.103 tidak sama dengan OR M-H = 2.789), dengan selisi perbedaan 10%, dengan demikian dapat dijelaskan bahwa variabel hipertensi merupakan perancu yang dapat meningkatkan hubungan riwayat gout dengan kejadian arthritis gout. Analisis Multivariat Analisis multivariat yang dilakukan bertujuan untuk melihat dan mengetahui variabel mana yang paling berpengaruh diantara variabel-variabel independen dengan kejadian arthritis gout. Pada analisis multivariat dengan logistik regresi, dari 5 variabel yang mempunyai nilai p < 0.25, diperoleh 3 variabel yang signifikan hasil keseluruhan pada tabel 3. Tabel 3. Hasil analisis regresi logistik berganda Variabel Bebas B p 0.107 0.005 0.079 0.000 0.002 0.000 OR 1.734 2.272 1.832 4.214 2.850 0.001 OR LL 0.88 1.35 0.93 2.15 1.45 UL 3.38 5.48 3.60 8.24 5.60

Hipertensi 0.551 Obesitas 1.001 sentral Minum alkohol 0.605 Konsumsi zat purin 1.438 Riwayat gout 1.047 Konstanta -6.794 Data Primer OR : Odds Ratio, LL : Lower Limit, UP : Upper Limit, p : Signifikansi .

PEMBAHASAN Hubungan Hipertensi dengan dengan Kejadian Arthritis Gout. Penilaian hiperetensi dalam penelitian ini dilakukan melalui pengukuran tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg, dengan menggunakan alat tensi kemudian dibagi menjadi 2 kategori yaitu hipertensi (risiko tinggi) dan tidak hiperetensi (risiko rendah). Hipertensi pada penelitian ini secara statistik terbukti merupakan faktor risiko terhadap kejadian arthritis gout. Hipertensi dapat disebabkan oleh asupan natrium yang berlebihan, terutama dalam bentuk natrium klorida, pengaruh hiperentsi terhadap kejadian arthritis gout dapat terjadi akibat penurunan aliran darah renal yang disebabkan oleh hipertensi akibatnya aliran darah ke glomerulus menjadi berkurang. Akibat lebih lanjut terjadi peningkatan reabsorbsi asam urat di tubuli, sehingga tubuh mengalami hiperirusemia (peningkatan asam urat dalam darah melebihi batas normal) (Budianti, 2008), Selain itu hipertensi menjadi salah satu faktor risiko gout karena diduga obat antihipertensi yang dikonsumsi oleh pasien dapat mempengaruhi metabolisme lemak, akibatnya terjadi gangguan pada ekskresi asam urat yang menyebabkan berkurangnya pengeluaran asam urat melalui urin (Hidayat 2009). Gout adalah salah satu penyakit yang dapat menyertai dan timbul bersamaan dengan penyakit hipertensi. Adanya endapan kristal urat pada ginjal

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

189

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

yang membentuk batu ginjal dapat menurunkan fungsi ginjal dan memperberat kelainan yang disebabkan oleh hipertensi, Sebanyak 50% kasus hipertensi yang tidak diobati akan mengalami hiperurisemia (Kertia 2009). Hubungan antara hipertensi dengan Arthritis Gout ini didukung oleh beberapa studi epidemiologis, dianataranya studi yang dilakukan oleh Cohen R.Scott, et.al, 2008, memberi bukti bahwa hiperetensi menjadi faktor risko terhadap kejadian arthritis gout dengan (OR = 2,080 CI95% 1.040-0.130, p=0,001), dan penelitian yang dilakukan oleh Maupe, 2009 menunjukan bahwa hipertensi merupakan faktor risiko terhadap kejadian arthritis gout dengan nilai (OR = 2.30 CI 95% 1.13-469 p=0.020). Hubungan Obesitas Sentral dengan dengan Kejadian Arthritis Gout. Penilaian obesitas sentral dalam penelitian ini dilakukan melalui pengukuran berdasarkan ukuran lingkar perut, Bila ukuran lingkar perut pada wanita 80 cm dan laki -laki 90 cm, dengan menggunakan pita meter, kemudian dibagi menjadi 2 kategori yaitu Obesitas sentral (risiko tinggi) dan bukan obesitas sentral (risiko rendah). Obesitas sentral pada penelitian ini secara statistik terbukti merupakan faktor risiko terhadap kejadian arthritis gout Pada obesitas terutama obesitas sentral terjadi peningkatan koenzim A untuk asam lemak rantai panjang. Koenzim ini berkaitan erat dengan sindrom resistensi insulin. Adanya resistensi insulin akan menyebabkan tingginya koenzim A sehingga mengakibatkan terhambatnya kerja adenosin nukleotida translokator (ANT) akibatnya adenosin ekstrasel akan meningkat. Peningkatan adenosin ekstrasel ini akan menyebabkan peningkatan konsentrasi asam urat serum melalui terbentuknya asam urat dari adenosin tersebut (Wisesa dkk 2006). Hubungan antara obesitas sentral dengan Arthritis Gout ini didukung oleh beberapa studi epidemiologis, diantaranya studi yang dilakukan oleh Ching 2003, menemukan bahwa obesitas sentral menjadi faktor risiko arthritis gout pada laki-laki di Taiwan dan penelitian yang dilakuakn oleh Wisesa, dkk 2009, menemukan bahwa obesitas sentral berhubungan dengan kejadian hiperurisemia dengan nilai (OR = 5.44 ; CI 95% 1.584-18,714, p=0.007), pada penduduk suku Bali asli. Hubungan Minum Softdrink dengan dengan Kejadian Arthritis Gout. Penilaian kebiasan minum softdrink dalam penelitian ini dilakukan melalui pengukuran berdasarkan rata rata skor sampel, Bila skor yang diperoleh dari hasil observasi rata -rata skor sampel dan bila skor yang diperoleh dari hasil observasi < rata-rata skor sampel, dengan menggunakan tabel food frekuensi, kemudian dibagi menjadi 2 kategori yaitu risiko tinggi dan risiko rendah. Uji statistik diperoleh nilai p = 0.43 berarti tidak bermakna. Interpertasi nilai nilai Odds Ratio (OR) = 1.33, maka minum softdrink merupakan faktor risiko kejadaian arthritis gout, dengan tingkat kepercayaan (Cl) 95% yaitu 0.72 2.45. Oleh karena nilai LL dan UL mencakup nilai 1, maka kebiasaan minum softdrink secara statistik memberikan pengaruh yang lemah terhadap kejadian arthritis gout. Penelitian yang dilakukan oleh Choi,et.al 2007, menganalisis hubungan antara asupan gula yang bersumber dari minuman berkarbonasi dan makanan kaya fruktosa, menemukan bahwa terjadi peningkatan risiko gout berbanding lurus dengan peningkatan konsumsi minuman berkarbonasi, dibandingkan dengan pria yang mengkonsumsi kurang dari satu porsi minuman berkarbonasi dalam sebulan, mereka yang mengkonsumsi antara 5-6 porsi minuman berkarbonasi dalam seminggu memiliki tingkat risiko 29% lebih tinggi terserang gout, mereka yang mengkonsumsi dua porsi atau lebih minuman berkarbonasi dalam sehari, secara signifikan memiliki tingkat risiko 85% lebih tinggi untuk terserang gout. Hubungan antara kebiasaan minum softdrink dengan Arthritis Gout ini berbeda dari beberapa studi epidemiologis, diantaranya studi yang dilakukan oleh Gao,et.al, 2007, menemukan bahwa Mereka yang berada pada kuartil ke-4 dengan tingkat konsumsi gula manis yang tinggi memiliki kadar asam urat darah yang tinggi p=0.001 Hubungan Minum Alkohol dengan dengan Kejadian Arthritis Gout. Penilaian kebiasan minum alkohol dalam penelitian ini dilakukan melalui pengukuran berdasarkan rata rata skor sampel, Bila skor yang diperoleh dari hasil observasi rata-rata skor sampel dan bila skor yang diperoleh dari hasil observasi < rata-rata skor sampel, dengan menggunakan tabel food frekuensi, kemudian dibagi menjadi 2 kategori yaitu risiko tinggi dan risiko rendah. Minum alkohol pada penelitian ini secara statistik terbukti merupakan faktor risiko terhadap kejadian arthritis gout Konsumsi alkohol sangat terkait dengan kejadian gout. Isi etanol dan purin dalam minuman beralkohol dapat menjelaskan hubungan dengan hyperurisemia dan asam urat. Sebagai contoh, bir dilaporkan memiliki kandungan guanosin tinggi dari ragi dan fermentasi barley. Suatu mekanisme yang mungkin untuk asosiasi asupan alkohol dengan gout meliputi kelebihan produksi asam laktat dan asam lemak, yang mempengaruhi nilai pH cairan tubuh dan mengubah ekskresi ginjal terhadap asam urat. Selain itu, overproduksi nukleotida terjadi setelah injeksi etanol, dan satu penelitian di Jepang menunjukkan bahwa efek ini terjadi melalui satu gangguna metoabolisme ATP (Ching et.al. 2003). Hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi alkohol dengan Arthritis Gout ini didukung oleh beberapa studi epidemiologis dianataranya studi yang dilakukan oleh Sharpe, 2000 et.al, menujukan bahawa pada mereka yang peminum berat memiliki risiko menderita arthritis gout dengan nilai RR = 6, dan studi yang

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

190

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

dilakukan oleh Menurut Zhang et.al 2006, menunjukan bahwa mengkonsumsi alkohol dapat memicu terjadinya gout berulang kurang dari 24 jam. 1. Hubungan Konsumsi Makan Yang mengandung Zat Purin dengan Kejadian Arthritis Gout. Penilaian kebiasan makan makanan yang mengandung zat purin dalam penelitian ini dilakukan melalui pengukuran berdasarkan rata rata skor sampel, Bila skor yang diperoleh dari hasil observasi rata rata skor sampel dan bila skor yang diperoleh dari hasil observasi < rata-rata skor sampel, dengan menggunakan tabel food frekuensi, kemudian dibagi menjadi 2 kategori yaitu risiko tinggi dan risiko rendah. Konsumsi zat purin pada penelitian ini secara statistik terbukti merupakan faktor risiko terhadap kejadian arthritis gout Purin adalah molekul di dalam sel yang berbentuk nukleotida. Pada bahan pangan, purin terdapat dalam asam nukleat berupa nukleoprotein. Enzim pencernaan membebaskan asam nukleat ini dari nukleoprotein. Selanjutnya, asam nukleat tersebut dipecah lagi menjadi mononukleotida. Mononukleotida dihidrolisis menjadi nukleosida yang secara langsung dapat diserap oleh tubuh dan sebagian dipecah lebih lanjut menjadi purin dan pirimidin. Purin lalu teroksidasi menjadi asam urat (Uripi dalam Budianti, 2008) Hubungan antara kebiasaan makan makanan yang mengadung zat purin dengan Arthritis Gout ini didukung oleh beberapa studi epidemiologis diantaranya studi yang dilakukan oleh Choi,et.al, 2005 Konsumsi makanan kaya zat purin yang terkandung dalam binatang laut memberikan pengaruh yang sangat besar bagi peningkatan asam urat dalam darah. Hubungan Riwayat Gout dengan Kejadian Arthritis Gout. Penilaian riwayat gout dalam kelurga pada penelitian ini dilakukan berdasarkan pengakuan responden tentang ada tidaknya anggota keluarga yaitu kakek, nenek, ayahdan ibu, yang menderita arthritis gout, kemudian dibagi menjadi 2 kategori yaitu risiko tinggi dan risiko rendah. Riwayat gout pada penelitian ini secara statistik terbukti merupakan faktor risiko terhadap kejadian arthritis gout. Pada kasus gout primer,selain ketiadaan enzim hypoxanthine guanine phosporibosyl transperase (HGPRT) yang menyebabkan bertambahnya sintesa purin, ada juga pengaruh faktor genetik yang dapat menyebabkan gangguan pada penyimpanan glikogen atau defisiensi enzim pencernaan. Hal ini yang menyebabkan tubuh lebih banyak menghasilkan senyawa laktat atau trigliserida yang berkompetisi dengan asam urat untuk dibuang oleh ginjal (Yang Qiong,et.al,2008.), selain itu Kurangnya pengeluaran asam urat disebabkan oleh beberapa faktor diantarannya: Familial juvenile gouty nephropathy atau suatu penyakit keturunan yang jarang dijumpai oleh infusiensi ginjal yang progresif. Penderita ini sangat sedikit mengeluarkan asam urat dari ginjal (biasanya hanya 4%), Insufisiensi ginjal atau gagal ginjal (Smart,2010). McArdle, et.al 2009, Penaruh gen GLUT9 terhadap terjadinya asam urat Gen GLUP9 memberikan kontribusi secara signifikan bagi terjadinya asam urat (95% interval keyakinan: 0,31-0,63,p=0,004). KESIMPULAN dan SARAN Hipertensi, obesitas sentral, minum alkohol, konsumsi makan yang mengandung zat purin, riwayat kelurga dan minum softdrink merupakan faktor risiko kejadian arthritis gout, namun minum softdrink secara statistik memberikan pengaruh yang lemah terhadap kejadian arthritis gout, dan variabel konsumsi makan yang mengandung zat purin yang paling berpengaruh terhadap kejadian arthritis gout. Perlu adanya sosialisasi tentang pencegahan arthritis gout pada masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Budianti Alfinda. 2008. Status Gizi dan Riwayat Kesehatan Sebagai Determinan Hiperurisemia. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Ching Lyu, Li. Et.al. 2003. A Case-Control Study of the Assocation of Diet and Obesity with Gout in Taiwan. American Journal Clinical Nutrition. Vol 78:690-701. Choi, HK, et.al, 2005. Intake of Purine-Rich Foods, Protein, and Dairy roducts and Relationship to Serum Levels of Uric Acid, American College of Rheumatology Journal. Vol.52. No. 283289 Choi, HK, et.al. 2007. Soft drinks, fructose consumption, and the risk of gout in men. Vol 39449-819271 Cohen.D. Scott, 2008. Association of Incident Gout and Mortality in DialysisPatients, Journal of the American Society of Nephrology, Vol.10, 1046-6673. Gao Xiang, et.al. 2007, Intake of Added Sugar and Sugar-Sweetened Drink and Serum Uric Acid Concentration in US Men and Women, Journal of the American Heart Assocatio. Vol. 50. No: 306312. Hense, dkk, 2007. Hubungan Konsumsi Purin Dengan Hiperurisemia Pada Suku Bali Di Daerah Pariwisata Pedesaan. Bagian/SMF ilmu penyakit dalam FK Unud/RS Sanglah. Hidayat Rudy, 2009. Gout dan Hiperurisemia. devisi reumathology departemen ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran universitas Indonesia RSUPNCM, Jakarta. Vol.22, no.1 Kertia Nyoman, 2009. Asam Urat. Penerbit B First, Yogyakarta Maupe, 2009. Risk Factor In The Incidence of Arthritis Gout In Outpa Tients At The DR. Wahidin Sudirohusodo General Hospital In Makassar In 2007-2008. McArdle, F. Patrick. A common non-synonymous variant in GLUT9 is a determinant of serum uric acid levels in Old Order Amish. Journal arthritis rheumatic. Vol 58: 2874-2881.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

191

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Sharpe, R. Cholin, 2000, A case-control study of alcohol consumption and drinking behavior in patients with acute gout, Can Med Assoc Journal, VOL. 131. Wallace, KL. et.al. 2004, Increasing Prevalence of Gout and Hyperuricemia Over 10 Years Among Older Adults in A Managed Care Populatian. Journal of Rheumatology. Vol 31:1582-1587. Wisesa I. B. Ngrurah. dkk, 2009. Hubungan Antara Kosentrasi Asam Urat Serum Dengan Resistensi Insulin Pada Penduduk Suku Bali Asli di Dusun Tenganan Pegringsingan Karangasem. Jurnal Penyakit Dalam. Vol 10: No.2 Yang Qiong,et.al,2008. Association of three genetic loci with urin acid concentration and rick of gout: a genome-wide association study. ProQuest Biology Journal. Vol. 372.No. 1953-1961 Zhang, Yuqing. 2006. Alcohol Consumption as a Trigger of Recurrent Gout Attacks. The American Journal of Medicine. Vol 119, No.9

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

192

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

FAKTOR PEMANFAATAN PELAYANAN VCT HIV PADA IBU HAMIL PESERTA ANC DI BEBERAPA PUSKESMAS KOTA MAKASSAR Dina Mariana1, Ridwan Amiruddin1, Darmawansyah2 Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Bagian Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin ABSTRACT Transmission of Human Immunodeficiency Virus (HIV) from mother to baby at this time increased with increasing HIV-infected women. This study aims to analyze the factors associated with the utilization of VCT services in pregnant women in ANC attendees Several Makassar Health Center 2013. The research was conducted in three health centers in the city of Makassar in Jumpandang Baru health center, KassiKassi health center, and Jongaya health center. The study design was a cross sectional study. Sample of 230 respondents, where pdata conducted by interview using a questionnaire. Bivariate statistical tests using Chi square test (2) at a significance level of p <0.05 and confidence interval (CI) 95%, stratification using Hanszel Mantel test and multivariate analysis using logistic regression. The results showed that factors related to HIV VCT service utilization among pregnant women is a standard implementation of the ANC (p = 0.004, RP1, 54, 95% CI: 0.072 to 0.387), knowledge about HIV, HIV VCT and PMTCT (p = 0.018, RP1, 282, 95% CI: 1.044 to 1.576), and the support of her husband and family (p = 0.002, RP 1.391, 95% CI: 1.137 to 1.701). The factors that are not related to the attitude towards HIV VCT service utilization (p = 0.859, RP 0.981, 95% CI: 0.795 to 1.210), and access to health care (p = 0.752, RP 0.820, 95% CI: 0.204 to 3.292). ANC service standards and support of her husband and family is the most influential variable on HIV VCT service utilization in pregnant women. Suggested increasing knowledge and awareness about the importance of service standards officers ANC, as well as increased knowledge about HIV / AIDS, VCT and PMTCT in pregnant women. Keywords: utilization factor, HIV VCT, ANC PENDAHULUAN Penularan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari ibu ke bayi saat ini semakin meningkat seiring meningkatnya perempuan yang terinfeksi HIV. Penularan secara vertikal dari ibu ke anak diestimasikan sebesar 91% kasus di sub Sahara Afrika. Sebagian besar infeksi baru berasal dari penularan di dalam rahim, saat melahirkan, post partum sebagai hasil menyusui (UNAIDS dalam Belachew, et.al., 2012). Penularan HIV secara vertikal dari ibu ke bayi tercatat lebih dari 90% dari kasus Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) pada anak di Ethiopia, hal ini disebabkan karena penyerapan program Prevention of Mother to Child Transmission (PMCT) masih rendah di negara ini. Pada tahun 2007, sekitar 75.420 ibu hamil positif HIV dan diperkirakan 14.146 kelahiran positif HIV (Moges dan Amberbir, 2011). Meningkatnya proporsi kasus AIDS pada perempuan ini menunjukkan epidemi AIDS di Indonesia makin meningkat dan dipastikan akan meningkatkan jumlah bayi terinfeksi HIV di masyarakat. Di Sulawesi Selatan khususnya Kota Makassar, jumlah ibu hamil yang terinveksi HIV tahun 2011 sebesar 15,5% kasus dan pada tahun 2012 mengalami penurunan sebesar 9,5% kasus ibu hamil yang terinfeksi HIV dari yang mengikuti Voluntary Counselling and Testing (VCT) (Dinas Kesehatan Kota Makassar, 2013). VCT HIV dapat menjadi bagian integral dalam perawatan antenatal dari program pencegahan HIV dan perawatan di banyak negara salah satunya di sub Sahara Afrika. Studi yang dilakukan di antara 270 wanita hamil di Navrongo distrik utara Ghana bahwa penggunaan obat Antiretroviral (ARV) secara efektif dapat mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi. Obat yang ditemukan dapat digunakan bila serostatus ibu hamil telah diketahui (Baiden, et.al, 2005). VCT selama antenatal merupakan pintu masuk pada pelayanan pencegahan melalui ibu ke anaknya. Negara-negara yang telah memasukkan program PMTCT secara komphrehensif terbukti secara nyata dapat menurunkan angka HIV pada bayi dan anak kecil. Di Indonesia, data tentang keikutsertaan ibu hamil untuk VCT ditempat pelayanan ANC belum ada yang akurat. Program VCT telah dilaksanakan oleh beberapa instansi kesehatan masyarakat khususnya untuk penjangkauan dan memperluas akses layanan PMTCT di Kota Makassar. Selain itu, pelaksanaan standar ANC telah diintegrasikan dengan layanan VCT HIV pada klinik KIA di 6 Rumah Sakit (RS) dan 3 Puskesmas (PKM) di Kota Makassar sejak tahun 2006. Walaupun jumlah kumulatif ibu hamil yang mengikuti VCT di Kota Makassar mengalami peningkatan dari tahun 2011 (1.819 orang) sampai tahun 2012 (2.931 orang), namun beberapa puskesmas dan rumah sakit yang menyediakan layanan VCT menunjukan data pemanfaatan VCT HIV pada ibu hamil masih rendah. Data pemanfaatan VCT HIV pada ibu hamil yang tertinggi di sarana pelayanan kesehatan yang menyediakan layanan VCT pada tahun 2012 adalah RS Wahidin Sudirohusodo (33,3%), PKM Jumpandang Baru (31%), RS Pelamonia (17,3%), RS Dadi (8%), RS

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

193

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Daya (6,5%). Data pemanfaatan VCT HIV ibu hamil yang terendah di RS Bayangakara (0%), PKM Kassikassi (0,1%), PKM Makkasau (0,3%), RS Labuang Baji (0,6%), dan PKM Jongaya (3%). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ibu hamil memanfaatkan layanan VCT berdasarkan teori yang ada yaitu faktor demografi, struktur sosial, akses terhadap layanan kesehatan, status kesehatan berdasarkan persepsi individu (Syafitri, 2012). Hasil studi di Kabupaten Merauke menunjukan bahwa ibu hamil yang mendapat pelayanan ANC sesuai standar berpeluang 3,4 kali untuk mengikuti VCT HIV (Kartiningsih, 2008). Ibu hamil yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang HIV/AIDS memiliki peluang 2 kali lebih mungkin untuk memanfaatkan VCT (Moges dan Amberbir, 2011). Sikap yang lebih positif pada ibu hamil akan memudahkan penyerapan layanan VCT HIV di Cina. Dukungan positif dari suami lebih cenderung untuk menerima tes HIV pada ibu hamil (Semrau, et.al., 2005). VCT HIV sangat rendah pada ibu hamil yang sulit mengakses pelayanan ANC yang tersedia layanan PMTCT (Karamagi, et.al., 2005). Masih rendahnya pemanfaatan layananan VCT HIV maka diperlukan penelitian lebih jauh mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan VCT pada ibu hamil peserta ANC di beberapa puskesmas Kota Makassar terutama faktor pelaksanaan standar pelayanan ANC, pengetahuan tentang HIV/AIDS, VCT, dan PMTCT, sikap, dukungan suami dan keluarga, serta akses pelayanan kesehatan. BAHAN DAN METODE Rancangan dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Puskesmas Jumpandang Baru, Puskesmas Kassi-Kassi, dan Puskesmas Jongaya Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Jenis penelitian yang digunakan adalah studi observasional dengan desain studi potong lintang (cross sectional study), yang merupakan suatu pengamatan epidemiologis untuk menentukan besar hubungan antara paparan (variabel bebas) dengan efek (variabel terikat) dengan melakukan ukuran sesaat atau mengumpulkan data paparan dan efek secara bersamaan. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh sasaran ibu hamil yang berada di wilayah kerja Puskesmas Jumpandang Baru, Puskesmas Kassi-Kassi, dan Puskesmas Jongaya selama tahun 2012 yaitu sebesar 3.609 ibu hamil. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian ibu hamil yang mendapatkan pelayanan ANC di 3 puskesmas tersebut dan ditentukan berdasarkan kriteria inklusi ibu hamil mempunyai buku KIA/ KMS, berasal dari wilayah penelitian, ibu hamil yang melakukan kunjungan ANC > 2 kali, tidak berstatus HIV/AIDS positif, dan setuju mengikuti penelitian ini (informed consent). Pengumpulan Data Pengumpulan data kuantitatif menggunakan kuesioner yang dilakukan oleh peneliti dibantu oleh beberapa enumerator. Pengumpulan data kualitatif melalui wawancara mendalam (indepth interview) kepada informan dengan menggunakan pedoman wawancara mendalam yang dilakukan oleh peneliti. Analisis Data Data diolah dengan menggunakan program STATA. Dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua variabel digunakan uji chi square. analisis stratifikasi digunakan untuk mengetahui adanya confounding. Analisis multivariat untuk mengetahui faktor yang paling dominan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan VCT digunakan uji regresi berganda logistik. HASIL PENELITIAN Karakteristik Responden Tabel 1 menunjukkan karakteristik responden yang menjadi sampel pada penelitian ini. Distribusi kejadian TB paru berdasarkan kelompok umur responden cukup variatif dimana yang tertinggi adalah responden berumur antara 21 25 tahun sebanyak 79 responden (34%) yang merupakan kelompok usia produktif secara reproduksi, dan terendah ditemukan pada kelompok umur > 40 tahun sebanyak 2 responden (0,9%) yang merupakan kelompok umur yang secara reproduksi sangat berisiko terhadap kesakitan dan kematian ibu. Tingkat pendidikan responden dapat dikatakan cukup tinggi, dimana sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan tamat SMA yaitu sebanyak 112 responden (48,7%). Walaupun demikian kondisi tingkat pendidikan rendahpun masih ada, tidak sekolah sebanyak 21 responden (9,1%) dan tamat SD sebanyak 38 responden (25,7%). Sedangkan yang menamatkan jenjang perguruan tinggi hanya sebanyak 13 responden (5,6%). Persentase responden yang bekerja jauh lebih rendah, yakni hanya 28 responden (12%) dibanding yang tidak bekerja sebanyak 202 responden (88%). Persentase responden yang berkunjung ke tempat pelayanan kesehatan sebanyak 4 kali atau lebih sebanyak 143 responden (62%), jauh lebih besar dibanding dengan kunjungan ke pelayanan kesehatan kurang dari 4 kali yaitu sebanyak 87 responden (39%).

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

194

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tabel 1 Distribusi Karakteristik Umum Responden di Beberapa Puskesmas Kota Makassar Tahun 2013 Karakteristik Umum Responden Kelompok Umur (Tahun) 16 20 21 25 26 30 31 35 36 40 > 40 Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA Perguruan Tinggi Pekerjaan Bekerja Tidak Bekerja Kunjungan ANC <4 4 Data Primer Variabel Penelitian Tabel 2 Distribusi Variabel Penelitian di Beberapa Puskesmas Kota Makassar Tahun 2013 Variabel Penelitian Pemanfaatan Pelayanan VCT Memanfaatkan Tidak Memanfaatkan Standar pelayanan ANC Sesuai Standar Tidak Sesuai Standar Pengetahuan tentang HIV/AIDS, VCT HIV, dan PMTCT Cukup Kurang Sikap terhadap Pemanfaatan Layanan VCT HIV Positif Negatif Dukungan Suami dan Keluarga Positif Negatif Akses Pelayanan Kesehatan 1 jam > 1 jam Data Primer n % n 34 79 63 37 15 2 21 38 46 112 13 28 202 87 143 % 14,8 34,3 27,4 16,1 6,5 0,9 9,1 16,5 20,0 48,7 5,6 12,2 87,8 37,8 62,2

90 140 47 183 126 104 132 98 137 93 228 2

39,1% 60,9 20,4 79,6 54,8 45,2 57,4 43,6 59,6 40,4 97,8 2,2

Tabel 2 menunjukkan variabel dalam penelitian ini yang terdiri dari variabel terikat (pemanfaatan VCT HIV pada ibu hamil) dan variabel bebas (pelaksanaan standar ANC, pengetahuan, sikap, dukungan, dan akses pelayanan kesehatan). Persentase responden yang tidak memanfaatkan pelayanan VCT HIV lebih banyak dibandingan dengan yang memanfaatkan pelayanan VCT HIV yaitu sebesar 61% sedangkan yang memanfaatkan pelayanan VCT HIV hanya 39%. Dari seluruh responden yang berkunjung ke puskesmas untuk mendapatkan pelayanan ANC, ternyata yang mendapat pelayanan ANC sesuai standar hanya 47 responden (20%) dan sebagian besar responden memperoleh pelayanan ANC tidak sesuai standar yaitu 183 responden (80%). Perbedaan persentase antara ibu hamil dengan pengetahuan HIV/AIDS cukup d an kurang adalah sebesar 9,6%, lebih banyak yang berpengetahuan cukup sebanyak 126 responden (54,8%) daripada kurang sebanyak 104 responden (45,2%). Sebagian besar responden memiliki sikap baik (positif) tentang pemanfaatan pelayanan VCT HIV yaitu sebanyak 132 responden (57,4%) sedangkan responden yang memiliki keyakinan (negatif) sebanyak 98 responden (42,61%). Responden yang memiliki dukungan Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013 195

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

positif dalam memanfaatan Pelayanan VCT HIV lebih banyak dibandingkan dengan responden yang memiliki dukungan negatif yaitu sebesar 137 responden (59,6%), sedangkan responden yang memiliki keyakinan (negatif) sebanyak 93 responden (40,4%). Sebanyak 228 responden (99%) bertempat tinggal di daerah yang mudah diakses (waktu tempuh 1 jam) jauh lebih banyak diba nding responden bertempat tinggal di daerah yang sulit diakses (waktu tempuh > 1 jam) yaitu 2 responden (1%). Hasil Analisis Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 90 responden yang memanfaatkan pelayanan VCT HIV sebagian besar responden yaitu 63 responden (34,4%) mendapat pelayanan ANC tidak sesuai standar sedangkan yang mendapat pelayanan ANC sesuai standar hanya sebanyak 27 responden (57,5%). Hasil analisis statistik dengan chi-square diperoleh nilai p = 0,004 (p < 0,05), artinya ada hubungan antara pelaksanaan standar ANC dengan pemanfaatan layanan VCT HIV pada ibu hamil peserta ANC. Nilai RP 1,54 atau nilai RP lebih dari 1 pada CI 95% (0,072 0,387) tidak mencakup nilai 1, sehingga ibu hamil yang mendapat pelayanan ANC sesuai standar berpeluang 1,54 kali untuk memanfaatkan pelayanan VCT HIV dibandingkan ibu hamil yang mendapatkan pelayanan ANC tidak sesui standar. Tabel 3. Hubungan Beberapa terhadap Pemanfaatan Layanan VCT HIV pada Ibu Hamil Peserta ANC di Beberapa Puskesmas Kota Makassar Tahun 2013 Pemanfaatan Pelayanan VCT HIV Ya Tidak n % n % 42,5 65,6 54,0 69,2 61,4 60,0 52,5 73,1 61,0 50,0

Variabel

RP

CI 95%

Pelaksanaan Standar ANC Sesuai Standar 27 57,5 20 Tidak Sesuai Standar 63 34,4 120 Pengetahuan HIV/AIDS, VCT HIV, dan PMTCT Cukup 58 46,0 68 Kurang 32 30,8 72 Sikap Positif 51 38,6 81 Negatif 39 40,0 59 Dukungan Suami dan Keluarga Positif 65 47,5 72 Negatif 25 26,9 68 Askes Pelayanan Kesehatan 1 Jam (Mudah diakses) 89 39,0 139 > 1 jam (Sulit diakses) 1 50,0 1 Data Primer

0,004

1,540

0,072 0,387 1,044 1,576 0,795 1,210 1,137 1,701 0,204 3,292

0,018

1,282

0,859

0,981

0,002

1,391

0,752

0,820

Responden yang memanfaatkan pelayanan VCT HIV terdapat 58 responden (46,0%) yang memiliki pengetahuan cukup sedangkan yang memiliki pengetahuan yang kurang hanya sebanyak 32 responden (30,8%). Hasil analisis statistik dengan chi-square diperoleh nilai p = 0,018 (p < 0,05), artinya ada hubungan antara pengetahuan tentang HIV, VCT HIV dan PMTCT dengan pemanfaatan layanan VCT HIV pada ibu hamil peserta ANC. Nilai RP 1,282 atau nilai RP lebih dari 1 pada CI 95% (1,044 1,576) tidak mencakup 1, sehingga ibu hamil yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang HIV, VCT HIV dan PMTCT berpeluang 1,282 kali untuk memanfaatkan pelayanan VCT HIV dibandingkan ibu hamil yang memiliki pengetahuan yang kurang. Responden yang memanfaatkan pelayanan VCT HIV terdapat 51 responden (38,6%) yang memiliki sikap positif sedangkan yang sikap negatif hanya sebanyak 39 responden (40,0%). Hasil analisis statistik dengan chi-square diperoleh p = 0,859 (p > 0,05), artinya tidak ada hubungan antara sikap dengan pemanfaatan layanan VCT HIV pada ibu hamil peserta ANC di beberapa puskesmas kota makassar tahun 2013. Nilai RP 0,981 atau nilai RP kurang dari 1 pada CI 95% (0,795 1,210) mencakup nilai 1, sehingga dianggap sebagai variabel penghambat terhadap pemanfaatan layanan VCT HIV. Responden yang memanfaatkan pelayanan VCT HIV sebagian besar responden yaitu 65 responden (47,5%) memiliki dukungan positif sedangkan yang memiliki dukungan negatif hanya sebanyak 25 responden (26,9%). Hasil analisis statistik dengan chi-square diperoleh nilai p = 0,002 (p < 0,05), artinya ada hubungan antara dukungan suami dan keluarga dengan pemanfaatan layanan VCT HIV pada ibu hamil peserta ANC. Nilai RP 1,391 atau nilai RP lebih dari 1 pada CI 95% (1,137 1,701) tidak mencakup 1, sehingga ibu hamil yang mendapat dukungan positif dari suami dan keluarga berpeluang 1,391 kali untuk memanfaatkan pelayanan VCT HIV. Responden yang memiliki akses pelayanan kesehatan 1 jam (yankes mudah diakses) terdapat 139 responden (61%) yang tidak memanfaatkan layanan VCT HIV sedangkan responden yang memanfaatkan Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013 196

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

layanan VCT HIV hanya sebanyak 89 responden (39%). Hasil analisis statistik dengan chi-square diperoleh nilai p = 0,752 (p > 0,05), artinya tidak ada hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan pemanfaatan layanan VCT HIV pada ibu hamil peserta ANC. Nilai RP 0,82 atau nilai RP kurang dari 1 pada CI 95% (0,795 1,210) mencakup nilai 1, sehingga dianggap sebagai variabel penghambat terhadap pemanfaatan pelayanan VCT HIV. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa probabilitas pemanfaatkan pelayanan VCT HIV pada ibu hamil yang mendapat pelayanan ANC sesuai standar, dan mendapat dukungan positif dari suami dan keluarga adalah 75,4% (P = 0,754 dengan nilai y = 1,122) dengan formula P = 1/(1+exp -y) (Tabel 4). Tabel 4 Hasil Analisis Regresi Berganda Logistik Risiko Faktor Pemanfaatan Pelayanan VCT HIV HIV pada Ibu Hamil Peserta ANC di Beberapa Puskesmas Kota Makassar Tahun 2013 Variabel Penelitian Standar Pelayanan ANC Dukungan Suami dan Keluarga Constant Y = 1,122 P = 0,754 Data Primer Coef 0,8242907 0,8107265 -0,5124439 z 2,42 2,75 OR 2,280 2,249 95% CI LL 1,169771 1,262794 UL 4,444972 4,007335 p 0,016 0,006

Hasil analisis stratifikasi diperoleh nilai OR Crude = 2,571 dan nilai OR MH = 2,253. Selisih perbedaan tersebut mencapai 12,4%. Terdapat perbedaan antara nilai OR Crude dengan OR MH dengan selisih perbedaan mencapai 10% 20%, sehingga variabel dukungan suami dan keluarga merupakan variabel confounding terhadap standar pelayanan ANC dengan pemanfaatan layanan VCT HIV (Tabel 5). Tabel 5 Hasil Analisis Stratifikasi Berdasarkan Variabel Dukungan Suami dan Keluarga M-H combined 2,253 Koef. Confounding (>10%) 12,4% Homogeneity test (p<0,05) 0,503

Variabel Pemanfaatan Layanan VCT HIV Data Primer

ORc 2,571

95% CI 1,159 4,376

PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menemukan adanya hubungan antara variabel pelaksanaan ANC sesuai standar dengan pemanfaatan konseling dan tes HIV pada ibu hamil, dimana ibu hamil yang mendapat pelayanan ANC sesuai standar berpeluang 1,54 kali untuk memanfaatkan pelayanan VCT HIV dibandingkan ibu hamil yang mendapatkan pelayanan ANC tidak sesuai standar. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ekanem dan Gbadegesin (2004) yang menemukan bahwa ibu hamil yang mendapat pelayanan ANC sesuai standar termasuk didalamnya mencakup pemberian penyuluhan tentang pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dan ditawari konseling dan tes HIV berkeinginan untuk ikut VCT sebesar 96,1%. Pelaksanaan ANC sesuai standar dapat berimplikasi terhadap pemanfaatan pelayanan VCT HIV pada ibu hamil, hal ini disebabkan karena beberapa item kegiatan dalam pelaksanaan ANC sesuai standar termasuk didalamnya mencakup pemberian penyuluhan tentang HIVAIDS, pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi,dan VCT dapat berefek pada penerimaan ibu hamil untuk ikut memanfaatan pelayanan VCT jika ditawari untuk konseling dan tes HIV. Hasil analisis multivariat menemukan bahwa pelaksanaan standar ANC merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan VCT HIV pada ibu hamil peserta ANC di beberapa puskesmas Kota Makassar tahun 2013 sehingga implementasi pelaksanaan standar ANC dengan konseling dan tes HIV merupakan peluang penting dalam usaha-usaha mengurangi transmisi dari ibu ke bayi. Ketersediaan konseling dan tes HIV pada saat ANC memberikan kesempatan kepada ibu hamil untuk menilai risiko mereka selama kehamilan. Hasil wawancara mendalam yang dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan, bidan telah mengetahui akan adanya standar pelayanan ANC dan mengaku telah menerapan pelayanan ANC sesuai standar dari pusat, namun pengakuan ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan dilapangan karena berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa ibu hamil yang memanfaatan pelayanan ANC, dari analisis univariat ditemukan sebagian ibu hamil yang mengaku belum mendapatan penyuluhan HIVAIDS sebesar 66,96%, sehingga dapat disimpulkan bahwa pelayanan ANC yang oleh bidan sepenuhnya belum dilakukan sesuai standar dalam setiap pelayanannya. Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013 197

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Hasil penelitian ini menemukan variabel pengetahuan tentang HIV, VCT HIV, dan PMTCT memiliki hubungan yang bermakna dengan pemanfaatan pelayanan VCT HIV, dimana ibu hamil yang memiliki Pengetahuan yang cukup tentang HIV, VCT HIV dan PMTCT berpeluang 1,282 kali untuk memanfaatkan pelayanan VCT HIV dibandingkan ibu hamil yang memiliki pengetahuan yang kurang. Hasil yang sama ditujukkan oleh Moges dan Amberbir (2011), yang menunjukkan bahwa ibu hamil yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang HIV/AIDS memiliki peluang 2 kali lebih mungkin untuk memanfaatkan VCT. Hal yang sama juga ditujukan pada penelitian Ekanem dan Gbadegesin (2004), mayoritas responden dalam penelitiannya 89,9% mempunyai pengetahuan sangat baik tentang HIV dan hampir semua wanita bersedia untuk VCT pada kehamilan terutama jika itu akan membantu mencegah penularan HIV kepada bayi mereka. Pengetahuan yang rendah menyebabkan ibu hamil lebih cenderung tidak memanfaatkan pelayanan VCT, didukung dengan tingkat pendidikan yang juga rendah semakin membatasi seseorang untuk bisa menyerap informasi yang bisa didapat jika ibu hamil menyempatkan diri mencari informasi tentang HIV. Menurut Addo (2005), pengetahuan umum tentang HIV seperti jalur utama transmisi, secara signifikan (p = 0,002) berhubungan dengan tingkat pendidikan. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan lebih dari sembilan tahun, mempunyai pengetahuan lebih baik tentang PMTCT dibandingkan ibu tidak berpendidikan atau memiliki pendidikan dasar. Hasil penelitian yang lain yang dilakukan di India juga menunjukkan bahwa adanya sikap negatif ibu hamil untuk VCT mencakup 84% berpikir bahwa ibu merugikan bayi, berpikir 78% dia bukan ibu yang baik 97% ibu hamil tidak menganggap diri mereka memiliki risiko HIV dan hanya 57% telah dites HIV. Meskipun, 85% perempuan menyatakan kesediaan mereka untuk diuji, namun mereka takut akan stigma negatif dari lingkungan keluarga mereka jika mereka positif HIV (Rogerst, et.al., 2012). Sikap ibu hamil untuk pemanfaatan layanan VCT sangat terkait dengan kekhawatiran mereka tentang kerahasiaan dan pengungkapan status HIV jika hasilnya positif serta takut reaksi negatif dari suami mereka, responden tua, dan masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi dukungan dengan pemanfaatan pelayanan VCT HIV, dimana ibu hamil yang mendapat Dukungan positif dari suami dan keluarga berpeluang 1,391 kali untuk memanfaatkan pelayanan VCT HIV dibandingkan ibu hamil yang mendapat dukungan negatif dari suami dan keluarga. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Semrau, et.al. (2005) yang menemukan bahwa ibu hamil yang mendapat mendapat dukungan positif dari suami atau pasangannya lebih cenderung untuk menerima tes HIV sebesar 96%. Keadaan lingkungan keluarga yang tidak mendukung akan mempengaruhi ibu dalam memanfaatkan layanan VCT. Keputusan wanita yang dipengaruhi oleh pasangan dan keluarga sangat berpengaruh terhadap ibu hamil untuk ikut VCT. Ibu dengan sosial budaya yang sangat bergantung pada suami dan keluarga, cenderung akan menolak untuk ikut VCT dengan alasan meminta persetujuan pasangan/suami atau keluarga. Dukungan suami dan keluarga mempengaruhi hubungan standar pelayanan ANC terhadap pemanfaatan pelayanan VCT HIV. Dengan adanya dukungan positif dari suami dan keluarga dan pelayanan ANC sesuai standar, akan membantu peningkatan pemanfaatan pelayanan VCT HIV pada ibu hamil. Hasil analisis stratifikasi dengan uji Mantel Hanszel diperoleh selisih perbedaan OR Crude dan OR MH mencapai 12,4%. Selisih perbedaan ini mencapai 10% 20% sehingga variabel dukungan suami dan keluarga merupakan variabel confounding terhadap hubungan standar pelayanan ANC dengan pemanfaatan pelayanan VCT HIV. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan pemanfaatan VCT HIV. Artinya, ibu hamil yang tinggal di daerah yang sulit diakses dan yang mudah diakses tidak mempengaruhi ibu hamil dalam memanfaatkan pelayanan konseling dan tes HIV. Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kartiningsih (2008) yang juga menemukan bahwa tidak ada hubungan antara jarak tempat tinggal responden dengan keikutsertaan ibu hamil untuk konseling dan tes HIV di Kabupaten Merauke, Papua. Penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian Karamagi, et.al. (2005) yang memperoleh data bahwa konseling dan tes HIV sangat rendah pada ibu hamil yang sulit mengakses pelayanan ANC yang tersedia layanan PMTCT. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan pelaksanaan standar ANC, pengetahuan tentang HIV, VCT HIV dan PMTCT, dan dukungan suami dan keluarga terhadap pemanfaatan pelayanan VCT HIV pada ibu hamil. Tidak ada hubungan antara sikap dan akses pelayanan kesehatan terhadap pemanfaatan pelayanan VCT HIV pada ibu hamil. Hasil uji multivariat menunjukkan variabel standar pelayanan ANC dan dukungan suami dan keluarga merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap pemanfaatkan pelayanan VCT HIV pada ibu hamil peserta ANC. Hasil uji stratifikasi menunjukkan dukungan suami dan keluarga merupakan variabel confounding hubungan antara pelaksanaan standar ANC dengan pemanfaatan pelayanan VCT HIV. Disarankan meningkatkan pengetahuan dan kepedulian petugas tentang pentingnya standar ANC pelayanan VCT HIV pada ibu hamil serta peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS, VCT dan PMTCT pada ibu hamil ibu hamil.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

198

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

DAFTAR PUSTAKA Addo, V.N. (2005). Pregnant Womens Knowledge of and Attitudes to HIV testing at Komfo Anokye Teaching Hospital, Kumasi. Ghana Med J, 39 (2): 50-4. Baiden, et.al. (2005). Review of Antenatal Linked Voluntary Counseling And Hiv Testing In Sub-Saharan Africa: Lessons and Options For Ghana. Ghana Medical Journal Vol.39, No.1 March 2005 Belachew, et.al. (2012). Factors Affecting Acceptance of HIV Counsel-ing & Testing Among Antenatal Care Atten-dants: With Emphasis on Role of Male Partners. International Journal of Scientific & Engineering Research Volume 3, Issue 4. Dinas Kesehatan Kota Makassar. (2013). Profil Kesehatan Kota Makassar. Makassar : Dinas Kesehatan Kota Makassar. Ekanem, E. E. & Gbadegesin, A. (2004). Voluntary Counselling and Testing (VCT) for Human Immunodeficiency Virus: A Study on acceptability by Nigerian Women Attending Antenatal Clinics. Afr J Repor Health, 8 (2):91 100. Karamagi, C.AS., Tumwine, J.K., Tylleskar, T. & Heggenhougen, K. (2006). Antenatal HIV Testing in Rural Eastren Uganda in 2003: Incomplete Rollout of the Prevention of Mother-to-Child transmission of HIV Program. BMC Int Health Hum Rights, 6 (6):1-10. Kartiningsih, Titik. (2008). Hubungan Pelaksanaan Standar Pelayanan Antenatal Dengan Keikutsertaan Ibu Hamil Untuk Konseling dan Tes HIV Di Kabupaten Merauke. Tesis. Yogyakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Moges and Amberbir. 2011. Factors Associated With Readiness To Vct Service Utilization Among Pregnant Women Attending Antenatal Clinics In Northwestern Ethiopia: A Health Belief Model Approach. thiop J Health Sci. Vol. 21. Rogerst, et.al. (2006). HIV-Related Knowledge, Attitudes, Perceived Benefits, and Risks of HIV Testing Among Pregnant Women in Rural Southern India. Mary Ann Liebert Publisher: Volume 20 Issue 11. Syafitri, Leni. (2012). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemanfaatan Pelayanan PITC bagi Tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Berisiko Tinggi HIV/AIDS di Poliklinik Rutan Klas I Cipinang Tahun 2012. Semrau, et.al. (2005). Women in couples antenatal HIV counseling and testing are not more likely to report adverse social events. NIH Public Access Author Manuscript. 19(6): 603609

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

199

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

DETERMINAN PEMBERIAN ASI ESKLUSIF DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MONGOLATO KECAMATAN TELAGA KABUPATEN GORONTALO Hafni Van Gobel 1, Masni2, A. Arsunan Arsin 3
2

Politeknik Kesehatan Gorontalo Bagian Biostatistik Fakultas kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, 3 Konsentrasi Epidemiologi Fakultas kesehatan Masyarakat, ABSTRACT

The aim of the research was to acknowledge of knowledge, parity, employment status, breastfeeding couseling, breast care, early initiation of breastfeeding and husbands support on the exlusive breastfeeding. The research was conducted in the work region of Mongolato Community Health center. Telaga District, Gorontalo city in 2013. The research design was a cross sectional , by interviewing 193 breastfeeding mothers as respondents. Sampel analyzed with chi-square test, continued with logistic regression. The result of the research indicated that knowledge (p = 0.006), parity (p = 0.006 employment status (p=0,002), breastfeeding counseling(p=0,013),breast care (p=0,042), early initiation of breastfeeding (p = 0.019) and husband support (p = 0.000), were significantly associated with exclusive breastfeeding.Conclusion, Husband support , knowledge and parity were determinants of exclusive breastfeeding. Keywords: exclusive breastfeeding, parity, counseling, care, initiation. PENDAHULUAN Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang terbaik bagi bayi, terutama pada bulan-bulan pertama hidupnya. ASI mengandung semua zat gizi untuk membangun dan menyediakan energi yang diperlukan oleh bayi. ASI juga mempunyai nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan bayi yang dibuat manusia ataupun susu hewan, seperti susu sapi, susu kerbau, dan lain-lainnya. Selain itu program peningkatan ASI ekslusif merupakan salah satu bentuk usaha pemerintah dalam hal pencapaian Millenium Development Goals (Depkes RI, 2011). Upaya peningkatan penggunaan ASI juga telah disepakati secara global. melalui komitmen Internasional pada pertemuan di Italia yang melahirkan Deklarasi Innocenti, salah satu bahasan dalam pertemuan ini adalah kesehatan anak dan hubungannya dengan ASI. Di dalam deklarasi tersebut disepakati perlunya kampanye ASI melalui pekan ASI sedunia yang diadakan setiap minggu pertama bulan Agustus (World Breast-Feeding Week) yang bertujuan untuk mengingatkan masyarakat tentang pentingnya ASI agar para ibu menyusui bayinya. Disamping Deklarasi Innocenti tersebut WHO (World Health Organization) dan UNICEF (United Nation Childrens Fund) pada September 1991 melalui Konferensi Puncak untuk anak menetapkan bahwa untuk mencapai status kesehatan ibu dan anak yang optimal, semua wanita harus dapat memberikan ASI sampai bayi berusia 4-6 bulan (menyusui secara eksklusif), memberikan makanan pendamping ASI tepat pada waktunya, dan terus memberikan ASI sampai anak berusia 2 tahun. Berdasarkan data pemberian ASI sudah cukup tinggi, namun ASI eksklusif masih tetap rendah. Swedia yang merupakan negara yang cukup tinggi angka ibu menyusuinya, dari 95% ibu yang menyusui bayinya ternyata hanya 55% yang memberikan ASI eksklusif sampai 6 bulan. Di Bolivia, pemberian ASI eksklusif sampai usia 4 bulan sekitar 50%, dengan 13,6% bayi masih diberikan ASI eksklusif sampai usia 6-9 bulan (Mexitalia, 2003). Penelitian Guillain, dkk. (2012), menemukan adanya perbedaan antara temperamen bayi usia 3 bulan yang hanya mendapat ASI saja dengan yang mendapat ASI dan susu atau campuran. Hasil penelitian Qureshi, dkk. (2010) menemukan bahwa praktek pemberian ASI Esklusif menurun pada ibu bekerja, wanita usia muda, ibu dengan pendidikan rendah, dan ibu dengan paritas kurang dari 5. Sebelumnya Tarka, dkk. (2001) menemukan bahwa faktor yang memengaruhi keberhasilan pemberian ASI Esklusif pada 3 bulan pertama kelahiran adalah sumber daya ibu, sikap terhadap pemberian Asi dan dukungan dari masyarakat. Di Indonesia, secara Nasional cakupan pemberian ASI ekslusif berfluktuasi dan cenderung menurun 3 tahun terakhir. Berdasarkan hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 persentase cakupan ASI sebesar 95,2% tetapi rata-rata pemberian ASI ekslusif hanya mencapai 3 bulan, sedangkan hasil Riskesda tahun 2010 bayi yang menyusui ekslusif hanya 15,3%. Angka ini masih jauh di bawah angka ASI ekslusif global yang juga rendah yaitu sebesar 32,6 % (Depkes RI, 2011). Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo (2011) p emberian ASI ekslusif mengalami peningkatan pada tahun 2010 sebesar 37,43 % dan tahun 2011 meningkat menjadi 49,5 %. Cakupan ASI ekslusif untuk Kabupaten Gorontalo tahun 2011 sebesar 56,4%. Berdasarkan permasalahan diatas maka tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor determinan pemberian ASI Esklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Mongolato Kecamatan Telaga Kabupaten Gorontalo.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

200

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

BAHAN DAN METODE Rancangan dan Lokasi Penelitian Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian Observasional analitik dengan rancangan Cross Sectional Study. Penelitian ini dilaksanakan diwilayah kerja Puskesmas Mongolato Kecamatan Talaga Kabupaten Gorontalo, pada minggu kedua bulan Desember tahun 2012 sampai dengan minggu kedua bulan Februari tahun 2013. Populasi dan sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu menyusui pada Wilayah kerja Puskesmas Mongolato Kabupaten Gorontalo periode Januari sampai dengan Desember 2012, dengan jumlah sampel . Penarikan dilakukan dengan cara (simple random sampling) dengan mengacu pada daftar sampel (sampling frame) dengan kriteria sampel yaitu (1) Ibu yang mempunyai bayi berumur antara 6 sampai 12 bulan dan berstatus menyusui, (2) Berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Mongolato Kecamatan Talaga Kabupaten Gorontalo periode Januari sampai dengan Desember 2012, dan (3) Bersedia menjadi responden dan menandatangani inform concent. Pengumpulan data dan Analisis Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan kunjungan rumah, wawancara terpimpin pada ibu menyusui, sesuai dengan kuesioner yang telah disusun. Pengolahan data dilakukan secara manual dan elektronik dengan menggunakan kalkulator dan komputer. Analisis menggunakan program SPSS 18.00 for Windows.Uji independensi Chi-Square digunakan untuk melihat hubungan antara 2 variabel kategorik. Uji regresi logistik berganda dilakukan dengan mempergunakan data dari pengaruh faktor determinan. HASIL PENELITIAN Karakteristik sampel Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok umur responden 20-34 tahun adalah kelompok umur dengan frekuensi terbesar (32,7%), sedangkan kelompok umur <19 tahun adalah kelompok umur dengan frekuensi terkecil (3,6%). Tingkat pendidikan responden dengan frekuensi terbesar adalah pendidikan SMA (36,3%), dan frekuensi kelompok pendidikan terkecil adalah perguruan tinggi (11,4%), Frekuensi responden tidak bekerja (62,2%) sedangkan frekuensi ibu menyusui yang bekerja( 37,8%.), Frekuensi umur anak 6 11 bulan dengan persentase tertinggi (91,2%), sedangkan frekuensi umur anak 1924 bulan dengan persentastase terkecil (0,5%). Tabel 1 Karakteristik responden penelitian Kelompok Umur (tahun) Jumlah (n) < - 19 7 20 24 63 25 29 57 30 34 29 35 39 19 40 - > 18 Total 193 Tingkat pendidikan SD 40 SMP 61 SMA 70 Perguruan Tinggi 22 Jumlah 193 Status Pekerjaan Bekerja 73 Tidak bekerja 120 Jumlah 193 Umur Anak (Bulan) 6 - 11 176 12 18 16 19 - 24 1 Jumlah 193 Data Primer

% 3,6 32,7 29,5 15,0 9,9 9,3 100,0 20,7 31,6 36,3 11,4 100,0 37,8 62,2 100,0 91,2 8,3 0,5 100,0

Uji chi-square determinan ASI eksklusif Berdasarkan hasil Uji Chi-Square menunjukkan bahwa pengetahuan ibu berhubungan dengan pemberian ASI esklusif (p=0,006), paritas berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif ( p=0,006), status pekerjaan berhubungan dengan pemberian ASI esklusif ( p=0,002), konseling ASI berhubungan dengan pemberian ASI esklusif (p=0,013), perawatan payudara berhubungan dengan pemberian ASI esklusif

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

201

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

(p=0,042), inisiasi menyusu dini berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif (p=0,019), dukungan suami berhubungan dengan pemberian ASI ekslusif (p=0,000) (tabel 2). Tabel 2 Hasil uji chi-square Determinan Pemberian ASI Eksklusif Pemberian ASI Esklusif Non Esklusif n % n % 47 3 41 9 98 45 4 46 30,1 8,1 32,3 13,6 81,7 38,4 10,3 29,9 109 34 86 57 22 28 35 108 69,9 91,0 67,7 86,4 18,3 61,6 89,7 70,1 Jumlah n 156 37 127 66 120 73 39 154 % 100 100 100 100 100 100 100 100 Hasil Uji : Chi-Square X2 7,555 p 0,006 Phi 0,198

Determinan Pengetahuan Cukup Kurang Paritas Baik Kurang Status pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Konseling ASI Ada Tidak ada Perawatan payudara Ada Tidak ada Inisiasi menyusu dini Ada Tidak ada Dukungan suami Cukup Kurang Data Primer

7,867

0,006

0,202

9,480

0,002

0,222

6,237

0,013

0,180

6 44

14,0 29,3

37 106

86,0 70,7

43 150

100 100

4,118

0,042

0,146

5 45 25 25

11,9 29,8 53,2 17,1

37 106 22 121

88,1 70,2 46,8 82,9

42 151 47 146

100 100 100 100

5,483

0,019

0,169

24,096

0,000

0,353

Analisis Multivariat Berdasarkan hasil uji regressi linier berganda logistik, yang dinilai melalui tingkat signifikansi (Sig.) dan Wald bahwa dukungan Suami, memperlihatkan nilai Wald=19,160 dengan p=0,000 memberi arti bahwa apabila ibu mendapatkan dukungan suami maka berpeluang untuk memberikan ASI Esklusif pada bayinya sebesar 19,16 kali dibandingkan dengan ibu yang tidak mendapatkan dukungan suami. Pengetahuan, memperlihatkan nilai dengan p=0,017 memberi arti bahwa apabila ibu mempunyai pengetahuan cukup, berpeluang memberi ASI Esklusif pada bayinya sebesar 5,74 kali dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan kurang. Paritas memperlihatkan nilai Wald=4,602 dengan p=0,032 memberi arti bahwa ibu dengan paritas lebih dari satu berpeluang untuk memberikan ASI esklusif pada bayinya sebesar 4,60 kali dibandingkan dengan ibu paritas satu. Inisiasi menyusui dini memperlihatkan nilai yang tidak signifikan (Wald=2,972) (p=0,085). Perawatan payudara, memperlihatkan nilai yang tidak signifikan dengan nilai Wald=0,016 dengan p=0,901. Status pekerjaan memperlihatkan nilai yang tidak signifikan ( Wald=1,837) dengan p=0,175. Konseling ASI, memperlihatkan nilai yang tidak signifikan dengan nilai Wald=1,259 dengan p=0,262. Dari hasil analisis ditemukan tiga variabel yaitu; dukungan suami, pengetahuan dan paritas, merupakan determinan pemberian ASI esklusif . Tabel 3 Hasil uji regresi logistik Determinan Pemberian ASI Esklusif VARIABEL Dukungan Pengetahuan Paritas Inisiasi menyusu dini Perawatan payudara Status pekerjaan Konseling ASI Data Primer B -1,840 1,705 0,975 1,078 0,073 1,546 0,741 Wald 19,160 5,748 4,602 2,972 0,016 1,837 1,259 DF 1 1 1 1 1 1 1 p 0,000 0,017 0,032 0,085 0,901 0,175 0,262 OR 0,159 5,500 2,652 2,940 0,930 1,726 2,098

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

202

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang berpengetahuan cukup, memberikan ASI Esklusif pada bayinya dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan kurang (p=0,006) sehingga disimpulkan bahwa pengetahuan berhubungan signifikan dengan pemberian ASI Esklusif. Hasil uji regresi logistik didapatkan pengetahuan berpengaruh terhadap pemberian ASI Esklusif Wald =5,748 (p= 0,017). Ibu yang mempunyai pengetahuan cukup, berpeluang untuk memberikan ASI esklusif pada bayi sebesar 5,74 dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan kurang. Sejalan dengan penelitian Listyaningsih (2008) dalam penelitiannya menemukan ada hubungan bermakna antara pengetahuan laktasi ibu pada waktu hamil dengan pemberian ASI Esklusif. Leia, dkk. (2004), menemukan adanya pengaruh pengetahuan dan perilaku pemberian ASI pada ibu menyusui di pedesaan Jamaica. Menurut Carlson (2008) banyak faktor yang menyebabkan pemberian ASI ekslusif tidak terlaksana dengan baik, salah satunya adalah kesalahan pada tata laksana laktasi yang menyebabkan penurunan produksi ASI (sindrom ASI kurang) dan sebagian besar ibu yang tidak menyusui bayinya bukan karena gangguan fisik, melainkan lebih banyak karena ibu tidak tahu tentang tata laksana laktasi. Dalam wawancara pada sebagian ibu menyusui mengatakan mengetahui tentang pentingnya pemberian ASI Esklusif melalui petugas kesehatan tempat pemeriksaan antenatal, sebagian melalui teman, namun sebagian ibu tidak mendapatkan informasi yang mendalam tentang pentingnya pemberian ASI Esklusif, mengingat pentingnya hal tersebut selayaknya petugas kesehatan harus terus memberikan pemahaman yang terkait dengan pengetahuan ASI Esklusif. Paritas ibu terkait dengan pengalaman ibu dalam melahirkan. Persalinan yang paling aman bagi ibu adalah yang kedua dan ketiga, sedangkan persalinan ketiga dan seterusnya secara dramatis menurunkan kesehatan ibu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu dengan paritas lebih dari satu memberikan ASI Esklusif pada bayinya dibandingkan dengan ibu dengan paritas satu ( p=0,006) sehingga disimpulkan paritas berhubungan signifikan dengan pemberian ASI Esklusif. Hasil uji regresi logistik didapatkan ibu dengan paritas lebih dari satu memberikan ASI Esklusif pada bayinya Wald=4,602 (p=0,032), sehingga disimpulkan bahwa ibu dengan paritas lebih dari satu berpeluang memberikan ASI Esklusif pada bayinya sebesar 4,60 kali dibandingkan dengan ibu dengan paritas satu. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lestari, dkk. (2010) bahwa mayoritas ibu yang menyusui bayi yang merupakan anak pertama memiliki proses menyusu yang tidak efektif dibandingkan dengan ibu yang menyusui bayinya merupakan anak ketiga dan keempat. Artinya paritas berpengaruh terhadap keberhasilan menyusui. Penelitian Wulandari (2007) menyatakan bahwa pengalaman memegang peranan penting dalam meningkatkan pengetahuan terhadap tata laksana laktasi. Pengalaman seorang ibu dalam hal ini dilihat dari jumlah anak yang dilahirkan. Ibu yang melahirkan anak lebih dari satu kali cenderung untuk memberikan ASI kepada bayinya. Dalam wawancara pada sebagian ibu diperoleh informasi bahwa ibu yang berparitas satu (pertama kali melahirkan) cenderung untuk tidak memberikan ASI esklusif dengan berbagai faktor penyebab antara lain, merasa kurang percaya diri, ASI tidak keluar, bayi rewel dan dukungan negatif dari orang tua dan suami. Dukungan Suami Dengan Pemberian ASI Esklusif sangat erat kaitannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang mendapatkan dukungan suami cukup memberikan ASI Esklusif pada bayinya dibandingkan dengan ibu yang mendapatkan dukungan suami kurang.Hasil uji chi-square memperlihatkan nilai (p=0,000) sehingga disimpulkan bahwa dukungan suami berhubungan signifikan dengan pemberian ASI Esklusif Hasil uji regresi logistik memperlihatkan nilai Wald=19,160 (p=0,000),nilai ini memperlihatkan signifikansi yang sangat besar dimana ibu menyusui yang mendapatkan dukungan suami yang cukup berpeluang memberikan ASI Esklusif pada bayinya sebesar 19,160 kali dibandingkan dengan ibu menyusui yang mendapat dukungan yang kurang. Sejalan dengan penelitian Rokhanawati (2009)menemukan bahwa dukungan sosial suami mempunyai hubungan yang bermakna dengan perilaku pemberian ASI eksklusif. Malau (2010) menemukan ada hubungan yang signifikan antara dukungan suami dan kemauan ibu memberikan ASI eksklusif dengan kekuatan hubungan sedang (r=0,38), yang berarti semakin besar dukungan suami maka semakin besar kemauan ibu memberikan ASI eksklusif. Olayemi, dkk. (2007), menemukan bahwa dukungan suami meningkat secara signifikant terhadap lama pemberian ASI (OR 0,94%), penelitian yang sama pernah dilakukan oleh Jenny, dkk. (2003) terhadap nenek-nenek diAsia selatan dan menemukan adanya pengaruh yang signifikan terhadap dukungan menyusui.Penelitian ini juga menemukan bahwa konseling ASI, inisiasi menyusu dini, status pekerjaan ibu dan perawatan payudara tidak memberikan kontribusi terhadap pemberian ASI esklusif KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara pengetahuan, paritas, inisiasi menyusu dini, dukungan suami, status pekerjaan, perawatan payudara dan konseling ASI dengan pemberian ASI eksklusif. Dukungan suami, pengetahuan, dan paritas memberikan kontribusi dalam pemberian ASI eksklusif. Perlu ada desakan yang kuat dari berbagai komponen dalam menjalankan kebijakan ASI Esklusif, melalui monitoring dan evaluasi sebagai upaya penguatan implementasi di masyarakat.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

203

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

DAFTAR PUSTAKA Carlson. (2008). Ilmu Kesehatan Masyarakat untuk Mahasiswa Kebidanan . Penerbit: EGC Jakarta. Depkes. (2011). Gizi dan kesehatan Ibu dan Anak. (online). Diakses Tanggal 29 September 2012. http://www Gizikia.depkes.go.id/archives/658. Depkes, R.I, (2005). Kebijakan Departemen Kesehatan Tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu ( ASI) Pekerja wanita. (online). Di akses 4 November 2012. Pusat kesehatan Kerja Dep.Kes R.I. Guillain, dkk. (2012). Breastfeeding And Infant Temperament At Age Three Months (online) Di akses 3 November 2012. 7(1).e29326 doi:101371.journal ,pone,0029326. Ingram,et,al. (2003). South Asian Grandmothers Influence On Breastfeeding In Bristol. (Online). Diakses 2 Maret 2013. http://www.sciencedirect.com. Leia, M., dkk. (2010). Breastfeeding Attitude Of Finnish Parents During Pregnancy. (online). Diakses 2 maret 2013. http://www.biomed-central.com/1471-2393/10/79 Lestari, dkk. (2012). Motivasi ibu bekerja dalam memberikan ASI ekslusif di PT Dewhirts mens wear Indonesia. Skripsi FKM UNIV Padjajaran Bandung. Listyaningsih. (2008). Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Laktasi Dengan Perawatan Payudara. Di Kelurahan Ranggen Kabupaten demak. (online). Diakses 3 maret 2013. http://Jurnal.unimus.ac.id/index.php/jur-bid/556. Malau. ( 2010). Hubungan Dukungan Suami dan Kemauan Ibu Memberikan ASI Eksklusif di Puskesmas Teladan Medan. Di akses 12 Januari 2013 (repository.usu.ac.id,) Mexitalia. (2003). Prevalence of Exlusive Breasfeeding in Bangladesh Assosiation with Diarhoea and Acute respiratory Infection : Diakses 12 November 2012.Result of the Multiple indicator cluster survey 2003. Journal of Health, Population and Nutrition 25(2):195-204. Olayemi, O., dkk. (2007). The influence of social support on the duration of breast-feeding among antenatal patients in ibadan. Journal of obstetrics & gynaecology. (online). diakses 4 maret 2013. http://informahealthcare.com Profil Dinas Kesehatan provinsi Gorontalo. 2011 Qureshi, dkk. (2011).Using Community Volunteers To Promote Exlusive Breastfeeding In Sokoto State Nigeria,(online),diakses 5 November 2012 http://www.panafricanmed.journal.com/content/article/10. Roesli. (2005). Mengenal ASI Eksklusif, Trubus Agriwidya, Jakarta, hal. 2-47. Rokhanawati, Dewi. (2009). Dukungan sosial suami dan perilaku pemberian ASI Esklusif Di Kabupaten Bantul Yogyakarta. (online). diakses 3 Maret 2013. (www.google .com) Tarka, dkk. (2001). Faktor Related To Succesfull Breastfeeding By First Time Mothers When The Child Is Three Months old (online) diakses 12 November 2012. journal Of Advanced Nursing.Vol 29. Wulandari. (2007). Hubungan Pengalama Ibu Menyusui Dengan Praktik PemberianAsi. (online). Diakses 4 Maret 2013. Repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/1140.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

204

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

DETERMINAN STATUS GIZI ANAK BALITA KELUARGA NELAYAN DI WILAYAH PUSKESMAS TILOTE KABUPATEN GORONTALO TAHUN 2010 Imran Tumenggung1, A. Zulkifli Abdullah2, Ridwan Amiruddin2
2

Konsentrasi Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin

ABSTRACT The lack of nutrient in children below five years old can cause disorder in growth and development. This has become a national health problem. The aim of the study was to find out determinants which correlate with nutritional status of children below five years old of the fisherman family at the Tilote Public Health Center in Gorontalo regency. The study was a cross sectional study which was conducted from August to October 2010. The number of samples was 200 children below five years old selected by simple random sampling. The data were analyzed by using bivariate and multivariate analysis. The results of bivariate analysis indicate that nutritional status (height/age) of children below five years old correlates with mothers education (p = 0.004), knowledge (p = 0.000), upbringing pattern (p = 0.000), energy consumption (p = 0.003), protein consumption (p = 0.032), and infectious disease (p = 0.016). Bivariate analysis indicate that nutritional status (weight/height) correlates with mothers edu cation (p = 0.004), knowledge (p = 0.000), upbringing pattern (p = 0.009), energy consumption (p = 0.000), and infectious disease (p = 0.000). The multivariate analysis indicates that knowledge of mother is the most dominant factor correlating with the nutritional status of children below five years old based on height/age (p = 0.000; Wald = 47.556), and so is infectious disease based on weight/height (p = 0.001; Wald = 12.037). Necessary efforts to improve maternal nutrition knowledge as well as efforts to prevent and control infectious diseases in children under five from a family of fishermen. Key words: nutritional status, children below five years old, fisherman family. PENDAHULUAN Masalah gizi kurang pada anak balita merupakan masalah kesehatan secara nasional. Kondisi ini juga merupakan masalah global terutama di negara-negara berkembang (De Onis & Blossner, 2003; Muller & Krawinkel, 2005), di mana kejadiannya berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi, pendidikan, tingkat pengetahuan, tingkat kecukupan energi dan protein, dan adanya penyakit infeksi (Siswono, 2007; Wirandoko, 2007). Data Departemen Kesehatan RI tahun 2004 menunjukkan sekitar 5 juta (27,5%) anak balita terancam kekurangan gizi; 3,5 juta (19,2%) anak balita menderita gizi kurang dan 1,5 juta (8,3%) anak balita menderita gizi buruk (Taslim, 2007). Data tersebut sejatinya hanyalah fenomena gunung es, artinya yang terjadi sesungguhnya jauh lebih parah dan lebih memprihatinkan (Mulia, 2007). Penderita gizi dapat dipolakan kepada dua kelompok : penderita gizi kurang dan penderita gizi buruk. Penderita gizi buruk mudah dikenali karena terlihat secara kasat mata dari kondisi tubuh anak : sakit, kurus, perut buncit atau badan membengkak dan lemah. Sebaliknya, penderita gizi kurang tidak mudah diketahui atau dikenali oleh masyarakat umum. Akibatnya, meskipun jumlahnya lebih banyak, namun mereka kurang mendapat perhatian, baik dari kalangan pemerintah maupun masyarakat. Penderita gizi kurang sangat berpotensi menjadi penderita gizi buruk apabila tidak dilakukan upaya-upaya pemulihan dan pengobatan secara tepat. Jika problem ini tidak ditangani secara serius, akan berdampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak yang akan menghasilkan suatu generasi dengan kualitas sumber daya manusia yang rendah (Geller, 2003; Zere & McIntyre, 2003, Mulia, 2007). Masalah gizi disamping merupakan sindrom kemiskinan yang erat kaitannya dengan masalah pangan di tingkat keluarga, juga menyangkut aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat (Muller & Krawinkel, 2005, Taslim 2007). Data-data yang ada menunjukkan secara jelas bahwa kondisi pendidikan orang tua anak balita gizi kurang dan gizi buruk sangat rendah (Wirandoko, 2007). Rendahnya tingkat pendidikan berdampak pada minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang masalah pangan, gizi dan kesehatan. Kondisi seperti ini berdampak pada sikap dan perilaku masyarakat, khususnya kelompok miskin dalam hal konsumsi pangan yang tidak memenuhi kecukupan gizi. Perubahan pola konsumsi pangan merupakan salah satu dampak yang menonjol pada masyarakat miskin sebagai akibat penurunan daya beli (Muljati & Budiman, 2002). Penelitian Li, dkk. (1999) di daerah pedesaan kaum minoritas di China menggambarkan kondisi sosial ekonomi yang rendah dan kurangnya ketersediaan makanan menjadi penyebab timbulnya masalah kekurangan gizi. Zere dan McIntyre (2003) di Afrika Selatan menemukan adanya pengaruh yang signifikan dari kondisi sosial ekonomi keluarga terhadap terjadinya kurang gizi pada anak. Di Aceh, ditemukan 454 anak balita gizi buruk akibat konflik dan tsunami (Taslim, 2007). Pengaruh konflik terhadap masalah gizi juga ditemukan di Chiapas, Mexico (Sanchez-Perez, dkk., 2007), Mozambique, Sudan dan Afghanistan (Manary & Solomons, 2009). Analisis statistik pada 137 negara

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

205

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

berkembang menunjukkan bahwa kondisi infrastruktur pertanian merupakan determinan penting terhadap kejadian malnutrisi pada anak-anak (Apodaca, 2008). Penelitian menunjukkan bahwa status gizi anak sangat ditentukan oleh keadaan gizi dan kesehatannya saat ia masih bayi yaitu saat ia berusia 0-12 bulan. Pemberian ASI saja sejak lahir hingga bayi berusia 6 bulan telah dikonfirmasi oleh berbagai studi di seluruh dunia sebagai investasi penting dan tidak boleh terlewatkan jika ingin memperbaiki keadaan gizi balita secara umum (Februhartanty, 2009). Hidayat (2006) menemukan adanya hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian kurang gizi pada anak balita keluarga nelayan di Kabupaten Luwu. Kurang energi dan protein merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi balita. Orisinal dan Supriatna yang dikutip dari Susianto (2008), melaporkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi energi dan protein dengan status gizi. Kurang energi dan protein disebabkan oleh masukan (intake) energi dan protein yang sangat kurang dalam waktu yang cukup lama. Kondisi ini akan lebih cepat terjadi bila anak mengalami diare dan penyakit infeksi lainnya (Tarigan, 2003). Penyakit infeksi mempunyai efek terhadap status gizi untuk semua umur, terutama pada kelompok anak-anak (Pudjiadi, 1993; Scrimshaw, 2003). Zakaria, dkk. (2004) dalam penelitian di Kabupaten Pangkep menemukan adanya hubungan antara tingkat pendapatan, penyakit infeksi dan umur terhadap prevalensi KEP pada anak balita berdasarkan indikator BB/U. Diare dan infeksi pernapasan yang berulang berkaitan dengan bentuk tubuh yang lebih pendek dalam masyarakat miskin di negara-negara berkembang. Interaksi antara infeksi dan gizi di dalam tubuh seseorang dikemukakan sebagai suatu peristiwa sinergistik; selama terjadinya infeksi, status gizi akan menurun dan dengan menurunnya status gizi, orang tersebut menjadi kurang resisten terhadap infeksi (Manary & Solomons, 2009). Berdasarkan gambaran tersebut peneliti tertarik untuk mempelajari bagaimana gambaran masalah gizi kurang energi dan protein (KEP) pada anak balita keluarga nelayan di daerah pesisir danau Limboto Kabupaten Gorontalo, dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Puskesmas Tilote. Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo tahun 2009, dari sejumlah 31.250 anak balita yang ditimbang terdapat 1.194 orang (5,8%) penderita KEP berdasarkan indeks BB/TB. Wilayah Puskesmas Tilote dengan prevalensi tertinggi, yaitu penderita KEP sebanyak 118 anak balita (19,5%) dari sejumlah 606 anak balita yang ditimbang, meningkat jika dibandingkan dengan prevalensi KEP tahun 2008 yaitu 8,1 % (103 anak balita dari 1274 anak balita yang ditimbang). Prevalensi anak balita gizi kurang ini juga lebih tinggi dari rata-rata provinsi Gorontalo yaitu 17,2% maupun data nasional yaitu 13,0% (Riskesdas 2007). Sebagian besar anak balita KEP di wilayah Puskesmas Tilote berasal dari keluarga nelayan yaitu sebanyak 87 anak balita (73,7%) (Profil Puskesmas Tilote, 2009). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi kurang pada anak balita dari keluarga nelayan di Puskesmas Tilote Kabupaten Gorontalo tahun 2010. BAHAN dan METODE Rancangan dan Lokasi Penelitian Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah observasional analitik dengan rancangan Cross Sectional Study. Pada studi ini, unit analisis adalah individu. Lokasi penelitian adalah desa-desa di pesisir danau Limboto di wilayah kerja Puskesmas Tilote Kabupaten Gorontalo, di mana rata-rata penduduknya bekerja sebagai nelayan. Populasi dan Sampel Populasi umum dalam penelitian ini adalah semua anak balita yang berada di wilayah kerja Puskesmas Tilote Kabupaten Gorontalo tahun 2010. Populasi target dalam penelitian ini adalah semua anak balita dari keluarga nelayan yang berasal dari desa-desa di wilayah kerja Puskesmas Tilote Kabupaten Gorontalo tahun 2010. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan Simple Random Sampling. Instrumen dan Pengumpulan Data Instrumen yang dipakai dalam penelitian ini adalah daftar pertanyaan berupa kuesioner. timbangan berat badan balita (dacin), pengukur tinggi badan balita (mikrotoise) dan alat tulis dan kertas, buku catatan, kalkulator, dan komputer. Data Primer diperoleh melalui pengukuran antropometri dan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disusun sebelumnya berdasarkan tujuan penelitian yang dilakukan. Kemudian pertanyaan tersebut ditanyakan kepada responden. Data sekunder diperoleh dari Puskesmas Tilote, Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo, Kantor Camat, Kantor Desa, dan instansi lain yang berhubungan dengan kebutuhan data penellitian ini. Analisis Data Analisis karakteristik umum variabel dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum dengan cara mendeskripsikan tiap-tiap variabel yang digunakan dalam penelitian dengan melihat sebaran frekuensinya. Pada tahap ini dilakukan analisis sebaran karakteristik umum responden yang dianggap terkait dengan status gizi anak balita. Status gizi diukur secara antropometri dengan menggunakan indeks TB/U dan BB/TB, berdasarkan standar WHO-NCHS. Konsumsi makanan diperoleh dengan metode recall 24 jam selama 2 hari yang dirata-ratakan dan diolah dengan program Nutri-2008. HASIL PENELITIAN

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

206

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Karakteristik Anak Balita Pada tabel 1 dan 2 dapat dilihat bahwa dari 200 anak balita yang menjadi sampel penelitian sebagian besar perempuan yaitu sebanyak 107 orang (53.5%). Berdasarkan kategori kelompok umur, terlihat bahwa distribusi dengan frekuensi terbanyak adalah kelompok umur 48 59 bulan yaitu sebanyak 55 orang (27,5%) dan paling sedikit adalah kelompok umur 36 - 47 bulan yaitu sebanyak 44 orang (22%). Tabel 1 Distribusi Anak Balita berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur terhadap Status Gizi (TB/U) di Wilayah Puskesmas Tilote Kabupaten Gorontalo Tahun 2010 Status Gizi (TB/U) Normal Tidak Normal n % n % 61 40 101 36 15 20 30 101 30,5 20,0 50,5 18,0 7,5 10,0 15,0 50,5 46 53 99 14 36 24 25 99 23,0 26,5 49,5 7,0 18,0 12,0 12,5 49,5 Jumlah n 107 93 200 50 51 44 55 200 % 53,5 46,5 100,0 25,0 25,5 22,0 27,5 100,0

Karakteristik Anak Balita Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Jumlah Umur 12 23 bulan 24 35 bulan 36 47 bulan 48 59 bulan Jumlah Data Primer

Pada tabel 1, distribusi anak balita berdasarkan jenis kelamin terlihat bahwa perempuan dengan status gizi normal (TB/U) sebanyak 61 orang (31%), lebih banyak dari perempuan dengan status gizi tidak normal (pendek) sebanyak 46 orang (23%). Kondisi ini berbeda dengan anak balita laki-laki yang normal berjumlah 40 orang (20%), lebih sedikit dibandingkan yang tidak normal (pendek) sebanyak 53 orang (26,5%). Pada tabel 1 juga terlihat bahwa distribusi anak balita berdasarkan kelompok umur terhadap status gizi (TB/U), bahwa kelompok umur dengan status gizi normal lebih banyak pada kelompok umur 12-23 bulan (36 orang) dan kelompok umur 48-59 bulan (30 orang), sedangkan kelompok umur yang memiliki jumlah anak balita dengan status gizi tidak normal (pendek) lebih banyak pada kelompok umur 24-35 bulan (36 orang). Tabel 2 Distribusi Anak Balita berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur terhadap Status Gizi (BB/TB) di Wilayah Puskesmas Tilote Kabupaten Gorontalo Tahun 2010 Karakteristik Anak Balita Status Gizi (BB/TB) Normal Tidak Normal n % n % 75 78 153 37,5 39,0 76,5 32 15 47 16,0 7,5 23,5 Jumlah n 107 93 200 % 53,5 46,5 100,0

Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Jumlah Umur 12 23 bulan 24 35 bulan 36 47 bulan 48 59 bulan Jumlah Data Primer

33 37 31 52 153

16,5 18,5 15,5 26,0 76,5

17 14 13 3 47

8,5 7,0 6,5 1,5 23,5

50 51 44 55 200

25,0 25,5 22,0 27,5 100,0

Pada tabel 2, distribusi jenis kelamin anak balita terhadap status gizi (BB/TB) terlihat bahwa baik laki-laki maupun perempuan sebagian besar berstatus gizi normal, yaitu laki-laki 75 orang (37,1%) dan perempuan 78 orang (39%). Sedangkan distribusi umur terhadap status gizi (BB/TB) terlihat bahwa pada semua kelompok umur jumlah anak balita yang memiliki status gizi normal lebih banyak dibandingkan anak balita dengan status gizi yang tidak normal, di mana terbanyak adalah pada kelompok umur 48-59 bulan yaitu sebanyak 52 orang (26%).

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

207

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tabel 3 Hasil analisis bivariat terhadap variabel independen dengan variabel status gizi anak balita berdasarkan TB/U dan BB/TB di wilayah Puskesmas Tilote Kabupaten Gorontalo Tahun 2010 Variabel Independen Pendidikan Ibu Pengetahuan Ibu Jumlah Anak Pendapatan Keluarga ASI Eksklusif Pola Asuh Konsumsi Energi Konsumsi Protein Penyakit Infeksi Data Primer p TB/U 0.004 0.000 0.914 0.543 0.756 0.000 0.003 0.032 0.016 BB/TB 0.000 0.000 0.204 0.659 0.970 0.001 0.002 0.021 0.000

Tabel 3 menggambarkan hasil analisis hubungan antara masing-masing variabel independen dengan status gizi anak balita berdasarkan indeks TB/U dan BB/TB, terlihat bahwa variabel pendidikan ibu, pengetahuan ibu, pola asuh, konsumsi energi, konsumsi protein, dan penyakit infeksi berhubungan dengan status gizi berdasarkan indeks TB/U dan BB/TB (nilai p<0,05). Analisis Multivariat Analisis multivariat menggunakan metode analisis regresi logistik yang bertujuan melihat hubungan masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat serta melihat besarnya hubungan variabel bebas tersebut terhadap variabel terikat. Adapun variabel yang dimasukkan kedalam pemodelan multivariat setelah terlebih dahulu diuji dengan Chi-Square dengan nilai p < 0,250. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa enam dari sembilan variabel memenuhi syarat dimasukkan kedalam pemodelan multivariat karena hasil ChiSquare menunjukkan nilai p < 0,250 yaitu: pendidikan, pengetahuan, pola asuh, konsumsi energi, konsumsi protein, dan penyakit infeksi Tabel 4. Tabel 4 Hasil uji regresi logistic variabel yang berhubungan dengan Status Gizi Balita (TB/U) di Wilayah Kerja Puskesmas Tilote Kabupaten Gorontalo Tahun 2010 Tahap Step 1 Variabel Pendidikan Pengetahuan Pola_Asuh Energi Protein Infeksi Constant Pendidikan Pengetahuan Pola_Asuh Protein Infeksi Constant Pendidikan Pengetahuan Pola_Asuh Protein Constant Pengetahuan Pola_Asuh Protein Constant Pengetahuan Pola_Asuh Constant B -0,450 2,845 1,671 -0,220 -0,425 0,226 -5,328 -0,452 2,822 1,644 -0,478 0,211 -5,542 -0,427 2,844 1,646 -0,439 -5,383 2,718 1,584 -0,385 -5,938 2,637 1,529 -6,397 Sig. 0,360 0,000 0,000 0,730 0,390 0,571 0,000 0,358 0,000 0,000 0,310 0,596 0,000 0,381 0,000 0,000 0,345 0,000 0,000 0,000 0,401 0,000 0,000 0,000 0,000 Wald 0,837 41,977 16,649 0,119 0,738 0,321 15,768 0,845 42,477 16,805 1,029 0,282 21,075 0,768 43,460 16,892 0,892 21,501 46,270 16,313 0,706 35,936 47,566 15,801 56,463 Exp(B) 0,638 17,209 5,316 0,802 0,654 1,254 0,005 0,636 16,811 5,177 0,620 1,234 0,004 0,653 17,188 5,187 0,645 0,005 15,153 4,874 0,680 0,003 13,966 4,612 0,002

Step 2

Step 3

Step 4

Step 5

Data Primer

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

208

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

PEMBAHASAN Status gizi anak balita pada penelitian ini diinterpretasikan menggunakan 2 indeks pengukuran antropometri yaitu status gizi berdasarkan indeks antropometri Tinggi Badan berdasarkan Umur (TB/U) dan Berat Badan menurut Umur (BB/TB) dan mengacu pada standar pengukuran WHO-NCHS. Pengukuran antropometri dimaksud untuk dua tujuan. Pertama, monitoring perkembangan pertumbuhan pada dua atau lebih titik waktu. Tujuannnya agar menemukan pola pertumbuhan dan dapat digunakan untuk penetapan strategi KIE. Kedua, sebagai Nutritional Assessment, yaitu untuk menemukan deskripsi status gizi dan faktor penyebabnya. Nutritional assessment dapat digunakan untuk mengevaluasi perkembangan status gizi kelompok untuk melihat dampak dari suatu tindakan intervensi. Prevalensi anak balita berstatus gizi pendek berdasarkan indeks TB/U di wilayah kerja Puskesmas Tilote Kabupaten Gorontalo lebih tinggi dari rata-rata nasional yaitu sebesar 36.8% bahkan lebih tinggi dari prevalensi di provinsi Gorontalo yaitu sebesar 39.9% (Riskesdas, 2007). Indikator TB/U menggambarkan status gizi yang sifatnya kronis, artinya muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti kemiskinan, perilaku pola asuh yang tidak tepat, sering menderita penyakit secara berulang karena higiene dan sanitasi yang kurang baik. Beaton dan Bengoa (1973) menyatakan bahwa indeks TB/U disamping memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi (Supariasa, dkk, 2002). Selain mengindikasikan masalah gizi yang bersifat akut, indikator BB/TB juga dapat digunakan sebagai indikator kegemukan. Dalam hal ini berat badan anak melebihi proporsi normal terhadap tinggi badannya. Kegemukan ini dapat terjadi sebagai akibat dari pola makan yang kurang baik atau karena keturunan. Masalah kekurusan dan kegemukan pada usia dini dapat berakibat pada rentannya terhadap berbagai penyakit degeneratif pada usia dewasa (Barker, 2003). Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi buruk adalah indikator sangat kurus yaitu anak dengan nilai Z-score < -3,0 SD. Prevalensi balita sangat kurus secara nasional masih cukup tinggi yaitu 6,2%. Terdapat 12 provinsi yang memiliki prevalensi balita sangat kurus di bawah angka prevalensi nasional. Ke 12 provinsi tersebut adalah: Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara dan Papua (Riskesdas, 2007) Tingkat pengetahuan gizi ibu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan ibu tentang hal yang berhubungan dengan gizi (zat-zat gizi, MP-ASI, pengolahan makanan, dan frekuensi makan) yang diukur melalui nilai yang diperoleh ibu (selaku responden) dari daftar pertanyaan/kuesioner. Sebagian besar responden yaitu sebesar 51.0% memiliki tingkat pengetahuan gizi yang kurang. Dari 102 responden yang berpengetahuan kurang, 80.4% memiliki anak dengan status gizi TB/U pendek, 35,6% memiliki anak dengan status gizi BB/TB tidak normal (kurus dan kurus sekali). Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya oleh Hidayat (2005), Ahmad (2007), Wirandoko (2007) dan Almin (2009) yang menyatakan adanya hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita. Kecukupan pangan di tingkat rumah tangga belum tentu menjamin perbaikan status gizi setiap individu anggotanya apabila tidak disertai dengan pengetahuan dan kemampuan mengelola makanan yang bergizi, sehingga dapat menyebabkan kesalahan dalam pemilihan bahan makanan dan cara pemberian makanan pada anak meskipun bahan makanan sudah tersedia. Pendapatan keluarga dalam penelitian ini didapatkan dari penghasilan perbulan yang diperoleh kepala keluarga dan/atau anggota keluarga lainnya dalam rumah tangga tersebut yang dinilai dalam bentuk uang, dibandingkan dengan standar UMR (Upah Minimum Regional) Propinsi Gorontalo tahun 2010 sebesar Rp. 710.000,- . Sebagian besar responden memiliki tingkat pendapatan yang kurang (< nilai UMR) yaitu sebanyak 60.5%. Hasil penelitian tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pendapatan keluarga dengan status gizi berdasarkan indeks TB/U dan BB/TB. Ini disebabkan oleh status gizi balita merupakan variabel bergantung pada banyak faktor baik secara langsung maupun tidak langsung. Pendapatan keluarga hanyalah salah satu faktor tidak langsung yang berhubungan dengan status gizi balita. Penelitian ini tidak sejalan dengan Suriana, 2006 yang menyimpulkan adanya hubungan bermakna antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita, tapi sejalan dengan penelitian Almin, 2009 yang juga mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antar kedua variabel tersebut. Namun demikian, terlihat pada data hasil penelitian bahwa proporsi terbanyak pada keluarga dengan pendapatan kurang adalah status gizi pendek berdasarkan indeks TB/U yaitu 62 keluarga (51,2%). Sebanyak 21,7% keluarga yang berpendapatan kurang memiliki anak dengan status gizi (BB/TB) tidak normal (kurus dan kurus sekali). Soekirman (1991) menyatakan bahwa pendapatan riil suatu rumah tangga merupakan salah satu faktor yang menentukan konsumsi makanan keluarga. Disamping itu konsumsi makanan keluarga sangat dipengaruhi oleh harga pangan dan bukan pangan. Jumlah anak dikategorikan berdasarkan standar NKKBS yaitu sedikit bila kurang dari atau sama dengan 2, dan banyak jika jumlah anak lebih dari 2. Jumlah anggota keluarga besar mempengaruhi distribusi makanan terhadap anggota keluarga, terutama pada keluarga miskin yang terbatas kemampuannya dalam penyediaan makanan. Umumnya responden memiliki anak sedikit ( 2 anak) yaitu 126 responden (63,0%) dan hanya 74 responden (37.0%) yang memiliki anak lebih dari 2 orang. Di antara responden yang memiliki anak sedikit tersebar merata baik pada responden yang memiliki anak balita dengan status gizi normal

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

209

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

maupun status gizi pendek (TB/U). Hasil analisis bivariat mendapatkan hasil bahwa variabel jumlah anak tidak berhubungan dengan status gizi anak balita baik berdasarkan indeks TB/U maupun BB/TB. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Palloan, 2005 dan Suriana 2006 yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara jumlah anak dalam keluarga dengan status gizi anak balita. Pemberian ASI eksklusif sebagaimana program pemerintah melalui kementrian kesehatan adalah pemberian ASI saja kepada bayi hingga usia 6 bulan. ASI mengandung semua zat gizi untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. Selain itu ASI juga mengandung zat antibodi yang dapat melindungi bayi dari serangan berbagai penyakit, serta mengandung enzim yang membantu dicernanya ASI secara sempurna oleh tubuh bayi. Penelitian menunjukkan bahwa bayi yang diperkenalkan makanan dan/atau minuman lain sebelum usia 6 bulan, mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terserang penyakit (terutama diare dan batuk/pilek) sehingga jika terjadi berulang-ulang maka bayi akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang kurang optimal. Demikian pula, status gizi anak sangat ditentukan oleh keadaan gizi dan kesehatannya saat ia masih bayi yaitu saat ia berusia 0-12 bulan. Pemberian ASI saja sejak lahir hingga bayi berusia 6 bulan telah dikonfirmasi oleh berbagai studi di seluruh dunia sebagai investasi penting dan tidak boleh terlewatkan jika ingin memperbaiki keadaan gizi balita secara umum (Februhartanty, 2009). Secara teori, beberapa hasil penelitian mendukung adanya hubungan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif dengan status gizi anak balita, diantaranya adalah penelitian Hidayat (2006) di Kabupaten Luwu. Namun pada penelitian ini tidaklah demikian. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan antara ASI eksklusif dengan status gizi balita berdasarkan indeks TB/U dan BB/TB. Hal ini dapat dipahami sebab cakupan ASI eksklusif di lokasi penelitian ini yang sangat rendah yaitu hanya 4.5% saja. Selain itu sampel penelitian ini adalah Anak Balita yang berusia 12 59 bulan yang rata-rata tidak menyusui lagi, dan kondisi status gizinya sudah banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya seperti penyakit infeksi, pola konsumsi, pola asuh, serta tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu dari anak balita tersebut. Konsumsi energi dan protein diperoleh dengan membandingkan data hasil recall 24 jam dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) sesuai golongan umur. Dikategorikan cukup jika memenuhi AKG dan kurang jika tidak memenuhi kriteria cukup. Status gizi dipengaruhi secara langsung oleh dua hal yaitu asupan zat gizi dan penyakit infeksi. Mayoritas anak balita di lokasi penelitian memiliki tingkat konsumsi Energi dan Protein yang kurang, yakni 85.5% sampel memiliki konsumsi energi kurang, dan 73.0% memiliki konsumsi protein kurang. Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa konsumsi energi berhubungan dengan status gizi berdasarkan indeks TB/U dan BB/TB. Pada status gizi berdasarkan indeks TB/U, konsumsi energi memberikan kontribusi sebesar 20.9% sedangkan pada status gizi BB/TB memberikan kontribusi sebesar 21,5%. Konsumsi protein berhubungan secara signifikan dengan status gizi TB/U dan memberi kontribusi sebesar 15.2%, demikian juga dengan status gizi BB/TB berhubungan secara signifikan dan memberikan kontribusi sebesar 16,5%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suriana (2006) dan Ahmad (2007) di Kendari yang menyatakan adanya hubungan antara konsumsi energi dan protein dalam makanan dengan status gizi anak balita. Kekurangan dalam penelitian ini adalah tidak menghitung asupan energi dan protein yang berasal dari ASI terhadap anak balita yang masih menyusui, padahal diketahui bahwa ASI juga merupakan sumber energi dan protein makanan. KESIMPULAN DAN SARAN Determinan yang berhubungan dengan status gizi anak balita dari keluarga nelayan adalah pendidikan, pengetahuan, pola asuh, konsumsi energi, konsumsi protein dan penyakit infeksi (p < 0,250). Perlunya pelaksanaan program perbaikan gizi keluarga maupun program penanggulangan masalah gizi, peran serta masyarakat (kader kesehatan, tokoh masyarakat, dasawisma, dll), maupun lintas sektor terkait (pemerintah kecamatan dan desa, dinas pertanian dan perikanan). DAFTAR PUSTAKA Almin, 2009; Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Kurang Pada Anak Balita Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota Kendari Tahun 2008, Tesis tidak diterbitkan, Unhas Makassar. Apodaca, C., 2008; Preventing Child Malnutrition: Health and Agriculture as Determinants of Child Malnutrition, Journal of Children and Poverty, 14, http//www.informaworld.com/, diakses Juli 2009. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2007; Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional, Balitbangkes, Jakarta. Barker, D., 2003; Coronary Heart Disease, http//www.thebarkertheory.org/, diakses November 2010. De Onis, M., Blossner, M., 2003; The WHO Database on Child Growth and Malnutrition : methodology and applications, International Journal of Epidemiology, 32; http//ijc.oxfordjournals.org/, diakses Juni 2010. Februhartanty, J., 2009; ASI Dari Ayah Untuk Ibu dan Bayi, Semesta Media, Jakarta. Geller, B., 2003; Malnutrition and Cognition in Children, http://psychiatry.jwatch.org/, diakses Juni 2010.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

210

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Hidayat, S., 2006; Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Kurang pada Anak Balita dari Keluarga Nelayan di Wilayah Kerja Puskesmas Belopa Kabupaten Luwu Tahun 2006, Tesis tidak diterbitkan, Unhas Makassar. Manary, MJ., Solomons, NW., 2009; Aspek Kesehatan Masyarakat pada Gizi Kurang, dalam Buku Gizi Kesehatan Masyarakat (terjemahan Hartono, A.), EGC, Jakarta. Mulia, S.M., Gizi, Masyarakat Berkualitas dan Pencapaian MDGs, http://www.icrp-online.org/, diakses Mei 2010. Muljati, S., Budiman, B., 2002; Pola Pengeluaran Per-bulan pada Rumah Tangga yang Memiliki Balita Gizi Kurang dan Dampaknya Terhadap Konsumsi Zat Gizi, Jurnal Kedokteran Yarsi, 10 (3), Jakarta. Muller, O., Krawinkel. M., 2005; Malnutrition and Health in Developing Countries, Can. Med. Assoc. J., 173(3); http://www.cmaj.ca/, diakses Mei 2010. Puskesmas Tilote, 2009; Profil Puskesmas Tilote. Sanchez-Perez, HJ., Hernan, MA., Rios-Gonzalez, A., Arana-Cedeno, M., Navarro, A., Ford, D., Micek, MA., Brentlinger, P., 2007; Malnutrition Among Children Younger Than 5 Years-Old in Conflict Zones of Chiapas, Mexico, American Journal of Public Health, 97 (2), http://articlerender.fcgi.htm/, diakses Mei 2010. Scrimshaw, NS., 2003; Historical Concepts of Interactions, Synergism and Antagonism between Nutrition and Infection, The Journal of Nutrition, 133 (3), http://jn.nutrition.org/, diakses Mei 2010. Siswono, 2007; Upaya Mengatasi Masalah Kelaparan dan Kurang Gizi, http://www.gizi.net/, diakses Juni 2010. Soekirman. 1991. Dampak Pembangunan Terhadap Keadaan Gizi Masyarakat. Gizi Indonesia, vol: xvi. Supariasa, I.D.N., Bakri, B., Fajar, I., 2002; Penilaian Status Gizi, EGC, Jakarta. Tarigan, I.U., 2003; Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Status Gizi Anak Umur 6-36 Bulan Sebelum dan Saat Krisis Ekonomi di Jawa Tengah, Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 31, No.1, Jakarta. Taslim, N.A., 2007; Kontroversi seputar gizi buruk : Apakah Ketidakberhasilan Departemen Kesehatan ?, http://www.gizi.net/, diakses Mei 2010. Wirandoko, I.H., 2007; Determinan Status Gizi Anak Usia 2-5 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Tlogosari Wetan, Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang Tahun 2007, http://www.scribd.com/, diakses Mei 2010. Yakub, N., Bahar, B., Citrakesumasari, 2004; Hubungan Pola Asuh dengan Status Gizi Bayi Usia 4-12 Bulan di Desa Lero Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan Tahun 2003, MKMI, 1 (1), Unhas Makassar. Zakaria, Hadju, V., Syam, A., 2005; Faktor-faktor Determinan Kejadian Kurang Energi Protein (KEP) pada Anak Umur 6-35 Bulan di Kabupaten Pangkep, MKMI, 2 (1), Unhas Makassar.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

211

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN UNMET NEED KB PASANGAN USIA SUBUR TERHADAP KEHAMILAN YANG TIDAK DIINGINKAN Lisdiyanti Usman1, Masni2, A. Arsunan Arsin3 Politeknik Kesehatan Gorontalo Bagian Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 3 Konsentrasi Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
2 1

ABSTRACT Unmet need forfamily planning isthe needforairEFAKBbutthis need(not wantany more childrenorwant to spacethe nextpregnancy) is not metanddo notuse any contraception. Research Thisaims to determine theincidence ofunmetfamily planningrelationshipwithan unwanted pregnancy. This research isanalyticsurveywithcross-sectionalresearch design. Largesample141respondentsthatEFAisnotusing contraceptivesanddo notwant to get pregnant, stratifieldtakenbyrandom samplingandusingsecondary datafrom theBKKBN. Data analysis was performedwithChi-square test, Pearsoncorrelationandmultiple linear regressionmethodsLogistics. The results showed incidence of unmet need for family planning more in women between the ages of 15 -49 years. Based on the educational aspects, education levels are more common in educated EFA high school, for the husband's income, 47.5% EFA enough income. As for the failure of contraceptive unmet need more events than those who fail to successfully use contraceptives, and the number of children more found in thegroup thathas many children. Unmet need forfamily planningevent riskis very influential onunwanted pregnancywith p valueof 0.001.Unmet need forfamily planningis concludedthat theeffect onunintended pregnancy. ExpectedonEFAto want tousefamily planningto preventrapidpopulation growth. Keywords :EFA, UnmetNeedKB, UnwantedPregnancy PENDAHULUAN Unmet need menurut BKKBN adalah kebutuhan Pasangan usia subur untuk ber KB tetapi kebutuhan tersebut tidak terpenuhi. Kebutuhan tersebut adalah tidak ingin anak lagi atau ingin menjarangkan kehamilan berikutnya tetapi PUS tidak memakai alat kontrasepsi (Emi Hedrina, 2011). Hasil penelitian di Ethiopia pada tahun 2000 sampai 2005 menjelaskan bahwa dari responden sebanyak 2.133 wanita yang sudah menikah usia 15-49 tahun, yang mengalami unmet need KB meningkat dari 35,1% pada tahun 2000 menjadi 37,4% pada tahun 2005. Umur, usia kawin, jumlah anak hidup, tempat tinggal, pendidikan, pengetahuan tentang keluarga berencana, status pekerjaan responden sebagai faktor signifikan yang mempengaruhi tejadinya unmet needKB (Asefa dkk, 2000). Hasil penelitian di Nigeria menunjukkan bahwa dari356 responden, ada 98 responden mengalami kehamilanyangtidak diinginkan, dan 76% darikehamilan yang tidak diinginkan disebabkan karena tidak menggunakan alat kontrasepsi(Bongaarts,2009). Program KB di Indonesia telah diakui secara nasional dan internasional sebagai salah satu program yang telah berhasil menurunkan angka fertilitas secara nyata. Hasil survey SDKI 2003, Total Fertility Rate ( TFR ) sebesar 2,4 menurun menjadi 2,3 pada SDKI 2007. Namun bukan berarti masalah kependudukan di Indonesia selesai, akan tetapi program tersebut diupayakan tetap dipertahankan. Salah satu masalah dalam pengelolaan program KB yaitu masih tingginya angka unmet need KB di Indonesia. Jumlah PUS yang ingin menunda kehamilan atau tidak menginginkan tambahan anak tetapi tidak ber KB meningkat dari 8,6% SDKI 2003 menjadi 9,1 % SDKI 2007, dimana diharapkan pada akhir tahun 2014 dapat diturunkan menjadi sebesar 5% (Sudarianto, 2010). Di provinsi Gorontalo, terdapat jumlah pasangan usia subur sebanyak 211,607 %, dimana PUS bukan peserta KB berjumlah 15,44 %, PUS bukan peserta KB yang hamil 16,06 %, PUS bukan peserta KB yang ingin anak segera 33,35 %, PUS bukan peserta KB yang ingin menunda anak 25,75 %, PUS bukan peserta KB yang tidak ingin anak lagi 24,85 %. Untuk wilayah kota Gorontalo, jumlah pasangan usia subur 32.509 orang, dimana pasangan usia subur peserta KB aktif berjumlah 29.541 orang, sedangkan PUS yang bukan peserta KB 2968 orang, jumlah yang hamil 498 orang, yang ingin anak segera 1015 orang ,yang ingin menunda anak 558 orang, dan yang tidak ingin anak lagi 897 orang. Jumlah PUS di kota Tengah 3956 orang, dimana jumlah peserta KB aktif 3429 orang, Pus yang bukan peserta KB aktif 527 orang, yang hamil 78 orang, tidak ingin anak lagi 107 orang, yang ingin menunda anak 54 orang. Jumlah unmet need di kecamatan kota Tengah 239 orang di masing- masing kelurahan sebagai berikut untuk kelurahan wumialo jumlah unmet need57 orang, kelurahan Dulalowo 34 orang, kelurahan Dulalowo Timur 47 orang, kelurahan Liluwo 35 orang, kelurahan Pulubala 41 orang, dan kelurahan Paguyaman 25 orang. Unmet need KB juga menyebabkan seseorang melakukan aborsi khususnya pada anak remaja. Karena mereka beranggapan masih terlalu dini untuk menjadi seorang ibu. Dan karena waktunya belum tepat maka janin tersebut digugurkan baik secara sengaja ataupun spontan (anonimity, 2013). Dengan

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

212

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

demikian, penelitian ini ditujukan untuk mengetahui hubungan unmet need KB pada PUS dengan kehamilan yang tidak diinginkan. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kota Tengah Kota Gorontalo provinsi Gorontalo Pada tanggal 27 Desember 2012 hingga 27 Januari 2013. Desain dan Variabel Penelitian Jenis penelitian ini adalah survey analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Besar sampel sebanyak 141 responden, diambil dengan cara stratifield random samplingdenganmenggunakan data primer dan sekunder dari BKKBN. Peneliti melakukan pengukuran pada variabel independen dan dependen. Populasi dan Sampel Populasi adalah seluruh pasangan usia subur berdasarkan data BKKBN pada tahun 2012 dan diperoleh sampel sebanyak 141 respondendengan menggunakan tekhnik pengambilan sampel secara stratifield random sampling. Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dengan melakukan wawancara secara langsung pada responden, sedangkan data sekunder dengan cara mengumpulkan data dariBKKBN kota dan BKKBN provinsi tahun 2012. Data yang ada dicatat dalam lembar observasi sesuai variabel yang dibutuhkan. Analisis Data Analisis data menggunakan program SPSS 18.00 for Windows. Untuk mengetahui hubungan antara umur, pendidikan, pendapatan, kegagalan alat kontrasepsi, dan jumlah anak dengan kejadian unmet need KB digunakan analisis chi square. Selanjutnya untuk menilai hubungan kejadian unmet need KB pada pasangan usia subur dengan kehamilan yang tidak diinginkan digunakan analisis multivariat regresi logistic ganda. HASIL PENELITIAN Karakteristik Sampel Tabel 1, menunjukkan hasil analisis univariat dimana jenis pekerjaan suami tertinggi adalah PNS dengan persentase 37,6%, dan terendah buruh dengan persentase 29,8%. Sedangkan untuk pekerjaan istri tertinggi adalah PNS dengan persentase 67,4%, sedangkan yang terendah adalah swasta dengan persentase 7%. Untuk distribusi PUS berdasarkan tingkat pendidikan didapatkan bahwa jenis pendidikan suami tertinggi adalah tamat SLTP dengan persentase 34,0 % dan terendah adalah tamat SMU dengan persentase 11,3 %. Sedangkan pendidikan istri yang tertinggi adalah tamat SLTP dengan persentase 36,9%, dan terendah adalah tamat SMU dengan persentase 22%. Tabel 1 Karakteristik Responden Jenis Variabel Pekerjaan PNS Pegawai Swasta Petani URT Buruh Pendidikan Tamat PT Tamat SMU Tamat SLTP Tamat SD Data Primer Hasil Analisis Bivariat Untuk mengetahui peranan masing-masing variabel independen dan variabel dependen, dilakukan analisis bivariat melalui tabulasi silang.Pada analisis ini didapat nilaichi square Interval masing-masing variabel seperti pada tabel 2. Hasil uji statistik antara umur denganunmet need KB didapat nilai p = 0,010 dan nilai Phi sebesar0,218. Hasil ini menunjukkan bahwa umur berhubungan dengan kejadian unmet need KB. Dari nilai Phi didapatkan bahwa umur muda (15-49 tahun)berisiko 21.8 kali lebih besar mengalami kejadian unmet need KB dibandingkan dengan umur yang lebih dari 49 tahun. Untuk mengetahui hubungan pendidikan dengan kejadian unmet need KB, dilakukan analisis chi square . Hasil uji statistik didapatkan besarnya hubungan antara pendidikan dengan kejadian unmet need KB (nilai Phi = -0,016, hubungan korelasi moderat). Oleh karena nilai p =0,847 dan nilai phi negatif, maka terdapat hubungan negatif antara 39 16 48 38 27,7 11,3 34 27 35 22 52 32 24,8 15,6 36,9 22,7 74 38 100 70 52,5 26,9 70,9 49,7 53 0 46 0 42 37,6 0 32,6 0 29,8 95 1 17 28 0 67,4 7 12,1 19,0 0 148 1 63 28 42 105 7 44,7 19,9 29,8 Kasus n % n Kontrol % Jumlah %

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

213

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

pendidikan dengan kejadian unmet need KB, berarti semakin rendah pendidikanPUS maka semakin banyak yang mengalami kejadianunmet need KB. Hasil uji statistik antara pendapatan suami dengan kejadian unmet need KB didapat nilai p = 0,044 dan nilai phi sebesar 0,211 dengan hasil ini menunjukkan bahwa suami yang berpendapatan cukup memberi kontribusi 21.1 kali lebih besar terhadap kejadian unmet need dibandingkan yang berpendapatan kurang. Hasil uji statistik antara kegagalan alat kontrasepsi dengan unmet need KB didapat nilai p = 0,001 dan nilai Phi sebesar 27,9 %. Hasil ini menunjukkan terjadi hubungan yang sangat signifikan antara kegagalan alat kontrasepsi dengan kejadian unmet need KB. Begitu juga antarajumlah anak dengan kejadian unmet need KB dimana nilai p = 0,031 dan nilai phi sebesar 0,182 atau 18,2 %. Hasil uji statistik antara unmet need KB dengan kehamilan yang tidak diinginkan di dapat nilai p = 0,002 dan nilai phi sebesar 25,7%. Hasil ini menunjukkan bahwa kejadian unmet need KBberisiko25,7 kali lebih besar terhadap kehamilan yang tidak diinginkan. Tabel 2 Analisis bivariat variabel independen dan variabel dependen Faktor Umur dengan unmet need - 15-49 - >49 Pendidikan dengan unmet need - cukup - kurang Pendapatan dengan unmet need - cukup - kurang Kegagalan Kontrasepsi - gagal - berhasil Jumlah Anak - banyak - sedikit Data Primer X 6,694 p 0,010 Phi 0,218

0,037

0,847

-0,016

6,268

0,044

0,211

10,981

0,001

0,279

4,668

0,031

0,182

Analisis Multivariat Untuk menganalisis faktor mana yang paling berhubungan setelah dianalisis dengan variabel lain yang secara statistik bermakna pada analisis bivariat. Tabel 3 menunjukkan bahwa ke empat variabel ini memiliki hubungan bermakna secara statistik (p<0,05), tetapi risiko kegagalan alat kontrasepsi mengalami kejadian unmet need KB 2,75 kali lebih besar dibandingkan variabel umur, pendapatan, dan jumlah anak ( Phi = 0,279, dengan nilai wald = 10,772). Tabel 3 Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda Faktor Umur dengan unmet need - 15-49 - >49 Pendapatan dengan unmet need - cukup - kurang Kegagalan Kontrasepsi - gagal - berhasil Jumlah Anak - banyak - sedikit Data Primer X 6,694 p 0,010 phi 0,218

6,268

0,044

0,211

10,981

0,001

0,279

4,668

0,031

0,182

Tabel 3 menunjukkan bahwa pada kelompok umur antara 15-49 tahun ,didapatkan nilai p=0,010 (p< 0,05), berarti terdapat hubungan signifikan antara umur dengan kejadian unmet need KB. pada kelompok pendapatan suami yang cukup, didapatkan nilai p=0,044 (p<0,05), berarti terdapat hubungan signifikan antara pendapatan suami dengan kejadian unmet need KB. pada kelompok kegagalan alat kontrasepsi dengan yang pernah mengalami kegagalan sebelumnya dengan nilai p=0,001 (p<0.05), berarti kegagalan sebelumnya memiliki hubungan signifikan dengan kejadian unmet need KB. Risiko kejadian unmet need KB Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013 214

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

pada yang mengalami kegagalan sebelumnya lebih besar pada yang pernah gagal dibandingkan yang berhasil.pada jumlah anak yang banyak dengan nilai p= 0,031 (p<0,05), berarti jumlah anak banyak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian unmet need KB. Jumlah anak banyak memberi kontribusi 18,2% terjadinya kejadian unmet need KB.Untuk mengidentifikasi faktor risiko kejadianunmet need KB dengan memasukkan secara bersamaan variabel yang bermakna dan dilakukan melalui analisis multivariat yaitu analisis regresi logistik ganda. PEMBAHASAN Dalam penelitian ini terlihat bahwa ada beberapa faktor yang secara signifikan mempengaruhi kejadian unmet need KB yaitu umur, pendapatan, kegagalan alat kontrasepsi sebelumnya dan jumlah anak. Unmet need KB dapat menyebabkan pertambahan jumlah penduduk dengan pesat. Peningkatan kualitas layanan merupakan salah satu cara yang efektif untuk menurunkan prevalensi unmet need KB. Dalam memenuhi kebutuhannya, PUS sering mengalami hambatan dalam pemanfaatan layanan KB sehingga akses mereka terbatas, bahkan tertutup sama sekali. Hal ini mengakibatkan mereka tidak menggunakan alat kontrasepsi, padahal sebenarnya mereka membutuhkan.Hal ini sejalan dengan penelitian Stephenson dan Hendrik (2004), yang menyatakan bahwa secara umum terdapat 5 faktor yang memegang peranan penting yaitu pertama faktor administratif, faktor kognitif, faktor ekonomi, faktor psikososial, dan faktor karakteristik KB. Pada penelitian yang dilakukan di Ethiopia dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa umur berhubungan dengan kejadian unmet needKB dimana ditemukan nilai p= 0,001 dan yang unmet need pada kelompok umur < 25 tahun yaitu 26,3% (Almaz, dkk, 1993). Pendapatan suami banyak mempengaruhi pola kegiatan dan pola pikir termasuk kesempatan untuk memanfaatkan potensi dan fasilitas yang tersedia guna memenuhi kebutuhan hidupnya.Data pengeluaran konsumsi dipakai sebagai suatu pendekatan untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat, walaupun diakui banyak kelemahan karena dapat memberikan informasi tentang pendapatan yang under estimate (Sirojudin, 2002), Alasannya pengeluaran konsumsi rumah tangga tidak harus selalu sama dengan jumlah pendapatan yang diterima. Pendapatan yang cukup membuat seseorang mampu untuk memenuhi kebutuhan lainnya.kemampuan ekonomi sangat mempengaruhi akses seseorang dalam memanfaatkan layanan kesehatan.Mereka yang berasal dari rumah tangga dengan pendapatan tinggi dan menengah, memiliki skor pendapatan lebih sedikit dibanding dengan pendapatan kurang. Terdapat sekitar 2,7 % wanita yang menyatakan tidak menggunakan alat kontrasepsi karena biaya layanan tidak terjangkau oleh pendapatan pasangan usia subur tersebut (Gusti A, 2006). Hasil penelitian pada Demografi Iran dan Survei Kesehatan yang dilakukan pada tahun 2000, menunjukkan bahwa kebutuhan yang tidak terpenuhi untuk keluarga berencana bervariasi dari 3,6% di kota Teheran dan 31,3% di daerah pedesaan di Sistan dan Balouchestan (selatan timur Iran). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Berhane dkk (1999), dimana terdapat pengaruh yang secara tidak langsung ( indirect eject) variabel ekonomi terhadap unmet need melalui variabel akses pelayanan, untuk pedesaan sekitar -0,35. Dengan demikian di pedesaan, total pengaruh variabel ekonomi terhadap unmet need sebesar -0,89. Di perkotaan besar indirect eject adalah -0,13 (WHO, 2005). Hasil analisis multivariat pada variabel kegagalan sebelumnya menunjukkan bahwa kegagalan alat kontrasepsi sebelumnya sangat berpengaruh terhadap terjadinya unmet need KB. Hal ini sejalan dengan penelitian Gusti A, (2006), yang menemukan bahwa pada tahun 2004, lebih dari 75 % responden menyatakan pernah menggunakan salah satu metode kontrasepsi dan dari persentase tersebut, 34 % melaporkan pernah memakai lebih dari satu jenis alat kontrasepsi dengan penggunaan paling lama 63 bulan atau 5 tahun. Disamping itu, ada beberapa yang pernah menggunakan empat jenis alat kontrasepsi.Dari kondisi tersebut, mereka yang sudah pernah menggunakan alat kontrasepsi dan merasakan gangguan atau kegagalan, maka mereka tidak bersedia lagi menggunakannya. Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian yang dilakukan oleh tim pakar Universitas Washington yang membandingkan metode kontrasepsi jangka panjang dan jangka pendek. Metode kontrasepsi LARC yang mencakup IUD dan susuk KB yang mengeluarkan hormon. Penelitian yang melibatkan perempuan berusia antara 14-45 tahun yang aktif berhubungan seks tetapi tidak ingin hamil menunjukkan dari 334 sampel, yang hamil karena disebabkan kegagalan sebelumnya ada 156 sampel (Copas, 1998). Jumlah anak juga berhubungan dengankejadian unmet need KB dimana diperoleh hasil nilai p = 0,031 (p<0,05). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ismail (2010), dimana diperoleh nilai sebesar 0,000 (p<0,05) yang menunjukkan antara jumlah anak dengan kriteria banyak yang unmet need KB sebesar 34,2% dan terdapat hubungan antara jumlah anak hidup dengan unmet need KB. Berdasarkan analisis regresi, dapat kita lihat bahwa unmet need KB dengan variabel umur, pendapatan, kegagalan alat kontrasepsi sebelumnya dan jumlah anak secara bersama-sama berpengaruh terhadap unmet need KB yang dapat menyebabkan kejadian kehamilan yang tidak diinginkan.Hal ini menunjukkan bahwa faktor kejadian unmet need KB sebagai faktor independen tidak dapat berdiri sendiri dalam mempengaruhi kejadian kehamilan yang tidak diinginkan. Ibu yang mengalami kejadian unmet need KB dapat mempengaruhi terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, sehingga ibu yang unmet need KB bisa saja mendapatkan anak yang tidak diinginkan sehingga besar kemungkinan dia akan melakukan aborsi (WB, 2001)

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

215

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

KESIMPULAN DAN SARAN Kejadian unmet need KB berhubungan dengankehamilan yang tidak diinginkan. Selain itu variabel umur, pendapatan, kegagalan alat kontrasepsi sebelumnya, jumlah anak merupakan variabel yang dapat meningkatkan terjadinya kejadian unmet need KB yang dapat berisiko terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, perlu adanya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukatif) oleh petugas kesehatan kepada semua pasangan usia subur untuk mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. DAFTAR PUSTAKA Almaz Terefe and C.O. Larsen.(1993), Modern contraception use in Ethiopia; does Involving husbands make a difference? America journal of public health, vol. 83, No. 11, pp.15 -67, Washington Dc. Asefa, M., Drewett, R. and Tessema, F.(2000). a birth cohort study in southwest Ethiopia to identify factors associated with infant mortality that is a menable for interventions. Ethiopian journal of health development 14 (2), 161-168 Anonim.(2013), Population report, why family planning matters, vol. XXVII,number 2, series J. number 49, July 1999, diakses http: www.Aol.com/astanar/smith.html.13 January 2013. Berhane, Y., Mekonnen E., Zerihun, M., and G. Assefa(1999), perception of fertility regulation in remote community, Southern Ethiopia.Ethiopian journal of health development, 13 (3), 217-222. Bongaarts J and S.W. Sinding.(2009), A respon to critics of family planning programs international perspectives on sexual and reproductive health vol 35,No 1. Copas,J.B(1998), Binnary Regression Models for Contaminated Data journal of Royal statistical association, B 50 (2), 220-265. Gusti A. (2006). faktor-faktor eksternal yang berpengaruh terhadap prevalensi unmet need di Provinsi Bali,vol 11 no 2. Hedrina Emi. (2011). Factor determinan unmet need suatu studi di kelurahan kayau kubu kecamatan Guguk panjang kota Bukit Tinggi, http://pasca.unand.ac.id, diakses 17 Desember 2012. Sirodjudin H. (2002).faktor-faktor yang berhubungan dengan unmet need KB. http://www.digilib.ui.ac.id, diakses 10 November 2012. Stephenson, R., and M. Hennick.(2004),barrier to family planning service use among the urban poor in Pakistan Asia pacific population journal 19 (2). Sudarianto, (2010), kepedulian terhadap unmet need KB di provinsi Sulawesi Selatan, http://www.dinkessulsel.go.id.Diakses 20 Desember 2012. WHO, Maternal mortality in (2005), estimates developed by WHO, UNICEF, UNFPA and the world bank Geneva. World Bank (WB) (2001), womens Empowering women the Ethiopian womens development initiatives project, Geneva

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

216

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN DI BLUD RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI SULAWESI SELATAN Maesanti Saada1, Ridwan Amiruddin2, Asiah Hamzah3
1 2

Konsentrasi Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Konsentrasi Administrasi Kebijakan dan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin ABSTRACT

LBW is not handled properly can cause problems in all organs of the baby's body systems. Incidence of LBW in South East Sulawesi Province BLUD RSU in 2008 babies born with low birth weight recorded 191 people (12.08%), 35 people died (18.3%), from 1581 deliveries, in 2009 the number of low birth weight increased by 13.03% from 2071 deliveries, cases of LBW in 2010 was recorded at 14.05% of 1259 deliveries, while in the period from January to May 2011 recorded 35 people (6.9%) from 506 deliveries. This type of research is the design of case-control observational study. The case is the mother who gave birth to LBW babies were recorded in the book of registers Southeast Sulawesi Provincial Hospital Midwifery BLUD, whereas control is the mother who gave birth to LBW babies was not recorded in the book of registers and Midwifery BLUD RSU Southeast Sulawesi Province. With a total sample of 204 people. Analysis of the data used are the Odds Ratio and Logistic Regression The results showed that the Economic family (OR = 3.96, 95% CI = 2.1 -. 7.3). History of illness during pregnancy (OR = 4.85, 95% CI = 2.5 -. 9.1). Age less than 20 years and over 34 years of age (OR = 11.21, 95% CI = 5.6 to 22.2). Parity 1 and parity> 4 (OR = 3.34, 95% CI = 1.8 to 6.1). Spacing of <2 years (OR = 3.26, 95% CI = 1.7 to 6.0). Placental weight <400 grams (OR = 9.94, 95% CI = 4.9 to 19.9). The quality of antenatal care is less well (OR = 4.72, 95% CI = 2.5 to 8.9). Teratogenic materials (OR = 9.0, 95% CI = 4.5 to 17.6). Habits of the mother (OR = 6.926, 95% CI = 3.6 to 13.2). The results of multivariate analysis proved that the teratogenic material is the most dominant variable risk for LBW with a value of Exp (B) = 11.099. Key words: LBW, Risk Factors PENDAHULUAN Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan bayi yang dilahirkan dengan berat kurang dari 2500 gram atau kurang dari 5,5 pon. Secara umum BBLR dibagi menjadi dua yaitu : bayi prematur dan bayi kecil untuk masa kehamilan. Bayi lahir dengan berat lahir rendah (BBLR) merupakan masalah kesehatan yang sering dialami pada sebahagian masyarakat yang ditandai dengan berat lahir kurang dari 2500 gram. Angka mortalitas bayi bervariasi pada tiap-tiap Negara, angka mortalitas terendah pada tahun 1991 terdapat di Jepang (4,4/1.000 kelahiran hidup), dan Skandinavia (5,6-6,1/1.000), angka mortalitas sedang di Amerika Serikat (8,9/1.000), dan angka mortalitas tertinggi di Negara-negara yang berkembang (3050/1.000). Riskesda 2007, mendata berat bayi baru lahir dalam 12 bualn terakhir. Dari bayi yang diketahui berat badan hasil penimbangan waktu baru lahir, 11,5% lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram atau BBLR. Sedangkan persentase BBLR hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003 menunjukkan 7,6% bayi lahir dengan BBLR (DepKes RI, 2008). Data profil Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, menunjukkan bahwa pada tahun 2009 kejadian BBLR mencapai 95 kasus atau meningkat 0.3 persen dari tahun 2008, yang mana kasus yang terjadi hanya 84 kasus (DinKes Provinsi Sutra, 2009). Studi pendahuluan di RSU Provinsi Sulawesi Tenggara, diperoleh data persalinan pada tahun 2008 bayi yang lahir dengan BBLR tercatat 191 orang (12,08%), meninggal 35 orang (18,3%), dari 1581 persalinan, tahun 2009 jumlah BBLR mengalami peningkatan sebesar 13,03% dari 2071 persalinan, tahun 2010 tercatat kasus BBLR sebesar 14,05% dari 1259 persalinan, sedangkan pada periode Januari-Mei 2011 tercatat 35 orang (6,9%) dari 506 persalinan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor risiko (pendapatan keluarga, umur ibu, riwayat penyakit, jarak kelahiran, berat plasenta, bahan teratogenik, paritas, kebiasaan ibu) kejadian BBLR di RSU Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2011. METODE PENELITIAN Rancangan dan Lokasi Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik observasional dengan menggunakan rancangan case control. Populasi adalah semua ibu yang melahirkan bayi dalam kurun waktu tahun 2010 - 2011 di RSU Provinsi Sulawesi Tenggara. Populasi dan Sampel Sampel kasus adalah ibu yang melahirkan bayi BBLR, sedangkan sampel control adalah ibu yang melahirkan bayi normal dan memiliki data yang lengkap tentang identitas diri dan tercatat dalam rekam

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

217

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

medik di ruang Nifas RSU Provinsi Sultra selama penelitian (3 bulan ). Kontrol adalah 68 dan control 136 (1 : 2) maka besar sampel dalam penelitian ini adalah 204. Penentuan sampel dilakukan dengan cara Purposive Sampling. Analisis Data Analisis data dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 20.0 untuk mengetahui hubungan antara varibel bebas dan variabel terikat. Analisis bivariat dilakukan pada variabel yang telah dikategorikan dengan menggunakan uji chi square (X2), menggunakan = 0,05 dan 95% Confidence Interval (CI). HASIL Tabel 1 Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan, jenis pekerjaan, di BLUD Rumah Sakit Umum Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2011 Variabel n Tingkat Pendidikan SD SMP SMA PT Jenis Pekerjaan IRT PNS Swasta Petani Mahasiswa Data Primer 12 21 29 6 40 13 8 5 2 Kasus % 17,6 30,9 42,6 8,8 58,8 19,1 11,8 7,4 2,9 Kontrol n 24 42 58 12 62 34 16 20 4 % 17,6 30,9 42,6 8,8 45,6 25,0 11,8 14,7 2,9 n 36 63 87 18 102 47 24 25 6 Jumlah % 17,6 30,9 42,6 8,8 50,0 23,0 11,8 12,3 2,9

Tabel 2 Risiko Kejadian BBLR berdasarkan Pendapatan Keluarga, Riwayat Penyakit, Umur, Paritas, Jarak Kelahiran, Berat Plasenta, Pelayanan ANC, Bahan teratogenik, Kebiasaan Ibu Di BLUD RSU Provinsi Sultra Tahun 2011 Kejadian BBLR Kasus Kontrol n % n % 44 24 48 20 50 18 39 29 45 23 54 14 49 19 51 17 48 20 64,7 35,3 70,6 29,4 73,5 26,5 57,4 42,6 66,2 33,8 79,4 20,6 72,1 27,9 75,0 25,0 70,6 29,4 43 93 45 91 27 109 39 97 51 85 38 98 48 88 34 102 35 101 31,6 68,4 33,1 66,9 19,9 80,1 28,7 71,3 37,5 62,5 27,9 72,1 35,3 64,7 25,0 75,0 25,7 74,3 Nilai OR CI 95% p value CI p value 2,1-7,3 0,000

Variabel Pendapatan Keluarga Risiko tinggi Risiko rendah Riwayat Penyakit Risiko tinggi Risiko rendah Umur Risiko tinggi Risiko rendah Paritas Risiko tinggi Risiko rendah Jarak Kelahiran Risiko tinggi Risiko rendah Berat Plasenta Risiko tinggi Risiko rendah Pelayanan ANC Risiko tinggi Risiko rendah Bahan Teratogenik Risiko tinggi Risiko rendah Kebiasaan Ibu Risiko tinggi Risiko rendah Data Primer

OR 3,96

4,85

2,5-9,1

0,000

11,2

5,6-22,2

0,000

3,34

1,8-6,1

0,000

3,26

1,7-6,0

0,000

9,94

4,9-19,9

0,000

4,72

2,5-8,9

0,000

9,0

4,5-17,6

0,000

6,92

3,6-13,2

0,000

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

218

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah responden kasus sebanyak 68 dan kontrol sebanyak 136 kasus. Responden yang berpendidikan SMA yang paling banyak yaitu sebanyak 87 responden (42,6%) sedangkan pendidikan paling renbdah adalah perguruan tinggi sebanyak 18 responden atau sekitar 8,8%. Untuk jenis pekerjaan responden yang paling banyak adalah IRT sebanyak 102 (50%) (Tabel 1). Berdasarkan hasil penelitian bahwa kelompok kasus berisiko tinggi kejadian BBLR berdasarkan pendapatan keluarga, riwayat penyakit, umur, paritas, jarak kelahiran, berat plasenta, pelayanan anc, bahan teratogenik, kebiasaan ibu. Sebaliknya kelompok kontrol berisiko rendah kejadian BBLR berdasarkan pendapatan keluarga, riwayat penyakit, umur, paritas, jarak kelahiran, berat plasenta, pelayanan anc, bahan teratogenik, kebiasaan ibu (Tabel 2) Analisis Multivariat Tabel 3 Variabel Yang Paling Berpengaruh Terhadap Kejadian BBLR di BLUD Rumah Sakit Umum Provinsi Sultra Tahun 2011 Variabel Ekonomi keluarga Riwayat penyakit Umur Paritas Jarak kelahiram BBP ANC Bahan teratogenik Kebiasaan ibu Constant Data Primer B 0,817 0,882 2.141 0.773 1.177 2.011 1.455 2.407 1.372 -18.591 S.E 0.532 0.526 0.539 0.544 0.541 0.585 0.561 0.559 0.551 2.904 Wald 2.365 2.810 15.771 2.019 4.733 11.806 6.722 18.522 6.201 40.991 df 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Sig. 0.124 0.094 0.000 0.155 0.030 0.001 0.010 0.000 0.013 0.000 Exp (B) 2.265 2.415 8.509 2.166 3.243 7.474 4.283 11.099 3.944 0.000 CI 95% Lower Upper 0.799 6.419 0.861 6.772 2.958 24.480 0.746 6.294 1.124 9.362 2.373 23.541 1.426 12.865 3.709 33.215 1.339 11.614

Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 8 variabel yang memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam uji multivariat, variabel yang berpengaruh terhadap kejadian BBLR berdasarkan analisis bivariat adalah ekonomi keluarga, riwayat penyakit, umur, paritas, jarak kelahiran, BBL, pelayanan ANC, bahan teratogenik dan kebiasaan ibu, didapatkan variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian BBLR adalah bahan teratogenik dengan nilai OR = 11,099. Model persamaan yang terbentuk dari hasil uji logistik regresi adalah sebagai berikut: Logit BBLR = - 18,591 + 0,817 (ekonomi keluarga) + 0,882 (riwayat penyakit) + 2.141 (umur) + 0,773 (paritas) + 1.177 (jarak kelahiran) + 2,011 (BBL) + 1.455 (ANC) + 2,407 (bahan teratogenik) + 1.372 (kebiasaan ibu). PEMBAHASAN Besar risiko pendapatan keluarga terhadap kejadian BBLR Ekonomi keluarga dapat menunjukkan gambaran kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan gizi ibu selama hamil yang berperan dalam pertumbuhan janin. Keadaan sosial ekonomi sangat berperan terhadap timbulnya prematuritas. Kejadian tertinggi terdapat pada golongan sosial ekonomi rendah. Hal ini disebabkan keadaan gizi yang kurang baik dan periksa hamil.\ Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio (OR) = 3,96 pada tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 2,1 7,3. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka ibu yang mempunyai status ekonomi keluarga rendah merupakan faktor risiko terjadinya BBLR, yang artinya ibu dengan status ekonomi keluarga rendah (< 930.000) memiliki risiko 3,96 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR dibanding dengan ibu yang mempunyai status ekonomi keluarga tinggi ( 930.000). Besar risiko riwayat kesehatan terhadap kejadian BBLR Penyakit yang diderita ibu selama hamil tentu akan sangat berhubungan dengan kejadian BBLR. Penyebabnya adalah kurangnya asupan zat nutrisi ke bayi yang dikandungnya. Pada penelitian ini masalah yang dominan dialami oleh ibu saat hamil adalah emesis gravidarum/hiperemesis. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio (OR) = 4,85 pada tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 2,5 9,1. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka ibu yang mempunyai riwayat penyakit saat hamil merupakan faktor risiko terjadinya BBLR, yang artinya ibu yang mempunyai riwayat penyakit memiliki risiko 4,85 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR dibanding dengan ibu yang tidak mempunyai riwayat penyakit. Besar risiko umur terhadap kejadian BBLR Prognosa kehamilan sangat ditentukan oleh usia seseorang. Umur yang terlalu muda atau kurang dari 17 tahun dan umur yang terlalu lanjut lebih dari 34 tahun merupakan kehamilan risiko tinggi.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

219

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Kehamilan pada usia muda merupakan faktor risiko hal ini disebabkan belum matangnya organ reproduksi untuk hamil (endometrium belum sempurna) sedangkan pada umur diatas 35 tahun endometrium yang kurang subur serta memperbesar kemungkinan untuk menderita kelainan kongenital, sehingga dapat berakibat terhadap kesehatan ibu maupun perkembangan dan pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio (OR) = 11,21 pada tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 5,6 22,2. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka ibu yang mempunyai umur <20 - >35 tahun merupakan faktor risiko terjadinya BBLR, yang artinya ibu yang mempunyai umur <20 >35 tahun memiliki risiko 11,21 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR dibanding dengan ibu yang berumur 20-35 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian data SDKI Indonesia bahwa umur ibu yang kurang dari 20 tahun berisiko 1,5 kali lebih besar melahirkan BBLR. Demikian pula pendapat Hassan el.al (1985) bahwa angka prematuritas terendah pada umur antara 20 sampai 35 tahun. Menurut Cassandy (2001), melahirkan pada umur kurang dari 20 merupakan faktor risiko terjadinya. Besar risiko paritas terhadap kejadian BBLR Paritas adalah jumlah anak yang dikandung dan dilahirkan oleh ibu. Paritas primipara yaitu wanita yang pernah melahirkan bayi dengan berat janin diatas 2500 gram pada umur kehamilan 37 sampai 42 minggu. Mereka mempunyai risiko 1,32 kali lebih besar untuk terjadi BBLR. Paritas yang berisiko melahirkan BBLR adalah paritas 0 yaitu bila ibu pertama kali hamil dan paritas lebih dari empat. Hal ini dapat berpengaruh pada kehamilan karena terlalu sering melahirkan dapat mempengaruhi kondisi rahim ibu pada Ibu yang pertama kali hamil. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio (OR) = 3,34 pada tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 1,8 6,1. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka ibu yang mempunyai paritas 1 atau 4 kali merupakan faktor risiko terjadinya BBLR, yang artinya ibu yang mempunyai paritas 1 atau 4 kali memiliki risiko 3,34 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR dibanding dengan ibu yang mempunyai paritas 2-3 kali. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian-penelitian di RSU Margono Purwokerto dan di Sukabumi karena pada paritas 1 dan lebih dari 4 jumlahnya sama pada kelompok BBLR dan kelompok BBLN. Besar risiko jarak kelahiran terhadap kejadian BBLR Jarak kelahiran adalah waktu sejak ibu hamil sampai terjadinya kelahiran berikutnya. Jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat menyebabkan anemia. Hal ini dikarenakan kondisi ibu masih belum pulih dan pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi belum optimal, namun sudah harus memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang dikandung. Jarak kelahiran kurang dari 2 tahun berpengaruh pada kehamilan berikutnya karena kondisi rahim ibu untuk hamil kembali sebelum jarak kehamilan sebelumnya kurang dari 2 tahun. Selain itu ibu juga secara psikologis belum siap untuk hamil kembali karena anak yang sebelumnya masih memerlukan perhatian dari ibu, sehingga jika ibu hamil kembali perhatian ibu tidak lagi fokus kepada anak namun juga pada kehamilannya. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio (OR) = 3,26 pada tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 1,7 6,0. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka ibu yang mempunyai jarak kelahiran < 2 tahun merupakan faktor risiko terjadinya BBLR, yang artinya ibu yang mempunyai jarak kelahiran < 2 tahun memiliki risiko 3,34 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR dibanding dengan ibu yang mempunyai jarak kelahiran 2 tahun. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Joeharno (2008), bahwa jarak kelahiran merupakan faktor risiko terhadap kejadian BBLR. Ibu dengan jarak kelahiran rapat berisiko 2 kali untuk melahirkan bayi dengan BBLR. Karena proses pengembalian kondisi setelah persalinan tidak hanya selesai setelah nifas berakhir, akan tetapi membutuhkan waktu yang lebih panjang sehingga dibutuhkan rentang waktu yang cukup bagi organorgan tubuh untuk dibebani dengan proses kehamilan dan persalinan lagi (Kusmiyati Y dkk, 2008). Besar risiko besar dan berat plasenta terhadap kejadian BBLR Pada pertumbuhan intra uteri normal, pertambahan berat plasenta sejalan dengan pertambahan berat janin. Berat lahir memiliki hubungan dengan berat plasenta. Hal ini disebabkan karena aliran darah uterus yang melakukan transfer oksigen dan nutrisi melalui plesenta dapat berubah. Disfungsi plasenta ini dapat berakibat pada pertumbahan janin. Pertumbuhan janin yang memadai diperlukan zat-zat makanan yang adekuat, dimana peranan plasenta besar artinya dalam transfer makanan tersebut. Pertumbuhan janin yang paling pesat terjadi pada stadium akhir kehamilan, plasenta bukan sekedar organ untuk transport makanan yang sederhana, tetapi juga mampu menseleksi zat-zat makanan yang masuk dan proses lain atau resistensi sebelum mencapai janin. Suplai zat-zat makanan kejanin yang sedang tumbuh tergantung pada jumlah darah ibu yang mengalir ke plasenta dan zat-zat makanan yang diangkutnya. Efisiensi plasenta dalam mengkonsentrasikan, mensintesis dan transport zat-zat makanan menentukan suplai makanan ke janin. Karbohidrat merupakan sumber utama bagi janin dan ini diperoleh secara kontinue dari transfer glukosa darah ibu melalui plasenta.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

220

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio (OR) = 9,94 pada tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 4,9 19,9. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka ibu yang mempunyai besar dan berat plasenta < 400 gram merupakan faktor risiko terjadinya BBLR, yang artinya ibu yang mempunyai besar dan berat plasenta < 400 gram memiliki risiko 9,94 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR dibanding dengan ibu yang mempunyai besar dan berat plasenta < 400 gram. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ridwan Amiruddin (2007) yang menyatakan bahwa berat plasenta merupakan faktor risiko terhadap kejadian BBLR. Besar risiko pelayanan ANC terhadap kejadian BBLR Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada ibu selama masa kehamilannya sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan kebidanan, pemeriksaan laboratorium atas indikasi tertentu serta indikasi dasar dan khusus. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio (OR) = 4,72 pada tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 2,5 8,9. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka ibu yang mempunyai pelayanan ANC < 4 kali merupakan faktor risiko terjadinya BBLR, yang artinya ibu yang mempunyai pelayanan ANC < 4 kali memiliki risiko 4,72 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR dibanding dengan ibu yang mempunyai pelayanan ANC 4 kali. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kasriani (2009) yang mengatakan bahwa antenatal care < 4 kali berisiko 9,7 kali dibandingkan ibu yang mempunyai antenatal care >= 4 kali terhadap kejadian BBLR. Besar risiko bahan teratogenik terhadap kejadian BBLR Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar BBLR dilahirkan oleh ibu yang terpapar asap rokok maupun asap yang berasal dari pembakaran saat hamil. Hal ini menunjukkan bahwa paparan bahan teratogenik saaat hamil menyumbangkan angka yang cukup besar terhadap kejadian BBLR. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio (OR) = 9,0 pada tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 4,5 17,6. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka ibu yang mempunyai keterpaparan terhadap bahan teratogenik merupakan faktor risiko terjadinya BBLR, yang artinya ibu yang mempunyai keterpaparan terhadap bahan teratogenik memiliki risiko 9,0 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR dibanding dengan ibu yang tidak mempunyai keterpaparan terhadap bahan teratogenik. Sejalan dengan penelitian Monintja dan Hakimi (2004) menyatakan bahwa kebiasaan merokok, minum obat-obatan, alkohol dan narkotika selama kehamilan dapat menyebabkan terjadinya bayi BLR. Besar risiko kebiasaan ibu terhadap kejadian BBLR Perbedaan kejadian BBLR pada suku bangsa lebih dikaitkan dengan kebiasaan dan pola makan yang telah dianut oleh masing-masing suku bangsa tersebut. Hal ini sangat berpengaruh pada kondisi gizi ibu yang kemudian berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan janin. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio (OR) = 6,92 pada tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 3,6 13,2. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka ibu yang mempunyai kebiasaan buruk merupakan faktor risiko terjadinya BBLR, yang artinya ibu yang mempunyai kebiasaan buruk memiliki risiko 6,92 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR dibanding dengan ibu yang tidak mempunyai kebiasaan buruk. KESIMPULAN DAN SARAN Faktor risiko kejadian BBLR adalah ekonomi keluarga, riwayat penyakit, umur, paritas, jarak kelahiran, BBL, pelayanan ANC, bahan teratogenik dan kebiasaan ibu, didapatkan variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian BBLR adalah bahan teratogenik dengan nilai OR = 11,099. Olehnya itu, perlunya pemberian informasi tentang faktor-faktor risiko BBLR, meningkatkan kemampuan penanganan ibu hamil yang berisiko, Meningkatkan upaya sistem rujukan medis. DAFTAR PUSTAKA B Kotch J. Maternal and Child Health : Program, Problem and Policy in Public Health . Aspen Publishers Inc, Maryland. 1997 Bappenas. Angka Kematian Ibu. Jakarta. 2007 Hastono P, S. Analisis Data. Jakarta : FKM Universitas Indonesia. 2003 Hermiyanti S. Kesehatan Neonatal Indonesia. Jakarta : Lokakarya Nasional Kesehatan Neonatal. 2005 Hivre dan Ganatra. Determinant of Low Birth Weight; a Community Based Prospective Cohort Study , Indian Pediatric. 1994; vol 31 (10 ) : 1221 1225 Hurlock E. Perkembangan Anak. Jakarta : Penerbit Erlangga. 2002 Ichkovics J. Group Prenatal Care and Preterm Birth Weight : Result from a Matched Cohort study at Public Clinics. Departments of Epidemiology and Public Health and obstetrics and gynecology. Yale University. 2003 Istiarti T. Kaitan antara Kemiskinan dan Kesehatan. Yogyakarta :Media Pressindo. 2000 Lemeshow S. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan., Yogyakarta : UGM Press . 1997 Leveno. Prenatal Care and Low Birth Weight Infant. Jurnal Obstetric and Gynecology. 1995; Vol 66 (5)

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

221

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Mainase J. Hubungan Faktor Ibu Hamil dengan Terjadinya Bayi Lahir Rendah di RSUD Dr M Haulussy Ambon Maluku Surabaya : MIKM Universitas Airlangga. 2007 Mainne D, James McCathy. Maternal Mortality : Guidelines for Monitoring Program 2 nd Ed June. New York, N.Y, 10017. USA. United Children Fund, 1996 Manuaba I B.Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : Penerbit EGC buku kedokteran. 1998 Mc Kenzie J. Kesehatan Masyarakat Suatu Pengantar. Jakarta : Penerbit EGC. 2007 Nur Nasry Noor, 2008. Pengantar Epidemiologi, EGC, Jakarta Pantiawati I, 2010, Bayi Dengan BBLR. Nuha Medika. Yogyakarta POGI, Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi, Jakarta : FK UI. 1991 Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka. 1999 Prawirohardjo S. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka. 2002 Ridwan A, Analisis Risiko Pajanan Asap Rokok Terhadap BBL di RSU Fatimah Makassar . 2005 Riwidikdo H. Statistik Kesehatan. Yogyakarta : Penerbit Mitra Cendekia. 2007 Rosemary F. Hubungan Layanan Antenatal dengan Kejadian BBLR di Kabupaten Bogor Prop Jawa Barat Tahun 2007. Jakarta : PS IKM UI. 1997 Saraswati E. Faktor Kesehatan Reproduksi Ibu Hamil Dan Hubungannya Dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah di Kota Sukabumi Tahun 2005 2006. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol 1 No 3. 2006 Sarwani D. Beberapa Faktor yang berhubungan dengan BBLR (Studi Kasus di RS Margono Soekarjo Purwokerto), Purwokerto : PSKM Unsoed . 2006 Sastroasmoro S. Dasar Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta : Penerbit CV Sagung Seto. 2000 Sitohang N. Asuhan Keperawatan pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah . Medan : P.S Ilmu Keperawatan, FK Universitas Sumatra Utara. 2004 Sutanto M. Target Kesehatan dalam Tujuan Pembangunan Millenium. WHO Indonesia. 2005 Sutjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta :Buku Kedokteran EGC. 1995 Syafiq A ,Sandra Fikawati, Kepemilikan Buku KIA dan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak . Jakarta : FKM UI. 2007 Trisnani W. Beberapa Faktor Maternal dan Sosial Ekonomi yang berhubungan dengan BBLR (Studi Kasus di RSUD Batang), Semarang : FKM Undip. 2000 Yakubavich, Hana Shohan. Maternal Education as A Modifier of the Association Betwen Low Birth Weight and Infant Mortality. International Journal of Epidemiology, 1998 ; XVII ;2 Yustina W C. Beberapa Faktor Risiko yang berhubungan dengan BBLR di RSUD Kabupaten Temanggung , Semarang : FKM Undip. 1995

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

222

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

PENGARUH CERAMAH DAN DEMONSTRASI TERHADAP PERILAKU PENCEGAHAN COMPUTER VISION SYNNDROME PADA SISWA SMKN KABUPATEN PANGKEP Maryam Latief1, Ridwan Amiruddin2, Masni3 Dinas Kesehatan Kabupaten Pangkep Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 3 Bagian Biostatistik/ KKB Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
2 1

ABSTRACT Lecture and demonstration methods are effective in changing behavior as measured by knowledge and attitudes. This study aims to determine the effect of a lecture and demonstration methods to improve the students' knowledge and attitude in preventing computer vision syndrome (CVS) at SMKN I Bungoro, SMKN I Minasate'ne, and SMKN I Mandalle Pangkep District. This research was a quasi experimental with nonrandomized control group pretest-posttest design. The study sample were 75 students of class I and computer engineering department selected by purposive sampling. Data obtained from the questionnaire questions. The effect of the lecture and demonstration methods analyze by a paired t test, unpaired t test and One-Way ANOVA. The results showed that of the 75 respondents were selected as sample 56% were male and the average age of all groups was 15 years. There is a significant difference of knowledge and attitude scores between lecture groups, demonstration group, and the control group at the post-test (p = 0.000). There is the effect of the lecture and demonstration method to increase knowledge score (p = 0.000) and attitude score (p = 0.000) about CVS. Lecture method is more effective than demontration method in increasing knowledge score while the demonstration method is more effective than lecture method in improving the attitude score. Concluded that there was the effect of a lecture and demonstration methode of the knowledge and attitudes in the prevention of CVS. Researchers recommend a replication study using a lecture and demonstration or by combining both methods to be more effective in measuring improvments of knowledge and attitudes about CVS. Keywords: lecture, demonstration, knowledge, attitude, computer vision syndrome PENDAHULUAN Penggunaan komputer di berbagai sektor mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Aplikasi komputer yang semakin komplit dan menarik berdampak pada meningkatnya durasi pemakaian. Nilai tambah berupa efisiensi, kemudahan, kecepatan, ketersediaan dan validitas mendorong untuk semakin berlomba memanfaatkan teknologi komputer dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam bidang hiburan dan edukasi (Amali, 2008). Jumlah pengguna komputer mencapai sekitar 1 milyar pada tahun 2010 sebagai akibat dari peningkatan jumlah pengguna baru di negara berkembang seperti Cina, India dan Rusia (Amalia, dkk., 2010 dan Bhanderi, dkk., 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Egbhokare dan Akwukwuma di Benin Tahun 2005 menunjukkan bahwa anak remaja menghabiskan sebagian besar waktunya di depan internet dengan aktivitas utama mengirim email (100%), bermain game (84,78%) dan browsing (61,41%) (Edema, dkk., 2010). Meningkatnya interaksi dengan perangkat komputer di satu sisi menggembirakan karena memberikan nilai-nilai efisiensi dan efektifitas tetapi di sisi lain akan merugikan kesehatan baik secara fisik maupun psikologis (Murtopo, 2005). Dampak kesehatan tersebut sebagaimana yang dilaporkan pada beberapa hasil penelitian antara lain: gangguan visual dan muskuloskeletal (Das, dkk., 2010, Dehghani, dkk., 2008), computer vision syndrom (Ihemedu, dkk., 2010), stres (Sharma, dkk., 2006), dan sakit kepala (Megwas dkk., 2009). American Optometric Association mendefinisikan Computer Vision Syndrome (CVS) sebagai kombinasi mata dan masalah visual terkait dengan penggunaan komputer (Rosenfield, 2011). Data dari sejumlah penelitian menunjukkan bahwa masalah penglihatan terjadi 70%-90% pada populasi pengguna komputer (Affandi, 2005, Sharma, dkk., 2006, Talwar, dkk., 2009, Das, dkk., 2010, Shrestha, dkk., 2011). Bausch and Lomb melaporkan hampir 60 juta orang mengalami masalah penglihatan karena pekerjaan yang menggunakan komputer dan satu juta kasus baru dilaporkan setiap tahunnya. Survei yang dilakukan oleh optometris menunjukkan bahwa lebih dari 10 juta pemeriksaan mata pertahun di Amerika Serikat dilakukan untuk masalah penglihatan karena penggunaan komputer (Affandi, 2005). Penglihatan merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam proses pendidikan. Penglihatan juga merupakan jalur informasi utama, gangguan kesehatan mata pada anak usia sekolah akan sangat mempengaruhi kemampuan menyerap materi pembelajaran dan berkurangnya potensi untuk meningkatkan kecerdasan. Keberadaan komputer di SMKN I Bungoro, SMKN I Minasatene, dan SMKN I Mandalle Kabupaten Pangkep sangat membantu dalam proses pembelajaran dan dimasukkan dalam kurikulum pembelajaran. Sebagai institusi pendidikan yang materi pembelajarannya

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

223

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

banyak terkait dengan pemakaian komputer, maka diperlukan pendidikan kesehatan tentang efek penggunaan komputer. Pemilihan metode pendidikan yang tepat akan berpengaruh pada efektifitas hasil yang akan dicapai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode ceramah dan demonstrasi efektif dalam merubah perilaku yang diukur melalui perubahan pengetahuan dan sikap siswa. Penelitian Azeem, dkk. (2011) di Fayoum University, Mesir menunjukkan bahwa metode ceramah dengan durasi satu jam berhasil meningkatkan skor pengetahuan dan sikap responden secara signifikan dengan nilai p masing-masing sebesar 0.001. Penelitian Goldstain, dkk. (2006) menunjukkan bahwa metode demonstrasi menggunakan media video berhasil meningkatkan pengetahuan dan sikap penderita low vision terhadap terapi yang dijalaninya (p = 0,001). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode ceramah dan metode demonstrasi terhadap pengetahuan dan sikap siswa dalam pencegahan computer vision syndrome di SMKN I Bungoro, SMKN I Minasatene, dan SMKN I Mandalle Kabupaten Pangkep. BAHAN DAN METODE Rancangan dan Lokasi Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah Eksperimen Semu (Quasi eksperiment) dengan rancangan Nonrandomized Control Group Pretest Posttest Design. Penelitian ini dilaksanakan di SMK Negeri I Bungoro, SMKN I Minasatene, dan SMKN I Mandalle Kabupaten Pangkep. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan bahwa belum pernah diadakan pendidikan kesehatan terkait efek penggunaan komputer pada ketiga sekolah tersebut dan ketiga sekolah tersebut merupakan sekolah negeri yang terletak di kecamatan berbeda sehingga intervensi yang diberikan lebih dapat dikontrol. Populasi dan sampel Populasi penelitian adalah siswa kelas I Jurusan Teknik Komputer dan jaringan yang terdaftar di SMK Negeri I Bungoro, SMKN I Minasatene, dan SMKN I Mandalle Kabupaten Pangkep sebanyak 230 siswa. Sampel penelitian sebanyak 75 siswa kelas I Jurusan Teknik komputer dan Jaringan yang dipilih secara purposive sampling yang telah memenuhi kriteria inklusi yaitu: siswa yang duduk di kelas 1, Jurusan Teknik Komputer dan Jaringan dan bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani formulir persetujuan penelitian. Analisis data Data diolah dan dianilisis di komputer menggunakan program SPSS for Windows 20. Analisis pengaruh metode ceramah dan metode demonstrasi terhadap skor pengetahuan dan sikap dilakukan melalui uji t berpasangan, uji t tidak berpasangan dan uji One-Way Anova karena data berdistribusi normal baik pada kelompok ceramah, kelompok demonstrasi maupun kelompok kontrol. HASIL Karakteristik sampel Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 75 responden yang terpilih sebagai sampel 56% diantaranya berjenis kelamin laki-laki dan rata-rata berumur 15 tahun. Pengaruh metode ceramah terhadap pengetahuan Tabel 1 menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan rata-rata skor pengetahuan responden sebelum dan setelah pelaksanaan metode ceramah (p = 0,000 < 0,05). Hasil uji statistik menggunakan uji tidak berpasangan antara kelompok ceramah dan kelompok kontrol didapatkan tidak ada perbedaan signifikan rata-rata skor pengetahuan responden pada saat pre test (p = 0,214 > 0,05) sedangkan pada saat post test didapatkan ada perbedaan signifikan rata-rata skor pengetahuan pada kedua kelompok tersebut (p = 0,000 < 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh metode ceramah terhadap pengetahuan responden tentang CVS. Tabel 1. Skor pengetahuan responden pada kelompok ceramah Nilai Statistik Mean SD SE p value Data Primer Skor pengetahuan Pre test 7,20 1,683 0,337 0,000 Post test 13,32 1,435 0,287

Pengaruh metode ceramah terhadap sikap Tabel 2 menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan rata-rata skor sikap responden sebelum dan setelah pelaksanaan metode ceramah (p = 0,000 < 0,05). Hasil uji statistik menggunakan uji t tidak berpasangan antara kelompok ceramah dan kelompok kontrol didapatkan tidak ada perbedaan signifikan rata-rata skor sikap responden pada saat pre test (p = 0,930 > 0,05) sedangkan pada saat post test didapatkan

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

224

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

ada perbedaan signifikan rata-rata skor sikap pada kedua kelompok penelitian nilai (p = 0,000 < 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh metode ceramah terhadap sikap responden tentang CVS. Tabel 2. Skor sikap responden pada kelompok ceramah Nilai Statistik Mean SD SE p value Data Primer Skor sikap Pre test 7,48 1,939 0,388 0,000 Post test 11,04 1,947 0,389

Pengaruh metode demonstrasi terhadap pengetahuan Tabel 3 menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan rata-rata skor pengetahuan responden sebelum dan setelah pelaksanaan metode demonstrasi (p = 0,000 < 0,05). Hasil uji statistik pada saat pre test didapatkan nilai p = 0,014 < 0,05 dan pada saat post test nilai p = 0,000 < 0,05 yang menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan rata-rata skor pengetahuan responden antara kelompok demonstrasi dan kelompok kontrol baik pada saat pre test maupun post test. Skor pengetahuan pada kelompok metode demonstrasi meningkat sebesar 48,9% setelah intervensi sedangkan pada kelompok kontrol hanya 7,3% sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh metode ceramah terhadap pengetahuan responden tentang CVS. Tabel 3. Skor pengetahuan responden pada kelompok demonstrasi Nilai Statistik Mean SD SE p value Data Primer Skor pengetahuan Pre test 7,92 1,956 0,391 0,000 Post test 11,80 2,102 0,420

Pengaruh metode demonstrasi terhadap pengetahuan Tabel 4 menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan rata-rata skor sikap responden sebelum dan setelah pelaksanaan metode demonstrasi (p = 0,000 < 0,05). Hasil uji statistik menggunakan uji tidak berpasangan antara kelompok demonstrasi dan kelompok kontrol didapatkan tidak ada perbedaan signifikan rata-rata skor sikap responden pada saat pre test (p = 0,234 > 0,05) sedangkan pada saat post test didapatkan ada perbedaan signifikan rata-rata skor sikap pada kedua kelompok penelitian nilai (p = 0,000 < 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh metode demonstrasi terhadap sikap responden tentang CVS. Tabel 4. Skor sikap responden pada kelompok demonstrasi Nilai Statistik Mean SD SE p value Data Primer Skor sikap Pre test 6,84 2,173 0,435 0,000 Post test 11,32 1,725 0,345

Perbandingan pengaruh metode ceramah dan metode demonstrasi terhadap pengetahuan Analisis perbedaan skor pengetahuan tentang CVS antara responden yang mendapat metode ceramah dan metode demonstrasi menggunakan uji t tidak berpasangan. Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,004 (p < 0,05) yang menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan rata-rata skor pengetahuan responden setelah pelaksanaan intervensi pada kedua kelompok penelitian. Peningkatan skor pengetahuan responden lebih tinggi pada kelompok ceramah yaitu 85% (7,20 menjadi 13,32) dibanding kelompok demonstrasi yang hanya sebesar 48,9% (7,92 menjadi 11,80) pada saat post test. Perbandingan pengaruh metode ceramah dan metode demonstrasi terhadap sikap Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,593 (p < 0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan rata-rata skor sikap responden setelah pelaksanaan intervensi pada kedua kelompok penelitian. Meskipun tidak ada perbedaan secara signifikan namun peningkatan rata-rata skor sikap Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013 225

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

responden lebih tinggi pada kelompok demonstrasi yaitu 65,5% (6,84 menjadi 11,32) dibanding kelompok ceramah yang hanya sebesar 47,6% (7,48 menjadi 11,04). Perbandingan peningkatan skor pengetahuan dan skor sikap responden dapat dilihat pada gambar 1.

85 % 65,5 %

100 50 0
Pengetahuan

48,9 %

47,6 %

Ceramah sikap Demonstrasi

Gambar 1. Peningkatan Skor pengetahuan dan skor sikap Responden

PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh metode ceramah terhadap peningkatan skor pengetahuan dan skor sikap responden tentang CVS setelah intervensi dengan nilai p masing-masing sebesar 0,000 < 0,05. Peningkatan skor pengetahuan dan skor sikap pada kelompok ceramah dibandingkan pula dengan hasil post test kelompok kontrol (tanpa intervensi). Hal ini berguna untuk mengetahui apakah perubahan skor pengetahuan dan skor sikap responden betul-betul karena metode ceramah yang diterima responden. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan rata-rata skor pengetahuan dan skor sikap responden antara kelompok ceramah dan kelompok kontrol (p = 0,000) setelah intervensi, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh metode ceramah terhadap skor pengetahuan dan skor sikap responden tentang CVS. Peningkatan skor pengetahuan dan skor sikap responden setelah mendapatkan pendidikan kesehatan metode ceramah sesuai dengan teori pendidikan dan perilaku kesehatan. A Joint Committee on Terminology in Health Education of United States menyatakan bahwa pendidikan kesehatan adalah pengalaman belajar yang bertujuan untuk mempengaruhi pengetahuan, sikap dan perilaku yang ada hubungannya dengan kesehatan perorangan ataupun kelompok (Machfoedz, dkk., 2009). Penelitian ini diarahkan pada tahap edukasi yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, merubah sikap serta mengarahkan kepada perilaku penggunaan komputer yang sehat dalam rangka pencegahan CVS. Penelitian Toama, dkk. (2012) pada pengguna komputer di Alexandria menemukan bahwa pendidikan kesehatan melalui pemberian pedoman ergonomis penggunaan komputer secara signifikan meningkatkan pengetahuan responden tentang cara penggunaan komputer yang aman dari 33,70% menjadi 85,40%. Penggunaan komputer secara ergonomis pada penelitian ini juga dimasukkan dalam materi ceramah dengan bantuan media pembelajaran. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Azeem, dkk. (2011) di Fayoum University, Mesir yang menunjukkan bahwa metode ceramah dengan durasi satu jam berhasil meningkatkan skor pengetahuan responden secara signifikan (p = 0.001). Hasil penelitian Nederifar, dkk. (2008) di Iran juga menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan skor pengetahuan responden setelah mendapatkan metode ceramah (8,1 menjadi 12,27). Metode ceramah dalam penelitian ini berhasil meningkatkan skor sikap responden secara signifikan. Hal ini tidak terlepas dari penguasaan materi dan penggunaan alat bantu semaksimal mungkin oleh pemateri. Meskipun ceramah merupakan metode yang tradisional dan sering dianggap sebagai metode yang membosankan, namun hal ini diatasi dengan penggunaan media slide dengan warna dan gambar yang menarik serta bahasa yang mudah dimengerti, hal ini terlihat dari antusias peserta dalam mengikuti materi. Penelitian yang dilakukan oleh Mahmoodabad, dkk. (2008) juga menunjukkan adanya peningkatan skor sikap secara signifikan (p = 0,001) dalam pencegahan Brucellosis pada siswa SMA di Iran setelah mendapatkan metode ceramah dan media slide. Penelitian lain yang dilakukan di Mesir juga memperlihatkan hal yang sama dimana skor sikap responden meningkat pula secara signifikan (p = 0.001) setelah metode ceramah dengan durasi satu jam (Azeem, dkk., 2011). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada pengaruh metode demonstrasi terhadap peningkatan skor pengetahuan dan skor sikap responden tentang CVS setelah intervensi dengan nilai p masing-masing sebesar 0,000 < 0,05. Perbandingan hasil post test antara kelompok demonstrasi dan kelompok kontrol juga menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan rata-rata skor pengetahuan dan skor sikap antara kedua kelompok tersebut pada saat pelaksanaan post test (p = 0,000).

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

226

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Meningkatnya skor pengetahuan dan skor sikap responden setelah mendapatkan metode demonstrasi tidak terlepas dari kelebihan metode ini. Melalui metode demontrasi, verbalisme dapat dihindari karena peserta langsung memperhatikan bahan pelajaran/ materi yang dijelaskan, proses pembelajaran lebih menarik, sebab siswa tidak hanya mendengar tetapi juga melihat peristiwa yang terjadi, dengan pengamatan secara langsung maka peserta dapat membandingkan antara teori dan kenyataan sehingga mereka akan meyakini kebenaran materi yang disampaikan. Efektifitas metode demontrasi menggunakan video juga terlihat pada penelitian Goldstain, dkk. (2006) dimana terjadi peningkatan pengetahuan penderita low vision terhadap terapi yang dijalaninya setelah intervensi (p = 0,001). Hasil yang sama juga ditunjukkan pada penelitian Jahan, dkk. (2009) di Iran dimana penggunaan media audio visual menggunakan film juga meningkatkan skor rata-rata pengetahuan secara signifikan (p=0,003). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Wibawa (2007) yang menunjukkan bahwa penggunaan metode demonstrasi berhasil memberikan perbaikan sikap positif siswa terhadap penyakit DBD sebesar 29,68%. Rata-rata skor pengetahuan responden antara kelompok yang mendapatkan metode ceramah dengan metode demonstrasi pada penelitian ini berbeda secara signifikan (p = 0,004). Peningkatan rata-rata skor pengetahuan responden pada kelompok ceramah lebih tinggi (85%) dibanding kelompok demonstrasi (48,9%), namun tidak ada perbedaan signifikan rata-rata skor sikap responden pada kedua kelompok tersebut baik pada saat pre test (p = 0,277) maupun post test (p = 0,593). Meskipun demikian, kedua kelompok ini mengalami peningkatan skor sikap setelah intervensi. Peningkatan rata-rata skor sikap responden pada kelompok demonstrasi lebih tinggi (65,5%) dibanding kelompok ceramah (47,6%). Penyampaian ceramah dengan bantuan slide menggunakan bahasa dan gambar yang menarik diharapkan dapat merangsang visual dan auditori peserta, sehingga secara kinestik mereka mau terlibat langsung pada saat diskusi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Stegeman and Zydney (2010) yang melakukan kajian literatur dari berbagai penelitian yang menggunakan multimedia. Mereka menyimpulkan bahwa penggunaan multimedia bermanfaat dalam melengkapi gaya mengajar tradisional (Roberts, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Zhang, dkk. (2006) untuk melihat efektivitas video interaktif terhadap pembelajaran yang dibandingkan dengan metode ceramah menunjukkan bahwa media video secara signifikan lebih bermakna dalam menarik minat belajar siswa (p = 0,001). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sulastri (2012) di SMAN 9 Balikpapan yang menunjukkan bahwa ada perbedaan skor sikap pada kedua kelompok penelitian dimana kelompok yang menggunakan video rerata sikapnya (33,46) lebih besar dibanding yang tanpa video (25,94). KESIMPULAN DAN SARAN Kami menyimpulkan bahwa ada pengaruh metode ceramah dan demonstrasi terhadap pengetahuan dan sikap dalam pencegahan CVS. Peneliti merekomendasikan adanya replikasi penelitian menggunakan metode ceramah dan metode demonstrasi tentang CVS atau dengan mengkombinasikan kedua metode tersebut agar lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap tentang CVS. DAFTAR PUSTAKA Affandi E.S. (2005). Sindrom Penglihatan Komputer (Computer Vision Syndrome). Majalah Kedokteran Indonesia, 3: 297-300. Amali L.N. (2008). Pendekatan Ergonomi Untuk Mengurangi Gangguan Kesehatan Akibat Penggunaan Komputer. Jurnal Teknik, 2: 207-219. Amalia, H., Suardana, G.G. dan Artini, W. (2010). Accomodative Insufficiency as Cause of Asthenopia in Computer-Using Students. Universa Medica, 29 (2): 78-82. Azeem S.T. A., Elsayed E.T., Sherbiny N.A.E.K & Ahmed L.A.E. (2011). Promotion of knowledge and attitude towards premarital care: An interventional study among medical student in Fayoum University. Journal of Public Health and Epidemiology, 3(3): 121-128. Bhanderi, D.J., Choudhary, S. and Doshi, V.G. (2008). A Community-Based Study of Asthenopia in Computer Operators. Indian Journal Ophthalmology, 56 (1): 5155. Das, B. and Ghosh, T. (2010). Assesment of Ergonomical and Occupational Health Related Problems among VDT Workers of West Bengal, India. Asian Journal of Medical Sciences, 1: 26-31. Dehghani A., Tavakoli M., Akhlaghi M., Naderi A. & Eslami F. (2008). Prevalence of Ocular Sympton and Sign among Professional Computer Users in Asfhan, Iran. JRMS, 13 (6): 303-307. Edema O.T. & Akwukwuma. (2010). Asthenopia and Use of Glasses among Visual Display Terminal (VDT) Users. Int. Journal. Trop. Med, 5 (2): 16-19. Goldstein R.B., Dugan E., Trachtenberg F. & Peli E. (2006). The Impact of a Video Intervention on the Use of Low Vision Assistive Devices. Boston: Harvard Medical School. Ihemedu C.O. & Omolase C.O. (2010). The Level of Awareness and Utilization of Computer Shields among Computer Users in a Nigerian Community. Asian Journal of Medical Science, 1: 49-52.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

227

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Jahan R., Ghaffari, Tavakoli R. & Rafati. (2009). The Impact of Group Discussion and Film on Promoting Knowledge and Attitudes about HIV/AIDS in Medical University Students: A Comparing Study. World Applied Sciences Journal, 6 (7): 961-965. Machfoedz I. & Suryani E. (2009). Pendidikan Kesehatan Bagian dari Promosi Kesehatan . Yogyakarta: Fitramaya. Megwas A.U. & Agusboshim R.C. (2009). Visual Symptoms among Non-Presbyopic Video Display Terminal (VDT) Operators in Owweri, Nigeria. JNOA, 15: 33-36. Mahmoodabad S.S.M., Barkhordari A., Nabizadeh M. & Ayatollahi J. (2008). The Effect of Health Education on Knowledge, Attitude and Practice (KAP) of High School Students' Towards Brucellosis in Yazd. World Applied Sciences Journal, 5 (4): 522-524. Murtopo I. & Sarimurni. (2005). Pengaruh Radiasi Layar Komputer Terhadap Kemampuan Daya Akomodasi Mata Mahasiswa Pengguna Komputer Di Universitas Muhamadiyah Surakarta. Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi, 2: 153-163. Naderifar, Akbarizadeh, & Bayat. (2008). The impact of lecturing and video playing methods (lecturing and video playing) on the knowledge of third grade male students about prevention of accidents and injuries in Zahedan. Journal of Jahrom University of Medical Sciences, 9. (4): 41-47. Roberts A. (2012). Beyond the Lecture: Interactive Strategies in the Health Profession Education Curriculum. Journal of Career and Technical Education, 27 (1): 48-55. Rosenfield. (2011). Computer Vision Syndrome: A Review of Ocular Causes and Potential Treatments. OPO The Journal of The Collage of Ophthometrists, 31: 502515. Sharma A.K., Khera S. & Khandekar J. (2006). Computer Related Health Problems among Information Technology Proffesionals in Dehli. Indian Journal of Community Medicine, 31 (1): 36-38. Shrestha G. S., Mohamed F.N. & Shah D.N. (2011). Visual Problems among Video Display Terminal (VDT) Users in Nepal. Journal Optom, 4 (2): 56-62. Sulastri, Thaha R.M. & Russeng S.S. (2012). Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Menggunakan Video dalam Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) terhadap Perubahan Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri di SMAN 9 Balikpapan Tahun 2012 (Tesis). Makassar: Universitas Hasanuddin. Talwar R., Kapoor R., Puri K., Bansal K. & Singh, S. (2009). A Study of Visual and Musculoskeletal Health Disorders among Computer Proffesionals in NCR Delhi. Indian Journal Community Med, 34(4): 326328. Toama Z., Mohamed A.A., & Hussein N.K.A. (2012). Impact of a Guideline Application on the Prevention of Occupational Overuse Syndrome for Computer Users. Journal of American Science, 8 (2): 265282 Wibawa C. (2007). Perbedaan Efektifitas Metode Demonstrasi dengan Pemutaran Video Tentang Pemberantasan DBD Terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Anak SD di Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, 2: 115-129. Zhang D., Zhou L., Briggs R.O. & Nunamaker J.F. (2006). Instructional video in e-learning: Assessing the Impact of Interactive Video on Learning Effectiveness. Elsevier. Information & Management, 43: 1527.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

228

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

DETERMINAN KEJADIAN KELAHIRAN BAYI PREMATUR DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROF. DR. H. ALOEI SABOE KOTA GORONTALO Mira Astri Koniyo, Buraerah H. Abd. Hakim, A. Arsunan Arsin, Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Gorontalo, Bagian Kesehatan Reproduksi Dan Keluarga Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar ABSTRACT The premature babies born are indicative of the occurrence of impaired growth and development of the baby during pregnancy, which is motivated by a variety of factors, for example the deficiency nutrient and stress of pregnancy is an important risk factor that impacts directly and indirectly to producedcathecol amines (adrenaline and noradrenaline) that trigger uterine contractions which could potentially lead to premature birth.This study aimed to determine the risk of the local cultural values, utilization of antenatal care services (ANC), a history of infectious diseases, maternal nutritional status, cigarette smoke exposure on preterm birth in the General Hospital Prof. DR. H. Aloei Saboe Gorontalo City, Gorontalo Province. The study design was a "Case Control Study", the unit of observation is the case of the mothers who gave birth to infants aged less than 37 weeks, by the number of 93 mothers, taken as purposive, and control was the mothers gave birth to a full term by the number of 93 mothers, were taken by simple random sample. Data analysis was performed using univariate, bivariate, and multivariate with logistic regression. The results found variable (local cultural values, OR = 2.3; Utilization of ANC OR = 2.8, OR = 5.6 history of infection, nutritional status of pregnant women OR = 4.4; cigarette smoke exposure OR = 3.9, with a significance value of each p <0.05) higher risk of premature birth. Conclusion: All variables as determinants, 3 variables (history of infection, maternal nutritional status, exposure to cigarette smoke) gives risk to preterm delivery and a history of infectious diseases is a major determinant premature birth. Keywords: Premature birth; culture in nutritional status; utilization of ANC; history of infection, exposure to cigarette smoke. PENDAHULUAN Kelahiran prematur adalah bentuk kelahiran abnormal yang ditandai dengan umur kehamilan antara 20 minggu sampai dengan kurang dari 37 minggu atau 259 hari dari hari pertama haid terakhir. Kelahiran prematur ini merupakan indikasi terhadap rendahnya kualitas pelayanan rumah sakit. Menurut ( CDC, 2007) memberi kontribusi 5 15 % terhadap angka kematian bayi. Target Millennium Development Goals (MDGs) ke 4 adalah menurunkan angka kematian bayi menjadi 2/3 dalam kurun waktu 1990-2015 menjadi 23% per 1000 kelahiran hidup, (SDKI, 2007 dalam Profil Data Kesehatan Indonesia, 2011). Kelahiran prematur berawal dari terjadinya gangguan pada masa kehamilan utamanya pada system sirkulasi foeto maternal yang memberi dampak terjadinya defisiensi bahan nutrient. Selanjutnya stress yang berkepanjangan yang dialami ibu selama masa kehamilan sebagai pemicu dan memperberat mekanisme nutrisi dari ibu ke bayi serta mempengaruhi plasenta dan kontraksi rahim sehingga terjadi kelahiran prematur. Tujuan penting dari kehamilan ibu adalah menjalani proses kehamilan dengan baik tanpa masalah kesehatan yang akan mempengaruhi status kesehatan ibu serta pertumbuhan dan perkembangan janin secara maksimal. Apabila ibu mengalami kelahiran prematur maka bayi mempunyai kesulitan untuk beradaptasi dengan kehidupan diluar rahim sebagai akibat ketidakmatangan sistem organ tubuhnya. Masalah lain adalah perkembangan neurologi yang terganggu seperti gangguan intelektual, retardasi mental, kelainan perilaku dan hiperaktif. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang ditemukan (Chiara, N dalam Wardayati 2012), Bayi prematur dengan usia kehamilan < dari 32 minggu berisiko tiga kali menderita masalah kejiwaan ketika semakin besar. Bayi prematur 2 kali berpotensi mengalami skizofrebua dan bentuk psikosis, risiko depresi berat dan gangguan makan 2,9 sampai 3,5 kali lebih tinggi. Peningkatan risiko gangguan mental pada anak yang lahir prematur disebabkan oleh perubahan dalam perkembangan otak. Akibat dari hal tersebut selanjutnya memberikan kontribusi terhadap kejadian kematian bayi. Stress yang berkepanjangan pada ibu selama masa kehamilannya juga akan menimbulkan kematian ibu. Pada tingkat dunia rata-rata tingkat kelahiran prematur di 65 negara meningkat dari 7,5 % dengan jumlah kelahiran prematur sebesar 2 juta kasus menjadi 8,6 persen dengan total 2,2 juta kasus kelahiran prematur. Dinegara sedang berkembang angka kejadian kelahiran premature masih jauh lebih tinggi, di india 30%, Afrika Selatan 15%, Sudan 31% dan Malaysia 10%. Di Indonesia tercatat pada tahun 2009 memiliki angka kelahiran prematur berkisar antara 10 - 20 % dan termasuk dalam peringkat kelima negara terbesar dari kelahiran prematur, juga merupakan penyebab utama kematian dibidang perinatologi. (Wijayanegara, 2009). Berdasarkan data persalinan prematur di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Gorontalo, dari bulan Januari sampai dengan Desember 2012 tercatat sebanyak 93 kasus prematur dari 1210 persalinan normal

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

229

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

atau sekitar 13 % (Medical Record RSUD Prof. DR. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo, 2012). Hal ini diperkirakan akan terus meningkat pada masa yang akan datang dan akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Penyebab kejadian kelahiran prematur disebabkan oleh faktor ibu adalah gangguan autoimun dan infeksi yang meningkatkan risiko persalinan prematur. Hasil penelitian oleh Luong, (2010) bahwa kelahiran prematur terjadi pada 4,1% vaginal douching secara signifikan terkait dengan bakteri vaginosis beresiko pada usia kehamilan 32-34 minggu. Faktor sosial ekonomi terkait dengan nutrisi ibu selama kehamilan dari hasil penelitian bahwa cukup pasokan nutrisi adalah faktor lingkungan yang paling penting yang mempengaruhi hasil kehamilan. Kekurangan gizi pada ibu dapat berkontribusi pada peningkatan insidensi kelahiran prematur dan pertumbuhan retardasi janin serta peningkatan resiko kematian ibu dan morbiditas. Faktor gaya hidup yaitu, ibu hamil perokok memiliki peluang mengalami kelahiran prematur lebih besar. Penelitian yang pernah dilakukan oleh (Amiruddin. R, 2006), menunjukkan ibu-ibu yang terpapar rokok baik itu ibu sendiri yang merokok maupun terpapar orang lain selama hamil memiliki kemungkinan 2,313 kali lebih besar mengalami persalinan prematur dibandingkan dengan ibu yang pada saat hamil tidak terpapar rokok. Ibu hamil yang terpapar rokok berpeluang melahirkan bayi premature 43,6 %. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa angka kejadian kelahiran prematur masih tinggi, serta pentingnya mengetahui penyebab lain yang memungkinkan risiko terjadinya kelahiran prematur, sehingga peneliti tertarik melakukan penelitian untuk melihat besar risiko nilai budaya lokal, pemanfaatan pelayanan ANC, riwayat infeksi, status gizi, dan keterpaparan asap rokok terhadap kelahiran prematur di Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo. BAHAN DAN METODE Rancangan dan Lokasi Penelitian Jenis penelitian menggunakan desain case control study. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo. Lokasi penelitian tersebut adalah satu-satunya Rumah Sakit rujukan di wilayah Provinsi Gorontalo dan secara geografis sangat strategis karena terletak di tengah kota yang menghubungkan kota Gorontalo dan kabupaten lain sehingga dapat dijangkau oleh semua jenis kendaraan darat. Populasi dan sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang melahirkan di Rumah Sakit Umum Daerah Prof. DR. H. Aloei Saboe Kota Gorontao, Provinsi Gorontalo. Sampel sebanyak 186 yang terdiri dari : kelompok kasus 93 ibu melahirkan prematur, yang diambil secara purposive dan kelompok kontrol 93 ibu yang melahirkan normal, diambil secara simple random sampling Analisis Data. Data karakteristik, variabel dependen dan variabel independen diolah dengan menggunakan SPSS For Windows 18. Untuk mengetahui faktor risiko kejadian kelahiran bayi prematur di Rumah Sakit Umum Daerah Prof. DR. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo digunakan uji univariat, bivariat dan multivariat. HASIL Hasil penelitian menemukan jumlah total responden 186 ibu yang melahirkan bayi prematur yang terdiri dari : 93 ibu yang melahirkan bayi prematur sebagai kelompok kasus dan 93 ibu yang melahirkan bayi normal sebagai kelompok kontrol. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Distribusi Ibu Melahirkan Berdasarkan Kejadian Kelahiran Prematur di RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo Provinsi Gorontalo tahun 2012 Variabel Kasus Kontrol Jumlah Data Primer Hasil penelitian menemukan kelompok umur terendah umur < - 19 tahun dan 20-24 tahun masingmasing 7,5% sedangkan umur tertinggi antara 25 29 tahun 31,2%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2. Hasil penelitian menemukan jenis pekerjaan Ibu sebagai URT yang terbesar 47,8 %, sedangkan yang paling sedikit Buruh/karyawan 9,1%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2. Hasil penelitian menemukan pendidikan tertinggi SMA 45,7 %. Sedangkan pendidikan terendah SD 1,6 %. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2. n 93 93 186 % 50,0 50,0 100

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

230

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tabel 2 Distribusi karakteristik umum ibu melahirkan di RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Variabel Kelompok Umur < - 19 20 24 25 29 30 34 35 39 40 - > Jumlah Jenis Pekerjaan URT PNS/POLRI Wiraswasta Karyawan Jumlah Tingkat Pendidikan SD SLTP SLTA D III Perguruan Tinggi Jumlah Data Primer Jumlah n 14 14 58 41 34 25 186 89 60 20 17 186 3 28 85 59 11 186 Persen % 7,5 7,5 31,2 22,0 18,3 13,4 100,0 47,8 32,3 10,8 9,1 100,0 1,6 15,1 45,7 31,7 5,9 100,0

Hasil penelitian menemukan nilai budaya lokal memberi risiko 2,3 kali secara signifikan ( p < 0,05) terhadap kelahiran prematur. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3. Hasil penelitian menemukan pemanfaatan ANC memberi risiko 2,8 kali secara signifikan ( p < 0,05 ) terhadap kelahiran prematur. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3. Hasil penelitian menemukan riwayat infeksi selama kehamilan memberi risiko 5,6 kali secara signifikan ( p < 0,05 ) terhadap kelahiran prematur. Lebih jelasnya pada tabel 3. Hasil penelitian menemukan status gizi ibu memberi risiko 4,4 kali secara signifikan ( p < 0,05 ) terhadap kelahiran prematur. Lebih jelasnya pada tabel 3. Hasil penelitian menemukan keterpaparan asap rokok memberi risiko 3,9 kali secara signifikan ( p < 0,05 ) terhadap kelahiran prematur. Lebih jelasnya pada tabel 3. Tabel 3 Hasil Analisis Multivariat Determinan Terhadap Kelahiran Bayi Prematur di RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Variabel Nilai budaya local Pemanfaatan pelayanan ANC Riwayat penyakit infeksi Status gizi ibu hamil Keterpaparan asap rokok Data Primer P 0,020 0,008 0,003 0,000 0,002 OR 2,3 2,8 5,6 4,4 3,9 95% C.I 1,143-4,689 1,301-5,815 1,818-17,422 2,038,9,646 1,632-9,279

PEMBAHASAN Penelitian ini terfokus pada penilaian faktor risiko yaitu nilai budaya lokal, pemanfaatan ANC, riwayat infeksi, status gizi ibu hamil dan keterpaparan asap rokok terhadap kejadian kelahiran prematur. Secara teoritis bahwa semua variabel memberi risiko terhadap kejadian kelahiran bayi prematur, dan setelah dilakukan analisis semua variabel terbukti memberikan risiko secara signifikan terhadap kelahiran prematur. Hal ini menunjukkan bahwa semua variabel merupakan variabel mandiri yang memiliki pengaruh yang kuat dan semua variabel saling mempengaruhi terhadap kejadian kelahiran prematur. Risiko nilai budaya lokal dengan kelahiran prematur. Hasil penelitian menemukan ibu yang menganut nilai budaya lokal memberi risiko 2,3 kali secara signifikan terhadap kelahiran prematur dibandingkan dengan yang tidak menganut nilai budaya lokal. Budaya lokal yang dianut dalam penelitian ini yaitu kepercayaan masyarakat Gorontalo bahwa ibu hamil yang mengkonsumsi buah nenas akan terjadi kelahiran pada kehamilan belum cukup bulan, karena hal itu maka tidak lazim bagi ibu hamil untuk mengkonsumsi buah nenas. Menurut (Evans et. Al, 2009), nenas mengandung enzim bromealin yang menstimulasi pengaruh pengeluaran prostaglandin yang menyebabkan stimulasi kontraksi uterus. Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013 231

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan (Katno, dkk, 2009), yang menyatakan bahwa konsumsi buah nenas yang terlalu banyak bertanggung jawab terhadap kelahiran preterm, dikarenakan kandungan enzim bromealin dapat merangsang terjadinya kontraksi secara dini. Menurut (Evans et. al, 2009), nenas mengandung enzim bromealin yang menstimulasi pengaruh pengeluaran prostaglandin yang menyebabkan stimulasi kontraksi uterus. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Puspitasari, Y, 2010), yang menyatakan konsumsi nenas merupakan faktor risiko kontraksi uterus ibu bersalin dengan nilai 5,5 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak mengkonsumsi. Hasil uji laboratorium tentang pengaruh pemberian ekstrak buah nenas terhadap aktivitas kontraksi uterus hewan coba seperti marmot yang dianggap mendekati sel tubuh manusia, juga memperlihatkan hasil yang signifikan, penelitian yang dilakukan oleh (Muzzamman, 2009) dikatakan bahwa semakin meningkat jumlah pemberian ekstrak buah nenas maka akan semakin meningkat aktivitas otot uterus hewan coba. Pemahaman tentang nilai budaya tersebut cukup berperan dalam menentukan seorang ibu mengenai berbagai tata cara pemeliharaan kehamilan, serta larangan-larangan tertentu khususnya yang bersangkut paut dengan masalah makanan serta adat istiadat lainnya yang cenderung merugikan kesehatan ibu, yang dianggap mempengaruhi kelahiran prematur. Risiko pemanfaatan ANC terhadap kelahiran prematur. Hasil penelitian menemukan ibu yang tidak memanfatkan ANC memberi risiko 2,8 kali secara signifikan terhadap kelahiran prematur dibandingkan dengan yang memanfaatkan pelayanan ANC. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang tidak memanfaatkan pelayanan ANC tidak dapat mendeteksi secara dini masalah kesehatan yang terjadi selama kehamilan, tidak mengetahui perkembangan janin dalam kandungan, serta tidak mendapatkan infomasi penting yang berhubungan dengan kehamilannya terutama upaya pencegahan stress ibu, yang akan berdampak terhadap kelahiran prematur. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Suezanne T. ORR, et.al, 2007), menemukan adanya risiko yang signifikan kecemasan ibu hamil dengan skor 5-6 terhadap kelahiran prematur dibandingkan dengan skor 3. Menurut syaifudin (2001), mengklasifikasikan ibu hamil dalam status risiko ringan, sedang dan berat tidak bisa dijadikan patokan lagi, karena semua ibu hamil beresiko tinggi, walaupun dalam kehamilan berjalan normal, namun dalam persalinan bisa terjadi komplikasi tanpa diprediksi sebelumnya, oleh karena itu setiap ibu hamil harus memeriksa diri secara teratur dan mendapatkan pelayanan ANC yang optimal. Penelitian lain yang mendukung dilakukan oleh (Kramer. MS, et.al, 2012), menemukan bahwa gizi ibu yang buruk berhubungan dengan gangguan pertumbuhan janin. Ibu dan janin dengan gizi kurang dapat mengalami stress dan berakhir dengan persalinan prematur. Risiko riwayat infeksi terhadap kelahiran prematur. Hasil penelitian menemukan ibu yang mempunyai riwayat infeksi memberi risiko 5,6 kali secara signifikan terhadap kelahiran prematur dibandingkan dengan yang tidak mengalami riwayat infeksi. Hal ini menunjukkan bahwa keterpaparan infeksi pada masa kehamilan akan berdampak fatal selain bagi ibu juga bagi janin yang dikandungnya, akibat dari berbagai mikroorganisme yang masuk ketubuh ibu akan masuk melalui pembuluh darah ke plasenta yang akan di teruskan kepada janin. Janin yang terinfeksi menimbulkan gangguan pertumbuhan yang menyebabkan kelahiran prematur. Berdasarkan teori penyakit infeksi ( Bakterial vaginosis, Trikomoniasis, TBC, Malaria) merupakan penyakit yang dapat menembus barier plasenta dan mengakibatkan gangguan sirkulasi foetomaternal sebagai akibatnya terjadinya gangguan suplai nutrisi pada janin yang berakibat terjadinya defisiensi nutrient dengan akibat lanjut terjadinya kelahiran prematur. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian bahwa wanita dengan bakteriuria tanpa gejala mempunyai risiko persalinan prematur lebih tinggi daripada wanita tanpa bakteriuria. Hasil penelitian yang ditemukan oleh (G.G.G Donders et.al, 2009) bahwa ibu hamil dengan Candida Trachomatis lebih besar kemungkinan terjadinya kelahiran prematur (27%) meskipun hubungannya tidak terlalu jelas dengan RR=2,0, CI 95 % sedangkan Nicesseria Gonorhoe jelas hubungannya dengan kelahiran prematur yakni RR=6,0. CI 95% (<0,05). Risiko status gizi ibu terhadap kelahiran prematur. Hasil penelitian menemukan ibu dengan status gizi kurang memberi risiko 4,4 kali secara signifikan terhadap kelahiran prematur dibandingkan dengan status gizi baik. Zat gizi merupakan zat yang terkandung dalam makanan yang diperlukan tubuh untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal bagi organ-organ tubuh. Kehamilan menyebabkan meningkatnya metabolisme energi dan zat gizi, peningkatan ini diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, besarnya perubahan metabolisme tubuh pada ibu akibat dari fisiologis proses kehamilan sehingga kekurangan zat gizi yangdiperlukan pada saat hamil dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin. Hal ini sejalan dengan Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Theresa O Scholl et.al, 2012) bahwa ibu dengan anemia memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kelahiran prematur p = 0.02. Teori yang mendukung menurut (Rosso dalam Amiruddin , 2006), menjelaskan bahwa malnutrisi pada ibu ditemukan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan fungsi plasenta, ukuran plasenta yang kecil dan kandungan DNA yang tereduksi. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran plasenta kecil maka transfer zat gizi untuk janin rendah akibatnya pertumbuhan janin terhambat sehingga mengakibatkan kelahiran prematur dan berat badan lahir rendah. Risiko keterpaparan asap rokok terhadap kelahiran prematur. Hasil penelitian menemukan bahwa keterpaparan asap rokok memberi risiko 3,9 kali secara signifikan terhadap kelahiran prematur dibandingkan dengan yang tidak terpapar asap rokok. Hal ini menunjukkan bahwa rokok merupakan zat

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

232

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

yang berbahaya bagi kesehatan khususnya ibu hamil yang akan berdampak baik bagi ibu maupun janin. Hasil penelitian yang mendukung yaitu menurut (Amiruddin R, 2006) bahwa ibu hamil yang terpapar asap rokok 2,334 kali lebih besar melahirkan bayi prematur. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dapat diasumsikan bahwa ibu hamil yang terpapar asap rokok baik secara aktif maupun pasif dapat menyebabkan bayi terlahir dengan berat badan kurang. Racun nikotin yang terkandung dalam rokok dapat menghambat proses aliran darah dari ibu kepada janin, akibatnya perkembangan bayi menjadi terlambat. Kondisi ini berjalan terus hingga memasuki masa persalinan, dan menyebabkan bayi lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram. Selain itu, bayi juga dapat lahir prematur atau lahir dalam usia yang belum matang. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan mengacu pada rumusan masalah dan hipotesis peneltian, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu besar risiko kejadian kelahiran bayi prematur pada ibu yang menganut budaya lokal sebesar 2,3 kali disbanding dengan ibu yang tidak menganut budaya lokal, besar risiko kejadian kelahiran prematur pada ibu yang tidak memanfaatkan pelayanan ante natal care (ANC) 2,8 kali dibanding dengan ibu yang memanfaatkan pelayanan ANC, besar risiko kejadian kelahiran bayi prematur pada ibu yang mengalami riwayat infeksi 5,6 kali dibanding dengan ibu yang tidak mengalami riwayat infeksi, besar risiko kejadian kelahiran bayi prematur pada ibu yang status gizi kurang 4,4 kali dibanding dengan ibu yang status gizi baik, besar risiko kejadian kelahiran bayi prematur pada ibu yang terpapar asap rokok 3,9 kali dibanding dengan ibu yang tidak terpapar asap rokok. Pentingnya memperhatikan asupan makanan yang bergizi untuk pemeliharaan kesehatan bagi ibu dan perkembangan janin sesuai kebutuhan dan tidak mengkonsumsi nenas secara berlebihan, perlu dilakukan sosialisasi tentang pentingnya pemanfaatan pelayanan ante natal care untuk mengetahui lebih dini masalah kesehatan pada masa kehamilan baik bagi ibu maupun janin khususnya adanya gejala infeksi, perlu adanya penyuluhan secara intensif tentang bahaya rokok. DAFTAR PUSTAKA Amiruddin, Ridwan, (2006), Risiko Asap Rokok dan Obat-obatan Terhadap Kelahiran Prematur di RS. ST. Fatimah Makassar, Jurnal Medika Nusantara Jurusan Epidemiologi, Fakultas Kesmas, Universitas Hasanudin Centers for Disease Control and Prevention (CDC), (2007), Briths: Final data for 2005, http://www.cdc.gov/nchs/data/nvsr 56/nvsr 56_06.pdf ( acces 13 march,2008 ) Donders. GGG, et .al, (2012), The Association of Gonorrhea and Syphilis with premature birth and low birthweight, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubbmed diakses Sept 2012 Evans, et al. (2009). Postdates Pregnancy and Complementary Nursing. Journal BMC and Pregnancy and Childbirth. Diakses dari http://www.biomedcentral.com/137223543/4/29 diunduh pada 15 Desember 2012 Katno & Pramono, (2009). Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Jurnal Farmakologi Indonesia. Diakses dari http://cintaialam.tripod.com/keamanan_obat%20tradisional.pdf diunduh pada 21 Desember 2012 Kramer MS, (2012), Determinants of low birth wight : Methodological assessment and metaanalysis. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3322602 Bull World Health Organ 1987;65:663-737 diunduh 18November 2012. Me Linh loung, et al,( 2010), Vaginal Douching, Bacterial Vaginosis and Spontaneus preterm birth, University Montreal, oc http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubbmed. diakses Sept 2012 Muzzamman, (2009), Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Nanas terhadap Kontraksi Uterus Marmut Betina. Jurnal Farmakologi Indonesia.Edisi 3. Di Akses dari http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_158_Kebidanan.pdf diunduh 21 Desember 2012 Profil Kesehatan Indonesia, (2011), diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia RSUD.Prof.Dr. H. Aloei Saboe, (2012), Profil Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe Scholl. O. Theresa, et. al, (2012), Anemia vs Iron Deficiency: Increased risk of preterm delivery in a prospective study, The Journal of Clinical Nutrition , http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubbmed. Diunduh 21 Desember 2012 Suezanne. T. ORR, et. al, (2007), Maternal Prenatal Pregnancy-Related Anxiety and Spontaneous Pretarm Birth In Baltimore, Maryland. Psychosomatic Medicine 69.566-570, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubbmed. Diunduh 21 Desember 2012 Syaifuddin, (2011), Pelayanan Kesehatan Maternal Neonatal, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta Wardayati. K, (2012), Lahir Prematur Mental Terganggu, http://www.intisari-online.com/read/lahirprematur-mental-terganggu Wijayanegara, Hidayat., (2009), Prematuritas, cetakan pertama, Bandung, PT. Refika Yanti. P, (2010), Pengaruh Konsumsi Buah Nenas Oleh Ibu Hamil Terhadap Kontraksi Uterus Ibu Bersalin Di Kota Padang Sumatera Barat, http://nsyantiblog.blogspot.com/2010/10/penelitian-nanas.html, Diunduh 13 Januari 2013

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

233

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

FAKTOR DETERMINAN KEGAGALAN PEMBERIAN ASI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LIMBOTO BARAT KABUPATEN GORONTALO Mohammad Ardiansyah, H. M. Tahir Abdullah, A. Arsunan Arsin Bidang pelayanan kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo Utara, BagianBiostatistik/KKB Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat FKM Universitas Hasanuddin, Makassar ABSTRACT Failure to give breastfeeding konsokuensi directly or indirectly to the growth and development of infants, which could potentially cause nutrient deficiency materials during the first 6 months of baby's life and in the event of long-term impacts such as impaired growth and development of brain cells that lead to decreased IQ points and these conditions pose a threat to the quality of human resources in the future. This study aims to determine the influence of the determinant factors (failure based on knowledge of breastfeeding mother, maternal employment status, breastfeeding counseling, husband support, cultural values, promotion of infant formula, and the baby's ability to suckle) in West Limboto Public Health Center Gorontalo Regency Gorontalo Province. The study design was a cross sectional study, the observation unit nursing mothers with infants aged 0-12 months, purposively drawn from the study population of 250 respondents. Dlakukan data analysis in univariate, bivariate, and survival analysis by the method of one minus the survival function. The results showed a variable determinant of 7, 4 variables: maternal employment status (p = 0.041), husband's support (p = 0.001), cultural values (p = 0.000) and the baby's ability to suckle (p = 0.025) were significantly associated with p <0.05 on breastfeeding failure. The Conclusions is this study found maternal employment status, support the husband, and the baby's ability to suckle is variable determinant of breastfeeding failure, the value of culture as the main determinant. Keywords: breastfeeding failure; maternal employment status; husbands support; the babys ability to suckle; cultural values. PENDAHULUAN Dalam pembangunan bangsa, peningkatan kualitas manusia harus dimulai sedini mungkin yaitu sejak masih bayi. Salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas manusia adalah pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif. Pemberian ASI berarti memberikan zat-zat gizi yang bernilai gizi tinggi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan syaraf dan otak, memberikan zat-zat kekebalan terhadap beberapa penyakit dan mewujudkan ikatan emosional antara ibu dan bayinya (Depkes, 2005). Pemberian ASI Ekslusif atau menyusui ekslusif adalah hanya menyusui bayi dan tidak memberi bayi makanan atau minuman lain, termasuk air putih, kecuali obat-obatan dan vitamin atau mineral tetes; ASI perah juga diperbolehkan, yang dilakukan sampai bayi berumur 6 bulan (Depkes, 2005). Untuk mendukung pemberian ASI eksklusif di Indonesia, pemerintah membuat Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 yang didalamnya terdapat beberapa pasal yang mengatur khusus tentang pemberian ASI eksklusif. Pada pasal 128 ayat 1 disebutkan bahwa Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis. Dalam penjelasan Undang-undang Kesehatan tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pemberian air susu ibu eksklusif adalah pemberian hanya air susu ibu selama 6 bulan, dan dapat terus dilanjutkan sampai dengan 2 (dua) tahun dengan memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sebagai tambahan makanan sesuai dengan kebutuhan bayi. Indikasi medis dalam ketentuan ini adalah kondisi kesehatan ibu yang tidak memungkinkan memberikan air susu ibu berdasarkan indikasi medis yang ditetapkan oleh tenaga medis. Dalam pelaksanaannya kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 33 tahun 2012 yang menyebutkan bahwa ASI eksklusif diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain. Pengaturan pemberian ASI eksklusif ini dimaksudkan untuk menjamin pemenuhan hak bayi mendapatkan ASI eksklusif sejak dilahirkan sampai dengan berusia 6 (enam) bulan dengan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya, memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, dan meningkatkan peran dan dukungan Keluarga, masyarakat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah terhadap pemberian ASI eksklusif. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui program perbaikan gizi masyarakat telah menargetkan cakupan ASI eksklusif 6 bulan sebesar 80%. Namun demikian, angka ini sangat sulit untuk dicapai, bahkan tren pravelensi ASI eksklusif dari tahun ke tahun terus menurun. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 bahwa tingkat pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih sangat rendah yaitu 15,3% yang berarti menunjukkan tingkat kegagalan pemberian ASI eksklusif di Indonesia mencapai 84,7%. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat ASI eksklusif sangat penting bagi tumbuh kembang bayi. Penelitian yang dilakukan oleh Avianti, (2006), menyebutkan bahwa pemberian ASI eksklusif secara klinis

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

234

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

berpengaruh terhadap pertumbuhan anak, yang dapat dilihat dari kejadian anak tinggi badan pendek meningkat 98% pada anak-anak yang tidak mendapat ASI eksklusif. Bahkan kegagalan pemberian ASI eksklusif berpotensi menimbulkan defisiensi bahan nutrien selama 6 bulan pertama kehidupan bayi. Apabila terjadi dalam waktu lama memberikan dampak berupa gangguan pertumbuhan dan perkembangan sel-sel otak yang berujung pada menurunnya IQ point dan kondisi ini memberi ancaman terhadap kualitas sumber daya manusia dimasa yang akan datang. Grantham, et al., (2009), setiap kelahiran BBLR yang merupakan manifestasi dari defisiensi nutrien menurunkan IQ point sebesar 5 point, dan apabila berlangsung lebih lama diperkirakan akan mengalami penurunan lebih drastis. Selain itu pemberian ASI ekslusif dapat bermanfaat mengurangi kejadian infeksi saluran pernapasan. Fauzi, (2008), dalam tesisnya menyebutkan bahwa kejadian infeksi saluran pernapasan lebih besar pada anak yang tidak mendapat ASI eksklusif. Hal yang sama diungkapkan oleh Adhania, (2008) bahwa durasi pemberian ASI usia 0-3 bulan pada ibu bekerja berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan pada anak usia 0-2 tahun. Pemberian ASI eksklusif juga bermanfaat untuk mengurangi kejadian diare bagi bayi, sebagaimana dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti, (2010) di Puskesmas Gilingan Kecamatan Banjarsari Surakarta menyebutkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare pada bayi umur 0-6 bulan. Beberapa hasil riset menunjukkan bahwa kurangnya atau tidak diberikannya ASI pada bayi dapat memberikan dampak buruk, baik dampak fisiologis, psikologis sampai kondisi terburuk pada bayi yaitu kematian pada bayi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Edmon, dkk., (2006) menunjukkan bahwa 16% kematian bayi baru lahir seharusnya dapat diselamatkan dengan pemberian ASI pada hari pertama dan meningkat 22% jika menyusui dimulai pada 1 jam pertama setelah melahirkan. Di Kabupaten Gorontalo, kegagalan pemberian ASI eksklusif berdasarkan profil kesehatan Provinsi Gorontalo tahun 2010 adalah 83,03%. Bahkan mengalami peninggian kegagalan di tahun 2011 menjadi 86,0% berdasarkan rekapan data Dinas Kesehatan kabupaten Gorontalo tahun 2011. Dari data tersebut menunjukkan angka kegagalan pemberian ASI eksklusif masih tinggi di Kabupaten Gorontalo, sehingga peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui faktor determinan kegagalan pemberian ASI berdasarkan pengetahuan ibu, status pekerjaan ibu, konseling ASI, dukungan suami, nilai budaya, promosi susu formula, dan kemampuan bayi menyusu di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat Kecamatan Limboto Barat Kabupaten Gorontalo. BAHAN DAN METODE Rancangan dan Lokasi Penelitian Jenis penelitian menggunakan desain crossectional study. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Limboto Barat Kecamatan Limboto Barat Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo. Populasi dan sampel Populasi dalam penelitian ini adalah ibu menyusui yang memiliki bayi berumur 0 - 12 bulan sebanyak 250 responden, yang diambil dengan menggunakan teknik Purposive Sampling yaitu sampel diambil dari ibu menyusui yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data diperoleh dengan cara melakukan wawancara langsung terhadap responden dengan berpedoman pada kuesioner yang telah tersedia yang memuat pertanyaan-pertanyaan maupun pernyataan-pernyataan yang digunakan untuk menggali informasi mengenai variabel-variabel yang akan dianalisis pada penelitian ini yang erat kaitannya dengan kejadian kegagalan pemberian ASI. Adapun langkah-langkah yang dilakukan selama pengumpulan data primer adalah melakukan wawancara langsung dengan responden dengan berpedoman pada kuesioner yang telah tersedia baik responden di rumah masingmasing. Analisa Data Data karakteristik, variabel dependen dan variabel independen diolah dengan menggunakan SPSS For Windows 18. Untuk mengetahui faktor determinan kegagalan pemberian ASI di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat Kecamatan Limboto Barat Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo digunakan uji bivariat. HASIL Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah responden yang terlibat pada penelitian ini adalah 250 ibu menyusui, dengan menilai beberapa karakteristik umum atau data umum ibu menyusui yang dianggap memberi konstribusi terhadap kegagalan pemberian ASI. Berdasarkan kelompok umur ibu menyusui, kelompok umur 25- 29 tahun adalah kelompok umur dengan frekuensi terbesar yakni 34,0%. Kelompok umur kurang dari 19 tahun adalah kempok umur dengan persentase sedikit yakni 3,6%. Mayoritas berpendidikan tamat sekolah dasar sampai dengan Perguruan tinggi, Sedangkan yang tidak sekolah hanya 3,6%. Mayoritas ibu menyusui adalah tidak bekerja yakni 78,0%, dan yang paling sedikit adalah wiraswasta yakni 5,2%. Berdasarkan suku bangsa dari ibu menyusui yang mendiami wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat adalah mayoritas suku Gorontalo sebesar 66,0%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

235

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tabel 1 Distribusi karakteristik umum ibu menyusui di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat Kabupaten Gorontalo Tahun 2012 Variabel Kelompok Umur < - 19 20 24 25 29 30 34 35 - > Jenis Pekerjaan PNS/Peg.Swasta Wiraswasta Tidak Bekerja Lainnya Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA Perguruan Tinggi Suku Bangsa Gorontalo Jawa Tondano Data Primer Jumlah n 9 72 85 53 31 17 13 195 25 9 98 25 88 30 165 85 Persen % 3,6 28,8 34,0 21,2 12,4 6,8 5,2 78,0 10,0 3,6 39,2 10,0 35,2 12,0 66,0 34,0

Hasil penelitian yang berdasarkan pola lamanya pemberian ASI diperoleh data bahwa bayi yang mengalami kegagalan dalam pemberian ASI pada bulan pertama sebanyak 114 orang dengan proporsi 46%. Sementara bayi yang bertahan mendapatkan ASI pada bulan pertama adalah 54%. Proporsi bayi yang mendapatkan ASI sampai umur 4 bulan meningkat kegagalannya menjadi 56%. Sedangkan setengah dari bayi mengalami kegagalan pemberian ASI pada bulan ketiga dengan proporsi sebesar 9%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Pola lamanya pemberian ASI di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat Kabupaten Gorontalo Tahun 2012 Jumlah yang dimasukkan menurut interval 250 250 136 125 114 50 37 Jumlah yang mengalami kegagalan 0 114 11 11 64 13 37 Proporsi yang bertahan hidup pada akhir interval 1,00 0,54 0,50 0,46 0,20 0,15 0,00

Interval Waktu Mulai 0 1 2 3 4 5 6 Data Primer

Proporsi gagal 0,00 0,46 0,08 0,09 0,56 0,26 1,00

Proporsi tidak gagal 1,00 0,54 0,92 0,91 0,44 0,74 0,00

Median

3,00

Berdasarkan hasil analisis multivariat dengan menggunakan metode cox proportional Hazard diperoleh informasi bahwa dari 7 variabel yang dimasukkan secara simultan ternyata hanya 4 variabel yang berhubungan secara signifikan dengan nilai p < 0,05 terhadap kegagalan pemberian ASI yaitu status pekerjaan ibu (p=0.041), dukungan suami (p=0.001), nilai budaya (p=0.000) dan kemampuan bayi menyusu (p=0.025). Variabel yang paling menentukan kegagalan pemberian ASI adalah variabel nilai budaya dengan nilai p= 0,000 dan wald 17,343. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3. PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa status pekerjaan ibu, dukungan suami, nilai budaya dan kemampuan bayi menyusu berpengaruh secara bermakna terhadap kegagalan pemberian ASI. Dan dari ke empat variabel itu terdapat determinan utama yang menentukan kegagalan ASI yakni nilai budaya. Dari hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa proporsi terjadinya kegagalan pemberian ASI terhadap ibu yang

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

236

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

bekerja didalam rumah pada usia bayi 4 bulan adalah 51%. Sedangkan proporsi terjadinya kegagalan pemberian ASI terhadap ibu yang bekerja diluar rumah pada usia bayi 4 bulan adalah 69%. Hasil uji statistik ditemukan adanya pengaruh yang signifikan antara status pekerjaan ibu terhadap kegagalan pemberian ASI (p=0,041). Selanjutnya dari hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa ibu yang mendapatkan dukungan suami mengalami peluang kegagalan pemberian ASI terjadi pada usia bayi 4 bulan dengan proporsi 51%, sedangkan pada ibu yang tidak mendapatkan dukungan suami adalah 88%. Sementara pada usia bayi 5 bulan peluang kegagalan pemberian ASI pada ibu yang mendapatkan dukungan suami sebesar 23%, sedangkan pada ibu yang tidak mendapatkan dukungan suami adalah 100% bahkan tidak mencapai usia bayi 6 bulan. Hasil uji statistik ditemukan adanya pengaruh yang signifikan antara dukungan suami terhadap kegagalan pemberian ASI (p=0,001). Dalam hal nilai budaya, penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi terjadinya kegagalan pemberian ASI terhadap ibu yang yang menganut nilai budaya yang merugikan pemberian ASI pada usia bayi 1 bulan adalah 72% serta pada usia bayi 4 dan 5 bulan adalah 77% dan 71%. Hasil uji statistik ditemukan adanya pengaruh yang signifikan antara nilai budaya terhadap kegagalan pemberian ASI (p=0,000). Disamping itu hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi terjadinya kegagalan pemberian ASI menurut kemampuan bayi menyusu pada bayi yang tidak mempunyai kemampuan menyusu yang baik adalah 87% pada usia 4 bulan dan 60% pada usia 5 bulan. Hasil uji statistik ditemukan adanya pengaruh yang signifikan antara nilai budaya terhadap kegagalan pemberian ASI (p=0,025). Hasil penelitian diatas sesuai berbagai hasil penelitian sebelumnya seperti penelitian secara studi kualitatif dari Dwi, (2006) di Desa Batusari Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak bahwa penyebab kegagalan pemberian ASI eksklusif adalah motivasi dan sikap ibu, prioritas program ASI eksklusif, penghasilan keluarga, pengaruh orang terdekat, pengaruh tenaga kesehatan, kondisi kesehatan ibu, kondisi bayi, promosi susu formula, dan kebiasaan yang keliru. Selain itu, menurut Afifah, (2007) dalam studi kualitatifnya di Kota Semarang menyimpulkan bahwa kurangnya pengetahuan subjek tentang ASI eksklusif dan adanya ideologi makanan yang non-eksklusif, sehingga tidak muncul motivasi yang kuat dari subjek untuk memberikan ASI eksklusif pada bayinya merupakan faktor pendorong gagalnya pemberian ASI eksklusif. Kurangnya penyuluhan atau pengarahan tentang ASI eksklusif dari Posyandu, Puskesmas, dan fasilitas rawat gabung di rumah sakit yang tidak berjalan sebagaimana mestinya sebagai faktor pemungkin gagalnya pemberian ASI eksklusif. Selanjutnya, sebagai faktor penguat gagalnya pemberian ASI eksklusif adalah anjuran dukun bayi untuk memberikan madu dan susu formula sebagai prelakteal, serta kuatnya pengaruh nenek dalam pengasuhan bayi secara bukan ASI eksklusif. Sedangkan sebagai faktor penghambat pemberian ASI eksklusif adalah keyakinan dan praktek yang keliru tentang makanan bayi, promosi susu formula yang sangat gencar, dan masalah kesehatan ibu dan bayi. Hal yang sama dikemukakan oleh Rizky, (2008) dalam studi kualitatifnya di Desa Kertijayan Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalangon bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kegagalan pemberian ASI eksklusif meliputi kurangnya pengetahuan, tidak adanya motivasi subyek mengenai pemberian ASI eksklusif, tidak adanya penyuluhan dari petugas kesehatan mengenai ASI Eksklusif, tidak adanya fasilitas rawat gabung di rumah sakit, adanya pengaruh ibu dari subyek serta dukun bayi, kebiasaan yang keliru, promosi susu formula melalui petugas kesehatan, masalah kesehatan ibu dan bayi. Secara teoritis diketahui bahwa Ibu yang bekerja di luar rumah akan sangat kesulitan membagi waktu untuk memberikan ASInya kepada bayi yang masih sangat membutuhkan. Dengan bekerja, waktu ibu bersama bayinya menjadi terbatas, sehingga ASI tidak bisa diberikan secara langsung sewaktu-waktu atau sesuai keinginan bayi. Disamping itu produksi ASI ibu bekerja memang akan berkurang, hal ini antara lain karena tanpa disadari ibu mengalami stress akibat berada jauh dari sang buah hati. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ibu yang bekerja diluar rumah lebih berisiko terjadinya kegagalan pemberian ASI eksklusif, diantaranya adalah Hasil penelitian dari Mardeyanti, (2007) di Yokyakarta menyebutkan bahwa proporsi ibu yang tidak patuh memberikan ASI eksklusif pada ibu yang bekerja diluar rumah adalah 60%. Bahkan dari hasil penelitian oleh Puji, (2008) di Kelurahan Tamamaung Kota Makassar mengungkapkan bahwa tingkat kegagalan pemberian ASI eksklusif pada ibu yang bekerja diluar rumah sebesar 100%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Setyowati, (2008) di Desa Tubokarto, Pracimantoro, Wonogiri menunujukkan bahwa ada hubungan signifikan antara status pekerjaan ibu dengan pemberian MPASI dini pada bayi usia 0-6 bulan. Selain itu dari hasil penelitian oleh Badriah, (2008) di Rumah Sakit Kabupaten Kuningan Jawa Barat menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan pola menyusui eksklusif, dimana ibu yang tidak bekerja mempunyai kesempatan lebih besar memberikan ASI eksklusif dibandingkan dengan bekerja. Selanjutnya oleh Oktavia, dkk., (2008) yang melakukan penelitian di Kecamatan Kota Soe Kabupaten Timor Tengah Selatan dimana kelompok ibu yang tidak bekerja lebih lama memberikan ASI eksklusif kepada bayinya dibandingkan kelompok ibu yang bekerja. Begitu pula dalam hal dukungan suami sangatlah dibutuhkan bagi seorang ibu dalam pemberian ASI eksklusif. Suami sudah sepatutnya mendukung praktek pemberian ASI. Suami sebagai kepala keluarga berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman. Adapun bentuk dukungan suami yang dapat diberikan sehubungan dengan pemberian ASI eksklusif adalah dukungan informasi tentang manfaat ASI, dukungan penilaian tentang kebaikan ASI dibandingkan air susu sapi, dukungan

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

237

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

instrumental berupa pertolongan praktis dan kongkrit terhadap pemberian ASI eksklusif, serta dukungan emosional berupa dorongan untuk selalu memberikan ASI eksklusif. Beberapa penelitian sebelumnya yang menjelaskan bahwa dukungan suami berperan dalam menekan tingkat kegagalan pemberian ASI eksklusif, diantaranya seperti hasil penelitian oleh Februhartanty, (2008) di daerah urban Jakarta menyimpulkan bahwa keterlibatan suami dalam mencari informasi mengenai pemberian ASI diketahui sebagai faktor yang paling berpengaruh terhadap praktek inisiasi menyusui dini. Sedangkan keterlibatan suami dalam pembuatan keputusan mengenai cara pemberian makan bayi saat ini serta adanya sikap yang positif terhadap kehidupan rumah tangganya adalah dua faktor yang mempengaruhi praktek pemberian ASI eksklusif. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Rokhanawati, (2009) di Kabupaten Bantul Yogyakarta menunjukkan bahwa dukungan sosial suami mempunyai hubungan yang bermakna dengan perilaku pemberian ASI eksklusif. Begitu pula dari hasil penelitian dari Malau, (2010) di Puskesmas Teladan Medan menemukan bahwa semakin besar dukungan suami maka semakin besar kemauan ibu memberikan ASI eksklusif. Demikian halnya hasil penelitian dari Syahruni, (2012) di Puskesmas Jumpandang Baru Makassar menyebutkan bahwa dukungan suami merupakan faktor determinan yang paling dominan mempengaruhi pemberian ASI eksklusif. Hal yang sama diungkapkan oleh Sari, (2012) dalam hasil penelitiannya di Desa Plososari Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto bahwa terdapat pengaruh dukungan suami dengan motivasi pemberian ASI eksklusif pada ibu menyusui. Selanjutnya dalam hal nilai budaya di tengah masyarakat dipengaruhi oleh faktor kebiasaan dan kepercayaan. Terdapat berbagai kebiasaan yang tidak mendukung pemberian ASI eksklusif diantaranya adalah seperti kebiasaan membuang kolostrom, karena kolostrom dengan warnanya kekuning-kuningan dianggap kotor. Demikian halnya dengan kebiasaan memberikan ASI diselingi atau ditambah minuman atau makanan lain pada waktu bayi berusia beberapa hari. Begitu pula pada kebiasaan memberikan makanan padat/sereal pada bayi sebelum usia 6 bulan agar bayi cepat kenyang dan tidak rewel. Dalam hal kepercayaan, terdapat beberapa kepercayaan di tengah masyarakat yang merugikan program pemberian ASI eksklusif diantaranya adalah kepercayaan untuk memberikan cairan manis ketika bayi lahir sebagai salah satu cara dalam agama, padahal dalam ajaran agama tidak terdapat anjuran seperti itu (Delimayany, 2012). Hasil penelitian yg dilakukan oleh Semenic, et al., (2008) pada wanita kanada, menemukan adanya faktor demografi dan faktor psikologi yang mempengaruhi lamanya pemberian ASI eksklusif. Salah satu bagian dari proses pemberian ASI eksklusif yang efektif adalah interaksi yang terjadi selama proses menyusu termasuk bagaimana ASI bisa di transfer secara cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi. Bayi yang sehat mempunyai 3 refleks intrinsik, yang diperlukan untuk berhasil menyusu yaitu refleks mencari, refleks mengisap, dan refleks menelan. Frekuensi penyusuan 10 + 3 kali perhari selama 2 minggu pertama setelah melahirkan berhubungan dengan produksi ASI yang cukup. Berdasarkan hal ini direkomendasikan pada periode awal setelah melahirkan dilakukan penyusuan paling sedikit 8 kali perhari. Frekuensi penyusuan ini berkaitan dengan kemampuan stimulasi hormon dalam kelenjar payudara (Proverawati, 2009). KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan mengacu pada rumusan masalah dan hipotesis penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa status pekerjaan ibu (p=0.041), dukungan suami (p=0.001), nilai budaya (p=0.000) dan kemampuan bayi menyusu (p=0.025) merupakan variabel yang berhubungan secara signifikan dengan nilai p < 0,05 terhadap kegagalan pemberian ASI. Variabel yang paling menentukan kegagalan pemberian ASI adalah variabel nilai budaya dengan nilai p= 0,000 dan wald 17,343. Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian ini, beberapa saran yang dapat disampaikan yaitu bagi Dinas Kesehatan agar dapat melakukan penyuluhan pemberian ASI eksklusif secara intensif baik untuk ibu menyusui maupun kepada para suami guna meningkatkan dukungan suami dalam pemberian ASI eksklusif pada masa akan datang. DAFTAR PUSTAKA Adhania. (2008). Hubungan Durasi Pemberian ASI Ibu Bekerja Terhadap Kejadian ISPA Pada Anak Baduta (Bawah Dua Tahun) Di Kecamatan Bambanglipuro Bantul. Pascasarjana FK UGM. Yokyakarta. Afifah. (2007). Faktor Yang Berperan Dalam Kegagalan Praktik Pemberian ASI Eksklusif (Studi Kualitatif di Kecamatan Tembalang Kota Semarang Tahun 2007). (online) Pascasarjana UNDIP. Semarang. (http:eprints.undip.ac.id/. diakses 7 oktober 2012). Avianti. (2006). Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Status Gizi Berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur Pada Anak Umur 2 Tahun Di Kabupaten Purworejo Propinsi Jawa Tengah. Pascasarjana UGM. Yokyakarta. Badria. (2008). Dukungan Penolong Persalinan Dalam Inisiasi Menyusu Dini Dengan pola Menyusu Eksklusif Sampai Bayi Umur Empat Bulan Di RUmah Sakit Wilayah Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Pascasarjana FK UGM. Yogyakarta. Delimayany. (2012). Sosial Budaya Dengan Pemberian ASI Eksklusif Terhadap Status Kesehatan Bayi . (online). (http://delimayany.wordpress.com/diakses 18 Desember 2012)

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

238

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Depkes RI. (2005). Kebijakan Departemen Kesehatan Tentang Peningkatan Pemberian ASI Pekerja Wanita . Pusat Kesker Depkes RI. (www.google.co.id. diakses 8 oktober 2012). Dwi. (2006). Faktor-Faktor Penyebab Kegagalan Pemberian ASI Eksklusif Pada Ibu Yang Tidak bekerja (Studi kualitatif Di Desa Batursari Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak Tahun 2006) . (online). (http://eprints.uns.ac.id/. diakses 23 oktober 2012) Edmon. et al., (2006). Delayed Breastfeeding Initiation Increases Risk of Neonatal Mortality. (online). American Academy of pediatrics. (http://pediatrics.appublication.org/. diakses 9 oktober 2012). Februhartanty. (2008). Peran Ayah Dalam Optimalisasi Praktek Pemberian ASI: Sebuah Studi Di Daerah Urban Jakarta. FK UI. Jakarta. Fauzia. (2008). Pengaruh Pemberian ASI Eksklusif Terhadap Kejadian ISPA Pada Usia 6-23 Bulan Di Puskesmas Muara Enim Kabupaten Muara Enim. Pascasarjana FK UGM. Yokyakarta. Grantham. et al., (2009). Effect of health and nutritional on cognitive and behavioral development in child in first the year of life (part 1). Food and Nutritional Bulletin. 20(1): 53-75 Hikmawati. (2008). Faktor-Faktor Resiko Kegagalan Pemberian ASI Selama Dua Bulan (Studi Kasus Pada Bayi Umur 3-6 Bulan Di Kabupaten Banyumas). Pascasarjana UNDIP. Semarang. Kemenkes RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. (http://litbang.depkes.go.id/. diakses 8 oktober 2012). Malau. (2010). Hubungan Dukungan Suami dan Kemauan Ibu Memberikan ASI Eksklusif Di Puskesmas Teladan Medan. (online) Fakultas Keperawatan USU. Medan.(http://repository.usu.ac.di/. diakses 8 oktober 2012). Mardeyanti. (2007). Hubungan Status Pekerjaan Dengan Kepatuhan Ibu Memberikan ASI Eksklusif DI RSUP DR. Sardjito Yokyakarta. Pascasarjana FK UGM. Yokyakarta. Oktofia.dkk., (2008). Kajian Lama Pemberian ASI Eksklusif Pada Kelompok Ibu Bekerja dan Tidak bekerja Di Kecamatan Kota Soe Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2008 . Jurusan Gizi Kesmas FKM Undana Proverawati dan Asfuah. (2009). Buku Ajar Gizi dan Kebidanan. Nuha Medika: Yogyakarta. Puji. (2011). Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian ASI Eksklusif Kelurahan Tamamaung Kota Makassar. (online) Media Gizi Pangan. Vol.XI. Edisi 1. (http://jurnalmediagizipangan.filesd.wordpress.com/. diakses 8 oktober 2012). Rizqi. (2010). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kegagalan Pemberian ASI Eksklusif (Studi Kualitatif di Desa Keretuijayan Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan) . (Online) Prodi Ilmu Gizi FK UNDIP. Semarang. (http://eprints.uns.ac.id/. diakses 8 oktober 2012). Rokhanawaty. (2009). Dukungan Sosial Suami dan Perilaku Pemberian ASI Eksklusif Di kabupaten Bantul Yogyakarta. (http: //chnrl.org/mch/tesis/ diakses 9 November 2012). Sari. (2012). Pengaruh Dukungan Suami Terhadap Upaya Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Menyusui Di Desa Plososaro Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto . (online). FKM UNAIR. (http://adln.fkm.unair.ac.id/ diakses 9 November 2012) Semenic. et al., (2008). Predictors of the Duration of Exclusive Breastfeeding Among First Time Mothers. (online). (http://onlinebrary.wiley.com/ diakses 9 November 2012) Setyowati. (2007). Hubungan Status Pekerjaan Ibu dengan Pemberian MP ASI Dini Pada Bayi Usia 0-6 Bulan di Desa Tubokarto. Pracimantoro. wonogiri. Syahruni. (2012). Analisis Faktor Determinan Pemberian ASI Eksklusif Di Wilayah kerja Puskesmas Jumpandang Baru kecamatan Tallo Kota Makassar Tahun 2012. Pascasarjana UNHAS. Makassar. Wijayanti. (2010). Hubungan Antara Pemberian ASI Eksklusif Dengan Angka Kejadian Diare Pada Bayi Umur 0-6 Bulan Di Puskesmas Gilingan Kecamatan Banjarsari Surakarta . (online). FK UNS. Surakarta. (http://eprints.uns.ac.id/. diakses 23 oktober 2012).

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

239

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

ANALISIS HUBUNGAN DAN PEMETAAN SEBARAN TB PARU DI KOTA AMBON Riki Wiryawan Samson1, A.Arsunan Arsin2, Muh.Syafar3 Bagian P2PL Dinas Kesehatan Kota Ambon Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 3 Bagian Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
2 1

ABSTRACT Tuberculosis is an infectious disease caused by mycobacterium tuberculosis and most often manifests in the lungs. Mikrobaterium is transmitted through droplets in the air. so that a person with TB is the cause of transmission of tuberculosis in the surrounding population. Environmental factors is one of the factors that associated with TB. This study aims to analyze the relationship between ventilation, residential density, history of contact, distance of health centers, and location of residence. Mapping the distribution of TB in Ambon. This research is observational analytic with cross sectional design study. Population of this study was a case of TB in 2012 and 2013 in Ambon. Sampel is TB patients who seeking treatment at least 2 months and recorded in the register TB clinic in health care in Ambon by purposive sampling technique. Total sample of 198 people consisting of 117 smear positive and 81 smear negative. Data was collected through questionnaires and observation. Mapping is done using digital maps and GPS. Bivariate analysis using Chi-square test to assess the correlation between exposure to pulmonary TB. Hereinafter performed multivariate analysis to assess the most influential factor. The results showed only residential density associated with pulmonary tuberculosis in the city of Ambon (p = 0,01). Whereas ventilation (p = 0.843), history of contact (p = 0.163), distance health centers (p = 0.226) and location of residence (p = 1.000) was not associated with pulmonary tuberculosis. Mapping the spread of TB in the district most Sirimau the 82 cases (48 smear positive, 34 smear negative) and the least in the District of South Letimur the 6 cases (2 smear positive, smear negative 4). Concluded that residential density associated with pulmonary TB disease in the city of Ambon. It is advisable to pay attention to the health aspects in building or renovating homes. Keywords: tuberculosis (TB), environment, mapping, GIS PENDAHULUAN Sejak pertama kali ditemukan di Mesir sekitar 2500-1000 tahun SM, hingga saat ini tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan bagi seluruh dunia.TB merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan paling sering bermanifestasi di paru. Mikrobaterium ini ditransmisikan melalui droplet di udara, sehingga seorang penderita TB merupakan sumber penyebab penularan tuberkulosis pada populasi sekitarnya. WHO menyatakan bahwa ada 22 negara yang termasuk dalam High Burden Countries (Sholehah, dkk.,2008). TB paru menyerang sepertiga dari 1,9 miliar penduduk dunia. Setiap tahun terdapat 8,8 juta kasus baru penderita tuberkulosis paru, dan angka kematian tuberkulosis paru 3 juta orang setiap tahunnya. Insiden TB di dunia sebesar 137 kasus per 100.000 penduduk. Lalu mengalami penurunan pada tahun 2010 menjadi 128 per 100.000 penduduk (WHO, 2011). Menurut laporan WHO tahun 2010 dalam Global Tuberculosis Control Report, Indonesia menduduki peringkat kelima penderita TB terbanyak setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria (Rosiana, Mareta, Anggie, 2010). Angka prevalensi kasus penyakit tuberkulosis paru di Indonesia pada tahun 2007 sebanyak 244/100.000 penduduk. Pada tahun 2009 jumlah kematian akibat TB paru sekitar 91.369 dengan angka insidensi kasus TB paru BTA (+) sekitar 102/100.000 penduduk. Di Maluku, jumlah suspek TB pada tahun 2009 mencapai 123 per 100.000 pendudukan. Angka penjaringan ini merupakan angka penjaringan terendah dibandingkan provinsi-provinsi lain (Riskesdas, 2010). Dari data Dinas Kesehatan Kota, pada tahun 2011 jumlah kasus TB yang terlapor sebanyak 555 kasus. Hingga triwulan tiga tahun 2012 ada 495 jumlah kasus baru TB paru. Faktor lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang erat hubungannya dengan penyakit TB paru. Menurut WHO, rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung, dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani (Keman, Soedjajadi, 2005). Faktor lingkungan rumah seperti ventilasi, kepadatan hunian, lokasi tempat tinggal, kontak serumah dan jarak pelayanan kesehatan Dari hasil penelitian menunjukkan ventilasi merupakan faktor risiko kejadian TB paru (OR=4,84). Kepadatan hunian adalah banyaknya jumlah penghuni rumah dibagi luas rumah. Hasil penelitian menunjukkan kepadatan hunian dalam rumah merupakan faktor risiko kejadian TB paru dengan nilai OR 1,87 (Nugroho 2009). Penelitian di Distrik Dili (2010) menunjukkan bahwa variabel yang paling kuat adalah hubungannya dengan TB paru adalah kontak dengan penderita TB paru dengan nilai signifikansi 0.004 dan OR =3.577 (Angela Maria, 2010). Sarana pelayanan kesehatan juga berhubungan dengan upaya penemuan dan keberhasilan penanggulangan TB paru. Salah satunya yaitu jarak puskesmas. Penelitian yang dilakukan oleh Ruswanto

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

240

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Bambang didapatkan 61,4% penderita TB paru di Pekalongan bertempat tinggal < 3 Km dari puskesmas Tetapi secara statistik diperoleh hasil yang tidak signifikan (Ruswanto Bambang, 2010). Lokasi tempat tinggal juga merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru. Lokasi penelitian menyangkut ketinggian, suhu dan kelembaban. Menurut Depkes RI, Mycobacterium Tuberculosis dapat tumbuh secara optimal pada suhu 31-370C. Dari penelitian yang dilakukan di Pekalongan diperoleh hasil 77,1% pasien TB tinggal di daerah dengan ketinggian <150 meter dan 22,9% di daerah > 150 meter.. Tetapi secara statistik ketinggian bukan merupakan faktor risiko kejadian TB. Penelitian lain yang dilakukan di Sentani diperoleh hasil 52% pasien TB tinggal di daerah dataran rendah. Pengolahan data TB paru di Kota Ambon masih terbatas dalam bentuk analisis tabular dan grafik. Analisis sebaran kasus masih berupa agregasi di tingkat desa dan kecamatan, tetapi bukan dalam bentuk pemetaan. Identifikasi rantai penularan TB paru bisa dilakukan hingga tingkat individual tidak hanya agregat. Identifikasi lokasi penderita tuberkulosis paru sampai tingkat lokasi individu sangat dimungkinkan karena dalam register TB terdapat informasi yang dibutuhkan untuk dipetakan. Pemetaan adalah salah satu cara pendataan dalam upaya untuk manajemen lingkungan dan merupakan bagian dari pengelolaan penyakit berbasis wilayah (Achmadi,2005). Pemetaan merupakan suatu analisis data penyakit secara geografis yang terkait dengan kependudukan, persebaran, dan lingkungan. Salah satu aplikasi untuk membuat pemetaan yang sering digunakan yaitu Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG adalah sistem informasi yang dirancang untuk mengerjakan data spasial atau data geografis dengan cepat sesuai dengan yang diharapkan (Sandy, 2009). Pemetaan sebaran TB paru di Kota Ambon berupa titik/point dengan mengambil titik koordinat dari rumah responden dengan menggunakan Global Possitioning System (GPS). Dalam bidang kesehatan, penerapan SIG telah banyak digunakan khususya pada penyakit TB paru. SIG mampu mengidentifikasi transmisi TB paru dan dapat menentukan target skrining serta mengontrol penyebarannya (Moonan P., 2004). Metode SIG jika dikombinasikan dengan teknik kualitatif dapat meningkatkan pengetahuan tentang potensial penularan TB di komunitas dan dapat dijadikan petunjuk program intervensi (Murray J., 2009). Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini ingin menganalsis hubungan antara faktor ventilasi, kepadatan hunian, riwayat kontak, jarak puskesmas dan lokasi tempat tinggal terhadap penyakit TB paru dan membuat pemetaan sebaran TB paru di Kota Ambon. BAHAN DAN METODE Rancangan dan Lokasi Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan menggunakan rancangan cross sectional study. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Ambon Provinsi Maluku. Populasi dan sampel Populasi pada penelitian ini adalah kasus TB paru Tahun 2012 dan 2013 di seluruh puskesmas Kota Ambon. Sampel pada penelitian ini adalah bagian dari populasi yaitu pasien TB paru yang telah berobat minimal 2 bulan dan tercatat pada register TB puskesmas. Metode pengumpulan data Data primer berupa karateristik responden dan kondisi lingkungan rumah pasien TB paru yang akan dianalisis diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner dan observasi. Titik-titik koordinat lokasi kasus TB paru dengan menggunakan GPS. Analisis data Data diolah dan dianilisis di komputer menggunakan program SPSS 18,0. Analisis data menggunakan uji Chi Square untuk menilai hubungan faktor ventilasi, kepadatan hunian, riwayat kontak, jarak puskesmas dan lokasi tempat tinggal dengan penyakit TB paru dan selanjutnya dilakukan analisis multivariat dengan uji logistik regresi untuk menilai variabel yang paling berpengaruh. HASIL Karateristik sampel Tabel 1 menunjukkan bahwa, berdasarkan jenis kelamin jumlah laki-laki yang menderita TB paru sebanyak 119 orang dan perempuan sebanyak 79 orang. laki-laki yang BTA positif sebanyak 57,1% (68 orang) sedangkan perempuan sebanyak 62% (49 orang). Jumlah responden terbanyak yaitu terdapat pada kelompok umur 25-34 tahun ebanyak 50 orang dengan jumlah BTA positif sebesar 76% (38 orang). Sedangkan jumlah responden yang paling sedikit yaitu pada kelompok umur > 65 tahun sebanyak 25 kasus dimana ada 48% (12 orang) yang menderita TB paru BTA positif. Ada paling 82 responden dengan pendidikan SMA/sederajat dengan jumlah BTA positif sebesar 64,6% (53 orang) dan yang paling sedikit yaitu responden yang tidak sekolah sebanyak 4 orang dengan jumlah BTA positif sebanyak 25% (1orang).

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

241

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tabel 1. Karakteristik Responden berdasarkan jenis kelamin, umur dan pendidikan Hasil SPS BTA + BTA n % n % 68 49 117 22 38 14 17 14 12 117 1 19 29 53 15 117 57,1 62 59,1 64,7 76,0 48,2 58,6 45,1 48,0 59,1 25,0 43,2 65,9 64,6 65,2 59,1 51 30 81 12 12 15 12 17 13 81 3 26 15 29 8 81 42,9 38 40,9 35,3 24,0 51,7 41,4 54,8 52,0 40,9 75,0 56,8 34,1 35,4 34,8 40,9 Jumlah n 119 79 198 34 50 29 29 31 25 198 4 45 44 82 23 198 % 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0

Karateristik responden Jenis Kelamin Laki laki Perempuan Jumlah Umur (tahun) 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 > 65 Jumlah Pendidikan Tidak sekolah SD SMP SMA/sederajat Diploma/PT Jumlah

Data Primer \ Tabel 2 Jumlah responden berdasarkan kecamatan Hasil SPS BTA + BTA n % n % 29 48 19 2 19 117 64,4 58,5 54,3 33,3 63,3 59,1 16 34 16 4 11 81 35,6 41,5 45,7 66,7 36,7 40,9 Jumlah n 45 82 35 6 30 198 % 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0

Kecamatan Nusaniwe Sirimau Baguala Leitimur Selatan Teluk Ambon Jumlah Data Primer

Tabel 2 menunjukkan dari 5 kecamatan, Kecamatan Sirimau merupakan kecamatan yang jumlah kasus TB paru paling banyak yaitu sebanyak 82 kasus dengan BTA positif sebesar 58,5% (48 orang). Sedangkan Kecamatan Leitimur Selatan merupakan kecamatan dengan jumlah kasus TB paru yang paling sedikit yaitu hanya 6 orang dengan jumlah BTA positif sebanyak 2 orang ( 33,3%). Kecamatan Nusaniwe dengan 45 kasus (64,5% BTA positif). Kecamatan Baguala ada 35 kasus (54,3% BTA positif). Sedangkan untuk Kecamatan Teluk Ambon ada 30 penderita TB paru (63,3% BTA positif).

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

242

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Gambar 1. Peta sebaran TB paru BTA positif di Kota Ambon

Gambar2. Peta sebaran TB paru BTA negatif di Kota Ambon

Gambar 1 menunjukkan sebaran TB paru dengan BTA positif. Jumlah yang paling banyak yaitu di Kecamatan Sirimau sebanyak 48 orang dan jumlah paling sedikit di Kecamatan Leitimu Selatan dengan 2 orang. sedangkan gambar 2, menunjukkan sebaran TB paru dengan BTA negatif. Jumlah yang paling banyak yaitu di Kecamatan Sirimau sebanyak 34orang dan jumlah paling sedikit di Kecamatan Leitimu Selatan dengan 4 orang.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

243

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Hubungan Ventilasi, Kepadatan Hunian, Riwayat kontak, Jarak puskesmas dan Lokasi tempat tinggal dengan TB Paru Tabel 3 Hubungan Ventilasi, Kepadatan Hunian, Riwayat kontak, Jarak puskesmas dan Lokasi tempat tinggal dengan TB Paru Hasil Variabel n Ventilasi Baik Buruk Jumlah Kepadatan hunian Baik Buruk Jumlah Riwayat kontak Ada Tidak ada Jumlah Jarak puskesmas < 3 km > 3 km Jumlah Lokasi Tempat Tinggal Dataran rendah/pesisir Dataran tinggi/pegunungan Jumlah Data Primer 65 52 117 76 41 117 33 84 BTA + % 60,2 57,8 59,1 67,3 48,2 59,1 68,8 56 n 43 38 81 37 44 81 15 66 BTA % 39,8 42,2 40,9 32,7 51,8 40,9 31,2 44 Jumlah n 108 90 198 113 85 198 48 150 % 100 100 100 100 100 100 100 100 Uji statistik (p ) 0,843

0,011

0,163

25 92 117 29 88 117

69,4 56,8 59,1 59,2 59,1 59,1

11 70 81 20 61 81

30,6 43,2 40,9 40,8 41 40,9

36 162 198 49 149 198

100 100 100 100 100 100

0,226

1,000

Tabel 3 menunjukkan bahwa ventilasi, riwayat kontak, jarak puskesmas dan lokasi tempat tinggal tidak berhubungan dengan TB paru di Kota Ambon (p > 0,05) sedangkan faktor kepadatan hunian (p = 0,011) berhubungan dengan TB paru di Kota Ambon (p < 0,05). Analisis Multivariat Tabel 4 menunjukkan bahwa dari hasil uji regresi logistik terhadap 3 variabel yang memenuhi syarat (p<0,25), variabel riwayat kontak dan kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian TB paru di Kota Ambon. Tabel 4 Hasil uji regresi logistik variabel independen yang berhubungan secara bermakna dengan TB paru Exp () 0,483 2,567 2,085 0,293

Variabel Riwayat Kontak Kepadatan Hunian Jarak Puskesmas Constant Data Primer

B -0,727 0,943 0,735 -1,229

S.E. 0,370 0,309 0,415 0,421

Sig. 0,049 0,002 0,076 0,004

PEMBAHASAN Kecamatan Sirimau dan Nusaniwe memiliki jumlah pasien TB paru lebih banyak dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya. Hal ini disebabkan Kecamatan Sirimau dan Nusaniwe berada dekat dengan pusat kota. Tingginya penularan TB di pusat kota disebabkan aktifitas dan mobilitas penduduk terutama perkantoran yang memungkinkan untuk terjadi kontak dengan penderita TB lainnya (Edziyie Regina, 2007). Jumlah penduduk di kedua kecamatan ini juga paling banyak yaitu 147.976 jiwa di Sirimau dan 94.943 di Nusaniwe. Banyaknya jumlah puskesmas juga menjadi penyebab tingginya penyakit TB paru di kedua kecamatan ini (Sirimau ada 8 puskesmas dan Nusaniwe ada 6 puskesmas). Jumlah laki-laki yang menderita TB paru lebih banyak dibandingkan perempuan disebabkan adanya kebiasaan merokok dan konsumsi minuman beralkohol pada laki-laki. Rokok dapat merusak sel yang berfungsi memakan bakteri pengganggu sehingga menurunkan respon terhadap antigen. Bila benda asing masuk ke paru-paru maka tidak terdeteksi (PPTI, 2009). Sedangkan menurut Lonnroth (2008), konsumsi alkohol yan berlebihan dapat menurunkan daya tahan tubuh sebab menurunnya fungsi limfosit T dan B

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

244

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

(Diandini, Roestam, Yunus, 2009). Dari segi pekerjaan banyaknya kasus pada IRT disebabkan ibu merupakan orang yang paling dekat dengan semua anggota keluarga (Musadad Anwar, 2006). Ventilasi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penularan TB paru, ventilasi berfungsi untuk mengeluarkan udara yang tercemar dan sebagai tempat masuknya sinar matahari yang dapat mengencerkan konsentrasi kuman penyakit (Adnani Hariza, Mahastuti Asih, 2006). Hasil uji statistik menujukkan ventilasi tidak berhubungan dengan TB paru di Ambon. Hal ini disebabkan kondisi daerah Kota Ambon yang terdiri dari pantai dan dataran tinggi sehingga konstruksi rumah dibuat agar sirkulasi udara yang masuk dan keluar rumah baik dan juga masih kurangnya debu-dedu jalan sehingga ventilasi rumah tidak ditutup dan sesuai dengan fungsinya. Kepadatan hunian mempengaruhi penularan penyakit, khususnya penyakit yang menular melalui udara termasuk TB paru. Semakin banyak penghuni di dalam satu rumah maka semakin mudah dan cepat penularan penyakit. Pada penelitian ini kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian TB paru di Ambon. Masih kuatnya sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat di Kota Ambon sehingga masih banyak didapatkan di dalam rumah ada lebih dari satu kepala keluarga. Kota Ambon merupakan ibukota dari Provinsi Maluku sehingga tingginya mobilisasi penduduk yang masuk ke Ambon untuk melanjutkan pendidikan atau mencari pekerjaan dan mereka tinggal dengan keluarga ataupun kerabat yang ada di Kota Ambon. Hasil penelitian ini sejalan dengan Riwayat kontak serumah dengan penderita TB memungkinkan untuk tertular TB paru lebih besar dibandingkan yang tidak memiliki kontak serumah. Tetapi pada penelitian ini riwayat kontak tidak berhubungan dengan TB paru. Aktifitas di luar rumah memungkinkan seseorang untuk kontak dengan penderita TB paru khususnya ditempat tempat umum yang memiliki potensi sebagai tempat transmisi TB paru seperti cafe, mall, kantor, rumah sakit maupun tempat-tempat ibadah. Penenlitian yang dilakukan Murray menyimpulkan bahwa adanya tempat-tempat umum yang menjadi tempat transmisi seperti cafe atau bar, tempat ibadah dan klinik (Murray, dkk., 2009). Selain itu, terkadang responden merasa malu untuk mengungkapkan jika ada penderita TB paru sebelumnya karena penyakit TB paru masih memiliki stigma yang buruk dalam masyarakat. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Susilowati Tuti (2010) yang menunjukkan bahwa tinggal serumah dengan pasien TB paru > 6 bulan tidak berhubungan dengan kejadian TB paru di Magelang. Penelitiaan yang dilakukan Ekowati Retnaningsih, Yulian, Yahya, (2010) menyimpulkan bahwa infeksi TB paru pada kontak serumah berhubungan dengan tingkat pendidikan dan kepadatan hunian. Dalam program penanggulangan TB paru, jarak puskesmas berhubungan dengan penjaringan pasien TB paru serta keberhasilan pengobatan. Jarak puskesmas tidak berhubungan dengan TB paru di Kota Ambon disebabkan banyaknya puskesmas yang ada di Ambon (22 puskesmas) sehingga penderita menggunakan puskesmas yang tedekat dengan tempat tinggal walaupun berada diluar wilayah kerja puskesmas. Kota Ambon secara geografis terdiri dari dataran tinggi/pegunungan dan dataran rendah/pesisir. Lokasi tempat tinggal mempengaruhi kelembaban serta suhu udara. Kuman TB berkembang biak di daerah yang kelembabannya tinggi. Pada penelitian ini lokasi tempat tinggal tidak berhubungan dengan TB paru di Kota Ambon sebab kepadatan penduduk di daerah pegunungan lebih rendah dibandingkan dengan dataran rendah dan pesisir. Dari data diperoleh jumlah kasus TB paling banyak ditemukan di wilayah Nusamiwe, Sirimau dan Teluk Ambon. Ketiga wilayah ini merupakan daerah yang sebagian besar wilayahnnya adalah dataran rendah dan pesisir. Wilayah pegunungan hanya terdapat di daerah Gunung Nona dan wilayah Kacamatan Leitimur Selatan. Penelitian di Sentani, Papua menunjukkan bahwa TB paru sebagian besar di daerah yang ketinggian wilayahnya rendah,rawa dan pesisir (Ayomi C., Setiani O., Joko Tri, 2012). KESIMPULAN DAN SARAN Disimpulkan bahwa kepadatan hunian berhubungan dengan TB paru di Kota Ambon. Sebaran TB paru paling banyak di Kecamatan Sirimau. Diharapkan untuk lebih memperhatikan kesehatan lingkungan khususnya lingkungan rumah. Penggunaan analisis masalah berbasis wilayah lebih ditingkatakan dengan didukung data-data yang lebih lengkap dan akurat. DAFTAR PUSTAKA Adnani Hariza, Mahastuti Asih, 2006. Hubungan Kondisi Rumah Dengan Penyakit TBC Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Karangmojo II Kab. Gunungkidul Tahun 2003-2006. Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta Angela, Maria. 2010. Analisi Spasial dan Faktor Risiko Kejadian Penyakit TB Pari di Distrik Dili Tahun 2010. Jurnal ekologi kesehatan, (http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod) diakses 15 Desember 2012. Ayomi C., Setiani O., Joko Tri, 2012. Faktor Risiko Keadaan Fisik Rumah dan Karateristik Wilayah Terhadap Kejadian TB di Wilayah Kerja Puskesmas Sentani Kabupaten Jayapura Propinsi Papua. (http://www.ejournal.undip.ac.id/index.php/jkli/article/.../3762) diakses 13 Desember 2012. Diandini, Roestam, Yunus. 2009. Pengaruh Pekerjaan Dengan Pejanan Debu Silika terhadap Risiko TB Paru. Jurnal Kedokteran UI Jakarta. Edziyie Regina, 2007. Identification Of High Risk Tuberculosis Populations In Tarrant Country Using GIS Techniques. BMJ open 2007;3:e000765.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

245

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Ekowati, Retnaningsih, Yulian, Yahya, 2010. Model Prediksi Faktor Risiko Infeksi TB Paru Kontak Serumah Untuk Perencanaan Program Kabupaten OKU, Sumatera Selatan. Jurnal Pembangunan Manusia Vol.4.No.12. diakses 11 Februari 2013. Keman, Soedjajadi, 2005. Kesehtan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol.2.No.1:29-42. Diakses 11 Februari 2013 Moonan, P., 2004. Using Geographic Information Systems to Identify Areas of Tuberculosis Transmission and Incidence. International Journal of Health Geographics, 3: 23. Diakses 10 Februari 2013. Murray,J., 2009. A Multidisciplinary Method to Map Potential Tuberculosis Transmission Hot Spots in High Burden Communities. International Journal of Health Geographics. diakses 13 Desember 2012 Musadad, Anwar. 2006. Hubungan Faktor Lingkungan Rumah dengan Penularan TB Paru Kontak Serumah. (http// jurnal ekologi. Kesehatan.. diakses 13 Mei 2013) Nugroho, Agung. 2010. Faktor Risiko dan Sebaran Tuberkulosis BTA Positif di Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2009 : Gambaran Epidemiologi Spasial . Tesis. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Rosiana, Mareta, Anggie, 2012. Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru. Unnes Journal of Public Health. Diakses 10 Mei 2013. WHO. 2011. Global Tuberculosis Control, WHO Report 2011. (http://whqlibdoc.who.int/publications/2011/9789241564380_eng.pdf, diakses 13 Desember 2012 Sholehah, dkk.,2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Terjadinya TB Pada Anak di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Empat Kabupaten Tanah Bumbu. AI ulum vol.35 No.2. 30-33. Diakses 7 Februari 2013.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

246

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN KONTRASEPSI HORMONAL DENGAN KEJADIAN PENINGKATAN BERAT BADAN PADA WANITA PASANGAN USIA SUBUR DI PUSKESMAS TAMALANREA MAKASSAR TAHUN 2012 Suryanti Tukiman1, Dian Sidik A1, Jumriani Ansar1
1

Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin

ABSTRACT Data from the Health Departement of Makassar in 2010, the largest percentage of users of contraception used by couples of childbearing age is a hormonal contraceptive that successive injections, pills, and implants. The number and percentage of contraceptive injections KB activation was 155 439 (44.0%), pill 118 884 (33.6%), implant 39 946 (11.3%), Intra Uterine Device (IUD) 30 425 (8.61%), 20 401 condoms (5.77%), MOW 10 795 (3.05%), and MOP 2418 (0.68%). Weight gain is one of uncontrolled risk factors for heart disease, diabetes mellitus, hypertension caused by hormone content contained in hormonal contraceptives. This study aims to determine factors related to hormonal contraceptive use with the incidence of weight gain in women of childbearing age in Health Center of Tamalanrea Makassar 2012. This study uses a cross sectional study design. This study sample is acceptor hormonal contraceptive users who recorded the age at first use of contraception and weight the data prior to use contraception. Method of sampling using the method of Simple Random Sampling with 129 samples. Data were analyzed by Chi Square test and phi coefficient with 0.05. The results of this study indicate that there is a relationship between the type of hormonal contraceptive with the incidence of weight gain with = 0.028 and = 0.015, there is a relationship between duration of use of hormonal contraceptives with increased incidence of weight gain with = 0.000 and = 0.357, there was a connection between the regularity of use of hormonal contraceptives the incidence of weight gain = 0.000 and = 0441, and there is no relationship between age of first use of hormonal contraceptives with the occurrence of weight gain with = 0.424. This study suggests need for intensive counseling about the effects of hormonal contraceptive use for both acceptors at clinics or in community with the involvement of relevant elements across sectors. . Key words : hormonal contraception, increased body weight, women childbearing age PENDAHULUAN Salah satu masalah terpenting yang dihadapi oleh negara berkembang, seperti di Indonesia yaitu ledakan penduduk. Ledakan penduduk mengakibatkan laju pertumbuhan penduduk yang pesat hal ini karena minimnya pengetahuan serta pola budaya pada masyarakat setempat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut pemerintah Indonesia telah menerapkan program Keluarga Berencana (KB) yang dimulai sejak tahun 1968 dengan mendirikan LKBN (Lembaga Keluarga Berencana Nasional) yang kemudian dalam perkembangannya menjadi BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional). Gerakan Keluarga Berencana Nasional bertujuan untuk mengontrol laju pertumbuhan penduduk dan juga untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Ekawati, 2010) Program keluarga berencana mengalami perkembangan pesat seiring dengan kemajuan ilmu dan tekhnologi baik ditinjau dari sudut tujuan, ruang lingkup geografi, pendekatan, cara operasional, dan dampaknya terhadap pencegahan kelahiran, seiring dengan itu pula tingkat pertumbuhan penduduk akan turut berpengaruh (Wiknjosastro, dkk., 2007). Indonesia dengan jumlah penduduk saat ini sekitar 240 juta jiwa merupakan Negara ke-empat terbesar didunia setelah Cina, India, dan Amerika. Besarnya jumlah penduduk ini terkait dengan tingginya angka pertumbuhan penduduk Indonesia di masa lalu yang utamanya dipengaruhi oleh tingkat kelahiran. Meskipun tingkat kelahiran sudah dapat diturunkan namun secara absolut penduduk Indonesia akan terus bertambah. Pertumbuhan rata-rata nasional dari tahun 2000 hingga 2010 adalah 1,49% (BPS, 2010). Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Pelaporan dan Statistik Nasional bahwa jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) pada tahun 2004 secara nasional tercatat sebanyak 38.783.315 pasangan. Provinsi Jawa Barat menempati urutan pertama dengan jumlah PUS sebanyak 7.183.362 pasangan, disusul Provinsi Jawa Timur sebanyak 7.178.007 pasangan, sedangkan Provinsi Irian Jaya Barat menempati posisi terakhir dengan jumlah PUS sebanyak 93.747 pasangan (Dinkes Kota Makassar, 2010). Jumlah dan persentase KB aktif per mix kontrasepsi sampai Bulan Desember tahun 2010 adalah kontrasepsi suntikan 155.439 (44,0%), pil 118.884 (33,6%), implant 39.946 (11,3%), Intra Uterine Device (IUD) 30.425 (8,61%), kondom 20.401 (5,77%), Medis Operatif Wanita 10.795 (3,05%), dan Medis Operatif Pria 2.418 (0,68%). Untuk tahun 2010 persentase terbesar pengguna alat kontrasepsi yang banyak digunakan oleh pasangan usia subur adalah alat kontrasepsi hormonal yaitu berturut-turut suntikan, pil, dan implant (Puskesmas Tamalanrea Makassar, 2010).

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

247

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Menurut hasil rekapitulasi data tahun 2010 Puskesmas Tamalanrea Kota Makassar, jumlah pasangan usia subur mencapai 4438 pasangan. Dengan pengguna kontrasepsi terbanyak yakni kontrasepsi suntikan sebanyak 616 orang (64,9%), pil 192 orang (20,2%), implant 62 orang (6,54%), kondom 51 orang (5,37%), Intra Uterine Device (IUD) 27 orang (2,84%), dan tidak ada yang menggunakan kontrasepsi Medis Operatif Wanita dan Medis Operatif Pria. Sementara tahun 2011, terjadi peningkatan penggunaan kontrasepsi dari 948 akseptor menjadi 1.379 akseptor. Dengan pengguna kontrasepsi terbanyak yakni kontrasepsi suntikan sebanyak 842 orang (61,1%), pil 402 orang (29,2%), implant 42 orang (3,05%), kondom 70 orang (5,08%), Intra Uterine Device (IUD) 23 orang (1,67%), dan tidak ada yang menggunakan kontrasepsi Medis Operatif Wanita dan Medis Operatif Pria (Puskesmas Tamalanrea Makassar, 2011). Dapat disimpulkan bahwa tahun 2010 dan 2011 persentase terbesar pengguna alat kontrasepsi yang banyak digunakan oleh pasangan usia subur adalah alat kontrasepsi hormonal dibandingkan dengan kontrasepsi non hormonal. Walaupun tingkat kelahiran dapat ditekan dalam mengatasi laju pertumbuhan penduduk, namun tidak dapat dihindari timbulnya dampak lain akibat penggunaan alat kontrasepsi khususnya penggunaan alat kontrasepsi hormonal dalam jangka waktu tertentu yang dapat menimbulkan berbagai efek samping, salah satunya adalah perubahan berat badan (Maria, 2006). Berdasarkan informasi yang diperoleh dari petugas kesehatan bagian KIA dan KB Puskesmas Tamalanrea, mengatakan bahwa kenaikan berat badan merupakan salah satu efek samping yang sering dikeluhkan para akseptor KB pengguna kontrasepsi hormonal, selain itu juga Puskesmas Tamalanrea merupakan Puskesmas ketiga tertinggi pengguna kontrasepsi hormonal yang ada di Kota Makassar. Peningkatan berat badan yang tidak terkontrol merupakan sesuatu yang ditakuti akseptor karena struktur tubuh menjadi jelek, tidak menarik dan menjadi faktor risiko timbulnya penyakit jantung, diabetes mellitus, hipertensi dan batu empedu yang disebabkan oleh kandungan hormon yang terdapat dalam kontrasepsi hormonal. Melihat masalah yang telah dikemukakan diatas, maka peneliti tertarik memilih judul ini karena, kenaikan berat badan merupakan keluhan yang mengganggu para wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal. Sebagai langkah awal dari riset ini perlu dilakukan studi pendahuluan dan identifikasi untuk mendapatkan gambaran adanya hubungan antara penggunaan kontrasepsi hormonal dengan peningkatan berat badan. BAHAN DAN METODE Rancangan dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan Cross Sectional Study yaitu suatu rancangan penelitian yang mempelajari dinamika korelasi dan asosiasi antara variabel independen (penggunaan kontrasepsi hormonal, lama penggunaan/pemakaian, keteraturan penggunaan dan umur mulai menggunakan kontrasepsi hormonal) dengan variabel dependen (kejadian peningkatan berat badan) pada saat yang bersamaan (point time approach).Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Tamalanrea Makassar. Waktu pengumpulan data dimulai tanggal 20 Februari - 20 Maret 2012. Populasi dan Sampel Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah semua akseptor keluarga berencana yang menggunakan alat kontrasepsi hormonal aktif di Wilayah Kerja Puskesmas Tamalanrea Makasssar sebesar 203 akseptor. Pemilihan sampel menggunakan metode Simple Random Sampling. Pengumpulan Data Pengumpulan data diperoleh dengan dua cara, yakni data primer (wawancara langsung kepada responden yang menjadi sampel) dan data sekunder yang berasal dari Puskesmas Tamalanrea dan Dinas Kesehatan Kota Makassar. Analisis Data Data yang telah dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan sistem komputerisasi program SPSS melalui editing, coding, entry, cleaning serta analisis data dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. HASIL Karakteristik Responden Tabel 1 menunjukkan bahwa paling banyak responden berumur 26 - 30 tahun yaitu sebanyak 39 orang (30.2%) dan yang paling sedikit responden berumur 46 - 50 tahun yaitu 1 orang (0.8%). Sebanyak 57 orang (44.2%) berpendidikan setingkat SLTP dan terdapat 3 orang (2.3%) berpendidikan hanya sampai setingkat SD. Sebagian besar pekerjaan responden adalah ibu rumah tangga atau tidak bekerja yaitu sebanyak 93 orang (72.1%) dan 3 orang (2.3%) yang bekerja sebagai buruh/tukang cuci.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

248

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tabel 1 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Di Puskesmas Tamalanrea Makassar Tahun 2012 Karakteristik Responden Kelompok Umur 16 20 21 25 26 30 31 35 36 40 41 45 46 50 Pendidikan SD SLTP SLTA Tamat Akademi / PT Pekerjaan Tidak Bekerja/IRT Pedagang/Wiraswasta Buruh/Tukang Cuci Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pegawai Swasta Jumlah Data Primer n 15 32 39 19 20 3 1 3 57 45 24 93 19 3 10 4 129 % 11.6 24.8 30.2 14.7 15.5 2.3 0.8 2.3 44.2 34.9 18.6 72.1 14.7 2.3 7.8 3.1 100.0

Analisis bivariat pada penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen. Tabel 2 menunjukkan bahwa jenis kontrasepsi hormonal yang paling banyak mengalami peningkatan berat badan yaitu kontrasepsi pil sebanyak 38 orang (90.5%), dan yang paling sedikit mengalami peningkatan berat badan adalah kontrasepsi implant yaitu sebanyak 8 orang (88.9%). Hasil analisis uji chi-square didapatkan nilai p (0.028) < nilai (0.05), dengan demikian maka Ho di tolak atau dapat disimpulkan bahwa Ada hubungan antara jenis kontrasepsi hormonal yang digunakan dengan kejadian peningkatan berat badan. Dan berdasarkan nilai koefisiensi phi (0.015) atau hubungan lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa jenis kontrasepsi hormonal memberikan kontribusi sebesar 1.5 % terhadap kejadian peningkatan berat badan. Tabel 2 Hubungan Jenis Kontrasepsi Hormonal Dengan Kejadian Peningkatan Puskesmas Tamalanrea Makassar Tahun 2012 Kejadian Peningkatan Berat Badan Tdk Meningkat Meningkat n % n % 38 90.5 4 9.5 70 89.7 8 10.3 8 88.9 1 11.1 116 89.9 13 10.1 Berat Badan Di

Jenis Kontrasepsi

Uji Statistik

Pil Suntik Implant Jumlah Data Primer

42 78 9 129

100.0 100.0 100.0 100.0

p = 0.028 =0.015

Tabel 3 menunjukkan bahwa pemakaian alat kontrasepsi hormonal yang paling banyak mengalami peningkatan berat badan yaitu lama pemakaian dengan jangka waktu 1 tahun (lama) sebanyak 99 orang (95.2%) dibandingkan dengan lama pemakaian kontrasepsi dalam jangka waktu < 1 tahun (tidak lama) yaitu sebanyak 17 orang (68.0%). Hasil analisis uji chi-square didapatkan nilai p (0.000) < nilai (0.05), dengan demikian maka Ho di tolak atau dapat disimpulkan bahwa Ada hubungan antara lama pemakaian kontrasepsi hormonal dengan kejadian peningkatan berat badan. Dan berdasarkan nilai koefisiensi phi (0.357) atau hubungan sedang, sehingga dapat dikatakan bahwa lama pemakaian kontrasepsi hormonal memberikan kontribusi sebesar 35.7 % terhadap kejadian peningkatan berat badan.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

249

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tabel 3 Hubungan Lama Penggunaan/Pemakaian Kontrasepsi Dengan Kejadian Peningkatan Berat Badan Di Puskesmas Tamalanrea Makassar Tahun 2012 Kejadian Peningkatan Berat Badan Tdk Meningkat Meningkat n % n % 99 95.2 5 4.8 17 68.0 8 32.0 116 89.9 13 10.1

Lama Pemakaian

Uji Statistik

Lama Tidak Lama Jumlah Data Primer

104 25 129

100.0 100.0 100.0

p = 0.000 =0.357

Tabel 4 menunjukkan bahwa yang paling banyak mengalami peningkatan berat badan yaitu responden yang menggunakan kontrasepsi secara teratur sebanyak 108 orang (94.7%) dibandingkan dengan responden yang menggunakan kontrasepsi secara tidak teratur sebanyak 8 orang (53.3%). Hasil analisis uji chi-square didapatkan nilai p (0.000) < nilai (0.05), dengan demikian maka Ho di tolak atau dapat disimpulkan bahwa Ada hubungan antara keteraturan penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian peningkatan berat badan. Dan berdasarkan nilai koefisiensi phi (0.441) atau hubungan sedang, sehingga dapat dikatakan bahwa keteraturan penggunaan kontrasepsi hormonal memberikan kontribusi sebesar 44.1 % terhadap kejadian peningkatan berat badan. Tabel 4 Hubungan Keteraturan Pemakain Kontrasepsi Dengan Kejadian Peningkatan Berat Badan Di Puskesmas Tamalanrea Makassar Tahun 2012 Kejadian Peningkatan Berat Badan Tdk Meningkat Meningkat n % n % 108 94.7 6 5.3 8 53.3 7 46.7 116 89.9 13 10.1

Keteraturan Pemakaian

Uji Statistik

Teratur Tidak Teratur Jumlah Data Primer

114 15 129

100.0 100.0 100.0

p = 0.000 =0.441

Tabel 5 menunjukkan bahwa paling banyak yang mengalami peningkatan berat badan saat umur pertama kali menggunakan kontrasepsi hormonal yaitu umur < 35 tahun (aman) sebanyak 99 orang (90.8%) dibandingkan dengan umur 35 tahun (tidak aman) sebanyak 17 orang (85.0%). Hasil analisis uji chi square didapatkan nilai p (0.424) > nilai (0.05), dengan demikian maka Ha di tolak atau dapat disimpulkan bahwa Tidak ada hubungan antara umur pertama kali menggunkan kontrasepsi hormonal dengan kejadian peningkatan berat badan. Tabel 5 Hubungan Umur Pertama Kali Dengan Kejadian Peningkatan Berat Badan Di Puskesmas Tamalanrea Makassar Tahun 2012 Kejadian Peningkatan Berat Badan Tdk Meningkat Meningkat n % n % 17 85.0 3 15.0 99 90.8 10 9.2 116 89.9 13 10.1

Umur Pertama Kali

Uji Statistik

Tidak Aman Aman Jumlah Data Primer

20 109 129

100.0 100.0 100.0

p = 0.424

PEMBAHASAN Jenis Kontrasepsi Hormonal Kontrasepsi hormonal adalah alat atau obat kontrasepsi yang bertujuan untk mencegah terjadinya kehamilan dimana bahan bakunya mengandung preparat estrogen dan progesteron. Salah satu efek samping dari penggunaan kontrasepsi hormonal baik pil, suntikan dan implant adalah terjadinya perubahan berat badan.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

250

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kontrasepsi hormonal yang paling banyak mengalami peningkatan berat badan yaitu pil sebanyak 38 orang (90.5%), dan yang paling sedikit mengalami peningkatan berat badan adalah jenis kontrasepsi implant yaitu sebanyak 8 orang (88.9%). Hal ini disebabkan karena kandungan dari hormon estrogen dan progesteron yang terdapat pada kontrasepsi pil, dimana hormon estrogen menyebabkan retensi cairan dan oedema, sedangkan progesterone mempermudah penumpukan karbohidrat dan gula menjadi lemak dan merangsang nafsu makan serta menurunkan aktifitas fisik, akibatnya pemakaian kontrasepsi hormonal dapat menyebabkan bertambah berat badan. Umumnya pertambahan berat badan tidak terlalu besar, untuk jenis kontrasepsi pil bervariasi antara 1 kg - 5 kg. Sedangkan jenis kontrasepsi suntikan dan implant biasanya terjadi kenaikan atau penurunan berat badan 1-2 kg. Penelitian ini sejalan dengan survei yang dilakukan oleh Gallo, dkk (2004) bahwa ada hubungan antara jenis kontrasepsi pil yang digunakan dengan kenaikan berat badan. Survei yang dilakukan di Amerika ini menemukan bahwa 20% wanita menghentikan penggunaan kontrasepsi pil (oral) disebabkan karena kenaikan berat badan. Selain itu, pada penelitian lain yang dilakukan oleh Berenson dan Mahbubur (2009) menemukan bahwa berat badan secara signifikan meningkat saat menggunkan DMPA. Lama Penggunaan/Pemakaian Menurut Hartanto, dampak lain akibat penggunaan alat kontrasepsi khususnya penggunaan alat kontrasepsi hormonal dalam jangka waktu tertentu dapat menimbulkan berbagai efek samping, salah satunya adalah perubahan berat badan. Umumnya pertambahan berat badan bervariasi antara 1 kg sampai 5 kg dalam tahun pertama. Hasil penelitian diketahui bahwa paling banyak yang mengalami peningkatan berat badan yaitu dengan lama pemakaian kontrasepsi hormonal dalam jangka waktu 1 tahun (lama) sebanyak 99 orang (95.2%) dibandingkan dengan pemakaian kontrasepsi dalam jangka waktu < 1 tahun (tidak lama) sebanyak 17 orang (68.0%). Hal ini menunjukkan perubahan berat badan akseptor meningkat sesuai dengan bertambahnya lama pemakaian. Namun peningkatan berat badan akseptor dengan lama pemakaian kontrasepsi tidak sepenuhnya disebabkan karena pemakaian kontrasepsi yang digunakan sekarang melainkan juga disebabkan oleh pemakaian kontrasepsi hormonal yang sebelumnya digunakan oleh akseptor. Hasil analisis statistik dengan uji chi-square didapatkan ada hubungan antara lama pemakaian kontrasepsi hormonal dengan kejadian peningkatan berat badan. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori dari Hartanto, 2010 yang menyatakan bahwa pada penggunaan pil, wanita sebagian mengalami perubahan berat badan karena adanya retensi cairan dari progestin atau estrogen yang mengakibatkan bertambahnya lemak sub kutan terutma pada pinggul, paha, dan payudara, ini tampak setelah beberapa bulan mengkonsumsi pil. Sementara hipotesis para ahli mengatakan bahwa DMPA merangsang pusat pengendali nafsu makan di hipotalamus yang menyebabkan akseptor makan lebih banyak dari biasanya sehingga mengakibatkan pertambahan berat badan. Selain itu, penelitian oleh spesialis obstetric dan ginekologi Prof Biran. A di Jakarta juga menyataan bahwa berat badan pemakai pil KB naik akibat pola makan yang berubah. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Putu Melayu di Kec. Wara Kab. Luwu tahun 2000 dalam Samsiana, 2001, bahwa ada pengaruh bermakna antara lama pemakaian kontrasepsi hormonal terhadap perubahan berat badan akseptor (signifikan 0.019 < 0.05) dengan besar hubungan (r = 0.125) dan besar pengaruh (r2 = 0.016) yang berarti 1.6% perubahan berat badan akseptor dipengaruhi oleh lamanya pemakaian kontrasepsi hormonal dan sisanya ditentukan oleh faktor lain. Selain itu Pada penelitian lain yang dilakukan Maria, dkk (2006) menyebutkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara lamanya pemakaian kontrasepsi hormonal dengan perubahan berat badan dimana nilai x2 hitung yang diperoleh sebesar 29.1 > x2 tabel = 3.84. Keteraturan Penggunaan Kontrasepsi Keteraturan penggunaan kontrasepsi hormonal dapat memicu terjadinya peningkatan berat badan. Hal ini disebabkan karena dengan mengkonsumsi salah satu dari jenis kontrasepsi hormonal (pil, suntikan, dan implant) berarti tubuh menerima hormon setiap hari, dengan demikian terjadilah peningkatan hormon progesteron dan esterogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paling banyak yang mengalami peningkatan berat badan yaitu responden yang menggunakan kontrasepsi secara teratur yaitu sebanyak 108 orang (94.7%) dibandingkan dengan responden yang menggunakan kontrasepsi secara tidak teratur sebanyak 8 orang (53.3%). Hal ini sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh Winkjosastro (2005), dimana daya guna kontrasepsi terdiri dari daya guna teoritis atau fisiologik (Teoritical Effectiveness), bahwa daya guna teoritis merupakan kemampuan suatu cara kontrasepsi bila dipakai dengan tepat, sesuai dengan instruksi dan tanpa kelalaian. Dapat disimpulkan bahwa wanita pasangan usia subur yang berada di Wilayah Kerja Puskesmas Tamalanrea Makassar Tahun 2012, sebagian besar sudah teratur menggunakan kontrasepsi hormonal khususnya jenis kontrasepsi implant sebesar 100% dibandingkan dengan kontrasepsi hormonal lainnya yaitu pil sebesar 90.5% dan suntik sebesar 85.9%. Sesuai hasil wawancara keteraturan responden dalam penggunaan kontrasepsi implant dikarenakan jenis kontrasepsi hormonal ini walaupun mahal dan

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

251

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

memerlukan perlukaan kecil saat pemasangan namun jangka waktu pemakaian kontrasepsi ini lebih lama digunakan dibandingkan dengan pemakaian untuk jenis kontrasepsi pil dan suntikan. Sesuai dengan Grafik 3 menunjukkan bahwa berat badan ibu sebelum menggunakan kontrasepsi hormonal sebagian besar antara 45 49 kg yaitu sebesar 34.1% dan berat badan ibu sesudah menggunakan kontrasepsi hormonal sebagian besar antara 50 54 kg yaitu sebesar 30.2%. Hal ini disebabkan karena kandungan hormon pada kontrasepsi hormonal yaitu hormone estrogen dan progesterone yang dapat merangsang pusat pengendali nafsu makan di hipotalamus yang menyebabkan akseptor makan lebih banyak dari biasanya. Hasil analisis statistik dengan uji chi-square diketahui bahwa ada hubungan antara keteraturan penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian peningkatan berat badan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rika (2008), bahwa ada hubungan yang signifikan antara keteraturan penggunaan kontrasepsi hormonal dengan peningkatan berat badan pada wanita pasangan usia subur yang berada di RW. 07 Kelurahan Grogol Kecamatan Limo Kodya Depok dengan taraf signifikansi sebesar 0.000 (p < 0.005). Jika dilihat dari nilai OR, disimpulkan bahwa responden yang menggunakan kontrasepsi hormonal secara teratur mempunyai kecenderungan yaitu berat badan meningkat sebesar 9.7 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang tidak teratur menggunakan kontrasepsi hormonal, ini diakibatkan oleh kandungan hormon estrogen dan progesteron yang terdapat dalam kontrasepsi hormonal. Umur Mulai Mengggunakan Kontrasepsi Hormonal Berdasarkan data dari New York Metropolitan Life Insurounce dalam Samsiana (2001) menunjukkan bahwa pada obesitas kelompok umur 40 69 Tahun terbesar ditemukan angka kematian 36% lebih besar daripada rata-rata wanita. Dan apabila disertai dengan pemakaian kontrasepsi hormonal dimana diketahui bahwa pemakaian kontrasepsi hormonal dapat meningkatkan nafsu makan yang disebabkan efek androgenik dari progestin, selain itu dapat pula menyebabkan terjadinya retensi cairan sehingga berat badan responden yang diukur mengalami perubahan yang dapat disebabkan oleh peningkatan secara fisiologis akibat umur atau karena pemakaian kontrasepsi hormonal dalam jangka waktu tertentu atau terjadi karena kedua faktor tersebut secara bersama menyebabkan perubahan berat badan. Hasil penelitian didapatkan bahwa paling banyak responden dengan umur < 35 tahun (aman) yang mengalami kejadian peningkatan berat badan yaitu sebanyak 99 orang (90.8%) dibandingkan responden dengan umur 35 tahun (tidak aman) yang mengalami kejadian peningkatan berat badan sebanyak 17 orang (85.0%). Hal ini berarti bahwa pertambahan umur akseptor KB hormonal berbanding terbalik dengan pertambahan berat badannya, dikarenakan adanya faktor lain seperti kebiasaan pola makan atau asupan gizi dan aktivitas fisik yang dilakukan oleh akseptor. Hasil analisis statistik dengan uji chi-square diketahui bahwa tidak ada hubungan antara umur pertama kali penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian peningkatan berat badan. Hasil penelitian ini bertentangan dengan teori yang disebutkan oleh Speroff dan Darney (2004) dalam Maria (2006) yang menyatakan bahwa sebagian besar wanita yang mengkonsumsi kontrasepsi hormonal baik itu kontrasepsi pil maupun suntikan mengalami peningkatan berat badan seiring meningkatnya usia mereka. Hal tersebut bisa saja terjadi mengingat bahwa setiap kejadian suatu masalah kesehatan turut dipengaruhi oleh faktor orang per orang, lingkungan dimana dia berada ataupun faktor lainnya. Dengan demikian dari hasil penelitian ini, maka umur belum dapat dijadikan alasan sebagai faktor terjadinya perubahan berat badan pada akseptor pengguna kontrasepsi hormonal. Namun, Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Maria, dkk Tahun 2006 menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara umur pertama kali dengan perubahan berat badan pada akseptor yang menggunakan alat kontrasepsi hormonal, dimana diperoleh nilai x2 hitung sebesar 0.045 < x2 tabel = 3.84. KESIMPULAN dan SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Tamalanrea mengenai hubungan penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian peningkatan berat badan, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara penggunaan jenis kontrasepsi hormonal (pil, suntik, dan implant) dengan kejadian peningkatan berat badan pada wanita pasangan usia subur. Artinya penggunaan jenis kontrasepsi hormonal (pil, suntik, dan implant) merupakan faktor penentu terjadinya peningkatan berat badan. Ada hubungan antara lama pemakaian kontrasepsi hormonal 1 tahun dengan kejadian peningkatan berat badan pada wanita pasangan usia subur. Artinya lama pemakaian kontrasepsi hormonal 1 tahun merupakan faktor penentu terjadinya peningkatan berat badan. Ada hubungan antara keteraturan penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian peningkatan berat badan pada wanita pasangan usia subur. Artinya keteraturan penggunaan kontrasepsi hormonal merupakan faktor penentu terjadinya peningkatan berat badan. Tidak ada hubungan antara umur pertama kali ( 35 tahun) penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian peningkatan berat badan pada wanita pasangan usia subur. Artinya umur pertama kali ( 35 tahun) penggunaan kontrasepsi hormonal bukan faktor penentu terjadinya peningkatan berat badan. Diharapkan bagi akseptor yang menggunakan alat kontrasepsi hormonal (pil, suntik, dan implant) yang telah mengetahui adanya efek samping dari pemakaian kontrasepsi tersebut sebaiknya berkonsultasi

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

252

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

lebih lanjut pada petugas kesehatan untuk beralih ke pemakaian kontrasepsi lain yang lebih aman seperti AKDR yang tidak mengandung progestin dan estrogen. DAFTAR PUSTAKA Berenson, Abbey B dan Mahbubur R., 2009. Changes in weight, total fat, percent body fat, and centraltoperipheral fat ratio associated with injectable and oral contraceptive use . Department of Obstetrics and Gynecology and the Center for Interdisciplinary Research in Womens Health, University of Texas Medical Branch, Galveston, Texas, 200(3), hal 329.e1 329.e8. [Online]. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2853746/pdf/nihms-174322.pdf [Diakses 10 Oktober 2011]. BPS, 2010. Statistik Indonesia Statistical Pocketbook of Indonesia. Jakarta : Badan Pusat Statistik Azwar, S. 2009. Sikap Manusia teori dan pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. Dinkes Kota Makassar, 2010. Laporan Keluarga Berencana (KB) Kota Makassar sampai Bulan Desember Ekawati, Desi., 2010. Pengaruh KB Suntik DMPA Terhadap Peningkatan Berat Badan di BPS Siti Syamsiyah Wonokarto Wonogiri. [Online]. http://eprints.uns.ac.id/134/1/167050309201010281.pdf. Gallo, M, D Grines, dkk., 2004. Combination EstrogenProgestin Contraceptives and Body Weight: Systematic Review of Randomized Controlled Trials. The American College of Obstetricians and Gynecologists, 103 (2), hal. 359-373. [Online]. https://www.acog.org/from_home/publications/green_journal/2004/v103n2p359.pdf [Diakses 9 Oktober 2011]. Hartanto, Hanafi., 2010. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Cet.7. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Maria S, dkk. 2006. Jurnal Tentang Dampak Penggunaan Alat Kontrasepsi Hormonal Terhadap Perubahan Berat Badan Pada Akseptor Keluarga Berencana . hal. 51-58. [Online]. http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/21075058.pdf [Diakses 11 Oktober 2011]. Puskesmas Tamalanrea Makassar, 2010. Hasil Rekapitulasi Laporan Pelayanan KB sampai Bulan Desember, Makassar. Puskesmas Tamalanrea Makassar, 2011. Hasil Rekapitulasi Laporan Pelayanan KB sampai Bulan Desember, Makassar. Sutami dan Hardjito, Koekoeh., 2010. Analisis Perbedaan Berat Badan Sebelum dan Sesudah Menggunakan Alat Kontrasepsi Implant Lebih Dari 5 Tahun. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes, 1 (3), hal. 181-186. [Online]. http://static.schoolrack.com/files/100398/295416/volume1_nomor3.pdf [Diakses 11 Oktober 2011]. Saifuddin, A.B dan Affandi. 2003. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Edisi 1. Jakarta: Yayasan Bina Saewono Prawirahardjo. Samsiana. 2001. Studi Perubahan Berat Badan Akseptor KB Hormonal dan Faktor Yang Mempengaruhinya Di Puseksmas Barebbo Kec. Barebbo Kab. Bone. Skripsi Sarjana. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar. Wane, Sarah, Jannique and W Brown., 2010. Determinants of Weight Gain in Young Women: A Review of the Literature. Journal Of Womens Health, 19 (7), hal. 1327 -1340. [Online]. https://raiderwriter.engl.ttu.edu/SupplementalFiles/LitReview2.pdf [Diakses 9 Oktober 2011]. Wiknjosastro, Hanifa, dkk. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

253

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMAJANAN KARBON MONOKSIDA (CO) TERHADAP KADAR KARBOKSI HEMOGLOBIN (COHb) PETUGAS PARKIR TERTUTUP (INDOOR) DI MAKASSAR TRADE CENTER (MTC) Trianta Wati1, A.Arsunan Arsin2, Anwar Daud3
1

Alumni Program Magister Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 2 Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 3 Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin ABSTRACT

Carbon monoxide gas is colorless, tasteless, odorless, non-irritating, difficult to detect, toxic gas that can cause respiratory distress and death (silent killer),carbon monoxide exposure in the workplace is the most commonly experienced effects on workers (IAPA, 2008). The research aims to analyze the relationship between risk factor exposure of carbon monoxide (CO) with levels of carboxy-hemoglobin (COHb) in indoor parking officer at MTC Karebosi Makassar. This type of research is observational analytic with cross sectional study design. Population and study sample is the entire parking officer who worked in the indoor parking area at Makassar Trade Center (MTC) with a total of 101 parking officer by exchaustive sampling techniques. Collecting data through interviews with questionnaires and observation. COHb levels in blood obtained through a parking officer based laboratory test results using a spectrophotometer. Bivariate analysis using Chi - Square to assess the association of risk factors exposure carbon monoxide (CO) on levels of carboxy-hemoglobin (COHb) and then performed a multivariate analysis to assess the most influential variables. The results showed that age, month of working and nutritional status are not associated with COHb levels of indoor parking officer at MTC Karebosi Makassar (p> 0.05), while smoking status (p = 0.001) and levels of CO in air (p = 0.031) associated with COHb levels of covered parking officer at MTC Karebosi Makassar. Smoking status is the most influential factor to the increased levels of COHb. Concluded that smoking status and levels of CO in the air associated with COHb levels of indoor parking officer at MTC Karebosi Makassar. Management and control of the air duct system on a regular basis in the indoor parking area is recommended to do in risk factor controlling air pollution by carbon monoxide. Keywords: karbon monoxide (CO), carboxy hemoglobin (COHb), indoor parking officer PENDAHULUAN Industrial Accident Prevention Association, 2008 mendefinisikan karbon monoksida adalah gas tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, tidak menyebabkan iritasi, mudah terbakar dan merupakan gas beracun. Sifat yang sulit untuk dideteksi ini menjadikan karbon monoksida dikenal sebagai silent killer. Dampak yang paling sering karena karbon monoksida adalah pada pekerja yang terkena paparan karbon monoksida di tempat kerja. Konsentrasi tinggi karbon monoksida dalam darah seseorang dalam hitungan menit dapat menyebabkan distress pernapasan dan kematian (Selvia, 2011; Wu. L, 2005). Departemen Kesehatan Inggris Raya memperkirakan bahwa terdapat sekitar 4000 orang / tahun yang didiagnosis dengan keracunan karbon monoksida (CO) dan angka ini tidak termasuk mereka yang diagnosis yang tidak terjawab (Clarke, 2012). Keracunan karbon monoksida di Amerika Serikat masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dengan rata rata kunjungan ke unit gawat darurat adalah sekitar 50.000 kunjungan / tahun. Keracunan karbon monoksida ini dikaitkan dengan kejadian cuaca buruk dan pemadaman listrik, sehingga masyarakat banyak menggunakan generator berbahan bakar minyak bumi (Gulati, 2009). Data dari beberapa hasil penelitian sebelumnya tentang kadar COHb menunjukkan bahwa umur, masa kerja, jam kerja dan kebiasaan merokok berpengaruh terhadap tingkat COHb dalam darah (Clarke dkk., 2012; Muslimin, 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mansyur (2008) secara makro kualitas udara ambien Kota Makassar parameter karbon monoksida (CO) selama kurun waktu 2001 -2005 yang diukur pada lima lokasi yaitu perwakilan Pusat Kota (lapangan karebosi dan depan Stadion Mattoangin); perwakilan Kawasan Pemukiman (Panaikang); perwakilan kegiatan Jasa dan Pendidikan (Jalan Urip Sumoharjo) dan perwakilan kegiatan Perdagangan (Pasar Sentral dan Pasar Pannampu); perwakilan kawasan industri (depan PT. Berdikari dan Kawasan Industri Makassar (KIMA)). Hasil pengukuran yang diperoleh berdasarkan parameter pencemar karbon monoksida (CO) dengan baku mutu 24 jam = 150 g/Nm3 adalah tertinggi walaupun belum melampaui baku mutu (PP 41 / 1999). Di pasar Pannampu (4496 g/Nm3) dan jalan Urip Sumoharjo (4457 g/Nm3) serta terendah dilapangan Karebosi (1646 g/Nm3) yang disebabkan oleh lalu lintas yang padat atau berasal dari kendaraan dan pemukiman padat. Secara keseluruhan, emisi gas buang kendaraan dan kualitas udara ambien di Kota Makassar secara langsung saling mempengaruhi, karena semakin tinggi tingkat emisi gas buang kendaraan dalam jumlah kumulatif di jalan raya akan mempengaruhi kualitas udara secara keseluruhan (Mansyur, 2008). Beberapa hasil penelitian

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

254

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

menunjukkan bahwa polusi udara di luar ruangan dan dalam ruangan adalah sama bahkan lebih tinggi karena sebagian besar waktu seseorang dihabiskan di dalam ruangan (Franklin, 2007; Sofuoglu dkk., 2011; Sousa. S dkk, 2012; Fullerton dkk., 2009). Salah satu pusat perbelanjaan di kota Makassar yang banyak dikunjungi masyarakat adalah Makassar Trade Center (MTC) dimana pusat perbelanjaan ini menggunakan sistem perparkiran tertutup dengan daya tampung kendaraan lebih kurang 850 unit untuk kendaraan roda empat dan 600 unit kendaraan roda dua dengan memaksimalkan basement sebanyak dua lantai. Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti ingin melakukan penelitian pada tempat parkir indoor (parkir tertutup) MTC di kota Makassar dengan tujuan untuk menganalisis hubungan faktor risiko pemajanan karbon monoksida (CO) dengan kadar karboksi hemoglobin (COHb) petugas parkir tertutup di MTC Karebosi Kota Makassar yang diharapkan dapat di jadikan sebagai acuan untuk mempertimbangkan aspek lingkungan dalam pembuatan tempat parkir indoor (parkir tertutup) di Kota Makassar. BAHAN DAN METODE Rancangan dan Lokasi Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan rancangan cross sectional study. Penelitian ini dilaksanakan di Area Parkir Tertutup (Indoor) Makassar Trade Center (MTC) Kota Makassar. Populasi dan sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Petugas Parkir yang bekerja di area parkir tertutup Makassar Trade Center (MTC). Sampel dalam penelitian ini adalah petugas parkir tertutup Makassar Trade Center (MTC) yang berjumlah 101 petugas, bersedia menjadi responden dan menandatangani formulir persetujuan penelitian. Analisis data Data diolah dan dianilisis di komputer menggunakan program SPSS for Windows 20. Analisis data menggunakan uji Chi Square untuk menilai hubungan faktor risiko pemajanan karbon monoksida (CO) terhadap kadar karboksi hemoglobin (COHb) dan selanjutnya dilakukan analisis multivariat dengan uji logistik regresi untuk menilai variabel yang paling berpengaruh. HASIL Karakteristik sampel Hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden 66,3% (67 orang) berjenis kelamin perempuan namun dari 21 responden yang memiliki kadar COHb tidak memenuhi syarat sebanyak 50% (17 orang) berjenis kelamin laki laki dan hanya 6% (4 orang) yang berjenis kelamin perempuan. Pendidikan terakhir sebagian besar responden 99% (100 orang) adalah SMA dan dari 21 responden yang memiliki kadar COHb tidak memenuhi syarat sebesar 100% (21 orang) memiliki latar belakang pendidikan tamat SMA (Sekolah Menengah Atas). Tabel 1 Karakteristik Responden berdasarkan jenis kelamin dan pendidikan terhadap kadar COHb Kadar COHb Tidak Memenuhi Memenuhi Syarat Syarat n % n % 17 4 21 21 0 21 50,0 6,0 20,8 21,0 0,0 20,8 17 63 80 79 1 80 50,0 94,0 79,2 79,0 100,0 79,2

Jenis Kelamin Jenis Kelamin Laki laki Perempuan Jumlah Pendidikan SMA Perguruan Tinggi Jumlah Data Primer

Jumlah n 34 67 101 100 1 101 % 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0

Semua responden bekerja selama 8 jam/hari selama enam hari kerja dengan kumulatif jam kerja dalam satu minggu adalah 48 jam/minggu. Dari 101 responden, sebesar 14,9% (15 orang) yang merokok, dari 15 yang merokok, 77,3% (11 orang) masuk kategori perokok ringan. Adapun usia saat pertama kali menjadi perokok aktif yang terbanyak berada pada umur di atas 15 tahun yaitu sebesar 80% (12 orang) dengan jenis rokok yang dihisap oleh semua responden adalah rokok filter putih. Kadar CO di Udara Pengukuran kadar CO di udara dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada waktu pagi hari pukul 07.30 09.00 WITA sebagai keterwakilan kadar CO udara untuk pagi hari pada saat aktifitas perparkiran basement 1, 2 dan Karebosi Link dimulai dan juga waktu kerja awal shift 1, setelah itu pengukuran kedua dilakukan pada pukul 14.30 15.30 WITA sebagai keterwakilan kadar CO udara pada saat pergantian shift Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013 255

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

1 ke shift 2 dan pengukuran ketiga dilakukan pada pukul 22.30 23.30 WITA sebagai keterwakilan waktu akhir shift 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa rata rata kadar karbon monoksida di udara pada parkiran basement 1, 2 dan Karebosi link untuk pengukuran malam hari dan pagi hari masih berada di bawah Nilai Ambang Batas yaitu dibawah 29 mg/m3. Pada pengukuran udara yang dilakukan di siang hari pukul 14.30 15.30 WITA , rata rata konsentrasi CO untuk basement 1 dan 2 masih berada dibawah Nilai Ambang Batas dan untuk perparkiran Karebosi Link, rata rata kadar CO udara berada di atas Nilai Ambang batas yaitu 31,2 mg/m3. Tabel 2. Distribusi kadar CO di Udara berdasarkan tempat dan waktu pengukuran Lokasi Basement 2 Department Depan Lift Depan Ruang Genset Depan PT. Smart Bagian Tengan Samping Carrefour Samping Mushollah Pos Tiket Carrefour Depan Ruang Genset Bagian Tengah Pintu Keluar Mobil Depan Pusat Perawatan Mobil Blok H35 Blok K18 Blok K09 Konsentrasi CO (mg/m3) Pagi Siang Malam 0,264 21,582 0,264 0,176 21,055 0,176 0,088 11,495 0,088 0,967 21,462 0,088 0,264 24,923 0,088 0,352 20,103 0,141 0,088 21,703 0,088 1,143 22,231 0,088 1,582 23,989 0,088 1,231 22,022 0,088 1,407 21,934 0,088 1,090 22,376 0,088 0,088 25,527 0,352 0,088 25,791 0,088 0,176 0,264 0,352 0,194 32,484 37,451 34,747 31,200 0,088 0,088 0,088 0,141

Rata-rata Basement 1

Rata-rata Karebosi Link

Rata-rata Data Primer

Tabel 3. Distribusi kadar COHb berdasarkan usia, lama kerja, status gizi, staus merokok dan kadar CO di Udara Kadar COHb Tidak Memenuhi Memenuhi Syarat Syarat n % N % 5 16 21 13 8 21 7 14 21 12 9 21 11 10 21 38,5 18,2 20,8 25,5 16,0 20,8 30,4 17,9 20,8 80,0 10,5 20,8 35,5 14,3 20,8 8 72 80 38 42 80 16 64 80 3 77 80 20 60 80 61,5 81,8 79,2 74,5 84,0 79,2 69,6 82,1 79,2 20,0 89,5 79,2 64,5 85,7 79,2

Variabel

Jumlah n 13 88 101 51 50 101 23 78 101 15 86 101 31 70 101 % 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0

Uji statistik (p )

Usia 30 44 Tahun 15 29 Tahun Jumlah Lama Kerja 18 Bulan <18 Bulan Jumlah Status Gzi Gizi Kurang Gizi Normal Jumlah Status Merokok Perokok Bukan Perokok Jumlah Kadar CO di Udara Melebihi NAB Sesuai NAB Jumlah Data Primer

0,137

0,352

0,243

0,001

0,031

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

256

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tabel 3 menunjukkan bahwa Usia, Lama Bekerja dan Status Gizi tidak berhubungan dengan kadar COHb petugas parkir tertutup di MTC Karebosi Kota Makassar ( p > 0,05) sedangkan Status Merokok (p = 0,001) dan Kadar CO di Udara (p = 0,031) berhubungan dengan kadar COHb petugas parkir tertutup di MTC Karebosi Kota Makassar. Analisis Multivariat Tabel 4 menunjukkan bahwa dari hasil analisis multivariat dengan menggunakan Uji Regresi Logistik terhadap empat variabel, hanya variabel status merokok berhubungan dengan kadar COHb dengan nilai Wald (20,609, sig. = 0,001). Persamaan regresi logistik model akhir adalah sebagai berikut : Y = 2,843 + 3,515 (rokok) Tabel 4 Hasil uji regresi variabel independen yang berhubungan secara bermakna dengan peningkatan kadar COHb responden Exp () 2,850 2,369 33,599 2,200 0,058 95% CI for Exp () Lower Upper 0,569 14,282 0,603 9,314 7,368 153,217 0,618 7,832

Variabel Usia Status Gizi Status Merokok Konsentrasi CO di Udara Constant Data Primer

B 1,047 0,863 3,515 0,788 -2,843

Wald 1,623 1,525 20,609 1,481 27,965

Sig. 0,203 0,217 0,001 0,224 0,001

PEMBAHASAN Penelitian ini memperlihatkan bahwa dari 101 responden sebanyak 21 responden yang memiliki kadar COHb tidak memenuhi syarat dengan sebanyak 50% berjenis kelamin laki laki. Hal ini menunjukkan bahwa laki laki lebih berisiko karena lebih banyak memiliki faktor risiko berupa perilaku merokok dan lebih aktif bersinggungan dengan pengaturan kendaraan di tempat parkir. Usia berkaitan dengan kekebalan tubuh dalam mengatasi tingkat toksisitas suatu zat, semakin tua usia seseorang maka efektifitas sistem kekebalan di dalam tubuh akan semakin berkurang. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan usia dengan kadar COHb, nilai p > 0,05 (0,137). Tidak ada hubungan yang bermakna antara usia terhadap kadar COHb dalam darah responden dapat disebabkan jarak usia responden tidak terlalu jauh atau terdapat variasi yang kecil pada usia responden yaitu sebagian besar berada pada usia 15 29 tahun. Hal lainnya yang mempengaruhi adalah secara keseluruhan usia responden berada pada usia muda yaitu berada dibawah 40 tahun, pada usia ini fungsi fungsi organ dalam tubuh dan fungsi- fungsi enzim untuk menetralisir racun masih berada dalam kemampuan fungsi metabolisme yang maksimal dan belum mengalami penurunan fungsi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Clarke, dkk (2012) di Inggris yang melakukan skrining keterpaparan karbon monoksida, pada setiap variabel kelompok umur terhadap peningkatan kadar COHb tidak ada hubungan yang signifikan. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Weaver, dkk (2007) di Salt Lake City, Utah juga tidak menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan untuk umur dibawah 36 Tahun (p = 0,45) terhadap keracunan CO dan level COHb. Lama bekerja sangat berhubungan dengan estimasi dimulainya keterpajanan dan efek yang ditimbulkan akibat keterpajanan tersebut (Ezzati, 2004). Dari 21 responden yang memiliki kadar COHb tidak memenuhi syarat diperoleh sebanyak 13 orang (25,5%) memiliki lama kerja lebih besar sama dengan 18 bulan (diatas 1 tahun 6 bulan) dan sebanyak 8 orang memiliki lama kerja lebih kecil dari 18 bulan (dibawah 1 Tahun 6 bulan). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara lama bekerja dengan Kadar COHb, nilai p > 0,05 (0,352). Hal ini sesuai dengan Badan POM RI (2010) yang menyatakan bahwa karbon monoksida bukan merupakan racun yang bersifat kumulatif atau karsinogenik. Meskipun karbon monoksida bukan merupakan racun yang kumulatif, paparan kronik rendah hingga sedang dapat menimbulkan serangan pengambilan oksigen berulang dan efek resultan termasuk kerusakan kardiovaskuler atau sistem saraf pusat. Status gizi yang kurang atau buruk akan berpengaruh terhadap kemampuan tubuh untuk mengganti jaringan yang mati akibat terpapar CO di dalam darah. Asupan nutrisi juga diperlukan dalam rangka pembentukan sel sel darah merah (hemoglobin), pembentukan hemoglobin membutuhkan suplai protein yang kuat dalam bentuk asam amino. Uji statistik variabel status gizi terhadap kadar COHb diperoleh nilai p = 0,243 yang artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi terhadap kadar COHb responden. Penelitian yang dilakukan Ekpenyong, dkk (2012) tentang Body Mass Index (BMI) terhadap keterpaparan polusi udara CO pada pekerja pelayanan masyarakat, pengendara kendaraan bermotor pribadi dan supir taksi di Kota Uyo, Nigeria Utara didapatkan nilai p = 0,480 yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara keterpaparan CO terhadap BMI. Merokok menjadi salah satu sumber karbon monoksida bagi perokok itu sendiri dan bagi orang lain disekitarnya. Dalam asap rokok terkandung sejumlah senyawa kimia yang berbahaya bagi tubuh diantaranya Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013 257

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

nikotin, tar dan karbon monoksida. Rokok merupakan sumber polusi udara yang paling besar pada ruang tertutup (Nazaroff, 2004; Mueller, 2011). Sebanyak 15 orang responden (14,9 %) adalah perokok aktif,dari 15 orang responden tersebut semuanya berjenis kelamin laki laki dan sebanyak 4 orang responden (26,7 %) kategori perokok sedang (10 20 batang/hari) dan 11 orang responden (73,3 %) kategori perokok ringan (< 10 batang/hari). Sebanyak 12 responden (80%) memulai sebagai perokok aktif pada usia di atas 15 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang bermakna antara status merokok terhadap kadar COHb darah responden p = 0,001. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Clarke, dkk (2012) yang menunjukkan kadar COHb perokok lebih tinggi dibanding kadar COHb bukan perokok (p 0,05). Pada hasil analisis multivariat, merokok merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap kadar COHb responden dengan probabilitas 66,19% pada perokok aktif dan 5,50% pada bukan perokok. Besarnya pengaruh asap rokok bagi kadar COHb karena dalam asap rokok terkandung karbon monoksida (CO) dengan konsentrasi lebih dari 20000 ppm, yang apabila dihisap maka konsentrasi tersebut terencerkan menjadi 400 500 ppm. Konsentrasi CO yang tinggi dalam asap rokok tersebut yang mengakibatkan kadar COHb di dalam darah meningkat (Fardiaz, 1992). Kemampuan karbon monoksida untuk mengikat hemoglobin pada asap rokok adalah sebesar 245 kali dibandingkan oksigen (Light dkk, 2007) Karbon monoksida yang ada di udara dan terhirup akan diikat oleh hemoglobin dan menjadi COHb (Issa,dkk, 2010). Pada konsentrasi tertentu, karbon monoksida di udara dan konsentrasi COHb dalam darah akan mencapai keadaan setimbang (ekuilibrium) dalam beberapa waktu tertentu. Konsentrasi ekuilibrium COHb tersebut akan tetap dipertahankan dalam darah selama konsentrasi karbon monoksida di udara sekelilingnya tidak mengalami perubahan (Fardiaz, 1992). Berdasarkan hasil uji statistik, untuk kadar CO Udara terhadap kadar COHb diperoleh nilai p = 0,031 yang artinya terdapat hubungan yang bermakna antara kadar CO Udara terhadap kadar COHb petugas. Hal ini sejalan dengan peneltian yang dilakukan oleh Muslimin (2005) yang menyatakan bahwa konsentrasi karbon monoksida di udara memiliki hubungan yang linier dengan konsentrasi CO dalam darah petugas. Kadar COHb tidak berhubungan dengan ganguan kesehatan yang dirasakan oleh responden (p > 0,05) hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Selvia (2011) menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kadar COHb dengan gangguan kesehatan berupa kapasitas vital paru. Kadar CO udara yang sebagian besar masih berada dibawah NAB apabila dihubungkan dengan kadar COHb yang sebagian besar responden masih memenuhi syarat terhadap gangguan kesehatan yang dirasakan oleh responden diperoleh hasil sebagian besar responden merasakan pusing (54,5%), mengantuk (38,6 %) dan lemah / lelah (23%). Kadar COHb dan kadar CO udara yang sebagian besar responden masih memenuhi syarat namun juga tetap merasakan beberapa gangguan kesehatan dapat terjadi apabila dilihat dari lama jam kerja responden yang secara keseluruhan telah melebihi ketentuan yaitu berada diatas 40 jam/minggu. Hal lain yang juga dapat menjadi penyebab adalah dalam penelitian ini tidak dilakukan pengukuran terhadap gas gas pencemar udara yang lain yang biasanya juga menyertai dalam pembuangan gas emisi kendaraan berupa CO2 (karbon dioksida), timbal, NOx, dan PM10 (Partikulat Matter). Padahal pemaparan oleh gas gas tersebut juga dapat menimbulkan efek gangguan kesehatan dengan gejala umum yang sama. KESIMPULAN DAN SARAN Disimpulkan bahwa status merokok dan kadar CO di udara berhubungan dengan kadar COHb petugas parkir tertutup di MTC Karebosi Kota Makassar. Pengelolaan dan pengontrolan secara berkala sistem saluran udara di areal parkir tertutup dianjurkan untuk dilakukan dalam upaya pengendalian faktor risiko polusi udara karbon monoksida. DAFTAR PUSTAKA Badan POM RI (2010). Karbon Monoksida. Sentra Informasi Keracunan Nasional (SiKer Nas) BPOM, Jakarta. Clarke, dkk (2012). Screening for Carbon Monoxide Exposure in Selected Patient Groups Attending Rural and Urban Emergency Departments in England: A Prospective Observational Study . BMJ Open 2012;2:e000877. Ekpenyong, dkk (2012). Urban City Transportation Mode and Respiratory Health Effect of Air Pollution: A Cross-Sectional Study Among Transit and Non-transit Workers in Nigeria. BMJ Open 2012;2:e001253. Marisol Concha-Barrientos, Deborah Imel Nelson, Timothy Driscoll, N. Kyle Steenland, Laura Punnett, Marilyn A. Fingerhut (2004) Selected occupational risk factors.. www.who.int/publications/2004/9241580348_eng_vol.2_pdf. Diakses tanggal 30 April 2013. Fardiaz, S (1992). Polusi Air dan Udara. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. D G Fullerton,1,2 S Semple,3 F Kalambo,1 A Suseno,1,2 R Malamba,1 G Henderson (2009). Biomass fuel use and indoor air pollution in homes in Malawi. Occup Environ Med 2009;66:777783. doi:10.1136/oem.2008.045013 Franklin PJ (2007). Indoor air quality and respiratory health of children. Paediatric Respiratory Journal 2007, 8:281286.

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

258

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Gulati, dkk (2009). Carbon Monoxide Epidemic Among Immigrant Populations: King County, Washington, American Journal of Public Health September 2009, Vol 99, No. 9 Jaqueline S Issa, Tania M O Abe, Alexandre C Pereira, Maria Cristina Megid, Cristina E Shimabukuro, Luis Sergio O Valentin, dkk (2010). The effect of Sao Paulos smoke-free legislation on carbon monoxide concentration in hospitality venues and their workers . Tobacco Control Journal 2011;20:156e162. doi:10.1136/tc.2010.037614 Light A., Grass C., Pursley D., Krause J (2007). Carboxyhemoglobin Levels in Smokers vs. Non-Smokers in a Smoking Environment. Respiraroty Care Journal 2007; 52(11): 1576. Lingyun Wu, Rui Wang (2005). Carbon Monoxide:Endogenous Production,Physiological Functions, and Pharmacological Applications. pharmrev.aspetjournals.org Mansyur, Umar (2008). Model Pengelolaan Transportasi Angkutan Umum Penumpang Non Bus Berkelanjutan Kota Makassar; IPB, Bogor. Muslimin (2005). Analisis Faktor faktor yang Berhubungan dengang Konsentrasi Karbon Monoksida (CO) dalam Darah Petugas DLLAJ dengan Kejadian Nyeri Kepala di Kota Makassar. Tesis, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar. Daniel Mueller, Stefanie Uibel, Markus Braun, Doris Klingelhoefer, Masaya Takemura, David A Groneberg (2011). Tobacco smoke particles and indoor air quality (ToPIQ) - the protocol of a new study. Journal of Occupational Medicine and Toxicology 2011, 6:35 Nazaroff WW, Singer BC (2004). Inhalation of hazardous air pollutants from environmental tobacco smoke in US residences. J Expo Anal Environ Epidemiol 2004, 14:S71-S77. Selvia, Indah Rahmawati, Joko Mulyanto (2011). Hubungan kadar hbco dengan kapasitas vital paru pedagang di terminal bus purwokerto. Mandala of Health. Volume 5, Nomor 2, Mei 2011 Sofuoglu SC, Aslanb G, Inal F, Sofuoglu A (2011) An assessment of indoor air concentrations and health risks of volatile organic compounds in three primary schools. Int J Hyg Environ Health 2011, 214:3646. Sofia I V Sousa, Catarina Ferraz, Maria C M Alvim-Ferraz, Luisa G Vaz, Agostinho J Marques, Fernando G Martins (2012). Indoor air pollution on nurseries and primary schools: impact on childhood asthma study protocol. BMC Public Health 2012, 12:435 Weaver, dkk (2007). Carbon Monoxide Poisoning Risk Factors for Cognitive Sequelae and the Role of Hyperbaric Oxygen. American journal of respiratory and critical care medicine vol 176 2007

Volume 1, Nomor 3, Januari-Juni 2013

259

También podría gustarte