Está en la página 1de 21

BAB I KASUS

IDENTITAS PASIEN Nama Umur Pekerjaan Tgl dan jam masuk No. Rekam Medis : Nn. K A : 37 tahun : Tidak Bekerja : 18 Juni 2013 jam 13.00 : 037949-2013

Dokter yang merawat : dr. Hary Purwoko, SpOG, K-Fer ANAMNESIS Keluhan Utama : kiriman bidan dengan G1P0A0 hamil 37 minggu

sudah keluar air-air dari vagina sejak jam 23.00 kemarin.

Riwayat Penyakit Sekarang

: Os mengaku sebelumnya didahului keluar lendir dan

darah sejak 20.30. kenceng-kenceng disangkal pasien. Riwayat Pemeriksaan Kehamilan : Riwayat pemeriksaan kehamilan teratur

Riwayat Penyakit Dahulu

: Os menyangkal memiliki riwayat DM dan hipertensi

Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat Pengobatan

: Riwayat DM dan hipertensi dalam keluarga disangkal : tidak ada

Riwayat Perkawinan

: Belum menikah

Riwayat Haid

: Pertama 15 tahun, teratur, tidak sakit, Lama haid 4 hari, siklus 28 hari, HPHT : 14-10-2012 T.P : 25-7-2013

Riwayat Persalinan Gravida ( 0

), Aterm ( - ), Premature ( - ), Abortus ( -), Anak Hidup (-), SC (-) : Tidak ada riwayat alergi

Riwayat Alergi

Riwayat Operasi

: Tidak Ada

PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum Kesadaran Tanda Vital: TD : 110/80mmHg Nadi RR : 110 x/min : 28 x/min : Baik : CM

Suhu : 36,70C STATUS GENERALIS Kepala Mata Konjungtiva Sclera Leher Kelenjar : Anemis (+) : Ikterik (-) : Normocephale

: tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid : Tidak terdapat parut, pergerakan dada simetris

Jantung Paru-paru Ekstremitas Atas Ekstremitas Bawah STATUS OBSTETRI

: suara jantung S1 > S2 normal, murmur (-), gallop (-) : suara dasar nafas vesikuler, perkusi sonor diseluruh lapang paru : Akral hangat, Edema (-) : Akral dingin, Edema (-)

Pemeriksaan Abdomen Inspeksi Palpasi : Perut Cembung, tidak terdapat striae gravidarum : Hepar dan lien tidak dapat dinilai Leopold I Leopold II Leopold III Leopold IV Denyut Jantung Janin TFU Taksiran Berat Janin His PD : Teraba bagian lunak bulat, presentasi bokong : Teraba punggung janin pada bagian kanan ibu : Teraba bagian keras bulat, presentasi kepala : Konvergen, Kepala belum masuk PAP, 5/5 : 148 x/menit : 29 cm : 2700 gram : lemah, 1x10 menit, lama 10 detik : vulva dan vagina tenang, lengkap, penurunan kepala pada bidang Hodge II

DIAGNOSIS: Ibu Bayi : G1P0A0, hamil 37 minggu, dengan inersia uteri : Janin tunggal, hidup, intrauterin, presentasi kepala

RENCANA TINDAKAN Cek darah EKG Infus RL 20tpm DC Ceftriaxon injeksi Oksitosin 5 IU 20 tpm O2 3L/min Observasi, pro SC

PROGNOSIS Ibu Bayi : diharapkan baik : diharapkan baik

TGL 18/6/2013 Hasil Lab Leukosit 37,8 () Ht 36,7 () MCH 25,9 () Limfosit 1,4 () Monosit 12 () Granulosit 36,2 () PCT 0,181 () Follow up tanggal 19/6/2013 Pasien puasa sejak jam 6 pagi, pro SC. SC dilakukan pukul 12.15 selesai pukul 13.20 TD : 110/80 His : lemah, 1x10 menit, lama 10 detik VT : lengkap, kepala H II

A : inersia uteri R : Observasi Laporan Persalinan SC dilakukan pukul 11.00 selesai pukul 12.20. Bayi lahir pukul 11.20; JK : Perempuan; BBL : 2400 gr; AS: 7/8/9 Post operasi kembali ke bangsal pukul 13.30 karena sudah stabil. K.U : baik TD : 110/70 N : 80 RR: 20

Dilakukan pengawasan vital sign setiap 15 menit pada 1 jam pertama


Jam 13.30 13.45 14.00 14.15 Nadi 84 x/min 80 x/min 84 x/min 82 x/min Tekanan Darah 110/70 mmHg 110/70 mmHg 110/70 mmHg 110/70 mmHg Pernafasan 22 x/min 20 x/min 22 x/min 20 x/min

Planning

: R/ ceftriaxone 2x1, metronidazole 2x1, ME 4x1, ketorolac 4x1.

Pukul 17.00 cek darah TGL 19/6/2013 Hasil Lab Leukosit 28,1 () MCV 79,1 () MCH 25,4 () Limfosit () Monosit () Granulosit () : R/ ceftriaxone 2x1, metronidazole 2x1, ME 4x1, ketorolac 4x1.

Planning

Tanggal 19/6/2013

Laporan observasi TD : 100/80, N : 80x/min, RR : 24x/min, S : 36,60C Cek Darah Injeksi Ceftriaxon, metronidazole 2x1 ampul, Ketorolac dan ME 4x1 ampul

20/6/2013

Post SC H1, pasien sudah dapat mobilisasi miring, PPV N, Flatus (-) TD : 100/80, N : 82x/min, RR : 24x/min, S : 36,30C

21/6/2013

Post SC H2, flatus (+) mobilisasi duduk (+) TD : 110/70, N : 84x/min, RR : 20x/min, S : 36,20C Injeksi Ceftriaxon dan Metronidazol 2x1 ampul

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


DISTOSIA AKIBAT POWER Roy (2003) mengemukakan pendapatnya bahwa tingginya diagnosa distosia merupakan akibat dari perkembangan perubahan lingkungan yang berlangsung lebih cepat dari pada perkembangan evolusi manusia itu sendiri. Joseph dkk (2003) melakukan analisa karakteristik maternal berkaitan dengan kenaikan angka kejadian SC di Nova Scotia. Mereka melaporkan bahwa kenaikan angka kejadian SC tersebut berhubungan dengan perubahan pada usia maternal, paritas, berat badan sebelum hamil dan pertambahan berat badan selama kehamilan. Nuthalapaty dkk (2004) dan Wilkes dkk (2003) mengemukakan adanya hubungan antara berat badan maternal dengan distosia.

A. Etiologi Distosia merupakan akibat dari 4 gangguan atau kombinasi antara :. 1. Kelainan Tenaga Persalinan. Kekuatan His yang tidak memadai atau tidak terkordinasi dengan baik agar dapat terjadi dilatasi dan pendataan servik (uterine dysfunction) serta gangguan kontraksi otot abdomen dan dasar panggul pada kala II. 2. Kelainan Presentasi-Posisi dan Perkembangan janin 3. Kelainan pada Tulang Panggul (kesempitan panggul) 4. Kelainan Jaringan Lunak dari saluran reproduksi yang menghalangi desensus janin Penyebab disfungsi uterus antara lain : 1) Analgesia epidural 2) Chorioamnionitis 3) Posisi ibu selama persalinan 4) Posisi persalinan pada kala II

Secara sederhana, kelainan diatas dapat secara mekanis dikelompokkan kedalam 3 golongan : 1. Kelainan power : kontraksi uterus dan kemampuan ibu meneran 2. Kelainan passanger : keadaan janin 3. Kelainan passage : keadaan panggul

1. Over Diagnosa Distosia

Kombinasi dari berbagai keadaan yang terlihat pada tabel 1 diatas sering mengakibatkan disfungsi persalinan. Saat ini, terminologi cephalopelvic disproportion atau failure to progress sering digunakan untuk menyatakan adanya proses persalinan yang tidak efektif.
a. Cephalopelvic Disproportion

CPD adalah diagnosa yang sangat tidak objektif oleh karena lebih dari 2/3 pasien dengan diagnosa CPD dan menjalani SC, pada persalinan selanjutnya ternyata dapat melahirkan janin spontan pervaginam yang tidak jarang lebih besar dan lebih berat dari persalinan sebelumnya.
b. Failure to Progress ( partus tak maju )

Istilah ini menjadi terminologi populer untuk menyatakan adanya persalinan yang berlangsung tidak efektif pada persalinan spontan atau dengan induksi oksitosin. Terminologi ini biasa digunakan pada situasi dimana tidak terjadi kemajuan dilatasi servik dan atau desensus janin atau terjadi kemajuan yang tidak normal. Sudah menjadi pendapat umum sekarang ini bahwa diagnosa distosia pada persalinan dengan SC merupakan hal yang bersifat overdiagnosis. Tindakan SC dengan indikasi distosia sering menjadi hal yang bersifat kontroversial oleh karena beberapa hal :

1. Penegakkan diagnosa distosia yang tak tepat 2. Efek pengunaan analgesia epidural tak diperhitungkan 3. Kecemasan medikolegal yang berlebihan 4. Kenyamanan klinis bagi dokter atau pasien ( dokter terburu-buru atau pasien menghendaki hal yang terbaik bagi dirinya ) 5. Stimulasi oksitosin tidak diberikan dengan metode yang tepat dan benar.

Rekomendasi dari American College of Obstetricians and Gynecologist (1995a) sebelum diagnosa distosia ditegakkan, dilatasi servik harus sudah lebih dari 4cm ( pasien sudah masuk persalinan aktif ) .

B. MEKANISME DISTOSIA

Pada akhir kehamilan, agar dapat melewati jalan lahir kepala harus dapat mengatasi tebalnya segmen bawah rahim dan servik yang masih belum mengalami dilatasi. Perkembangan otot uterus di daerah fundus uteri dan daya dorong terhadap bagian terendah janin adalah faktor yang mempengaruhi kemajuan persalinan kala I. Setelah dilatasi servik lengkap, hubungan mekanis antara ukuran dan posisi kepala janin serta kapasitas panggul (fetopelvic proportion) dikatakan baik bila sudah terjadi desensus janin. Gangguan fungsi otot uterus dapat disebabkan oleh regangan uterus berlebihan dan atau partus macet (obstructed labor). Dengan demikian maka persalinan yang tidak berlangsung secara efektif adalah merupakan tanda akan adanya fetopelvic disproportion. Membedakan gangguan persalinan menjadi disfungsi uterus dan fetopelvic disproportion secara tegas adalah tindakan yang tidak tepat oleh karena kedua hal tersebut sebenarnya memiliki hubungan yang erat. Kondisi tulang panggul bukan satu-satunya penentu keberhasilan berlangsungnya proses persalinan pervaginam. Bila tidak ada data objektif untuk mendukung adanya disfungsi uterus dan FPD, harus dilakukan TRIAL of LABOR untuk menentukan apakah persalinan pervaginam dapat berhasil pada sebuah persalinan yang diperkirakan akan berlangsung tidak efektif. Banyak ahli yang berpendapat bahwa tindakan TRIAL of LABOR adalah merupakan prioritas utama untuk menurunkan kejadian sectio caesar.

a) ABNORMALITAS TENAGA PERSALINAN

Dilatasi servik dan propulsi serta ekspulsi janin dimungkinkan oleh adanya his dan usaha meneran ibu pada persalinan kala II. Gangguan intensitas satu atau kedua faktor diatas akan menyebabkan perjalanan partus yang terhambat atau terganggu. Diagnosa disfungsi uterus pada kala I fase laten sulit ditegakkan dan umumnya dibuat secara retrospektif. Salah satu kesalahan yang sering dilakukan adalah terapi disfungsi uterus pada pasien yang masih belum inpartu. 3 hal penting yang perlu mendapat perhatian dalam penatalaksanaan disfungsi uterus: 1. Membiarkan berlangsungnya partus lama tanpa tindakan akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal. 2. Oksitosin drip dapat digunakan untuk mengatasi beberapa jenis disfungsi uterus. 3. Pada kasus dengan kegagalan atau terdapat kontra-indikasi oksitosin drip, pilihan untuk melakukan SC lebih utama dibandingkan pilihan persalinan dengan ekstrasi cunam tengah yang teknis sulit dikerjakan dan sering menimbulkan komplikasi.

C. JENIS DISFUNGSI UTERUS

Reynold dkk (1948) Kontraksi uterus pada persalinan normal ditandai dengan aktivitas miometrium yang bersifat gradual, dengan kontraksi terkuat dan berlangsung lama dibagian fundus uteri dan kearah servik kekuatan kontraksi uterus secara bertahap menjadi semakin berkurang. Caldeyro-Barcia dkk (1950) dari Montevideo Uruguay menyatakan bahwa terdapat perbedaan waktu dari onset kontraksi uterus di daerah fundus uteri dan daerah pertengahan corpus uteri serta pada segmen bawah rahim. Larks (1960) menjelaskan bahwa rangsangan yang berawal di bagian cornu akan diikuti oleh rangsangan berikutnya beberapa milidetik setelahnya, gelombang rangsangan akan saling menyatu dan diteruskan secara serentak dari fundus uteri kebagian bawah uterus. Agar terjadi dilatasi servik, diperlukan kontraksi uterus dengan intensitas sekurangkurangnya 15 mmHg. Kontraksi uterus yang berlangsung secara normal dapat menimbulkan tekanan intrauterin sampai 60 mmHg. Dengan data diatas, maka disfungsi uterus dapat dibedakan menjadi :

Disfungsi uterus hipotonik : Tidak ada tonus basal Kontraksi uterus memiliki pola gradasi normal ( synchronous ) tetapi Tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi uterus tidak cukup kuat untuk menyebabkan terjadinya dilatasi servik. Disfungsi hipertonik ( incoordinate uterine dysfunction) Basal tonus meningkat dan atau Kekacauan dalam gradasi tekanan yang ditimbulkan oleh his akibat tekanan yang ditimbulkan oleh his dibagian tengah uterus lebih besar daripada yang dihasilkan oleh bagian fundus dan atau adanya peristiwa asinkronisme dari rangsang yang berasal dari cornu.

D. GANGGUAN PERSALINAN KALA I FASE AKTIF

Gangguan persalinan secara klinis dibagi menjadi : 1. Lebih lambat dari kemajuan persalinan yang normal (protraction disorder) dan atau 2. Terhentinya kemajuan persalinan (arrest disorder) Persalinan kala I fase aktif bila dilatasi servik sudah mencapai sekurang-kurangnya 4 cm.
1) Active phase arrest

Handa dan Laros (1993) : Active-phase arrest adalah bila dalam waktu 2 jam tidak terdapat kemajuan pada dilatasi servik Angka kejadian : 5% pada nulipara dengan kehamilan aterm ,menurut Friedman pada tahun 1978, angka kejadian ini tidak berubah sejak tahun 1950 His tidak adekuat adalah bila kekuatannya 180 Montevideo Unit dan keadaan ini terdapat pada 80% kasus terhentinya fase aktif (active-phase arrest).

2) Protraction disorder

Definisi keadaan ini lebih sulit ditentukan.WHO : dalam partograf dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan protraction adalah kecepatan dilatasi servik 1 cm per jam untuk waktu minimum 4 jam. Kriteria active phase arrest dan protraction disorder menurut American College of Obstetricians and Gynecologist dapat dilihat pada tabel 2 berikut :

Sebelum menegakkan diagnosa arrest selama persalinan kala I maka kedua kriteria berikut harus dipenuhi: 1. Dilatasi servik sudah lebih dari 4 cm. 2. His dengan kekuatan 200 Montevideo Unit selama 10 menit sudah berlangsung selama 2 jam tanpa diikuti dengan perubahan pada servik.

E. GANGGUAN PERSALINAN KALA II

Desensus kepala terutama terjadi setelah dilatasi servik lengkap. Sebagian besar dari seven cardinal movement of labor berlangsung pada kala II. Akibat dari adanya kelainan CPD umumnya terlihat pada kala II. Batas waktu kala II pada nulipara adalah 2 jam ( 3 jam pada kasus dengan anestesi regional) dan pada multipara adalah 1 jam ( 2 jam pada kasus dengan anestesi regional).

F. DERAJAT PENURUNAN (station) PADA AWAL PERSALINAN

Engagement = desensus diameter biparietal janin sampai setinggi spina ischiadica maternal (station 0).

Terdapat kaitan erat antara bagian terendah janin yang masih tinggi saat memasuki persalinan dengan kejadian distosia yang akan terjadi.

G. PARTUS PRESIPITATUS

Hughes (1972) : partus presipitatus adalah kejadian dimana ekspulsi janin berlangsung kurang dari 3 jam setelah awal persalinan. Ventura dkk (2000) : angka kejadian partus presipitatus tahun 1998 di USA sebesar 2% dan terutama terjadi pada multipara dengan frekuensi kontraksi uterus kurang dari 2 menit. Mahon dkk (1979) : short labor adalah bila kecepatan dilatasi servik pada nulipara > 5 cm/jam dan pada multipara 10 cm/jam. Partus presipitatus sering berkaitan dengan : 1. Solusio plasenta 2. Aspirasi mekonium. 3. Perdarahan post partum. 4. Apgar score rendah.

H. KOMPLIKASI Komplikasi maternal: 1. Jarang terjadi bila dilatasi servik dapat berlangsung secara normal. 2. Bila servik panjang dan jalan lahir kaku, akan terjadi robekan servik dan jalan lahir yang luas. 3. Emboli air ketuban (jarang). 4. Atonia uteri dengan akibat HPP. Komplikasi janin : 1. Morbiditas dan mortalitas perinatal meningkat oleh karena : 1. Kontraksi uterus yang terlalu kuat akan menyebabkan asfiksia intrauterin. 2. Trauma intrakranial akibat tahanan jalan lahir. 2. Acker dkk (1988) melaporkan kejadian Erb atau Duchene paralysis pada 1/3 kasus partus presipitatus. 3. Persalinan tanpa pertolongan yang baik akan menyebabkan cedera pada janin akibat terjatuh dilantai atau tidak dapat segera memperoleh resusitasi bila diperlukan.

I. PENATALAKSANAAN

1. Kejadian ini biasanya berulang, sehingga perlu informasi dan pengawasan yang baik pada kehamilan yang sedang berlangsung. 2. Hentikan pemberian oksitosin drip bila sedang diberikan.

BAB III ANALISA KASUS Data dalam Kasus Anamnesis Analisa Dari anamnesis awal, dapat terlihat tanda-

kiriman bidan dengan G1P0A0 hamil 37 minggu tanda awal dari inpartu yaitu : sudah keluar air-air dari vagina sejak jam 23.00 Keluarnya lendir darah kemarin. Os mengaku sebelumnya didahului Dan keluarnya cairan ketuban dimulai setelah keluar lendir dan darah sejak 20.30. kencengkenceng disangkal pasien. DJJ TFU TBJ His detik PD : vulva dan vagina tenang, lengkap, : 148 x/menit : 29 cm : 2700 gram : lemah, 1x10 menit, lama 10

memasuki keadaan inpartu, jadi disebut ketuban pecah awal. Terdapat pembukaan yang sudah lengkap, namun his tidak adekuat. Keadaan ini dinamakan inersia uteri. Keadaan ini dapat menyebabkan kesulitan saat proses kelahiran

penurunan kepala pada bidang Hodge II

DIAGNOSIS: Ibu Bayi : G1P0A0 H37mg d/ inersia uteri : Janin tunggal, hidup, intrauterin,

presentasi kepala RENCANA TINDAKAN


Cek darah EKG Infus RL 20tpm DC Ceftriaxon injeksi Oksitosin 5 IU 20 tpm O2 3L/min Observasi, pro SC

Pemberian menghindari

antibiotik terjadinya

dengan infeksi

alasan akibat

ketuban yang sudah pecah. Sedangkan pemberian oksitosin agar terdapat perbaikan his Pemeriksaan USG tidak dilakukan, ditambah
TGL 18/6/2013 Hasil Lab Leukosit 37,8 () Ht 36,7 () MCH 25,9 () Limfosit 1,4 () Monosit 12 () Granulosit 36,2 () PCT 0,181 ()

lagi ibu belum memiliki His yang mumpuni untuk melakukan partus pervaginam. Maka pasien memiliki indikasi untuk melakukan Seksio secarea karena mengalami partus lama dimana persalinan tidak terjadi sampai 18 jam setelah tanda inpartu padahal sudah diberikan penurunan membaik. Terdapat tanda-tanda infeksi dikarenakan terdapat peningkatan leukosit yang cukup signifikan. Oleh karenanya diberikan induksi kepala. untuk Namun mempercepat his tidak

Follow up tanggal 19/6/2013

Pasien puasa sejak jam 6 pagi, pro SC. SC dilakukan pukul 12.15 selesai pukul 13.20 TD : 110/80

antibiotik sebelum dan setelah SC.

His : lemah, 1x10 menit, lama 10 Peningkatan monosit mencerminkan adanya detik indikasi infeksi virus, bakteri, atau parasit. VT : lengkap, kepala H II A : inersia uteri R : Observasi

Keadaan Post partum K.U : baik TD : 110/70 N : 80 RR: 20

Assesment : Post Partum Planning : R/ injeksi ceftriaxone 2x1,

F.U : 3 jari di bawah pusat Kontraksi : Baik

metronidazole 2x1, ME 4x1, ketorolac 4x1.

Jam

Nadi

Tekanan Darah

Pernafasan

13.30

84 x/min

110/70 mmHg

22 x/min

13.45

80 x/min

110/70 mmHg

20 x/min

14.00

84 x/min

110/70 mmHg

22 x/min

14.15

82 x/min

110/70 mmHg

20 x/min

TGL 19/4/2013
Leukosit 28,1 () MCV 79,1 () MCH 25,4 () Limfosit () Monosit () Granulosit ()

Hasil leukosit menunjukkan masih tinggi namun terdapat penurunan dibandingkan sebelum operasi. Karena monosit masih tinggi, maka pemakaian antibiotik

dilanjutkan.

A P

: Post Partum H1 : Lanjutkan Trapi

BAB IV KESIMPULAN

1. Bila dijumpai pada permulaan persalinan, lakukan evaluasi secara keseluruhan untuk mencari sebabnya. 2. Pada partus yang telah berlangsung lama atau terlantar berikan pengobatan pendahuluan yang disebut regim rehidrasi yaitu: -infus dekstrose 5% / larutan garam fisiologis 1 liter dalam 1 jam pertama dan selanjutnya menurut kebutuhan . Bila his menyebabkan rasa sakit yang berlebihan injeksi petidin 50 gr. Berikan kortison 200 gr. Berikan antibiotik secukupnya,apabila ketuban sudah lama pecah.

BAB V DAFTAR PUSTAKA

Wiknjosastro, Hanifa. Prof.dr. DSOG. Ilmu Kebidanan, yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo. Jakarta. 2007 : 302-312

Cunningham, Macdonald. William Obstetrics. 22th edition. Appleton and Lange. Stanford Connecticut. 2007:856-877

Mochtar R. Sinopsis Obstetri. Edisi kedua. Editor : Lutan D. EGC, Jakarta, 2007; 209-217

American College of Obstetricians and Gynecologist : Dystocia and augmentation of labor. Practice Bulletin No. 40 , November 2002

Gifford DS, Morton SC, Fiske M et al: Lack of progress in labor a reason for caesarean. Obstet Gynecol 95:589;2000

Joseph KS, Young DC, Dodds, L et al: Changes in maternal characteristik and obstetric practice and recent increases in primary caesarean delivery. Obstet Gynecol 102;791,2003

Nuthalapaty FS, Rouse DJ, Owen J : The association of maternal weight with caesarean risk, labor duration, and cervical dilatation rate during labor induction. Obstet Gynecol 103;452, 2004

Roy RP: A Darwinian view of obstructed labor, Obstet Gynecol 101;397,2003

Zhu, BP; Grigorescu V, Le T, Lin M, Copeland G; Barone M; Turabelidze G (2006). "Labor dystocia and its association with interpregnancy interval". American Journal of Obstetrics and Gynecology 85: 810814.

También podría gustarte