Está en la página 1de 39

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN SIKAP DAN MENTAL ATLET

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN SIKAP DAN MENTAL ATLET BAB I PENDAHULUAN Usaha untuk mengembangkan olahraga saat ini semakin maksimal, hal ini ditunjukan oleh munculnya beberapa disiplin ilmu penunjang untuk kemajuan olahraga khususnya. Pembinaan mental bagi atlit menjadi penting, untuk memenangkan pertandingan dan menjadi juara. Para pelatih perlu memahami bagian ini yaitu mengenal eksistensi individu sebagai subyek yang dibina keberanian atlit inilah yang disebut eksistensi yaitu mengetahui apa adanya dan sifat-sifat ataupun hukum-hukum yang sesuai dengan apa adanya pada subyek yang dibina.

KEPRIBADIAN SIKAP DAN MENTAL ATLET Pembinaan harus sesuai dengan eksistensi atlet sebagai makhluk yang mempunyai jiwa dan raga, mahkluk sosial, dan makhluk Tuhan dengan segala sifat dan hukumnya.Sebelum memberikan perlakuan pada atlit, maka perlu memahami eksistensi manusia secara umum, dengan sifat-sifat yang tidak boleh diabaikan yang merupakan prinsip-prinsip pembinaan bagi atlit, sehingga latihan mental (mental training) yang diberikan pada atlit sesuai dengan apa yang diharapkan. Selanjutnya dibawah ini akan dibahas terlebih dahulu prinsif-prinsif dasar kepribadian manusia dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan mental bagi atlit. Teori kesatuan psiko-fisik berkembang karena para ahli menyadari bahwa orang yang keadaan kejiwaannya mengalami gangguan, karena rasa susah, gelisah atau ragu-ragu menghadapi sesuatu, ternyata mempengaruhi kondisi fisiknya. Akibat rasa susah dan gelisah menghadapi masa depan, seseorang kurang dapat tidur nyenyak, sehingga akhirnya mempengaruhi tingkahlaku dan penampilannya. Sebaliknya keadaan fisik yang kurang sehat, karena sedang sakit, sesudah mengalami kecelakaan dan cidera, juga dapat mempengaruhi kejiwaan individu yang bersangkutan, kurang dapat

memusatkan perhatian pada masalah yang dihadapi, kurang dapat berfikir dengan tenang, kurang dapat berfikir dengan cepat, dsb-nya. Sejak lebih kurang setengah abad yang lalu adanya hubungan timbal balik antara jiwa dan raga, atau antara gejala fisik dan psikik, telah menjadi bahan pembahasan para ahli psikologi. Ronge (1951) menyebutkan manusia sebagai suatu organisme, yang mengikuti hukum-hukum biologi, hukum-hukum dalam pikir, rasa keadilan, dsb. Perasaan atau emosi memegang peranan penting dalam hidup manusia. Semua gejala emosional seperti: rasa takut, marah, cemas, stress, penuh harap, rasa senang dsb, dapat mempengaruhi perubahan-perubahan kondisi fisik seseorang. Perasaan atau emosi dapat memberi pengaruh-pengaruh fisiologik seperti: ketegangan otot, denyut jantung, peredaran darah, pernafasan, berfungsinya kelenjar-kelenjar hormon tertentu. Sehubungan itu semua maka jelaslah bahwa gejala psikik akan mempengaruhi penampilan dan prestasi atlet. Dalam hubungan ini pengaruh gangguan emosional perlu diperhatikan, karena gangguan emosional dapat mempengaruhi "psychological stability" atau keseimbangan psikik secara keseluruhan, dan ini berakibat besar terhadap pencapatan prestasi atlet. Dalam melakukan kegiatan olahraga, lebih-lebih untuk dapat mencapai prestasi yang tinggi, diperlukan berfungsinya aspek-aspek kejiwaan tertentu : misalnya untuk mencapai prestasi yang tinggi dalam cabang olahraga panahan atau menembak, maka atlet harus dapat memusatkan perhatian dengan baik, penuh percaya diri, tenang, dapat berkonsentrasi penuh meski ada gangguan angin atau suara, dll-nya. Untuk menjadi peloncat indah atau peloncat menara yang berprestasi tinggi, atlet yang bersangkutan harus memiliki rasa percaya diri, keberanian, daya konsentrasi, kemauan keras, koordinasi gerak yang baik, dan rasa keindahan ini semua akan dapat terganggu apabila atlet yang bersangkutan mengalami gangguan mental Emosi atau perasaan atlet perlu mendapat perhatian khusus dalam olahraga, karena emosi atlet di samping mempengaruhi aspek-aspek kejiwaan yang lain (akal dan kehendak), juga mempengaruhi aspek-aspek fisiologiknya sehingga jelas akan berpengaruh terhadap peningkatan atau merosotnya prestasi atlet. Ditinjau dari konsep jiwa dan raga sebagai kesatuan yang bersifat organis, maka gangguan sikap dan mental terhadap diri atlet akan berpengaruh terhadap keadaan kejiwaan atlet secara keseluruhan, ketidak-stabilan emosional atau "emotional instability" akan mengakibatkan terjadinya psychological instability", dan akan mempengaruhi peran fungsi-fungsi psikologisnya, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap pencapaian prestasi atlet BAB II PEMBAHASAN A. KONSEP KEPRIBADIAN DAN MENTAL ATLET Sport psikologi membantu Anda untuk memahami banyak aspek kinerja Anda.Sport psikologi adalah studi ilmiah dari faktor-faktor psikologis bahwa efek prestasi olahraga itu yang sangat

berperan adalah kesiapan mental. Olahraga psikologi adalah disiplin yang memahami hambatan mental yang dapat berdiri di jalan mencapai tujuan dan prestasi yang diinginkan. Prinsip-prinsip dalam psikologi olahraga didasarkan pada hubungan pikiran dan tubuh.Dan dari prinsip-prinsip psikologi olahraga muncul konsep persiapan mental untuk olahraga. Dari pada menggunakan psikologi olahraga sebagai metode untuk membantu atlet masalah norma baru adalah kepribadian dan mental sebagai bagian dari pelatihan keseluruhan untuk semua atlet. Konsep persiapan mental dalam olahraga benar-benar sangat penting demi tercapainya apa yang diharapkan. Kompetitif dalam memahami mental atlet memerangi tingkat kebugaran yang sama dan rejimen pelatihan serupa.Menang melawan lawan yang tangguh, bisa menjadi tugas yang menanjak. Namun pelatihan mental merupakan keunggulan kompetitif yang dapat memberikan rasa percaya diri. Sementara lawan Anda juga dapat menggunakan teknik persiapan mental, perbedaannya terletak pada seberapa baik atlet individu memahami dan menerapkan teknik ini, Semakin baik Anda berada di menerapkan keterampilan ini, keuntungan semakin Anda akan memiliki di lapangan. Ada kesadaran di kalangan atlet memerangi bahwa ada lebih banyak untuk hubungan pikirantubuh dalam melaksanakan secara efektif dalam dunia olahraga.persiapan mental dapat membantu atlet memerangi mengatasi gangguan, ketakutan, pikiran negatif, motivasi miskin dan sebagainya. Konsep persiapan mental menggunakan prinsip-prinsip dalam psikologi olahraga untuk membantu Anda melalui pikiran-program pelatihan secara keseluruhan. Namun teknik ini harus dipikirkan oleh seorang pelatih agar bekerja dengan baik dan teratur digunakan dan diterapkan secara konsisten. Selain itu langkah pertama yang penting adalah untuk mengenali tingkat rendah motivasi Anda, bagaimana stres Anda, efek dari gangguan pada kinerja Anda.gamesmanship asertif dan dinamis adalah kunci untuk kinerja yang baik. v Bagaimanakah Psikologi Olahraga Dapat Membantu Atlet Agar Memiliki Mental yang Tangguh Mental yang tegar, sama halnya dengan teknik dan fisik, akan didapat melalui latihan yang terencana, teratur, dan sistematis. Dalam membina aspek psikis atau mental atlet, pertama-tama perlu disadari bahwa setiap atlet harus dipandang secara individual, yang satu berbeda dengan yang lainnya. Untuk membantu mengenal profil setiap atlet, dapat dilakukan pemeriksaan psikologis, yang biasa dikenal dengan "psikotes", dengan bantuan psikometri. Profil psikologis atlet biasanya berupa gambaran kepnbadian secara umum, potensi intelektual. dan fungsi daya pikimya yang dihubungkan dengan olahraga. Profil atlet pada umumnya tidak berubah banyak dari waktu ke waktu. Oleh karenanya, orang sering beranggapan bahwa calon atlet berbakat dapat ditelusun semata-mata dari profil psikologisnya. Anggapan semacam ini keliru, karena gambaran psikologis seseorang tidak menjamin keberhasilan atau kegagalannya dalam prestasi olahraga, karena banyak sekali faktor lain yang mempengaruhinya. Beberapa aspek psikologis dapat diperbaiki melalui latihan ketrampilan psikologis (diuraikan kemudian) yang terencana dan sistematis, yang pelaksanaannya sangat tergantung dari komitmen si atlet terhadap program tersebut. v Pentingnya Persiapan Mental Kita tahu bahwa pikiran mengarahkan tindakan kita, bahwa pikiran mendahului tindakan.Untuk cekatan menangani performa Anda di lapangan, persiapan mental adalah kuncinya.Ketika Anda berbicara tentang pemanasan sebelum pertandingan atau sebelum sesi latihan rutin / latihan, tidak lagi berarti hanya fisik pemanasan.Pemanasan harus melibatkan proses berpikir Anda, pola pikir dan keadaan emosional pikiran juga.Manfaat manifold pemanasan mental adalah sebagai

berikut: a) Ini memberi Anda kepercayaan diri untuk menghadapi sebuah turnamen b) Ini membantu Anda mendapatkan kontrol atas proses berpikir Anda c) Ini memfokuskan pikiran Anda secara efektif mengelola rutinitas selama pertarungan itu d) Ini kondisi pikiran menjadi penuh perhatian dan waspada e) Ini membantu Anda berencana bergerak ke berhasil menembus pertahanan lawan, melainkan membantu Anda merencanakan pertahanan sendiri f) Ini membantu Anda keluar dari hambatan mental dan kekhawatiran yang menahan kinerja Anda v Latihan Pemantapan kepribadian dan Pembentukan Konsep Diri Latihan tingkat lanjut ini dimaksudkan untuk pemantapan mental atlet dan pembentukan konsep diri. The ideal performing state (IPS) bukanlah sesuatu yang bersifat tetap dan akan dapat berubah apabila atlet belum memiliki kesiapan mental dan ketahanan mental yang kokoh atau mantap, sehubungan itu diperlukan terus-menerus latihan pemantapan mental atlet seperti : o Pemantapan Keterampilan dan Penguatan KeterampilanLatihan pemantapan mental dilakukan dengan tujuan lebih meningkatkan kemampuan mentalatlet, dan mengurangi hambatan-hambatan yang timbul dari kekurangan yang ada pada diri atlet.Program pemantapan mental ini didasarkan atas asumsi bahwa tidak ada manusia sempurna, jadi atletpun tidak ada yang sempurna, oleh karena itu harus selalu diamati dengan saksamaperkembangan sikap dan mentalnya; dalam hubungan ini pendekatan dari aspek kognitif,konatif, dan aspek afektif-emosional akan sangat membantu dalam upaya lebih memahamiperkembangan kesiapan dan ketahanan mental atlet.Ditinjau dari kesiapan dan ketahanan mental yang berkaitan dengan kognitif, dapat diamatiantara lain: kecepatan dan ketepatan reaksi dan dalam mengambil keputusan, pemusatanperhatiannya, kemampuan menvisualisasi gerakan dan menerapkan dalam latihan, dsb. Ditinjaudari kesiapan dan ketahanan mental yang berkaitan dengan aspek konatif, dapat diamati antaralain: daya konsentrasi dan kekuatan kemauannya (will power), kemampuan mensugesti dirisendiri, bagaimana memotivasi diri sendiri dsb. Ditinjau dari kesiapan dan ketahanan mentalyang berkaitan dengan aspek afektif-emosional antara lain dapat diamati dari: kemampuanmenguasai emosi dan penguasaan diri, menguasai kemungkinan stress, ketahanan dalammenghadapi hambatan dan gangguan yang datang dari luar dirinya, dsb.Sehubungan itu latihan pemantapan mental yang harus didasarkan atas pendekatan individual,dapat dilakukan dengan perlakuan-perlakuan khusus, antara lain meliputi:a).problem solving training, b).Latian konsentrasi yang mendalam (total concentration) c).Coginitive rehearshal yaitu merubah pola pikir yang ternyata kurang tepat sehinggamenyebabkan kegagalan dalam pertandingan d).Meditasi yang terarah pada penguasaan diri dan pemusatan perhatian pada pencapaiansasaran yang ditetapkan. o Pembentukan Konsep Diri Disamping beberapa sasaran latihan tersebut, maka yang tidak kalah penting adalah pembinaan mental yang terarah pada terbentuknya konsep diri. Konsep diri akan terbentuk apabila individusudah memiliki persepsi diri yang positif, kemudian menetapkan citacita ideal yang sesuai dengan keadaan dan kemampuannya, dan lebih lanjut siap dan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang dia hadapi serta sudah mempunyai rencana hidup yang mantap. Dengan memiliki konsep diri yang mantap, seorang atlet akan mampu menghadapi keadaan yang bagaimana pun juga, dan diaharapkan akan dapat sukses sebagai atlet dan dapat sukses dalam hidupnya.

B. TEORI-TEORI KEPRIBADIAN SIKAP DAN MENTAL ATLET v Prinsip-Prinsip Dasar Pembinaan Atlet Memahami keberadaan atlit merupakan prinsif-prinsif dasar yang selalu harus melekat pada diri seorang Pembina/pelatih dalam memberikan latihan-latihan, sebagai pedoman perludiperhatikan beberapa prinsip dasar dibawah ini: o Manusia bersifat organis, maka atlit tidak terlepas dari hukum-hukum ilmu faal yaitu hukum psikofisiologi. Misalnya atlit lari kencang tentu membutuhkan pernapasan yang dalam danpengambilan nafas terengah-engah. Setiap manusia akan tegang menghadapi pertandingan.Untuk dapat memobilisasi sumber-sumber kemampuan jiwa, harus relaks tidak ada beban mental maupun fisik, maka pada awal mental training perlu sekali kepada atlit diberikan relaksasi. o Drever (1971: 188) mental adalah keseluruhan struktur dan keseluruhan proses-proses dari unsur-unsur kejiwaan yang terorganisasi, maka pemahaman manusia sebagai kesatuan psikofisik yang organis merupakan prinsip-prinsip dasar yang tidak boleh diabaikan. Dengan demikian pendekatan psiko-fisik saat ini telah berkembang lebih lanjut kepada pendekatan holistik yaitupendekatan manusia seutuhnya, baik sebagai kesatuan jiwa-raga yang organis, sebagai mahluksosial dan sbagai makhluk tuhan yang bersifat dinamis. o Motivasi, merupakan prinsip dasar yang tidak boleh diabaikan yaitu setiap manusia ingin memenuhi kebutuhan dan mendapat kepuasan. Dalam olahraga motif berprestasi merupakan tuntutan kebutuhan yang utama sehingga mendapatkan keberhasilan. o Sikap percaya diri, yaitu memahami bahwa dalam suatu pertandingan pada akhirnya yang menentukan kalah dan menang adalah atlit itu sendiri. Atlit tidak cukup hanya menguasai teknik,taktik saja akan tetapi lebih dibutuhkan ketahanan mental pada saat pertandingan yaitu percayaakan kemampuan dirinya sendiri. Hakekat percaya diri adalah kepercayaan atas kemampuan diri sendiri tampa bantuan orang lain(khususnya pelatih), menghadapi pertandingan dengan penuhpercaya diri, perasaan tidak pernah kalah sebelum bertanding ini merupakan hal yang baik ditanamkan pada diri atlit. o Disiplin diri sendiri, bahwa prestasi akan dapat dicapai oleh atlit yang memiliki disiplin dirisendiri dengan latihan yang teratur dalam upaya untuk mencapai target yang ditentukan sendiri,tidak melanggar ketentuan-ketentuan dari pelatih, sehingga jelaslah bahwa sikap disiplin diri sendiri ini dibutuhkan oleh atlit sejak menjalani latihan, latihan sendiri, dan pertandingan yang terikat pada peraturan dan wasit. o Kemauan yang kuat, merupakan prinsip dasar yang perlu dimiliki atlit untuk mencapaikemenangan dalam pertandingan dan mencapai prestasi tinggi, tidak cepat puas dan selalu berusaha untuk menjadi lebih baik, tidak mudah menyerah dan goyah menghadapi kekalahan.Kemauan kuat juga perlu dimilki untuk mengatasi kejemuan, kebosanan dalam latihan dan kelelahan fisik. Konsentrasi yang baik sangat membantu upaya untuk menimbulkan ketenangan karena ia tidak mudah terganggu perhatianya baik yang datang dari luar dirinya maupun daridalam, seperti cemoohan para penonton, seorang pacar yang berada di luar arena dan hirukpikuk penonton. o Pengontrolan diri, yaitu untuk menghadapi berbagai keadaan, atlit harus dapat menguasai diriatau mengontrol diri, sehingga tidak terganggu oleh tekanan dan goncangan emosional dari luar. Jhon Cripton (1991: 105) bahwa intinya adalah dapat menguasai diri dari rasa takut, kecewa,ragu-ragu dan sebagainya dan tetap dapat menggunakan akalnya dengan baik.

o Harapan untuk sukses, yaitu untuk mengatasi rasa takut gagal, maka atlit perlu mensugesti diri sendiri dan menimbulkan Self affecacy yaitu perasaan dapat berhasil. o Berpikir positif, yaitu untuk mengatasi penilaian negative pada diri sendiri dan suatu keadaan terhadap oyek yang diamati. Berpikir positif akan menjauhkan atlit dari rasa tidak puas yangdapat menimbulkan konplik pada diri atlit. Dengan demikian terbentuklah persepsi diri positif berati menggambarkan diri dari segi positifnya dan menilai diri sendiri cendrung positif denganmenyadari kelebihan dan kelemahanya. Maka hal ini jelas menjauhkan diri dari Internal Comflictyang merugikan konsentrasi menghadapi pertandingan. o Konsep diri, yaitu untuk memantapkan perkembangan pribadi atlit, dengan menggunakan pandangan secara menyeluruh tentang pribadinya dan mempunyai rencana hidup yang mantap,dan siap menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga. o Komitmen, yaitu memiliki rasa tanggung jawab sebagai suatu anggota team dan sebagai utusan suatu negara, rasa tanggung jawab untuk mengharumkan nama daerah dan bangsa. o Meditasi, perlu dilakukan oleh atlit untuk mengatasi suatu masalah dan memperkuat mental atlit. Dengan meditasi disamping atlit dapat lebih berkonsentrasi juga akan mendatangkanketenangan dan kesabaran, sehingga tindakannya lebih mantap dan terarah. v Mengetahui Kepribadian Atlit Setelah memahami prinsip-prinsip dasar bagi pelatih dan atlit, maka kiranya dapat dikembangkan lebih lanjut sesuai sasaran dan tujuan akhir yang akan di capai. Dengan didasarkan hasil penelitian mengenai terbentuknya citra diri yang menunjukan kecendrungan dapat merubah sikap atlet. Sudibyo, (1992: 98) lebih lanjut juga telah dibuktikan bahwa terbentuknya konsep diri ternyata dapat meningkatkan motivasi, mengurangi rasa takut gagal,serta dapat mengembangkan sikap sosial.Mengingat setiap atlit memiliki sifat dan kemampuan yang berbeda yang membutuhkan perhatian khusus dan perlakuan yang berbeda pula, maka mental training harus didahului dengan penelitian diagnostik, kemudian menetapkan sasaran untuk dijadikan objek atau target perlakuan pada atlit. Sebelum melakukan latihan mental maka perlu kiranya mempedomani langkah-langkah untuk mengetahui kepribadian atlit dibawah ini: o Penelitian diagnostikPenelitian diagnostik adalah pendekatan kepada atlit untuk meneliti sifatsifat keperibadiannya,motivasi, pemikiran, perasaan serta kemampuan dan kelemahan setiap individu atlit, ditinjau daridimensi kognitif, psikomotor dan afektif-emosional. Hal ini perlu dilakukan karena mengingatperlakuan dalam mental training harus disesuaikan dengan keadaan dan perkembangan tiap-tiap individu atlit. o Penetapan SasaranPada hakekatnya mental training dilakukan untuk mengatasi kelemahan dan mengembangkansikap-sikap positif dan kemampuan atlet, maka atas hasil penelitian diagnostik ditetapkansasaran-sasaran asfek psikologik yang akan dibina melalui mental training atau cukup denganbimbingan konseling. o Menetapkan strategi PerlakuanDari beberapa sasaran yang akan dijadikan obyek perlakuan, perlu ditetapkan prioritas sasaranyang akan dijadikan program pembinaan mental. Bentuk pembinaan mental dapat berupa: (1)bimbingan konseling yang dilakukan dalam jagka pendek, dan (2) Mental training yangdilaksanakan dalam jangka panjang untuk tiap individu atlit. o Bentuk Perlakuana. a. Bimbingan Konseling lebih berupa petunjuk, pengarahan, bimbingan, koreksi dalam upayamenghadapi permasalahan pribadi, sehingga atlit mampu mengatasi permasalahan yang menghambat dan mengganggu pikiran, perasaan, serta lebih lanjut mampu

mengembangkan dirisendiri secara positif konstruktif. b. Mental Training; merupakan latihan jangka panjang dilakukan secara sistematis untukmenguatkan kemauan, mengontrol stabilitas emosional, dan mengembangkan pemikiran, sikapdan tingkah laku, serta meningkatkan prosesproses jasmaniah dan kinerja atlit. v Sistematika Mental Training Setelah pelatih menemukan kelebihan dan kelemahan atlit melalui beberapa penelitian diatas,maka sudah dapat ditetapkan sasaran dan tujuan yang akan di laksanakan melalui latihanmental (mental training), berikut sistematika latihan yang di dahului dengan latihan pendahuluan,latihan dasar, latihan mental, pemantapan dan pembentukan konsep diri. 1. Latihan Pendahuluan Latihan pendahuluan mental training ( preliminary training) pada dasarnya meliputi latihan dengan sasaran atau tujuan sebagai berikut: o Menyiapkan keserasian perkembangan fisik dan mental atlit, meningkatkan proses metabolisme, dengan latihan pernapasan, relaksasi konsentrasi untuk menormalkan fungsi-fungsi fisiologik dan psikologik. o Menyiapkan fisik dan mental atlit sehingga lebih siap menerima latihan mental, untuk meningkatkan keterampilan. Latihan pendahuluan ini dimaksudkan agar atlit memiliki kondisi dan kesiapan mental. Dalam halini keserasian dan keselarasan hubungan aspek-aspek mental psikologik atau sumber-sumber kemampuan jiwa manusia, merupakan sasaran pembinaan yang utama. Selama latihanpendahuluan ini atlit atlit dilatih untuk lebih memahami diri sendiri, berpikir positif, sehingga timbul persepsi positif terhadap diri sendiri dan lingkungan.Oleh karena itu latihan pendahuluan lebih ditujukan untuk menyiapkan bagian-bagian yang berkaitan dengan sikap mental atlit, seperti motivasi, pemikiran perasaan, dan faktor-faktor yang datang dari luar dirinya, seperti pengetahuan, pengalaman, hambatan dan faktor lainya. Secaragaris besar inti dari latihan pendahuluan mental training menurut Sudibyo ( 2001:104) adalah : o Menyiapkan mental, keperibadian yang lebih mantap, jauh dari kemungkinan terjadinyainternal conflit. o Menguatkan kondisi fisik dan mental, khususnya melalui latihan pernapasan, relaksasidan konsentrasi o Menyiapkan atlit agar lebih siap menerima beban mental dengan pemikiran positif danperasaan positif terhadap terhadap diri sendiri dan lingkungan 2. Latihan Dasar Latihan dasar mental training merupakan kelanjutan dari latihan pendahuluan mental training, yaitu lebih terarah untuk menanamkan landasan yang kokoh bagi perkembangan mental atlet. Latihan dasar di samping menyiapkan mental yang sehat, juga dimaksudkan untuk meningkatkan kesiapan menghadapi gangguan, menyiapkan kondisi mental sehingga memiliki kesiapan mental untuk menerima latihan dalam upaya meningkatkan keterampilan mental(mental skill training). Jadi latihan dasar mental training merupakan landasan atau tumpuan untuk menerima atau melakukan program-program latihan mental yang lebih berat. Untuk menguatkan kemauan atlet, maka yang bersangkutan selain memiliki pemikiran dan perasaan positif terhadap lingkungan dan terhadap diri sendiri, perlu menetapkan cita-cita yang ingin dicapai sesuai keadaan dan kemampuannya, oleh karena itu pembentukan citra diri(image building) merupakan program utama pada latihan dasar mental training.

o Pembentukan Citra diri terbentuk sesudah individu memiliki persepsi diri yang positif, persepsi diri jugamenetapkan status individu dalam konteks lingkungan dimana ia tergabung didalamnya. Citra diri terbentuk atas dasar persepsinya terhadap diri sendiri dan cita-cita ideal yang mungkindi capai oleh individu yang bersangkutan, yaitu cita-cita yang sesuai dengan keadaan dan kemampuannya. Jadi terbentuknya citra diri meliputi tahap-tahap pembentukan persepsi diri yang positif dan lebih lanjut menemukan tipe ideal bagi dirinya yang secara realistik dapatdicapai. o Pengendalian Emosi dan Penguasaan Diri Untuk menanamkan landasan yang kokoh dari perkembangan mental atlet, maka atlet perlu dilatih untuk dapat menguasai diri dan dapat mengendalikan gejolak yang terjadi dalam dirinya khususnya ini sangat erat kaitannya dengan penguasaan emosional, karena terjadinya(emotional instability) akan mempegaruhi (psychological instability) dan jelas hal ini akan sangatberpengaruh terhadap kinerja atlet.Penguasaan emosi ini dilakukan dengan latihan-latihan untuk menjaga stabilitas emosional, menghindarkan diri dari rasa jemu (boredom), kelelahan mental (mental fatigue), dan mengontrol gejala-gejala fisiologik yang terjadi sebagai akibat terjadinya fluktuasi emosional v Latihan Ketrampilan dan Penguatan Mental Meningkat atau merosotnya kinerja atlet sangat ditentukan oleh kesiapan mental atlet, dan selanjutnya juga ditentukan oleh ketahanan mental alet. Makin disadari bahwa sifat-sifat kepribadian (personality traits) dan kemampuan-kemampuan psikologik sangat berperan dalam meningkatkan kinerja atlet. a. Latihan Keterampilan Mental Kesiapan mental dapat diupayakan dengan latihan ketrampilan mental (mental skill training), yaitu suatu ketrampilan dalam menyiapkan diri menanggung beban mental, baik beban mentalyang berupa hambatan-hambatan yang datang dari diri atlet itu sendiri, seperti kurang percayadiri, merasa belum siap melakukan pertandingan, mengatasi gejolak emosional, dsb. Maupun beban mental yang datang dari luar dirinya, misalnya menghadapi lawan bertanding yang agresif, menghadapi penonton yang gegap gempita menjagokan pemain yang difavoritkan menjadi juara, suasana pertandingan yang dirasakan kurang tenang, udara dingin dsb.Disamping kesiapan mental, atlet perlu memiliki ketahanan mental, karena dalam suatu pertandingan kemungkinan atlet meghadapi tantangan atau hambatan, yang berupa cemohan dari penonton, wasit yang dirasakan memihak lawan, dan juga hambatan yang datang daridalam dirinya sendiri, seperti rasa lelah, perasaan tertekan dan kurang mampu mengadapi permainan lawan, dsb-nya. Latihan ketrampilan mental dan latihan penguatan mental harus dilakukan atas dasar penelitian diagnostik, dengan menggunakan pendekatan individual. Tiap-tiap individu menunjukkan sifatsifat dan kemampuan-kemampuan yang berbeda, serta kekuatan dan kelemahan yang berbeda pula, oleh karena itu perlu ditetapkan sasaran pembinaan dan program latihan mental sesuaidengan keadaan dan kebutuhan tiap-tiap individu. Seorang atlet akan dapat menunjukkan penampilan dan kinerja yang baik apabila memiliki theideal performing state (Unestahl, 1994: 47), yaitu keadaan atau kondisi mental yang ideal yang memungkinkan atlet melakukan kinerja dengan sebaik-baiknya. Mengenai the Ideal Performing State disingkat IPS yang terjadi pada atlet, dapat ditandaidengan adanya gejala atau ciri-ciri sebagai berikut: a) Daya konsentrasinya meningkat;

b) Tidak merasa kelelahan atau merasa tenaganya terkuras habis; c) Mampu mengambil keputusan dan mereaksi dengan cepat; d) Merasa dapat mengontrol diri sendiri dan dapat melakukan apa saja yang harusdilakukan; e) Tidak ada pikiran akan gagal, pkiran tentang kelelahan, dan rasa percaya diri yangmengagumkan; f) Seperti tidak mampu mengingat kembali apa yang terjadi (gejala amnesia), mengenaikinerja yang dilakukannya secara sempurna. Gejala IPS ini tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi hanya akan terjadi pada atlet sesudahmelakukan mental training secara insentif. IPS merupakan salah satu gejala di mana atlet telah memiliki kesiapan dan ketahanan mental yang baik. Untuk meningkatkan kualitas dari IPS atlet, menurut Unestahl (1994: 49) erat kaitannya dengan latihan keterampilan mental. Keadaan dan kesiapan mental atlet juga dapat diketahui dari sikapnya, yaitu sikap dalammenghadapi tugas, dan sikap terhadap diri sendiri (seperti rasa percaya diri, dsb). Mengenai latihan ketrampilan mental (mental skill training) dapat dilakukan dengan berbagai latihan, yaitu antara lain: 1. Melemaskan ketegangan otot-otot (muscular relaxation) 2. Melemaskan ketegangan mental (mental relaxation) 3. Memusatkan perhatian (konsentrasi) 4. Latihan pembentukan citra-diri (sefl-image training) 5. Latihan visualisasi 6. Ideomotor training (image building-motor expression) 7. Memotivasi diri sendiri (dengan goal setting) 8. Latihan ketrampilan berkomunikasi (communication skills training) dsb. b. Latihan Menguatkan Mental Mengenai latihan penguatan mental atau mental strength training, yang pada hakekatnya dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan mental, dapat dilakukan antara lain dengan: 1. Latihan untuk menguatkan kemauan (will power training) 2. Latihan untuk meningkatkan kemampuan akal (cognitive rehearshal) 3. Latihan untuk dapat mensugesti diri sendiri (self-seggestion training) 4. Latihan untuk dapat menilai diri sendiri dan merasakan diri berhasil (self-efficacytraining) 5. Stress management training , latihan untuk dapat mengendalikan stress danmempunyai daya tahan menghadapi stress 6. IPS (ideal performing state), yaitu latihan untuk dapat terwujudnya kondisi mental yang ideal yang memungkinkan atlet melakukan kinerja sebaik-baiknya 7. Latihan meditasi dalam upaya mengembangkan sikap, pendapat dan kemauan untuk terus berusaha mencapai yang terbaik Semua latihan ketrampilan mental dan penguatan mental membutuhkan waktu yang cukup lama,dan hampir dapat dikatakan tidak ada batas akhirnya. Keadaan dan kondisi mental atlet dapat berubah sesudah menghadapi berbagai situasi dan beban mental yang berbeda-beda, oleh karena itu latihan ketrampilan dan penguatan mental juga perlu selalu terus menerus dilakukan.Latihan ketrampilan dan ketahanan mental harus terarah pada tiga aspek psikologik atlet, yaitu aspek kognitif (akal), aspek konatif (kemauan), dan aspek afektif(emosional), sehingga dapat selalu diupayakan hubungan yang harmonis antara ke tiga aspek kejiwaan tersebut. C. GEJALA-GEJALA KEPRIBADIAN DAN MENTAL ATLET

A. Anxiety (Kecemasan) dalam Olahraga Kita semua tentu pernah merasa takut atau cemas dalam berbagai situasi. Takut dimarahi, takut tidak lulus, takut tidak puas, takut kalah, dan sebagainya. Demikian pula atlet. Dalam menghadapi pertandingan, wajar saja kalau atlet menjadi tegang, bimbang, takut, cemas, terutama kalau menghadapi lawan yang lebih kuat atau seimbang, dan kalau situasinya mencekam. Ketakutan pada atlet pada umumnya dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori (Cratty, 1973): a. Takut gagal dalam pertandingan b. Takut akan akibat sosial atas mutu prestasi mereka c. Takut kalau cedera atau mencederai lawan d. Takut fisiknya tidak akan mampu menyelesaikan tugasnya atau pertandingan dengan baik e. (Dan percaya atau tidak), ada pula atlet yang takut menang. Hasil-hasil penelitian cenderung menunjukkan bahwa atlet paling takut pada akibat sosial yang akan mereka peroleh atas mutu prestasi mereka. Misalnya takut gagal memenuhi harapan pelatih, KONI, pemerintah, takut dicemooh, dikritik, dikecam masyarakat. 1. Kecemasan dan Motif Berprestasi Suasana stress wring sekali membuat seseorang hidup penuh gairah, karena dapat mengatasi suasana penuh stress dapat menimbulkan kepuasan dan kebanggaan pada diri seseorang. Yang lebih penting dalam pembinaan atlet, yaitu meningkatkan kemampuan mengatasi stress juga akan menjauhkan kemungkinan atlet mengalami kecemasan. Stress yang berlangsung terus-menerus dapat menimbuikan kecemasan, karena itu tingkat ketegangan yang dapat menimbulkan stress harus selalu dimonitor terus menerus, disesuaikan dengan kemampuan atlet menghadapi suasana stress. Di samping itu tingkat berat ringannya ketegangan yang dapat ditanagung oleh atlet, khususnya atlet yunior, juga harus selalu diperhatikan karena stress atau ketegangan psikis yang terlalu besar, yang tidak tertahankan oleh atlet, juga dapat menimbulkan kecemasan.Crafty (1973) membedakan kemungkinan timbulnya kecemasan karena takut cidera atau "harm anxiety" atau kecemasan karena takut gagal atau "failure anxiety". 2. Kecemasan dan Prustasi Antara stress, "arousal", dan kecemasan atau "anxiety", menurut Richard H. Cox ada keterkaitannya. Kecemasan dapat didefinisikan sebagai perasaan subyektif berdasarkan ketakutan dan meningkatnya "physiological arousal" (Levitt, 1980). Mengenai hubungan stress dengan kecemasan, Soparinch dan Sumorno ,kum (1982) mengemukakan sebagai berikut: "Bila stress yang dialami seseorang terlalu besar baginya, hingga tidak dapat dilakukan tindakan untuk mengatasi atau bila stress yang dihadapi seseorang berlangsung terus-menerus, maka akan timbul kecemasan. Kecemasan adalah suatu perasaan tak berdaya, perasaan tak aman, tanpa sebab yang jelas. Perasaan cemas atau anxiety kalau dilihat dari kata "anxiety" berarti perasaan tercekik". Perasaan cemas dapat terjadi pada atlet pada waktu menghadapi keadaan tertentu, misalnya dalam menghadapi kompetisi yang memakan waktu panjang dan ternyata atlet tersebut mengalami kekalahan terus-menerus. Rasa cemas yang terjadi pada suatu keadaan tertentu disebut "State Anxiety". Menurut Spielberger (1985) "state anxiety" adalah keadaan emosional yang terjadi mendadak (pada waktu tertentu) yang ditandai dengan kecemasan, takut, dan ketegangan; biasanya diikuti dengan perasaan cemas yang mendalam disertai ketegangan dan "physiological arousal". 3. Frustasi dalam Olahraga Frustrasi timbal karena individu merasa gagal tidak dapat mencapai suatu tujuan yang

diinginkan. Setiap atlet ingin mendapat kepuasan, ingin terpenuhi kebutuhannya, ingin mencapai harapan untuk menang; dan apabila hal tersebut tidak terwujud, maka dapat menimbulkan frustrasi. Sebetulnya frustrasi bukan hanya disebabkan karena kegagalan saja, tetapi terutama datang dari dalam diri atlet itu sendiri yang diliputi perasaan gagal. Cukup banyak atlit.yang gagal dalam suatu pertandingan atau gagal mencapai prestasi sesuai apa yang diinginkan, tetapi tidak mengalami frustrasi. B. Stres Dalam Olahraga (Gejala emosional) Seperti halnya otot-otot kita mengalami ketegangan karena melakukan kegiatan fisik maka kita pun dapat mengalami ketegangan psikik, yang disebut "stress".Menurut Gauron (1984) stress seperti halnya ketegangan otot tidak dapat dielakan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kita tidak dapat menghindarkan ketegangan psikik atau stress, beberapa ketegangan diperlukan dan beberapa ketegangan tidak diperlukan dalam penampilan dan melakukan tugas. Menurut Gauron kurangnya ketegangan atau "lack of tension" akan berakibat kita tidak dapat melakukan sesuatu dengan baik. Untuk dapat melakukan gerakan-gerakan tertentu dibutuhkan adanya ketegangan otot-otot, dimana ketegangan tersebut sangat diperlukan kemanfaatannya. 1) Stress dan Pertandingan Menurut Scanlan (1984) dalam tulisannya yang berjudul: "Competitive Stress and the Child Athlete" yang dimuat dalam buku "Psychological Foundations of Sport" mengemukakan bahwa "competitive stress" atau stress yang timbul dalam pertandingan merupakan reaksi emosional yang negatif pada anak apabila rasa harga-dirinya merasa terancam. Hal seperti ini terjadi apabila atlet yunior menganggap pertandingan sebagai tantangan yang berat untuk dapat sukses, mengingat kemampuan penampilannya, dan dalam keadaan seperti ini atlet lebih memikirkan akibat dari kekalahannya. Stress selalu akan terjadi pada diri individu apabila sesuatu yang diharapkan mendapat tantangan, sehingga kemungkinan tidak tercapainya harapan tersebut menghantui pemikirannya. Stress adalah suatu ketegangan emosional, yang akhirnya berpengaruh terhadap proses-proses psikologik maupun proses fisiologik. 2. Arousal" dan "Inverted U" Arousal" adalah hal yang tidak dapat dielakkan seperti timbulnya ketegangan fisik atau "tension" dan stress. Yang dimaksudkan dengan "arousal" adalah gejala yang menunjukkan adanya pengerahan peningkatan aktifitas psikis. Teriadinya gejala "arousal" biasanya berjalan sejajar dengan terjadinya peningkatan penampilan atlet dengan kata lain ada korelasi positif antara "arousal" dengan penampilan atlet. Menurut Cox (1985) "arousal" adalah suatu istilah netral yang menunjukkan peningkatan aktivitas sistem syaraf simpatetis. Ini menunjukkan intensitas peningkatan giologis, dan tidak dapat digunakan untuk menunjukkan keadaan emosional tertentu. Misalnya baik orang dalam keadaan senang maupun dalam keadaan takut, ke duanya dapat menyebabkan "arousal" fisiologis meskipun rasa takut adalah gejala, afek yang bersifat negatif, sedangkan senang atau gembira adalah gejala afek yang bersifat positif.

D. SOLUSI DALAM MENANGANI KEPRIBADIAN DAN MENTAL ATLET Dalam upaya pengendalian Psikologi diri seorang atlet misalnya kecemasan (anxiety) dan stress dsb. Ada 3 macam strategi yang bisa dijadikan sebagai solusi dalam menangani Mental Atlet antara lain: 1. Strategi Relaksasi, 2. Strategi kognitif, 3.teknik-teknik peredaan ketegangan dan mekanisme pertahanan diri. 1. Strategi Relaksasi

Keadaan relaks adalah keadaan saat seorang atlet berada dalam kondisi emosi yang tenang, yaitu tidak bergelora atau tegang. Keadaan tidak bergelora tidak berarti merendahnya gairah untuk bermain, melainkan dapat diatur atau dikendalikan. Untuk mencapai keadaan tersebut, diperlukan teknik-teknik tertentu melalui berbagai prosedur, baik aktif maupun pasif. prosedur aktif artinya kegiatan dilakukan sendiri secara aktif. Sementara itu, prosedur pasif berarti seseorang dapat mengendalikan munculnya emosi yang bergelora, atau dikenal sebagai latihan autogenik.Teknik relaksasi pertama kali dikembangkan oleh Edmund Jacobsen pada awal tahun 1930-an. Jacobsen mengemukakan bahwa seseorang yang sedang berada dalam keadaan relaks tidak akan memperlihatkan respons emosional seperti terkejut terhadap suara keras. pada tahun 1938, Jacobsen merancang suatu teknik relaksasi yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya apa yang disebut dengan Latihan Relaksasi progresif (Progressive Relaxation Training). Dengan latihan relaksasi, Jacobsen percaya bahwa seseorang dapat diubah menjadi relaks pada ototototnya. Sekaligus juga, latihan ini mengurangi reaksi emosi yang bergelora, baik pada sistem saraf pusat maupun pada sistem saraf otonom. Latihan ini dapat meningkatkan perasaan segar dan sehat. seorang dokter di Jerman bernama Johannes Schultz menyebut latihan tersebut sebagai Latihan Autogenik (Autogenic Training). Teknik ini dapat melatih seseorang untuk melakukan sugesti diri, agar dapat mengubah sendiri kondisi kefaalan pada tubuhnya untuk mengendalikan munculnya emosi yang terlalu bergelora. Setelah diajarkan cara-cara untuk melaksanakannya, seseorang tidak lagi tergantung pada ahli terapinya, melainkan dapat melakukannya sendiri melalui teknik sugesti diri (auto-sugestion technique). Jadi, dengan melakukan autogenic training, seorang atlet dapat mengubah sendiri kondisi kefaalannya. Ia juga dapat mengatur dan mengendalikan pemunculan emosinya pada tingkatan yang dikehendaki. para ahli kemudian berupaya keras untuk mencari modifikasi agar latihan relaksasi progresif dapat dilakukan dalam format yang lebih pendek dan praktis. Contoh lain dari modifikasi tersebut adalah teknik pernapasan atau breathing technique. Teknik ini banyak dilakukan oleh para atlet karma dapat dilakukan di sembarang tempat, misalnya di pinggir arena pertandingan, saat menunggu waktu untuk bermain, demikian pula pada saat gejolak emosi sedang memuncak, misalnya pada malam sebelum pertandingan, atau beberapa jam sebelum pertandingan. Menurut Masters, dan kawan-kawan (1987) (dalam Gunarsa, S.D., 2002), manfaat dari melakukan latihan relaksasi progresif adalah: 1. Meningkatnya pemahaman mengenai ketegangan otot. Artinya, ada pemahaman bahwa gejolak emosi berpengaruh terhadap ketegangan otot dan sebaliknya. 2. Meningkatnya kemampuan untuk mengendalikan ketegangan otot. 3. Meningkatnya kemampuan untuk mengendalikan kegiatan kognitif, yaitu meliputi kemampuan pemusatan perhatian terhadap suatu objek 4. Meningkatnya kemampuan untuk melakukan kegiatan. 5. Menurunnya ketegangan otot. 6. Menurunnya gejolak emosi karena pengaruh perubahan kefaalan. 7. Menurunnya tingkat kecemasan, serta emosi-emosi negatif lainnya. 8. Menurunnya kekhawatiran dan ketakutan. Seorang Peneliti dari UCLA Keith Wallace (1971) menunjukkan bahwa ada juga yang namanya. Meditasi transendental yaitu dilakukan seseorang dengan memusatkan perhatian dan berkonsentrasi terhadap suatu objek atau pikiran dan kegiatan tersebut ditahan untuk beberapa waktu dalam posisi tubuh yang nyaman, tanpa terganggu atau teralih perhatian dan

konsentrasinya. Apabila hal tersebut dapat dilakukan, maka akan diperoleh keadaan relaks. Selama meditasi, tubuh akan mencapai tahap sadar sepenuhnya namun tanpa beban pikiran apa pun. Pada kondisi tersebut, seseorang akan siap menghadapi rangsang apa pun, serta siap memberikan respons yang sesuai dan optimal. 2. Strategi Kognitif Strategi kognitif didasari oleh pendekatan kognitif yang menekankan bahwa pikiran atau proses berpikir merupakan sumber kekuatan yang ada dalam diri seseorang. Jadi, kesalahan, kegagalan, ataupun kekecewaan, tidak disebabkan oleh objek dari luar, namun pada hakikatnya bersumber pada inti pikiran atau proses berpikir seseorang. Salah satu kegiatan yang mendukung berfungsinya proses kognitif adalah kegiatan pemusatan perhatian yang bersumber pada inti pikiran seseorang. Contohnya, pemikiran sebagai berikut: "Saya memusatkan perhatian terhadap kornitmen saya untuk bermain sesuai dengan apa yang sudah saya latih dan strategi bermain saya." Kegiatan ini merupakan kegiatan menginstruksi diri sendiri (self-instruction), sehingga apa pun yang akan terjadi dalam permainan, atlet akan berpedoman pada proses berpikirnya. Namun dalam kenyataannya, strategi kognitif seperti ini sangat erat kaitannya dengan status emosi dan berbagai macam pergolakannya. Pergolakan tersebut berasal dari tingkat ketegangan yang dialami oleh atlet, khususnya yang bersumber pada dirinya, yakni trait anxiety. 3. Teknik-teknik Peredaan Ketegangan Hanya mengetahui "apa" atau "the what"saja mengapa atlet tegang atau takut tanpa mengetahui "the how" atau "bagaimana" cara penyembuhannya tidaklah banyak manfaatnya dan tidak akan menolong atlet. Oleh karena itu, pelatih sebaiknya juga mempersenjatai diri dengan keterampilan bagaimana cara meredakan ketegangan yang ada pada atlet. Ada beberapa teknik yang bisa membantu menurunkan atau mengurangi ketegangan atlet (desensitizatioll, techniques). Antara lain: Teknik Jacobson dan Schultz, yaitu dengan mengurangi arti pentingnya pertandingan dalam benak atlet, atau mengurangi ancaman hukuman kalau atlet gagal. Teknik Cratty. Dengan teknik ini, mula-mula disusun suatu urutan (hierarki) anxiety yang dialami atlet, dari Yang paling ditakuti sampai yang paling kurang ditakuti oleh atlet. Pada permulaan, atlet dihadapkan pada situasi yang paling sedikit membangkitkan anxiety. Setelah atlet terbiasa dan tidak takut lagi dengan situasi tersebut, dia kemudian dilibatkan dalam situasi takut yang agak lebih berat. Demikian seterusnya. Teknik progressive muscle relaxation dari Jacobson, yaitu latihan memaksa otot-otot yang tegang dijadikan relaks. Teknik autogenic relaxation, yaitu toknik relaksasi Yang menekankan pada sugesti diri (selfsuggestion). Latihan pernapasan dalam (deep breathing). Meditasi. Berpikir positif. Visualisasi. Latihan simulasi: pada waktu latihan, berlatihlah dengan menciptakan situasi seakan-akan sedang betulbetul bertanding, dan usahakan untuk tampil sebaikbaiknya. Lakukan latihan dengan intensitas yang tinggi seperti dalam pertandingan sebetulnya. Biarkan atlet mengalami

stres fisik maupun mental. Dengan berulang kali berlatih dengan stres yang tinggi, diharapkan lama-kelamaan ketegangan atlet akan berkurang pada waktu menghadapi stres. 4. TeknikMekanisme pertahanan diri Anxiety, kekhawatiran, dan ketakutan yang berkecamuk dalam diri atlet adalah gejala yang umum dalam olahraga. Anxiety dan ketakutan adalah reaksi terhadap perasaan "khawatir akan terancam pribadinya". Karena anxiety yang dialami atlet adalah sesuatu keadaan yang sangat tidak enak dan selamanya akan berkecamuk dalam kehidupan seorang atlet, maka dibutuhkan suatu mekanisme di dalam kepribadiannya untuk inengotasi atau membebaskan dirinya dari anxiety tersebut. Mekanisme ini biasanya disebut security operation atau defense inechanisin. Jadi mekanisme ini berfungsi sebagai alai agar kepribadiannya tidak merasa terancam. Sering kali mekanisme ini bekerja demikian efektif sehingga atlet benar-benar terlindung dari perasaan cemas tersebut. Tampaknya di semua cabang olahraga sering terjadi mekanisme pertahanan demikian, bukan hanya oleh atlet, akan tetapi juga oleh pelatih, tim manajer, pengurus dan lain-lain. Memang mungkin saja alasan yang dikemukakan atlet, pelatih, Tim Manajer, Pengurus, KONI, dan lainlain memang betul karena lapangan licin, bola tidak bundar, banyak angin, penonton ribut. Akan tetapi kebanyakan alasannya tidak rasional dan hanya merupakan manifestasi dari perasaan kecewa karena mengalami kegagalan, serta kedok agar terhindar dari perasaan cemas dan takut akan dikritik, dicemooh, dikecam oleh masyarakat, dan agar mereka tidak disalahkan oleh masyarakat atas kekalahan atau kegagalan mereka. Karena itu penyebab kegagalannya dilimpahkan kepada orang atau benda lain di luar dirinya. Sebagai pelatih, kita harus mendidik dan melatih para atlet agar tidak membiasakan diri menggunakan defense inechanisin yang tidak wajar sebagaimana contoh-contoh tersebut di atas. Sebab-sebab dari setiap kegagalan haruslah didiskusikan, dievaluasi, dianalisis secara rasional, intelektual dan inteligen. Pelatih harus mengajarkan dan mendidik atlet agar tidak meremehkan kegagalan, dan menilai setiap kegagalan dengan penuh pemahaman dan pengertian yang wajar. Dengan demikian dapatlah diharapkan pula bahwa mental para atlet sedikit demi sedikit dapat dikembangan BAB III KESIMPULAN Uraian singkat mengenai kepribadian sikap dan mental atlet yang penulis kemukakan, diharapkan dapat memberi gambaran langkah-langkah dalam menangani dan membantu atlet dalam hal pencapaian kepribadian yang tertata dengan baik dan mental yang kuat dalam menghadapi segala hal yang berkaitan dengan pembentukan mental karena yang perlu dilakukan dalam pembinaan atlit dari segi psikologinya untuk mencapai tujuan dan cita-cita atlit sebagai juara. Dengan banyaknya Teori berkembang yang menuntut para ahli menyadari bahwa orang yang keadaan kejiwaannya mengalami gangguan, karena rasa susah, gelisah atau ragu-ragu menghadapi sesuatu, ternyata mempengaruhi kondisi fisiknya. Akibat rasa susah dan gelisah menghadapi masa depan, seseorang kurang dapat tidur nyenyak, sehingga akhirnya

mempengaruhi tingkahlaku dan penampilannya Di samping pendekatan holistik yang dewasa ini banyak digunakan para ahli, maka mental training juga berkaitan erat dengan latar-belakang kehidupan atlet. Meskipun para ahli baik di Barat maupun Timur menyadari arti pentingnya mental training dalam olahraga, namun akan tetap ada perbedaan-perbedaan tertentu karena perbedaan filosofinya. Sehubungan itu semua maka jelaslah bahwa gejala psikik akan mempengaruhi penampilan dan prestasi atlet. Dalam hubungan ini pengaruh gangguan emosional perlu diperhatikan, karena gangguan emosional dapat mempengaruhi "psychological stability" atau keseimbangan psikik secara keseluruhan, dan ini berakibat besar terhadap pencapatan prestasi atlet. Tugas : Kelompok Mata Kuliah : Psikologi Pendidikan Olahraga KEPRIBADIAN SIKAP DAN MENTAL ATLET Nama Kelompok :1. Amran S.Pd 2. Hasnah S.Pd 3. Mansyur S.Pd

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR Description: PSIKOLOGI KEPRIBADIAN SIKAP DAN MENTAL ATLET

MOTIVASI DALAM PRESTASI OLAHRAGA

A. PENDAHULUAN

Berbagai permasalahan di dalam pembinaan olahraga merupakan tantangan besar yang harus dihadapi oleh para pembina olahraga di Indonesia. Sentral permasalahan pembinaan olahraganya sendiri di Indonesia menjadi rancu. Sebagian orang berpendapat bahwa atlet kurang termotivasi untuk berprestasi. Sehingga, berbagai upaya diarahkan untuk meningkatkan motivasi atlet termasuk di dalamnya memberdayakan motivator dengan harapan agar atlet lebih termotivasi untuk berprestasi. Hanya sayangnya sampai saat ini dampak pemberdayaan motivator belum juga dirasakan. Karena pertama mungkin rumusan motivasi itu sendiri belum terlalu jelas; seolah-olah dengan sekedar membangkitkan semangat juang seperti Joan of Arc membangkitkan semangat perang para prajuritnya sudah cukup untuk menggerakkan sedemikian banyak orang untuk berperang. Kedua, motivasi mungkin bukan satu-satunya faktor yang menjadi kendala bagi atlet untuk berprestasi, karena di dalam olahraga setidaknya sejumlah aspek seperti kognisi, emosi, dan perilaku, di samping motivasi memiliki peran yang sama pentingnya dalam mempengaruhi prestasi atlet . Ketiga, motivasi baik itu sifatnya intrinsik maupun ekstrinsik, harus terarah pada suatu sasaran tertentu. Karena, tanpa adanya sasaran tertentu, arah perilaku seseorang menjadi tidak jelas. Keempat, motivasi mengacu pada adanya kebutuhan seseorang yang dilandasi oleh kepribadian individu yang bersangkutan. Karenanya, motivasi tidak bisa digeneralisasikan bagi semua orang melainkan harus ditinjau secara khusus dari satu individu ke individu lainnya. Selanjutnya, motivasi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang amat kompleks, termasuk di dalamnya intensitas atau besarnya tekanan (stress) yang menghambat seseorang untuk mengembangkan motivasinya. Keenam, aspek komunikasi antara atlet, pelatih dan pengurus berdampak signifikan untuk membangkitkan motivasi atlet untuk berprestasi.

Ketujuh, peran berbagai pihak sangat diharapkan untuk meningkatkan kinerja olahraga dari seorang atlet. Sebagai contoh, di dalam program pembinaan olahraga perlu diikut sertakan secara khusus program latihan mental yang meliputi hal hal seperti relaksasi, peningkatan kinerja olahraga melalui latihan imajeri, latihan konsentrasi dan upaya meningkatkan kinerja olahraga dengan meningkatkan rasa percaya diri. Kedelapan, berbagai fasilitas untuk mengatasi problematik psikologis atlet perlu diadakan, termasuk di antaranya program konseling dan upaya mengatasi kondisi "burn-out dan cedera fisk maupun psikis. Dan hal yang selama ini mungkin agak terlupakan atau dilupakan adalah pertimbangan bahwa suatu saat karir seorang olahragawan harus berakhir karena berbagai macam alasan. Hal ini perlu menjadi perhatian para pembina olahraga di Indonesia. Atlet serta pelatih yang telah mengakhiri tugasnya di dalam biding keolahragaan harus tetap dapat hidup di tengah masyarakat. Bahkan jika mungkin, mereka yang telah memiliki jasa membawa nama bangsa dan negara di berbagai gelanggang olahraga perlu memperoleh penghargaan khusus yang dapat memberikan jaminan hidup bagi mereka. Tanpa adanya arah hidup yang jelas seusai karirnya sebagai atlet atau pelatih, seorang olahragawan atau pelatih akan senantiasa dihantui rasa tidak aman untuk menghadapi masa depannya. Dan rasa tidak amannya ini berdampak signifikan terhadap perilakunya dalam mengikuti kegiatan pembinaan olahraga. Karena sesungguhnya, olahraga juga merupakan sebuah karir yang ditempuh oleh seseorang untuk memperoleh tempat hidup yang layak di masyarakat, baik pada saat kini maupun di masa depan Dari berbagai kondisi yang ada yang memiliki dampak signifikan di dalam usaha seorang atlet mencapai prestasi puncak, jelaslah bahwa paradigma motivasi tidak bisa diterapkan secara sepihak, searah dan pada konteks yang sempit karenanya, paradigma ini harus diubah dengan cara pandang yang berbeda, dan melalui cara pandang yang berbeda inilah diharapkan akan lebih tampak aspekaspek tertentu yang perlu mendapat perhatian dari pihak pembina olahraga dalam menerapkan program peningkatan motivasi atlet dalam upaya meningkatkan prestasi mereka di arena kejuaraan nasional maupun internasional. Penampilan

seorang atlet tidak bisa dilepaskan dari daya dorong yang dia miliki. Sederhananya, semakin besar daya dorong yang dimiliki, maka penampilan akan semakin optimal, tentu saja jika ditunjang dengan kemampuan teknis dan kemampuan fisik yang memadai. Daya dorong itulah yang biasa disebut dengan motivasi.Menurut Hodgetts dan Richard (2002) motif adalah sesuatu yang berfungsi untuk meningkatkan dan mempertahankan serta menentukan arah dari perilaku seseorang. Sedang motivasi adalah motif yang tampak dalam perilaku. Motif lah yang memberi dorongan seseorang dalam melakukan suatu aktivitas. Hampir semua aktivitas manusia didorong oleh motif-motif tertentu yang bersifat sangat individualis. Motif seringkali diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat. Jadi motif tersebut merupakan suatu driving force yang menggerakkan manusia untuk bertingkahlaku, dan di dalam perbuatanya itu mempunyai tujuan tertentu. Setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia selalu di mulai dengan motivasi (niat). menurut Wexley & Yukl (dalam Asad, 1987) motivasi adalah pemberian atau penimbulan motif, dapat pula diartikan hal atau keadaan menjadi motif. Sedangkan menurut Mitchell (dalam Winardi, 2002) motivasi mewakili proses- proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkanya, dan terjadinya persistensi kegiatan- kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke tujuan tertentu. Sedangkan menurut Gray (dalam Winardi, 2002) motivasi merupakan sejumlah proses, yang bersifat internal, atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan- kegiatan tertentu.

B. PEMBAHASAN 1. Motivasi

Secara garis besar, ada dua jenis motivasi jika dilihat dari arah datangnya; yakni motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang datang dari dalam diri individu. Sebagai contoh keinginan untuk mendapat poin sempurna dalam sebuah kejuaraan senam, atau keinginan untuk menyelesaikan sebuah handicap dalam olahraga motocross. Motivasi yang datang dari dalam diri individu tanpa campur tangan faktor luar inilah yang biasa disebut sebagai motivasi intrinsik. Motivasi ekstrinsik biasa didefinisikan sebagai motivasi yang datang dari luar individu. Keinginan mendapat penghargaan, uang, trophi dan sebagainya merupakan contoh-contoh motivasi yang berasal dari luar individu. Secara umum, motivasi ekstrinsik lebih sering berbentuk kebendaan atau juga pujian. Meskipun berbeda, kedua jenis motivasi ini sesungguhnya saling berkait satu sama lain dan bentuknya yang saling berubah-ubah. Motivasi intrinsik bisa muncul akibat adanya penghargaan yang menjadi iming-iming pun demikian dengan sebaliknya. Motivasi ekstrinsik adalah kelanjutan dari adanya motivasi intrinsik yang mengawali seseorang melakukan sebuah aktivitas. Memang banyak ahli yang mengatakan bahwa motivasi intrinsiklah yang sebenarnya diperlukan oleh seorang atlet dalam setiap penampilannya. Karena motivasi intrinsik lebih bersifat tahan lama dibanding motivasi ekstrinsik. Mudahnya, motivasi ekstrinsik akan hilang seiring dengan hilangnya hadiah, reward, atau uang yang diinginkan, tapi tidak demikian jika yang dimiliki adalah motivasi intriksik. Namun sekali lagi, kedua jenis motivasi ini saling bertumpuk dan mempengaruhi satu sama lain. Aspek motivasi merupakan aspek yang paling banyak disoroti dalam program pembinaan olahraga (Weiberg & mould, 1995). Motivasi berasal dari kata bahasa Latin movere" yang artinya bergerak. Alderman (1974) mendefinisikan motivasi sebagai suatu kecenderungan untuk berperilaku secara selektif ke suatu arah tertentu yang dikendalikan oleh adanya konsekuensi tertentu, dan perilaku tersebut akan bertahan sampai sasaran perilaku dapat dicapai (p. 186). Sifat selektif dari perilaku berarti individu yang berperilaku membuat suatu keputusan untuk memilih tindakannya. Arah tertentu dari perilaku artinya tindakan yang dilakukan memiliki suatu tujuan sesuai dengan keinginan. Adapun yang dimaksud dengan konsekuensi adalah suatu kondisi negatif yang diperoleh individu jika is tidak melakukan perilakunya tersebut. Sage (1977) secara lebih sederhana mengemukakan bahwa motivasi adalah arah dan intensitas usaha seseorang. Yang dimaksud dengan arah usaha adalah situasi yang menarik dan membangkitkan minat seseorang sehingga ada upaya orang tersebut untuk mendekatinya. Sedangkan intensitas adalah besarnya upaya seseorang untuk dapat mendekati situasi atau kondisi yang diminatinya.Di dalam proses pembinaan olahraga ada beberapa bentuk motivasi yang harus dibedakan. Yang pertama adalah motivasi secara umum, artinya motivasi seseorang

untuk melibatkan diri di dalam suatu aktivitas tertentu dalam upaya memperoleh hasil atau mencapai sasaran tertentu (Morgan, King, Weisz, & Schopler, 1986). Yang kedua adalah motivasi untuk berprestasi (achievement motivation), yaitu orientasi seseorang untuk tetap berusaha memperoleh hasil terbaik semaksimal mungkin dengan dasar kemampuan untuk tetap bertahan sekalipun gagal, dan tetap berupaya menyelesaikan tugas sebaik-baiknya karena is merasa bangga untuk mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik (Gill, 1986). Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Murray (1938) bahwa motivasi adalah upaya seseorang untuk menguasai tugasnya, mencapai hasil maksimum, mengatasi rintangan, memiliki kinerja lebih baik dari orang lain, dan bangga terhadap kemampuan yang dimilikinya. Selanjutnya, ada motivasi yang berorientasi untuk menguasai orang lain (power motivation), motivasi untuk mampu bertindak secara kompeten dalam menghadapi situasi yang ada (ef fectance motivation) (Morgan, et al, 1986), dan motivasi untuk aktualisasi diri (self-actualization motivation) (Maslow, 1954). Dari beberapa contoh bentuk motivasi di atas perlu kiranya dipertimbangkan bahwa penekanan motivasi semata-mata untuk berprestasi .(task oriented) melalui motivasi untuk berprestasi mungkin tidak cukup. Kalaupun seseorang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik (landasan achievement motivation) namun justru peluangnya untuk memiliki kuasa terhadap orang lain (power motivation) tidak terpenuhi, is tidak akan cukup puas dengan penampilannya.

2. Sumber motivasi Sejumlah pakar (Anshel, 1997; Duda, 1993; Weinberg & Gould, 1995) mengemukakan adanya beberapa sumber antara lain Orientasi Pelaku (Trait Centered / Participant Centered orientation), Orientasi Situasional/ Lingkungan (Situation Centered orientation) Orientasi Interaksional (Interactional orientation)

3. Teori Motivasi Teori Kebutuhan Berprestasi (Need Achievement)

Menurut beberapa studi kepribadian, salah satu karakteristik yang menentukan kesuksesan atlet adalah tingginya kebutuhan untuk berprestasi (Cox, 1995). Kebutuhan ini dikenal sebagai Achievement Motivation (motivasi berprestasi). Orientasi teori ini dilandasi oleh sukses berdasarkan persepsi atlet. Berkaitan dengan teori ini ada dua orientasi atlet. Atlet yang berorientasi pada ego (ego-oriented) dan atlet yang berorientasi pada penguasaan keterampilan (mastery oriented). Atlet yang berorientasi pada ego cenderung mempersepsi sukses berdasarkan kemenangan dan kemampuan mengungguli lawan (Duda, 1993), sedangkan yang berorientasi pada penguasaan keterampilan mempersepsi sukses lebih berdasarkan kepuasan menikmati aktivitas olahraganya (Roberts, 1993). Alderman (1974) membedakan kebutuhan berprestasi (need achievement) dengan motivasi untuk berprestasi (motive for achievement). Seseorang dapat memiliki kebutuhan berprestasi tinggi tetapi tidak memiliki cukup motivasi untuk berprestasi tinggi. Sebagai contoh, seorang atlet ingin menjadi juara atau menempati ranking utama di cabang olahraga yang digelutinya, namun keinginannya tersebut tidak didukung oleh usahanya yang cukup. Misalnya, ia tidak disiplin dalam mengikuti latihan. Dalam kaitannya dengan hal ini Atkinson (1974) dan McClelland (1961) telah lama mengajukan teori motivasi yang didasari oleh pemenuhan kebutuhan (need achievement theory) yang memiliki komponen: kepribadian individu yang bersangkutan, faktor situasional, kecenderungan hasil, reaksi emosi, dan perilaku untuk berprestasi, yang kesemuanya saling terkait satu sama lain seperti paradigma di bawah ini: 4. Kompetensi White (1959) mengemukakan bahwa pada hakikatnya seseorang sejak dilahirkan ingin memiliki kemampuan (kompetensi) dalam berhubungan dengan lingkungannya. Adalah hakiki bahwa manusia ingin menguasai lingkungannya.

Jika ia berhasil, ia merasa gembira dan senang. Adapun imbalan prestasi mereka adalah kesenangan internal (internal pleasure). Harter (1981) mengemukakan bahwa seorang atlet akan berusaha untuk mampu menguasai keterampilan dalam cabang olahraganya. Jika is mampu, is merasa lebih percaya diri, dan perasaan ini selanjutnya akan menjadi penguat baginya untuk mengulangi kembali perilaku olahraganya. Jadi menurut pandangan teori ini, seorang atlet perlu memiliki keyakinan dan rasa percaya diri bahwa ia mampu menguasai cabang olahraganya. Dengan demikian ia akan melakukan aktivitas olahraganya dengan senang, dan motivasinya untuk melakukan aktivitas tersebut pun tinggi. Sebaliknya jika ia tidak yakin bahwa is telah menguasai bidang olahraganya, motivasinya untuk beraktivitas olahraga tersebut kurang kuat; kalaupun is melakukannya, kesenangannya tidak sebesar jika ia merasa mampu melakukannya.

5. Teori Carron Carron (1984) beranggapan bahwa aspek pelaku dan aspek situasional sama pentingnya. Sebagian aspek ini dapat berubah sesuai dengan kendali atlet yang bersangkutan atau pelatihnya, sebagian lagi merupakan aspek yang tidak dapat diubah. Aspek yang tidak dapat diubah bukan berati tidak dapat berubah. Yang dimaksud tidak dapat diubah adalah dalam pengertian tidak dapat dikendalikan sesuai keinginan atlet maupun pelatih. Carron mengemukakan apek-aspek tersebut terdiri dari: 1) aspek individu yang dapat diubah, 2) aspek individu yang tidak dapat diubah, 3) aspek situasional yang dapat diubah, dan 4) aspek situasional yang tidak dapat diubah. Aspek individu yang dapat diubah meliputi lima faktor yaitu: 1) insentif, 2) analisa hasil, 3) motivasi intrinsik, 4) harapan orang lain, 5) rasa percaya diri. Hal lainnya yang terluput dari Carron adalah adanya Social loafing, yaitu

menurunnya usaha individu karena kehadiran orang lain (Hardy, 1990). Social loafing hanya muncul jika ada lebih dari satu orang melakukan tugas yang sama secara bersama-sama. Biasanya hal ini terjadi karena individu tidak lagi merasa perbuatannya penting karena ia hanya menjadi bagian dari kelompok. Dengan kata lain, makna individualitas individu tenggelam di dalam makna kelompok; atau identitas dirinya tenggelam di dalam identitas kelompok. Aspek individu yang tidak dapat diubah meliputi berbagai kecenderungan psikologis sebagai hasil belajar dan relatif menetap serta merupakan ciri spesifik individu dalam menghadapi situasi tertentu. Sebagai contoh sejumlah atlet memiliki kecenderungan kompetitif yang lebih besar daripada atlet lainnya. Di lain fihak, ada atlet yang menunjukkan kecemasan yang lebih tinggi daripada atlet lainnya. Adalah penting bagi pelatih untuk mempertimbangkan serta memperhitungkan kecenderungan-kecenderungan yang merupakan ciri khas individu ini. Kecenderunganke-cenderungan yang positif dari atlet dapat lebih diperhatikan untuk dijadikan salah satu kunci penerapan strategi atlet dalam bertanding. Karena berbagai keunikan talenta atlet sebagai individu dapat dijadikan alat untuk mengatasi atau sekurang-kurannya mengimbangi keterbatasan atlet. Faktor situasional yang dapat diubah meliputi berbagai kondisi yang dapat dimanipulasi oleh pelatih. Dengan menggunakan hadiah berupa "token", menentukan sasaran secara lebih spesifik, memvariasikan program latihan dan penguat sosial, seorang pelatih dapat mengubah situasi latihan atau pertandingan dari kondisi yang kurang menarik bagi atlet menjadi kondisi yang lebih menarik. Sebagai contoh dalam penguat sosial misalnya komentar positif yang dilontarkan oleh pelatih dapat menimbulkan perubahan sikap pada atlet sehingga atlet menjadi lebih termotivasi untuk mengikuti latihan.

Faktor situasional yang tidak dapat diubah meliputi faktor seperti kondisi alami lapangan pertandingan, penonton, serta supporter pertandingan. Bagi sebagian atlet teriakan penonton justru dapat membangkitkan semangat tanding mereka sekalipun teriakan tersebut mungkin serupa dengan cemooh penonton. Sebaliknya bagi sebagian atlet lainnya hal tersebut dapat menimbulkan dampak yang merugikan. Penonton Indonesia dalam pertandingan bulutangkis di Istora Senayan Jakarta misalnya cukup "ditakuti" oleh sejumlah pemain asing karena pekikan mereka dapat meruntuhkan moral pemain atau sekurang-kurangnya mengganggu konsentrasi pemain. Namun hal ini tidak dapat diubah oleh pemain maupun pelatih. Sebaiknya pemain harus berlatih mampu mengadaptasi diri terhadap kondisi yang sudah ada tersebut.

a. Mitos Motivasi Berbagai upaya seringkali dilakukan oleh pelatih dalam rangka meningkatkan motivasi atlet. Namun upaya-upaya yang dilakukan tersebut sering tidak mempertimbangkan dampaknya atau kurang didasari pada kenyataan yang ada di lapangan oleh mitos belaka. Hal ini berakhir bahwa hasil yang dicapai berkebalikan dengan harapan. Jadi, pada akhirnya atlet tidak menjadi termotivasi untuk bertanding, sebaliknya mereka menjadi antipati, enggan, cemas, atau malas untuk menampilkan kinerja olahraga seperti yang diharapkan (Anshe1,1997). 1. Memberi hukuman dengan tambahan porsi latihan fisik Pelatih adakalanya menerapkan hukuman fisik seperti push-up beberapa kali, atau berlari dengan tambahan putaran ekstra akibat pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh atlet, misalnya terlambat latihan. Hal ini ternyata bukan memperbaiki kinerja atlet bahkan sebaliknya buruk

Perlakuan ini harus dihindari dengan alasan sebagai berikut: - Aktivitas latihan fisik hendaknya diasosiasikan dengan suatu keadaan yang menyenangkan, sehingga kegiatan fisik menjadi kegiatan yang menggembirakan. Jika latihan fisik diasosiasikan dengan hukuman, persepsi dan kesan yang diperoleh atlet terhadap kegiatan latihan menjadi rancu. Sehingga pada suatu saat apabila atlet diharapkan untuk menambah porsi latihannya demi peningkatan prestasinya, ia mengalami penurunan motivasi karena penambahan porsi latihan biasanya terkait dengan hukuman. Sebaliknya jika latihan fisik dijadikan ajang kegiatan yang menyenangkan dan tidak pernah dikaitkan dengan memanfaatkannya sebagai hukuman, pelatih akan lebih mudah meningkatkan motivasi atlet berlatih fisik sesuai dengan kebutuhan. - Tujuan hukuman adalah mencegah munculnya perilaku yang tidak diharapkan; dan hukuman hendaknya merupakan bentuk pengalaman yang tidak menyenangkan. Tidak mengikut sertakan atlet dalam kompetisi akibat kesalahan atau perilaku indisipliner merupakan bentuk hukuman yang lebih efektif daripada memberikan porsi latihan fisik tambahan.

2. Nasehat pra kompetisi Pelatih sering berusaha ekstra keras untuk memberikan nasehat pada atlet menjelang pertandingan dalam rangka mempersiapkan atlet secara lebih baik pada menjelang pertandingan. Namun ternyata tidak semua atlet menyukai hal tersebut. Sejumlah atlet lebih menyukai ketenangan bahkan memilih untuk menyendiri untuk lebih mampu berkonsentrasi kelak dalam

pertandingan. Memaksakan memberikan nasehat kepada atlet menjelang pertandingan dapat menimbulkan hasil yang bertentangan dengan harapan. Karenanya, keunikan masing-masing atlet perlu dipertimbangkan dalam memberikan nasihat menjelang pertandingan.

3. Merendahkan kemampuan lawan Pelatih seringkali berusaha meningkatkan rasa percaya diri atlet dengan memotivasinya melalui cara menunjukkan bahwa dirinya jauh lebih tangguh daripada lawan. Atau pelatih memberikan gambaran bahwa lawan yang dihadapi adalah lemah. Hal ini ternyata tidak memberikan dampak positif bahkan sebaliknya karena berbagai alasan seperti: - Jika atlet ternyata menyadari pernyataan pelatih tidak benar, ia merasa dibohongi - Jika ternyata atlet tetap kalah sekalipun pelatih telah memberikan gambaran bahwa lawannya lebih lemah, atlet yang bersangkutan merasa kekalahannya semakin besar, penampilannya semakin mengecewakan dan harga dirinya semakin rendah. - Adalah sikap yang tidak realistis menganggap seseorang lawan lemah tanpa mempertimbangkan kekuatannya, karena setiap petarung memiliki peluang untuk menang. - Atlet masing-masing memiliki empati dan perasaan menghargai secara timbal balik. Sejumlah atlet merasa bahwa mengkritik lawan secara berlebihan adalah tidak etis.

4. Tujuan utama adalah menang

Banyak pelatih, namun terutama pengurus, menekankan pentingnya menang. Bahkan sebagian pengurus seolah-olah memaksakan atlet untuk selalu menang. Hal ini sesungguhnya dapat menjadi beban tuntutan yang sangat berat bagi atlet. Berbagai penelitian menyatakan bahwa menekankan pentingnya untuk tampil sebaik mungkin lebih memberikan dampak positif dalam memotivasi atlet daripada menekankan atlet untuk semata-mata menang.

5. Memperlakukan anggota secara berbeda Beberapa pengurus dan pelatih memiliki kecenderungan menganakemaskan atlet-atlet tertentu dengan berbagai alasan. Sikap ini cenderung melahirkan inkonsistensi dalam penetapan aturan. Inkonsistensi aturan cenderung menurunkan motivasi atlet secara umum, termasuk atlet yang dianak-emaskan.

6. Tidak mengeluh berarti bahagia Diam dan tidak mengeluh seringkali dianggap sikap yang tidak bermasalah. Hal ini belum tentu demikian. Atlet yang sama sekali tidak mengeluh belum tentu merasa bahagia dengan program yang dijalankannya. Karena bisa terjadi mereka yang bersikap demikian justru memiliki sikap masa bodoh dan tidak perduli dengan hasil yang mereka capai, sehingga tidak ada upaya lebih jauh untuk senantiasa memperbaiki peringkat prestasi yang dicapai.

7. Atlet tidak banyak tahu Banyak pelatih beranggapan bahwa pengetahuan mereka jauh melebihi atlet; di samping itu mereka juga menganggap pengetahuan atlet masih sangat dangkal dan penuh dengan ketidak-tahuan. Tetapi yang sering terjadi adalah pelatih mengalami berbagai hambatan dalam menghadapi atlet, sebaliknya atlet mampu memanipulasi, mengkontrol, mengendalikan pelatih dalam membuat keputusan. Fisher et al. (1982) mengemukakan bahwa pelatih yang memiliki pengetahuan lebih banyak adalah mereka yang biasanya menyempatkan lebih banyak waktu untuk berkomunikasi dengan atletnya. Jadi, di samping mereka memiliki dasar pengetahuan teoretis, mereka juga mampu memanfaatkan atlet sebagai nara sumber praktis.

8. Ceramah pasca pertandingan Adalah biasa pelatih atau pengurus memberikan masukan pada atlet seusai atlet bertanding. Sebagian memberi pujian atas keberhasilan atlet, sebagian lain memberikan teguran atas kesalahan atlet selama bertanding. Padahal dalam situasi ini atlet masih merasa lelah. Informasi teknis untuk memperbaiki diri tidak tepat disampaikan pada periode pasta pertandingan. Sebaliknya dalam kondisi lelah, atlet menjadi lebih peka terhadap kondisi emosi dan suasana hati. Teguran teknis yang bersifat negatif cenderung memberikan dampak "traumatis", perasaaan sakit hati, pada diri atlet. Jadi, perlakuan seperti ini perlu dipertimbangkan secara lebih seksama. Karenanya dalam memberikan pengarahan pasca tanding hendaknya mempertimbangkan tenggang waktu yang lebih rasional antara saat usai pertandingan dan saat pemberian pengarahan.

9. Napoleon Complex

Istilah Napoleon Complex berlaku bagi pelatih yang cenderung menunjukkan sikap otoriternya sebagai salah satu bentuk kompensasi keinginan pribadinya untuk dihargai oleh orang lain (Anshel, 1997). Banyak pakar kepribadian menyatakan bahwa sikap Napoleon yang "bossy" merupakan kompensasi terhadap tubuhnya yang tergolong kerdil. Sikap pengurus dan pelatih yang menunjukkan kekuasaan cenderung menurunkan motivasi atlet. Akibat sikap seperti ini pada diri atlet dapat muncul perasaan tertekan, kehilangan minat untuk mendengarkan ceramah dan wejangan pengurus ataupun pelatih, bahkan mereka seringkali merasa muck dengan perilaku pengurus dan pelatih mereka.

10. Menanamkan rasa takut Sejumlah pengurus dan pelatih cenderung menanamkan rasa takut pada diri atletnya dalam upaya mengendalikan atlet supaya mereka mau melakukan apa yang diperintahkan pengurus atau pelatih. Hal ini sesungguhnya menurunkan motivasi atlet untuk berpartisipasi secara lebih aktif, karena mereka merasa tidak nyaman berada di dalam lingkungan yang mengancam, menekan, otoriter. Adalah sesuatu hal amat bertentangan jika atlet diajarkan untuk takut, sementara dalam bertanding mereka diharapkan untuk berani.

b. Strategi memotivasi atlet dan kelompok (tim) Hubungan pelatih dengan atlet merupakan hal yang amat penting dan sangat menentukan berhasil tidaknya pelatih membangkitkan motivasi atlet. Hoehn (1983) serta Fuoss dan Troppmann (1981) mengemukakan berbagai hal

yang perlu dimiliki oleh seorang pelatih dalam membina hubungan dengan atletnya adalah:

Mampu berkomunikasi secara effektif Memiliki kemahiran mengajar dan melatih Mampu membangkitkan gairah semangat atlet, memberikan pujian pada atlet lebih menekankan keunggulan individu daripada kelemahan yang dimilikinya.

Terorganisir dan berperilaku terkendali Menyertakan sikap humor Mengembangkan sikap Baling menghargai di antara pelatih, assisten dan atlet Peka terhadap perlunya saat istirahat, cuti, liburan Mengembangkan sikap kepemimpinan di antara kelompok atletnya Memberikan masukan yang wajar atas kekeliruan atlet, sebaliknya juga atas keberhasilan atlet

Tahu membatasi diri dan bersikap konsisten dalam menerapkan disiplin Tidak mempermalukan, mengintimidasi, dan mengkritik pribadi atlet

Di samping hal-hal di atas, berbagai teknik juga dapat digunakan untuk memotivasi atlet mencapai prestasi maksimalnya (Anshel, 1997) seperti misalnya:

Saling mengenal di antara sesama anggota tim Terencana Berorientasi ke masa depan Mengembangkan keterampilan Memberikan penghargaan Menanamkan disiplin secara tegas bukan keras Mencari kesamaan pandangan Membuat kegiatan menjadi menarik misalnya dengan memvariasikan kegiatan latihan

Bersikap konsisten terutama dalam menetapkan aturan Tidak beranggapan menang adalah segala-galanya tetapi lebih menekankan pada faktor usaha

Waspada terhadap kecenderungan berpikir negative

c. Motivasi Kelompok Perlu dipertimbangkan bahwa seorang atlet biasanya merupakan bagian dari kontingen atau sekurang-kurangnya merupakan bagian dari kelompok cabang olahraganya. Kondisi kelompok biasanya juga mempengaruhi kondisi individu yang ada di dalam kelompoknya. Karenanya persahabatan antar anggota kelompok, penanaman rasa saling percaya, saling menghargai dan upaya mempertahankan keharmonisan kelompok adalah penting (Anshel, 1997). Sejumlah hal berikut ini perlu dipertimbangkan dalam upaya memotivasi kelompok.

1. Sasaran Sekalipun setiap individu memiliki sasaran (goal) masing-masing dalam berperilaku, hendaknya sasaran individu tidak terlalu menyimpang dari kelompoknya dalam kinerja olahraga. Ketidakserasian sasaran antara perilaku individu dengan perilaku kelompok dapat menimbulkan pertentangan dan perselisihan antar anggota kelompok yang kemudian dapat memicu munculnya klik di dalam kelompok. Hal ini menyebabkan pelatih akan mengalami kesulitan menumbuhkan motivasi dalam kelompok. Sebaliknya akan terjadi perpecahan antar anggota kelompok. Karenanya, hendaknya diskusi antara pelatih dan antar anggota kelompok perlu terus menerus dibina untuk menyatukan pandangan serta langkah menuju sasaran.

2. Kepemilikan (Rasa memiliki) Anggota kelompok hendaknya memiliki rasa memiliki secara bersama. Untuk itu, pelatih perlu menjelaskan dasar-dasar usaha dan orientasi sasaran usaha. Pelatih juga perlu menjelaskan perlunya usaha bersama untuk memperoleh hasil seperti yang diharapkan. Tanpa adanya komunikasi dan perumusan yang jelas dari pelatih, atlet dapat mengalami perasaan kurang memiliki, atau bahkan merasa bukan bagian dari kelompoknya sehingga motivasinya pun akan sulit untuk ditumbuhkan. Di atas telah disinggung tentang kemungkinan munculnya social loafing atau hilangnya identitas pribadi di dalam kegiatan kelompok. Hal ini perlu diantisipasi oleh pelatih agar jangan sampai atlet sebagai individu kehilangan identitasnya karena ia hanya merupakan bagian dari kelompoknya. Karenanya penghargaan sebagai individu (individual recognition) perlu untuk senantiasa diperhatikan.

3. Kesatuan dalam perbedaan Prinsip ini kurang lebih sama dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Setiap individu dalam kelompok memiliki keunikan masing-masing. Adalah tugas seorang pelatih untuk menyatukan berbagai perbedaan antar individu sebagai suatu kesatuan yang saling melengkapi, dan bukan membangkitkan perpecahan antar anggota karena perbedaan di antara mereka.

4. Waspada akan peran Adalah penting bagi pelatih untuk memberikan peran tertentu pada atletnya. Atlet cenderung kurang memiliki motivasi untuk berlatih atau bertanding karena ia merasa kurang memiliki peran di dalam kelompoknya. Sebaliknya, jika atlet

merasa dirinya memiliki peran penting di dalam regunya, is cenderung merasa lebih berarti berada di tengah-tengah regunya, dan motivasinya lebih mudah dibangkitkan karena fungsinya di dalam regu adalah juga sebagai pembangkit motivasi anggota lainnya.

5. Interaksi terencana Interaksi antar anggota tim perlu didasari oleh rencana. Anshel (1997) mengajukan beberapa contoh diantaranya sesekali mengganti teman sekamar, rekan sekerja, atau pasangan dalam permainan. Juga dapat dilakukan perubahan susunan anggota kelompok dalam latihan, dalam perjalanan atau dalam melakukan tugas-tugas harian. Hal ini tidak dimaksudkan misalnya sekedar untuk menemukan pasangan yang tepat dalam permainan ganda, melainkan dimaksudkan untuk masing-masing atlet belajar berinteraksi dengan berbagai macam individu dengan kepribadian yang berbeda.

6. Membina komunikasi Membina komunikasi di dalam kelompok adalah amat penting. Pelatih yang menyediakan terlalu sedikit waktu untuk berkomunikasi dengan atletnya sebaiknya jangan terlalu berharap ia akan mampu meningkatkan motivasi atletnya. Kesenjangan hubungan komunikasi berdampak pada kesenjangan hubungan emosional. Kesenjangan hubungan emosional merupakan hambatan bagi upaya mempersiapkan mental atlet dalam bertanding, termasuk di dalamnya memotivasi atlet. Di samping hal-hal tersebut di atas, pelatih adakalanya kurang memperhatikan atlet cadangan. Padahal merekapun dapat berpeluang menjadi

kunci kemenangan (Anshel, 1997). Para pemain cadangan sering kali mengalami gangguan psikologis dalam bentuk frustrasi, perasaan terasing, kehilangan rasa percaya diri, tidak cukup dipercaya, memiliki atribut sebagai warga kelas dua di dalam kelompoknya, dan lain-lain (Tutko & Bruns, 1976). Jadi, sebaiknya merekapun memperoleh perhatian yang cukup dari pelatihnya melalui sejumlah pendekatan:

Memberikan perasaan berarti dan menganggap mereka sama pentingnya dengan atlet utama

Memberikan pengertian bahwa mereka pun memberikan sumbangan berarti bagi regunya

Memberikan kesempatan lebih banyak kepada mereka untuk meningkatkan kemampuannya dan menunjukkan keterampilannya di dalam situasi kompetisi

Mempromosikan mereka ke arah positif Jika pelatih memperlakukan mereka dengan cara-cara demikian, rasa percaya diri mereka akan tumbuh, dan mereka merasa bagian dari tim sekalipun mungkin peran mereka tidak sebesar peran pemain utama. Jika mereka merasa sebagai bagian dari tim, mereka lebih mempunyai rasa memiliki terhadap tim, dan motivasi mereka akan lebih mudah dibangkitkan untuk meningkatkan prestasi sehingga kelak mereka dapat dibina menjadi kader masa depan. Akhirnya yang perlu juga dicatat adalah, pelatih hendaknya menanamkan motivasi yang realistik terhadap atletnya. Atlet juga mampu berpikir jernih, memiliki perasaan yang peka, dan memiliki keterampilan sesuai dengan apa yang telah dipelajari dan dicapai. Berusaha membangkitkan motivasi atlet melalui pernyataan ideal biasanya tidak memberikan hasil seperti harapan, bahkan sebaliknya atlet merasa menghadapi suatu ketidakmungkinan. Akibatnya mereka justru menjadi kurang termotivasi.

Jadi hendaknya pelatih melakukan upaya membangkitkan motivasi atlet dengan memberikan penjelasan secara realistis, menaruh harapan pada atletnya secara realistis dan melakukan evaluasi serta memberikan umpan balik secara realistis pula. C. PENUTUP Dalam rangka pembinaan terhadap atlet muda, upah yang baik untuk lebih memacu motivasinya untuk menang adalah pujian dan perasaan senang atau bangga terhadap usaha-usahanya dalam permainan yang telah diperlihatkan sebaik-baiknya tanpa terlalu menekankan kemenangan sebagai tolok ukurnya. Pendekatan perorangan yang memperhatikan segi psikis dengan sikap penuh pengertian dan penghargaan akan usaha yang telah diperlihatkan, khususnya pada atlet muda usia, sangat diperlukan untuk memupuk motivasi agar bermain "all out" dalam. setiap pertandingan. Pelatih dan pembina perlu mengetahui dasar timbulnya atau terhambatnya motivasi para atlet dan dalam hal ini bisa dilakukan dengan: 1. Berbicara dan mendiskusikan penampilan atlet. Dalam hal ini perlu memperhatikan waktu yang
tepat, artinya atlet sudah dalam keadaan siap untuk mendiskusikan permainannya.

2. Melakukan pengamatan terhadap atlet pada waktu latihan, pertandingan atau dalam kehidupan
dan pergaulan sehari-hari.

Dalam percakapan untuk tujuan memotivasi atlet, beberapa hal perlu diperhatikan: 1. Harus yakin apakah memang diperlukan percakapan. 2. Perencanaan yang matang apa yang akan disampaikan atau dibicarakan secara teliti, tidak
berlebihan.

3. Memperhatikan beda perorangan mengenai tingkat ketegangan yang dimiliki.

4. Harus jujur dan objektif dalam melakukan penilaian, jangan menekankan pada menang atau
kalah.

5. Setelah pertandingan hares langsung memperlihatkan sikap senang kalau menang den sikap
memahami dan penuh pengertian kalau kalah secara wajar.

6. Jika atlet kalah hares mempertimbangkan suasana atau kondisi emosinya. Analisis objektif
terhadap permainannya acap kali belum memungkinkan dilakukan segera, jadi jangan tergesagesa.

Pelatih atau pembina acap kali menghadapi kesulitan ketika menghadapi atlet vang memang tergolong atlet yang "sulit". Di dalam menghadapi keadaan seperti itu beberapa hal perlu diperhatikan: 1. Teliti masalah-masalah psikisnya, kalau mungkin diatasi secara langsung, namun kalau tetap
sulit, janganlah segan berkonsultasi dengan yang lebih senior atau minta bantuan psikolog untuk menangani.

2. Bagi mereka yang sulit atau tidak mau berubah, periksa cara-cara pendekatan dan sikap-sikap
kita, termasuk sikap teman-teman dalam kelompok atau regunya.

3. Bagi atlet yang sering melanggar peraturan harus ada kejelasan antara tingkah laku yang masih
dinilai baik yang dapat diterima oleh pelatih den tingkah laku yang melanggar peraturan dengan hukumannya. Hukuman perlu bersifat mendidik dan mengajar agar perbuatan yang salah atau tidak baik tidak akan diperlihatkan lagi, demi kepentingan pribadi atau regunya.

4. Atlet yang mementingkan kepentingan diri sendiri, perlu dijelaskan peranan atlet lain, tanpa
mengurangi kemampuan yang dimiliki dan mendahulukan kepentingan regu sebagai keseluruhan.

5. Bagi atlet yang berbakat besar, jelaskan bahwa bakat den kemampuannya memegang peranan
besar untuk prestasi pribadi den kemenangan regunya.

Dalam mempersiapkan atlet ke suatu pertandingan, pelatih dan pembina perlu memperhatikan langkah-langkah agar atlet dapat memperlihatkan puncak penampilan (peak performance) atau prestasinya, yakni:

I. Langkah Ke-1 Pada langkah pertama ini perlu ditetapkan tujuan atau sasarannya. Dalam hal ini perlu mengevaluasi kemampuan-kemampuannya dari segi teknisnya, kondisi kesegaran jasmani dan kondi psikisnya. Dalam menetapkan tujuan ini perlu dibedakan tujuan akhir yang ingin dicapai melalui jangka panjang, menengah atau pendek. Program harus ada dan disesuaikan dengan tujuan dan dilakukan penilaian terhadap perkembangannya. Bilamana perlu dilakukan perubahan atau perbaikan.

II. Langkah Ke-2 Pada langkah ke-2 ini perlu diperhatikan: 1. Mengenal saatnya bisa memperlihatkan prestasi puncak. 2. Memantau tingkat ketegangan-kecemasan. 3. Penggunaan teknik pengaturan diri a.l. melalui teknik pernapasan. 4. Program mengurangi ketegangan, dilihat pada waktu latihan atau pertandingan. 5. Kemampuan visualisasi. 6. Persiapan menyusun strategi. 7. Pengukuran waktu luang yang baik, kalau perlu mempergunakan musik untuk relaks. III. Langkah Ke-3 Satu atau dua minggu sebelum pertandingan perlu memantau:

1. Kemajuan dan persiapan mental serta fisik atlet. 2. Tingkat ketegangan-kecemasan yang dapat dilihat pada dan reaksi somatisasi. 3. Beban latihan yang disesuaikan dengan keterampilan dan kondisi kefaalannya. 4. Waktu-waktu luang yang benar-benar bebas dari latihan, meliputi aktivitasaktivitas lain di luar latihan dan pembicaraan mengenai pertandingan.

IV. Langkah Ke-4 Tergantung pada jenis olahraga yang akan diikuti. Lakukan kegiatankegiatan ringan dan jangan berada terlalu lama di gelanggang atau gedung tempat bertanding. Alihkan kegiatan yang bisa mengisi waktu misalnya rekreasirekreasi ringan seperti film atau bacaan. Masuklah ke tempat tidur pada waktunya, jadi jangan terlalu cepat.

V. Langkah Ke-5 Malam menjelang pertandingan harus terjamin bisa tidur dengan baik, periksa hal-hal teknis dan latihan visualisasi. Beberapa menit sebelum bertanding atlet perlu konsentrasi, ada atlet yang menyukai menyendiri atau ada yang menyukai pelatihnya berada di sampingnya. Latihan pernapasan, visualisasi, konsentrasi dipersempit, pemanasan yang cukup disesuaikan dengan tingkat pertandingan dan kondisi pribadi.

VI. Langkah Ke-6

Persiapan terakhir menjelang pertandingan: 1. Memantau tingkat ketegangan-kecemasan. 2. Pusatkan perhatian pada tujuannya sekarang. 3. Fisik harus relaks. 4. Siap mental dan bergairah untuk bertanding. 5. Jangan melakukan analisis berlebihan. 6. Percaya pada semacam naluri, suatu dorongan muncul secara otomatis. 7. Bermain sesuai dengan irama masing-masing. 8. Laksanakan strategi dan sesuaikan dengan kondisi seperlunya. 9. Jangan ragu akan kemampuan sendiri, berpikir negatif dan merenungkan diri sendiri terlalu mendalam. 10.Bermainlah wajar, tanpa beban berat harus bermain tertentu yang tidak biasa dilakukan.

VII. Langkah Ke-7 Setelah pertandingan, perlu dinilai penampilannya agar penyusunan program baru bisa disesuaikan. Pusatkan perhatian pada aspek-aspek positif pada penampilan terdahulu.

También podría gustarte