Está en la página 1de 21

Bagi Karl R. Popper, epistemologi adalah teori pengetahuan ilmiah.

Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan dalam membentuk dirinya. Tetapi, ilmu pengetahuan harus ditangkap dalam pertumbuhannya, sebab ilmu pengetahuan yang berhenti, akan kehilangan kekhasannya. Ilmu pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidak jarang temuan ilmu pengetahuan yang lebih dulu ditentang atau disempurnakan oleh temuan ilmu pengetahuan yang kemudian. Perkemabangan ilmu pengetahuan dengan demikian membuktikan, bahwa kebenaran ilmu pengetahuan itu bersifat tentatif. Selama belum digugurkan oleh temuan lain, maka suatu temuan dianggap benar. Perbedaan hasil temuan dalam masalah yang sama ini disebabkan oleh perbedaan prosedur yang ditempuh para ilmuwan dalam membentuk ilmu pengetahuan. Melalui pelaksanaan fungsi dan tugas dalam menganalisis prosedur ilmu pengetahuan tersebut, maka epistemologi dapat memberikan pengayaan gambaran proses terbentuknya pengetahuan ilmiah. Proses ini lebih penting daripada hasil, mengingat bahwa proses itulah menunjukkan mekanisme kerja ilmiah dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Akhirnya, epistemologi bisa menentukan cara kerja ilmiah yang paling efektif dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang kebenarannya terandalkan. Epistemologi juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teoriteori yang ada. Dalam filsafat, banyak konsep dari pemikiran filosof yang kemudian mendapat serangan yang tajam dari pemikiran filosof lain berdasarkan pendekatan-pendekatan epistemologi. Penguasaan epistemologi, terutama cara-cara memperoleh pengetahuan yang membantu seseorang dalam melakukan koreksi kritis terhadap bangunan pemikiran yang diajukan orang lain maupun oleh dirinya sendiri. Koreksi secara kontinyu terhadap pemikirannya sendiri ini untuk menyempurnakan argumentasi atau alasan supaya memperoleh hasil pemikiran yang maksimal. Ini menunjukkan bahwa epistemologi bisa mengarahkan seseorang untuk mengkritik pemikiran orang lain (kritik eksternal) dan pemikirannya sendiri (kritik internal). Implikasinya, epistemologi senantiasa mendorong dinamika berpikir secara korektif dan kritis, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan relatif mudah dicapai, bila para ilmuwan memperkuat penguasaannya. Dinamika pemikiran tersebut mengakibatkan polarisasi pandangan, ide atau gagasan, baik yang dimiliki seseorang maupun masyarakat. Mohammad Arkoun menyebutkan, bahwa

keragaman seseorang atau masyarakat akan dipengaruhi pula oleh pandangan epistemologinya serta situasi sosial politik yang melingkupinya. Keberangaman pandangan seseorang dalam mengamati suatu fenomena akan melahirkan keberagaman pemikiran. Kendati terhadap satu persoalan, tetapi karena sudut pandang yang ditempuh seseorang berbeda, pada gilirannya juga menghasilkan pemikiran yang berbeda. Kondisi demikian sesungguhnya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah suatu kelaziman, tidak ada yang aneh sama sekali, sehingga perbedaan pemikiran itu dapat dipahami secara memuaskan dengan melacak akar persoalannya pada perbedaan sudut pandang, sedangkan perbedaan sudut pandangan itu dapat dilacak dari epistemologinya Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi mengatur semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial. Epistemologi dari masyarakatlah yang memberikan kesatuan dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itusuatu kesatuan yang merupakan hasil pengamatan kritis dari ilmu-ilmudipandang dari keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung oleh kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembanganpengembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi. Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah hasil pemikiran-pemikiran secara epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan yang berkisar tentang bagaimana cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa yang harus disediakan untuk mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya. Pada awalnya seseorang yang berusaha menciptakan sesuatu yang baru, mungki saja mengalami kegagalan tetapi kegagalan itu dimanfaatkan sebagai bagian dari proses menuju keberhasilan. Sebab dibalik kegagalan itu

ditemukan rahasia pengetahuan, berupa faktor-faktor penyebabnya. Jadi kronologinya adalah sebagai berikut: mula-mula seseorang berpikir dan mengadakan perenungan, sehingga didapatkan percikan-percikan pengetahuan, kemudian disusun secara sistematis menjadi ilmu pengetahuan (sains). Akhirnya ilmu pengetahuan tersebut diaplikasikan melalui teknologi, technology is an apllied of science (teknologi adalah penerapan sains). Pemikiran pada wilayah proses dalam mewujudkan teknologi itu adalah bagian dari filsafat yang dikenal dengan epistemologi. Berdasarkan pada manfaat epistemologi dalam mempengaruhi kemajuan ilmiah maupun peradaban tersebut, maka epistemologi bukan hanya mungkin, melainkan mutlak perlu dikuasai. Sikap inilah yang mengendalikan kekuasaan ilmu ilmu yang besar. Sebuah keniscayaan, bahwa seorang ilmuwan harus mempunyai landasan moral yang kuat. Jika ilmuan tidak dilandasi oleh landasan moral, maka peristiwa terjadilah kembali yang dipertontonkan secara spektakuler yang mengakibatkan terciptanya Momok kemanusiaan yang dilakukan oleh Frankenstein (Jujun S. Suriasumantri, 2000:36). Nilai-nilai yang juga harus melekat pada ilmuan, sebagaimana juga dicirikan sebagai manusia modern: (1) Nilai teori: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai teori dicirikan oleh cara berpikir rasional, orientasinya pada ilmu dan teknologi, serta terbuka terhadap ide-ide dan pengalaman baru. (2) Nilai sosial : dalam kaitannya dengan nilai sosial, manusia modem dicirikan oleh sikap individualistik, menghargai profesionalisasi, menghargai prestasi, bersikap positif terhadap keluarga kecil, dan menghargai hak-hak asasi perempuan; (3) nilai ekonomi : dalam kaitannya dengan nilai ekonomi, manusia modem dicirikan oleh tingkat produktivitas yang tinggi, efisien menghargai waktu, terorganisasikan dalam kehidupannya, dan penuh perhitungan; (4) Nilai pengambilan keputusan: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai ini dicirikan oleh sikap demokratis dalam kehidupannya bermasyarakat, dan keputusan yang diambil berdasarkan pada pertimbangan pribadi; (5) Nilai agama: dalam hubungannya dengan nilai agama, manusia modem dicirikan oleh sikapnya yang tidak fatalistik, analitis sebagai lawan dari legalitas, penalaran sebagai lawan dari sikap mistis (Suriasumantri, 1986, Semiawan,C 1993). _________________________________________________________________

Hakikat pribadi ilmu (Komunikasi) yaitu berkaitan dengan pengetahuan mengenai pengetahuan ilmu (Komunikasi) sendiri atau Theory of Knowledge. Persoalan utama epsitemologis Ilmu Komunikasi adalah mengenai persoalan apa yang dapat ita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya, what can we know, and how do we know it? (Lacey: 1976). Menurut Lacey, hal-hal yang terkait meliputi belief, understanding, reson, judgement, sensation, imagination, supposing, guesting, learning, and forgetting. Epistemologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu? Bagaimanakah prosedurnya, metodologinya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar bisa mendapat pengetahuan dan ilmu yang benar dalam hal komunikasi? Apa yang dimaksud dengan kebenaran? Apakah kriteria kebenaran dan logika kebenaran dalam konteks ilmu komunikasi? Secara sederhana sebetulnya perdebatan mengenai epistemology Ilmu Komunikasi sudah sejak kemunculan Komunikasi sebagai ilmu. Perdebatan apakah Ilmu Komunikasi adalah sebuah ilmu atau bukan sangat erat kaitannya dengan bagaimana proses penetapan suatu bidang menjadi sebuah ilmu. Dilihat sejarahnya, maka Ilmu Komunikasi dikatakan sebagai ilmu tidak terlepas dari ilmu-ilmu social yang terlebih dahulu ada. pengaruh Sosiologi dan Psikologi sangat berkontribusi atas lahirnya ilmu ini. Bahkan nama-nama seperti Laswell, Schramm, Hovland, Freud, sangat besar pengaruhnya atas perkembangan keilmuan Komunikasi. Dan memang, Komunikasi ditelaah lebih jauh menjadi sebuah ilmu baru oada abad ke-19 di daratan Amerika yang sangat erat kaitannya dengan aspek aksiologis ilmu ini sendiri. Contoh konkret epistemologis dalam Ilmu Komunikasi dapat dilihat dari proses perkembangan kajian keilmuan Komunikasi di Amerika (Lihat History of Communication, Griffin: 2002). Kajian Komunikasi yang dipelajari untuk kepentingan manusia pada masa peperangan semakin meneguhkan Komunikasi menjadi sebuah ilmu. Dalam hal informasi, filsafat membantu memberikan pengetahuannya sebagai berikut: 1. Kajian Aspek Epistemologis:

Dalam berita hal terpenting adalah fakta. Pada titik yang paling inti dalam setiap pesannya pelaporan jurnalisme mesti membawa muatan fakta. Setiap kepingan informasi mengimplikasikan realitas peristiwa kemasyatakatan. Tiap pesan menjadi netral dari kemungkinan buruk penafsiran subyektif yang tak berkaitan dengan kepentingan kepentingan kebutuhan masyarakat. Charnley (1965 : 22.30) mengungkapkan kunci standardisasi bahasa penulisan yang memakai pendekatan ketepatan pelaporan faktualisasi peristiwa, yaitu akurat, seimbang, obyektif, jelas dan singkat serta mengandung waktu kekinian. Hal-hal ini merupakan tolok ukur dari The Quality of News dan menjadi pedoman yang mengondisikan kerja wartawan di dalam mendekati peristiwa berita & membantu upaya tatkala mengumpulkan & mereportase berita. Secara epistemologis caracara memperoleh fakta ilmiah yang menjadi landasan filosofis sebuah berita infotainment yang akan ditampilkan berdasarkan perencanaan yang matang, mapan, sistematis & logis. 2. Kajian Aspek Ontologis Dalam kajian berita infotainment ini bahasan secara ontologis tertuju pada keberadaan berita infotainment dalam ruang publik. Fenomena tentang berita infotainment bukan gejala baru di dunia jurnalisme. Pada abad 19, pernah berkembang jurnalisme yang berusaha mendapatkan audiensnya dengan mengandalkan berita kriminalitas yang sensasional, skandal seks, hal-hal, yang menegangkan dan pemujaan kaum selebritis ditandai dengan reputasi James Callender lewat pembeberan petualangan seks, para pendiri Amerika Serikat, Alexande Hamilton & Thomas Jeferson merupakan karya elaborasi antara fakta dan desusdesus. Tahun itu pula merupakan masa kejayaan William Rudolf Hearst dan Joseph Pulitzer yang dianggap sebagai dewa-dewa Jurnalisme kuning. Fenomena jurnalisme infotainment kembali mencuat ketika terjadi berita hebohnya perselingkuhan Presiden Amerika Bill Clinton- Lewinsky. Sejak saat itu seakan telah menjadi karakteristik pada banyak jaringan TV di dunia. Di Indonesia, fenomena ini juga bukan terbilang baru. Sejak zaman Harmoko (Menteri Penerangan pada saat itu) banyak surat kabarsurat kabar kuning muncul & diwarnai dengan antusias masyarakat. Bahkan ketika Arswendo Atmowiloto menerbitkan Monitor semakin membuat semarak Jurnalisme kuning di Indonesia. Pasca Orde Baru ketika kebebasan pers dibuka lebar-lebar semakin banyak media baru bermunculan, ada yang memiliki kualitas tetapi ada juga yang

mengabaikan kualitas dengan mengandalkan sensasional, gosip, skandal dan lain-lain. Ketika tayangan Cek & Ricek dan Kabar Kabari berhasil di RCTI, TV lainnya juga ikut-ikut menayangkan acara gosip. Dari sinilah cikal bakal infotainment marak di TV kita. Fenomena infotainment merupakan hal yang tidak bisa terhindarkan dari dunia jurnalisme kita. Pada realitasnya ini banyak disukai oleh masyarakat dengan bukti rating tinggi (public share tinggi) 3. Kajian pada aspek aksiologis Secara aksiologis kegunaan berita infotainment dititik beratkan kepada hiburan. Pengelola acara ini menarik audiens hanya dengan menyajikan tontonan yang enak dilihat sebagai sebuah strategi bisnis jurnalisme. Hal ini akan berdampak pada menundanya selera dan harapan sejumlah orang terhadap sesuatu yang lain. Ketika etika infotainment telah salah langkah mencoba untuk menyaingkan antara berita & hiburan. Padah al nilai dan daya pikat berita itu berbeda, infotainment pada gilirannya akan membentuk audiens yang dangkal karena terbangun atas bentuk bukan substansi. Pengelola media melalui berita infotainment terkadang tidak lagi mempertimbangkan moral sebagai pengontrol langkah mereka sehingga begitu mengabaikan kepentingan

masyarakat.Hal itulah yang terjadi dengan berita infotainment di Indonesia, beberapa kaidah yang semestinya dijalankan malah diabaikan demi kepentingan mengejar rating dan meraup keuntungan dari pemasang iklan.

Epistemologis membahas tentang terjadinya dan kesahihan atau kebenaran ilmu. Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh manusia berhubungan satu sama lain, dan tolok ukur keterkaitan ini memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan asas dan pondasi bagi ilmuilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain bergantung kepada ilmu tertentu, dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini dikategorikan sebagai ilmu dan pengetahuan dasar. Sebagai contoh, dasar dari semua ilmu empirik adalah prinsip kausalitas dan kaidah ini menjadi pokok bahasan dalam filsafat, dengan demikian, filsafat merupakan dasar dan pijakan bagi ilmuilmu empirik. Begitu pula, ilmu logika yang merupakan alat berpikir manusia dan ilmu yang berkaitan dengan cara berpikir yang benar, diletakkan sebagai pendahuluan dalam filsafat

dan setiap ilmu-ilmu lain, maka dari itu ia bisa ditempatkan sebagai dasar dan asas bagi seluruh pengetahuan manusia. Namun, epistemologi (teori pengetahuan), karena mengkaji seluruh tolok ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan. Walaupun ilmu logika dalam beberapa bagian memiliki kesamaan dengan epistemologi, akan tetapi, ilmu logika merupakan ilmu tentang metode berpikir dan berargumentasi yang benar, diletakkan setelah epistemologi. Hingga tiga abad sebelum abad ini, epistemologi bukanlah suatu ilmu yang dikategorikan sebagai disiplin ilmu tertentu. Akan tetapi, pada dua abad sebelumnya, khususnya di barat, epistemologi diposisikan sebagai salah satu disiplin ilmu. Dalam filsafat Islam permasalahan epistemologi tidak dibahas secara tersendiri, akan tetapi, begitu banyak persoalan epistemologi dikaji secara meluas dalam pokok-pokok pembahasan filsafat Islam, misalnya dalam pokok kajian tentang jiwa, kenon-materian jiwa, dan makrifat jiwa. Penginderaan, persepsi, dan ilmu merupakan bagian pembahasan tentang makrifat jiwa. Begitu pula hal-hal yang berkaitan dengan epistemologi banyak dikaji dalam pembahasan tentang akal, obyek akal, akal teoritis dan praktis, wujud pikiran, dan tolok ukur kebenaran dan kekeliruan suatu proposisi. "Pandangan dunia (weltanschauung) seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya konsepsi dan pengenalannya terhadap "kebenaran". Kebenaran yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang berkorespondensi dengan dunia luar. Semakin besar pengenalannya, semakin luas dan dalam pandangan dunianya. Pandangan dunia yang valid dan argumentatif dapat melesakkan seseorang mencapai titik kulminasi peradaban dan sebaliknya akan membuatnya terpuruk hingga titiknadir peradaban. Karena nilai dan kualitas keberadaan kita sangat bergantung kepada pengenalan kita terhadap kebenaran. Anda dikenal atas apa yang Anda kenal. Wujud anda ekuivalen dengan pengenalan Anda dan vice-versa. Akan tetapi, bagaimanakah kebenaran itu dapat dikenal? Parameter atau paradigma apa yang digunakan untuk dapat mengidentifikasi kebenaran itu? Mengapa kita memerlukan paradigma atau parameter ini? Dapatkah manusia mencerap kebenaran itu? Kalau kita menilik perjalanan sejarah umat manusia, sebagai makhluk dinamis dan progresif, manusia acapkali dihadapkan kepada persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan kehidupan, tentang ada dan keberadaan, tentang perkara-perkara eksistensial. Penulusuran, penyusuran serta jelajah manusia untuk menuai jawaban atas masalah- masalah di atas membuat eksistensi manusia jauh lebih

berarti. Manusia berusaha bertungkus lumus memaknai keberadaannya untuk mencari jawaban ini. Till death do us apart, manusia terus mencari dan mencari hingga akhir hayatnya." perjalanan sejarah umat manusia, sebagai makhluk dinamis dan progresif, manusia acapkali dihadapkan kepada persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan kehidupan, tentang ada dan keberadaan, tentang perkara-perkara eksistensial. Ilmu-ilmu empiris dan ilmu-ilmu naratif lainnya ternyata tidak mampu memberikan jawaban utuh dan komprehensif atas masalah ini. Karena metodologi ilmu-ilmu di atas adalah bercorak empirikal. Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan hadir untuk mencoba memberikan jawaban atas masalah ini. Karena baik dari sisi metodologi atau pun subjek keilmuan, filsafat menggunakan metodologi rasional dan subjek ilmu filsafat adalah eksisten qua eksisten. Sebelum memasuki gerbang filsafat terlebih dahulu instrumen yang digunakan dalam berfilsafat harus disepakati. Dengan kata lain, akal yang digunakan sebagai instrumen berfilsafat harus diuji dulu validitasnya, apakah ia absah atau tidak dalam menguak realitas. Betapa tidak, dalam menguak realitas terdapat perdebatan panjang semenjak zaman Yunani Kuno (lampau) hingga masa Postmodern (kiwari) antara kubu rasionalis (rasio) dan empiris (indriawi dan persepsi). Semenjak Plato hingga Michel Foucault dan Jean-Franois Lyotard. Pembahasan epistemologi sebagai subordinate dari filsafat menjadi mesti adanya. Pembahasan epistemologi adalah pengantar menuju pembahasan filsafat. Tentu saja, harus kita ingat bahwa ilmu logika juga harus rampung untuk menyepakati bahwa dunia luar terdapat hakikat dan untuk mengenalnya adalah mungkin. Pembahasan epistemologi sebagai ilmu yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat harus dikedepankan sebelum membahas perkara-perkara filsafat. Epistomologi berasal dari bahasa Yunani episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan (knowledge),logos berarti teori. Dengan demikian epistomologi secara etimologis berarti teori pengetahuan. (Rizal, 2001: 16). Epistomologi mengkaji mengenai apa sesungguhnya ilmu, dari mana sumber ilmu, serta bagaimana proses terjadinya. Dengan menyederhanakan batasan tersebut, Brameld (dalam Mohammad Noor Syam, 1984: 32) mendefinisikan epistomologi sebagai it is epistemologi that gives the teacher the assurance that he is conveying the truth to his student. Definisi tersebut dapat diterjemahkan sebagai epistomologi memberikan

kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada muridmuridnya. Disamping itu banyak sumber yang mendefinisikan pengertian Epistomologi diantarannya: 1. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan. 2. Epistomologi adalah pengetahuan sistematis yang membahas tentang terjadinnya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan (Ilmiah). 3. Epistomologi adalah cabang atau bagian filsafat yang membicarakan tentang pengetahuan yaitu tentang terjadinnya pengetahuan dan kesahihan atau kebenaran pengetahuan. 4. Epistomologi adalah cara bagaimana mendapatkan pengetahuan, sumber- sumber pengetahuan, ruang lingkup pengetahuan. Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan- kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, dari manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya. Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa: a. Hakikat itu ada dan nyata; b. kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu; c. hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami; d. manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu. Akal dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi manusia.

Apabila manusia melontarkan suatu pertanyaan yang baru, misalnya bagaimana kita bisa memahami dan meyakini bahwa hakikat itu benar-benar ada? Mungkin hakikat itu memang tiada dan semuanya hanyalah bersumber dari khayalan kita belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas bagaimana kita bisa meyakini bahwa apa yang kita ketahui tentang hakikat itu bersesuaian dengan hakikat eksternal itu sebagaimana adanya? Apakah kita yakin bisa menggapai hakikat dan realitas eksternal itu? Sangat mungkin pikiran kita tidak memiliki kemampuan memadai untuk mencapai hakikat sebagaimana adanya, keraguan ini akan menguat khususnya apabila kita mengamati kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indera lahir dan kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di sepanjang sejarah manusia?Persoalan-persoalan terakhir ini berbeda dengan persoalan- persoalan sebelumnya, yakni persoalan-persoalan sebelumnya berpijak pada suatu asumsi bahwa hakikat itu ada, akan tetapi pada persoalan-persoalan terakhir ini, keberadaan hakikat itu justru masih menjadi masalah yang diperdebatkan. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini. Seseorang sedang melihat suatu pemandangan yang jauh dengan teropong dan melihat berbagai benda dengan bentuk-bentuk dan warna-warna yang berbeda, lantas iameneliti benda-benda tersebut dengan melontarkan berbagai pertanyaan-pertanyaan tentangnya. Dengan perantara teropong itu sendiri, ia berupaya menjawab dan menjelaskan tentang realitas benda-benda yang dilihatnya. Namun, apabila seseorang bertanya kepadanya: Dari mana Anda yakin bahwa teropong ini memiliki ketepatan dalam menampilkan warna, bentuk, dan ukuran benda-benda tersebut? Mungkin benda- benda yang ditampakkan oleh teropong itu memiliki ukuran besar atau kecil?. Keraguan-keraguan ini akan semakin kuat dengan adanya kemungkinan kesalahan penampakan oleh teropong. Pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan keabsahan dan kebenaran yang dihasilkan oleh teropong. Dengan ungkapan lain, tidak ditanyakan tentang keberadaan realitas eksternal, akan tetapi, yang dipersoalkan adalah keabsahan teropong itu sendiri sebagai alat yang digunakan untuk melihat benda-benda yang jauh. Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara 'alim (subjek) dan ma'lum (obyek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan kebenaran,

mengenai hal yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak. Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: 1. Dari manakah saya berasal? 2. Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? 3. Apa hakikat manusia? 4. Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? 5. Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? 6. Mana pemerintahan yang benar dan adil? 7. Mengapa keadilan itu ialah baik? 8. Pada derajat berapa air mendidih? 9. Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? 10. dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya. Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa: Hakikat itu ada dan nyata dan Hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami. Keraguan-keraguan tentang hakikat pikiran, persepsi- persepsi pikiran, nilai dan keabsahan pikiran, kualitas pencerapan pikiran terhadap obyek dan realitas eksternal, tolok ukur kebenaran hasil pikiran, dan sejauh mana kemampuan akal-pikiran dan indera mencapai hakikat dan mencerap obyek eksternal, masih merupakan persoalan-persoalan aktual dan kekinian bagi manusia. Terkadang kita mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda hakiki dan kenyataan eksternal, dan terkadang kita membahas tentang ilmu dan makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan indera. Semua persoalan ini dibahas dalam bidang ilmu epistemologi. Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia. Pokok Bahasan Epistemologi dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat, dan pengetahuan

Cakupan Epistomologi Dalam hal ini, ada dua poin penting akan dijelaskan: 1. Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus. ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan penginderaan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi. Terdapat tiga persoalan pokok dalam epistomologi yaitu: a. Apakah sumber-sumber pengetahuan? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang? b. Apakah watak dari pengetahuan? Adakah dunia yang real di luar akal dan kalau ada dapatkah kita mengatahui? Ini adalah problem penampilan (appearance) terhadap realitas. c. Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita membedakan kebenaran dan kekeliruan? Ini adalah persoalan menguji kebenaran (verivication). (Titus, 1984: 20-21 dalam Kaelan, 1991:27-28). 2. Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan di bidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya penginderaan adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu. Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan penginderaan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.

Sejarah epistomologis Keberadaan epistemologi sebagai cabang mandiri dari filsafat tidak terlalu banyak menyisakan alur sejarah yang panjang. Secara historis hal itu hanya dapat dilacak hingga abad ke-17 atau 18 M. Akan tetapi kehadiran tema dan persoalan epistemologi memiliki jejak yang sangat sepuh setua usia tradisi filsafat di Yunani kuno. bermula dari sini setidaknya perkembangan epistemilogi hingga saat ini dapat kita bagi dalam tiga perspektif utama: 1. perspektif klasik 2. perspektif modern 3. perspektif kontemporer Munculnya perspektif klasik pada ranah epistemologi ini dapat dirunut semenjak masa pemikiran falsafi yunani kuno, khususnya pada mazhab filsafat Sokrates, Plato dan Aristoteles serta para pengikutnya. Perspektif ini sempat berkembang hingga abad pertengahan dan amat diminati oleh para filosof skolastik. Di sisi lain pandangan klasik ini sempat diadopsi oleh para filosof muslim bahkan hingga saat ini keabsahannya masih dipertahankan. Sebaliknya di Barat dengan lahirnya perspketif modern gubahan Descartes, cara pandang klasik tersebut tak lagi diperdulikan. Kendati demikian secara substantif tidak banyak perbedaan yang mendasari kedua perspektif di atas. Perbedaan yang ada sekedar menyangkut persoalan metode dan cara pandang. Karena keduanya sepakat bahwa keyakinan falsafi dan matematis merupakan epistem yang diperlukan manusia pada seluruh ranah pengetahuannya. Bahkan kedua perspektif ini sama-sama berpendapat bahwa kemestian untuk mencapai derajat yakin, tafsir mengenai yakin dan karakteristiknya merupakan perkara yang telah diakui dan tak dapat diragukan lagi. Dalam perspektif klasik, prolog wacana epistemologi dimulai dengan pengakuan atas keberadaan realitas, eksistensi alam nyata, kumungkinan untuk memperoleh pengetahuan yakin tentangnya, wujudnya kesalahan dan kemampuan manusia untuk membedakan betul dan salah, benar dan bohong merupakan hal yang aksiomatis. Oleh karena itu dalam pandangan klasik, persoalan pokok yang dihadapi adalah permasalahan nilai epistem, yakni bagaimana mewujudkan kriteria yang sah guna menguji dan menilai setiap proposisi dan memperoleh suatu neraca yang mampu memisahkan antara yang benar dengan yang salah. Implikasi pandangan semacam ini melazimkan kita untuk menerima bahwa pengetahuan manusia atas realitas adalah perkara yang tak dapat diingkari. Paling tidak manusia meyakini akan wujud diirinya, keberadaan fakultas kognisi dan mekanis

dirinya, kondisi psikis dan perasaan yang dimilikinya serta kemampuan inderawinya merupakan sekian hal yang tak mungkin diragukan. Di lain pihak, perspektif modern epistemologi menjadikan keraguan normatif sebagai titik tolak kajian epistemologinya. Descartes sebagai arsitek pandangan ini menjadikan keraguan disegala hal termasuk meragukan eksistensi diri sendiri sebagai upaya untuk mencapai keyakinan. "Cogito, ergo sum; aku berpikir (ragu) maka aku ada". Berpegang pada pernyataan inilah Descartes mencapai pada simpulan bahwa keraguan pada setiap hal meniscayakan kita untuk meyakini adanya ragu yang tak bisa dipungkiri dan adalah mustahil adanya ragu tanpa wujudnya peragu. Karena itu menurut Descartes di sinilah pengetahuan yang meyakinkan akan dijumpa. Kendati demikian perbedaan kedua perspektif di atas bukan hanya terbatas pada persoalan metode epistemik yang ditawarkan. Tapi yang lebih mendasar lagi adalah perbedaan dalam menafsirkan hakikat dan kriteria kebenaran. Di mata para pemikir klasik hakikat diartikan sebagai kesesuaian antara nalar dengan realitas. Akan tetapi menurut Descartes terjemahan klasik semacam ini harus ditolak. Descartes beranggapan bahwa manusialah yang merupakan neraca yang menentukan benar tidaknya suatu pengetahuan. Dengan kata lain, melalui pemilahan biner antara obyek dan subjek, perspektif modern menganggap bahwa epistem yakin dapat dicapai melalui subjektisasi obyek. Artinya, obyek di luar diri kita tak lain adalah tayangan nalar yang dimunculkan oleh subjek (aku) dan bukan suatu pengungkapan nyata obyek sebagai mana adanya. Berbeda halnya dengan kedua perspektif di atas. Perspektif kontemporer merupakan cara pandang epistemik yang lahir dalam tradisi filsafat analitik anglo- saxon. dalam perspektif kontemporer secara metodologis gaya penyajian dan kajian epistemogis yang diajukan melazimkan adanya analisa bahasa atas setiap terminus yang dipakai. kerena itu telaah epistemologi mereka diawali dengan definisi dan analisa kata epistemik. Bersandar pada metode analitik, epistemologi kontemporer berupaya untuk menafsirkan hakikat pengetahuan dengan cara mengkaji setiap rukun dari definisi epistem yang dihasilkan. Umumnya mereka membongkar secara analitis term epistemik ke dalam formula TBJ (True, Believe, Justification). Di samping itu persoalan semacam skeptisme dan kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan yang telah terdefinisikan sebelumnya, merupakan beberapa tema pokok lain dalam epistemologis kontemporer. Secara substansial, terdapat perbedaan yang tajam antara perspektif kontemporer dengan dua perspektif sebelumnya. Hampir seluruh

pendukung pandangan kontemporer telah berputus asa untuk mencapai suatu keyakinan dan berusaha untuk menjustifikasi dan melogiskan pengetahuan manusia lepas dari bingkai yakin. Sebagai solusinya mereka menjadikan wujud realitas sebagai praasumsi yang harus diakui. Sebaliknya para pendahulu perspektif kontemporer beranggapan bahwa pencapaian pada derajat yakin dan meyakini adanya realitas merupakan suatu keniscayaan yang tak dapat diragukan. Epistemologi ilmu, meliputi sumber, sarana, tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (verstand), akal budi (vernuft), pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologi, sehingga dikenal model-model epistemologik seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, dan positivisme. Ditunjukkan pula bagaimana kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori koherensi, korespondensi, pragmatis, dan teori intersubjektif.9 Berikut adalah aliran-aliran dalam epistemologis. 1. Rationalisme. Aliran ini berpendapat semua pengetahuan bersumber dari akal pikiran atau ratio. Tokohnya antara lain: Rene Descrates (1596 1650), yang membedakan adanya tiga idea, yaitu: innate ideas (idea bawaan), yaitu sejak manusia lahir, adventitinous ideas, yaitu idea yang berasal dari luar manusia, dan faktitinous ideas, yaitu idea yang dihasilkan oleh pikiran itu sendiri. Tokoh lain yaitu: Spinoza (1632-1677), Leibniz (1666-1716). 2. Empirisme. Aliran ini berpendirian bahwa semua pengetahuan manusia diperoleh melalui pengalaman indera. Indera memperoleh pengalaman (kesan-kesan) dari alam empiris, selanjutnya kesan-kesan tersebut terkumpul dalam diri manusia menjadi pengalaman. Tokohnya antara lain: a. John Locke (1632-1704), berpendapat bahwa pengalaman dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: (a) pengalaman luar (sensation), yaitu pengalaman yang diperoleh dari luar, dan (b) pengalaman dalam, batin (reflexion). Kedua pengalaman tersebut merupakan idea yang sederhana yang kemudian dengan proses asosiasi membentuk idea yang lebih kompleks.

b. David Hume (1711-1776), yang meneruskan tradisi empirisme. Hume berpendapat bahw ide yang sederhana adalah salinan (copy) dari sensasi- sensasi sederhana atau ideide yang kompleks dibentuk dari kombinasi ide- ide sederhana atau kesankesan yang kompleks. Aliran ini kemudian berkembang dan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan terutama pada abad 19 dan 20. 3. Realisme. Realisme merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan bahwa obyekobyek yang kita serap lewat indera adalah nyata dalam diri obyek tersebut. Obyek-obyek tersebut tidak tergantung pada subjek yang mengetahui atau dengan kata lain tidak tergantung pada pikiran subjek. Pikiran dan dunia luar saling berinteraksi, tetapi interaksi tersebut mempengaruhi sifat dasar dunia tersebut. Dunia telah ada sebelum pikiran menyadari serta akan tetap ada setelah pikiran berhenti menyadari. Tokoh aliran ini antara lain: Aristoteles (384-322 SM), menurut Aristoteles, realitas berada dalam bendabenda kongkrit atau dalam proses-proses perkembangannya. Dunia yang nyata adalah dunia yang kita cerap. Bentuk (form) atau idea atau prinsip keteraturan dan materi tidak dapat dipisahkan. Kemudian aliran ini terus berkembang menjadi aliran realisme baru dengan tokoh George Edward Moore, Bertrand Russell, sebagai reaksi terhadap aliran idealisme, subjektivisme dan absolutisme. Menurut realisme baru : eksistensi obyek tidak tergantung pada diketahuinya obyek tersebut. 4. Kritisisme. Kritisisme menyatakan bahwa akal menerima bahan-bahan pengetahuan dari empiri (yang meliputi indera dan pengalaman). Kemudian akal akan menempatkan, mengatur, dan menertibkan dalam bentuk-bentuk pengamatan yakni ruang dan waktu. Pengamatan merupakan permulaan pengetahuan sedangkan pengolahan akal merupakan pembentukannya. Tokoh aliran ini adalah Immanuel Kant (1724- 1804). Kant mensintesakan antara rasionalisme dan empirisme. 5. Positivisme. Tokoh aliran ini diantaranya adalah August Comte,yang memiliki pandangan sejarah perkembangan pemikiran umat manusia dapat dkelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu: a. Tahap Theologis, yaitu manusia masih percaya pengetahuan atau pengenalan yang mutlak. Manusia pada tahap ini masih dikuasai oleh tahyul- tahyul sehingga subjek dengan obyek tidak dibedakan.

b. Tahap Metafisis, yaitu pemikiran manusia berusaha memahami dan memikirkan kenyataan akan tetapi belum mampu membuktikan dengan akta. c. Tahap Positif, yang ditandai dengan pemikiran manusia untuk menemukan hukumhukum dan saling hubungan lewat fakta. Maka pada tahap ini pengetahuan manusia dapat berkembang dan dibuktikan lewat fakta (Harun H, 1983: 110 dibandingkan dgn Ali Mudhofir, 1985: 52, dlm Kaelan, 1991: 30) 6. Skeptisisme. Menyatakan bahwa pencerapan indera adalah bersifat menipu atau menyesatkan. Namun pada zaman modern berkembang menjadi skeptisisme medotis (sistematis) yang mensyaratkan adanya bukti sebelum suatu pengalaman diakui benar. Tokoh skeptisisme adalah Rene Descrates (1596-1650). 7. Pragmatisme. Aliran ini tidak mempersoalkan tentang hakikat pengetahuan namun mempertanyakan tentang pengetahuan dengan manfaat atau guna dari pengetahuan tersebut. Dengan kata lain kebenaran pengetahuan hendaklah dikaitkan dengan manfaat dan sebagai sarana bagi suatu perbuatan. Tokoh aliran ini, antara lain: C.S Pierce (18391914), menyatakan bahwa yang terpenting adalah manfaat apa (pengaruh apa) yang dapat dilakukan suatu pengetahuan dalam suatu rencana. Pengetahuan kita mengenai sesuatu hal tidak lain merupakan gambaran yang kita peroleh mengenai akibat yang dapat kita saksikan. (Ali Mudhofir, 1985: 53, dalam Kaelan 1991: 30). Tokoh lain adalah William James (1824-1910, dalam Kaelan 1991: 30), menyatakan bahwa ukuran kebenaran sesuatu hal adalah ditentukan oleh akibat praktisnya.

Metodologi memperoleh pengetahuan Jenisjenis pengetahuan dapat dibedakan menjadi: 1. Dari keilmiahannya a. pengetahuan ilmiah, yang memiliki beberapa ciri pengenal sebagai berikut: 1) berlaku umum, 2) mempunyai kedudukan mandiri, 3) mempunyai dasar pembenaran, 4) sistematik, dan 5) intersubjektif.

b. pengetahuan nir ilmiah. dari jenis pengetahuan yang dibangun dapat dibedakan menjadi: 1) Pengetahuan biasa (ordinary knowledge,common sense knowledge) Pengetahuan ini bersifat subjektif, artinya amat terikat pd subjek yang mengenal. Sehingga memiliki sifat selalu benar sejauh sarana untuk memperolehnya bersifat normal, tidak ada penyimpangan. 2) Pengetahuan ilmiah Pengetahuan yang telah menetapkan obyek yang khas atau spesifik dengan menerapkan pendekatan metodologis yang khas. Kebenarannya bersifat relatif, karena selalu mendapatkan revisi dan diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir. Dengan kata lain kebenarannya selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian paling akhir dan mendapatkan persetujuan (agreement) oleh para ilmuwan di bidangnya. 3) Pengetahuan filsafati Pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafati. Sifat pengetahuannya mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat kebenarannya adalah absolut inter-subjektif. Maksud absolut inter-subjektif adalah nilai kebenaran yang terkandung pada jenis pengetahuan filsafat selalu merupakan pendapat yang melekat pada pandangan seorang filsuf serta mendapat pembenaran dari filsuf kemudian yang menggunakan metodologi pemikiran yang sama. 4) Pengetahuan agama Pengetahuan yang didasarkan pada keyakinan dan ajaran agama tertentu. Sifat dari pengetahuan ini adalah dogmatis, artinya pernyataan dalam ayat-ayat kitab suci memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya. Kandungan kebenaran maksud dari ayat dalam kitab suci bersifat absolut, meskipun dalam implikasi pemaknaannya mungkin berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan waktu dan pemahaman orang yang memaknakannya.

Karakteristik pengetahuan dapat dibedakan menjadi: 1. pengetahuan inderawi, yaitu pengetahuan yang didasarkan atassen se (indera) atau pengalaman manusia sehari-hari. 2. pengetahuan akal budi, yaitu pengetahuan yang didasarkan atas kekuatan ratio. 3. pengetahuan intuitif, yaitu pengetahuan yang memuat pemahaman secara cepat. 4. pengetahuan kepercayaan/pengetahuanotoritat if, yaitu pengetahuan yang dibangun atas dasa kredibilitas seorang tokoh atau sekelompok orang yang dianggap profesional dalam bidangnya. Dengan memperhatikan definisi dan pengertian epistemologi, maka menjadi jelaslah bahwa metode ilmu ini adalah menggunakan akal dan rasio, karena untuk menjelaskan pokok-pokok bahasannya memerlukan analisa akal. Yang dimaksud metode akal di sini adalah meliputi seluruh analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu hushl dan ilmu hudhr. Dan dari dimensi lain, untuk menguraikan sumber kajian epistemologi dan perubahan yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan metode analisa sejarah.

Hubungan Epistemologi dengan Ilmu-Ilmu Lain 1. Hubungan Epistemologi dengan Ilmu Logika. Ilmu logika adalah suatu ilmu yang mengajarkan tentang metode berpikir benar, yakni metode yang digunakan oleh akal untuk menyelami dan memahami realitas eksternal sebagaimana adanya dalam penggambaran dan pembenaran. Dengan memperhatikan definisi ini, bisa dikatakan bahwa epistemologi jika dikaitkan dengan ilmu logika dikategorikan sebagai pendahuluan dan mukadimah, karena apabila kemampuan dan validitas akal belum dikaji dan ditegaskan, maka mustahil kita membahas tentang metode akal untuk mengungkap suatu hakikat dan bahkan metode-metode yang ditetapkan oleh ilmu logika masih perlu dipertanyakan dan rekonstruksi, walhasil masih menjadi hal yang diragukan. 2. Hubungan epistemologi dengan Filsafat. Pengertian umum filsafat adalah pengenalan terhadap eksistensi (ontologi), realitas eksternal, dan hakikat keberadaan. Sementara filsafat dalam pengertian khusus (metafisika) adalah membahas kaidah-kaidah umum tentang eksistensi[9]. Dalam dua pengertian tersebut, telah diasumsikan mengenai kemampuan, kodrat, dan validitas akal dalam memahami hakikat dan realitas eksternal. Jadi, epistemologi dan ilmu logika merupakan mukadimah bagi filsafat.

3. Hubungan epistemologi dengan Teologi dan ilmu tafsir. Ilmu kalam (teologi) ialah suatu ilmu yang menjabarkan proposisi-proposisi teks suci agama dan penyusunan argumentasi demi mempertahankan peran dan posisi agama. Ilmu tafsir adalah suatu ilmu yang berhubungan dengan metode penafsiran kitab suci. Jadi, epistemologi berperan sentral sebagai alat penting bagi kedua ilmu tersebut, khususnya pembahasan yang terkait dengan kontradiksi ilmu dan agama, atau akal dan agama, atau pengkajian seputar pluralisme dan hermeneutik, karena akar pembahasan ini terkait langsung dengan pembahasan epistemologi.

Obyek Epistomologi Obyek material epistomologi adalah pengetahuan, sedangkan obyek formalnya adalah hakikat pengetahuan. Setiap perangkat aturan untuk menguji berbagai tuntutan yang dapat menjadikan kita memilliki pengetahuan harus benar-benar mapan, karena definisi tentang kepercayaan, kebenaran merupakan masalah yang tetap dan terus ada, sehingga teori pengetahuan merupakan suatu bidang utama dalam penyelidikan filsafat. Definisi ilmu pengetahuan, beberapa pengertian/definisi mengenai ilmu pengetahuan: 1. Websters New Word Dictionary, yang artinya: Ilmu pengetahuan: semua yang telah diamati atau dimengerti oleh jiwa (pikiran) belajar, dan sesuatu yang telah jelas. 2. Runes dalam Dictionary of Philosophy: Ilmu pengetahuan berhubungan dengan tahu (yang diketahui), kebenaran yang dimengerti. Lawandari pendapat, tetapi di bawah tarafnya jika dibandingkan dengan kebenaran. 3. American Peoples Encyclopedia: Ilmu pengetahuan, suatu kesadaran penuh dan terbuktikan dari suatu kebenaran mengenai sesuatu: bersifat praktis, suatu kesadaran yang teratur, tersusun tentang apa pun yang secara definitif dapat diterima sebagai realita. Ilmu pengetahuan meliputi, baik yang ada dalam perbendaharaan kebudayaan manusia maupun dalam pribadi-pribadi cendekiawan. Ilmu akan selalu mengalami proses perkembangan sejalan dengan perkembangan kepribadian manusia cendekiawan itu melalui segala usaha penelitian dan pengembangan yang mereka laksanakan. Antara ilmu pengetahuan dan kepribadian ada aksi positif saling membina. Semakin banyak tantangan sosial, alamiah, hidup dan sebagainya, semakin berkembang pula ilmu pengetahuan, sebab pada hakikatnya pengetahuan adalah usaha

manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidup lahir dan batin. Ilmu yang telah dimiliki seseorang akan mendorong pribadi untuk lebih dinamis, energik dalam menjelajahi lautan ilmu yang tak terbatas, semakin berilmu pribadi seseorang semakin haus, semakin tahu manusia, semakin manusia tersebut merasa bodoh. Dengan demikian menunjukkan ilmu memiliki watak dinamis, progresif, menjadi asas pembina kepribadian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa epistemologis merupakan kunci pengembangan ilmu. Ilmu yang berkembang di dalam masyarakat dapat menjadi faktor luar yang membantu perkembangan potensi pribadi manusia. Dengan pengertian (teoretis) dan penguasaan (praktik) ilmu pengetahuan, sebagai prestasi manusia yang idea tercapai. Masuk dalam kategori ini adalah kemampuan kreatif, karya kebudayaan dan ilmiah merupakan prestasi kepribadian. Pengetahuan dan manusia merupakan satu integritas, pengetahuan adalah fungsi kepribadian manusia.

También podría gustarte