Está en la página 1de 7

ANALISA KETEPATAN PENGGUNAAN ANTIMIKROBA PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT HAJI JAKARTA

PERIODE JANUARI DESEMBER TAHUN 2012 Mochammad Fajar Ramdhani, Priyanto, Dewi Astuti. Fakultas Farmasi dan Sains Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka ABSTRACT Chronic Renal Failure (CRF) is a kidney disease characterized by the progressive decline in renal function in the process of excretion and non excretion with values glomerular filtration rate (GFR) less than 60 mL/min/1.73 m 2. Antimicrobial used in CRF patients is useful to overcome secondary diseases caused as urinary tract infections, pielonephritis, glomerulonephritis, febrile, sepsis as well as in its used required an adjustment of decreased dosing, administration interval prolongation or a combination of both. The purpose of this study was to evaluate the accuracy and the used of antimicrobial dosing based on creatinine clearance values patients. The design of the study used a descriptive retrospective study of medical records of patients hospitalized with chronic renal failure who received antimicrobial therapy. Accuracy assessment guidelines based on the Drug Information Handbook With International Trade Names Index 18 th2010. Results of analysis accuracy antimicrobial used in chronic renal failure patients hospitalized in Jakarta Hajj Hospital period of JanuaryDecember 2012 amounted to 60.97%. Keywords: Precision Dose and Used, Antimicrobial, Chronic Renal Failure ABSTRAK Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penyakit ginjal yang ditandai dengan terjadinya penurunan fungsi ginjal secara progresif dalam proses ekskresi dan non ekskresi dengan nilai Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/min/1.73 m2. Penggunaan antimikroba pada pasien GGK bermanfaat mengatasi penyakit sekunder yang ditimbulkan seperti infeksi saluran kemih, pielonephritis, glomerulonephritis, febris, sepsis serta dalam penggunaannya diperlukan suatu penyesuaian berupa penurunan dosis, perpanjangan interval pemberian maupun gabungan keduanya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi ketepatan dosis dan penggunaan antimikroba berdasarkan nilai bersihan kreatinin pasien gagal ginjal kronik. Disain penelitian yang digunakan deskriptif dengan studi retrospektif terhadap rekam medis pasien gagal ginjal kronik rawat inap yang mendapatkan terapi antimikroba. Pedoman penilaian ketepatan berdasarkan Drug Information Handbook With International Trade Names Index 18th 2010. Hasil analisa ketepatan penggunaan antimikroba pada pasien gagal ginjal kronik rawat inap di Rumah Sakit Haji Jakarta periode Januari-Desember tahun 2012 sebesar 60,97%. Kata Kunci : Ketepatan Dosis dan Penggunaan, Antimikroba, Gagal Ginjal Kronik

PENDAHULUAN Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penyakit ginjal yang ditandai dengan terjadinya penurunan fungsi ginjal secara progresif dalam proses ekskresi dan non ekskresi dengan nilai Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/min/1.73 m2 yang terjadi dalam waktu 3 bulan atau lebih. GGK dapat terjadi melalui mekanisme patofisologi bermacam-macam yang pada akhirnya menyebabkan destruksi nefron yang progresif (Suhardjono dan Markum 2001). Indonesia termasuk negara dengan tingkat penderita gagal ginjal yang cukup tinggi. Menurut data Pernefri (Persatuan Nefrologi Indonesia), diperkirakan ada 70 ribu penderita gangguan ginjal, namun yang terdeteksi menderita GGK tahap terminal dari penderita yang menjalani cuci darah (hemodialisis) hanya sekitar 4 ribu sampai 5 ribu penderita. Berdasarkan data dari Indonesia Renal Registry, suatu kegiatan registrasi dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia, pada tahun 2008 jumlah pasien hemodialisis (cuci darah) mencapai 2260 orang (Mansjoer dan Triyanti 2001). Prevalensi kasus GGK yang terjadi berdasarkan data Rekam Medik pasien rawat inap di Rumah Sakit Haji Jakarta periode Januari-Desember Tahun 2012 adalah sebanyak 95 penderita. GGK juga menempati 10 besar penyakit gawat darurat pada periode triwulan pertama tahun 2012 dengan 55 kejadian, serta pada tahun 2011 dengan 125 kejadian. Penggunaan antimikroba bermanfaat dalam mengobati manifestasi klinis penyakit sekunder yang timbul akibat penyakit GGK, antara lain : pielonephritis, glomerulonephritis, febris, sepsis, infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh Escherichia coli serta profilaksis dalam

kasus pembedahan batu ginjal dan prostat yang menyebabkan obstruktif renal (Mansjoer dan Triyanti 2001). Penggunaan obat pada penderita gagal ginjal memerlukan pengetahuan mengenai fungsi hati dan ginjal, riwayat pengobatan, metabolisme dan aktivitas obat, lama kerja obat serta cara ekskresinya. Pengobatan yang bermanfaat diperlukan oleh pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan penyesuaian dosis berupa penurunan terhadap total dosis penjagaan harian seringkali diperlukan. Perubahan dosis obat yang sering dijumpai adalah penurunan dosis atau perpanjangan interval pemberian obat atau gabungan keduanya. Penderita gagal ginjal yang telah menjalani dialisis memerlukan perubahan dosis karena adanya kehilangan obat dari darah yang dapat mempengaruhi efektifitas dari suatu obat. Antimikroba sebagian besar diekskresikan melalui ginjal. Pengaturan penggunaan antimikroba memerlukan dosis yang sesuai dengan kemampuan fungsi ginjal (Kenward dan Tan 2003). Berdasarkan besarnya kasus gagal ginjal kronik yang terjadi serta mengingat pentingnya dilakukan evaluasi dan pengaturan penggunaan antimikroba pada penderita gangguan ginjal, sehingga perlunya dilakukan pengkajian mengenai Ketepatan Penggunaan Antimikroba Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik. METODE PENELITIAN Penelitian menggunakan desain deskriptif dengan metode studi retrospektif terhadap data sekunder yang berasal dari rekam medik (medical record) pasien gagal ginjal kronik rawat inap di Rumah Sakit Haji Jakarta.

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan terhadap rekam medik pasien gagal ginjal kronik rawat inap di Rumah Sakit Haji jakarta periode Januari-Desember tahun 2012 yang menggunakan antimikroba, diperoleh 80 sampel. Hasil pengamatan adalah sebagai berikut :
Pasien Gagal Ginjal Kronik Rawat Inap Di Rs Haji Jakarta Berdasarkan Jenis Kelamin No. 1. 2. Jenis Kelamin Laki-laki Wanita Total Jumlah 47 33 80 Persentase (%) 58,75 41,25 100,00

Ketepatan Dosis dan Penggunaan Antimikroba Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Rawat Inap Di Rs Haji Jakarta
No. Antimikroba Ketepatan Dosis dan Penggunaan Berdasarkan Trade Name Index T TT Persentase Persentase (%) (%) 22 21 13 9 3 2 1 2 27 26 2 1 0 0 12 2 2 145 14 10 0 15 0 1 1 0 17 9 1 1 2 18 7 0 0 96 9,59 9,11 5,39 3,73 1,24 0,83 0,41 0,83 11,18 10,78 0,83 0,41 0 0 4,98 0,83 0,83 60,97 5,81 4,14 0,00 6,22 0,00 0,41 0,41 0,00 7,04 3,72 0,41 0,41 0,83 7,47 2,90 0,00 0,00 39,03

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.

Sefotaksim Sefiksim Sefepim Seftazidim Seftizoksim Sefuroksim Sefadroksil Sefpirom Levofloksasin Siprofloksasin Ofloksasin Streptomisin Amikasin Gentamisin Meropenem Amoksilin+ asam klavulanat Metronidazol Total

Hasil pengamatan terhadap 80 pasien gagal ginjal kronik, diperoleh pasien gagal ginjal kronik yang menggunakan antimikroba berjenis kelamin laki-laki

sebanyak 47 orang (58,75%) lebih besar dibandingkan pasien wanita yaitu sebanyak 33 orang (41,25%). Gagal ginjal kronik lebih sering diderita oleh laki-laki karena laki-laki mempunyai tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Laki-laki juga lebih sering menerapkan pola hidup yang tidak sehat (merokok, konsumsi alkohol, kopi dan energi drink) yang memicu stres oksidatif yang jauh lebih besar dan memicu kerusakan ginjal (Mansjoer dan Triyanti 2001). Laki-laki juga memiliki uretra yang lebih panjang dibandingkan dengan wanita yang memungkinkan memperluas area masuk organisme sehingga meningkatkan kemungkinan untuk terkena infeksi saluran kemih. Infeksi salurah kemih yang sudah mencapai tahap stadium kronis dapat juga menjadi pemicu terjadinya gangguan ginjal. Gangguan ginjal juga dapat disebabkan oleh kelainan kelenjar prostat, yang dimana kelainan tersebut lebih sering terjadi pada laki-laki (Suhardjono dan Markum 2001). Hasil pengamatan dan analisis diperoleh bahwa antimikroba yang diberikan kepada 80 pasien gagal ginjal kronik selama menjalani rawat inap di Rumah Sakit Haji Jakarta yang memenuhi kategori tepat dosis dan penggunaan sebanyak 145 (60,97%) dan kategori tidak tepat dosis dan penggunaan sebanyak 96 (39,03%). Penerapan farmakokinetika bertujuan untuk meningkatkan efektivitas terapi atau menurunkan efek samping dan toksisitas pada pasien. Obat yang dikeluarkan terutama melalui ekskresi ginjal dapat menyebabkan toksisitas pada penderita gangguan ginjal. Penyesuaian dosis berupa penurunan terhadap total dosis pemeliharaan sering kali diperlukan.
3

Perubahan dosis yang sering dijumpai adalah penurunan dosis obat atau perpanjangan interval pemberian obat atau gabungan keduanya (Kenward dan Tan 2003). Permasalahan ketidaktepatan dosis dan penggunaan antimikroba yang terjadi adalah adanya dosis antimikroba yang berlebih. Parameter yang digunakan untuk menentukan dosis antimikroba pada pasien gagal ginjal kronik salah satunya adalah nilai bersihan kreatinin. Kreatinin serum akan meningkat apabila fungsi ginjal berkurang. Kreatinin serum merupakan produk sampingan dari metabolisme otot rangka normal. Laju produksinya bersifat tetap dan sebanding dengan jumlah massa otot tubuh. Kreatinin diekskresi terutama oleh filtrasi glomerulus dengan sejumlah kecil yang diekskresi atau reabsorpsi oleh tubulus. Massa otot tetap, maka adanya perubahan pada kreatinin mencerminkan perubahan pada bersihannya melalui filtrasi, sehingga dapat dijadikan indikator fungsi ginjal. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, jika bersihan kreatinin menurun nilainya, maka nilai kreatinin serum nilainya akan meningkat (Mansjoer dan Triyanti 2001). Ketidaktepatan dosis dan penggunaan antimikroba yang digunakan pasien gagal ginjal kronik cukup tinggi nilainya. Ketidaktepatan dosis tersebut disebabkan karena penentuan dosis berdasarkan berat ringannya penyakit, ada tidaknya gangguan fungsi organ tubuh, diagnosa penyakit dan organ yang terkena infeksi. Dosis antimikroba disesuaikan dengan kondisi pasien karena tidak semua pasien memerlukan dosis yang sama. Penggunaan dosis efektif terkecil perlu dilakukan, penambahan dosis tidak selalu meningkatkan intensitas efek, dan perlunya didasari bahwa dengan

memperbesar dosis, efek samping akan lebih sering timbul, tergantung pada kondisi pasien itu sendiri (Kenward dan Tan 2003). Faktor lain yang dapat menyebabkan masih tingginya persentase ketidaktepatan dosis dan penggunaan antimikroba pada pasien gagal ginjal kronik adalah kurangnya pengetahuan, pemahaman dan analisa dalam menentukan dosis terapi yang tepat dan aman berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yang ada, yaitu terutama nilai bersihan kreatinin yang sangat berguna sebagai indikator untuk menentukan dosis terapi selain dari faktor kondisi klinik pasien. Kondisi tersebut sangat berbahaya bagi penderita gagal ginjal kronik yang mendapatkan antimikroba dengan dosis yang berlebih serta antimikroba tersebut memiliki eliminasi sebagian besar melalui ginjal karena dapat memperberat kerja ginjal. Penggunaan antimikroba pada pasien gagal ginjal kronik masih diperlukan kajian dan pemantauan terhadap manfaat serta keamanan terapi yang didapatkan dibandingkan dengan dampak negatif yang ditimbulkan sehingga dapat mengoptimalkan penggunaan antimikroba secara bijak (prudent use of antimicroba). Penggunaan antimikroba yang bersifat nefrotoksik terutama antimikroba golongan aminoglikosid seperti gentamisin, mikasin dan streptomisin pada pasien gagal ginjal kronik perlu dilakukan monitoring secara tepat dan berkesinambung serta lebih diupayakan manfaat klinisnya walaupun penggunaanya tidak dilarang dengan catatan dilakukan penyesuaian atau modifikasi dosis dengan cara penurunan dosis atau memperpanjang interval pemberiannya ataupun gabungan keduanya (Anonim 2011).
4

Hasil analisa penggunaan antimikroba golongan aminoglikosida khususnya gentamisin dan amikasin didapatkan persentase ketidaktepatan yang tinggi dengan dosis yang berlebih. Pasien-pasien yang menggunakan antimikroba golongan aminoglikosida sebagian besar termasuk kedalam kategori gagal ginjal kronik yang berat. Permasalahan tersebut dapat berbahaya jika tidak dilakukan evaluasi dalam penggunaannya. Pasien yang diobati dengan aminoglikosida harus dibawah observasi klinis yang ketat. Analisa urin, kreatinin serum, ureum serum atau bersihan kreatinin harus ditentukan secara berkala untuk melihat oto- atau nefro-toksisitas yang memerlukan penyesuaian dosis atau penghentian terapi. Amikasin diekskresikan dalam urin tanpa diubah terutama melalui filtrasi glomerulus. Amikasin dapat diberikan selama 10 hari dan tidak menyebabkan akumulasi obat jika diberikan sesuai dengan dosis yang dianjurkan (Charles et al. 2010). Faktor sulitnya untuk dilakukan pemantauan secara berkala dalam penggunaan antimikroba golongan aminoglikosida dapat memungkinkan menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya ketidaktepatan dalam penggunaannya. Ditinjau dari segi farmakodinamik, sifat antimikroba yang paling baik untuk menjelaskan aktivitas bakterisidal adalah time-dependence, concentration dependence, dan efek persisten. Kecepatan bakterisidal ditentukan oleh panjang waktu yang diperlukan untuk membunuh bakteri (time dependence), atau efek meningkatkan kadar obat (concentration dependence). Efek persisten mencakup Post Antimkroba Effect (PAE). PAE adalah supresi pertumbuhan mikroba secara persisten sesudah paparan

antimikroba (Anonim 2011). Dosis yang berlebih dari penggunaan antimikroba golongan aminoglikosida juga dapat dimungkinkan karena antimikroba golongan aminoglikosida tersebut termasuk ke dalam sifat antimikroba time dependence, dimana efek bakterisidal akan meningkat dengan meningkatkan kadar obat. Faktor-faktor kondisi klinis pasien, berat badan, umur serta hasil pemeriksaan laboratorium (terutama nilai bersihan kreatinin, kreatinin serum, kadar leukosit dan ureum darah) perlu juga untuk diperhatikan dalam penggunaan antimikroba pada pasien gagal ginjal kronik. KESIMPULAN Hasil analisa terhadap ketepatan penggunaan antimikroba pada pasien gagal ginjal kronik rawat inap di Rumah Sakit Haji Jakarta periode Januari-Desember tahun 2012, dapat disimpulkan ketepatan berdasarkan dosis sebesar 60,97% serta ketepatan berdasarkan penggunaan sebesar 60,97%. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2006. Pedoman Pelayanan Farmasi. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta. Hal. 2-7 2011. Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Dalam: Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/MENKES/PER/XII/ 2011. Jakarta.

Anonim.

Charles

Amalia. 2003. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Kedokteran EGC : Jakarta. Hal. 121124 Charles FL, Lora LA, et al. 2010. Drug Information Handbook With International Trade Names Index 18th. American Pharmacits Association (APHA): United States Of America. Hal. 156-160 Ganiswara SG, Setiabudy R, et al. 2005. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. Hal. 67118 Hadi U. 2009. Antibiotic Usage And Antimicrobial Resistance. Airlangga University Press : Surabaya. Hal. 156-160 Kenward RL, Tan CK. 2003. Farmasi Klinis Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. PT Elex Media Komputindo : Jakarta. Hal. 173-224 Mansjoer A, Triyanti K. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. Hal. 77-92 Mardiastuti HW, Aris K. 2007. Emerging Resistance Pathogen. Majalah Kedokteran Indonesia Volume 57: Jakarta. Hal. 75-77 Mueller BA. 2005. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Aprroach, 6th Edition. Apleton and Lange : Philadelphia. Hal. 781-796 Nasution MY, Prodjosudjadi W. 2001. Pemeriksaan Penunjang Pada Penyakit Ginjal.

JP,

Edisi III. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. Hal. 299-306 Nightingale CH, Murakawa T. 2002. Microbiology and Pharmacokinetics. Marcel Dekker Inc: United States Of America. Hal. 23 Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. PT Asdi Mahasatya : Jakarta. Hal. 21 Olyaei AW, Bennett WM. 2003. Principles Of Drug Dosing and Prescribing in Renal Failure, Comprehensive Clinical Nephrologi. Edisi 2 : Australia. Hal. 96 Priyanto. 2009. Farmakoterapi dan Terminologi Medis. Leskonfi: Depok. Hal. 4144 Romlah S, Safarini H. 2008. Penilaian Penggunaan Obat Antibiotik Berdasarkan Ketepatan Kebutuhan Klinik Pada Penderita Pediatrik di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2007-2008. Jurnal Penelitian. FMIPA UI : Jakarta. Singh NP, Ganguli A. 2003. Drug Induce Kidney Diseases. JAPI : Jakarta. Hal. 970-977 Suhardjono, Markum. 2001. Pendekatan Klinis Pasien Dengan Penyakit Ginjal. Edisi III. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. Hal. 2735 Winarni D. 2006. Pola Penggunaan Obat Pada Pasien Gagal Ginjal Akut di Instalasi Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Farmasi
6

Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.

También podría gustarte