Está en la página 1de 0

5

BAB II
LANDASAN TEORI

II.1. Tinjauan Pustaka
II.1.1. Pengertian Filariasis
Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi
cacing filaria yang hidup di saluran dan kelenjar limfe serta ditularkan oleh
berbagai spesies nyamuk. Infeksi cacing filaria dapat menyebabkan gejala klinis
akut dan atau kronis (Kementrian Kesehatan RI, 2006a).
Filariasis atau penyakit kaki gajah mudah menular, kriteria penularan penyakit
ini adalah jika ditemukan microfilarial rate >1 % pada sampel darah penduduk di
sekitar kasus elephantiasis atau adanya dua atau lebih kasus elephantiasis di suatu
wilayah pada jarak terbang nyamuk yang mempunyai riwayat menetap bersama/
berdekatan pada suatu wilayah selama lebih dari satu tahun. Berdasarkan
ketentuan WHO, jika ditemukan microfilarial rate >1 % pada suatu wilayah
maka daerah tersebut dinyatakan endemis dan harus segera diberikan pengobatan
secara massal selama lima tahun berturut-turut (Kementrian Kesehatan RI,
2006c).
II.1.2 Etiologi Filariasis
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Dari tiga spesies
tersebut secara epidemiologi dapat dibagi menjadi enam tipe sebagai berikut
(Majawati, 2003; Kementrian Kesehatan RI lampiran II, 2005).
1. Wuchereria bancrofti tipe urban
Wuchereria bancrofti tipe urban ditemukan di daerah perkotaan seperti J akarta,
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Semarang, Pekalongan, dan sekitarnya serta
memiliki periodesitas nokturna.
2. Wuchereria bancrofti tipe rural
Wuchereria bancrofti tipe rural ditemukan di daerah pedesaan luar Pulau J awa
terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur serta memiliki
periodesitas nokturna.

6
3. Brugia malayi tipe periodik nokturna
Brugia malayi tipe periodik nokturna ditemukan di daerah persawahan dan
mikrofilarianya ditemukan di darah tepi pada malam hari.
4. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna
Brugia malayi tipe subperiodik nokturna ditemukan di daerah rawa dan
mikrofilarianya ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari tetapi lebih
banyak ditemukan pada malam hari.
5. Brugia malayi tipe nonperiodik
Brugia malayi tipe nonperiodik ditemukan di daerah hutan rimba dan
mikrofilarianya ditemukan pada siang dan malam hari.
6. Brugia timori
Brugia timori ditemukan di daerah persawahan Nusa Tenggara Timur dan
Maluku Utara serta mikrofilarianya ditemukan di darah tepi pada malam hari.
Cacing filaria hidup dalam tubuh manusia terutama di dalam darah serta
saluran dan kelenjar limfe. Makrofilaria atau cacing dewasa hidup di saluran dan
kelenjar limfe, sedangkan mikrofilaria hidup di dalam sistem sirkulasi darah.
Makrofilaria atau cacing dewasa adalah fase hidup cacing filaria yang
menimbulkan elephantiasis, sedangkan mikrofilaria adalah fase hidup cacing
filaria yang lebih berbahaya karena pada fase ini terjadi penularan penyakit
melalui vektor (Spicer W.J , 2000; Kementrian Kesehatan RI lampiran II, 2005).
II.1.3. Morfologi Cacing Filaria
1. Makrofilaria atau Cacing Dewasa
Makrofilaria atau cacing dewasa berbentuk silindris dan halus seperti benang.
Makrofilaria atau cacing dewasa berwarna putih susu dan hidup di dalam sistem
limfe. Cacing jantan memiliki ukuran yang lebih kecil dari cacing betina yaitu 55
mm x 0,09 mm dan ujung ekornya melingkar. Cacing betina memiliki ukuran 55-
100 mm x 0,16 mm dengan ujung ekor yang lurus. Makrofilaria bersifat
ovovivipar serta dapat menghasilkan puluhan ribu mikrofilaria dalam sekali siklus
fertilisasi (Spicer W.J , 2000; Kementrian Kesehatan RI lampiran II, 2005).
2. Mikrofilaria
Mikrofilaria merupakan larva dari makrofilaria yang jumlahnya puluhan ribu.
Mikrofilaria memiliki selubung dan berukuran 200-600 m x 8 m. Morfologi
7
mikrofilaria dari berbagai spesies cacing filaria berbeda-beda. Hal-hal yang
membedakan morfologi mikrofilaria dari berbagai spesies cacing filaria antara
lain (Spicer W.J , 2000; Kementrian Kesehatan RI lampiran II, 2005)
a. Gambaran umum tubuh
b. Rasio panjang dan lebar kepala
c. Warna selubung/ sarung
d. Ukuran tubuh
e. Susunan inti tubuh
f. J umlah inti di ujung ekor
g. Gambaran ujung ekor
Tabel 1. Perbedaan J enis Mikrofilaria dalam Sedian Darah dengan Pewarnaan
Giemsa
Karakteristik W. bancrofti B. malayi B. timori
Gambaran umum melengkung
mulus
melengkung kaku
dan patah
melengkung kaku dan
patah
Rasio panjang dan lebar
kepala
1 : 1 1 : 2 1 : 3
Warna selubung tidak berwarna merah muda tidak berwarna
Ukuran tubuh (m) 224-296 177-220 265-323
Susunan inti tubuh tersusun rapi berkelompok berkelompok
J umlah inti di ujung ekor tidak ada 2 3
Gambaran ujung ekor
ujung seperti
pita
ujung agak tumpul ujung agak tumpul
3. Larva
Larva adalah tahapan perubahan dari cacing filaria yang terdiri dari larva
stadium 1, larva stadium 2, dan larva stadium 3. Tahapan ini berlangsung di dalam
tubuh nyamuk (vektor). Pada saat tubuh nyamuk menghisap darah yang
mengandung mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam
lambung nyamuk dan selanjutnya bergerak menuju otot atau jaringan lemak di
bawah dada nyamuk. Setelah tiga hari, mikrofilaria berkembang menjadi larva
stadium 1 yang berbentuk seperti sosis berukuran 125-250 m x 10-17 m dengan
ekor runcing seperti cambuk. Setelah enam hari dalam tubuh nyamuk, larva
8
berkembang menjadi larva stadium 2 yang berukuran 200-300 m x 15-30 m
dengan ekor tumpul atau memendek serta menunjukkan aktivitas gerak. Pada hari
kedelapan hingga kesepuluh pada spesies Brugia atau hari kesepuluh hingga
keempatbelas pada spesies Wuchereria, larva dalam nyamuk berkembang menjadi
larva stadium 3 yang berukuran 1400 m x 20 m. Pada stadium 3 morfologi
larva tampak ramping disertai dengan gerakan yang aktif. Larva pada stadium ini
merupakan bentuk infektif dari cacing filaria (Nutman dan Waller, 2001;
Kementrian Kesehatan RI lampiran II, 2005).
II.1.4. Hospes Filariasis
1. Manusia
Manusia dapat terinfeksi filariasis jika digigit oleh nyamuk pembawa larva
stadium infektif (larva stadium 3). Vektor mendapat mikrofilaria dari individu-
individu yang memiliki mikrofilaria dalam darahnya. Dalam kenyataannya tidak
semua individu yang berada di daerah endemis filarisis terinfeksi penyakit ini dan
tidak semua individu yang terinfeksi filariasis menunjukkan tanda dan gejala
infeksi penyakit ini walaupun sudah terjadi perubahan-perubahan yang patologis.
Semakin lama individu berada di daerah endemis filariasis maka akan semakin
besar probabilitas terkena infeksi (Oemijati dan Kurniawan, 2000).
2. Hospes Reservoar
Selain menginfeksi manusia, cacing filaria juga dapat menginfeksi beberapa
hospes lain (hospes reservoar). Hospes reservoar ini berperan sebagai sumber
infeksi filariasis pada manusia. Beberapa hospes reservoar yang dapat menjadi
sumber infeksi filariasis di Indonesia adalah hewan lutung (Presbytis cristatus),
kera (Macaca fasicularis), dan kucing (Felis catus). Diantara cacing filaria yang
menginfeksi manusia di Indonesia, hanya Brugia malayi tipe subperiodik
nokturna dan Brugia malayi tipe nonperiodik yang ditemukan pada hospes
reservoar. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna umumnya ditemukan di
daerah rawa-rawa, sedangkan Brugia malayi tipe nonperiodik ditemukan di hutan
dan mikrofilarianya ditemukan dalam darah tepi baik siang maupun malam hari.
Keberadaan hospes reservoar ini akan menyulitkan pemberantasan filariasis
karena keterbatasan kemampuan dalam mengatasi keberadaan hospes reservoar
sebagai sumber infeksi filariasis (Oemijati dan Kurniawan, 2000).
9
II.1.5. Vektor Filariasis
Nyamuk adalah vektor dari filariasis dan hingga saat ini diketahui terdapat 23
spesies nyamuk dari genus Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes, dan Armigeres
yang berperan sebagai vektor dan vektor potensial filariasis di Indonesia. Sepuluh
spesies nyamuk Anopheles telah diidentifikasi sebagai vektor Wuchereria
bancrofti tipe rural, sedangkan vektor untuk Wuchereria bancrofti tipe urban
adalah Culex quinquefaciatus. Vektor Brugia malayi tercatat ada enam spesies
Mansonia dan terdapat juga Anopheles barbirostris untuk wilayah Indonesia
bagian timur. Untuk Brugia timori yang juga terdapat di Indonesia bagian timur
(Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku Selatan) sebagai vektornya adalah
Anopheles barbirostris (Oemijati dan Kurniawan, 2000; Kementrian Kesehatan
RI lampiran II, 2005).
Setiap daerah endemis filariasis umumnya memiliki spesies nyamuk yang
berbeda-beda yang dapat menjadi vektor utama dan spesies nyamuk lainnya yang
bersifat sebagai vektor potensial. Untuk memberantas vektor filariasis, maka tata
hidup vektor harus diketahui meliputi perilaku reproduksi, perilaku menggigit,
dan perilaku istirahat. Tempat perindukan nyamuk berbeda-beda tergantung
jenisnya. Umumnya nyamuk beristirahat di tempat yang teduh seperti di semak-
semak di sekitar tempat perindukan dan di rumah pada tempat yang gelap. Sifat-
sifat yang dimiliki nyamuk vektor meliputi menyukai darah manusia
(antropofilik), menyukai darah hewan (zoofilik), menyukai darah manusia dan
hewan (zooantropofilik), menggigit di luar rumah (eksofagik), dan menggigit di
dalam rumah (endofagik). Berbagai perilaku nyamuk sebagai vektor filariasis
sangat menentukan distribusi filariasis (Nutman dan Waller, 2001; Kementrian
Kesehatan RI lampiran II, 2005).
II.1.6 Filariasis Bancrofti atau Wuchereriasis
1. Definisi
Filariasis bancrofti adalah infeksi yang disebabkan oleh Wuchereria bancrofti.
Cacing dewasa hidup di dalam kelenjar dan saluran limfe, sedangkan mikrofilaria
ditemukan di dalam darah. Secara klinis, infeksi bisa terjadi tanpa gejala atau
manifestasinya berupa peradangan dan sumbatan saluran limfe. Manusia
merupakan satu-satunya hospes yang diketahui (Soedarmo et al, 2008).
10
2. Etiologi
Wuchereria bancrofti yang akan mencapai kematangan seksual di kelenjar dan
saluran limfe. Cacing dewasa berwarna putih dan kecil seperti benang. Cacing
jantan berukuran 40 mm x 0,1 mm, sedangkan cacing betina berukuran dua kali
cacing jantan yaitu 80-100 mm x 0,2-0,3 mm (Soedarmo et al, 2008).
3. Siklus Hidup
Larva yang infektif (larva tingkat tiga) dilepaskan melalui proboscis (labela)
nyamuk sewaktu menggigit manusia. Larva kemudian bermigrasi dalam saluran
limfe dan kelenjar limfe dimana mereka akan tumbuh menjadi dewasa betina dan
dewasa jantan. Mikrofilaria pertama kali ditemukan di darah perifer 6 bulan 1
tahun setelah infeksi, dan jika tidak terjadi reinfeksi mikrofilaremia ini dapat
bertahan 5-10 tahun. Vektor perantara mendapatkan infeksi dengan menghisap
darah yang mengandung mikrofilaria. Mikrofilaria akan melepaskan selubungnya
di dalam lambung nyamuk dan larva akan bermigrasi ke otot-otot dada dan
berkembang menjadi larva yang infektif dalam 10-14 hari (Soedarmo et al, 2008).
4. Epidemiologi
Wuchereria bancrofti terutama ditemukan di daerah tropis dan subtropis.
Diperkirakan bahwa 250 juta orang telah terinfeksi parasit ini, terutama di Asia
Selatan dan Afrika sub-Saharan. Di Asia, parasit ini endemik di daerah pedesaan
dan perkotaan India, Srilangka, dan Myanmar. Selain itu parasit ini juga
ditemukan sedikit di daerah pedesaan Thailand dan Vietnam. Di Indonesia,
penyakit ini ditemukan dengan prevalensi rendah di Sumatera, J awa, Kalimantan,
Sulawesi, dan Lombok (Soedarmo et al, 2008).
Nyamuk Anopheles dan Culex merupakan vektor yang menggigit pada malam
hari untuk tipe Wuchereria bancrofti periodik nokturna, sedangkan strain yang
subperiodik ditularkan oleh nyamuk Aedes yang menggigit pada siang hari. Di
daerah endemik, pemaparan dimulai pada masa anak-anak, angka mikrofilaria
meningkat bersamaan dengan meningkatnya usia, meskipun infeksi tidak disertai
dengan gejala klinis yang nyata (Soedarmo et al, 2008).
5. Respon Imunologis
Infeksi parasit filaria ditandai dengan induksi respon tipe alergi, terlihat
peningkatan jumlah eosinofil pada darah tepi dan peningkatan IgE spesifik, IgG4,
11
dan IL-4. Respon imunitas selular juga berkembang pada orang yang tinggal di
daerah endemik filariasis sehingga keadaan ini berperan untuk menekan
timbulnya gejala klinis pada sebagian orang (Soedarmo et al, 2008).
6. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala filariasis bancrofti sangat berbeda dari satu daerah endemik
dengan daerah endemik lainnya. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh
perbedaan intensitas paparan terhadap vektor yang infektif diantara daerah
endemik tersebut (Soedarmo et al, 2008).
Asymptomatic amicrofilaremia adalah suatu keadaan yang terjadi apabila
seorang yang terinfeksi mengandung cacing filaria dewasa, tetapi tidak ditemukan
mikrofilaria di dalam darah, atau karena mikrofilaremia sangat rendah sehingga
tidak terdeteksi dengan prosedur laboratorium biasa. Sedangkan asymptomatic
microfilaremia adalah suatu keadaan dimana pasien mengalami mikrofilaremia
berat tetapi tanpa gejala sama sekali. Adapun manifestasi klinis dari filariasis
bancrofti adalah sebagai berikut (Soedarmo et al, 2008)
a. Manifestasi akut
Manifestasi akut filariasis bancrofti yaitu demam tinggi (demam filarial
atau elefantoid), menggigil, lesu, limfangitis, dan limfadenitis yang
berlangsung selama 3-15 hari serta dapat terjadi beberapa kali dalam setahun.
Pada banyak kasus, demam filarial tidak menunjukkan mikrofilaremia.
Limfangitis akan meluas ke daerah distal dari daerah yang terkena tempat
cacing filaria tinggal. Limfangitis dan limfadenitis berkembang lebih sering di
ekstremitas bawah daripada atas. Selain pada tungkai, limfangitis dan
limfadenitis dapat mengenai payudara dan alat kelamin yang merupakan tanda
khas infeksi Wuchereria bancrofti.
b. Manifestasi kronis
Manifestasi kronis berlangsung beberapa bulan sampai dengan bertahun-
tahun serta bervariasi mulai dari ringan sampai dengan berat yang diikuti
dengan berkembangnya penyakit obstruksi yang kronis yang disebabkan oleh
berkurangnya fungsi saluran limfe. Kejadian tanda klinis utama (hydrocele,
lymphedema, elephantiasis, dan chyluria) meningkat sesuai bertambahnya
usia.
12
c. Manifestasi genital
Pada banyak daerah endemis filariasis, gambaran kronis yang terjadi
adalah hydrocele. Selain itu, pada pria dapat dijumpai epididimitis kronis,
funikulitis, dan edema karena penebalan kulit skrotum. Sedangkan pada
wanita bisa dijumpai lymphedema vulva. Pada Wuchereria bancrofti infeksi di
daerah paha dan ekstremitas bawah sama seringnya berbeda dengan Brugia
yang hanya mengenai ekstremitas bawah saja.
Chyluria terjadi apabila terdapat kenaikan tekanan pada saluran limfe renal
yang mengalami sumbatan, kemudian pecah sehingga cairan limfe masuk ke
dalam traktus urinarius. Chyluria sering terlihat nyata pada pagi hari dan
bersifat intermiten.
Manifestasi klinis lain yang berhubungan dengan filariasis bancrofti adalah
hematuria, glomerulonephritis, monoarthritis sendi lutut, dan tenosynovitis
7. Diagnosis
Diagnosis filariasis bancrofti ditegakkan dengan pemeriksaan parasitologi
dengan cara pewarnaan Giemsa untuk menemukan mikrofilaria dengan panjang
250-300 um dari spesimen darah perifer. Selain itu dengan pemeriksaan serologi
dan prosedur diagnostik lainnya seperti tes kulit untuk melihat peran imunitas
selular (Soedarmo et al, 2008).
8. Pengobatan
Pengobatan filariasis dilakukan dengan pemberian dietil carbamazine citrate
(DEC). Dietil carbamazine citrate adalah derivat piperazin yang dengan cepat
membunuh mikrofilaria dan sebagian cacing dewasa Wuchereria bancrofti dan
Brugia malayi secara in vivo. DEC tidak aktif secara in vitro terhadap Brugia spp.
Dosis 6 mg/ kgBB/ oral selama 10-14 hari atau dosis kumulatif 72 mg/ kg BB/
oral dapat mengurangi mikrofilaria sampai 80-90 % dalam beberapa hari. Level
mikrofilaria akan bertahan dalam jumlah sedikit lebih dari 6-12 bulan. Efek
samping seperti demam, sakit kepala, mialgia, muntah, lemah, dan asma biasanya
disebabkan oleh karena destruksi mikrofilaria dan kadang-kadang disebabkan oleh
destruksi cacing dewasa terutama pada infeksi yang berat. Gejala ini berkembang
dalam 2 hari pertama, kadang-kadang dalam 12 jam setelah pemberian obat dan
bertahan selama 3-4 hari. Pernah dilaporkan terjadinya abses di skrotum dan sela
13
paha setelah pengobatan yang diperkirakan sebagai reaksi matinya cacing. DEC
tidak dianjurkan pada perempuan hamil (Soedarmo et al, 2008).
Obat lain yang juga aktif terhadap mikrofilaria adalah ivermectin dan
albendazole. Ivermectin hanya membunuh mikrofilaria tetapi dapat diberikan
dengan dosis tunggal 400 ug/ kg BB. Bila ivermectin dosis tunggal digabung
dengan DEC menyebabkan hilangnya mikrofilaria lebih cepat. Akhir-akhir ini
telah diketahui bahwa albendazole 400 mg dosis tunggal lebih efektif daripada
ivermectin (Soedarmo et al, 2008).
9. Pencegahan
WHO telah merencanakan eradikasi filariasis di dunia pada tahun 2020.
pengobatan massal pada populasi yang menderita filaraisis dengan DEC atau
pengulangan ivermectin sekali per tahun secara nyata mereduksi mikrofilaremia.
Pengobatan massal diberikan selama 5 tahun karena secara teoritis pengobatan
sekali setahun efektif bila diberikan minimal 5 tahun (Soedarmo et al, 2008).
II.1.7. Filariasis Brugia
1. Definisi
Filariasis brugia adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Brugia malayi
dan Brugia timori. Berbeda dengan Wuchereria bancrofti, Brugia malayi
mempunyai hospes pada binatang. Bentuk subperiodik Brugia malayi adalah
penyakit zoonosis dengan hospesnya yaitu monyet dan kucing. Berbeda dengan
Wuchereria bancrofti, episode berulang-ulang adenolymphangitis yang
disebabkan oleh sumbatan Brugia dewasa menyebabkan elephantiasis hanya pada
ekstremitas distal dan tidak mengenai paha serta penyakit kronis genital tidak
pernah terjadi (Soedarmo et al, 2008).
2. Etiologi
Brugia sp. secara morfologi mirip dengan Wuchereria bancrofti. Cacing
dewasa ukurannya setengah ukuran tubuh cacing dewasa Wucehereria bancrofti
(Soedarmo et al, 2008).
3. Epidemiologi
Brugia malayi hanya ditemukan di Asia, dari bagian barat India sampai ke
timur laut Korea dan bagian selatan Indonesia dan diperkirakan 13 juta orang di
14
dunia terinfeksi filariasis brugia. Di Indonesia, fokus-fokus Brugia malayi
ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua (Soedarmo et al, 2008).
Brugia timori distribusinya terbatas pada pulau-pulau yang mempunyai
gunung berapi di bagian timur Indonesia. Mikrofilarianya bersifat periodic
nocturna dengan vektornya nyamuk Anopheles (Soedarmo et al, 2008).
4. Manifestasi Klinis
Gejala filariasis brugia secara signifikan berbeda dengan Wuchereria
bancrofti. Gejalanya lebih jelas, lebih dramatis, dan lebih destruktif. Pada
filariasis Brugia, episode demam 5-15 hari, adenolymphangitis, abses dari
kelenjar limfe, adanya scar yang sering terjadi pada orang yang terinfeksi. Gejala
klinis yang klasik ini biasanya terbatas pada satu kelenjar limfe, sering di daerah
inguinal tetapi kadang-kadang di aksila. Penyakit urogenital dan chyluria tidak
pernah terjadi. Secara klinis Brugia timori dibedakan dari Brugia malayi dengan
adanya kantong air pada lesi dan fisura pada pergelangan kaki penderita Brugia
timori (Soedarmo et al, 2008).
Adapun diagnosis, pengobatan, dan pencegahan filariasis brugia sama dengan
filariasis bancrofti (Soedarmo et al, 2008).
II.1.8. Aspek Lingkungan Filariasis
Keadaan lingkungan sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan transmisi
filariasis. Pada umumnya daerah endemis Wuchereria bancrofti tipe urban adalah
daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduk, dan banyak genangan air
kotor sebagai habitat dari vektor penularnya yaitu Culex quinquefaciatus. Daerah
endemis Wuchereria bancrofti tipe rural secara umum kondisi lingkungannya
sama dengan daerah endemis Brugia malayi yaitu daerah dengan hutan rawa,
daerah sepanjang aliran sungai, dan daerah di sekitar tanaman air ( Oemijati dan
Kurniawan, 2000).
1. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis,
keadaan geologis, dan sebagainya. Faktor lingkungan fisik erat kaitannya dengan
kehidupan vektor sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber
penularan filariasis. Lingkungan yang cocok untuk vektor akan menjadi faktor
yang sangat potensial dalam transmisi filariasis. Lingkungan fisik dapat
15
menciptakan tempat perindukan dan tempat peristirahatan nyamuk. Suhu dan
kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup, dan keberadaan
nyamuk (Oemijati dan Kurniawan, 2000).
2. Lingkungan Biologi
Lingkungan biologi dapat menjadi rantai penularan filariasis. Lingkungan
biologi merupakan lingkungan hayati yang mempengaruhi transmisi filariasis.
Misalnya adanya tanaman air sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia sp.
Daerah endemis Brugia malayi adalah daerah dengan hutan rawa, daerah
sepanjang sungai, atau daerah badan air yang ditumbuhi tanaman air (Oemijati
dan Kurniawan, 2000).
3. Lingkungan Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya adalah lingkungan yang timbul
sebagai akibat adanya interaksi antar manusia. Di dalam lingkungan ini termasuk
perilaku, adat istiadat, budaya, kebiasaan, dan tradisi penduduk. Lingkungan
sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat yang berkaitan erat dengan
insiden filariasis adalah kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari dan
kebiasaan keluar rumah pada malam hari. Pria menunjukkan angka Mf rate yang
lebih tinggi daripada wanita karena sehubungan dengan kebiasaan dan
pekerjaannya pada umumnya pria lebih sering terpapar atau kontak dengan vektor
sehingga Mf rate pria lebih tinggi daripada wanita (Oemijati dan Kurniawan,
2000).
II.1.9. Program Eliminasi Filariasis di Indonesia
1. Pengertian
Eliminasi filariasis adalah tercapainya keadaan dimana penularan filariasis
sedemikian rendahnya sehingga penyakit ini tidak menjadi massalah kesehatan
masyarakat (Kementrian Kesehatan RI lampiran I, 2005).
2. Tujuan (Kementrian Kesehatan RI lampiran I, 2005)
a. Tujuan Umum
Filariasis tidak menjadi masalah kesehatan di Indonesia pada tahun 2020.
b. Tujuan Khusus
1) Menurunnya angka mikrofilaria (microfilaria rate) menjadi kurang dari
1% di setiap kabupaten/ kota.
16
2) Mencegah dan mengatasi kecacatan karena filariasis.
3. Kebijakan
Kebijakan eliminasi filariasis di Indonesia menurut Keputusan Menteri
Kesehatan No. 1582/MENKES/SK/XI/2005 lampiran I tentang Pedoman
Pengendalian Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) adalah sebagai berikut
a. Eliminasi filariasis merupakan salah satu prioritas nasional pemberantasan
penyakit menular.
b. Melaksanakan eliminasi filariasis di Indonesia dengan menerapkan Program
Eliminasi Filariasis Limfatik Global dari WHO yaitu memutuskan rantai
penularan filariasis serta mencegah dan membatasi kecacatan.
c. Satuan lokasi pelaksanaan (implementation unit) eliminasi filariasis adalah
kabupaten/ kota.
d. Mencegah penyebaran filariasis antar kabupaten, propinsi, dan negara.
4. Strategi
Strategi eliminasi filariasis di Indonesia menurut Keputusan Menteri
Kesehatan No. 1582/MENKES/SK/XI/2005 lampiran I tentang Pedoman
Pengendalian Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) adalah sebagai berikut
a. Memutus rantai penularan filariasis melalui pengobatan massal di daerah
endemis filariasis.
b. Mencegah dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis
filariasis.
c. Pengendalian vektor secara terpadu.
d. Memperkuat kerja sama lintas batas daerah dan negara
e. Memperkuat surveilans dan mengembangkan penelitian
5. Kegiatan Pokok
Untuk merealisasikan strategi eliminasi filariasis tersebut maka dilaksanakan
berbagai kegiatan sebagai berikut (Kementrian Kesehatan RI lampiran I, 2005)
a. Meningkatkan Promosi
Rincian kegiatan upaya meningkatkan promosi adalah sebagai berikut
1) Meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat agar berperan
aktif dalam upaya eliminasi filariasis antara lain
17
a) Penderita klinis filariasis bersedia memeriksakan diri ke unit pelayanan
kesehatan serta mampu merawat anggota tubuh yang sakit.
b) Anggota masyarakat melaksanakan pengobatan massal filariasis secara
teratur sekali setahun minimal selama lima tahun berturut-turut.
c) Anggota masyarakat, perorangan atau berkelompok, berperan aktif
dalam upaya eliminasi filariasis di daerahnya dengan membentuk
relawan filariasis di tempat tinggalnya untuk perawatan penderita
klinis kronis filariasis, pengobatan massal filariasis, dan pemantauan
kinerja program filariasis.
2) Pengembangan pesan promosi yang mendukung peningkatan pengetahuan,
sikap, dan perilaku mayarakat dalam eliminasi filariasis antara lain
a) Mengidentifikasi dan menentukan sasaran promosi
b) Menentukan metode promosi yang tepat
c) Merancang dan menggandakan bahan-bahan promosi
b. Mengembangkan Sumber Daya Manusia Filariasis
Rincian kegiatan upaya mengembangkan sumber daya manusia filariasis
adalah sebagai berikut
1) Memperkuat kemampuan sumber daya manusia dalam penyelenggaran
program eliminasi filariasis melalui pendidikan, pelatihan, sosialisasi,
distribusi informasi, dan penyelenggaraan seminar eliminasi filariasis.
2) Menetapkan skala prioritas pendidikan dan pelatihan tenaga profesional
pada tenaga pelaksana eliminasi filariasis, tenaga epidemiologi, tenaga
entomologi, serta tenaga mikroskopis di pusat dan daerah.
c. Menyempurnakan Tata Organisasi
Rincian kegiatan upaya menyempurnakan tata organisasi filariasis adalah
sebagai berikut
1) Pembentukan Task Force Eliminasi Filariasis dan Kelompok Kerja
Eliminasi Filariasis di pusat dan daerah
2) Pengembangan jejaring kerja lintas program dan lintas sektor
3) Penyempurnaan pedoman pelaksanaan program eliminasi filariasis
4) Mendorong terbentuknya lembaga sosial kemasyarakatan (LSM) peduli
filariasis
18
d. Meningkatkan Kemitraan
Rincian kegiatan upaya meningkatkan kemitraan adalah sebagai berikut
1) Inventarisasi dan merumuskan kerjasama lembaga mitra.
2) Memprioritaskan kerjasama antara program eliminasi filariasis dengan
program pemberantasan kecacingan, kusta, pengendalian vektor, dan
program lain yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektitas program
eliminasi filariasis.
3) Menentukan skala prioritas kerja sama antar sektor pada program Usaha
Kesehatan Sekolah terutama dalam rangka penemuan kasus dan
pengobatan massal serta lembaga mitra pemerintah, lembaga sosial
kemasyarakatan, media massa, dan lain sebagainya.
4) Melakukan kerja sama dengan lembaga donor nasional dan internasional
serta dunia usaha.
e. Meningkatkan Advokasi
Rincian kegiatan upaya meningkatkan advokasi dilakukan dengan cara
sebagai berikut
1) Meningkatkan advokasi para penentu kebijakan untuk mendapatkan
dukungan komitmen, tersusunnya peraturan perundangan, serta
terlaksananya program eliminasi filariasis dengan dukungan anggaran,
sumber daya manusia, dan sarana penunjang lainnya yang memadai, serta
penggerakan semua potensi yang ada di pusat dan daerah
2) Memprioritaskan advokasi pada para menteri dan pimpinan lembaga
pemerintahan terkait, gubernur, bupati, walikota, DPR, DPRD Propinsi
dan DPRD Kabupaten/ Kota, badan dan dinas terkait di propinsi dan
kabupaten/ kota, komisi kesehatan di propinsi dan kabupaten/ kota,
pimpinan lembaga sosial kemasyarakatan, dunia usaha, media massa, dan
lembaga donor
f. Memberdayakan Masyarakat
Rincian kegiatan upaya pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut
1) Menumbuhkembangkan norma kemasyarakatan yang berdaya guna dan
mandiri dalam upaya eliminasi filariasis
19
2) Mengutamakan pemberdayaan masyarakat dalam penemuan dan
perawatan penderita klinis filariasis serta pelaksanaan pengobatan massal
filariasis dengan sasaran prioritas pemberdayaan adalah penderita dan
keluarganya, tokoh masyarakat, guru, tenaga kesehatan, penyandang dana
lokal, serta masyarakat luas
g. Memperluas J angkauan Program
Rincian kegiatan upaya memperluas jangkauan program adalah sebagai
berikut
1) Melaksanakan tahapan kegiatan eliminasi filariasis agar tercapai tujuan
eliminasi filariasis tahun 2020
2) Memperluas jangkauan program eliminasi filariasis dengan pendekatan
kepulauan, pendekatan lintas batas administrasi pemerintahan, dan
pendekatan kawasan epidemiologi filariasis
3) Melaksanakan upaya pengendalian vektor secara terpadu terutama dengan
program pemberantasan malaria dan demam berdarah dengue
h. Memperkuat Sistem Informasi Strategis
Rincian upaya memperkuat sistem informasi strategis adalah sebagai berikut
1) Mengembangkan sistem survailans eliminasi filariasis yang mampu
mendukung perencanaan, pengendalian, dan evaluasi program eliminasi
filariasis
2) Mengembangkan sistem survailans eliminasi filariasis kabupaten/ kota
yang terintegrasi dalam sistem survailans eliminasi filariasis propinsi dan
nasional serta sistem survailans epidemiologi kesehatan
3) Meningkatkan pemanfaatan teknologi komunikasi informasi elektromedia
6. Pedoman Pengobatan Massal Filariasis
a. Latar Belakang
Indonesia menetapkan eliminasi filariasis sebagai salah satu prioritas
pemberantasan penyakit menular dengan menerapkan dua strategi utama yaitu
memutuskan rantai penularan dengan pengobatan massal di daerah endemis
serta upaya pencegahan dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan
kasus klinis filariasis. Pengobatan massal filariasis menggunakan kombinasi
20
DEC 6mg/ kgBB, albendazole 400 mg, dan paracetamol 500 mg (Kementrian
Kesehatan RI lampiran IV, 2005).
Pengobatan massal dilaksanakan di daerah endemis filariasis yaitu daerah
dengan mikrofilaria rate (Mf rate) >1% dengan unit pelaksananya adalah
kabupaten/ kota. Pengobatan massal bertujuan untuk mematikan semua
mikrofilaria yang ada di dalam darah setiap penduduk dalam waktu bersamaan
sehingga memutus rantai penularannya (Kementrian Kesehatan RI lampiran
IV, 2005).
b. Tujuan Pengobatan Massal
Dalam rangka eliminasi filariasis tujuan pengobatan adalah untuk
memutus transmisi filariasis yaitu (Kementrian Kesehatan RI lampiran IV,
2005).
1) Menurunkan mikrofilaria rate menjadi <1%
2) Menurunkan kepadatan rata-rata mikrofilaria
c. Sasaran Pengobatan Massal
Sasaran pengobatan massal dilaksanakan serentak terhadap semua
penduduk yang tinggal di daerah endemis filariasis, tetapi pengobatan
sementara ditunda bagi (Kementrian Kesehatan RI lampiran IV, 2005).
1) Anak-anak berusia kurang dari 2 tahun
2) Ibu hamil
3) Orang yang sedang sakit kronis/ berat
4) Penderita kasus kronis filariasis sedang dalam serangan akut
5) Balita dengan marasmus atau kwashiorkor
d. J enis Obat
Obat-obat yang diberikan pada pengobatan massal filariasis adalah sebagai
berikut (Kementrian Kesehatan RI lampiran IV, 2005).
1) Dietil Carbamazine Citrate (DEC)
Dietil Carbamazine Citrate (DEC) tidak berwarna, tidak berbau, larut
dalam air, dan memiliki rasa yang sedikit pahit. DEC tersedia dalam
bentuk tablet 100 mg dan komposisinya stabil pada suhu 15-30
o
C.
Berdasarkan sifat farmakokinetiknya DEC cepat diabsorpsi oleh usus dan
masuk ke dalam sistem sirkulasi. Obat ini didistribusikan hampir sama ke
21
semua organ dan tidak melewati sawar ASI. Di dalam tubuh DEC
membunuh mikrofilaria dengan cara melumpuhkan otot mikrofilaria
sehingga mikrofilaria tidak bisa bertahan di tempat hidupnya dan
mengubah komposisi dinding mikrofilaria menjadi lebih mudah
dihancurkan oleh sistem pertahanan tubuh hospes. Selain itu DEC juga
dapat menyebabkan matinya cacing dewasa dan menghambat
perkembangbiakan cacing dewasa yang masih hidup selama 9 sampai
dengan 12 bulan. Eksresi DEC terjadi dengan cepat melalui urin dalam
waktu 48 jam (Kementrian Kesehatan RI lampiran IV, 2005).
2) Albendazole
Albendazole dikenal sebagai obat yang digunakan dalam pengobatan
cacing usus (cacing gelang, cacing kremi, cacing cambuk, dan cacing
tambang). Albendazole juga dapat meningkatkan efek DEC dalam
mematikan cacing filaria dewasa dan mikrofilaria tanpa menambah reaksi
yang tidak dikehendaki. Di daerah endemis filariasis seringkali prevalensi
cacing usus cukup tinggi sehingga penggunaan albendazole dalam
pengobatan massal filariasis juga akan efektif mengendalikan prevalensi
cacing usus (Kementrian Kesehatan RI lampiran IV, 2005).
3) Obat Reaksi Pengobatan
Obat reaksi pengobatan digunakan untuk mengatasi adanya reaksi yang
tidak dikehendaki dari pengobatan massal filariasis. Obat reaksi
pengobatan yang digunakan adalah sebagai berikut (Kementrian
Kesehatan RI lampiran IV, 2005).
a) Paracetamol
b) CTM
c) Antasida doen
d) Salep antibiotika
e) Infus set dan cairan infus ringer laktat
f) Antibiotika oral
g) Vitamin B6
h) Kortikosteroid injeksi
i) Adrenalin injeksi
22
e. Cara Pemberian Obat
Pengobatan massal menggunakan obat DEC, albendazole, dan
paracetamol yang diberikan sekali setahun selama minimal lima tahun. DEC
diberikan 6 mg/ kgBB, albendazole 400 mg untuk semua golongan usia, dan
paracetamol 10mg/ kgBB untuk sekali pemberian. Sebaiknya obat diminum
sesudah makan dan di depan petugas. Penentuan dosis obat berdasarkan berat
badan atau usia sesuai dengan tabel di bawah ini (Kementrian Kesehatan RI
lampiran IV, 2005).
Tabel 2. Dosis Obat Pengobatan Massal Filariasis Berdasarkan Berat Badan
Berat
Badan
(kg)
DEC
(100 mg)
Tablet
Albendazole
(400 mg)
Tablet
Paracetamol
(500 mg )
Tablet
10 16 1 1 0,5
17 25 1,5 1 0,5
26 33 2 1 1
34 40 2,5 1 1
41 50 3 1 1
51 58 3,5 1 1
59 67 4 1 1
68 75 4,5 1 1
76 83 5 1 1
>84 5,5 1 1

Tabel 3. Dosis Obat Pengobatan Massal Filariasis Berdasarkan Usia
Usia
(tahun)
DEC (100 mg)
(tablet)
Albendazole (400 mg)
(tablet)
Paracetamol (500 mg)
(tablet)
2 4 1 1 0,25
6 14 2 1 0,5
>14 3 1 1
23
f. Reaksi Pengobatan
Obat DEC dan albendazole adalah obat yang aman dan memiliki toleransi
yang baik tetapi kadang-kadang dapat terjadi reaksi pengobatan terutama pada
infeksi Brugia timori dan Brugia malayi Adapun reaksi pengobatan massal
anti filariasis adalah sebagai berikut (Kementrian Kesehatan RI lampiran IV,
2005).
1) Reaksi Pengobatan Umum
Reaksi pengobatan umum terjadi karena respon imunitas tubuh individu
terhadap matinya mikrofilaria. Semakin banyak mirofilaria yang mati
maka semakin banyak reaksi pengobatan yang terjadi. Reaksi pengobatan
umum terdiri dari demam, pusing, sakit kepala, mual, muntah, penurunan
nafsu makan, lesu, sakit otot, sakit sendi, gatal-gatal, dan sesak nafas.
Reaksi umum terjadi selama tiga hari pertama setelah pengobatan massal
dan cenderung sembuh sendiri tanpa harus diobati.
2) Reaksi Pengobatan Lokal
Reaksi pengobatan lokal disebabkan oleh matinya cacing dewasa yang
dapat timbul sampai dengan 3 minggu setelah pengobatan massal. Reaksi
lokal yang terjadi dapat dibedakan berdasarkan jenis infeksi cacing filaria
yang menginfeksi yaitu
a) Reaksi Lokal oleh Infeksi Wuchereria bancrofti
Reaksi lokal yang terjadi akibat infeksi Wuchereria bancrofti yaitu
nodul di kulit skrotum, limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis,
funikulitis, epididimitis, orkitis, orkalgia, abses, ulkus, dan limfedema
b) Reaksi Lokal oleh Infeksi Brugia malayi dan Brugia timori
Reaksi lokal oleh infeksi Brugia malayi dan Brugia timori yaitu
limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis, abses, ulkus, dan
limfedema.
g. Penatalaksanaan Reaksi Pengobatan
Hal yang paling penting dalam pengobatan massal filariasis adalah
penjelasan dan pemahaman mengenai reaksi obat kepada penduduk agar
penduduk tidak merasa takut dan tidak menolak untuk diobati pada tahap
selanjutnya (Kementrian Kesehatan RI lampiran IV, 2005).
24
Penatalaksanaan reaksi yang tidak tepat akan memberikan dampak buruk
terhadap masyarakat di daerah endemis dan mengganggu program eliminasi
filariasis. Oleh karena itu perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut (Kementrian
Kesehatan RI lampiran IV, 2005).
1) Antisipasi Menghadapi Kemungkinan Terjadinya Reaksi Pengobatan
Beberapa hal yang dilakukan dalam antisipasi menghadapi kemungkinan
terjadinya reaksi pengobatan adalah sebagai berikut
a) Pemberitahuan kepada masyarakat bahwa reaksi pengobatan dapat
terjadi tetapi persentasenya kecil
b) Penyediaan tempat memperoleh pertolongan yang diperlukan jika
terjadi reaksi pengobatan dan puskesmas sebagai tempat
dilaksanakannya pengobatan massal memiliki persediaan obat reaksi
pengobatan yang cukup.
c) Mempersiapkan para dokter praktek dan paramedis lainnya di daerah
dimana pengobatan massal dilaksanakan agar mampu mengobati
reaksi pengobatan dan memberikan penjelasan yang tepat mengenai
reaksi pengobatan
d) Melaksanakan kegiatan minum obat sesudah makan dan tidak
memberikan obat pada sasaran yang ditunda pengobatannya.
2) Pemberian Obat Reaksi Pengobatan
Pemberian obat reaksi pengobatan dilakukan berdasarkan gejala yang
dialami yaitu
a) Paracetamol 500 mg
Paracetamol diberikan untuk mengatasi demam, sakit kepala, pusing,
sakit otot, dan sakit sendi. Dosis dewasa adalah 3 X 1 tablet per hari
selama 3 hari, sedangkan dosis anak sesuai dengan berat badan atau
usia.
b) CTM 4 mg
CTM diberikan untuk mengatasi alergi dan gatal-gatal. Dosis dewasa
adalah 3 X 1 tablet per hari selama 3 hari, sedangkan dosis anak sesuai
dengan berat badan atau usia.

25
c) Antasida doen
Antasida doen diberikan untuk mengatasi mual dan muntah. Dosis
dewasa adalah 3 X 1 tablet per hari selama 3 hari, sedangkan dosis
anak sesuai dengan berat badan atau usia.
d) Salep antibiotika
Salep antibiotika diberikan untuk mengatasi abses dan ulkus. Lama
pengobatan disesuaikan dengan kebutuhan.
e) Amoksisilin 500 mg
Amoksisilin diberikan untuk mengatasi abses dan ulkus. Dosis dewasa
adalah 3 X 1 tablet per hari selama 5 hari, sedangkan dosis anak sesuai
dengan berat badan atau usia.
II.1.10 Konsep Perilaku dalam Kepatuhan Minum Obat Anti Filariasis
1. Definisi Perilaku
Perilaku adalah aksi dari individu terhadap reaksi hubungan dengan
lingkungannya. Semua makhluk hidup mempunyai perilaku, maka yang dimaksud
dengan perilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas manusia sendiri seperti
berbicara, menangis, tertawa, bekerja, dan sebagainya (Machfoedz dan Suryani,
2006).
Ditinjau dari aspek biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas
organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Aktivitas yang dimaksud
terdiri dari aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain seperti berjalan,
bernyanyi, tertawa, dan sebagainya serta aktivitas yang tidak dapat diamati oleh
orang lain yaitu berpikir, berfantasi, dan bersikap (Notoatmodjo, 2007).
2. Domain Perilaku
Skiner, seorang ahli perilaku, mengemukakan suatu teori yang disebut dengan
teori S-O-R (stimulus-organisme-respon). Teori S-O-R mengelompokkan perilaku
menjadi dua yaitu perilaku tertutup dan perilaku terbuka. Perilaku tertutup terjadi
bila respons terhadap stimulus masih belum dapat diamati oleh orang lain secara
jelas. Respon tersebut masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi,
pengetahuan, dan sikap. Perilaku terbuka terjadi bila respon terhadap stimulus
sudah berupa tindakan atau praktek dan dapat diamati dari luar. Meskipun
perilaku adalah bentuk respon atau reaksi stimulus namun dalam memberikan
26
respon sangat tergantung pada karakteristik orang yang bersangkutan dan bersifat
bawaan. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda
disebut determinan perilaku yaitu faktor internal dan faktor eksternal
(Notoatmodjo, 2005).
3. Perilaku Patuh Minum Obat Anti Filariasis
Kepatuhan minum obat dipengaruhi oleh determinan perilaku yang terdiri dari
faktor-faktor sebagai berikut
a. Faktor Internal
1) Usia
Menurut La Greca dalam Smeat (1994) anak-anak mempunyai tingkat
kepatuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja, meskipun anak-
anak mendapatkan informasi yang kurang. Untuk penderita lanjut usia
kepatuhan minum obat dapat dipengaruhi oleh daya ingat yang berkurang
ditambah lagi apabila penderita lanjut usia tinggal sendiri. Menurut
Dunbar dan Waszak dalam Smeat (1994) ketaatan dalam aturan
pengobatan pada anak-anak, remaja, dan dewasa adalah sama. Menurut
Taylor dalam Smeat (1994) orang dewasa cenderung patuh minum obat
karena mengikuti semua anjuran dokter (Hutabarat, 2008).
2) J enis Kelamin
J enis kelamin dapat mempengaruhi penderita untuk patuh minum obat.
Penderita wanita biasanya akan lebih patuh minum obat karena sesuai
kodrat wanita yang ingin tampak terlihat cantik dan tidak ingin ada cacat
pada tubuhnya. Menurut Smeat dalam Hutabarat (2008) di Amerika
Serikat kaum wanita cenderung mengikuti anjuran dokter, termasuk
anjuran teratur minum obat.
3) Pendidikan
Skiner dalam Notoatmodjo (2005) mengungkapkan bahwa kepatuhan
minum obat adalah tindakan nyata yang dapat dipengaruhi oleh faktor dari
dalam diri antara lain pendidikan. Menurut Notoatmodjo dalam Hutabarat
(2008) pendidikan menuju kepada suatu perubahan yaitu mengubah
perilaku menuju arah yang diinginkan sehingga tujuan pendidikan
kesehatan adalah mengubah perilaku dari yang merugikan atau tidak
27
sesuai dengan norma kesehatan menuju perilaku yang menguntungkan
atau sesuai dengan norma kesehatan. Smeat dalam Hutabarat (2008)
megungkapkan bahwa penderita dengan pendidikan rendah dan
kecerdasan yang terbatas perlu penanganan yang lebih teliti dalam
instruksi tata cara penggunaan obat baik dan benar karena pendidikan yang
rendah akan menganggap aturan minum obat 3 x 1 sama dengan 1 x 3
sehingga obat untuk satu hari diminum sekaligus.
4) Pekerjaan
Penderita penyakit yang bekerja seperti biasa akan termotivasi untuk lebih
patuh minum obat demi kesembuhannya bila dibandingkan dengan
penderita yang tidak bekerja karena pekerjaannya adalah sumber mata
pencaharian, sumber untuk memberikan nafkah, dan berguna bagi
keluarganya (Hutabarat, 2008)
5) Penghasilan
Penghasilan keluarga setiap bulannya digunakan untuk membiayai
keluarga sehari-hari. Penghasilan yang kecil memberatkan penderita untuk
datang ke sarana pelayanan kesehatan sehingga penderita tidak teratur
minum obat (Hutabarat, 2008)
6) Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo dalam Hutabarat (2008) pengetahuan adalah suatu
hasil tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan suatu
objek tertentu melalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
perasaan, dan perabaan. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui proses melihat atau mendengar. Selain itu, melalui pengalaman
dan proses belajar dalam pendidikan formal maupun nonformal.
Pengetahuan pada manusia bertujuan untuk menjawab masalah-masalah
kehidupan manusia dan merupakan dominan sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang.
7) Sikap
Menurut Notoatmodjo (2007) sikap adalah reaksi atau respon yang masih
tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap adalah suatu bentuk
evaluasi, reaksi perasaan yang mendukung atau memihak maupun
28
perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada suatu objek. Menurut
Azwar dalam Hutabarat (2008) ketaatan minum obat diartikan sebagai
usaha untuk mengendalikan perilaku apakah mengikuti apa yang
dianjurkan oleh petugas untuk dilaksanakan untuk mencapai kesembuhan.
8) Kepercayaan
Kepercayaan adalah sikap untuk menerima suatu pernyataan atau
pendirian tanpa menunjukkan sikap pro dan anti. Menurut Sarwono et al
dalam Hutabarat (2008) kepercayaan dapat tumbuh jika orang berulang-
ulang kali mendapatkan informasi yang sama. Pengaruh kepercayaan
dalam kepatuhan minum obat adalah anggapan bahwa penyakit terjadi
akibat sihir.
b. Faktor Eksternal
1) Peran Petugas dan Kader Kesehatan
Perilaku petugas dan kader kesehatan yang ramah, pemeriksaan secara
teliti sebelum pemberian obat, dan penjelasan tentang obat yang diberikan
akan membuat seseorang merasa dihargai dan mendorong mereka untuk
teratur minum obat. Tidak adanya petugas dan kader kesehatan pada saat
pemberian atau pengambilan obat serta tidak adanya kegiatan penyuluhan
yang diberikan oleh petugas dan kader kesehatan mempengaruhi sikap
seseorang menjadi negatif (Hutabarat, 2008). Menurut J oenoes dalam
Hutabarat (2008) seorang petugas dan kader kesehatan yang tidak
komunikatif terhadap penderita akan menyebabkan penderita tidak
mematuhi atau menggunakan obat yang diberikan padanya.
2) Efek Samping Obat
Gejala efek samping obat terdiri dari demam, pusing, sakit kepala, mual,
muntah, penurunan nafsu makan, lesu, sakit otot, sakit sendi, gatal-gatal,
dan sesak nafas. Gejala efek samping terjadi selama tiga hari pertama
setelah pengobatan massal dan cenderung sembuh sendiri tanpa harus
diobati. Hal yang paling penting dalam pengobatan massal filariasis adalah
penjelasan dan pemahaman mengenai reaksi obat kepada penduduk agar
penduduk tidak merasa takut dan tidak menolak untuk diobati pada tahap
selanjutnya (Kementrian Kesehatan RI lampiran IV, 2005). Menurut
29
1. Usia
2. J enis kelamin
3. Pendidikan
4. Pekerjaan
5. Pengetahuan
Kepatuhan minum obat
anti filariasis
Faktor internal
- usia
- jenis kelamin
- pendidikan
- pekerjaan
- penghasilan
- pengetahuan
- sikap
- kepercayaan
Faktor eksternal
- peran petugas dan
kader kesehatan
- efek samping obat
Kepatuhan minum obat
anti filariasis
J oenoes dalam Hutabarat (2008) obat yang dapat memberikan efek
samping tertentu menimbulkan keragu-raguan untuk meminum obat
sehingga tidak teratur minum obat.
Menurut Santoso et. al, (2008) perilaku kepatuhan minum obat anti filariasis
dapat dinilai berdasarkan kondisi sosial ekonomi, pengetahuan, dan sikap
terhadap kegiatan pengobatan massal filariasis
II.2. Kerangka Teori










Bagan 1. Teori Kepatuhan Minum Obat Berdasarkan Domain Perilaku
II.3. Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut
Variabel Independen Variabel Dependen






Bagan 2. Kerangka Konsep Penelitian
II.4. Hipotesis
II.4.1. Apakah terdapat hubungan antara kelompok usia dengan kepatuhan
minum obat anti filariasis?
30
II.4.2. Apakah terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kepatuhan minum
obat anti filariasis?
II.4.3. Apakah terdapat hubungan antara pendidikan dengan kepatuhan minum
obat anti filariasis?
II.4.4. Apakah terdapat hubungan antara pekerjaan dengan kepatuhan minum
obat anti filariasis?
II.4.5. Apakah terdapat hubungan antara pengetahuan tentang filariasis dan
pengobatan massal filariasis dengan kepatuhan minum obat anti filariasis?

También podría gustarte

  • Utuh
    Utuh
    Documento1 página
    Utuh
    Hendryto Caesar Octaviano Lisman
    Aún no hay calificaciones
  • Porto Ipd-SepsisAKISelulitisUlkusPedis (Heydi M.lisman)
    Porto Ipd-SepsisAKISelulitisUlkusPedis (Heydi M.lisman)
    Documento56 páginas
    Porto Ipd-SepsisAKISelulitisUlkusPedis (Heydi M.lisman)
    Hendryto Caesar Octaviano Lisman
    Aún no hay calificaciones
  • Lirik Lagu Afgan
    Lirik Lagu Afgan
    Documento1 página
    Lirik Lagu Afgan
    Gunawan Sasmito
    Aún no hay calificaciones
  • Borang Nilai Portofolio GU
    Borang Nilai Portofolio GU
    Documento1 página
    Borang Nilai Portofolio GU
    Hendryto Caesar Octaviano Lisman
    Aún no hay calificaciones
  • Formulir Perdaftaran Buked
    Formulir Perdaftaran Buked
    Documento1 página
    Formulir Perdaftaran Buked
    Hendryto Caesar Octaviano Lisman
    Aún no hay calificaciones
  • SULFONILUREA
    SULFONILUREA
    Documento5 páginas
    SULFONILUREA
    AlkesNwhitening
    Aún no hay calificaciones
  • Form Pemesanan
    Form Pemesanan
    Documento3 páginas
    Form Pemesanan
    Hendryto Caesar Octaviano Lisman
    Aún no hay calificaciones
  • SEDIAAN HERBAL
    SEDIAAN HERBAL
    Documento147 páginas
    SEDIAAN HERBAL
    Chory Aprilianty
    50% (2)
  • Farmakoo
    Farmakoo
    Documento17 páginas
    Farmakoo
    Hendryto Caesar Octaviano Lisman
    Aún no hay calificaciones
  • Ada Cinta
    Ada Cinta
    Documento1 página
    Ada Cinta
    Nazila Nazwa
    Aún no hay calificaciones
  • Ocd PDF
    Ocd PDF
    Documento1 página
    Ocd PDF
    Hendryto Caesar Octaviano Lisman
    Aún no hay calificaciones
  • Anti Bio Tika
    Anti Bio Tika
    Documento23 páginas
    Anti Bio Tika
    Hendryto Caesar Octaviano Lisman
    Aún no hay calificaciones
  • Tgs Fasilitas
    Tgs Fasilitas
    Documento1 página
    Tgs Fasilitas
    Hendryto Caesar Octaviano Lisman
    Aún no hay calificaciones
  • Interaksi Obat Antikoagulan
    Interaksi Obat Antikoagulan
    Documento25 páginas
    Interaksi Obat Antikoagulan
    Ardian
    Aún no hay calificaciones
  • Pneumonia Aspirasi Mekonium Dan Membran Hialin Disease
    Pneumonia Aspirasi Mekonium Dan Membran Hialin Disease
    Documento13 páginas
    Pneumonia Aspirasi Mekonium Dan Membran Hialin Disease
    Hendryto Caesar Octaviano Lisman
    Aún no hay calificaciones
  • Ocd PDF
    Ocd PDF
    Documento1 página
    Ocd PDF
    Hendryto Caesar Octaviano Lisman
    Aún no hay calificaciones
  • Percobaan Fosfen Tekan
    Percobaan Fosfen Tekan
    Documento3 páginas
    Percobaan Fosfen Tekan
    Hendryto Caesar Octaviano Lisman
    Aún no hay calificaciones
  • 3etika Kesehatan Masyarakat Dan Permasalahannya
    3etika Kesehatan Masyarakat Dan Permasalahannya
    Documento22 páginas
    3etika Kesehatan Masyarakat Dan Permasalahannya
    Sofiati Clalu
    Aún no hay calificaciones
  • Standar Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
    Standar Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
    Documento6 páginas
    Standar Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
    Calypso Hellhammer
    Aún no hay calificaciones
  • SAP Menyusui
    SAP Menyusui
    Documento7 páginas
    SAP Menyusui
    Hendryto Caesar Octaviano Lisman
    Aún no hay calificaciones
  • Kolera
    Kolera
    Documento25 páginas
    Kolera
    Hendryto Caesar Octaviano Lisman
    Aún no hay calificaciones
  • Glaukoma
    Glaukoma
    Documento2 páginas
    Glaukoma
    Hendryto Caesar Octaviano Lisman
    Aún no hay calificaciones
  • Cvs Algoritma Henti Jantung
    Cvs Algoritma Henti Jantung
    Documento1 página
    Cvs Algoritma Henti Jantung
    Hendryto Caesar Octaviano Lisman
    Aún no hay calificaciones
  • Regulasi HCL Dan Enzim
    Regulasi HCL Dan Enzim
    Documento15 páginas
    Regulasi HCL Dan Enzim
    Hendryto Caesar Octaviano Lisman
    Aún no hay calificaciones
  • Pediatric Urology
    Pediatric Urology
    Documento27 páginas
    Pediatric Urology
    Adwin Alamsyaputra
    Aún no hay calificaciones
  • Percobaan Fosfen Tekan
    Percobaan Fosfen Tekan
    Documento3 páginas
    Percobaan Fosfen Tekan
    Hendryto Caesar Octaviano Lisman
    Aún no hay calificaciones