Está en la página 1de 18

Evaluasi Pembangunan Perumahan Rakyat Tahun 2012 dan Rekomendasi untuk Tahun 2013

1. Pendahuluan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28-H telah mengamanatkan bahwa perumahan dan permukiman adalah hak dasar manusia, dimana setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Prinsip hak dasar ini sudah pula diakomodasi di dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM maupun Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP). Oleh karena itu, untuk menjamin pemenuhan hak dasar tersebut, sudah menjadi kewajiban Pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk menghormati, melindungi dan sekaligus memenuhinya dengan segera. Selanjutnya, di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 (UU No. 17 Tahun 2007) ditetapkan bahwa sasaran pokok pembangunan perumahan dan permukiman adalah terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana pendukungnya bagi seluruh masyarakat yang didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang yang berkelanjutan, efisien dan akuntabel untuk mewujudkan kota-kot tanpa permukiman kumuh. Sudah sejak lama pula disadari bahwa perumahan dan permukiman adalah instrumen strategis untuk menggerakkan roda ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan membangun karakter bangsa. Namun perjalanan pembangunan perumahan rakyat dan permukiman di tanah air dalam sepuluh tahun terakhir ini semakin menunjukkan fakta bahwa kebutuhan perumahan dan permukiman semakin jauh dari terpenuhi bagi seluruh rakyat secara layak dan bermartabat. Mesti kita akui bahwa berbagai program pembangunan perumahan dan permukiman belum berhasil mewujudkan sistem penyediaan perumahan yang mampu mengejar jumlah kekurangan rumah dan laju luas permukiman kumuh yang semakin bertambah. Data Sensus Tahun 2010 oleh BPS menunjukkan angka kekurangan rumah sebesar 13,6 juta rumah (housing backlog). Ini berarti kekurangan rumah terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya (4,7 juta Tahun 2000 dan 8,2 juta Tahun 2007). Demikian pula dengan luas permukiman kumuh yang semakin meningkat dari 47.000 Ha tahun 2000 menjadi 54.000 Ha pada tahun 2004 dan menjadi 59.000 Ha pada tahun 2009 (BPS). Evaluasi pembangunan bidang PKP berdasarkan hasil Kongres Nasional Perumahan dan Permukiman (Kongnas PP) pada tahun 2009 telah menghasilkan deklarasi dari semua pemangku kepentingan di bidang PP/PKP untuk menjamin keadilan dan kesetaraan pembangunan PKP, memberdayakan masyarakat tidak mampu melalui peningkatan akses ke sumberdaya kunci PKP (tanah, infrastruktur dan pembiayaan), dan mengembangkan sistem kelembagaan dan tata kelola yang baik dalam pembangunan PKP. Namun, tekad para-pihak yang sejalan dengan amanat perundang-undangan di atas pada prakteknya belum menampakkan setitikpun harapan. Pembangunan bidang PKP belum berada di jalur yang benar dan belum menjalani kemajuan yang pesat. Di sinilah letak kompleksitas masalah perumahan yang perlu selalu diantisipasi melalui evaluasi kebijakan, penyusunan strategi dan

pengembangan sistem penyediaan yang mampu menghasilkan kapasitas terpasang untuk mendukung produksi perumahan rakyat yang signifikan dan mengena ke sasaran. Di dalam rilis tahunan UN-Habitat pada tahun 2003 disebutkan bahwa berlarut-larutnya permasalahan PKP di negara-negara berkembang lebih dikarenakan kebijakan dan strategi yang tidak efektif. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kebijakan, strategi, pendekatan dan langkahlangkah pembangunan perumahan masih kurang tepat namun tetap dijalankan oleh pemerintah selama ini. Menyikapi situasi dan kondisi PKP di tanah air seperti ini, The HUD Institute diharapkan mampu melakukan pengamatan dan pengkajian secara objektif dengan berbasis manajemen pengetahuan yang relevan untuk kemudian mampu memberikan kritik dan masukan yang konstruktif kepada para pihak pengambil kebijakan, pembuat peraturan, pembuat rencana dan pelaksana program pembangunan terkait, dengan tetap menjaga independensi dan objektifitas yang tinggi. Di samping itu, The HUD Institute memberi perhatian pula dalam upaya-upaya peningkatan kapasitas di semua kalangan di bidang PKP serta membangun jejaring pengetahuan, jejaring informasi dan jejaring kerja yang semakin bersinergi demi kemajuan pembangunan di bidang PKP di tanah air.

2. Kebijakan dan Program Umum Bidang Perumahan Rakyat Sejak Kemenpera dibentuk kembali pada tahun 2005 di masa KIB-I, disepakati untuk menjalankan misi: 1) Mengurangi backlog rumah, 2) Mengurangi luas kumuh, 3) Meningkatkan keterjangkauan (affordability) kalangan MBR, 4) Meningkatkan peran Pemda dalam bidang PKP, 5) Meningkatkan kemitraan Pemerintah-Swasta-Masyarakat, dan 6) Meningkatkan kapasitas fiskal pemda melalui pengelolaan aset. Namun semua misi ini belum menampakkan hasilnya karena sejak Kongnas 2009 hingga tahun 2012, permasalahan bidang PKP yang kompleks masih diselesaikan secara sangat sederhana melalui sistem peraturan yang saling tidak sinkron dan tumpang tindih, melalui proyek-proyek pengadaan barang dan jasa tahunan maupun melalui subsidi pembiayaan secara terus menerus. Padahal sudah diamanatkan untuk segera memulai dibangunnya sistem kelembagaan dan tata kelola yang berkapasitas tinggi yang menjamin berlangsungnya proses pemupukan sistem penyediaan (housing delivery system) dan proses pemberdayaan sehingga terjadi peningkatan akses secara nyata. Di dalam situasi absennya peran pemerintah dan ketiadaan sistem ini maka para pihak termasuk pemerintah daerah lebih banyak mengambil sikap pasif (pembiaran) sehingga terciptalah iklim yang kondusif bagi berkembangnya praktek makelar-proyek maupun makelarperijinan di seputar sumber-sumberdaya kunci PKP. Keadaan yang tidak bersistem seperti ini akhirnya hanya menciptakan ekonomi biaya tinggi, anggaran pembangunan yang tidak menghasilkan keluaran yang efektif setiap tahunnya dan masih menunjukkan adanya jurang yang dalam antara pemerintah dan berbagai komponen masyarakat termasuk pemerintah daerah, komunitas permukiman, para profesional, dan pihak pengusaha swasta.

Dengan mengacu pada target-target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 20102014 Bidang Perumahan Rakyat, beberapa program perlu mendapatkan evaluasi seperti dipaparkan di bawah ini.

3. Program Perumahan Formal 1. Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa). Program perumahan formal ditandai dengan program pembangunan menara-menara Rumah Susun Sederhana Sewa (rusunawa) secara masif dengan satuan Twin-Block (TB) berisi sekitar 100 unit yang dalam setahun terakhir dirubah desain dan satuannya. Pada 2010 terbang (un 49 TB dari target yang sama. Namun pada 2011 dari target 143 TB tidak ada yang terbangun. Kemudian pada 2012 dengan target 127 TB dan realisasi 126 TB. Dengan skema multi years ditargetkan pula pembangunan 91 TB yang masih belum direalisasikan. Pada tahun 2012 total target 218 TB dan dilaporkan realisasi 217 TB.

Tabel CAPAIAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN NASIONAL SESUAI RPJMN 2010-2014


RPJMN 20102014 2010
DIPA REALISASI

2011 DIPA (Unit) REALISASI (Unit) DIPA (Unit)

2012 REALISASI (Unit)

SATUAN

REALISASI s.d. 2012 TOTAL (Unit) %

(Unit)

(Unit)

Pembangunan rusunawa
TB 380 49 49 143 0 218 217 266 70,00

Meskipun tampaknya target 2010-2014 sebanyak 380 TB hampir tercapai, yaitu hingga 2012 tercapai sebanyak 266 TB (70%) namun pelaksanaan di lapangan menuai beragam masalah, karena pencapaian target hanya bertumpu pada penyebaran proyek-proyek konstruksi menara TB secara berserak-serak (scattered) di seluruh penjuru nusantara. Dalam kenyataannya kualitas rusunawa yang terbangun banyak yang tidak memenuhi persyaratan minimal. Rumahrumah susun sederhana (Rusuna) tidak dilengkapi prasarana utilitas air dan listrik, fasos dan fasum. Kondisi ini diperburuk dengan kesulitan pemerintah pusat dalam proses penyerahan aset ke pemerintah daerah maupun pengguna lainnya. Akhirnya rusuna tidak terawat, berubah menjadi kumuh karena tidak dihuni. Kondisi ini menjadi pemandangan nyata di kota-kota besar tanah air dan berubah menjadi monumen yang menunjukkan wajah keterbelakangan bangsa ini. Selain itu pembangunan Rusunawa dipandang mengalami kesulitan menyediakan tanah yang sesuai dengan peruntukannya. Pemerintah pusat selalu mendesak pemerintah daerah untuk

menyediakan tanah yang banyak untuk dibangun menara-menara rusunawa yang proyeknya dijalankan oleh pemerintah pusat. Pemda-pemda akhirnya kesulitan mendapatkan anggaran pengelolaan dari APBD karena bangunan rumah susun dibiayai APBN. Aset nasional juga tidak diperkenankan untuk diserahkan ke daerah secara masif. Akhirnya rumah susun tidak terkelola dengan baik. Pola kerjasama dengan mencampur aset daerah dan nasional tidak bisa dilakukan begitu saja. Setelah kurang mendapat dukungan dari pemerintah daerah, akhirnya pengucuran paket-paket rusunawa TB lebih mudah mendapatkan lahan-lahan milik pesantren, perguruan tinggi, TNI dan POLRI. Padahal seharusnya santri, mahasiswa dan prajurit bukanlah kelompok prioritas perumahan rakyat, karena sudah ada anggaran lain di bidang agama, pendidikan dan tentara/kepolisian yang lebih tepat. Akhirnya program rusunawa tidak memupuk sistem penyediaan perumahan umum dan semakin menjauhi sasaran keluarga-keluarga Masyarakat Berpendapatan Rendah (MBR) di perkotaan sehingga semakin jauh dari target pengurangan housing backlog. 2. Program Fasilitasi Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami). Program Rusunami juga mengalami masalah, yaitu adanya anggapan kurangnya dukungan pemerintah daerah dalam memberi Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) maupun penetapan harga maksimum. Masalah ini muncul sebenarnya akibat Pemerintah Daerah memandang pengadaan rusunami belum berada di domain publik dan masih dipandang sebagai perumahan komersial. Akibatnya, berbagai dukungan fasilitasi keringanan pajak dan dukungan prasarana lebih dipandang memperlicin bisnis properti daripada mencapai kelompok sasaran kelas menengah bawah. Akhirnya program rusunami juga menghadapi problem yang sama, yaitu salah sasaran. Akar masalah dari ragam masalah itu (rusunawa dan rusunami) adalah absennya sistem perumahan publik di tanah air, baik di tingkat nasional maupun di daerah. Pengadaan rumah susun sederhana sejak tahun 1980-an menurut sejarahnya diadakan oleh Perumnas sebagai perusahaan publik pembangunan perumahan. Namun karena moda perumahan umum tidak kunjung dikembangkan, dan keberadaan Perumnas tidak pernah berperan sebagai sentral dari moda perumahan umum, maka pembangunan rumah susun sederhana hingga kini tetap diadakan melalui proyek-proyek pengadaan konstruksi tahunan. Karena itu muncullah berbagai masalah seperti di atas. Untuk itu, pengadaan rumah susun sederhana perlu dikembalikan kepada tujuannya semula, yaitu berada di dalam rangka pengembangan moda perumahan umum dan penguatan lembaga operator baik di tingkat nasional maupun daerah. 3. Fasilitasi Perumahan Komersial. Dari berbagai program di bidang perumahan formal, bisa dinilai bahwa praktek-praktek perumahan komersial tidak dikelola secara terpadu dengan sistem penyediaan perumahan secara umum. Eksklusi penanganan perumahan komersial pada gilirannya berakibat pada beragam konflik di lapangan, yaitu antara pengusaha, pejabat daerah dan masyarakat. Sebagai contoh adalah konflik-konflik dalam pembebasan tanah, konflik pengelolaan antar kawasan, konflik antara penghuni dan pengembang dan pengelolaan, konflik dalam penjualan kepada konsumen, dan sebagainya. Berbagai konflik ini pada dasarnya adalah bentuk-bentuk pembiaran pemerintah dalam mengelola industri properti, bisnis properti dan penerapan hukum-hukum properti. Bagaimanapun, penyediaan perumahan rakyat tidak bisa dilepaskan dari penanganan urusan perumahan komersial dan bisnis properti secara utuh.

Untuk itu, ada banyak bentuk pengaturan yang perlu dikembangkan dalam fasilitasi perumahan komersial sebagai bagian dari industri properti di tanah air, yaitu seperti mengatur pola kepemilikan apartemen (strata title), integrasi penataan kawasan permukiman skala besar, pengaturan hunian berimbang, hingga kepemilikan apartemen oleh orang asing. Dalam hal pengaturan kepemilikan apartemen oleh orang asing, untuk mendapatkan peluang dan manfaatnya di satu sisi, dan di sisi lain untuk mencegah terjadinya liberalisasi sumberdaya perumahan, pemerintah perlu segera mempersiapkan perangkat regulasi dan kelembagaan khusus yang mengendalikan sistem penyediaan properti bagi warga negara asing (WNA) di Indonesia. Pemberian hak pakai (lease hold) properti dengan waktu jangka panjang bisa ditetapkan secara bervariasi selama 25, 35, 50 hingga 70 tahun berdasarkan kondisi-kondisi tertentu yang ditetapkan. Pengelolaan hak pakai ini memerlukan pengaturan sistem penyediaan terutama kapasitas lembaganya yang harus dikembangkan di tingkat daerah. Untuk mencegah terjadinya liberalisasi perlu ada lembaga yang diberi wewenang besar oleh pemerintah untuk mengelola pembangunan dan pengelolaan perumahan, dimana pengaturan alokasi ruang untuk perumahan orang asing dan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dikelola sekaligus secara terpadu di tingkat kota atau daerah. 4. Program Penataan Kali Ciliwung. Salah satu program perumahan formal di tahun 2012 adalah penataan permukiman dan penyediaan perumahan untuk warga di bantaran Kali Ciliwung, Jakarta. Program ini berisi pembangunan puluhan menara rumah susun dengan anggaran hingga 600 milyar rupiah. Ternyata proyek ini gagal dilaksanakan namun sudah terlanjur menghabiskan anggaran negara untuk perencanaannya. Sejumlah kegagalan adalah tidak diperolehnya persetujuan pemakaian tanah di kawasan Beerland. Semula dikabarkan disetujui seluas 40 hektar, lalu menciut menjadi 7 hektar, dan hingga kini tidak jelas persetujuannya. Kegagalan lain juga adalah ketidaksiapan pengorganisasian komunitas, baik komunitas warga Ciliwung maupun komunitas warga Beerland. Kegagalan berikutnya adalah dalam menyiapkan lokasi area baru sebagai destinasi permukiman kembali. Semula dijanjikan di Rawa Bokor, lalu ternyata setelah belum dilakukan penyiapan. Kemudian nama wilayah Citayam sudah muncul sebagai tempat yang dijanjikan, yang hingga kini kedua wilayah tersebut tidak jelas sebagai wilayah tujuan relokasi. Akhirnya, Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) mengusulkan membangun rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di atas Kali Ciliwung dengan konstruksi 15 meter di atas permukaan sungai. Dalam rencana, rusunawa itu akan memiliki 22 tower dan diprediksi dapat menampung 34.000 orang yang sekarang tinggal di bantaran Kali Ciliwung. Rencana membangun rumah susun di atas kali Ciliwung ini akhirnya tidak disetujui oleh Kementerian Pekerjaan Umum di dalam rapat koordinasi (Rakor) di Kemenko Kesra. Pembangunan rumah susun di atas kali Ciliwung dinilai bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.38 yang mengatakan tidak boleh ada bangunan selain jembatan yang berdiri diatas sungai. Pada gilirannya, kegagalan proyek rusunawa Ciliwung mengacaukan koordinasi program pembangunan yang ada dan lebih memprihatinkan lagi, telah mengganggu kondisi psikologis puluhan ribu penduduk warga Kali Ciliwung ataupun warga Beerland akibat terkatungkatungnya masa depan tempat tinggal mereka. Hal ini terjadi karena penanganan permukiman

kumuh yang dilakukan tanpa mekanisme dan sistem penyediaan yang tepat, terutama mekanisme pengadaan tanah dan mekanisme pendampingan masyarakat. Kasus kali Ciliwung menegaskan kembali bahwa proses penetapan kegiatan yang memanfaatkan dana APBN sering tidak mengikuti kaidah penyusunan kebijakan publik. Terlihat bahwa rencana penanganan kali Ciliwung tidak didasarkan oleh suatu kajian sosial, teknik, lingkungan bahkan tidak dilengkapi oleh dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), termasuk Resettlement Policy Framework (RPF) maupun Land Acquisition and Resettlement Action Plan (LARAP) yang menjadi pedoman dalam melakukan pemukiman kembali. Apalagi kemudian sangat minim keterlibatan pemangku kepentingan, yang setidaknya dapat dilakukan melalui diskusi publik agar suara masyarakat dapat terwadahi.

4. Program Pengembangan Kawasan Permukiman Program pengembangan kawasan permukiman ditandai oleh kinerja penyediaan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU). Terdapat 2 (dua) kegiatan utama, yaitu: 1) Fasilitasi pembangunan PSU kawasan perumahan dan permukiman dengan satuan unit rumah, dan 2) Fasilitasi dan Stimulasi Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh dengan satuan luasan hektar. Berdasarkan target RPJMN 2010-2014, ditargetkan penyediaan PSU untuk 700.000 unit rumah di seluruh tanah air. Pada tahun 2010 dari target 10.374 direalisasikan sebanyak 12.470. Pada tahun 2011, dari target PSU untuk 117.000 unit rumah sederhana, tercapai 97.973 unit. Sedangkan pada tahun 2012 dari target 126.367 unit, tercapai 87.604 unit. Sampai tahun 2012 telah terbangun PSU sebanyak 198.047 unit yang berarti 28,29 % dari target 700.000 unit. Terlepas dari mekanisme penyediaan yang masih perlu dikritisi, kinerja PSU hingga 2012 masih jauh dari target sehingga sangat membebani upaya pemenuhan 71,7% sisa target pada dua tahun tersisa.

Tabel CAPAIAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN NASIONAL SESUAI RPJMN 2010-2014


RPJMN 20102014 2010
DIPA REALISASI

2011 DIPA (Unit) REALISASI (Unit) DIPA (Unit)

2012 REALISASI (Unit)

SATUAN

REALISASI s.d. 2012 TOTAL (Unit) %

(Unit)

(Unit)

Fasilitasi pembangunan PSU kawasan perumahan dan permukiman


Unit 700.000 10.374 12.470 117.010 97.973 126.367 87.604 198.047 28,29

Fasilitasi dan Stimulasi Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh


Hektar 655 50 30 100 115 150 228 373 56,95

Sedangkan penyediaan PSU untuk menangani permukiman kumuh, berdasarkan target RPJMN 2010-2014, ditargetkan penyediaan PSU untuk 655 hektar kumuh di seluruh tanah air. Pada tahun 2010 dari target 50 ha direalisasikan sebanyak 30 ha. Pada tahun 2011, dari target 100 ha justru melebih dengan tercapainya realisasi 115 ha. Sedangkan pada tahun 2012 ada fenomena yang menarik karena terjadi lompatan target dan lompatan capaian sekaligus! Dari target 150 ha, tercapai 228 ha pada 2012. Sehingga total hingga 2012 tercapai angka 373 ha yang berarti 56,95 % dari target 655 ha. Namun dengan pencapaian yang hanya sekitar 125 hektar per tahun, sementara pada tahun 2025 telah dicanangkan Kota Tanpa Permukiman Kumuh, menjadi suatu pertanyaan bagi kita semua bagaimana skema pemerintah menyelesaikan luasan kawasan kumuh yang telah mencapai hampir 60 ribu hektar dan pertambahan luasannya mencapai 1.000 hektar per tahun? Meskipun dari target kuantitatif di atas tampak sudah cukup memenuhi, namun dalam implementasinya ditemukan berbagai fakta yang mengindikasikan tidak efektifnya pelaksanaan program PSU bagi pengurangan housing backlog maupun pengurangan kumuh. Sebagai contoh adalah tidak adanya keterpaduan dan sinergi perencanaan dan pelaksanaan di lapangan (lokasi pembangunan perumahan). Padahal alokasi program FLPP dan PSU keduanya sama-sama memiliki satuan unit rumah sederhana. Hal ini karena keduanya masih dijalankan melalui mekanisme proyek pengadaan barang tahunan dan subsidi oleh Kemenpera yang dijalankan oleh kedeputian masing-masing secara terpisah-pisah. Lebih mengkhawatirkan adalah rencana untuk tahun 2013 dimana dari target 121.000 FLPP hanya dibarengi dengan alokasi 25.000 PSU.

5. Program Pembiayaan Perumahan Program pembiayaan perumahan rakyat hanya bertumpu pada perguliran FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) yang juga masih jauh dari target pengucuran.

Tabel CAPAIAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN NASIONAL SESUAI RPJMN 2010-2014


RPJMN 20102014 2010
DIPA REALISASI

2011 DIPA (Unit) REALISASI (Unit) DIPA (Unit)

2012 REALISASI (Unit)

SATUAN

REALISASI s.d. 2012 TOTAL (Unit) %

(Unit)

(Unit)

Bantuan Subsidi Perumahan/FLPP


Unit 1.350.000 92.431 92.431 114.201 109.592 133.000 73.923 275.946 20,44

Dari target pengucuran untuk membiayai kredit sebanyak 1.350.000 unit RSH pada 2010-2014 baru terkucurkan sebanyak 275.946 unit hingga tahun 2012. Pengucuran FLPP tahun 2012 adalah yang terendah, yaitu hanya 73.923 unit, dibanding tahun 2010 (92.431 unit) dan 2011 (109.592 unit). Pencapaian yang rendah ini terutama disebabkan oleh inkonsistensi kebijakan Kemenpera yang beberapa kali telah melakukan kebijakan buka-tutup dan perubahanperubahan skema FLPP. Sebagai akibatnya, banyak pengembang perumahan sederhana dan calon pembeli yang menghadapi kesulitan di lapangan. Program-program pembiayaan perumahan lainnya masih belum dikembangkan sama sekali, yaitu untuk pembiayaan perumahan umum, pembiayaan perumahan swadaya dan pembiayaan perumahan sosial. Untuk mewadahinya dibutuhkan Undang-Undang Tabungan Perumahan (UU Taperum) yang sudah diamanatkan sejak Kongres Nasional tahun 1972 untuk memupuk dana perumahan, namun belum kunjung dirampungkan oleh Kemenpera. Taperum adalah salah satu solusi pembiayaan perumahan yang sifatnya jangka panjang dan murah yang kelak akan digabungkan dengan sumber pembiayaan FLPP. Penyaluran FLPP selama ini menuai banyak permasalahan administrasi keuangan dan pembiayaan dikarenakan masih bercampur dengan bisnis bank umum dan belum memiliki wadah dan sistem pengumpulan dana dan pembiayaan perumahan yang tepat. Besarnya dana FLPP bukan dikarenakan pemupukan dana yang sistematis, melainkan karena penyaluran yang tersendat namun subsidi APBN terus dikucurkan. Taperum nantinya perlu diberi kewenangan untuk mengkoordinasi tabungan dan dana jangka panjang dari berbagai sumber, mengeluarkan skema-skema pola tabungan perumahan, memberikan pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan rumah, sekaligus mengelola dana jangka panjang yang berasal dari lembaga lainnya. Selain mendukung pembiayaan perumahan milik bersubsidi, Taperum nantinya berpotensi untuk membiayai perumahan swadaya secara berkelompok. Taperum juga berfungsi untuk menertibkan pembelian rumah bersubsidi, dimana masyarakat pada saat mulai mencicil rumah diharapkan sudah menempati rumah tersebut. Program pembiayaan perumahan Kemenpera juga belum menyentuh skema pembiayaan perumahan umum, baik untuk pembiayaan pembangunan skala besar maupun untuk pembiayaan perumahan umum sewa. Pembiayaan perumahan umum bersifat pembiayaan lembaga / korporasi, bukan pembiayaan perorangan, yang memiliki konsep dan mekanisme tersendiri sebagai pembiayaan pembangunan (sovereign finance).

6. Program Perumahan Swadaya Program bedah rumah di bidang perumahan swadaya dilakukan secara sangat masif. Dari target untuk membiayai pembangunan baru swadaya 50.000 unit untuk tahun 2010-2014, telah

tersalurkan total 32.512 unit hingga 2012 (65%). Pada tahun 2010 tersalurkan sebanyak 2000 unit, pada tahun 2011 sebanyak 12.353 unit, dan pada tahun 2012 sebanyak 18.159 unit. Dari target untuk membiayai perbaikan perumahan swadaya sebanyak 50.000 unit untuk 5 (lima) tahun dari 2010-2014, ternyata pada tahun 2012 telah terjadi lonjakan pelaksanaan yang luar biasa yaitu mencapai total 285.738 unit (571% !). Pada tahun 2010 tersalurkan sebanyak 20.000 unit, pada tahun 2011 sebanyak 35.738 unit, dan pada tahun 2012 melonjak luar biasa sebanyak 230.000 unit. Sedangkan dari target untuk membiayai prasarana (PSU) perumahan swadaya sebanyak 50.000 unit untuk tahun 2010-2014, tiba-tiba telah mencapai total 48.988 unit hingga 2012 (98%). Pada tahun 2010 tersalurkan sebanyak 13.350 unit, pada tahun 2011 sebanyak 35.638 unit, namun pada tahun 2012 tidak ada realisasi sama sekali, yang kemungkinan dikarenakan sudah dianggap memenuhi target hampir 100%.

Tabel CAPAIAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN NASIONAL SESUAI RPJMN 2010-2014


RPJMN 20102014 2010
DIPA REALISASI

2011 DIPA (Unit) REALISASI (Unit) DIPA (Unit)

2012 REALISASI (Unit)

SATUAN

REALISASI s.d. 2012 TOTAL (Unit) %

(Unit)

(Unit)

Fasilitasi dan stimulasi pembangunan perumahan swadaya


Unit 50.000 2.000 2.000 15.000 12.353 20.000 18.159 32.512 65,02

Fasilitasi dan stimulasi peningkatan kualitas perumahan swadaya


Unit 50.000 10.000 20.000 37.500 35.738 230.000 230.000 285.738 571,48

Fasilitasi pembangunan PSU perumahan swadaya


Unit 50.000 10.000 13.350 37.500 35.638 48.988 97,98

Fasilitasi pra-sertifikasi dan pendampingan pasca-sertifikasi


Bidang 30.000 7.500 5.891 7.500 5.891 19,64

Dari kinerja yang cukup aneh di atas, ada beberapa catatan dari program bedah rumah di bidang perumahan swadaya ini. Pertama, ada kecenderungan pengukuran kinerja penyaluran yang bukan diukur setelah bantuan diterima masyarakat dan selesai dilaksanakan pekerjaan pembangunan atau perbaikan, melainkan diukur setelah dana tersalurkan ke rekening penerima manfaat. Bahkan tampaknya telah diukur hanya setelah dana tersalurkan ke rekening

pemerintah daerah karena selalu adanya keterlambatan penyaluran. Pengukuran kinerja penyaluran seperti ini sungguh tidak dapat dipertanggung-jawabkan! Kedua, pada dasarnya kegiatan bedah rumah merupakan stimulasi teknis perumahan swadaya individual dan bukan kegiatan belas kasihan (charity) yang lebih bersifat bantuan sosial (bansos). Secara teknis, skema stimulasi perumahan swadaya membutuhkan pendampingan dan pemberdayaan. Jika skema ini dijalankan secara konsekwen maka mustahil terjadi lonjakan pencapaian kinerja hingga lebih 500 % karena membutuhkan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat secara masif. Namun ternyata skema yang digunakan adalah skema bansos sehingga besaran program bisa mencapai angka-angka yang sangat fantastis! Untuk itu program perumahan swadaya ini sangat perlu mendapatkan inspeksi dan audit secara serius dari berbagai lembaga pengawas terkait. Secara konseptual, ada perbedaan yang mendasar dari perumahan swadaya dan bantuan sosial, yaitu basis data, mekanisme penjaringan, mekanisme penyaluran dan sistem kelembagaan keduanya yang berbeda karena tujuannya yang memang berbeda. Perumahan swadaya (individual) pada dasarnya merupakan program stimulan yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas hunian dari rumah-rumah yang tidak layak huni. Namun ketika bantuan stimulan untuk perumahan swadaya individual diberikan secara hibah, maka mekanisme ini sudah tergolong sebagai Perumahan Sosial melalui program Bantuan Sosial (Bansos), yang memerlukan suatu landasan justifikasi yang kuat dari si penerima manfaat dari sisi masalah sosial (bukan masalah rumah). Perumahan sosial yang dijalankan melalui mekanisme bansos sudah tergolong urusan di bidang sosial, dan bukan tergolong urusan teknis perumahan rakyat. Meskipun demikian ada beberapa skema perumahan sosial di bidang teknis perumahan rakyat yang tetap perlu dikembangkan seperti rumah sewa sangat murah (mirip night shelter di Inggris) maupun pondok boro, dan sebagainya, yang kesemuanya ini bukan tergolong skema bansos dalam arti jaring pengaman sosial. Lebih jauh, pasal 21 Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP no. 1 Tahun 2012) menyebutkan bahwa rumah swadaya diselenggarakan atas prakarsa dan upaya masyarakat, baik secara sendiri maupun berkelompok. Secara prinsip, perumahan swadaya adalah salah satu instrumen penting dalam pemberdayaan masyarakat. Jika pendekatan individual (individual self-help housing) lebih diarahkan pada perbaikan rumah-rumah yang tidak layak huni, maka pendekatan berkelompok (community based self-help housing) pada dasarnya lebih diarahkan pada upaya-upaya penyediaan perumahan baru yang menggunakan pendekatan bertumpu pada kelompok. Permasalahannya, program-program perumahan swadaya sama sekali belum menyentuh Perumahan Swadaya Berbasis Kelompok yang lebih menyasar keberdayaan kelompok atau komunitas. Pendekatan ini mendudukkan masyarakat sebagai subyek pembangunan di bidang perumahan bukan sebagai obyek atau sekedar konsumen. Untuk memenuhi kebutuhan perumahan sesuai dengan kemampuan dan upaya masyarakat, pendekatan berbasis kelompok sudah terbukti memberikan berbagai keuntungan sosial, ekonomi dan lingkungan yang lebih kepada masyarakat dan sekitarnya.

Perumahan Swadaya Berbasis Kelompok mensyaratkan adanya basis data berbasis wilayah yang akurat mengenai kelompok-kelompok masyarakat yang paling mengalami masalah dalam hal perumahan dan permukimannya, seperti permukiman kumuh maupun squatter di kota-kota metropolitan. Maupun kelompok-kelompok masyarakat yang berpotensi dikembangkan melalui pengadaan perumahannya secara berkelompok seperti komunitas-komunitas berbasis tempat kerja (work-based housing), yaitu mereka dari kalangan pegawai menengah-bawah, pekerja kelas bawah perkotaan, maupun para pekerja pabrik. Perumahan Swadaya Berbasis Kelompok menciptakan iklim pembangunan yang kondusif melalui fasilitasi perolehan tanah, perijinan dan penyediaan biaya dan prasarana.

7. Kesimpulan Dari uraian-uraian di atas kami menyimpulkan sebagai berikut: 1. Selain masalah akses ke sumberdaya tanah, infrastruktur dan pembiayaan, masalah yang sebenarnya lebih mendasar lagi adalah bagaimana mengatasi kendala kapasitas pemahaman (cognitive constraint) yang berbeda-beda di kalangan pengambil kebijakan. Perbedaan pandangan dalam soal pencapaian kinerja tidak akan habis-habisnya jika tidak tidak ada pengenalan masalah secara komprehensif. Angka housing backlog yang selalu meningkat perlu dipahami sebagai akibat proses urbanisasi yang cepat setidaknya di 10 kota metropolitan di Indonesia. Namun dengan pemahaman bersama yang baik housing backlog bukan mustahil diatasi melalui kebijakan dan strategi yang tepat. Krisis perumahan dan permukiman ditunjukkan oleh lemahnya keberdayaan masyarakat, rendahnya kapasitas pemerintah dan kebingungan pelaku swasta dalam berinvestasi. Ini adalah indikasi ketiadaan sistem yang utuh sehingga diperlukan sebuah Reformasi Tata Kelola Kepemerintahan dan Kepemimpinan Yang Baik (Good Governance and Leadership) dalam bidang Housing and Urban Development.

2.

3. Peran pemerintah sebagai regulator di dalam koordinasi kebijakan maupun sebagai operator di dalam sinkronisasi pelaksanaan kebijakan PKP belum kunjung berjalan secara efektif. Kontinuitas suplai perumahan formal berbanding pengadaan swadaya masyarakat sebesar 15% : 85% bukan semata menunjukkan pentingnya intervensi pada moda perumahan swadaya. Keadaan ini sebenarnya adalah indikasi dari belum terbangunnya multi-sistem penyediaan perumahan (housing delivery system) secara terpadu. Berbagai kegagalan kebijakan dan strategi pemenuhan perumahan adalah indikasi dari belum adanya multi-sistem penyediaan perumahan yang mampu menggenjot angka produksi rumah asecara signifikan dan efektif mencapai kelompok sasaran. 4. Untuk menyediakan perumahan umum secara masif dalam rangka pengurangan backlog, diperlukan penguatan lembaga pelaksana, baik di tingkat nasional maupun daerah yang diberi fungsi dan peran mulai dari pengadaan lahan, perencanaan, hingga pengelolaan aset publik. Baik

fungsi dan peran yang lengkap di tingkat nasional maupun daerah. Lembaga pelaksana perumahan umum di pusat maupun daerah masing-masing memiliki misi yang sama, yaitu merumahkan rakyat dan mengembangkan kawasan permukiman dan perkotaan untuk menjadi aset publik yang berkualitas. 5. Meskipun pemerintah melalui UU.32/2004 dan PP 38/2007 telah mendesentralisasikan urusan perumahan, namun urusan perumahan rakyat masih jauh dari selesai karena belum adanya kebijakan dan strategi yang efektif. Sistem penyediaan yang terbangun lengkap dengan mekanisme-mekanisme dan kapasitas organisasi dan sumberdaya manusia, masih jauh dari tersedia di daerah.. 8. Rekomendasi Sebagai rekomendasi dari HUD Institute, ada beberapa usulan langkah-langkah yang perlu segera dilakukan pemerintah, yaitu sebagai berikut.

1. Reformasi Tata Kelola dan Pembagian Peran Krisis perumahan dan permukiman yang ditunjukkan oleh lemahnya keberdayaan masyarakat, rendahnya kapasitas pemerintah dan kebingungan pelaku swasta dalam berinvestasi, adalah indikasi ketiadaan sistem penyediaan perumahan yang utuh. Untuk itu, tidak bisa tidak, diperlukan sebuah Reformasi Tata Kelola Kepemerintahan dan Kepemimpinan Yang Baik (Good Governance and Leadership), menuju sebuah tatanan yang bisa disebut sebagai Government Driven Housing and Urban Development atau Public Sector Led Housing and Urban Development. Untuk memulainnya, pertama-tama diperlukan REFORMASI PERAN, dimana Pemerintah kembali didudukkan sebagai promotor pembangunan. Peran pihak Swasta yang selama ini dibiarkan bertarung satu sama lain secara tidak sehat mestilah ditata kembali menuju tatanan perannya menjadi investor yang efektif dan sebagai generator pengembangan kawasan. Sedangkan peran masyarakat yang selama ini dibiarkan tetap tak berdaya, mestilah terus diberdayakan secara terorganisir dan ditempatkan sebagai aktor penting pembangunan. Konsekwensi selanjutnya adalah dibutuhkannya peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM dari unit-unit pemerintah untuk secara profesional mengelola pelayanan publik di bidang perumahan dan permukiman, untuk memimpin dan memberdayakan para pelaku lain. 2. Mengembangkan Multi-Sistem Penyediaan Perumahan Perlunya kehadiran multi-sistem penyediaan perumahan sudah diprediksi oleh Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta pada Kongres Perumahan Rakyat di bulan Agustus 1950, yaitu bahwa cita-cita penyediaan perumahan rakyat barulah dapat dicapai dalam kurun waktu setengah abad. Pesan Bung Hatta ini bukan bermakna asal terbangun konstruksi beratus-ratus ribu rumah

semata, melainkan bermakna bahwa itulah kurun waktu yang diperlukan untuk membangun sistem penyediaan yang mantap dan responsif. Kunci bagi kebijakan dan strategi yang efektif ini adalah keberadaan modal kelembagaan (institutional capital) yang jauh lebih penting ketimbang modal biaya (financial capital). Tujuannya agar utilisasi sumber-sumberdaya kunci PKP (tanah, infrastruktur dan pembiayaan) dapat dikelola secara efisien dan efektif, baik untuk kebutuhan umum, sosial, komersial maupun swadaya. Adanya multi-sistem penyediaan ini menjadi pembeda dengan praktek masa lalu yang tidak memiliki sistem yang bersifat long-term and dedicated system. Praktek konvensional yang hanya terdiri dari proyek-proyek konstruksi menara rumah susun maupun proyek-proyek peremajaan kumuh di satu sisi, dan proyek-proyek pembangunan perumahan komersial berbiaya tinggi di sisi lain, tidak akan mampu menjawab tantangan pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat maupun penataan kota secara berkeadilan dan berkelanjutan. UU No.1 Tahun 2011 sebenarnya sudah menggariskan bahwa perumahan rakyat tidak hanya bertumpu pada subsidi karitatif dari APBN maupun praktek rumah komersial semata. Pasal 21 UU PKP 1/2011 mengamanatkan untuk memberi perhatian sekaligus pada rumah umum, rumah swadaya, rumah komersial, rumah khusus/sosial dan rumah negara. Penafsirannya bukanlah menciptakan proyek-proyek konstruksi rumah-rumah dengan aneka nama tersebut. Landasan undang-undang inilah yang perlu segera direspon dengan mengembangkan multi-sistem penyediaan perumahan yang terpadu, yang meliputi sistem penyediaan perumahan umum, sistem penyediaan perumahan sosial/khusus, sistem penyediaan perumahan komersial dan sistem penyediaan perumahan swadaya. Sedangkan pengelolaan rumah negara sudah ditangani secara khusus bersama gedung-gedung negara lainnya di bawah bidang pekerjaan umum. Untuk itu dibutuhkan suatu grand design atau cetak biru pembangunan PKP di Indonesia yang disepakati semua pemangku kepentingan sehingga menjadi acuan yang tidak berubah-ubah, yang diiringi pembenahan regulasi dalam jangka dekat perlu segera disiapkan. 3. Pengembangan Sistem Perumahan Umum Di dalam sistem penyediaan perumahan umum beberapa langkah perlu menjadi perhatian. Pertama-tama, diperlukan lembaga otoritas perumahan umum di pusat maupun daerah dengan kinerja tidak seperti organisasi proyek yang asal proses konstruksi rumah susun telah selesai maka langsung dihitung sebagai kinerja. Kerjasama dapat dilakukan melalui penataan zonasi di lapangan tanpa perlu mencampur aduk aset nasional dan daerah. Semakin berjaya otoritas perumahan umum, baik di tingkat nasional dan daerah, akan mewujud menjadi aset nasional dan daerah yang menjamin keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman dan perkotaan. Dengan penguatan kelembagaan, maka sistem perumahan umum akan meredam praktek spekulasi tanah dan properti, dan melimpahkan hasil apresiasi nilai kawasan menjadi aset publik untuk kepentingan publik, disamping secara efektif mengembangkan investasi properti swasta. Sedangkan bisnis properti dapat dijalankan secara berdampingan dan saling mengisi di dalam suatu kawasan pengembangan yang terencana dan terkendali dengan baik. Kedua, di dalam mekanisme perumahan umum, Perumnas atau badan yang ditunjuk harus diberi tugas untuk memenuhi kebutuhan perumahan seluruh rakyat, mengurangi housing backlog dan pengembangan kawasan permukiman dan perkotaan . Perumnas (ataupun badan lain) harus diberi peran sebagai operator yang memiliki otorita berdedikasi (dedicated authority). Berbagai sumberdaya kunci masih dikelola secara terpisah-pisah baik di tingkat

nasional maupun daerah. Untuk itu diperlukan pemahaman yang utuh untuk membangun suatu sistem penyediaan PKP yang menempatkan Perumnas maupun pelaku swasta dan masyarakat secara sinergis. Ketiga, di dalam mekanisme perumahan umum, pembangunan rusuna/rusunawa tidak akan menghadapi beragam masalah karena tidak dilaksanakan melalui sistem proyek-proyek konstruksi tahunan. Rumah-rumah susun sederhana yang disediakan di dalam moda perumahan publik dikembangkan dengan pendekatan value engineering sehingga akan mampu mengakumulasi aset kawasan, tanah dan bangunan yang mengalami apresiasi, dan menjamin keberlanjutan pembiayaan tanpa membebani fiskal negara setiap tahun . Sedangkan dalam penyediaan tanah, pembangunan rusuna/wa dibangun pada kawasan skala besar yang berasal dari tanah-tanah terlantar maupun alih fungsi dari tanah-tanah milik negara. Dalam hal perijinan siteplan maupun IMB tidak akan bermasalah karena menjadi program resmi, baik oleh pemerintah pusat di lahan milik instansi pusat, maupun oleh pemerintah daerah di lahan milik daerah, yang sekaligus menghindari masalah transfer aset APBN menjadi aset daerah. Selanjutnya, salah satu divisi penting dari moda perumahan umum adalah divisi perencanaan penghuni (tenant screening division/team) yang memiliki instrumen seleksi yang mantap, sehingga pembangunan rusuna/wa tidak akan menghadapi kesalahan sasarannya karena sudah direncanakan sejak awal. Terakhir, pembangunan rusuna/wa di dalam moda perumahan umum harus membentuk manajemen yang kapabel, baik dalam membina penghuni untuk tinggal di rumah bersusun maupun menjamin tidak menurunnya kualitas aset karena bertumpu pada building and estate management yang profesional. 4. Memperkuat Sistem Kelembagaan Sistem kelembagaan yang mantap menjadi tulang punggung multi-sistem penyediaan perumahan, yang dibangun melalui sebuah proses yang panjang sebagaimana dilakukan di negara-negara yang sudah maju urusan perumahan rakyatnya. Beberapa kelembagaan yang perlu segera disiapkan peran dan kapasitasnya adalah sebagai berikut: 1. Badan Pelaksana Rumah Susun (berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun) adalah sebuah Badan yang berwenang dan bertanggung-jawab dalam penyediaan rumah-rumah susun berdasarkan mekanisme perumahan umum, baik dukungan subsidi pengadaan aset publik secara terintegrasi maupun dukungan biaya pengelolaannya, dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembelanjaan modal negara sebagai aset publik. 2. Perumnas dan Perumda. Untuk mengatasi kesenjangan kekurangan tempat tinggal (backlog) 13,6 juta unit, pemerintah perlu mengoptimalkan peran Perumnas, karena berdasarkan UU No 1/2011 tentang PKP pemerintah mengemban tugas untuk membangun rumah umum. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi stratejik terhadap skema pembiayaan yang dijalankan selama ini, seperti PSO untuk subsidi harga rumah maupun PMN, dalam rangka pengembangan sistem penyediaan perumahan umum yang baik. Dengan demikian diharapkan Perumnas bisa mengatasi berbagai kendala seperti pembiayaan, perijinan biaya tinggi, keterpaduan prasarana dan kelengkapan fasilitas. Melalui pendekatan government driven housing and urban development di dalam sistem ini, melalui Perumnas dan Perumda yang direvitalisasi menjadi Housing and Urban Development Corporation (HUDC), pemerintah harus mampu mengembangkan permukiman berskala besar, sehingga berbagai kalangan swasta maupun

masyarakat semakin memiliki harapan dan kepastian untuk berpartisipasi secara sinergis di dalam pembangunan perumahan dan perkotaan. 3. Baledaya Perumahan dan Perkotaan (Housing and Urban Resource Center) berwenang dan bertanggung-jawab dalam penyediaan perumahan swadaya dalam perannya sebagai simpul dari sistem penyediaan perumahan swadaya. Baledaya Perumahan dan Perkotaan memfasilitasi dialog perumahan dan perkotaan melalui kegiatan forum yang dinamai Forum Perumahan dan Perkotaan. 4. Lembaga Dana Perumahan Rakyat yang beroperasional langsung untuk menghimpun danadana dari masyarakat. Pasal 118 UUPKP 1/2011 menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah mendorong pemberdayaan sistem pembiayaan perumahan rakyat untuk memastikan ketersediaan dana dan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan rumah, perumahan, permukiman, serta lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan. 5. Membangun Sistem Melalui Pemanfaatan Peluang Desentralisasi Pemerintah nasional belum memiliki kebijakan dan strategi yang efektif dalam mendesentralisasikan urusan perumahan. Mekanisme penyediaan yang seperti apa, sistem kelembagaan yang bagaimana, dan sebagainya, masih belum jelas untuk bisa dijadikan model bagi pemerintah daerah. Melalui UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 38/2007 memang telah mendesentralisasikan urusan perumahan. Namun bagaimana proses itu mesti dijalani? Yang jelas, salah satu pertimbangan penting mengenai desentralisasi dalam urusan perumahan ialah adanya keragaman budaya dan lokalitas terkait perumahan, selain tentunya semua sumberdaya perumahan (tanah, infrastruktur dan pembiayaan serta warga penghuni) semuanya ada di daerah. Membina Sistem Perencanaan PKP di Daerah. Salah satu peran pokok yang diemban pemerintah nasional adalah membina pemerintah daerah dalam bidang PKP. Kelemahan pemerintah daerah dalam bidang PKP ditandai oleh ketiadaan sistem Rencana Pembangunan Perumahan dan Permukiman, baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang, meliputi: Sistem Penilaian Kondisi Perumahan (housing need assessment system), Sistem standar kelayakan dan perhitungan keterjangkauan warga masyarakat, Sistem penilaian pasar properti perumahan, Sistem pengembangan kelembagaan dan kapasitas, Sistem pengembangan kerangka peraturan dan pembiayaan. Upaya untuk membina pemerintah daerah telah dilakukan oleh Kemenpera melalui kegiatan Dekonsentrasi Lingkup Kemenpera sejak tahun 2010 sampai tahun 2011, namun kemudian dihentikan pada tahun 2012. Seyogyanya kegiatan ini dapat terus dikembangkan sebagai salah satu ujung tombak meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam penanganan perumahan rakyat. 6. Integrasi Pembangunan Perumahan dan Perkotaan (HUD, Housing and Urban Development) Penyediaan perumahan dan penanganan permukiman kumuh perkotaan di tanah air selama ini masih menggunakan pendekatan proyek konstruksi dan penanganan titik-titik kumuh. Pendekatan lama ini sudah menunjukkan hasil yang kurang efektif. Sementara di tingkat kota, pola pemanfaatan dan pengendalian ruang-ruang kota masih lemah, pengelolaan

pembangunan infrastruktur kota belum terpadu, dan masih belum terbukanya akses terhadap pemanfaatan tanah untuk perumahan rakyat, sistem pembiayaan yang masih terlalu berorientasi pada bisnis bank umum, dan masih belum utuhnya cara pandang terhadap proses urbanisasi, menjadi kendala berat dalam penyediaan perumahan dan penanganan permukiman kumuh. Kota-kota yang relatif berhasil menyediakan perumahan bagi seluruh lapisan warganya dan berhasil menghilangkan permukiman kumuh adalah bukti pengelolaan urbanisasi dan pembangunan kota yang berkelanjutan, dan hal ini adalah tujuan yang sangat realistis. Kotakota di negara-negara maju kini sudah mencapai tahapan keseimbangan urbanisasi (urbanization equilibrium). Menghadapi masalah penyediaan perumahan dan permukiman kumuh perkotaan tersebut, tidak dapat lagi mengandalkan pendekatan yang sektoral. Efektifitas penanganan terpadu skala kota mensyaratkan adanya kebijakan, strategi dan pendekatan yang mengena, dan adanya keterpaduan penanganan program-program aksi di tingkat kota. Inilah yang disebut dengan pendekatan pada skala kota atau City-wide Approach. Pengembangan multi-sistem penyediaan perumahan (multi-housing delivery system) perlu dilakukan secara responsif terhadap pendekatan skala kota. Pendekatan skala kota adalah inti dari integrasi pembangunan perumahan dan penanganan kumuh dengan pengelolaan kota, serta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan kota secara keseluruhan(HUD). Untuk menghadapi tantangan proses urbanisasi yang berat tersebut, sebagai rekomendasi HUD Institute mengusulkan agar sektor perumahan rakyat dipadukan dengan bidang permukiman (cipta karya) dan penataan ruang untuk bersamasama membentuk Kementerian Perumahan dan Perkotaan yang memiliki tugas untuk mengatasi kebutuhan perumahan seluruh rakyat dan menjamin terwujudnya kota-kota yang berkelanjutan secara sosial, ekonomi dan lingkungan. 7. Pembelajaran Strategis Selanjutnya, Indonesia perlu segera belajar dan mengadopsi secara stratejik moda perumahan umum di Jepang, Korea Selatan, Hongkong atau Singapura yang sudah dibangun sejak tahun 1960-an dan berakumulasi pada sistem penyediaan yang mantap. Sebagai lembaga simpul, penyelenggaraannya dipimpin oleh badan otoritas bernama Urban Renaissance (UR) di Jepang, Korean Land and Housing Corporation (KLHC) di Korea Selatan, Perbadanan Kemajuan Negeri Selangor (PKNS) di Malaysia, maupun Housing Development Board (HDB) dan Urban Redevelopment Authority (URA) di Singapura. Selanjutnya, badan otorita seperti ini menata kawasan-kawasan kota dan membangun kawasan-kawasan baru sembari mengembangkan kapasitas bersama-sama dengan pemerintah daerah, kota maupun distrik. Sebagai kesimpulan akhir, melalui kerja keras dan upaya yang sungguh-sungguh untuk memenuhi kebutuhan perumahan rakyat yang terus semakin meningkat, dan untuk menjalankan langkah-langkah aksi yang diperlukan, niscaya target untuk mencapai rumah layak untuk setiap orang serta menjadikan kota-kota yang berkelanjutan bebas kumuh bukanlah sesuatu yang mustahil dapat diwujudkan. Faktor politik di tingkat elit, faktor pengelolaan pengetahuan kelas menengah perkotaan maupun kesadaran di tingkat rakyat kecil, akan menentukan sukses atau gagalnya program perumahan rakyat dan pengembangan permukiman. Memperhatikan perkembangan yang memprihatinkan ini, kiranya Bapak Presiden

dan Bapak Wakil Presiden perlu mengambil langkah-langkah perbaikan. Momentum Pilpres 2014 perlu menjadikan isu-isu perumahan rakyat dan permukiman sebagai salah satu agenda kampanye Presiden. Presiden atau Wakil Presiden yang memiliki pemahaman dan keinginan politik yang kuat juga menjadi prasyarat awalnya, yang dibarengi kemauan pemerintahpemerintah daerah yang semakin meningkatkan peran dan kapasitasnya di bidang perkim. Tanpa dilandasi pemahaman dan tujuan membangun sistem, maka target merumahkan seluruh rakyat secara layak dan hilangnya permukiman kumuh semakin jauh dari harapan bangsa ini. ***

Diposkan oleh People's Housing di 00.47 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook 1 komentar: 1. Deni Albar1 Oktober 2013 23.29 bermanfaat bangt...ijin copy ya pak? Balas Muat yang lain... Posting Lama Beranda Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Pengikut Arsip Blog

2013 (1) o Januari (1) Evaluasi Pembangunan Perumahan Rakyat Tahun 2012 d... 2011 (35) 2010 (3)

Mengenai Saya

People's Housing Ir. Mohammad Jehansyah Siregar, MT., Ph.D: 1.Staf KK Perumahan dan Permukiman SAPPK-ITB, 2. Anggota Tim Visi Indonesia 2033, 3. Anggota Koalisi Peduli Perumahan dan Permukiman untuk Rakyat (KP3R). MISI: MERUMAHKAN SELURUH RAKYAT INDONESIA SECARA LAYAK DAN BERMARTABAT. Merumahkan seluruh rakyat secara layak dan bermartabat bukanlah dengan membangun rumah-rumah semata, namun memerlukan langkah-langkah yang sistematis dalam mengembangkan kapasitas dan kepranataan dari Multi-Moda Sistem Penyediaan Perumahan (Multi-Modes of Housing Delivery System) Lihat profil lengkapku

También podría gustarte