Está en la página 1de 21

DAMPAK OTONOMI DAERAH BAGI PERKEMBANGAN INDUSTRI PARIWISATA DKI JAKARTA

WITJAKSONO MUWARDI Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta

Pelaksanaan Otonomi Daerah, di satu sisi merupakan suatu peluang yang sangat besar bagi pengembangan Pariwisata Daerah, namun di sisi lain, otonomi daerah juga merupakan tantangan yang harus dihadapi, terutama bagi daerah-daerah yang tidak memiliki sumber daya yang memadai bagi pembangaunan. Sumber daya, baik itu sumber daya manusia maupun sumber daya alam dan sumber-sumber perutumbuhan ekonomi lainnya, merupakan faktor terpenting di dalam pembangunan daerah. Pola pembangunan pariwisata daerah Kasus DKI Jakarta dapat dijadikan sebagai bahan teladan untuk mengembangan pariwisata di daerah lain. strategis dan merupakan alternatif rasional yang banyak dilakukan oleh negara-negara di seluruh dunia. Bagi Indonesia kegiatan sektor ini telah menunjukan peran yang cukup berarti, terutama sebagai penggerak kegiatan perekonomian melalui kontribusinya terhadap pendapatan devisa negara, PAD, peningkatan investasi, kesempatan berusaha, dan penyerapan tenaga kerja.

PENDAHULUAN Pariwisata diproyeksikan akan menjadi fenomena baru dalam mendukung perekonomian global di abad 21 mendatang. Kegiatan ini tetah menjadi mazhab baru dunia, karena mengalami tingkat pertumbuhan paling pesat dalam dekade ini. Oleh karenanya pengembangan pariwisata menjadi kebijakan

Ir. Witjaksono Muwardi, Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta.

9-25

10

J. Ilm. Pariwisata Vol. 4, No. 3, Mei 2000

Pariwisata sebagai suatu global socio-economic system akan menjadi lahan kompetisi masa depan yang semakin berat. Tantangan riil yang dipastikan akan dihadapi adalah pada saat diberlakukannya GATS/WTO bidang Pariwisata pada tahun 2010 mendatang. Kondisi ini perlu dicermati dan diantisipasi oleh seluruh pelaku pariwisata, guna menghadapi kompetisi tersebut dengan menciptakan kualitas dan daya saing produknya di level dunia. Kondisi tersebut tentu semakin kompleks tantangannya, mengingat pariwisata merupakan kegiatan multi dimensional yang mencakup kegiatan substansi sektor lain yang terkait, seperti: transportasi, perdagangan, telekomunikasi, investasi, jasa keuangan, dengan dukungan infrastuktur yang memadai. Kompleksitas tantangan yang dihadapi menjadi semakin berat, akibat kondisi krisis ekonomi politik yang menerpa bangsa Indonesia. Implikasi krisis berdampak pada gangguan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat, yang mengakibatkan terpuruknya citra bangsa Indonesia dan termasuk didalamnya citra kota Jakarta. Menghadapi problema tersebut, maka langkah-langkah
ISSN 1411-1527

kongkrit dan bersifat strategis untuk segera memulihkan citra positif lbukota adalah dengan cara menggali dan menata kembali potensi dan kekayaan yang memang sudah dimiliki oleh kota Jakarta. Dihadapkan dengan berbagai keterbatasan, maka potensi yang layak dan paling siap untuk dikembangkan adalah pengembangan potensi kepariwisataan, dimana sektor ini diharapkan mampu menjadi solusi pemberdayaan kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat dan kota Jakarta. Munculnya kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) terhadap kemandirian suatu daerah, merupakan isu sentral terhadap tuntutan otonomi daerah selama ini. Kondisi empirik otonomi daerah pada kenyataannya masih tertinggal dan menimbulkan akibat yang mungkin tidak pernah diduga sebelumnya, sebagaimana yang terjadi di beberapa daerah seperti Aceh dan Timor-Timur. Dominasi Pemerintah Pusat yang mengabaikan "kepentingan" daerah tersebut, merupakan bukti tentang kebijakan pengelolaan daerah yang belum proporsional dan kurang disesuaikan dengan aspirasi daerah masing-masing.

Ir. Witjaksono Muwardi: 9-25

J. Ilm. Pariwisata Vol. 4, No. 3, Mei 2000

11

Kondisi tersebut merupakan dampak produk (lama) pembentukan daerah otonomi versi UU Nomor 5 Tahun l974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Kebijakan penyelenggaraan pemerintah daerah tersebut, didasarkan pada pemberian kewenangan pangkal dan selanjutnya dilakukan penyerahan urusan oleh Pusat yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Namun demikian pada kenyataannya, Daerah tidak pernah menerima berbagai urusan tersebut, terutama yang dianggap "strategis", dan khususnya yang justru terkait dengan berbagai sumber daya dan kekayaan daerah itu sendiri. Situasi ini terbukti mengakibatkan kesenjangan antar daerah dan antara pusat dengan daerah yang cukup mencolok. Implementasi kebijakan Pemerintah pusat cenderung bias, karena otonomi yang diberikan bersifat lebih sebagai kewajiban daripada hak. Kondisi masa lampau tersebut, diharapkan memberikan pengalaman yang sangat berharga bagi para penyelenggara negara untuk lebih legowo dan berorientasi kepada kepentingan riil daerah. Kebutuhan dan keinginan
Ir. Witjaksono Muwardi: 9-25

otonomi daerah melupakan harapan realistis yang patut dipenuhi, dan sebenarnya tidak perlu dilalui dengan kasuskasus kerusuhan sebagaimana yang terjadi di berbagai daerah. Kesemuanya itu, jelas sangat merugikan dan bahkan dapat mengarah kepada krisis identitas kebangsaan Negara Kesatuan RI. Kita perlu bersyukur bahwa Pemerintah Kabinet Reformasi Pembangunan, telah mengambil langkah-langkah "koreksi" atas kebijakan otonomi masa lalu, yaitu melalui kebijakan baru tentang Pemerintahan Daerah. UU ini sangat diharapkan mampu memberikan "angin sejuk" bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Dasar Pemikiran tentang prinsipprinsip dan pedoman pemberian otonomi daerah dalam UU baru tersebut, tercermin sebagaimana dalam bagian Penjelasan, butir i, yang antara lain sebagai berikut: Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi

ISSN 1411-1527

12

J. Ilm. Pariwisata Vol. 4, No. 3, Mei 2000

luas, nyata, bertanggungjawab.

dan

Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar daerah.

Pemahaman teoritikal tentang arti pentingnya otonomi bagi daerah dan sekaligus prinsip-prinsipnya sudah lama diketahui dan dipahami. Namun permasalahannya adalah belum pernah adanya political will yang kuat dari Pemerintah untuk melaksanakan otonomi secara luas, nyata dan bertanggung jawab. Secara kontekstual apa yang tersirat dalam kebijakan baru otonomi daerah di Indonesia, nampaknya masih perlu ditelaah dengan seksama. Pengalaman praktek kebijakan otonomi masa lalu, memberikan pelajaran bagi daerah untuk membuktikan lebih lanjut realisasinya, sekalipun telah terjadi perubahan yang cukup "fundamental", yaitu dari pembentukan daerah otonomi yang dimulai dengan pemberian kewenangan pangkal, dan selanjutnya dilakukan penyerahan urusan oleh pusat yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur UU Nomor 5

Tahun 1974 (lama), menjadi pengaturan otonomi yang lebih mendasar sebagaimana pasal 7, 9, dan II UU Nomor 22 Tahun 1999. Berdasari<an muatan materi peraturan datam pasa!pasal tersebut, nampaknya telah menjanjikan suatu kondisi otonomi yang luas dan nyata bagi daerah. OTONOMI JAKARTA Bagi DKI Jakarta, perkembangan kebijakan baru otonomi daerah telah disikapi secara nyata melalui penerbitan undang-undang baru tentang Ibukota Negara. Sebagaimana diatur dalam Pasal 117 UU. Nomor 22 Tahun 1999, dinyatakan bahwa Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, karena kedudukannya diatur tersendiri dengan Undangundang" Berkaitan dengan pengaturan tersebut, maka telah disusun dan ditetapkan UU. Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, menggantikan perangkat peraturan terdahulu, yaitu UU. Nomor 11 tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta. Sebagai Ibukota Negara, Jakarta berkepentingan untuk
Ir. Witjaksono Muwardi: 9-25

ISSN 1411-1527

J. Ilm. Pariwisata Vol. 4, No. 3, Mei 2000

13

memiliki kejelasan peran dan fungsi pemerintahannya, sebagaimana dikutip dari Penjelasan Umum UU tersebut sebagai berikut: "Jakarta sebagai Ibukota Negara RI adalah Daerah Provinsi yang memiliki ciri tersendiri, berbeda dengan Daerah Provinsi lainnya, yang bersumber dari beban tugas, tanggung jawab, dan tantangan yang lebih kompleks. Kompleksitas permasalahan itu juga berkaitan dengan keberadaannya sebagai pusat pemerintahan negara, faktor luas wilayah yang terbatas, jumlah dan populasi penduduk yang tinggi dengan segala dampak yang ditimbulkannya terhadap aspek-aspek pemukiman, penataan wilayah, transportasi, komunikasi dan faktor-faktor lainnya. Untuk menjawab tantangan yang serba kompleks itu maka sangat dirasakan pentingnya pemberian otonomi hanya pada lingkup provinsi agar dapat membina dan menumbuhkembangkan Jakarta dalam satu kesatuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Dengan demikian, diharapkan Jakarta akan mampu memberikan pelayanan yang cepat, tepat, dan terpadu kepada masyarakat". Selanjutnya arah dan implementasi Undang-undang
Ir. Witjaksono Muwardi: 9-25

Ibukota tersebut didasarkan beberapa parameter, sebagai berikut: Pertama, penyelenggaraan pemerintahan Ibukota di masa mendatang harus efisien, efektif, transparan, akuntabel dan demokratis. Kedua, penyelenggaraan pembangunan yang dilakukan di Jakarta harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat Ibukota, mengindahkan kelestarian lingkungan dan budaya, sebagai acuan setiap kebijaksanaan. Ketiga, penyelenggaraan pelayanan publik harus mengacu pada prinsip memberikan yang terbaik kepada masyarakat yang dilayani, serta terbebas dari berbagai kemungkinan berlangsungnya praktekpraktek KKN. Keempat, ruang partisipasi warga Ibukota sebagai wujud pemberdayaan masyarakat harus terbuka lebih luas dari waktu-kewaktu. Kelima, Jakarta harus memposisikan din sebagai Ibukota Negara yang mampu memberi kontribusi yang nyata bagi tersebarnya kemajuan di berbagai bidang ke seluruh wilayah negara.
ISSN 1411-1527

14

J. Ilm. Pariwisata Vol. 4, No. 3, Mei 2000

(Menteri Dalam Negeri pada Sidang Paripuma DPRD DKI tanggal 22 Juni 1999). Kasus tindak lanjut otonomi Jakarta ini tentunya dapat dijadikan sebagai model untuk diimplementasikan bagi daerah lainnya, sesuai dengan ketentuan dan pengaturan yang berlaku. Seluruh struktur dan tatanan baru organisasi Pemerintah Daerah lainnya, perlu disesuaikan dengan kondisi potensi, sumber daya dan kemampuan masingmasing. Kecenderungan untuk mengembangkan hirarkhi dalam struktur besar sebagaimana yang lalu nampaknya harus mulai ditinggalkan, walaupun akan terjadi penambahan tugas pokok dan fungsi baru. Setiap Pemerintah Daerah harus tetap mendesain organisasinya dengan memperhatikan kebutuhan terhadap peningkatan skala dan kualitas pelayanan publik, dengan mempersiapkan penataan organisasi yang datar, ramping, kaya fungsi, serta memiliki visi dan misi yang jelas. OTONOMI PARIWISATA Kebijakan Pengembangan Otonomi Pariwisata telah tercermin pada UU yang baru, dan bagi Daerah perlu disambut dengan rasa optimis untuk segera mengambil langkahISSN 1411-1527

langkah pengembangan pariwisata daerah secara terpadu. Ketetapan yang memperkuat kondisi otonomi pariwisata daerah, dapat ditelaah lebih lanjut pada bagian Penjelasan umum, butir i, angka (5), sebagai berikut: 'Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi Wilayah Administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industry kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan Peraturan Daerah Otonom". Dengan demikian dari aspek pengembangan produk pariwisata, telah sepenuhnya menjadi tugas dan tanggung jawab Daerah, dan sekaligus telah ditetapkan pula dengan kewenangan pengembangan kegiatan pemasaran dan promosi pariwisata daerah, sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Pasal 9 ayat (l) butir e. Bagi industri pariwisata, kondisi tersebut diharapkan
Ir. Witjaksono Muwardi: 9-25

J. Ilm. Pariwisata Vol. 4, No. 3, Mei 2000

15

lebih memberikan kemudahan terhadap kebutuhan pelayanan publik, pembinaan, dan koordinasi dengan aparatur Pemerintah. Otonomi di bidang kepariwisataan ini agar dipandang sebagai suatu simplifikasi dari dualisme pembinaan (pusat dan daerah) sebagaimana yang pernah dialami selama ini, yang bagi kalangan industri di daerah banyak menimbulkan kendalakendala tersendiri bagi perkembangan usahanya. PERMASALAHAN Dewasa ini berbagai permasalahan yang timbul dan dirasakan oleh jajaran Pemerintah dan industri pariwisata di Jakarta, ditandai dengan indikator-indikator: penurunan angka kunjungan wisatawan, kelesuan industri pariwisata, terbatasnya produk wisata baru, terjadinya PHK tenaga kerja pariwisata, tertundanya pembangunan sarana/prasarana kota, dan kondisi citra Jakarta sebagai DWT yang memburuk. Berdasarkan kondisi obyektif tersebut, maka dari sisi Pemerintah Daerah dapat dijdentifikasi permasalahan pokok sebagai berikut: 1. Belum induk adanya Rencana Pengembangan

Pariwisata Daerah (RIPPDA), yang mampu berfungsi sebagai dokumen "cetak biru" kepariwisataan secara terinci dan komprehensif. Dokumen perencanaan yang telah disusun belum memuat aspek-aspek strategis, seperti pola pertumbuhan, strategi pembinaan, kerangka penataan, dan struktur industri pariwisata dalam konteks pengembangan kepariwisataan ke masa depan. 2. Belum adanya kejelasan tentang ukuran kinerja kepariwisataan. Pada saat ini ukuran yang lazim dipublikasikan antara lain meliputi indikator-indikator ekonomi, seperti devisa, PAD, angka investasi, dan penyerapan tenaga kerja. Sedangkan eksternalitas nonekonomi yang terkaitlangsung dengan daya tarik fisik/non-fisik DTW yang bersangkutan, seperti aspek-aspek Sapta Pesona (keamanan, ketertiban, kebersihan, keindahan, kesejukan, keramahtamahan, dan kenangan), serta dampak sosial budaya masyarakat yang terjadi belum memperoleh perhatian yang memadai, dan belum

Ir. Witjaksono Muwardi: 9-25

ISSN 1411-1527

16

J. Ilm. Pariwisata Vol. 4, No. 3, Mei 2000

dibakukan sebagai ukuran kinerja kepariwisataan. 3. Kemampuan mengkoordinasikan kegiatan dengan sektor-sektor lain masih terbatas. Masih dipertanyakan, sektor mana yang paling tepat untuk menjembatani kegiatan pariwisata yang memiliki ruang lingkup sedemikian luas dan hampir mencakup seluruh aspek kehidupan tersebut. 4. Keterbatasan kegiatan riset dan pengembangan (R & D) terhadap produk dan pasar pariwisata. Kegiatan yang sangat penting bagi keberhasilan pengembangan kepariwisataan ini belum mampu dilaksanakan secara optimal. Berbagai gambaran indikator tersebut merupakan refleksi dari kondisi "kesenjangan" antara sektor pariwisata dengan sektorsektor lain yang terkait, karena belum adanya intensitas sosialisasi kepariwisataan terhadap seluruh pihak. Kondisi ini mengakibatkan belum adanya kesamaan visi dan pemahaman terhadap substansi inti kegiatan pariwisata, yang bersifat dinamis, multidimensional, dan kompleks.

Lebih lanjut permasalahan dari sisi industri pariwisata, dapat ditinjau dari aspek-aspek kelemahan pengembangan produk dan pemasaran, yang mengakibatkan realitas pembentukan daya saing kepariwisalaan kita lemah, baik dalam hal penyediaan produk yang berkualitas maupun kemampuan promosi yang terbatas. Salah satu hal kongkrit yang ditinjau guna memberikan gambaran keterbatasan produk pariwisata Jakarta, adalah kurang tersedianya "ujung tombak" produk, yaitu paket wisata inbound Jakarta dan paket city tour reguler yang mudah didapat. Hampir seluruh paket wisata yang tersedia dan mudah diperoleh, justru dirancang untuk kepentingan "menguras" devisa Jakarta atau Daerah lainnya melalui paketpaket outbound ke mancanegara. Dari aspek pemasaran, misal kegiatan promosi ke luar negeri, belum nampak adanya upaya pro-aktif pihak industri untuk membentuk keterpaduan promosi antarindustri pariwisata dalam suatu sinergi destinasi. Kita hanya menyaksikan upaya promosi yang jalan sendirisendiri, dan tidak berorientasi kepada kepentingan skala kota/daerah (DTW). Padahal antarkomponen industri
Ir. Witjaksono Muwardi: 9-25

ISSN 1411-1527

J. Ilm. Pariwisata Vol. 4, No. 3, Mei 2000

17

pariwisata, yaitu antara usaha sarana pariwisata, usaha jasa pariwisata, dan berbagai potensi objek dan daya tarik wisata suatu destinasi, memiliki saling ketergantungan yang menguntungkan. Korelasi antar produk ini sebenarnya mampu memberikan kekuatan daya saing yang lebih tinggi, apabila diintegrasikan secara sinergis. Berkaitan dengan ketertinggalan upaya promosi industri pariwisata tersebut, dapat dikemukakan pandangan Herman Bahar (1998:4): Tantangan dan permasalahan lain adalah aspek strategi pasar. Hingga saat ini Indonesia belum mampu menemukan ceruk pasar (niche market) yang tegas bagi produk pariwisata nasional dan daerah. Penggarapan pasar Eropa Barat yang telah berlangsung lebih dari 25 tahun belum mampu menciptakan intensitas produk-pasar yang intim dalam porsi yang besar". Keseluruhan hal-hal tersebut merupakan suatu realitas dari kondisi kepariwisataan, yang perlu segera diatasi bersama oleh seluruh pelaku pariwisata pada era otonomi mendatang. POLA PEMBERDAYAAN PARIWISATA DAERAH Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka solusi
Ir. Witjaksono Muwardi: 9-25

kebijakan pengelolaan dan pengembangan pariwisata tidak dapat dilepaskan dan berbagai aspek multi sektoral yang secara substantif terkait Bagi DKI Jakarta, keterkaitan yang bersifat multi-sektoral tersebut telah dirumuskan sebagai arah dan tujuan pengembangan kepariwisataan secara paralel dan terintegrasi dengan pengembangan sektor yang lainnya secara terpadu. Kebijakan ini telah ditetapkan dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) DKI Jakarta, sebagai berikut: "Tujuan pembangunan kepariwisataan DKI Jakarta bukan hanya untuk kepentingan sektor panwisata saja, melainkan lebih kepada kepentingan yang lebih besar yaitu pengembangan kota dan masyarakat Jakarta" Berkaitan dengan hal tersebut, maka pembangunan pariwisata DKI Jakarta diarahkan secara sistematis kepada penataan dan pengelolaan seluruh komponen dan potensi kota (fisik dan nonfisik) secara terpadu dan berkelanjutan. Hal tersebut disesuaikan dengan kondisi eksisting kota yang dipandang sebagai suatu "Anugerah Jakarta" (Jakarta Endowments), yaitu berupa segenap potensi dan sumber daya yang dimiliki
ISSN 1411-1527

18

J. Ilm. Pariwisata Vol. 4, No. 3, Mei 2000

oleh DKI Jakarta, seperti alam dan energy SDM, nilai-nilai sosial budaya, teknologi, dan letak geografis. Berdasarkan hal tersebut dirumuskan visi strategik Jakarta yaitu: Jakarta dengan segenap sumber daya yang dimiliki mampu memberdayakan dan mengintegrasikan potensi ekonomi, sosial, budaya, sehingga dapat terbentuk karakter khas dan citra kota yang mampu berperan dalam dinamika panwisata global". Visi stratejik tersebut dibentuk berdasarkan struktur (platform) kekayaan daerah, inovasi, daya saing, akuntabilitas, dan sustainability. Dengan demikian hakekat pembangunan pariwisata Jakarta diarahkan sepenuhnya guna kenyamanan, pemenuhan kebutuhan hidup, dan kesejahteraan masyarakat kota itu sendiri, melalui aspek-aspek kegiatan ekonomi, sosial, budaya, teknologi, dan pada gilirannya diharapkan dapat memberikan daya tarik bagi para wisatawan dan pengunjung lainnya untuk menikmati kota Jakarta sebagai Daerah Tujuan Wisata.

Implementasi Kebijakan Berdasarkan arahan dan visi stratejik pengembangan pariwisata tersebut, maka implementasi dalam pelaksanaan pengembangan pariwisata di DKI Jakarta didasarkan pada Visi, Misi, dan Strategi sebagai berikut: Visi: Jakarta sebagai kota wisata yang berperan dalam dinamika pariwisata global Misi: Mengembangkan jati diri dan citra kota yang berwawasan pariwisata; Memacu pertumbuhan ekonomi kota; Mendorong perkembangan pariwisata daerah dan nasional Mendayagunakan keunggulan untuk memposisikan diri dalam percaturan pariwisata abad XXI.

Strategi: Pariwisata sebagai "paradigma baru" pembangunan. Selanjutnya dalam menghadapi berbagai permasalahan dan situasi krisis yang sedang terjadi, diperlukan strategi yang tepat untuk segera nnemulihkan dan sekaligus
Ir. Witjaksono Muwardi: 9-25

ISSN 1411-1527

J. Ilm. Pariwisata Vol. 4, No. 3, Mei 2000

19

mampu mengembangkan kegiatan kepariwisataan di Jakarta atau Daerah. Kebijakan yang perlu ditempuh oleh Pemerintah Daerah adalah melaksanakan pembangunan sektor pariwisata yang didasarkan pada kejelasan orientasi (fokus) pembangunan, efisiensi pembiayaan dan efektivitas hasil-hasil pembangunan, serta keberpihakan terhadap pemberdayaan komunitas (sosial, budaya, dan ekonomi). Sesuai dengan kondisi dan sumberdaya yang dimiliki oteh daerah, maka perlu disepakati bahwa sektor pariwisata merupakan altematif "instant" dan "siap jual" bagi pemulihan kondisi krisis, dan diharapkan mampu berperan sebagai "mesin baru" dan pemicu perekonomian daerah. Bagi DKI Jakarta, kebijakan yang telah ditetapkan dalam pengembangan kepariwisataan adalah melalui Strategi: Pariwisata sebagai "paradigma baru" pembangunan, yang artinya seluruh pembangunan kota (daerah) harus berwawasan pariwisata, dan dengan demikian pengembangan pariwisata identik/paralel dengan pembangunan kota Jakarta itu sendiri. Strategi inilah yang menjadi fokus bagi arah
Ir. Witjaksono Muwardi: 9-25

pembangunan kota Jakarta ke masa depan, yang berarti seluruh pihak (stakeholder) baik pemerintah (multi-sektoral) maupun jajaran industri pariwisata, dan masyarakat kota Jakarta secara terpadu harus memberikan dukungan dan komitmen yang tinggi bagi pengembangan pariwisata. Menyadari berbagai keterbatasan yang dialami oleh Pemerintah DKI Jakarta dewasa ini, maka implementasi pembangunan pariwisata kota Jakarta diarahkan pada kebijakan penetapan jalur-jalur wisata dengan prioritas pengembangan secara bertahap pada potensi wisata unggulan yang dimiliki, yaitu wisata bahari dan wisata belanja. Pengembangan kedua potensi tersebut, tetap didukung dengan pengembangan potensi lainnya seperti konvensi, sejarah dan budaya, olah raga, rekreasi dan hiburan, eko-wisata, dan potensi wisata minat khusus. Pola Pemberdayaan Pariwisata Keberhasilan seluruh upaya penerapan kebijakan tersebut, perlu diarahkan dan diorientasikan pada suatu Pola Pemberdayaan Pariwisata Jakarta, dimana model ini dapat pula diaplikasikan pada

ISSN 1411-1527

20

J. Ilm. Pariwisata Vol. 4, No. 3, Mei 2000

pengembangan kepariwisataan daerah lainnya. Adapun pola tersebut digambarkan dalam bagan 1. Berdasarkan bagan 1. tersebut, maka pola penyelenggaraan kepariwisataan di Jakarta mengacu secara sistemik kepada implementasi visi stratejik sebagai berikut: Input: Pariwisata sebagai paradigma pembangunan, yaitu seluruh pelaksanaan pembangunan harus berwawasan pariwisata. Throughput : Komitmen dalam pembangunan, yaitu seluruh pelaksanaan pembangunan pariwisata harus dilandasi dengan tekad dan komitmen yang kuat oleh seluruh jajaran Pemerintah Daerah (multisektoral). Output: Tolok ukur keberhasilan pembangunan, yaitu kinerja sektor pariwisata dapat dijadikan salah satu ukuran keberhasilan pembangunan di daerah Outcomes: Indikator kesejahteraan masyarakat, yaitu keseluruhan upaya pembangunan pariwisata harus memberikan eksternalitas

positip bagi kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan (sustainable). Sistem pengelolaan pariwisata tersebut diarahkan pada pengembangan produk dan pemasaran yang berorientasi pada unsur-unsur, sebagai berikut: Berorientasi pada pengembangan nilai jati diri manusia, sejarah, seni dan budaya bangsa; Berorientasi pada pelestarian mutu dan lingkungan hidup; Mampu menjamin periindungan kepada masyarakat (tertib, aman, indah, nyaman); Menciptakan tatanan administrasi pembangunan yang konsisten dan akomodatif; Mewujudkan tatanan sistem pelayanan dalam struktur yang efisien; Menciptakan pertumbuhan masyarakat interaktifdan mendukung; Mengadopsi iptek. jaringan ekonomi yang saling perkembangan

Di sisi lain, beberapa prasyarat dan sekaligus upaya

ISSN 1411-1527

Ir. Witjaksono Muwardi: 9-25

J. Ilm. Pariwisata Vol. 4, No. 3, Mei 2000

21

pemberdayaan yang diperhatikan adalah: Perpaduan modem tradisional;

perlu dengan

Nilai-nilai kesejarahan; Daya tahan ke masa depan; Potensi sebagai trend-setter; Karakter budaya bangsa; Pemberdayaan ekonomi kota Pertumbuhan wilayah Perluasan masyarakat lingkungan partisipasi dan

Tumbuh mandiri berkelanjutan

Keseluruhan pola tersebut merupakan pola pemberdayaan pariwisata, yang diarahkan untuk pembentukan daya saing produk wisata unggulan dan pelaksanaan kegiatan promosi terpadu, yang pada gilirannya dapat menciptakan citra baru pariwisata Jakarta, dan setanjutnya dapat direkomendasikan untuk diaplikasikan oleh daerah lain. Pengembangan Produk dan Pemasaran Aplikasi kebijakan ini diarahkan untuk mendukung pengembangan produk wisata Jakarta, melalui penataan dan pengembangan sarana/prasarana fisik di bert)agai

objek wisata unggulan di Jakarta, dengan tetap memperhatikan kepentingan komunitas setempat, serta diarahkan sebagai embrio pengembangan dan pertumbuhan wilayah sekitarnya secara berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya, pembangunan tersebut melibatkan partisipasi aktif dan bekerjasama dengan pihak swasta, guna keperluan investasi dan pengembangan usaha lebih lanjut. Dalam tahap jangka pendek ini, Jakarta akan segera mengembangkan Kawasan Wisata Belanja Pasar Baru dan sekitarnya dan Kawasan Wisata Bahari Sunda Kelapa yang terintegrasi dengan Kepulauan Seribu dan potensi Kota Tua Jakarta, sebagai upaya pengembangan "produk baru" wisata Jakarta. Dari kebijakan pemasaran dan promosi, Pemerintah DKI Jakarta telah menetapkan program Promosi Pariwisata Terpadu baik di dalam negeri maupun luar negeri yang dikoordinir oleh Dinas Pariwisata DKI Jakarta. Pelaksanaan program promosi ini melibatkan seluruh sektor lainnya, seperti investasi, industri dan perdagangan, kebudayaan, pertanian, perikanan, keamanan dan lainlain yang terkait, baik pada
ISSN 1411-1527

Ir. Witjaksono Muwardi: 9-25

22

J. Ilm. Pariwisata Vol. 4, No. 3, Mei 2000

jajaran Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat maupun dengan jajaran industri/asosiasi usaha pariwisata. Program lain yang telah dilakukan adalah pembentukan organisasi nirlaba Jakprom dan Biro Konvensi Jakarta, berpartisipasi pada Bursa Pariwisata Intemasional, memberikan dukungan aktif terhadap penyelenggaraan Pasar Wisata Indonesia, dan melaksanakan event promosi lainnya seperti Abang dan None Jakarta, Pekan Mode Jakarta, Jakarta Pesta Makanan, Jakfest, dan lain-lainnya. Upaya lain yang ditempuh adalah program publikasi dan public relation melalui kegiatan Familiarization Trip, distribusi bahan-bahan informasi pariwisata Jakarta (cetak, video, dan CD), serta pemanfaatan media elektonik TV (Public Service Announcement) dengan penayangan video klip serial "Ngukur Jakarta". Disamping itu terdapat program pemasangan iklan di berbagai media baik dalam negeri maupun luar negeri. Berbagai kegiatan promotif tersebut, didukung pula dengan counter pelayan informasi wisata (Tourist Information Center) di Bandara Soekamo-Hatta dan di Gedung Jakarta Theater. Sarana publikasi
ISSN 1411-1527

dipergunakan adalah pemanfaatan jaringan teknologi informasi internet (Homepage). Pemilihan media penyebaran informasi ini didasarkan pada jangkauan penyebarannya yang "tanpa batas", serta pertimbangan faktor efektivitas dan efisiensinya yang cukup tinggi. Direncanakan Website tersebut akan dikembangkan lebih lanjut dengan penyediaan fasilitas reservasi. Seluruh inisiatif tersebut merupakan langkah pro-aktif dan sebagai bentuk kepedulian yang tinggi dari Pemerintah DKI Jakarta, walaupun dalam kondisi keterbatasan karena tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan secara langsung dalam mengkoordinir industri-industri utama pariwisata, seperti Hotel bintang, Biro Perjalanan Wisata, Restoran, Perusahaan Penerbangan, dan lain-lainnya. Seluruh program pemasaran dan promosi tersebut didukung pula dengan kegiatan riset pasar, untuk menetapkan sasaran negara tujuan promosi, menelaah berbagai karakteristik wisatawan, dan kemudian melakukan analisis segmentasi pasar wisatawan bagi Jakarta.

promosi lain

dan yang
Ir. Witjaksono Muwardi: 9-25

J. Ilm. Pariwisata Vol. 4, No. 3, Mei 2000

23

DAMPAK OTONOMI BAGI INDUSTRI PARIWISATA Dengan penerapan otonomi daerah diharapkan terjadi simplifikasi pembinaan dan pengkoordinasian kepada seluruh industri pariwisata. industri telah menemukan "muara" pembinaan yang tidak tersekat-sekat antara pusat dan daerah. Bagi industri pariwisata, diharapkan tidak ada lagi orientasi yang "mendua" kepada pusat dan daerah. Seluruh "perubahan" yang terjadi, tentunya menimbulkan berbagai penyesuaian baru antara Pemerintah Daerah dengan pihak industri pariwisata. Kedua belah pihak akan saling menyesuaikan kedalam kondisi intensitas koordinasi yang meningkat Para pelaku pariwisata tersebut harus menumbuhkan komitmen untuk saling-menerima, salingmembangun, dan salingmemanfaatkan berbagai sumberdaya pariwisata yang telah tersediai, melalui pola kemitraan dan kerjasama yang lebth terpadu antara pihak Pemerintah Daerah dengan pihak swasta/industri pariwisata, yang berorientasi kepada pengembangan skala kota/destinasi.

Kebersamaan menghadapi tantangan perubahan tersebut dan upaya pengembangan kepariwisataan perlu dilaksanakan oleh kedua belah pihak, sebagaimana dikemukakan oleh Brown dan Essec (1989): "Policies are relevant to both the public and private tourism sectors. Policies in the private sector are designed to give corporate direction for a profit motive, and such an opportunist. Policies in the public sector are more concerned with the benefit at tourism for the community and have to play more strategic/coordinating/leadership role in the development of tourism Tanpa adanya komitmen yang tinggi dari para pihak tersebut, maka seluruh aspek pengembangan produk dan promosi pariwisata, tidak akan mampu bersaing dalam kompetisi skala - regional, internasional dan global, khususnya menjelang era millenium tiga mendatang. Berdasarkan kebijakan pengembangan produk pariwisata dan promosi terpadu Pemerintah DKI Jakarta, maka model tersebut perlu diaplikasikan dan diperluas kedalam suatu jaringan dan koneksitas lintas wilayah secara terpadu. Pengorganisasian kewilayahan pariwisata yang
ISSN 1411-1527

Ir. Witjaksono Muwardi: 9-25

24

J. Ilm. Pariwisata Vol. 4, No. 3, Mei 2000

telah dibentuk seperti organisasi Wilayah Tujuan Wisata (WTW), dapat dimanfaatkan secara lebih optimal dalam .kerangka pengembangan produk dan promosi daerah. Setiap daerah perlu melibatkan pihak asosiasi wisata bersama-sama dengan seluruh pelaku bisnis yang terkait, dalam upaya menciptakan Sinergi dan Jaringan Produk-Promosi Antardaerah secara terpadu. Namun demikian, secara menyeluruh kendala aktual yang perlu tetap diperhatikan adalah terjadinya "keengganan" melaksanakan fungsi koordinasi, integrasi dan sinkronisasi seluruh pelaksanaan pengembangan produk dan pemasaran pariwisata. Diharapkan "suasana baru" otonomi daerah memberikan dampak yang positip bagi kalangan industri pariwisata, seiring dengan komitmen dan upaya peningkatan kinerja oleh jajaran Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah harus proaktif menyikapi berbagai proyeksi kondisi yang muncul paska berlakunya kebijakan otonomi tersebut. Secara positip, kondisi ini perlu dipergunakan oleh Pemerintah Daerah untuk segera nnempersiapkan diri, walaupun dalam waktu yang relatif terbatas, untuk
ISSN 1411-1527

mengambil langkah-langkah penyesuaian yang diperlukan. Salah satu prioritas yang perlu ditempuh adalah segera melaksanakan reorganisasi Pemerintah Daerah, termasuk didalamnya mempersiapkan pengalihan instansi vertikal menjadi perangkat daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 129 sebagai berikut: Ayat (1): Dengan diberlakukannya undang-undang ini, Lembaga Pembantu Gubemur, Pembantu Bupati, Pembantu Walikotamadya dan Badan Pertimbangan Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, dihapus. Ayat (2): Instansi vertikal di Daerah selain yang menangani bidang-bidang luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, menjadi perangkat Daerah. Ayat (3): Semua instani vertikal yang menjadi perangkat daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kekayaannya dialihkan menjadi milik Daerah. Pemerintah Daerah perlu memacu dan mendukung kualitas otonomi daerah dalam membangun tatanan baru dan menghadapi tantangan masa depan, dan utamanya meningkatkan kualitas
Ir. Witjaksono Muwardi: 9-25

J. Ilm. Pariwisata Vol. 4, No. 3, Mei 2000

25

pelayanan publik melalui pelaksanaan prinsip-prinsip Reinventing Government dan Banishing Bureaucracy. Adapun secara singkat diadopsi dari tulisan Hardjosoekarto (UI:1998), yaitu perlunya dilaksanakan konsep "Reinventing Tourism Management Doktrin utama konsep ini adalah "creating a tourism sector that works better and costless". Intinya adalah bagaimana mengembangkan manajemen sektor pariwisata yang lebih efisien, efektif, dan akuntabel melalui peningkatan kemampuan mengembangkan jasa-jasa pelayanan publik secara lebih baik, lebih cepat, dan lebih murah. Disamping itu penerapan manajemen pemerintah tersebut diarahkan pada kecenderungan: (1) Pemerintah lebih berperan sebagai pengarah (steering) daripada pelaksana (rowing), dan (2) Pemerintah lebih menerapkan sistem desentralisasi daripada sentralisasi. Agar konsep tersebut dapat dilaksanakan secara optimal, perlu dilakukan pemberdayaan faktor-faktor Competence, Committed, Character, Compatibility, dan responsif terhadap Change kepada seluruh jajaran SDM sektor publik yang menangani kepariwisataan daerah.

Berdasarkan konsep Banishing Bureaucracy, perlu dikembangkan lima strategi pokok, yaitu (1) Core Strategy, yang berisi kejelasan tujuan, peran dan arah organisasi, termasuk pengembangan visi dan misi; (2) Consequence Strategy, yang berisi pilihan organisasi terhadap keunggulan kompetitif, pendekatan manajemen organisasi, dan manajemen kinerja; (3) Customer Strategy, yang menentukan pilihan publik sebagai pelanggan, pilihan keunggulan kompetitif, jaminan kualitas pelayanan, dan sarana yang digunakan; (4) Control Strategy, yang terdiri dari dua model pendekatan yaitu pemberdayaan organisasi, dan pemberdayaan tenaga kerja, yang akan berdampak pula pada masyarakat dimana organisasi itu berada, dan (5) Cultural Strategy, vaitu pendekatan kebudayaan sebagai kekuatan pendobrak, dimana perlu dikikis habis budaya penghalang kemajuan, pendekatan yang menyentuh hati dan rasa, serta pendekatan pengembangan pola mental yang baru. Keseluruhan upaya tersebut diarahkan sebagai suatu momentum untuk membangun suatu citra birokrasi baru menjadi suatu Credible
ISSN 1411-1527

Ir. Witjaksono Muwardi: 9-25

26

J. Ilm. Pariwisata Vol. 4, No. 3, Mei 2000

Government, yang mampu merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, mengkoordinasikan, dan mengendalikan kebijakan pengembangan pariwisata secara transparan, demokratis, akuntabel, dan berkelanjutan. Pada gilirannya, kondisi tersebut akan memberikan ekstemalitas positip berupa pelayanan prima kepada industri pariwisata dan sekaligus memberdayakan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, sesuai dengan kebijakan dan pola pemberdayaan pariwisata sebagaimana yang telah digariskan. REKOMENDASI Pertama, Otonomi merupakan peluang dan sekaligus tantangan yang semakin meningkatkan tugas dan tanggung jawab daerah dalam mewujudkan kemandirian, demokratisasi, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian perlu segera dilakukan perumusan dan implementasi kebijakan otonomi daerah yang sesuai dengan karakter, kemampuan, dan sumber daya daerah masing-masing, guna memberikan jaminan hukum dan kepastian pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata, dan berfcanggungjawab,

dalam kerangka Kesatuan RI.

Negara

Kedua, dalam rangka penerapan otonomi pariwisata di daerah, perlu ditetapkan kebijakan dan stretegi: "Pariwisata sebagai Paradigma Baru Pembangunan", dimana seluruh perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah harus benwawasan pariwisata. Dengan demikian pengembangan pariwisata dilaksanakan secara pararel dan terintegrasi dengan pembangunan sektor lainnya, melalui suatu aplikasi sistemik "Pola Pemberdayaan Pariwisata", untuk menciptakan produkproduk unggulan yang didukung oleh pelaksanaan promosi terpadu guna mewujudkan citra baru pariwisata daerah. Ketiga, Menghadapi tantangan millenium tiga yang sarat dengan persaingan antar bangsa dan antarkota, maka diperlukan komitmen yang tinggi dan penanganan secara kolektif (collective action) dari seluruh pelaku (stakeholder) pariwisata baik Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat untuk secara terpadu mengembangkan produk pariwisata dan sekaligus mampu melaksanakan integrasi pemasaran dan promosi pariwisata tersebut, dalam suatu

ISSN 1411-1527

Ir. Witjaksono Muwardi: 9-25

J. Ilm. Pariwisata Vol. 4, No. 3, Mei 2000

27

sinergi dan Jaringan ProdukPromosi Antardaerah secara terpadu. Keempat, Bahwa keseluruhan upaya penerapan dan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah agar digunakan sebagai momentum untuk membuktikan, membangun kembali dan meningkatkan kepercayaan publik kepada jajaran Pemerintah Daerah, dengan melakukan pergeseran (shifting) perilaku birokrasi menuju era profesionalisme Aparatur Pemerintah yang mampu berperan sebagai fasilitator dan pengarah dalam merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, mengkoordinasikan, dan mengendalikan kebijakan pembangunan secara tranparan, demokratis, dan akuntabel, serta mampu memberikan pelayanan prima kepada industri pariwisata dan mampu memberdayakan dan menggalang partisipasi dan kemitraan dengan industri pariwisata dalam pembangunan secara berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA Brown P dan Essec Stephens, Tourism Policies in The Public Sector, Prentice Hall, New York, 1989.
Ir. Witjaksono Muwardi: 9-25

Dinas Pariwisata DKI Jakarta, Kebijakan Pengembangan Citra Wisata Jakarta, Jakarta, 1998. Dinas Pariwisata DKI Jakarta, Rencana induk Pengembangan Pariwisata Daerah DKI Jakarta 19982005, Jakarta, 1988. Herman Bahar, Peningkatan Keuntungan Kompetitif melalui Pengembangan Sumber Daya Manusia, Makalah, Lokakarya Pendidikan Kepariwisataan Menyongsong Era Globalisasi, ITB, Bandung, 1998.

Manajemen, Majalah umum, Ismayanti Istanto, Dampak Pelaksanaan GATS' WTO Tahun 2020 terhadap Sistem

ISSN 1411-1527

28

J. Ilm. Pariwisata Vol. 4, No. 3, Mei 2000

Kepariwisataan Indonesia, Nomor 133, September 1999, PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1999. Menteri Dalam Negeri RI, pada Sidang Paripurna DPRD DKI Jakarta, tanggal 22 Juni 1999. Sudareono Hardjosoekarto, Universitas Indonesia, Kepedulian Universitas Indonesia terhadap Tatanan Masa Depan Indonesia, Kumpulan Makalah Simposium, Kampus Ul, 1998. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus lbukota Megara Republik Indonesia Jakarta.***

ISSN 1411-1527

Ir. Witjaksono Muwardi: 9-25

J. Ilm. Pariwisata Vol. 4, No. 3, Mei 2000

29

Ir. Witjaksono Muwardi: 9-25

ISSN 1411-1527

También podría gustarte