Está en la página 1de 33

BAB I PENDAHULUAN

Tuberkulosis

(TB)

merupakan

penyakit

menular

yang

disebabkan

oleh

Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru. 1 Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang dewasa. Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis, pengobatan, pencegahan serta TB dengan keadaan khusus.2 Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun.3 Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB anak sering kali tidak khas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan undertreatment. Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB umumnya adalah orang dewasa dengan sputum basil tahan asam positif sehingga penanggulangan TB ditekankan pada pengobatan TB dewasa. Akibatnya penanganan TB anak kurang diperhatikan.2 Tuberkulosis peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau visceralyang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, dan terlihat penyakit ini juga sering mengenai seluruh peritoneum, alat sistem gastrointestinal, mesentrium dan organ genitalia interna.1 Penyakit ini jarang berdiri sendiri dan biasanya merupakan kelanjutan proses tuberkulosa di tempat lain terutama dari tuberkulosa paru, namun sering ditemukan bahwa pada waktu diagnosa ditegakkan proses tuberkulosa di paru sudah tidak kelihatan lagi. Hal ini bisaterjadi karena proses tuberkulosa di paru mungkin sudah menyembuh terlebih
1 |Page

dahulu sedangkan penyebaran masih berlangsung di tempat lain.2 Karena perjalanan penyakitnya yang berlangsung secara perlahan-lahan dan sering tanpa keluhan atau gejala yang jelas maka diagnosa sering tidak terdiagnosa atau terlambat ditegakkan. 3 Tidak jarang penyakit ini mempunyai keluhan menyerupai penyakit lain seperti sirosis hati atau neoplasma dengan gejala asites yang tidak terlalu menonjol.2 Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang jarang dijumpai yaitu sekitar 1 5% dari kasus TB anak. Umumnya terjadi pada dewasa dengan perbandingan perempuan lebih sering dari laki-laki dengan perbandingan 2 : 1. .

2 |Page

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I.

DEFINISI

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru. Bila kuman TB menyerang otak dan sistem saraf pusat, akan menyebabkan meningitis TB. Bila kuman TB menginfeksi hampir seluruh organ tubuh, seperti ginjal, jantung, saluran kencing, tulang, sendi, otot, usus, kulit, disebut TB milier atau TB ekstrapulmoner.1 Tuberkulosis pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita oleh anak < 15 tahun.1 Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki kontak yang signifikan dengan orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB, pada tahap ini test tuberkulin negatif, rontgen toraks negatif. Infeksi terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuclei Mycobacterium tuberculosis dan kuman tersebut menetap secara intraseluler pada jaringan paru dan jaringan limfoid sekitarnya, pada tahap ini rontgen toraks bisa normal atau hanya terdapat granuloma atau kalsifikasi pada parenkim paru dan jaringan limfoidnya serta didapatkan uji tuberkulin yang positif. Sementara itu, seseorang dikatakan sakit TB jika terdapat gejala klinis yang mendukung serta didukung oleh gambaran kelainan rontgen toraks, pada tahap inilah seseorang dikatakan menderita tuberkulosis.4 TB ditularkan melalui udara (melalui percikan dahak penderita TB). Ketika penderita TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka memercikkan kuman TB atau basil ke udara. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil kuman TB. Penderita TB dengan status TB BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat menularkan sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB. Seseorang yang tertular dengan kuman TB belum tentu menjadi sakit TB. Kuman TB dapat menjadi tidak aktif (dormant) selama bertahun-tahun dengan membentuk suatu dinding sel
3 |Page

berupa lapisan lilin yang tebal. Bila sistem kekebalan tubuh seseorang menurun, kemungkinan menjadi sakit TB menjadi lebih besar. Seseorang yang sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat secara lengkap dan teratur.2 II. EPIDEMIOLOGI Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di negara maju.3 Dari Alabama, Amerika, dilaporkan bahwa selama 11 tahun (1983-1993) didapatkan 171 kasus TB anak usia < 15 tahun. Diperkirakan jumlah kasus TB anak per tahun adalah 5-6 % dari total kasus TB. Di Negara berkembang, TB pada anak berusia < 15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju angkanya lebih rendah yaitu 5-7%.2 Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. Jumlah seluruh kasus TB anak dari 7 Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) adalah 1086 penyandang TB. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%), sedangkan untuk bayi < 12 bulan didapatkan 16,5%.3 Terdapat beberapa faktor risiko yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit. Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.3 Anak yang terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit. Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor risikonya adalah usia, infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji

4 |Page

tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais, diabetes mellitus, gagal ginjal kronik.2 Peritonitis TB merupakan presentasi tuberkulosis yang jarang terutama pada anak-anak tanpa penyakit yang melemahkan lainnya seperti sirosis, diabetes dan gagal ginjal kronis dengan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD).1 Diperkirakan bahwa peritonitis TB terjadi pada 0,1% -3,5% dari semua pasien dengan TB paru dan merupakan 4% -10% dari semua TB paru.2,3 Sebagian besar kasus terjadi di tahun 1930 atau 1940-an dan jarang terjadi pada anak-anak. 1,4 Hal ini merupakan hasil dari penyebaran hematogen atau penyebaran menular dari fokus pada abdomen atau kelenjar getah bening mesenterika.4,5 Kebanyakan pasien memiliki keluhan perut yang bersifat kronis. Karena sifat protean dari manifestasi, diagnosis seringkali tertunda dan tingkat komplikasi serta angka kematian meningkat. Oleh karena itu, dokter harus menyadari penyakit ini untuk diagnosis dini.

III.

ETIOLOGI

Terdapat 60 lebih spesies Mycobacterium, tetapi hanya separuhnya yang merupakan patogen terhadap manusia. Hanya terdapat 5 spesies dari Mycobacterium yang paling umum menyebabkan infeksi, yaitu: M. Tuberculosis, M. Bovis, M. Africanum, M. Microti dan M. Canetti. Dari kelima jenis ini M. Tuberkulosis merupakan penyebab paling penting dari penyakit tuberkulosis pada manusia. Ada 3 varian M. Tuberkulosis yaitu varian humanus, bovinum dan avium. Yang paling banyak ditemukan menginfeksi manusia M. Tuberkulosis varian humanus.5 M. Tuberkulosis berbentuk batang, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, nonmotil, pleomorfik, dan termasuk bakteri gram positif lemah, serta memiliki ukuran panjang 1-10 mikrometer dan lebarnya 0,2-0,6 mikrometer. M. Tuberkulosis tumbuh optimal pada suhu 37-410C dan merupakan bakteri aerob obligat yang berkembang biak secara optimal pada jaringan yang mengandung banyak udara seperti jaringan paru. Dinding sel yang kaya akan lipid menjadikan basil ini resisten terhadap aksi bakterisid dari antibodi dan komplemen. Sebagian besar dari dinding selnya terdiri atas lipid (80%), peptidoglikan, dan arabinomannan. Lipid membuat kuman tahan
5 |Page

terhadap asam sehingga disebut BTA dan kuman ini tahan terhadap gangguan kimia dan fisika. Oleh karena ketahanannya terhadap asam, M. Tuberkulosis dapat membentuk kompleks yang stabil antara asam mikolat pada dinding selnya dengan berbagai zat pewarnaan golongan aryl methan seperti carbolfuchsin, auramine dan rhodamin. Kuman ini dapat bertahan hidup di udara yang kering atau basah karena kuman dalam keadaan dorman. Dan dari keadaan dorman ini kuman dapat reaktivasi kembali.1

Gambar 1. Mycobacterium Tuberculosis

Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yaitu di dalam sitoplasma makrofag karena pada sitoplasma makrofag banyak mengandung lipid. Kuman ini bersifat aerob, sifat ini menunjukan bahwa kuman ini menyenangi jaringan yang tinggi mengandung oksigen sehingga tempat predileksi penyakit ini adalah bagian apikal paru karena tekanan O2 pada apikal lebih tinggi dari pada tempat lainnya.4 M. Tuberkulosis dapat tumbuh pada medium klasik yang terdiri kuning telur dan glyserin (medium Lowenstein-Jensen). Bakteri ini tumbuh secara lambat, dengan waktu generasi 12- 24 jam. Pengisolasian dari spesimen klinis dari media sintetik yang solid membutuhkan waktu 3-6 minggu dan untuk uji sensitivitas terhadap obat membutuhkan tambahan waktu 4 minggu. Sementara itu, pertumbuhan bakteri ini dapat dideteksi dalam 1- 3 minggu dengan menggunakan medium cair yang selektif seperti BACTEC dan uji sensitivitas terhadap obat hanya membutuhkan waktu tambahan 3-5 hari.5
6 |Page

IV.

PATOGENESIS Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil (<5 m), kuman TB dalam droplet nuklei yang terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik. Akan tetapi pada sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi ditempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.2 Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi disaluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer.3 Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu.6 Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian kecil kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnakan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI ).3

7 |Page

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer dijaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.2 Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).3 Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus akan terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil. Obstruksi total dapat menyebabkan ateletaksis kelenjar yang mengalami inflamsi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gangguan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolapskonsolidasi.6 Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.3 Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian mencapai berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut
8 |Page

dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.2 Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun pertama) biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah TB pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam fokus yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering terjadi pada remaja dan dewasa muda.6 Patogenesis peritonitis TB didahului oleh infeksi M. tuberculosis yang menyebar secara hematogen ke organ-organ di luar paru termasuk peritoneum. Dengan perjalanan waktu dan menurunnya daya tahan tubuh dapat mengakibatkan terjadinya peritonitis TB. Cara lain adalah dengan penjalaran langsung dari kelenjar mesenterika atau dari tuberkulosis usus. Pada peritoneum terjadi tuberkel dengan massa perkijuan yang dapat membentuk satu kesatuan (konfluen). Pada perkembangan selanjutnya dapat terjadi penggumpalan omentum di daerah epigastrium dan melekat pada organ-organ abdomen yang pada akhirnya dapat menyebabkan obstruksi khusus. Di lain pihak, kelenjar limfe yang terinfeksi dapat membesar yang menyebabkan penekanan pada vena porta dengan akibat pelebaran vena dinding abdomen dan asites. Tuberkulosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan manifestasi TB pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, paling banyak terjadi dalam 1 tahun, tetapi dapat juga 2-3 tahun setelah infeksi primer. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.2 Peritoneum dapat dikenai oleh tuberculosis melalui beberapa cara:9 1. Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru. 2. Melalui dinding usus yang terinfeksi 3. Dari kelenjar limfe mesenterium 4. Melalui tuba falopi yang terinfeksi Pada kebanyakan kasus tuberkulosis peritoneal terjadi bukan sebagai akibat penyebaran perkontinuitatum tapi sering karena reaktifasi proses laten yang terjadi pada peritoneum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen proses primer terdahulu (infeksi laten Dorman infection)2 Seperti diketahui lesi tuberkulosa bisa mengalami supresi dan menyembuh. Infeksi masih dalam fase laten dimana
9 |Page

ia bisa menetap laten selama hidup namun infeksi tadi bisa berkembang menjadi tuberkulosa pada setiap saat. Jika organism intraseluler tadi mulai bermul tiplikasi secara cepat.2

Patologi Terdapat 3 bentuk peritonitis tuberkulosa2,3 1. Bentuk eksudatif Bentuk ini dikenal juga sebagai bentuk yang basah atau bentuk asites yang banyak, gejala menonjol ialah perut membesar dan berisi cairan (asites). Pada bentuk ini perlengketan tidak banyak dijumpai. Tuberkel sering dijumpai kecil-kecil berwarna putih kekuning-kuningan milier,nampak tersebar di peritoneum atau pada alat-alat tubuh yang berada di rongga peritoneum.Disamping partikel yang kecil-kecil yang dijumpai tuberkel yang lebih besar sampai sebesar kacang tanah. Disekitar tuberkel terdapat reaksi jaringan peritoneum berupa kongesti pembuluh darah. Eksudat dapat terbentuk cukup banyak, menutupi tuberkel dan peritoneum sehingga merubah dinding perut menjadi tegang, Cairan asites kadang-kadang bercampur darahdan terlihat kemerahan sehingga mencurigakan kemungkinan adanya keganasan. Omentum dapat terkena sehingga terjadi penebalan dan teraba seperti benjolan tumor. 2. Bentuk adhesif Disebut juga sebagai bentuk kering atau plastik dimana cairan tidak banyak dibentuk.Pada jenis ini lebih banyak terjadi perlengketan. Perlengketan yang luas anta ra usus dan peritoneum sering memberikan gambaran seperti tumor, kadangkadang terbentuk fistel. Hal inidisebabkan karena adanya perlengketan-perlengketan. Kadang-kadang terbentuk fistel, hal ini disebabkan karena perlengketan dinding usus dan peritoneum parietal kemudian timbul proses nekrosis. Bentuk ini sering menimbulkan keadaan ileus obstruksi. Tuberkel-tuberkel biasanya lebih besar. 3. Bentuk campuran

10 | P a g e

Bentuk ini kadang-kadang disebut juga kista, pembengkakan kista terjadi melalui proses eksudasi bersama-sama dengan adhesi sehingga terbentuk cairan dalam kantong-kantong perlengketan tersebut. Beberapa penulis menganggap bahwa pembagian ini lebih bersifat untuk melihat tingkat penyakit, dimana pada mulanya terjadi bentuk eksudatif dan kemudian bentuk adhesive.2 Pemberian hispatologi jaringan biopsy peritoneum akan memperlihatkan jaringan granulasi tuberkulosa yang terdiri dari sel-sel epitel dan sel datia, langerhans, dan pengkejutan umumnya ditemukan.2,9

11 | P a g e

Gambar 2. Patogenesis tuberkulosis3

V.

MANIFESTASI KLINIS

IV.1

Perjalanan Alamiah

Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan, sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadinya TB di berbagai organ.3

Gambar 3. Kalender perjalanan penyakit TB primer3


12 | P a g e

Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.2 Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB. Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.3 V. DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat bervariasi dan bergantung pada faktor kuman TB, penjamu serta interaksi diantara keduanya.Faktor kuman bergantung pada jumlah kuman dan virulensinya, sedangkan faktor penjamu bergantung pada usia dan kompetensi imun serta kerentanan penjamu pada awal terjadinya infeksi.2 Anak kecil sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu. Tanda dan gejala pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan sedangkan pada kelompok dengan rentang umur diantaranya menunjukkan clinically silent dissease.3 V.I. Manifestasi sistemik Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu:3 1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang dapat disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi. Temuan demam
13 | P a g e

pada pasien TB berkisar antara 40-80% kasus. 2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik pertumbuhan. 3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik dengan adekuat (failure to thrive). 4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel. 5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan, tetapi pada anak bukan merupakan gejala utama. 6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare. 7. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah). V.III. Pemeriksaan penunjang Uji tuberkulin Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB, maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Uji tuberkulin cara mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul. Jika tidak timbul indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan sebagai negatif.2,5 Secara umum hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm

dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi BCG atau infeksi M. atipik. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-14 cm dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh BCG-nya, tapi bila ukuran indurasinya 15 mm sangat mungkin karena infeksi alamiah. Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9 cm dinyatakan positif meragukan. Pada keadaan imunokompromais atau pada pemeriksaan foto thorak terdapat kelainan radiologis hasil positif yang digunakan 5mm.2,5

Radiologi
14 | P a g e

Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah: Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat Konsolidasi segmental/lobar Milier Kalsifikasi dengan infiltrat Atelektasis Kavitas Efusi pleura Tuberkuloma

Serologi Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB, mycodot, Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada satupun pemeriksaan serologis yang dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.5

Mikrobiologi Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan kuman M. Tuberkulosis dan pemeriksaan PCR. Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas lambung didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur hasil dinyatakan

15 | P a g e

positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini PCR masih digunakan untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin.2,5

Patologi Anatomik Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tresebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia langhans.2

Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan adalah sama dengan pemeriksaan pada TB secara umum. Untuk mengetahui adanya peritonitis TB dapat dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen yaitudijumpai gambaran peritonitis, massa omentum dan asites. Apabila dijumpai asites maka diperlukan pemeriksaan analisis cairan asites yang umumnya didapatkan peningkatan jumlah sel dengan monosit dominant. Protein dan penurunan glukosa. Biopsi peritonium dapat dilakukan untuk mencarigambaran patologis. Kultur M. Tuberculosis dapat dilakukan dengan bahan cairan asites ataupun biopsi peritonium.

Untuk memudahkan diagnosis TB paru pada anak, IDAI merekomendasiskan diagnosis TB anak dengan sistem skoring, yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.9,10

16 | P a g e

Parameter Kontak TB

0 Tidak jelas

1 -

2 Laporan keluarga (BTA negatif atau tidak jelas) -

3 BTA(+)

Uji Tuberkulin

Negatif

Positif ( 10 mm atau 5 mm pada keadaan imunosupresi) gizi -

Berat

badan

/ -

BB/TB < 90% atau BB/U < 80%

Klinis buruk

Status Gizi

atau BB/TB < 70% atau BB/U <

Demam

tanpa -

2 minggu 3 minggu 1 cm, jumlah > 1, tidak nyeri

60% -

sebab yang jelas Batuk Pembesaran kelenjar koli, aksila, inguinal Pembengkakan tulang panggul, falang Foto Thorak / sendi lutut,

Ada pembengkakan

Normal/kelainan Gambaran tidak jelas sugestif TB

Catatan: Diagnosis dengan sistem skor ditegakkan oleh dokter. Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis. Berat badan dinilai saat datang.

17 | P a g e

Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku. Gambaran sugestif TB, berupa; pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan infiltrat; atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena diperlakukan secara khusus.

Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak, maka sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan.

Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG ( 7 hari) harus dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan merupakan alat diagnostik.

Didiagnosis TB Anak ditegakkan bila jumlah skor 6, (skor maksimal 13). Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks, dan/atau terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan penurunan kesadaran serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien harus di rawat inap di RS.

VI.

PENATALAKSANAAN Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H),

pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat lain (second line, lini kedua) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.5 Isoniazid Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang (adverse reaction) yang sangat rendah.2,5

18 | P a g e

Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak stabi, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mmencapai janin/bayi tidak membahayakan.2,3 Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali bila ada gejala dan tanda klinis.2 Rifampisin Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Distribusinya sama dengan isoniazid.3 Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum, dan air mata, menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin
19 | P a g e

diberikan bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang sesuai digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi.2,5 Pirazinamid Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan diabsorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 g/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam., yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10 % orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersamaan makanan.2,3 Etambutol Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.5
20 | P a g e

Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan buta warna merah-hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai penatalaksanaan TB anak, etambutol dianjurkan penggunaanya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.2,3

Streptomisin Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB tetapi penggunaannya penting penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar puncak 40-50 g/ml dalam waktu 1-2 jam.5 Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi baik pada jaringan dan cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranialis VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.2,5

Nama Obat

Dosis harian (mg/kgBB/hari)

Dosis maksimal (mg/hari) 300 600

Efek Samping

Isoniazid Rifampisin**

5-15* 10-20

Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna oranye kemerahan

Pirazinamid

15-30

2000

Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal

21 | P a g e

Etambutol

15-20

1250

Neuritis optik, ketajaman penglihatan berkurang, buta warna merah-hijau, penyempitan lapang pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisin

15-40

1000

Ototoksis, nefrotoksik

Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari.

**

Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan.
Gambar 4. Obat antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya2,5

VI.1

Panduan Obat TB Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan

sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk membunuh kuman intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan. Berbeda pada orang dewasa , OAT diberikan pada anak setiap hari, bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan setiap hari. Saat ini panduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah panduan rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan isoniazid.2,3 Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan minimal empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau streptomisin). Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam tida

22 | P a g e

dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off selama 2-4 minggu.3,5

2 Bulan

6 Bulan

9 Bulan

12 Bulan

Isoniazid Rifampisin Pirazinamid

Etambutol Streptomisin Prednison

Gambar 5. Paduan Obat Antituberkulosis2,5

VI.2

Evaluasi hasil pengobatan Sebaiknya pasien kontrol tiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2

bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan berat badan, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan dan lain-lain. Apabila respon pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan.3,5 Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin, kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto rontgen toraks perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto

23 | P a g e

rontgen toraks dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi.5 Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak terjadi penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut mengapa tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan minum obat, kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat dihentikan. Foto rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin.5,6 Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu subpopulasi persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan dalam tubuh, dan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pengobatan lebih dari 6 bulan pada TB anak tanpa komplikasi menunjukkan angka kekambuhan yang tidak berbeda bermakna dengan pengobatan 6 bulan5 VI.3 Evaluasi efek samping pengobatan OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta demam. Salah satu efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas.2,5 Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak melebihi 10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan Serum Glutamic-Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-Piruvat Transaminase (SGPT) hingga 5 kali tanpa gejala atau 3 kali batas normal (40 U/I) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan beberapa nilai beberapapun yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea dan muntah.1,3 Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan perubahan terapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase yang tidak terlalu tinggi (moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan
24 | P a g e

peningkatan 5 kali tanpa gejala, atau 3 kali batas normal disertai dengan gejala memerlukan penghentian rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin. Akan tetapi mengingat pentingnya rifampisin dalam paduan pengobatan yang efektif, perlunya penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya, isoniazid dan rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat.1,5 Apabila peningkatan enzim transaminase 5 kali tanpa gejala atau 3 kali batas normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan kembali apabila nilai laboratorium telah normal. Tetapi berikutnya dilakukan dengan cara memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul kembali pada pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh ( fulldose) dan pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.5 VI.4 Multi Drug Resistance (MDR) TB Multidrug resistance TB adalah isolate M. tuberculosis yang resisten terhadap dua atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan rifampisin. Kecurigaan adanya MDR-TB adalah apabila secara klinis tidak ada perbaikan dengan pengobatan. Manajemen TB semakin sulit dengan meningkatnya resistensi terhadap OAT yang biasa dipakai. Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu pemakaian obat tunggal, penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat yang tidak dilakukan secara benar dan kurangnya keteraturan menelan obat.9 Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji kepekaan obat tidak rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB tinggi. Akan tetapi diakui bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat. Diperkirakan MDR-TB akan tetap menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data mengenai MDR-TB yang resmi di Indonesia belum ada. Menurut WHO, bila pengendalian TB tidak benar, prevalens MDR-TB mencapai 5,5 %, sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS), maka prevalens MDR-TB hanya 1,6% saja.2

25 | P a g e

VI.5

Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan obat

sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan dalam menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly observed treatment shortcours (DOTS) adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.2 Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu sebagai berikut : 2,12 Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana. Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh pengawas minum obat (PMO). Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB. VI.6 Sumber penularan dan case finding Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu mencari anak lain di sekitasnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin.2 Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak disekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin.3,5
26 | P a g e

VI.7

Aspek edukasi dan sosial ekonomi Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena pengobatan TB

memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan juga penanganan gizi yang baik, meliputi kecukupan asupan makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik, pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang optimal. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB padak anak tidak menular kepada orang disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat.3,5

VII. PENCEGAHAN Imunisasi BCG Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Gurin) diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebuh tebal, ulkus tidak menggangu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.3,5 Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%. Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif telah mempunyai parut BCG. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi umumnya tidak dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek samping yang sering ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi imunisasi BCG adalah kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai berat badan optimal.5

27 | P a g e

Kemoprofilaksis Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi (BTA sputum negatif), maka INH profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien. Jika didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah dihentikan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk evaluasi lebih lanjut.2,3 Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam kelompok resiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan imunokompromais. Contoh anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin dalam kurun waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan untuk menilai respon dan efek samping obat.3,5

VII. PROGNOSIS

Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal. Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi
28 | P a g e

multiple terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena para dokter meresepkan rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam menjalanin pengobatan. 14 Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin, angka kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT (terutama isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa terapi OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai 100%.12,14

29 | P a g e

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

III.1

Kesimpulan Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan Pulmonary TB. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari pulmonary TB. Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu, demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan ,anoreksia dengan failure to thrive, pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multiple, batuk lama lebih dari 3 minggu, diare persisten serta malaise (letih, lesu, lemah, lelah). Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah uji tuberculin, interferon, radiologi, tes serologi, mikrobiologi dan pemeriksaan patologi anatomi. Untuk memudahkan diagnosis dapat digunakan sistem skoring TB. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Komplikasi yang dapat terjadi adalah Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi.

30 | P a g e

III.2

Saran Banyaknya jumlah anak yang terinfeksi TB menyebabkan tingginya biaya pengobatan

yang diperlukan. Oleh karena itu, pencegahan infeksi TB merupakan salah satu upaya penting yang harus dilakukan. Pencegahan ini dilakukan dengan pengendalian berbagai faktor resiko infeksi TB. Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, diperlukan usaha penyegaran kembali tentang TB anak, khususnya bagi dokter umum maupun dokter anak yang sering menangani kasus TB anak.

31 | P a g e

BAB IV DAFTAR PUSTAKA

1.

Price. A,Wilson. L. M. Tuberkulosis Paru. Dalam : Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta: EGC, 2004.

2.

Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I , Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Jakarta: Pusat PenerbitanDepartemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI , 2006.

3.

Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan ke-3. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2010.

4. 5.

Departemen farmakologi dan terapeutik FKUI. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. 2009. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar Respirologi Anak. Edisi 1. Jakarta: Ikatan Dokter anak Indonesia. 2010.

6.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1. Jakarta: Ikatan Dokter anak Indonesia. 2010.

7.

Jawets, Melnick & Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20. EGC. Jakarta 1996.

32 | P a g e

8. Chandra

P,

Evelyn

P.

Tuberculosis.

22

Juli

2009.

Available

from

http:// www.en.wikipedia.org/wiki/Tuberculosis 9. N. Nastiti. Tatalaksana Tuberkulosis pada Anak. Sari pediatric Vol3 No1, juni 2001

10. Nelson LJ, Schneider E, Wells CD, and Moore M. Nelson Textbook of Pediatrics. ChapterXVII Infection : Section III Bacterial Infection: Tuberculosis. 18th edition. Philadelphia: W.B.Saunders Company, 2007. 11. Rahajoe, Nastiti N., dkk, Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. UKK Pulmonologi PP IDAI,Juni, 2005. 12. Tierney Jr., Lawrence M, Current Medical Diagnosis and Treatment. Chapter 9 Lung : Pulmonary Infections: Pulmonary Tuberculosis, Mc Graw Hill, 2008. 13. Anne A G, Peter J, dkk. Tuberculosis.Chapter 39. Infectious diseases of children. Eleventh edition. Krugmans. 2004.
14. www.idai.or.id/buletinidai/view.asp?ID=716&IDEdisi=68, diunduh pada tanggal 5

mei 2012

33 | P a g e

También podría gustarte